Anda di halaman 1dari 14

KAWASAN EKONOMI KHUSUS DAN DAMPAKNYA TERHADAP INDUSTRIALISASI DI

BATAM*
Tulus Tambunan
Kadin Indonesia/Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti
FTZ di Batam
Akhirnya pada pertengahan kedua 2007 pemerintah memutuskan dengan peraturan pemerintah (PP) batasan
kawasan ekonomi khusus atau yang umum disebut kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) dan
pelabuhan bebas di wilayah Batam, Bintan dan Karimun. FTZ secara menyeluruh berada di delapan (8) pulau di
wilayah Batam. Sedangkan FTZ terbatas (enclave) berada di 13 pulau di Batam dan Karimun. Lebih rincinya,
pulau Batam, Rempang, Galang dan Galang Baru, termasuk pulau-pulau kecil yang dihubungkan dengan
jembatan, menjadi FTZ menyeluruh. Sekitar 60% dari wilayah Karimun juga masuk di dalam FTZ, yang mana
pulau Karimun Kecil sebagai FTZ secara menyeluruh sedangkan pulau Karimun besar sebagai FTZ terbatas.
Sementara di pulau Bintan, sekitar setengah dari wilayahnya, antara lain Bintan Utara dan Bintan Timar, juga
ditetapkan sebagai FTZ (Tabel 1)
Tabel 1: FTZ di Batam
Jenis FTZ
FTZ terbatas
(enclave)

Kawasan
a) Pulau Bintan:
kawasan Lagoi; kawasan pusat bisnis Bintan; kawasan pengembangan pariwisata terpadu; kawasan industri
logam; kawasan industri Galang Batang; kawasan industri maritime; kawasan Dompak (kota Tanjung
Pinang, pulau Bintan); kawasan Senggarang (kota Tanjung Pinang, pulau Bintan)
b) Pulau Karimun Besar
- kawasan Pelambung; Teluk Mesodo; Teluk Senang; Bukit Peninjau; kawasan Sembawang

FTZ menyeluruh

Pulau Batam; pulau Rempang; pulau Galang; pulau Galang Baru; Pulau Tonton; pulau Nipah; pulau Setoko;
pulau Karimun Kecil
Sumber: Kompas (Bisnis & Keuangan), Jumat, 3 Agustus 2007, halaman 19.

Pembentukan FTZ sudah Cukup?


Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembentukan FTZ di suatu wilayah adalah pesatnya
perkembangan kegiatan investasi atau usaha yang selanjutnya pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja dan
penurunan kemiskinan di wilayah tersebut. Sekarang pertanyaan apakah pemberian fasilitas dari pemerintah
seperti pembentukan FTZ di Batam sudah memastikan atau menjamin pertumbuhan ekonomi atau
industrialisasi di Batam? Jawabannya tentu, belum. Ada dua hal utama yang harus diperhatikan. Pertama, tindak
lanjut dari pembentukan FTZ tersebut, dan, kedua, kesiapan atau kemampuan masyarakat dan pelaku bisnis di
Batam memanfaatkan fasilitas tersebut. Yang dimaksud dengan tindak lanjut dari pembentukan FTZ adalah
----Diskusi pakar Batam menyongsong Kawasan Ekonomi Khusus, Batam, 12 Maret 2008

belum mampu membuat atau menambah instalasi pembangkit tenaga listrik yang dapat memenuhi kebutuhan
bahwa banyak faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu FTZ. Termasuk di sini adalah kebijakan
terkait dengan investasi yang masih harus dibereskan. Realisasi investasi tidak hanya terkait dengan produk
perundang-undangan. Masalah energi, misalnya, di pulau Bintan yang juga masuk di dalam FTZ, krisis energi
masih terus berlangsung. PLN masih masyarakat dan bisnis di sana. Selain itu, pemerintah daerah maupun
Otoritas Batam merencanakan menaikkan tarif air bersih dan pajak penerangan jalan. Pungutan-pungutan
seperti ini pasti akan menambah beban (biaya produksi) bagi pelaku-pelaku usaha dan resiko kerugian bagi
investor-investor, yang pada akhirnya akan mengurangi daya saing ekonomi Batam dan juga mengurangi niat
investor-investor untuk membuka usaha atau menanam modal mereka di Batam, walaupun ada insentif-insentif
dari pelaksanaan FTZ tersebut.
Jadi, untuk memahami bagaimana suatu FTZ di suatu wilayah bisa berhasil, perlu memahami terlebih
dahulu apa saja yang berpengaruh terhadap suatu kegiatan bisnis. Seperti yang diilustrasikan di Gambar 1,
faktor-faktor utama yang mempengaruhi langsung kegiatan suatu bisnis, atau yang menentukan untung ruginya
suatu bisnis. Ini adalah lingkungan langsung dari suatu bisnis. Sedangkan stabilitas ekonomi, politik dan sosial
adalah termasuk faktor-faktor dari lingkungan lebih luas atau tidak langsung. Faktor-faktor dari lingkungan
langsung termasuk investasi, pasar input (tenaga kerja, bahan baku, modal, enerji, dan input lainnya seperti
pupuk dan bibit untuk pertanian), dan pasar output.
Gambar 1: Faktor-faktor Utama di dalam Lingkungan Langsung dari Suatu Bisnis
Ekspor & impor

Lokasi

Pasar output

Sektor

Bisnis

Transportasi &
Komunikasi

Investasi

Keamanan

Infrastruktur
Pasar input

Tenaga Kerja

Perbankan

Modal

Ekspor & Impor

Enerji

Input lainnya

Pasar Modal

Semua faktor-faktor tersebut di Indonesia diatur dengan berbagai peraturan, keputusan Presiden (Kepres)
atau UU, seperti investasi sekarang diatur oleh UU PM No.25 2007. Kinerja dan kondisi pasar output maupun
input dipengaruhi atau diatur oleh berbagai UU, seperti pasar tenaga kerja oleh UU No.13 2003 mengenai
ketenaga kerjaan. Pasar output dan input juga termasuk pasar di luar negeri, oleh karena itu peraturan
pemerintah mengenai perdagangan luar negeri seperti penerapan pajak atau ketentuan ekspor dan bea masuk
serta pembatasan atau pembebasan impor juga sangat berpengaruh pada faktor pasar output dan input yang
selanjutnya mempengaruhi keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang terlibat, dan pada ujungnya akan
mempengaruhi penilaian untung ruginya suatu investasi.

Iklim Investasi Sebagai Salah Satu Penentu


Seperti yang diilustrasikan di Gambar 1 di atas, salah satu penentu pertumbuhan kegiatan usaha adalah
investasi, atau tepatnya iklim investasi, dan, semua pasti sependapat bahwa investasi, khususnya investasi
langsung, sangat menentukan keberhasilan pembentukan FTZ di Batam. Sejarah Orde Baru selama periode
1966-1997 telah membuktikan betapa pentingnya peran investasi langsung, khususnya asing atau umum disebut
penanaman modal asing (PMA) sebagai salah satu motor penggerak pembangunan dan salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi. Juga semua pasti sependapat bahwa lahirnya undang-undang no.25 tahun 2007 tentang
penanaman modal memang sangat diperlukan. UU PM tersebut dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek
penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan
sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi
pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua diantara aspek-aspek tersebut yang
selama ini merupakan dua masalah serius yang dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat
berpengaruh positif terhadap kegiatan penanaman modal di Indonesia, atau Batam pada khususnya, jika
dilaksanakan denga baik sesuai ketentuannya di UU PM tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Bab I Pasal 1
No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu
perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau
instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap
permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Sistem pelayanan
satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan
yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Memang membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena
sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang
berkepentingan dalam penanaman modal.

Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi faktor-faktor lain (seperti
kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel, kebijakan ekonomi makro, termasuk rejim perdagangan
yang kondusif dan ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi di dalam negeri akan
mengalami akselerasi. Bagi seorang pengusaha manca negara yang ingin berinvestasi di Batam, adanya
pelayanan satu atap melegakan karena ia tidak perlu lagi menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin
usahanya di Batam. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya pajak maupun pungutan lainnya yang dapat
membengkak dari tarif resmi akibat panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk memperoleh izin
usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap. Sebenarnya, hal ini sudah diupayakan sebelumnya lewat
Keppres No 29 tahun 2004 mengenai penyelenggaraan penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam
neegri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap semasa era Presiden Megawati Soekarno Putri. Dalam
kepres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan
pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap
ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kotamadya
berdasakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM.

Jadi, BKPM

bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan
pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal.
Kedua, Bab III Pasal 4 No.2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal: menjamin kepastian hukum,
kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai
dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah
satu penghambat investasi, khusunya PMA, di dalam negeri. Hasil studi yang dilakukan oleh LPEM-FEUI
(2001) menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di Indonesia
selain persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan peraturan
pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan, sosial dan politik di
Indonesia.
Bahkan hasil survei tahunan dari World Economic Forum (2007) yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk
The Global Competitiveness Report 2007-2008 menunjukkan bahwa dari 131 negara yang masuk dalam sampel
penelitiannya, Indonesia berada pada peringkat ke 93 untuk pertanyaan apakah pengusaha (responden) bisa
mengandalkan pelayanan dari polisi untuk melindungi usahanya dari kriminalitas (Tabel 2). Mungkin
ketidakstabilan politik di suatu negara tidak terlalu masalah bagi pengusaha tentu (selama tidak sampai
menimbulkan perang saudara), tetapi gangguan kriminalitas dan hukum yang tidak pasti yang melindungi hakhak dari pelaku bisnis dalam berbagai transaksi termasuk jual beli tanah dan sengketa bisnis tentu sangat
mengganggu atau menakutkan seorang calon investor untuk menanam modalnya di negara tersebut.

Tabel 2: Peringkat Indonesia mengenai Perlindungan Bisnis oleh Polisi versi WEF 2007
Peringkat

Negara

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Finlandia
Denmark
Jerman
Singapura
Swiss
Islandia
Hong Kong SAR
Norwegia
Austria
Emirat Arab Serikat

93

Indonesia

131
Sumber: WEF (2007).

Venezuela

Dalam membahas atau mengidentifikasi kendala perijinan penanaman modal di Indonesia, ada tiga hal yang
perlu dipahami. Pertama, ijin investasi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus
menjadi satu paket dengan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan
usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha. Di Tabel 3 dijabarkan sejumlah UU dan peraturan menteri
yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu perusahaan
yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera di Tabel 2 tersebut berbenturan
dengan UU PM No.25, 2007, sangat kecil harapan bahwa kehadiran UU PM yang baru ini akan memberi hasil
optimal.
Tabel 3: Beberapa UU atau Peraturan Pemerintah yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UU PM
No.25, 2007
UU/Peraturan
Peraturan Mendaz 37/M-DAG/Per/9
Peraturan Mendag 36/M-DAG/Per/9
UU No.40
UU No. 39
UU No. 17
UU No. 2
UU No.13
UU No. 22

Tahun
2007
2007
2007
2007
2006
2005
2003
2001

Isu
Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan
Penerbitan SIUP
Perseroan Terbatas
Cukai
Kepabeanan
Penyelesaian hubungan industrial
Ketenaga kerjaan
Investasi di sektor migas

Misalnya, kontradiksi selama ini antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya
mempermudah pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22 tahun 2001 yang menyatakan
bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai
(Depkeu). Juga seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap membatalkan niatnya berinvestasi di

Indonesia walaupun proses pengurusan ijin investasi menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah
dilaksanakannya UU PM No.25 2007 tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak menguntungkannya
karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor, atau pasar tenaga kerja di Indonesia dirasa tidak
fleksibel akibat berlakunya UU No.13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan.
Hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan bahwa 8,5% dari jumlah pengusaha di Indonesia yang menjadi
responden mengatakan bahwa permasalahan utama mereka adalah peraturan ketenagakerjaan yang restriktif
(Gambar 2). Pengusaha-pengusaha yang masuk di dalam sampel dipilih secara acak dari semua skala usaha
(kecil, menengah dan besar), dan dari sektor-sektor penting (industri manufaktur, pertanian, pertambangan,
perbankan dan jasa). Masalah ketenaga kerjaan ini tentu akan sangat signifikan bagi calon investor di kegiatankegiatan ekonomi yang padat karya seperti misalnya industri tekstil dan produk-produknya (TPT), industri
elektronik, industri sepatu, dan industri makanan dan minuman. Ironisnya, industri-industri ini selama
pemerintahan Orde Baru hingga sekarang ini adalah favorit bagi PMA di sektor industri manufaktur di
Indonesia.
Gambar 2: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia versi WEF 2007
Kriminal & pencurian

0.5

Etik kerja TK buruk

1.8

Pajak terlalu besar

Pemerintah yang tidak stabil

2.2

Regulasi uang asing

3.7
4.2

Korupsi
Inflasi

5.5

Keterbatasan tenaga kerja terdidik

5.6

Regulasi perpajakan tidak kondusif

Peraturan ketenaga kerjaan yang restriktif

8.5

Kebijakan tidak stabil

10.7

Akses terbatas untuk pendanaan

10.8
16.1

Birokrasi tidak efisien

20.5

Infrastruktur buruk
0

10

15

20

25

Sumber: (WEF, 2007)

Di sektor perhotelan, misalnya, jumlah ijin yang diperlukan mencapai 37 buah, karena setiap bagian dari
hotel harus memiliki ijin khusus dari departemen terkait. Misalnya untuk membangun restoran di dalam hotel
perlu ijin dari Departemen Kesehatan karena menyangkut makanan yang sehat dan aman bagi konsumen,
sedangkan untuk membangun kolam bernang harus dapat ijin dari Departemen olah raga, dan untuk pemakaian

tenaga kerja harus dapat ijin dari Departemen Tenaga Kerja dan jelas harus mengikuti peraturan yang tercantum
di UU Ketenaga kerjaan yang berlaku, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, jika izin penanam modal sudah
keluar, tetap seorang investor yang akan membangun sebuah hotel di Jakarta akan tetap skeptis apabila
beberapa atau semua dari izin-izin lainnya itu tidak jelas atau prosedurnya sangat bertele-tele.
Jadi masalah serius disini adalah koordinasi yang tidak baik antar lembaga pemerintah yang sebenarnya
sudah merupakan salah satu persoalan klasik di negeri ini. Dalam kasus perhotelan tersebut jelas diperlukan
suatu kerjasama yang baik antara BKPM, Departemen Ketenaga kerjaan, Departemen Kesehatan, Departemen
Olah Raga, Pemda, dan banyak lagi instansi pemerintah lainnya yang terlibat. Sering kali egoisme sektoral atau
departemen membuat suatu kebijakan ekonomi yang sebenarnya sangat baik dilihat dari isinya namun akhirnya
menjadi tidak efektif karena adanya benturan dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Kondisi seperti ini sering
kali membuat para calon investor kebingungan yang pada akhirnya membatalkan niat mereka menanam modal
di Indonesia
Masalah koordinasi ini terasa semakin parah sejak pelaksanaan otonomi daerah. Banyak peraturan
pemerintah atau keputusan presiden tidak bisa berjalan efektif karena adanya tarik-menarik kepentingan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas penanaman modal
di daerah.Dalam kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota
diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah
pusat terpaksa mengeluarkan kepres khusus mengenai penanaman modal karena banyaknya kendala yang
dihadapi oleh para investor yang ingin membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan dengan proses
pengurusan izin usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga
membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar. Persoalan ini
muncul atau tidak adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah tersebut jelas disebabkan tidak adanya
penjelasan lebih lanjut secara teknis, termasuk di dalam isi pasal 11 UU No 22 tentang Pemerintahan Daerah,
termasuk soal pelaksanaannya penanaman modal daerah yang berakibat tidak efisiennya pengurusan perizinan
usaha. Karena tanpa suatu panduan yang jelas, pemerintah daerah menafsirkan berbeda dengan pemerintah
pusat mengenai wewenang dalam pengurusan penanaman modal di daerah.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan oleh BKPM (pemerintah pusat) dan
BKPMD (pemerintah daearah). Namun setelah berlakunya otonomi daearah, terjadi ketidakjelasan mengenai
pengurusan izin usaha/investasi dan bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik antara kegiatan BKPMD
dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah lainnya yang menangani kegiatan investasi. Sejak
penerapan otonomi daerah hingga sekarang ini banyak pemberitaan di media masa yang menunjukkan bahwa di
sejumlah daerah kewenangan penanaman modal digabung dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau
bagian perekonomian. Ada beberapa daerah yang membentuk suatu dinas khusus untuk mengurus penanaman

modal. Bahkan banyak kabupaten/kota yang sangat serius dalam menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif
dengan membentuk kantor pelayanan satu atap. Misalnya, di Jepara dan Yaogyakarta,

menurut Majalah

Swasembada (2004), dengan sistem satu atap ini surat perizinan usaha dapat diperoleh dalam waktu rata-rata 5
hari hingga satu minggu. Demikian halnya dengan Pemda Kotamadwa Yogyakarta. Tetapi sayangnya masih
lebih banyak daerah yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat
dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanaman modal. Hasil survei dari LPEM-FEUI (2001)
menunjukkan bahwa menurut responden Pemda,

lama waktu pengurusan izin usaha baru apabila semua

persyaratan dipenuhi dapat dikeluarkan paling lama dalam 3 bulan. Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, waktu
yang diperlukan untuk mengurus ijin usaha baru adalah antara 1-3 bulan (44%) dan antara 3-6 bulan (21.5%).
Kedua, selain harus sejalan dengan atau didukung oleh UU lainnya yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kelancaran penanaman modal di dalam negeri, UU PM yang baru ini juga harus
memberikan solusi paling efektif terhadap permasalahan-permasalahan lainnya yang juga sangat berpengaruh
terhadap kegiatan investasi, diantaranya adalah persoalan pembebasan tanah. Banyak kasus dalam beberapa
tahun belakangan ini menunjukkan kegiatan investasi terhambat atau bahkan dibatalkan karena belum tuntasnya
pembebasan tanah. Ini berarti, masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perijinan investasi
seperti yang dimaksud di atas. Sekali lagi, UU PM No.25 tahun 2007 tersebut tidak akan efektif meningkatkan
investasi di Indonesia apabila persoalan pembebasan tanah semakin ruwet, semakin mahal dan semakin besar
resiko keselamatan jiwa dan usaha bagi calon investor. Yang dimaksud keselamatan jiwa dan usaha disini
adalah karena sering kali terjadi penipuan dalam transakti pembelian tanah, yang beberapa tahun setelah tanah
dibeli dan pabrik dibangun di atas tanah tersebut, tiba-tiba muncul sekelompok masyarakat menduduki pabrik
tersebut dengan cara paksa dengan alasan mereka sebenarnya alih waris dari tanah itu dan tidak mendapatkan
sesenpun uang dari pembelian tersebut.
Ketiga, adalah birokrasi yang tercerminkan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi
(seperti perizinan, peraturan atau persyaratan, dan lainnya) yang berbelit-belit dan langkah-langkah prosedurnya
yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat investor enggan melakukan investasi di
Indonesia. Di Gambar 2, hasil survei WEF menunjukkan birokrasi yang tidak efisien merupakan masalah utama
kedua yang dihadapi pengusaha di Indonesia. Masalah ini bukan hanya membuat banyak waktu yang terbuang
tetapi juga besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha atau calon investor. Memang masalah ini
tidak hanya dihadapi oleh pengusaha di Indonesia tetapi juga dibanyak negara lainnya. Diantara negara-negara
ASEAN, hasil survei WEF tersebut menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke 3 setelah Singapura dengan
birokrasinya yang paling efisien atau biaya birokrasi paling murah (tidak hanya di ASEAN tetapi juga dunia
menurut versi WEF) dan Malaysia (Gambar 3). Untuk mengukur ini, digunakan skor antara 1 (biaya paling
besar) dan 7 (tidak ada biaya sama sekali).

Gambar 3: Skor Indonesia di dalam kelompok ASEAN dalam Biaya dari peraturan pemerintah versi
WEF 2007
2.5

Filipina
Vietnam

2.6
3.1

Kambodia

3.8

Thailand

3.9

Indonesia

4.6

Malaysia

5.3

Singapura
0

Seperti telah dikatakan sebelumnya, UUP PM yang baru ini bisa berfungsi sebagai motor akselerasi
terhadap pertumbuhan investasi di Indonesia sesuai harapan hanya jika UU atau peraturan lainnya yang
berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan investasi atau usaha disederhanakan atau
mendukung UU PM tersebut. Dalam kata lain, tidak akan ada gunanya jika birokrasi dalam pengurusan izin
investasi disederhanakan namun prosedur adminstrasi untuk mendapatkan izin-izin lainnya untuk membuka
suatu usaha baru tidak turut disederhanakan.
Hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan bahwa Australia, Kanada dan Selandia Baru berada di peringkat
teratas alias terbagus dari 124 negara dalam jumlah prosedur yang harus dialami oleh seseorang dalam
membuka suatu usaha baru. Sedangkan Indonesia berada di posisi ke 95 bersama-sama dengan Bosnia dan
Herzegovina, Cameroon, Korea Selatan, Syria dan UAE. Sedangkan dalam hal waktu yang diperlukan untuk
mengurus semua itu, juga Australia pada posisi terbaik, disusul oleh Kanada, Denmark, Islandia, AS, dan
Singapura di peringkat ke 6. Jadi Singapura satu-satunya bukan hanya dari ASEAN tetapi juga dari Asia dan
kelompok negara-negara berkembang yang masuk di dalam 10 besar negara-negara terbaik dalam masalah ini.
Sementara itu, posisi Indonesia di 119, paling rendah di dalam kelompok ASEAN. Selama posisi Indonesia ini
tidak membaik dalam tahun-tahun ke depan, kecil harapan bahwa pengaruh dari UU PM yang baru ini akan
optimal.
Seperti juga telah dijelaskan sebelumnya, bagi seorang investor yang akan banyak melakukan ekspor atau
impor (perdagangan internacional), prosedur bea cukai yang berlaku di Indonesia juga sangat mempengaruhi
niatnya untuk memilih negara ini sebagai tempat usahanya. Hasil survei dari WEF (2007) kembali
menunjukkan buruknya posisi Indonesia untuk masalah ini (Tabel 4). Sekali lagi, keberadaan UU PM No.25
2007 akan kurang berarti atau bahkan sama sekali tidak menimbulkan efek akselerasi terhadap pertumbuhan
investasi, khususnya PMA, di Indonesia, jika hal-hal lain seperti prosedur bea cukai tidak disederhanakan.
9

Karena, penanaman modal hanyalah proses awal dari berdirinya suatu usaha yang tujuannya adalah untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan biaya dan resiko sedikit mungkin. Jika seorang pengusaha
asing memperhitungkan bahwa keruwetan prosedur bea cukai di Indonesia akan mengurangi profitnya
dibandingkan jika ia berinvestasi di Malaysia atau China, dengan asumsi bahwa kondisi lainnya sama, maka ia
akan memilih membuka usahnya di Malaysia atau China.
Tabel 4: Peringkat Indonesia mengenai Prosedure Bea Cukai versi WEF 2007
Peringkat

Negara

Skor

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Singapura
Hong Kong SAR
Sweden
Korea Selatan
Denmark
Finlandia
UAE
Selandia Baru
Austria
Cili

6,4
6,1
6,1
5,9
5,8
5,7
5,6
5,5
5,5
5,5

101

Indonesia

3,0

131
Sumber: WEF (2007).

Chad

2,0

Faktor-faktor Utama Peningkatan Daya Saing yang Harus dimiliki oleh Batam
Seperti telah dibahas sebelumnya, salah satu penentu keberhasilan FTZ di Batam adalah kemampuan
pelaku-pelaku usaha di Batam untuk bersaing atau menembus pasar global atau meningkatkan ekspornya. Pada
gilirannya, kemampuan tersebut sangat ditentukan oleh suatu kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif
yang dimiliki masing-masing perusahaan di Batam atas pesaing-pesaingnya dari luar Batam. Dalam konteks
ekonomi/perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan relatif dapat didekati dengan keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu wilayah memiliki keunggulan bisa secara alami (natural
advantages) atau yang dikembangkan (acquired advantages). Keunggulan alami yang dimiliki Batam (atau
Indonesia pada umumnya) adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan bahan
baku yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga bahan baku di Batam relatif lebih murah
dibandingkan di wilayah-wilayah di luar Batam lain yang penduduknya sedikit dan miskin SDA. Sedangkan yang
dimaksud dengan keunggulan yang dikembangkan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun jumlahnya seidkit
memiliki pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan penguasaan teknologi sehingga mampu membuat bahan
baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien
dibandingkan wilayah lain yang kaya SDA.

10

Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah bahwa keunggulan suatu wilayah atau industri di
dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang diperkuat
dengan proteksi atau bantuan dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Faktorfaktor keungggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan/pengusaha di Batam untuk dapat
unggul dalam persaingan adalah diantaranya yang paling penting:
1) Penguasaan teknologi dan know-how;
2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan
motivasi yang tinggi, dan inovatif;
3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi;
4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan;
5) Promosi yang luas dan agresif;
6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik;
7) Pelayanan teknikel maupun non-teknikel yang baik (service after sale);
8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi;
9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup;
10) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik;
11) proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time;
12) tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan
memiliki visi yang luas mengenai produknya dan lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.),
dan bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif) dalam menghadapi persaingan yang ketat di pasar global.
13) Birokrasi yang efisien dan kondusif bagi pengembangan usaha.
Secara teoritis (hipotesis), faktor-faktor yang diduga punya pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
kinerja dunia usaha di Batam dapat dibedakan antara faktor-faktor dari sisi permintaan dan faktor-faktor dari sisi
penawarannya. Dari sisi permintaan pasar adalah terutama pendapatan dan selera masyarakat di pasar tujuan, yang
merupakan dua faktor eksternal yang tidak dapat dipengaruhi oleh pengusaha itu sendiri. Sedangkan dari sisi
penawaran, sebagian adalah faktor-faktor yang hingga tingkat tertentu dapat dipengaruhi oleh pengusaha
bersangkutan seperti dalam hal peningkatan SDM, penyediaan modal, dan penguasaan atau pengembangan
teknologi. 1

Baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran, tidak semua faktor-faktor tersebut merupakan variabel-variabel bebas, melainkan
terdapat sejumlah interdependent variables, yakni saling mempengaruhi satu sama lainnya. Bahkan saling mempengaruhi antar
variabel tidak hanya terjadi di dalam kelompok masing-masing, tetapi juga lintas kelompok. Misalnya, dari sisi permintaan, kebijakan
WTO mengenai lingkungan yang dikaitkan dengan perdagangan dunia (misalnya dalam konteks ISO) membuat teknologi dan SDM
menjadi dua faktor produksi dari sisi penawaran yang sangat penting. Dalam perkataan lain, apabila perusahaan-perusahaan Indonesia

11

Dampak Positif dari FTA: Suatu Pandangan Teoritis


Secara teori, FTA di suatu wilayah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan industri dan pembangunan
ekonomi atau pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di wilayah tersebut lewat beberapa jalur (Gambar 4).
Pertama, lewat pembangunan pabrik-pabrik baru (PP) yang berarti juga penambahan output di sektor industri,
ekspor (X) dan kesempatan kerja (KK). Ini adalah suatu dampak langsung. Kedua, masih dari sisi suplai, namun
sifatnya tidak langsung, adalah sebagai berikut: adanya PP baru berarti ada penambahan permintaan di dalam
wilayah tersebut terhadap barang-barang modal, barang-barang setengah jadi, bahan baku dan input-input
lainnya. Jika permintaan antara ini sepenuhnya dipenuhi oleh sektor-sektor lain (SSL) di wilayah tersebut (tidak
ada yang diimpor), maka dengan sendirinya efek positif dari keberadaan atau kegiatan produksi di pabrik-pabrik
baru tersebut sepenuhnya dinikmati oleh sektor-sektor lokal lainnya; jadi output di SSL tersebut mengalami
pertumbuhan. Ini berarti telah terjadi efek positif yang besar dari pembentukan FTA lewat suatu efek
penggandaan dari keberadaan PMA terhadap output agregat atau produk domestik regional bruto (PDRB) di
wilayah tersebut. Dalam kata lain, semakin besar komponen M dari sebuah proyek PMA, atau semakin besar
kebocoran dari keterkaitan produksi antara PMA dengan ekonomi lokal, semakin kecil efek penggandaan
tersebut.
Gambar 4: Efek Positif dari FTA terhadap Pertumbuhan Ekonomi lewat Beberapa Jalur
FTA

PP baru

PMA

Peralihan
teknologi

CD

Output di
SSL
Permintaan
pasar

M input

KK

PDRB /
Pendapatan per kapita

Permintaan
pasar

tidak bisa memenuhi ketetapan-ketetapan yang terkandung di dalam, misalnya ISO 14000 karena kekurangan teknologi dan SDM,
maka mereka akan mengalami kesulitan dalam pemasaran produk-produknya di pasar global.

12

Ketiga, peningkatan kesempatan kerja akibat adanya pabrik-pabrik baru tersebut berdampak positif terhadap
ekonomi lokal lewat sisi permintaan: peningkatan kesempatan kerja menambah kemampuan belanja masyarakat
dan selanjutnya meningkatkan permintaan di pasar lokal. Sama seperti kasus sebelumnya, jika penambahan
permintaan konsumsi tersebut tidak serta merta menambah impor, maka efek positifnya terhadap pertumbuhan
output di sektor-sektor lokal sepenuhnya terserap. Sebaliknya, jika ekstra permintaan konsumsi tersebut adalah
dalam bentuk peningkatan impor, maka efenya nihil. Bahkan jika pertumbuhan impor lebih pesat daripada
pertumbuhan ekspor yang disebabkan oleh adanya PMA, maka terjadi defisit neraca perdagangan. Ini berarti
kehadiran PMA memberi lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif terhadap wilayah tersebut.
Keempat, peran PMA sebagai sumber penting peralihan teknologi dan knowledge lainnya. Peran ini bisa
lewat dua jalur utama. Pertama, lewat pekerja-pekerja lokal yang bekerja di perusahaan-perusahaan PMA. Saat
pekerja-pekerja tersebut pindah ke perusahaan-perusahaan domestik, maka mereka membawa pengetahuan atau
keahlian baru dari perusahaan PMA ke perusahaan domestik. Kedua, lewat keterkaitan produksi atau
subcontracting antara PMA dan perusahaan-perusahaan lokal, termasuk usaha kecil dan menengah, seperti
kasus PT Astra Internasional dengan banyak subkontraktor skala kecil dan menengah. 2

Selanjutnya, lihat misalnya Borensztein dan. Lee (1998), Carkovic dan Levine (2002), Aitken dan Harrison (1999), Alfaro dkk.
(2003), Balasubramanyam dkk. (1996, 1999).

13

Daftar Pustaka
Aitken, Brian dan Ann Harrison (1999), Do Domestic Firms Benefit from Foreign Direct Investmenr?
Evidence from Venezuela, American Economic Review, 89 (3): 605-18
Alfaro, Laura, Chanda Areendam, Sebnem Kalemli-Ozcan, dan Sayek Selin (2003), FDI and Economic
Growth: The Role of Local Financial Markets, Journal of International Economics, 61(1): 512-33
Balasubramanyam, V.N., Mohammed Salisu dan David Sapsford (1996), Foreign Direct Investment and
Growth in EP and IS Countries, Economic Journal, 106(434): 92-105.
Balasubramanyam, V.N., Mohammed Salisu dan David Sapsford (1999), Foreign Direct Investment as an
Engine of Growth, Journal of International Trade and Economic Development, 8(1): 27-40.
Borensztein, E., J. De Gregorio, dan J-W. Lee. (1998), How Does Foreign Direct Investment Affect Economic
Growth? Journal of International Economics, 45: 115-35.
Carkovic, M. dan R. Levine (2002), Does Foreign Direct Investment Accelerate Economic Growth?
University of Minnesota, Working Paper.
LPEM-FEUI (2001), Construction of Regional Index of Doing Business, Laporan Akhir, Jakarta.
Swasembada (2004), Apa Siapa Macan-macan Bisnis Daerah, Edisi Khusus, No 8/XX/15-28 April.
Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis.
Jakarta: Pustaka Quantum.
Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan (2007), Pembangunan Industri Nasional sejak Era Orde Baru Hingga
Pasca Krisis, Jakarta: Trisakti Press (akan terbit).
UNCTAD (2006), World Investment Report 2006, New York dan Geneva: United Nations Conference on Trade
and Investment
UNCTAD (2006), World Investment Report 2006, New York dan Geneva: United Nations Conference on Trade
and Investment
WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic Forum
WEF (2006), The Global Competitiveness Report 2006-2007, Geneva: World Economic Forum
WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic Forum.

14

Anda mungkin juga menyukai