Anda di halaman 1dari 72

Sekilas Free Trade Zone

FTZ atau Free Trade Zone yang beberapa bulan terakhir kembali dibicarakan di kalangan pelaku
investasi dan bisnis, masyarakat serta pemerintah khususnya di Provinsi Kepulauan Riau yang
beberapa daerah kabupaten dan kotanya telah resmi mendapatkan fasilitas yang termasuk di
dalam regulasi FTZ. DPR akan mengeluarkan keputusan untuk menerima atau menolak
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/ 2007 tentang kawasan
perdagangan bebas FTZ atau Frree Trade Zone di Batam, Bintan, dan Karimun (BBK). Kalimat
tersebut di salin dari sebuah situs di internet pada tanggal 2 Oktober 2007, sepekan kemudian
produk hukum tersebut disetujui dan upaya semua pihak yang mendukung terbentuknya kawasan
tersebut di wilayah Batam, Bintan dan Karimun akhirnya membuahkan hasil.

Sejak saat itu sampai akhir tahun 2008 pembicaraan tentang FTZ di tengah-tengah masyarakat
seakan-akan menghilang, namun tidak demikian halnya karena di kalangan pemerintahan, baik
pusat maupun daerah sibuk mempersiapkan produk hukum yang mendukung kebijakan ini serta
sistem dan manajemen yang akan mengatur jalannya FTZ tersebut. Di tingkat provinsi dibentuk
Dewan Kawasan sampai Badan Pengusahaan Kawasan yang berada di masing-masing daerah
FTZ. Tanpa terasa 1 tahun persiapan tersebut dilakukan dan pada akhirnya Presiden Republik
Indonesia meresmikan dimulainya FTZ di Batam, Bintan dan Karimun pada tanggal 19 Januari
2009 dengan menerbitkan PP. No 2/2009 tentang Juklak Kepabeanan sekaligus mencabut PP. No
63/2008 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM). Momentum ini juga dimanfaatkan untuk meresmikan sejumlah proyek investasi.

Pada semester kedua tahun 2006, kepala negara Republik Indonesia dan Singapura telah bertemu
di Nongsa Batam dan menyepakati sejumlah kerjasama investasi termasuk kerangka kerjasama
ekonomi oleh menteri kedua negara. Tepat pada tanggal 19 Januari 2009 tempat ini juga
dijadikan bertemunya sejumlah investor asing dan lokal yang berkesempatan berdialog dengan
Presiden Republik Indonesia dan beberapa menteri terkait. Sebuah perjalanan yang jika ditelaah
tidak terlalu lambat bahkan relatif cepat, meskipun sempat terjadi perbedaan pendapat di tingkat
legislatif yang secara tidak langsung melahirkan sikap pesimis masyarakat. Sebuah waktu yang

singkat jika dibandingkan dengan beberapa negara yang sebelumnya telah lebih dulu
menerapkan FTZ. Sebut saja Cina dengan banyak daerah yang memiliki fasilitas semacam ini.
Negara Cina menempuh perjalan panjang untuk menerapkannya. Suatu prestasi luar biasa dari
pemerintah Republik Indonesia (presiden sampai kepala daerah) dan masyarakat yang dalam
kurun waktu 3 tahun dapat mewujudkan FTZ di Batam, Bintan dan Karimun yang selanjutnya
menjadi model FTZ bagi daerah lain di Indonesia.
Lalu apa sebenarnya FTZ? Sebuah istilah asing yang kemudian diartikan sebagai Zona
Perdagangan Bebas. Secara harfiah adalah kawasan perdagangan bersifat bebas, namun bukan
bebas berdagang (logika bahasa), maka disana terdapat jenis perdagangan dengan berbagai
macam regulasi yang mengaturnya. FTZ adalah sebuah kebijakan yang berbentuk fasilitas atau
membebaskan beberapa jenis obyek perdagangan dari beberapa aturan kepabeanan termasuk
pajak dan retribusi. Artinya kebebasan tersebut berkaitan dengan fasilitas. FTZ sendiri
sebenarnya istilah yang masih terlalu luas, karena di dalamya meliputi berbagai bentuk sistem
perdagangan bebas. SEZ atau Special Economic Zone di Indonesia dikenal dengan KEK atau
Kawasan Ekonomi Khusus yang secara umum adalah Kawasan yang mendapatkan fasilitas
khusus dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, artinya tidak ada perbedaan pengertian
dengan FTZ itu sendiri, meskipun pada tingkatannya FTZ bagian turunan dari SEZ atau KEK.

Penulis pernah melakukan penelitian sederhana ke beberapa daerah di dataran Cina yang
menerapkan sistem perdagangan ini. Ternyata Cina adalah negara yang memilki ratusan daerah
berfasilitas FTZ dengan membaginya berdasarkan potensi dan penataan daerah yang tepat dan
sesuai bagi investasi. Macau sebuah kawasan wisata terpadu (hotel, restoran dan perjudian) yang
mendapatkan fasilitas STZ atau Special Trade Zone (Zona Perdagangan Khusus) istilah ini juga
dipakai untk Special Tourism Zone. Konsep ini nyaris diterapkan di sebuah kawasan wisata di
daerah Bintan, hanya saja terbentur dengan beberapa pihak yang tidak setuju adanya lokasi
perjudian, padahal konsep ini tidak harus dihubungkan dengan perjudian karena tanpa perjudian
konsep ini tetap akan bisa berjalan. Lagi-lagi masalah persepsi dan kurangnya sosialisasi yang
menjadi penghambat penerapan konsep STZ atau lebih spesifik adalah kawasan wisata terpadu
atau kawasan wisata terpadu eksklusif (KWTE). Daerah berpotensi adalah Lagoi, pulau Mapur,
pulau Buluh, Trikora di wilayah Bintan, di wilayah Batam seperti Nongsa, pulau Nipah,

Waterfront City serta di wilayah Karimun seperti daerah Pelawan, pulau Buru, Tanjung Balai,
pulau Sugibawah dan beberapa daerah dan pulau di Tanjung Pinang seperti pulau Senggarang,
pulau Penyengat dan kota tua Tanjung Pinang.

SIZ atau Special Industrial Zone (Zona Industri Khusus) kawasan industri yang paling banyak
terdapat di daerah Cina (kabupaten) dari industri besar hingga industri rumah tangga. Maka tidak
heran jika Cina termasuk negara industri dan pengekspor terbesar di dunia. Di Singapura dan
Malaysia terdapat wilayah yang telah menerapkan SIZ. Konsep ini dapat diterapkan di daerah
Lobam Bintan, kawasan industri di Batam, serta beberapa pulau yang memungkinkan dijadikan
sebagai daerah industri. Sebagai catatan industri logistik dan perkapalan termasuk penopang
terbesar petumbuhan ekonomi di Kepulauan Riau. Industri ini sudah dibangun di daerah Batam
dan masih berpotensi besar untuk diperluas.
SMZ atau Special Mining Zone (Zona Penambangan Khusus) adalah kawasan yang diberikan
fasilitas khusus untuk mendukung kegiatan penambangan. Sebuah konsep baru yang dapat
diterapkan di wilayah Bintan dan Karimun yang memiliki potensi besar dalam bidang
penambangan. Apabila fasilitas ini dapat diterapkan maka akan berdampak positif bagi investor
lokal yang mampu memilki kuasa pertambangan dan mengelolanya, karena salah satu tantangan
dan hambatan bagi penambang lokal adalah tingginya harga alat-alat berat untuk penambangan
yang juga dipengaruhi oleh adanya pengenaan pajak, sehingga hanya negara-negara maju yang
dapat berinvestasi di pertambangan, padahal lokasi bahan tambangnya ada di wilayah Indonesia.

Melalui perbandingan empirik dari negara Cina, kita dapat belajar melaksanakan FTZ.
Pemerintah Cina memberikan fasilitas-fasilitas tersebut kepada daerah provinsi dan kabupaten di
negaranya untuk mendukung industri dan perdagangan, sehingga negara Cina mampu
menghasilkan jutaan jenis barang komoditi yang dapat diekspor ke hampir seluruh negara di
dunia bahkan beberapa negara maju telah mempercayakan Cina untuk memproduksi barangbarang atas hak cipta dan paten negara tersebut, baik sebatas komponen maupun secara
keseluruhan. Tak pelak negeri Cina penghasil jepit rambut sampai kendaraan bermotor dan
mesin-mesin industri canggih. Dengan demikian tujuan diberlakukan konsep FTZ di Cina telah

tercapai, hasil dari kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh semua rakyat Cina. Jika masih ada
beberapa wilayah yang miskin dan memilki taraf hidup rendah, hal itu bukan indikator kegagalan
FTZ melainkan ada faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi masyarakatnya.

Ada hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat Bintan,
Batam dan Karimun bahwa di China para warga negaranya justru menjadi investor di negara
sendiri, mereka memanfaatkan berbagai kebijakan pemerintah yang menguntungkan investor.
Meskipun dalam jumlah besar ada yang hanya sebagai pedagang kecil, tetapi ini menunjukan
bahwa FTZ memerlukan kesiapan mental masyarakat yang tinggal di wilayah atau zona tersebut.
Mampukah kita memanfaatkan hal ini secara optimal, karena tujuan pemberian fasilitas ini
adalah memberikan peluang melakukan kegiatan perdagangan dengan mudah dan relatif murah
(karena pemangkasan bea dan pajak) bukan hanya kepada investor asing tapi harus diprioritaskan
bagi investor lokal.

Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun


Kembali pada pemberlakuan FTZ di Batam, Bintan dan Karimun maka yang perlu dipahami
adalah bahwa FTZ adalah konsep besar yang masih perlu dijabarkan dan ditopang oleh berbagai
produk hukum yang berfungsi mengatur dan memberikan framework yang jelas dan tepat, maka
akan lebih baik jika saat ini kita memakai istilah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sesuai
kaidah bahasa, nama produk hukum yang mendasarinya serta ruang lingkup kebijakannya.
Dengan demikian tujuan kebijakan ini lebih mudah dipahami. Lambat laun istilah-istilah yang
Saya sampaikan di atas akan dipakai manakala masing-masing pemerintah daerah otonom yang
memiliki fasilitas Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas mulai menerapkan dan membagi
wilayah-wilayahnya untuk mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan potensi daerahnya.

STZ, SIZ, SMZ dan sebagainya adalah cara mengkategorikan wilayah-wilayah yang
mendapatkan fasilitas khusus yang dimaksudkan untuk memudahkan penetapan aturan dan
produk hukum dan memberikan pilihan yang beragam bagi investor untuk berinvestasi sesuai

dengan potensi wilayah investasi dan core business. Jika pemerintah pusat telah memberikan
fasilitas ini lengkap dengan produk hukumnya, maka sebenarnya pemerintah daerah dapat
mengembangkan kebijakan sesuai dengan keinginan untuk membangun daerah tersebut. Adapun
regulasi yang bersifat mendasar dan perlu persetujuan pemerintah pusat atau konsultasi lembaga
legislatif, maka hal tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak mengembangkan fasilitas
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk memajukan daerah dan masyarakat.
Terselenggaranya kebijakan ini secara konsisten akan mempengaruhi aspek kehidupan
masyarakat, maka daya saing serta produktivitas akan mengalami peningkatan. Kunci
keberhasilannya terletak pada potensi sumber daya manusia yang dioptimalkan, sumber daya
alam yang dikelola dengan bijak serta dukungan pelbagai peraturan yang dapat menguntungkan
semua pihak dan melindungi negara dan bangsa.

Struktur Dewan Kawasan (DK) dan Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) sudah tepat sebagai
lembaga yang mengatur dan menjalankan sistem, namun lembaga ini perlu dioptimalkan dengan
cara meningkatkan profesionalisme, seperti memberikan aturan dan arahan yang tepat,
pengawasan yang ketat, memiliki sejumlah pakar dan konsultan. Mampu berkoordinasi dengan
semua dinas dan lembaga di daerahnya, karena dalam area ini beberapa hal tidak akan terlepas
dari dinas-dinas yang berkompeten. Penguasaan bahasa asing dan teknologi, proaktif, informatif,
serta memastikan bahwa semua investor dapat memiliki rasa aman dalam berinvestasi. Bagi
Badan Pengusahaan Kawasan, fungsi promosi dan pemasaran harus dijalankan dengan baik,
maka sistem informasi yang akurat dan cepat menjadi senjata yang tepat untuk kemudahan
investor mendapatkan informasi.

Pengalaman yang dimiliki Badan Pengusahaan Kawasan di Batam sudah lebih banyak karena
pernah menangani era ini pada saat masih bernama Badan Otorita Batam, maka pengalaman
tersebut dapat dibagi dengan Bintan, Karimun serta Tanjung Pinang. Para profesional di bidang
perdagangan yang dimiliki Badan Pengusahaan Kawasan Batam harus lebih sering berbagi dan
kawasan lainpun perlu terbuka dan memiliki hasrat yang tinggi untuk terus belajar, memahami
dan menjalankan secara profesional.

Kesiapan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur juga tidak kalah pentingnya dalam
membangun kawasan ini, mulai dari kantor pelayanan terpadu satu atap (one stop service), akses
jalan, listrik, penerangan, air bersih, pelabuhan udara dan pelabuhan laut, jaringan komunikasi
dan telekomunikasi (media cetak, elektronik, telepon dan internet), serta jaminan keamanan bagi
para investor serta pemetaan tata ruang wilayah yang tepat. Semua harus segera dipersiapkan
untuk mempermudah jalannya program Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan,
Karimun. Seluruh masyarakat (terutama lokal) yang memiliki keahlian dan profesi perlu
melakukan persiapan untuk turut serta dalam era ini, seperti konsultan pajak, konsultan
keuangan, biro psikologi dan sumber daya manusia (hubungan industrial), biro perjalanan dan
wisata, biro penerjemah, pedagang kecil dan besar, transportasi dan penyewaan alat berat,
kontraktor dan lain-lain. Sebuah kesempatan untuk membangun masyarakat yang sejahtera,
cerdas dan berakhlak mulia, seperti tujuan Provinsi Kepulauan Riau.
Euforia FTZ
Penulis pernah bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kepulauan Riau
dalam menyelenggarakan Workshop Free Trade Zone dengan judul Sosialisasi dan
Implementasi berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Free Trade Zone
dan kebijakan diberbagai sektor pada bulan November tahun 2007. Workshop tersebut
diselenggarakan pada saat yang tepat, yakni ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD-RI)
menyetujui beberapa produk hukum yang manjadi dasar pemberlakuan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas di Batam, Bintan, Karimun. Kegiatan semacam ini masih perlu
diselenggarakan bagi anggota DPRD tingkat II Batam, Bintan, Karimun serta Tanjung Pinang,
mengingat akan banyak regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk mengatur
penyelenggaraan dan pengusahaan kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Penyelenggaraan workshop, seminar, termasuk sosialisasi kepada masyarakat sangat penting,


karena jika kita perhatikan saat ini seakan-akan istilah FTZ yang dibicarakan hanya sekedar
kemudahan masuknya kendaraan bermotor, elektronik dan beberapa jenis barang dari luar negeri
tanpa bea masuk dan pajak, sehingga persepsi yang muncul secara umum adalah membeli mobil

dan elektronik asal luar negeri dengan harga murah. Pola pikir dan sikap masyarakat dapat
mengalami perubahan dengan cepat dari yang produktif menjadi konsumtif atau bahkan yang
belum sempat produktif menjadi konsumtif. Pada dasarnya adalah menjadi hak masyarakat untuk
menikmati fasilitas yang diberikan pemerintah dalam era ini, namun alangkah lebih baik jika
prinsip-prinsip yang diterapkan oleh negara Cina dapat dicontoh, menjadi investor di negeri
sendiri.

FTZ bukan mobil murah, FTZ bukan elektronik murah, karena hal ini hanya bagian kecil fasilitas
yang bukan prioritas utama bahkan bukan hal yang mendesak. FTZ adalah kesempatan emas
bagi seluruh masyarakat lokal dan bangsa Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Oleh sebab itu nama Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang digunakan bertujuan agar
lebih memperjelas maksud dan tujuan diberikan fasilitas ini kepada sebuah daerah. Sehingga
pola konsumtif yang sudah merebak di hampir seluruh masyarakat Indonesia dapat disadari,
lambat laun dikurangi dan berubah menjadi produktif (perubahan mindset). Maka euforia FTZ
yang saat ini dirasakan harus diimbangi dengan sebuah perubahan mindset yang lebih
mengarahkan kepada hal-hal yang produktif tadi, misalnya dengan memanfaatkan hal-hal yang
kecil (mulai dari pedagang makanan, kedai, restoran dan sebagainya) segera melirik daerahdaerah potensial yang akan dijadikan daerah industri dan bisnis. Di daerah tersebut pasti akan
tumbuh komunitas masyarakat baru yang memiliki aktivitas. Pemilik lahan-lahan kosong mulai
memanfaatkan peluang bisnis dengan mempelajari adakah kebutuhan tempat tinggal bagi para
pekerja yang akan berada disana, bahkan bukan tidak mungkin apabila dimulainya pertanian
beberapa jenis tanaman tertentu yang dapat disesuaikan dengan kondisi tanah dan kebutuhan.

Masyarakat yang berada di daerah yang berpotensi mendatangkan wisata perlu proaktif
mempromosikan daerahnya melalui berbagai kemudahan seperti memanfaatkan teknologi
internet, media cetak dan elektronik lainnya. Para pebisnis di bidang transportasi dapat
mengembangkan sayap untuk menyediakan armada antar jemput atau jasa penyewaan. Para
profesional seperti pengacara, notaris, sumber daya manusia, psikolog, dokter, perawat dan
sebagainya sudah pasti dapat mengembangkan profesianya dengan masuk dalam zona bisnis dan
tetap mengedapankan etka profesi. Sebagai contoh di Cina, beberapa dokter lokal telah membuka

klinik dan rumah sakit berstandar sebagai rujukan bagi perusahaan penanaman modal asing
(PMA), hal ini bukan tidak mungkin juga bagi pengacara untuk membuka kantor konsultan
hukum, biro konsultan sumber daya manusia dan sebagainya, sehingga penciptaan lapangan
kerja dapat ditingkatkan. Pemerintah dan masyarakat juga harus mahir dalam bernegosiasi
memanfaatkan peluang. Pada intinya PMA tidak perlu membawa dokter, konsultan hukum,
konsultan SDM, ahli masak dan sebagainya dari negaranya, karena masyarakat kita dapat
mengambil peran di bidang-bidang tersebut.

Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan dapat membuat dan menerapkan aturanaturan yang sama-sama menguntungkan investor, pemerintah dan masyarakat. Jadi tidak semua
harus menguntungkan investor, karena secara umum fasilitas Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas sebenarnya telah banyak menguntungkan investor apalagi PMA. Saat ini bagaimana
caranya agar masyarakat dapat menikmati era ini untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidak ada
alasan untuk tidak memberikan ijin kepada masyarakat sejauh masyarakat mampu mengikuti
standar yang diminta investor, baik lokal maupun PMA, dengan demikian secara tidak langsung
masyarakat profesi akan tertantang untuk tumbuh dan berkembang sejalan dengan kemajuan
daerahnya. Daerah maju adalah daerah yang masyarakatnya maju dan sejahtera. Di indonesia
banyak daerah kaya tapi belum tentu sebagai daerah maju, daerah kaya yang potensi sumber
daya alamnya dikelola belum tentu menjadi daerah maju sepanjang masyarakatnya hanya jadi
penonton dan bukan bagian dari pelaku bisnis atau investor.

FTZ dan Alih Teknologi


Seringkali Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dikaitkan juga dengan investasi, hal
demikian menjadi tujuan utama dari pemberian fasilitas tersebut. Saat ini yang perlu dipahami
adalah bagaimana sebuah investasi dapat memberikan keuntungan yang tidak saja berjangka
pendek namun dapat memberikan keuntungan berjangka panjang. Keuntungan jangka panjang
tidak sepenuhnya berupa uang atau materi, namun lebih menitikberatkan pada hal-hal yang
bersifat modal keahlian atau kemampuan (skill).

Sekali lagi Penulis tidak menampikkan bahwa Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas telah
memberikan angin segar akan murahnya barang-barang impor terutama kendaraan bermotor dan
elektronik, namun hal itu bukan tujuan utama dari pemberian fasilitas ini, oleh karena itu
pemerintah dan masyarakat perlu mengoptimalkan kesempatan ini agar dapat meningkatkan
kesejahteraan. Dengan menitikberatkan pada keuntungan atau manfaat jangka panjang, maka
paradigma menjadi investor dan pelaku bisnis di negeri sendiri dapat diwujudkan.

Melalui investasi akan terserap tenaga kerja, hal ini juga menjadi peluang yang baik bagi
masyarakat yang memutuskan untuk menjadi pekerja, namun perlu diingatkan bahwa bekerja
bukan sekedar melakukan rutinitas namun bagaimana bekerja sebagai upaya untuk mencipta dan
melayani. Sehingga setiap pekerja dapat merasakan kemajuan dan kesejahteraan. Di Singapura
negara tetangga terdekat dengan wilayah Batam, Bintan, Karimun memilki turnover (arus keluar
masuk tenaga kerja) yang tinggi, salah satu penyebabnya karena kebutuhan perusahaan akan para
pekerja ahli terus meningkat, sehingga pekerja yang terus mengembangkan dirinya akan
mendapatkan tawaran upah dan fasilitas yang semakin tinggi, oleh sebab itu terjadi turnover.
Diharapkan para pekerja di daerah-daerah industri pada kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas ini nantinya juga akan sama dengan Singapura dan Cina sebagai negara
perbandingan. Maka para negara PMA tidak perlu mengirimkan tenaga kerjanya dalam jumlah
yang besar, pemerintah dan masyarakat harus mampu menyiapkan sumber daya ini untuk
mengurangi pemakaian tenaga asing yang ahli.

Singkatnya yang perlu beralih adalah teknologinya, bukan tenaga ahlinya, artinya tenaga ahli
dapat diciptakan seperti teknologi, jadi setiap investasi asing yang berdiri di kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas harus dapat memberikan kesempatan alih teknologi
kepada tenaga lokal. Hal ini sudah terjadi di Cina, sebagai bukti beberapa produsen elektronik,
telekomunikasi, barang-barang industri dari plastik, karet, alumunium asal Amerika dan Eropa
telah mempercayakan sepenuhnya kepada negara Cina untuk memproduksi barang-barang
tersebut, setelah diproduksi barang-barang tersebut dikirim ke negara pemesan dan di ekspor ke
berbagai negara termasuk Indonesia. Tak heran sebuah barang elektronik merek asal Jepang atau
Amerika bertuliskan made in China

Dengan demikian akan berpengaruh juga pada standar upah pekerja, meskipun dianggap murah
oleh pelaku PMA karena konversi nilai mata uang Rupiah terhadap mata uang asing, namun
tidak berarti murah bagi masyarakat, artinya tenaga kerja lokal dapat memperoleh upah yang
tinggi menurut standar yang berlaku di masyarakat kita. Apalagi jika pekerja lokal mampu
bersaing dan memilki keahlian yang sama dengan tenaga asing akibat alih teknologi, maka bukan
tidak mungkn seluruh atau banyak pabrik di kawasan industri seperti Batam atau Lobam
dipercaya memproduksi barang asal negara maju mulai dari komponen sampai pengepakan. Jika
seluruh komponen pemerintah dan masyarakat sepakat bahwa tujuan diberikannya fasilitas
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas seperti di atas, maka Batam, Bintan, Karimun akan
cepat berkembang dan menjadi model bagi daerah lain, bahkan berskala internasional.
FTZ dan Pendidikan dan Sosialisasi
Bagaimana kesiapan sumber daya masyarakat dengan diberlakukannya fasilitas Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas ini? Bagaimana sebuah teknologi dapat beralih dari negara pencipta
ke negara pembuat? Alih teknologi bukanlah hal yang sulit, bukan pula hal yang tidak mungkin
terjadi, semua dapat terwujud manakala keinginan muncul dan ada gerakan awal yang bernama
take action. Gerakan awal ini telah dilakukan oleh pemerintah pusat (presiden dan menteri)
membawa konsep FTZ ke hadapan lembaga legislatif, di daerah pemerintah provinsi, kabupaten
dan kota terus memperjuangkan sampai membentuk Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan
Kawasan, media cetak dan elektronik tak henti-hentinya melaporkan perkembangan FTZ,
sekarang saatnya masyarakat dengan semangat membangun melakukan gerakan awal.

Gerakan awal dapat dimulai dari hal yang paling dekat dengan diri kita, yakni profesi, hobby,
pekerjaan dan sebagainya. Guna mengembangkan hal-hal tersebut di atas maka ada cara atau
media yang efektif yakni pendidikan, baik formal maupun informal. Pendidikan sangat penting
dan termasuk dalam prioritas dalam membangun bangsa. Apabila keinginan alih teknologi
muncul, menjadi negara produsen dan negara pengekspor, maka pendidikan adalah jalannya. Di
dalam pendidikan ada proses belajar, ada proses analisis, ada proses mencipta dan sebagainya.

Sudah saatnya wilayah yang memilki fasilitas Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
menyiapkan sarana pendidikan bagi masyarakatnya. Lebih lagi dengan spesifikasi khusus yang
dapat mendukung di bidang investasi industri barang, teknologi, pariwisata dan sebagainya.
Perguruan tinggi yang sudah berskala nasional dan internasional dapat membuka jurusan atau
fakultas baru yang lebih berfokus pada kegiatan yang berkenaan dengan aktivitas Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas, dengan demikian dalam kurun waktu lima tahun akan tersedia
tenaga ahli profesional di bidangnya. Hal ini memberikan peluang yang besar untuk anak bangsa
menjadi ahli dan mampu bersaing dengan tenaga ahli asing. Bukan tidak mungkin dalam kurun
waktu sepuluh tahun alih teknologi dapat terjadi.

Selain bidang pendidikan, Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan perlu
menyelenggarakan program studi banding ke beberapa negara yang telah berhasil menerapkan
FTZ dengan segala model dan sistemnya. Melakukan penelitian-penelitian, survey secara berkala
menganai kemajuan pelaksanaan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, menyelenggarakan
seminar, workshop, pelatihan dan sebagainya sebagai upaya sosialisasi dan membuka wawasan
bagi masyarakat dan pemerintah.

Pembuatan berbagai media informasi guna mempromosikan kawasan yang memilki fasilitas
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas antara lain dengan membangun website, promotion
dvd, brochure, leaflet, poster dan beberapa bentuk promosi melalui kunjungan ke daerah-darah
dan negara-negara investor, mengikuti pameran investasi berskala nasional dan internasional,
serta menjadi tuan rumah berbagai penyelenggaraan penting dan strategis seperti pemilihan Duta
Wisata Indonesia, Kongres Kamar Dagang dan Industri, memprakarsai pertemuan negara-negara
penyelenggara FTZ. penyelenggaraan pertandingan olah raga nasional dan internasional,
penyelenggaraan program kunjungan wisata Batam, Bintan, Karimun sampai Kepulauan Riau,
Jika perlu mempromosikan investasi Batam, Bintan dan Karimun dengan memilih duta investasi
yang profesional dan beragam kegiatan lainnya. (bag 1. 1-2009 lendyfreetradezone@yahoo.com)

PERATURAN MENTERI KEUANGAN


NOMOR 45/PMK.03./2009
TENTANG
TATA CARA PENGAWASAN, PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA
PELUNASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA
PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN
DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ ATAU PENYERAHAN BARANG
KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI
TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS
MENTERI KEUANGAN,

Menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (4), Pasal 15 ayat


(4), dan Pasal 23 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009
tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan
atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di
Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta
Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah Atas Pengelitaran dan/atau Penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain
Dalam Daerah Pabean Dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean Ke Kawasan Bebas;

Mengingat

1.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum


dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara, Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir denganUndang-Undang Nomor 28 Tahun
2007(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4740);

2.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak


Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);

3.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4775);

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000tentang Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061) sebagaimana
telah diubah denganPeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2002(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4199);

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009tentang Perlakuan


Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Pengawasan Atas
Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada
Di Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas Dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4970);

6.

Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA


PENGAWASAN, PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA
PELUNASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK

PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN


DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ ATAU
JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN
DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ATAU
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA
PAJAK DART TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE
KAWASAN BEBAS.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:

1.

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang


selanjutnya disebut sebagai Kawasan Bebas, adalah suatu
kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga
bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

2.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean adalah Daerah Pabean selain


Kawasan Bebas dan Tempat Penimbunan Berikat.

3.

Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

4.

Endorsement adalah pernyataan mengetahui dari pejabat/pegawai


Direktorat Jenderal Pajak atas pemasukan Barang Kena Pajak dari

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas,


berdasarkan penelitian formal atas dokumen yang terkait dengan
pemasukan Barang Kena. Pajak tersebut.

Pasal 2

(1)

Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke


Tempat Lain Dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan
Nilai.

(2)

Dalam hal, Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong rnewah, atas
pengeluaran Barang Kena Pajak dimaksud terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

(3)

Saat terutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari
Kawasan Bebas.

(4)

Dasar Pengenaan Pajak atas Pajak Pertambahan Nilai yang


terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah:

a.

Harga Jual, atau

b.

Harga Pasar Wajar dalam hal penyerahan antar cabang,


penyerahan dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya, atau
pemberian cuma-cuma.

(5)

Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang terutang harus dipungut dan disetor ke kas
negara oleh Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak
melalui kantor pos atau bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

(6)

Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (5)


diisi dengan cara:

a.

Pada kolom nama dan kolom Nomor Pokok Wajib Pajak diisi
dengan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Orang yang
menerima Barang Kena Pajak;

b.

Pada kolom Wajib Pajak/penyetor dicantumkan juga nama


dan Nomor Pokok Wajib Pajak Orang yang mengeluarkan
Barang Kena Pajak.

(7)

Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama pada
saat Barang Kena Pajak tersebut dikeluarkan dari Kawasan Bebas.

(8)

Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (5)


yang dilampiri dengan invoice dan pemberitahuan pabean
merupakan dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak
Standar.

(9)

Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar dengan menggunakan


Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilampiri dengan invoice dan
pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (8),
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menerima Barang Kena Pajak sesuai
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 3

(1)

Barang Kena Pajak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke


Tempat Lain Dalam Daerah Pabean apabila telah dipenuhi
kewajiban pabean sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan.

(2)

Termasuk dalam pemenuhan kewajiban pabean sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) adalah penyampaian pemberitahuan
pabean yang dilampiri dengan:

a.

invoice atau faktur penjualan atau dokumen penyerahan


barang dalam hal tertentu; dan

b.

Surat Setoran Pajak (SSP)_sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 ayat (5).

(3)

Penyerahan barang dalam hal tertentu sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf a meliputi:

a.

penyerahan antar cabang;

b.

penyerahan dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya; atau

c.

pemberian cuma-cuma.

Pasal 4

(1)

Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa


Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean atau ke Tempat Penimbunan Berikat terutang Pajak
Pertambahan Nilai.

(2)

Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) adalah pada saat dimulainya pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di Tempat
Lain Dalam Daerah Pabean atau di Tempat Penimbunan Berikat.

(3)

Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) adalah pada waktu diketahui terjadi lebih
dahulu dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

a.

saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena


Pajak tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang
memanfaatkannya;

b.

saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud


dan/ atau nilai penggantian Jasa Kena Pajak tersebut
dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;

c.

saat harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau


nilai penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak
yang menyerahkannya; atau

d.

saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud


dan/atau nilai penggantian Jasa Kena Pajak tersebut dibayar,
baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang
memanfaatkannya.

(4)

Dalam hal waktu dari peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) tidak diketahui, saat dimulainya pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah tanggal
ditandatanganinya kontrak.

(5)

Dasar Pengenaan Pajak atas Pajak Pertambahan Nilai yang


terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
Harga Jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Nilai
Penggantian Jasa Kena Pajak.

(6)

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dipungut oleh Orang yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di Tempat
Lain Dalam Daerah Pabean atau di Tempat Penimbunan Berikat
pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) atau ayat (4).

(7)

Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut sebagaimana


dimaksud pada ayat (6), disetor ke kas negara oleh Orang yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa
Kena Pajak di Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau di Tempat
Penimbunan Berikat, melalui kantor pos atau bank persepsi yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) paling lama pada tanggal 15 bulan
berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.

(8)

Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (7)


yang dilampiri dengan invoice atau kontrak merupakan dokumen
yang dipersamakan dengan Faktur Pajak.

(9)

Dalam hal Orang yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak

Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan Pengusaha Kena


Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang disetorkan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilampiri dengan
invoice atau kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran.

(10)

Dalam hal Orarig yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak


Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak bukan merupakan Pengusaha
Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dengan menggunakan SSP lembar ke-3
wajib dilaporkan paling lama pada tanggal 20 pada bulan yang
sama dengan bulan penyetoran ke Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Orang tersebut.

Pasal 5

Tata cara penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan


Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan pemenuhan
kewajiban perpajakan atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean adalah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan
ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri

Keuangan ini.

Pasal 6

(1)

Pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah


Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas
melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

(2)

Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa


Kena Pajak dari Tempat Lain Daerah Pabean atau dari Tempat
Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai.

Pasal 7

(1)

Atas pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)


wajib dibuatkan Faktur Pajak Standar sesuai peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.

(2)

Saat pembuatan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) adalah paling lama pada saat pengiriman Barang
Kena Pajak ke Kawasan Bebas.

(3)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau


Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
wajib dibuatkan Faktur Pajak Standar sesuai peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.

(4)

Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan


ayat (3) harus diberi cap PPN TIDAK DIPUNGUT
BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2009 oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan.

Pasal 8

(1)

Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai


dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diberikan apabila
Barang Kena Pajak Berwujud tersebut benar-benar telah masuk di
Kawasan Bebas yang dibuktikan dengan dokumen yang telah
diberikan Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal
Pajak.

(2)

Dokumen yang harus disampaikan dalam


rangkaEndorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pemberitahuan pabean yang telah didaftarkan pada kantor pabean,
yang dilampiri dengan:

a.

fotokopi Faktur Pajak Standar (lembar pembeli);

(3)

b.

fotokopi Bill of Lading atau Airway Bill; dan

c.

fotokopi invoice.

Penyampaian lampiran dokumen sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) harus disertai dengan menunjukkan dokumen aslinya.

(4)

Dalam hal pengurusan pemberitahuan pabean dilakukan oleh


pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, dokumen yang harus
disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dilampiri dengan Surat kuasa dari pengusaha
yang melakukan pemasukan barang ke Kawasan Bebas.

(5)

Dalam hal pemberitahuan pabean tidak sesuai dengan dokumendokumen yang harus dilampirkan dalam rangka Endorsement,
Barang Kena Pajak tetap dapat dikeluarkan dari pelabuhan/bandar
udara yang ditunjuk dan atas pemasukan Barang Kena Pajak tidak
dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak
dipungut.

(6)

Tata cara Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal


Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
Keuangan ini.

(7)

Penugasan pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam


rangka melakukan Endorsementsebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di kantor pabean ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

Pasal 9

Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan di Kawasan Bebas sejak berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan ini, tidak dapat diterbitkan Faktur Pajak.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan pengukuhan Pengusaha


Kena Pajak di Kawasan Bebas yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 11

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:

1.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 583/KMK.03/2003 tentang


Pelaksanaan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah Di Kawasan Berikat (Bonded

Zone) Daerah Industri Pulau Batam;

2.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 393/KMK.03/2004 tentang


Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dan Bea Masuk, Di Kawasan Berikat (Bonded Zone)
Daerah Industri Pulau Batam;

3.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2005 tentang


Perlakuan Pajak Pertambahan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dan Bea Masuk, di Kawasan Berikat (Bonded Zone)
Daerah Industri Pulau Batam;

4.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.03/2005 tentang


Perlakuan Perpajakan dan Kepabeanan Dalam Rangka Proyek
Pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
02/PMK.011/2009,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 12

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April


2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman


Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta.

pada tanggal 5 Maret 2009

MENTERI KEUANGAN

SRI MULYANI INDRAWATI

Lampiran.

LAMPIRAN I

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR

45 / PMK.03 / 2009 TENTANG TATA CARA

PENGAWASAN,

PENGADMINISTRASIAN,

PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI DAN /ATAU PAJAK

PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS

PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN

BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA

KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE

TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN

DAN

PEMASUKAN

PENYERAHAN

DAN /ATAU

BARANG

JASA

KENA

DAN / ATAU

KENA

PAJAK

PAJAK

DARI

TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE

KAWASAN BEBAS

TATA CARA PENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK


PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DAN
PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGELUARAN BARANG KENA
PAJAK (BKP) DAN/ ATAU PENYERAHAN BKP TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA
KENA PAJAK (JKP) DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH
PABEAN

I.

UMUM

a.

Atas pengeluaran BKP dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
(TLDDP) terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah oleh Orang yang mengeluarkan BKP.

b.

Atas penyerahan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari Kawasan Bebas ke
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau ke Tempat Penimbunan Berikat dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai.

c.

Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang adalah:

Harga Jual untuk pengeluaran BKP Berwujud dan BKP Tidak Berwujud;

Nilai Penggantian untuk penyerahan Jasa Kena Pajak;

Harga Pasar Wajar dalam hal penyerahan BKP antar cabang, penyerahan BKP
dari kantor pusat ke cabang atau sebahknya, atau pemberian cuma-cuma BKP.

d.

Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah adalah:

pada saat BKP dikeluarkan dari Kawasan Bebas;

pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud


dan/atau Jasa Kena Pajak di Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau di Tempat
Penimbunan Berikat (TPB).

e.

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang atas pengeluaran BKP dari Kawasan Bebas harus
dipungut dan disetor oleh Orang yang mengeluarkan BKP melalui kantor pos atau
bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP).

f.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan BKP Tidak Berwujud atau
JKP dari Kawasan Bebas ke TLDDP atau Tempat Penimbunan Berikat (TPB)
dipungut dan disetor ke kas negara oleh Orang yang memanfaatkan BKP Tidak

Berwujud atau JKP di TLDDP atau Tempat Penimbunan Berikat (TPB) melalui
kantor pos atau bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

g.

Saat penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang:

paling lama pada saat BKP dikeluarkan dari Kawasan Bebas;

paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya
pemungutan.

II.

CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK


PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH:

a.

Pengeluaran BKP dari Kawasan Bebas ke TLDDP

1)

Barang asal Luar Daerah Pabean PTA (pengusaha di Kawasan Bebas)


memasukkan 10 unit TV plasma (termasuk BKP yang tergolong mewah
dengan tarif 10%) dari Luar Daerah Pabean yang kemudian dijual
seluruhnya kepada PT B (pengusaha di TLDDP) dengan harga jual per
unit @ Rp 6.000.000,00. Pengiriman barang dilakukan melalui pelabuhan
Sekupang Batam kepada PT B (pengusaha di TLDDP) tanggal 25 April
2009.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan


Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan ketentuan
perpajakan atas pengeluaran BKP tersebut adalah sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak (10 X 6.000.000,00)

Rp. 60.000.000,00

PPN yang terutang

(10% X DPP)

Rp.

PPnBM yang terutang

(10% X DPP)

6.000.000,00

Rp. 6.000.000,00

PT. A (orang yang mengeluarkan barang) memungut dan menyetor


Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP);

Pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak


Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah paling
lama tanggal 25 April 2009;

Surat Setoran Pajak (SSP) diisi dengan cara:

pada kolom nama dan kolom NPWP diisi dengan nama dan NPWP
PT B;

pada kolom Wajib Pajak/penyetor selain dicantumkan nama

penyetor, juga dicantumkan nama dan NPWP PT A.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas pengeluaran TV plasma


tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT B
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

2)

Barang asal Kawasan Bebas

PTA (pengusaha di Kawasan Bebas) memasukkan komponen TV dari


Luar Daerah Pabean. Kemudian PTA merakit komponen TV tersebut
dengan menambahkan komponen lokal sehingga menjadi TV plasma
sebanyak 10 unit dengan merek TV BONY (termasuk BKP yang
tergolong mewah dengan tarif 10%). Selanjutnya PT A menjual seluruh
unit TV plasma tersebut kepada PT C (pengusaha di TLDDP) dengan
harga jual per unit @ Rp 5.000.000,00. Pengiriman barang dilakukan
melalui pelabuhan Batu Ampar Batam tanggal 25 Maret 2009.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan


Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan ketentuan
perpajakan atas pengeluaran BKP tersebut adalah sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak (10 X 5.000.000,00)

Rp 50.000.000,00

PPN yang terutang (10% x DPP)

Rp 5.000.000,00

PPnBM yang terutang (10% X DPP)

Rp 5.000.000,00

PT A (Orang yang mengeluarkan barang) memungut dan menyetor


PPN dan PPnBM yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP));

Pemungutan dan penyetoran Pajak.Pertambahan Nilai atau Pajak


Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang (oleh PT.A) paling lama pada tanggal 25 Maret 2009;

Surat Setoran Pajak (SSP) diisi dengan cara:

pada kolom nama dan kolom NPWP diisi dengan nama dan NPWP
PT C;

pada kolom Wajib Pajak/penyetor selain dicantumkan nama


penyetor, juga dicantumkan nama dan NPWP PT A.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas pengeluaran TV tersebut


merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT C sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

3)

Barang asal TLDDP

PTA (pengusaha di Kawasan Bebas) membeli 10 unit TV plasma


(termasuk BKP yang tergolong mewah dengan tarif 10%) dari PT X di
Jakarta dengan Harga per unit Rp 4.000.000,00. Kemudian PT. A menjual
seluruhnya kepada PT Y di Medan dengan harga jual per unit @ Rp
5.000.000,00. Pengiriman barang dilakukan, melalui pelabuhan Sekupang
Batam tanggal 25 April 2009.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan


Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan ketentuan
perpajakan atas pengeluaran BKP tersebut adalah sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak (10 X 5.000.000,00)

Rp 50.000.000,00

PPN yang terutang (10% X DPP)

Rp

5.000.000,00

PPnBM yang terutang (10% X DPP)

Rp

5.000.000,00

PT A (Orang yang mengeluarkan barang) memungut dan menyetor


Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP));

Pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak


Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang (oleh PT. A) paling lama pada tanggal 25 April 2009;

Surat Setoran Pajak (SSP) diisi dengan cara:

pada kolom nama dan kolom NPWP diisi dengan nama dan NPWP
PT Y;

pada kolom Wajib Pajak/penyetor selain dicantumkan nama


penyetor, juga dicantumkan nama dan NPWP PT A.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas pengeluaran TV plasma


tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT Y
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

b.

Penyerahan BKP Tidak Berwujud

PT X (pengusaha di Kawasan Bebas) pemilik merek dagang BATAMIA


menandatangani kontrak penggunaan merek BATAMIA dengan PT Y di Jakarta
dengan nilai kontrak penggunaan merek adalah sebesar Rp500.000.000,00. PT.
Y mulai menggunakan merek tersebut pada awal bulan Juh 2009.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan ketentuan perpajakan


atas penyerahan BKP Tidak Berwujud tersebut adalah sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak

Rp 500.000.000,00

PPN yang terutang (10% X DPP)

Rp 50.000.000,00

PPN yang terutang dipungut dan disetor oleh PT Y dengan menggunakan


SSP paling lama tanggal 15 Agustus 2009;

Surat Setoran Pajak (SSP) pada kolom nama dan kolom NPWP diisi
dengan nama dan NPWP PT Y;

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh PT Y merupakan Pajak


Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT Y sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

c.

Penyerahan JKP

PT A (pengusaha di Kawasan Bebas) melakukan jasa layanan perbaikan purna


jual bagi pengguna TV Plasma merek BONY. Pada tanggal 31 Agustus 2009
PT A melakukan jasa perbaikan kepada tuan Andi (PKP di Medan). Atas jasa
perbaikan tersebut tuan Andi dikenakan biaya Rp500.000,00.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan JKP


tersebut dan ketentuan perpajakan sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak

Rp 500.000,00

PPN yang terutang (10% X DPP)

Rp 50.000,00

PPN yang terutang dipungut dan disetor oleh Tuan Andi dengan
menggunakan SSP paling lama tanggal 15 September 2009;

Surat Setoran Pajak (SSP) pada kolom nama dan kolom NPWP diisi
dengan nama dan NPWP Tuan Andi;

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Tuan Andi merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan oleh Tuan Andi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

d.

Pengeluaran BKP dari Pusat di Kawasan Bebas ke Cabang di TLDDP atau dari
Cabang di Kawasan Bebas ke Cabang di TLDDP atau dari Cabang di Kawasan
Bebas ke Pusat di TLDDP.

PT. A (pengusaha di Kawasan Bebas) memasukkan komponen TV dari Luar


Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp 20.000.000,00. Kemudian PT. A merakit
komponen TV tersebut dengan menambahkan komponen lokal sehingga
menjadi TV plasma sebanyak 10 unit dengan merek TV BONY (termasuk
BKP yang tergolong mewah dengan tarif 10%). Selanjutnya pada tanggal 25
Maret 2009 PT. A menyerahkan seluruh unit TV plasma tersebut kepada cabang
PT. A di Medan (Cabang PT. A merupakan PKP) dengan harga pasar wajar Rp.
30.000.000,00.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan ketentuan perpajakan
atas pengeluaran BKP tersebut sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak

Rp 30.000.000,00

PPN yang terutang (10% X DPP)

Rp 3.000.000,00.

PPnBM yang terutang (10% X DPP)

Rp 3.000.000,00

PT A (orang yang mengeluarkan barang) memungut dan menyetor Pajak


Pertambahan Nilai atau, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP);

Pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak


Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
(oleh PT A) paling lama pada tanggal 25 Maret 2009;

Surat Setoran Pajak (SSP) diisi dengan cara:

pada kolom nama dan kolom NPWP diisi dengan nama dan NPWP
PT A cabang Medan,

pada kolom Wajib Pajak/penyetor selain dicantumkan nama penyetor,

juga dicantumkan nama dan NPWP PT A cabang Batam.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas pengeluaran TV tersebut


merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT A cabang
Medan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

MENTERI KEUANGAN

SRI MULYANI
INDRAWATI

LAMPIRAN II

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR

45 / PMK.03 / 2009 TENTANG TATA CARA

PENGAWASAN,

PENGADMINISTRASIAN,

PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI DAN /ATAU PAJAK

PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS

PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN

BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA

KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE

TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN

DAN

PEMASUKAN

PENYERAHAN

DAN /ATAU

BARANG

JASA

KENA

DAN / ATAU

KENA

PAJAK

PAJAK

DARI

TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE

KAWASAN BEBAS

TATA CARA ENDORSEMENT ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK BERWUJUD


DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS

A.

Umum

1.

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud dari
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas inendapatkan fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah tidak dipungut, apabila Barang Kena Pajak Berwujud tersebut benar-benar
telah masuk di Kawasan Bebas.

2.

Pembuktian bahwa Barang Kena Pajak Berwujud tersebut benar-benar telah masuk
di Kawasan Bebas adalah dengan menyampaikan dokumen-dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) untuk diberikan Endorsement oleh pejabat/pegawai
Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan di kantor pabean.

3.

Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsementoleh pejabat/petugas


Direktorat Jenderal Pajak adalah Pemberitahuan pabean (PP FTZ-03) yang telah
didaftarkan pada kantor pabean, yang dilampiri dengan:

a.

Foto kopi Faktur Pajak Standar (lembar pembeh);

b.

Foto kopi Bill of Lading atau Airway Bill; dan

c.

Foto kopi Faktur Penjualan atau Invoice,

dengan menunjukkan dokumen-dokumen aslinya.

B.

Tata Cara Endorsement

1.

Dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf A angka 3 di atas


disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan di
kantor pabean.

2.

Pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak melakukan Endorsement dengan cara:

a.

Meneliti dokumen-dokumen yang disampaikan;

b.

Memastikan bahwa data dalam Bill of Lading atau Airway Bill, invoice, Faktur
Pajak dan manifest telah sesuai dengan data dalam pemberitahuan pabean;

c.

Dalam hal data dalam Bill of Lading atau Airway Bill,invoice, Faktur Pajak dan
manifest telah sesuai dengan data dalam pemberitahuan pabean,
pejabat/pegawai membubuhkan cap dan tanda tangan pada pemberitahun
pabean sebagai berikut

CATATAN DITJEN PAJAKDAPAT DIBERIKAN FASILITAS


PPN TIDAK DIPUNGUT
., (tanggal, bulan, tahun)
Mengetahui,
Pejabat/Pegawai DJP

Nama
NIP

d.

Dalam hal data dalam Bill of Lading atau Airway Bill,invoice, Faktur Pajak dan
manifest tidak sesuai dengan data dalam pemberitahuan pabean, maka
pejabat/pegawai membubuhkan cap dan tanda tangan pada pemberitahuan
pabean sebagai berikut:

CATATAN DITJEN PAJAKDATA TIDAK SESUAI, TIDAK


DAPAT DIBERIKAN FASILITAS
PPN TIDAK DIPUNGUT
.., (tanggal, bulan, tahun)
Mengetahui,

Pejabat/Pegawai DJP

Nama
NIP

3.

Proses Endorsement pemberitahuan pabean dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja
sejak dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diterima
oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan di kantor pabean
yang wilayah kerjanya meliputi pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk.

4.

Lembar ke-4 Pemberitahuan pabean yang telah diberikanEndorsement dan


dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diadministrasikan
di Kantor Pelayanan Pajak di Kawasan Bebas.

MENTERI KEUANGAN

SRI MULYANI
INDRAWATI

Selama beberapa hari ini (30/08-03/09, 2012), tim konsultan Value Alignment Advisory
(VA2) berada di Pulau Batam Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), diundang oleh Kepolisian
Daerah Kepulauan Riau untuk ikut serta memikirkan peranan Polda Kepri untuk mensukseskan
pelaksanaan FTZ (free trade zone) di sana. Provinsi Kepri merupakan wilayah yang memiliki
kekhususan secara geografis karena berbatasan dengan negara tetangga sehingga merupakan
pintu masuk lintas batas antara Indonesia, Singapura, Malaysia dan Vietnam yang memiliki luas
wilayah 252.602 Km2 dengan luas perairan 242.497 Km2 (96%). Provinsi Kepri yang
wilayahnya didominasi dengan perairan merupakan daerah lintas kepulauan yang menjadi
lintasan strategis jalur perekonomian, perdagangan, pariwisata, industri dan investasi. Dari segi
sumber daya alam Kepri memiliki pertambangan, gas alam. Dengan kondisi wilayah 96% lautan
mendukung bagi pengembangan usaha budidaya perikanan dan pariwisata. Dengan potensi
wilayah Kepri yang besar pemerintah menciptakan kawasan ekonomi khusus atau disebut juga
FTZ.
FTZ adalah wilayah dimana ada beberapa hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota
dihapuskan dan mempermudah urusan birokrasi dengan harapan menarik bisnis baru dan
investasi asing. Pelaksanaan FTZ di wilayah Batam, Bintan, Karimun dan Tanjung Pinang adalah
amanat yang terkandung dalam UU No. 44 tahun 2007 serta peraturan pelaksanaan yang berada
dibawahnya. Sebagai amanat undang-undang, maka menjadi kewajiban bagi setiap instansi
terkait untuk melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten.

Pelaksanaan FTZ di wilayah

Batam, Bintan dan Karimun (BBK) adalah bagian dari strategi pembangunan perekonomian
Indonesia untuk dapat berinteraksi secara produktif dalam kancah perekonomian regional dan
internasional. Dengan demikian, pelaksanaan FTZ ini merupakan kepentingan nasional untuk
meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di tengah globalisasi ekonomi dunia yang semakin
deras dengan tuntutan deregulasi, debirokratisasi, dan penghapusan berbagai proteksi baik tarif
maupun nontarif. Karena menyangkut kepentingan nasional maka pelaksanaan FTZ di wilayah
Batam, Bintan dan Karimun harus segera direalisasikan. Sebagaimana dijelaskan dalam UU
No.44 tahun 2007, pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas akan
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan perekonomian nasional pada umumnya dan
perekonomian wilayah Batam, Bintan dan Karimun pada khususnya.
Sebagai amanat undang-undang maka menjadi kewajiban bagi setiap instansi terkait untuk
melaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Untuk itu, Gubernur Kepri mencanangkan Dual
Track Strategy. Pertama, pengembangan kawasan FTZ Batam, Bintan dan Karimun (BBK),
sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 44 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan dan

Pelabuhan Bebas (FTZ). Serta PP No. 46, 47, 48 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kawasan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun. Kedua, Kawasan Natuna, Anambas,
dan Lingga (NAL) sebagai pusat pengembangan kelautan dan perikanan, pertanian dan
pariwisata sertaconnectivity. Langkah-langkah tersebut diatas merupakan bagian rencana strategi
pengembangan wilayah Kepri oleh Gubernur Kepri.
Dengan adanya sistem FTZ ini, banyak sekali dampak positif yang akan didapatkan oleh
pemerintah Indonesia, khususnya bagi wilayah setempat, yang diantaranya adalah
penyederhanaan sistem birokrasi, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan serta
meningkat investor, penghapusan bea dan tarif ekspor, meningkatkan devisa dan hasil ekspor,
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Selain dampak positif, tentunya dengan diberlakukannya FTZ di kawasan BBK dapat pula
menimbulkan dampak negatif, khususnya yang menyangkut kerawanan keamanan bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini setidaknya akan menyulitkan Indonesia dalam
memberikan pengamanan, karena dengan diberlakukannya FTZ di BBK tentunya hubungan yang
terjadi bukan saja bentuk lokal (negara Indonesia saja), namun juga telah melibatkan beberapa
negara (Singapura dan Malaysia).
Tingkat kerawanan yang dirasa berat adalah ketika terjadinya trans national crime, sehingga
perlu adanya kesamaan kebijakan dari pemerintah masing masing, sehingga tingkat kerawanan
dapat ditekan semaksimal mungkin. Masalah inilah yang memerlukan pengawasan dan
pengamanan yang ekstra ketat, karena timbul masalah kriminalitas yang sudah melibatkan lebih
dari satu negara.
Pada acara kunjungan Presiden Republik Indonesia di Kepri tanggal 27 April 2012, Presiden
menyetujui rencana strategi yang dipaparkan oleh Gubernur Kepri agar instansi instansi terkait
dalam pelaksanaan FTZ saling mendukung dan bersinergi dengan rencana strategi Gubernur
Kepri. Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, maka Provinsi Kepri
dijadikan kawasan FTZ khususnya di tiga kawasan, yaitu: Batam, Bintan dan Karimun
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya yaitu pada Peraturan Pemerintah No. 46, 47 dan
48 tahun 2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam, Bintan dan
Karimun.

Tentunya dengan adanya kebijakan ini akan sangat berpengaruh besar terhadap situasi dan
kondisi wilayah nusantara khususnya di Kepri, terutama di tiga kawasan tesebut, baik yang
menyangkut masalah perubahan sosial budaya, politik, ekonomi maupun keamanan. Masalah
keamanan dan kepastian hukum di kawasan FTZ akan sangat ditentukan oleh faktor geografi,
demografi, politis dan sumber daya alam. Secara geografis daerah BBK berbatasan dengan
beberapa negara yaitu, Singapura, Malaysia dan Vietnam. Di samping itu, kawasan BBK juga
terletak diwilayah perairan yang merupakan jalur pelayaran internasional yang sangat padat di
lewati kapal dagang atau niaga, sehingga sangat rentan terjadinya kejahatan antar negara.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2012
TENTANG
PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA
LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA
BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN
PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
lihat di pasal 3nya..

klo ngomongin soal endorsement, itu artinya pemasukan bkp ke kawasan bebas (batam). yg layak mendapat fasilitas
ppn tidak dipungut hanya pembeli yang memasukkan bkp ke kawasan bebas yang ftz 03 nya sudah mendapat
endorse dari kpp madya batam.
bila ternyata ftz03 nya belum mendapat endorsement, maka penjual harus melakukan penggantian faktur pajak,
menggantinya ke kode fp 011.

TATA CARA ENDORSEMENT


TATA CARA ENDORSEMENT ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK (BKP)
BERWUJUD DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS
A. Umum
1.

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tertuang atas
penyerahan BKP Berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan bebas mendapatkan fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, apabila
BKP berwujud tersebut benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas.

2.

Pembuktian bahwa BKP Berwujud tersebut benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas adalah dengan
menyampaikan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) untuk
diberikan Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan di kantor pabean.

3.

Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement oleh pejabat/petugas Direktorat Jenderal Pajak adalah
Pemberitahuan Pabean ( PP FTZ-03 ) yang telah didaftarkan pada kantor pabean, yang dilampiri dengan :

a.
b.
c.
d.
e.

Foto kopi Faktur Pajak (lembar pembeli);


Foto kopi Bill of Lading, Airway Bill
Foto kopi Faktur Penjualan atau Invoice
Foto kopi BC1.1 penerimaan Manifes Inward
Foto kopi Inward Manifes
Dengan menunjukan dokumen-dokumen aslinya.

4.

Penerbitan Faktur Pajak dan Invoice tidak boleh melewati tanggal pengiriman ( tanggal Bill of Lading, Airway Bill ).

5.

Faktur Pajak yang diterbitkan menggunakan kode seri 070

6.

Faktur Pajak dan Invoice yang diterbitkan wajib dibubuhkan dengan cap PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK
DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 10 TAHUN 2012

7.

Penulisan keterangan nama pengirim, nama penerima dan nama barang pada Bill of Lading, Airway Bill harus sesuai
dengan Faktur Pajak

B. Tata Cara Endorsement


1.

Dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf A angka 3 di atas disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang ditempatkan di kantor pabean.

2.

Pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak melakukan Endorsement dengan cara:

a.
b.

Meneliti dokumen-dokumen yang disampaikan;


Memastikan bahwa data dalam Bill of Lading, Airway Bill, Invoice, Faktur Pajak dan Manifes telah sesuai dengan
data dalam Pemberitahuan;
Memastikan bahwa Faktur Pajak telah diisi lengkap sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai;
Dalam hal data dalam Bill of Lading, Airway Bill, Invoice, Faktur Pajak dan Manifes telah sesuai dengan data dalam
Pemberitahuan Pabean, pejabat/pegawai membubuhkan cap dan tanda tangan pada Pemberitahuan Pabean sebagai
berikut :

c.
d.

CATATAN DITJEN PAJAK

DAPAT DIBERIKAN FASILITAS PPN TIDAK DIPUNGUT


, (tanggal, bulan, tahun)
Mengetahui,
Pejabat/Pegawai DJP

Nama
NIP

e.

Dalam hal data dalam Bill of Lading, Airway Bill, Invoice, Faktur Pajak dan Manifes tidak sesuai dengan data
dalam Pemberitahuan Pabean atau Faktur Pajak tidak diisi secara lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, maka pejabat/pegawai membubuhkan cap dan tanda tangan pada
Pemberitahuan Pabean sebagai berikut :

CATATAN DITJEN PAJAK


DATA TIDAK SESUAI, TIDAK DAPAT DIBERIKAN FASILITAS PPN
TIDAK DIPUNGUT
, (tanggal, bulan, tahun)
Mengetahui,
Pejabat/Pegawai DJP

Nama
NIP

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


_____________________________________________________
______________________________________
30 Maret 2009
SURAT EDARAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 39/PJ/2009
TENTANG
TATA CARA ENDORSEMENT, PEREKAMAN,

PEMBERKASAN

DAN ANALISA DOKUMEN PEMBERITAHUAN


PABEAN DI KAWASAN BEBAS
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 45/PMK.03/2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan telah diterbitkannya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 45/PMK.03/2009 tentang Tata Cara
Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta
Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain
Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Hal-hal yang harus ditegaskan sehubungan dengan
pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan tersebut
adalah sebagai berikut:
a.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas, yang selanjutnya disebut dengan Kawasan
Bebas, adalah suatu kawasan yang berada
dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean


sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, dan cukai.
b.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan
ruang udara di atasnya, serta tempat
tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas
Kontinen
yang di dalamnya berlaku Undang-Undang
Kepabeanan.
c.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang
selanjutnya disebut dengan TLDDP adalah Daerah
Pabean selain Kawasan Bebas dan Tempat
Penimbunan Berikat.
d.
Tempat Penimbunan Sementara adalah
bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang
disamakan dengan itu di Kawasan Pabean
untuk menimbun barang, sementara menunggu
pemuatan atau pengeluarannya.
e.
Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan
di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk
memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang
Kepabeanan.
f.
Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan
yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan
kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat
yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Kepabeanan.
g.
Pemberitahuan Pabean Free Trade Zone
yang selanjutnya disebut dengan PPFTZ adalah
dokumen Pemberitahuan Pabean yang digunakan
dalam rangka pemasukan barang ke
Kawasan Bebas atau pengeluaran barang dari
Kawasan Bebas, yang terdiri dari tiga (3) jenis,
yaitu:
1)
PPFTZ-01 untuk:
a)
pemasukan barang dari Luar
Daerah Pabean ke Kawasan Bebas;

b)
pengeluaran barang dari
Kawasan Bebas Ke Luar Daerah Pabean;
c)
pengeluaran barang dari
Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean.
2)
PPFTZ-02 untuk:
a)
pemasukan barang dari
Tempat Penimbunan Berikat Ke Kawasan Bebas;
b)
pemasukan barang dari
Kawasan Bebas lainnya Ke Kawasan Bebas;
c)
pengeluaran barang dari
Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat;
d)
pengeluaran barang dari
Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas Lainnya.
3)
PPFTZ-03 untuk pemasukan barang
dari TLDDP ke Kawasan Bebas.
h.
Inward Manifest adalah Pemberitahuan
Pabean atas kedatangan sarana pengangkut ke
Kawasan Bebas.
i.
Outward Manifest adalah Pemberitahuan
Pabean atas keberangkatan sarana pengangkut dari
Kawasan Bebas.
j.
Endorsement adalah pernyataan
mengetahui dari pejabat/pegawai Direktorat Jenderal
Pajak
pada PP FTZ-03 atas pemasukan Barang Kena
Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
ke Kawasan Bebas, berdasarkan penelitian
formal atas dokumen yang terkait dengan
pemasukan Barang Kena Pajak tersebut.
k.
Dokumen yang terkait dengan pemasukan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
huruf j adalah:
1)
Dokumen PPFTZ-03;
2)
Inward Manifest; dan
3)
Dokumen pelengkap pabean, yang
terdiri:
a)
Fotokopi Faktur Pajak
Standar (lembar pembeli) yang telah diberi cap "PPN

TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP


NOMOR 2 TAHUN 2009";
atau Airway Bill;
atau invoice; dan

b)

Fotokopi Bill of Lading

c)

Fotokopi Faktur Penjualan

d)
Asli surat kuasa pengurusan
kepabeanan dari Pengusaha kepada Pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan/PPJK
dalam hal pengurusan kepabeanan
dilakukan oleh PPJK.
l.
Pajak Pertambahan Nilai yang
selanjutnya disebut dengan PPN adalah Pajak
Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
m.
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bintan
yang selanjutnya disebut KPP adalah instansi vertikal
Direktorat Jenderal Pajak yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Kepala Kantor Wilayah Kanwil DJP Riau dan
Kepulauan Riau yang bertugas melakukan
pengelolaan Kawasan Bebas.
n.
Unit Pelaksana Kawasan Bebas yang
selanjutnya disebut UPKB adalah instansi vertikal
Direktorat Jenderal Pajak yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada KPP,
yang khusus ditunjuk untuk melaksanakan
kegiatan endorsement, perekaman, pemberkasan
dan analisa dokumen pemberitahuan pabean di
Kawasan Bebas.
o.
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
IV yang selanjutnya disebut dengan Kasi PK IV
adalah pejabat Direktorat Jenderal Pajak
setingkat Eselon IV di KPP yang bertugas khusus
untuk melaksanakan kegiatan endorsement,
perekaman, pemberkasan dan analisa dokumen
pemberitahuan pabean di Kawasan Bebas.

p.
Pelaksana bagian endorsement yang
selanjutnya disebut dengan Petugas Endorsement adalah
pegawai Direktorat Jenderal Pajak di KPP
yang bertugas untuk melakukan Endorsement atas
dokumen PPFTZ-03 yang ditempatkan di Kantor
Pabean di Pulau Bintan atau Pulau Batam.
q.
Pelaksana bagian perekaman yang
selanjutnya disebut dengan Pelaksana Perekaman adalah
pelaksana di KPP yang bertugas melakukan
perekaman dokumen PPFTZ yang ditempatkan di
UPKB di Pulau Bintan atau Pulau Batam.
r.
Pelaksana bagian pemberkasan yang
selanjutnya disebut dengan Pelaksana Pemberkasan
adalah pelaksana di KPP yang bertugas
melakukan pemberkasan dokumen PPFTZ yang
ditempatkan di UPKB di Pulau Bintan atau
Pulau Batam.
s.
Pelaksana bagian analisa yang
selanjutnya disebut dengan Pelaksana Analisa adalah
pelaksana di KPP yang bertugas melakukan
analisa dokumen PPFTZ yang ditempatkan di UPKB
di Pulau Bintan atau Pulau Batam.
t.
Pemasukan Barang Kena Pajak berwujud
dari TLDDP atau dari Tempat Penimbunan Berikat ke
Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar
udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
u.
Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari TLDDP atau
dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan
Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
v.
Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah tidak dipungut sebagaimana
dimaksud pada huruf t diberikan apabila:
1)
Barang Kena Pajak Berwujud
tersebut benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas;

2)
Dokumen PPFTZ-03 telah
didaftarkan pada kantor pabean; dan
3)
Dokumen PPFTZ-03 telah
memperoleh Endorsement dari Petugas Endorsement.
w.
Atas pemasukan Barang Kena Pajak
berwujud dari TLDDP ke Kawasan Bebas wajib dibuatkan
Faktur Pajak Standar sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
x.
Saat pembuatan Faktur Pajak Standar
sebagaimana dimaksud pada huruf w adalah paling lama
pada saat pengiriman Barang Kena Pajak ke
Kawasan Bebas.
y.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf u wajib dibuatkan
Faktur Pajak Standar sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
z.
Faktur Pajak Standar sebagaimana
dimaksud w dan huruf y harus diberi cap "PPN TIDAK
DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2009"
oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan.
aa. Proses endorsement pemberitahuan
pabean dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja
sejak
dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada
huruf k diterima lengkap oleh
pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak
yang ditempatkan di kantor pabean yang wilayah
kerjanya meliputi pelabuhan atau bandar
udara yang ditunjuk.
ab. Dalam hal pemberitahuan pabean tidak
sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus
dilampirkan dalam rangka endorsement,
Barang Kena Pajak tetap dapat dikeluarkan dari
pelabuhan/bandar udara yang ditunjuk dan
atas pemasukan Barang Kena Pajak tidak dapat
diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah Tidak Dipungut.


2.
Tata Cara Endorsement atas Penyerahan Barang
Kena Pajak Berwujud dari Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean ke Kawasan Bebas, Pemberkasan
Pemberitahuan Pabean dan Dokumen Pelengkap Pabean di
Kawasan Bebas, Perekaman Pemberitahuan Pabean,
Pelaksanaan Analisa Data Pemberitahuan Pabean
dan bentuk formulir yang digunakan adalah
sebagaimana terlampir dalam Surat Edaran ini.
a.
Lampiran I
: Tata Cara
Endorsement atas Dokumen PPFTZ-03 atas Penyerahan
Barang Kena Pajak Berwujud
dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
ke Kawasan Bebas.
b.
Lampiran II
: Tata Cara
Pemberkasan Pemberitahuan Pabean dan Dokumen
Pelengkap
Pabean di Kawasan Bebas.
c.
Lampiran III
: Tata Cara Perekaman
Dokumen PPFTZ di Kawasan Bebas.
d.
Lampiran IV
: Tata Cara
Pelaksanaan Analisa Data Dokumen Pemberitahuan Pabean
di Kawasan Bebas.
e.
Lampiran V
: Analisa Arus Barang dari
dan ke Kawasan Bebas.
f.
Lampiran VI
: Penelitian Kebenaran
Dokumen PPFTZ-03.
g.
Lampiran VII
: Perekaman Dokumen
PPFTZ.
h.
Lampiran VIII
: Bentuk Register
Harian Penerimaan Dokumen Pemberitahuan Pabean.
i.
Lampiran IX
: Bentuk Register
Harian Perekaman Dokumen Pemberitahuan Pabean.
j.
Lampiran X
: Bentuk Laporan
Analisa Arus Barang.
k.
Lampiran XI
: Formulir PPFTZ-01.
l.
Lampiran XII
: Formulir PPFTZ-02.
m.
Lampiran XIII
: Formulir PPFTZ-03.

Demikian disampaikan untuk dapat dilaksanakan dengan


sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Maret 2009
Direktur Jenderal,
ttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098
Tembusan:
1.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2.
Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak.

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 133/PJ/2010

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR


45/PMK.03/2009 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN,
PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH ATAS PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG
KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE
TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ATAU
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK
DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 240/PMK.03/2009

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2009


tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2009 tentang Tata Cara
Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai
dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dan diterbitkannya Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 426/KMK.03/2010 tentang Penugasan Pejabat/Pegawai Direktorat Jenderal
Pajak Dalam Rangka Pengawasan atas Pemasukan Barang dari Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean ke Kawasan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun, maka dalam rangka pelaksanaan
Peraturan dan Keputusan Menteri Keuangan tersebut dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak di Kawasan Bebas, dengan ini perlu disampaikan dan ditegaskan lebih lanjut mengenai
hal-hal sebagai berikut:

I.

Hal-hal yang perlu ditegaskan dan diperhatikan sehubungan dengan pelaksanaan

Peraturan Menteri Keuangan mengenai Kawasan Bebas.


1.

Bahwa yang dimaksud dengan:

a.

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut dengan

Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk,
Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

b.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan

dan ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan Landas Kontinen
yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
c.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disebut dengan TLDDP adalah

Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan Tempat Penimbunan Berikat.


d.

Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain

yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu
pemuatan atau pengeluarannya.
e.

Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan

untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.


f.

Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka

melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam UndangUndang Kepabeanan.
g.

Pemberitahuan Pabean Free Trade Zone yang selanjutnya disebut dengan PPFTZ adalah

dokumen Pemberitahuan Pabean yang digunakan dalam rangka pemasukan barang ke Kawasan
Bebas atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas, yang terdiri dari tiga (3) jenis, yaitu:
1)

PPFTZ-01 untuk:

a)

pemasukan barang dari Luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas;

b)

pengeluaran barang dari Kawasan Bebas Ke Luar Daerah Pabean;

c)

pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

2)

PPFTZ-02 untuk:

a)

pemasukan barang dari Tempat Penimbunan Berikat Ke Kawasan Bebas;

b)

pemasukan barang dari Kawasan Bebas lainnya Ke Kawasan Bebas;

c)

pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat;

d)

pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas Lainnya.

3)

PPFTZ-03 untuk pemasukan barang dari TLDDP ke Kawasan Bebas.

h.

Inward Manifest adalah Pemberitahuan Pabean atas kedatangan sarana pengangkut ke

Kawasan Bebas.
i.

Outward Manifest adalah Pemberitahuan Pabean atas keberangkatan sarana pengangkut

dari Kawasan Bebas.


j.

Endorsement adalah pernyataan mengetahui dari pejabat/pegawai Direktorat Jenderal

Pajak pada PPFTZ-03 atas pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean ke Kawasan Bebas, berdasarkan penelitian formal atas dokumen yang terkait dengan
pemasukan Barang Kena Pajak tersebut.
2.

Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pemasukan Barang Kena Pajak

Berwujud dari TLDDP ke Kawasan Bebas dan endorsement:


a.

Pemasukan Barang Kena Pajak berwujud dari TLDDP ke Kawasan Bebas melalui

pelabuhan atau Bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
b.

Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari TLDDP

ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.


c.

Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah tidak dipungut atas pemasukan Barang Kena Pajak dari TLDDP ke Kawasan
Bebas diberikan apabila Barang Kena Pajak tersebut benar-benar telah masuk ke Kawasan Bebas

yang dibuktikan dengan dokumen yang telah didaftarkan pada kantor pabean dan telah diberikan
endorsement yang menyatakan bahwa data dalam dokumen Pemberitahuan Pabean (PPFTZ-03)
dan dokumen pelengkap yang dipersyaratkan telah sesuai yang dibuktikan dengan cap/stempel
DAPAT DIBERIKAN FASILITAS PPN TIDAK DIPUNGUT oleh Pejabat Endorsement.
d.

Dokumen yang harus disampaikan oleh pengusaha/Wajib Pajak di Kawasan Bebas dalam

rangka endorsement adalah:


1)

Dokumen PPFTZ-03 yang telah didaftarkan pada kantor pabean;

2)

Dokumen pelengkap pabean, yaitu:

a)

Fotokopi Faktur Pajak Standar (lembar pembeli) yang telah diberi cap PPN TIDAK

DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2009.


b)

Fotokopi Bill of Lading, Airway Bill atau Delivery Order;

c)

Fotokopi Faktur Penjualan atau Invoice;

d)

Asli lembar ke-3 dan ke-4 dokumen Pemberitahuan Pemasukan/Pengeluaran Barang

Transaksi Tertentu (PPBTT) yang telah disetujui oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
pengusaha di TLDDP terdaftar untuk pemasukan/pengeluaran Barang Kena Pajak untuk
transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan
Menteri Keuangan Nomor : 240/PMK.03/2009; dan
e)

Asli surat kuasa pengurusan kepabeanan dari pengusaha kepada Pengusaha Pengurusan

Jasa Kepabeanan (PPJK) dalam hal pengurusan kepabeanan dilakukan oleh PPJK.
e.

Atas pemasukan Barang Kena Pajak berwujud dari TLDDP ke Kawasan Bebas

sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib dibuatkan Faktur Pajak Standar sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

f.

Saat pembuatan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada huruf e adalah paling

lama pada saat pengiriman Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas.


g.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak

sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib dibuatkan Faktur Pajak Standar sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
h.

Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf g harus diberi cap

PPN TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2009 oleh Pengusaha


Kena Pajak yang melakukan penyerahan.
i.

Proses endorsement dokumen Pemberitahuan Pabean dilakukan paling lama 1 (satu) hari

kerja sejak dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf d diterima lengkap oleh
pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan di kantor pabean atau tempat lain
yang ditentukan, yang wilayah kerjanya meliputi pelabuhan atau Bandar udara yang ditunjuk.
j.

Dalam hal Pemberitahuan Pabean tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus

dilampirkan dalam rangka endorsement, Barang Kena Pajak tetap dapat dikeluarkan dari
pelabuhan/Bandar udara yang ditunjuk, dan atas pemasukan Barang Kena Pajak tersebut tidak
dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut.
3.

Pejabat/pegawai pelaksana endorsement dan tempat pengadministrasian dan pengelolaan

Kawasan Bebas.
a.

Pejabat Endorsement atau Kepala Seksi adalah Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi

pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Batam yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan tugas dalam rangka endorsement di lingkungan Kawasan Bebas Batam, Bintan, dan
Karimun sebagaimana diatur dalam diktum KETIGA Keputusan Menteri Keuangan Nomor
426/KMK.03/2010.

b.

Kantor Pelayanan Pajak Kawasan Bebas yang selanjutnya disebut dengan KPP Kawasan

Bebas adalah Kantor Pelayanan Pajak Madya Batam tempat Pejabat Endorsement bertugas.
c.

Unit Pelaksana Kawasan Bebas yang selanjutnya disebut dengan UPKB adalah unit

vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan tugas-tugas dalam rangka endorsement
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Kepala KPP Kawasan Bebas.
d.

Pelaksana bagian endorsement yang selanjutnya disebut dengan Petugas Endorsement

adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak setingkat pelaksana di KPP Kawasan Bebas, yang
ditempatkan di kantor pabean atau tempat lain yang ditentukan dan bertugas melakukan
endorsement pada dokumen Pemberitahuan Pabean PPFTZ-03 atas pemasukan Barang Kena
Pajak Berwujud dari TLDDP ke Kawasan Bebas.
e.

Pelaksana bagian perekaman yang selanjutnya disebut dengan Pelaksana Perekaman

adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak setingkat pelaksana di KPP Kawasan Bebas, yang
bertugas melakukan perekaman dokumen Pemberitahuan Pabean.
f.

Pelaksana bagian pemberkasan yang selanjutnya disebut dengan Pelaksana Pemberkasan

adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak setingkat pelaksana di KPP Kawasan Bebas, yang
bertugas melakukan pemberkasan dokumen Pemberitahuan Pabean beserta lampiranlampirannya.
g.

Pelaksana bagian analisis yang selanjutnya disebut dengan Pelaksana Analisis adalah

pegawai Direktorat Jenderal Pajak setingkat pelaksana di KPP Kawasan Bebas, yang bertugas
melakukan analisis dokumen Pemberitahuan Pabean beserta lampiran-lampirannya.
II.

Lampiran-lampiran

Tata Cara Endorsement atas Penyerahan/Pemasukan Barang Kena Pajak Berwujud dari Tempat
Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP) ke Kawasan Bebas dan tata cara lainnya berkaitan dengan

endorsement dan pengelolaan serta pengawasan Kawasan Bebas adalah sebagaimana terlampir
dalam Surat Edaran ini, yaitu sebagai berikut:
1.

Lampiran I

Tata Cara Endorsement atas Pemasukan Barang Kena Pajak

Berwujud dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP) ke Kawasan Bebas.
2.

Lampiran II

Tatacara Pemberian Persetujuan atas Pemberitahuan

Pemasukan/Pengeluaran Barang Transaksi Tertentu (PPBTT).


3.

Lampiran III :

Tata Cara Pemberkasan Dokumen Pemberitahuan Pabean (PPFTZ)

dan Dokumen Pelengkap Pabean.


4.

Lampiran IV :

Tata Cara Perekaman Dokumen Pemberitahuan Pabean (PPFTZ).

5.

Lampiran V

Tata Cara Perekaman Dokumen Pemberitahuan

Pemasukan/Pengeluaran Barang Transaksi Tertentu (PPBTT).


6.

Lampiran VI :

Tata Cara Pelaksanaan Analisis Arus Barang dari dan ke Kawasan

Lampiran VII

Bebas.
7.

Tata Cara Pengelolaan dan Penerusan Laporan Analisis

Arus Barang dari dan ke Kawasan Bebas di Kanwil.


8.

Lampiran VIII

Petunjuk Penelitian Kebenaran Dokumen Pemberitahuan

Pabean PPFTZ-03 Dalam Rangka Endorsement.


9.

Lampiran IX :

Petunjuk Perekaman Dokumen Pemberitahuan Pabean (PPFTZ)

dan Pemberitahuan Pemasukan/Pengeluaran Barang Transaksi Tertentu (PPBTT).


10.

Lampiran X

11.

Lampiran XI :

Petunjuk Analisis Arus Barang dari dan ke Kawasan Bebas.

Contoh Stempel Endorsement atas Dokumen Pemberitahuan Pabean (PPFTZ-03) dan Stempel
Persetujuan atas Dokumen Pemberitahuan Pemasukan/Pengeluaran Barang Transaksi Tertentu
(PPBTT).
12.

Lampiran XII :

Register Harian Penerimaan Dokumen Pemberitahuan Pabean.

13.

Lampiran XIII

Register Harian Perekaman Dokumen Pemberitahuan

Pabean.
14.

Lampiran XIV:

Laporan Analisis Arus Barang dari dan ke Kawasan Bebas.

15.

Lampiran XV :

Daftar Wajib Pajak dan Nilai Transaksi Pemasukan/Pengeluaran

BKP dari/ke Kawasan Bebas.


III.

Dengan ditetapkannya Surat Edaran ini, ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat

Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-39/PJ/2009 tanggal 30 Maret 2009 tentang Tata Cara
Endorsement, Perekaman, Pemberkasan dan Analisa Dokumen Pemberitahuan Pabean di
Kawasan Bebas, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
IV.

Untuk memudahkan pelaksanaannya, penyimpanan Surat Edaran ini agar disatukan

dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2010 tanggal 1 Februari 2010.

Sepengalaman saya dan sesuai Permenkeu terbaru No. 62/PMK.03/2012 (pasal 10, 11,12), maka penyerahan
barang/jasa dari pabean ke kawasan bebas, mendapatkan fasilitas ppn dibebaskan dengan ketentuan (secara garis
besar);
1. Faktur pajak lengkap + diberi cap PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP
NOMOR 10 TAHUN 2012
2. harus mendapatkan Endorsement yang dikeluarkan oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak Batam (sesuai
KPP tempat customer terdaftar)
untuk detail bisa dilihat pada aturan 62/PMK.03/2012 (pasal 10, 11,12)

Anda mungkin juga menyukai