05 Problem Post Partus Pada Sapi (Endang Ruhiyat) X PDF
05 Problem Post Partus Pada Sapi (Endang Ruhiyat) X PDF
ABSTRAK
Dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani dan untuk menyukseskan program
swasembada daging sapi tahun 2014 diperlukan usaha peternakan sapi yang intensif
dengan memperhatikan manajemen pemeliharaan dan kesehatan dengan baik. Dalam
pengembangan usaha peternakan sapi, saluran reproduksi mempunyai peranan penting.
Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi. Namun
kondisi sapi di usaha peternakan rakyat, hingga saat ini sering dijumpai adanya kasus
gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa
penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi
penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging secara nasional.
Gangguan reproduksi menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar bagi petani yang
berdampak terhadap penurunan pendapatan peternak; umumnya disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya : (1). penyakit reproduksi, (2) buruknya sistem pemeliharaan, (3) tingkat kegagalan kebuntingan dan (4) masih adanya pengulangan inseminasi,
yang kemungkinan salah satu penyebabnya adalah adanya gangguan reproduksi. Studi
pustaka ini membahas gangguan reproduksi pada sapi yang menekankan pada penyakit
post partus pada uterus.
.
Kondisi induk sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ternak, karena induk yang sehat diharapkan dapat menghasilkan keturunan (anak),
sehingga pada akhirnya akan dapat
meningkatkan populasi. Akan tetapi hal
ini tidak tercapai, jika induk berada dalam kondisi tidak sehat atau me-ngalami masalah reproduksi. Permasalah-an
reproduksi pada hewan betina dapat
disebabkan oleh adanya kelainan anatomi saluran reproduksi, gangguan hormonal dan abnormalitas sel telur.
Uterus merupakan tempat berkembangnya embrio dan fetus selama masa kebuntingan. Adanya kelainan patologi uterus dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada fetus, akibat-
31
halaman
PENDAHULUAN
Metritis atau peradangan seluruh bagian uterus meliputi semua lapisan dinding uterus. Metritis ini erat kaitanya
dengan inersia uterin, retensi plasenta
dan biasanya berkembang dalam waktu
beberapa hari sampai dua minggu post
partus. Metritis umumnya disertai septicemia berat atau toksemia (metritis
septika). Akibat kasus penyakit ini menyebabakan menurunnya efisiensi reproduksi, ditandai dengan calving interval, penurunan angka kebuntingan, meningktnya kasus abortus dan anestrus
yang berkepanjanan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
besar bagi peternak (Hardjopranjoto,
1995).
Etiologi
Penyebab/predisposisi metritis dapat
mengikuti kejadian distokia, torsi uterus, tindakan ostetrik yang kurang benar. Beberapa bakteri yang menjadi
penyebab metritis antara lain Coliforms, Actinomyces pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Sptreptococci, Staphylococci dan Clostridia.
Gejala klinis
Gejala yang sering timbul biasanya
tampak lesu, menahan rasa sakit, pro-
Diagnosis
Pemeriksaan melalui per rektal, uterus
yang mengalami indurasi akan teraba
keras, tebal seperti tulang rawan. Diameter uterus lebih besar dari uterus
yang normal dan bila uterus ditekan
maka akan mengeluarkan leleran yang
bersifat mucopurulent. (Hardjopranjoto,
1995).
Terapi
Jika kasus ini terlihat dalam waktu tiga
hari maka dapat diberi 50 IU oksitosin,
pemberian estrogen dan antibiotik dapat dipertimbangkan atau dengan melakukan irigasi dengan antiseptik (Partodihardjo, 1987).
2. ENDOMETRITIS
Endometritis merupakan peradangan
pada endometrium (Ratnawati et al.
2007). Patogenesis terjadinya endometritis bisa disebabkan oleh penularan
dari berbagai mikroorganisme langsung
pada endometrium (primer) atau karena
peradangan sekunder dari bagian tubuh yang lain. Endometritis juga bisa
terjadi karena kelanjutan kelahiran yang
tidak normal, seperti abortus, retensio
sekundinae, kelahiran prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang
tidak lege artis. Selain itu juga bisa
terjadi karena infeksi yang diakibatkan
karena perkawinan alam, yaitu betina
terinfeksi dari pejantan yang menderita
penyakit seperti Brucelosis, Trichomoniasis, dan Vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis,
kare-na mungkin saja bakteri atau
mikroba lain terbawa oleh alat inseminasi karena pelaksanaan IB yang tidak
legeartis, atau terbawa oleh semen.
32
1. METRITIS
halaman
Endometritis sub klinis merupakan keradangan pada endometrium yang paling ringan, ditandai dengan kawin berulang. Sekitar 50% dari kasus endometritis kronis pada umumnya tidak terdeteksi. Beberapa penyakit yang berkaitan dengan kondisi endometritis pada sapi diantaranya adalah Brucellosis,
Leptospirosis, Campylobacteriosis, dan
Trichomoniasis. Selain itu, endometritis
juga disebabkan oleh infeksi yang nonspesifik.
33
Etiologi
halaman
Gejala klinis
Gejala endometritis berupa adanya leleran berwarna jernih keputihan sampai
purulen (kekuningan) yang berlebihan,
uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran
vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan. Adanya infeksi actinomyces pyogenes mengakibatkan leleran menjadi purulen dan berbau busuk yang khas. Pada kasus endometritis kronis disertai dengan penimbunan
cairan, gejala akan tampak jelas pada
saat sapi penderita berbaring, akan ada
cairan yang keluar dari alat kelamin luar
berbentuk gumpalan nanah, hal ini disebabkan uterus yang mengandung
cairan atau nanah tertekan antara lantai
kandang dengan rumen.
Diagnosis
InspeksiInspeksi vulva adanya leleran
berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan.
Terapi
Terapi yang biasa digunakan dengan
injeksi antibiotik seperti oksitetrasiklin
500-1500 mg dengan pemakaian maksimal 3-6 gr (Intra Uterine) dan kombinasi antibiotik dan hormon (Prostaglandin F-2 alfa) atau pemberian antiseptik secara intera uterin (Hardjopranjoto, 1995).
Pencegahan
Pencegahan endometritis dilakukan dengan cara mencegah adanya infeksi
uterus oleh mikroorganisme, khususnya
pada saat melahirkan atau pada waktu
pemeriksaan vagina. Menjaga kebersihan alat yang digunakan pada saat
pertolonga kelahiran, menjaga kebersihan kandang dan lingkungan. Pelaksanaan inseminasi buatan harus
dilakukan dengan cara yang benar dan
legalartis.
3. PIOMETRA
Piometra merupakan pengumpulan sejum-lah ksudat purulen dalam lumen
uterus (rongga rahim) dan adanya korpus luteum persisten pada salah satu
ovariumnya. Korpus luteum mengalami
persistensi mungkin karena adanya isi
uterus abnormal, menyebabkan hambatan pelepasan prostaglandin dari endometrium atau menahan prostaglandin
dalam lumen uterus (Harjopranjoto,
1995). Piometra dapat terjadi pada sapi
perah betina yang belum pernah dikawinkan maupun sapi betina dewasa
yang sudah beberapa kali melahirkan.
Peradangan uterus yang kronis ini
menghasilkan nanah, jika servik tertutup nanah dapat tertimbun didalam uterus. Piometra dapat terjadi setelah partus disertai danya retensio sekundinarum atau karena distokia tanpa penanganan yang baik, sehingga terjadi keradangan pada uterus yang akut. Piometra (endometritis kronik purulen) secara umum merupakan penyakit metoestral yang sebagian besar menye-rang
betina yang lebih tua, dapat disebabkan
karena kontaminasi uterus, retensio sekundinarium, atau kontaminasi selama
proses kelahiran. Penyakit kelamin menular seperti brucellosis, trichomoniasis
dan vibriosis atau kuman non spesifik
seperti golongan kokus, coli, dan piogenes dapat menyebabkan terjadinya
piometra. Pada beberapa kasus, sapi
dapat bunting dan kemudian fetus mati,
terjadi proses maserasi (Cuneo et al.,
2006), uterus mengalami kegagalan
dalam proses involusi uteri, dan pada
ovarium akan terbentuk korpus luteum
(CL) persisten. Sapi piometra akan mengalami infeksi/peradangan uterus.
Uterus berada di bawah pengaruh hormon progesteron yang menekan aktivitas fagositosis oleh sel-sel leukosit
(Garverick dan Youngquist, 1993), sehingga serviks tertutup dan membuat
nanah berakumulasi dan terhambat pengeluarannya (Cuneo et al., 2006).
Piometra dari pengamatan luar dapat
dikelirukan dengan kebuntingan karena
keduanya menyebabkan pembesaaran
perut. Perbedaan piometra degan kebuntingan pada sapi sebagai berikut:
pada piometra, pemeriksaan dari luar
34
halaman
Etiologi
Piometra dapat disebabkan oleh infeksi
pe-nyakit kelamin menular seperti
Brucella abortus, Tricomonas foetus
dan Vibriosis atau mikroorganisme
nonspesifik seperti golongan Cocus,
Coli dan Pyogene.
Gejala klinis
Gejala pada hewan betina penderita
pio-metra adalah tidak munculnya
berahi dalam waktu yang lama atau
anestrus, siklus be-rahi hilang karena
adanya CL persisten (Gustafsson et al.,
2004), cairan nanah me-ngisi penuh
uterus dapat ditemukan dengan palpasi
rektal, dan adanya leleran (dis-charge)
yang bisa dilihat di sekitar ekor dan
vulva. Uterus sapi piometra banyak
terda-pat lendir keruh, atau nanah yang
jelas ter-lihat dengan leleran yang
keluar dan me-nempel di sekitar ekor
dan
vulva
karena
ter-tekannya
abdomen pada saat sapi berbaring.Nanah bersifat kental, berwarna
ku-ning atau keabu-abuan (Cuneo et
al., 2006). Serviks dalam keadaan
tertutup me-nyebabkan tertimbunnya
nanah dalam jum-lah yang besar,
sehingga memberi kesan seperti induk
yang
sedang
bunting.
Uterus
membesar sesuai dengan banyaknya
vo-lume nanah yang tertimbun. Karena
sudah kronis dinding uterus menebal
karena ter-jadinya jaringan parut tanpa
adanya tonus. piometra post partus
nanah yang tertimbun didalam uterus
dan tidak dikeluarkan sela-ma 60 hari
post partus dan selama itu birahi tidak
muncul badan.
Diagnosa
Palpasi rektal, ditemukan CL persisten,
ser-viks menutup dan adanya leleran
(dis-charge) purulen yang bisa dilihat di
sekitar ekor dan vulva.
Terapi
Pengobatan awal piometra ditujukan
pada upaya membuka serviks dan
kontraksi ute-rus agar nanah dapat
mengalir
keluar,
diikuti
dengan
melakukan
irigasi
dengan
menggunakan
antiseptik
(larutan
iodium 1-2%) dengan tujuan untuk
membersihkan sisa-sisa nanah dalam
uterus kemudian diobati dengan
antibiotik
(streptomisin)
un-tuk
membunuh bakteri penyebabnya. Pemberian
preparat
estrogen
atau
sintetisnya (dietil stilbestrol) untuk
merangsang
terjadi-nya
kontraksi
uterus dan pembukaan ser-viks, pada
35
halaman
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Veterinarian.http://dokterkunta.blogspot.com/2008/10 endometritis.html.
Bearden, J.H. dan J.W. Fuquay. 1997 . Applied Animal Reproduction. Prentice-Hall, Inc. USA,
Beveridge, W.I .B . 1983 . Animal health in Australia. Vol. 4:Bacterial diseases of cattle, sheep
and goats.Australian Bureau ofAnimal Health . Canberra.
halaman
Budiyanto, A, 2012. Peningkatan Tingkat Kebuntingan dan Kelahiran Sapi Di Indonesia dan
Masalah-masalah yang Terkait.www.dokterhewanjogja.com
36
Beveridge, W.I.B . 1986 . Animal health in' Australia. Vol. L Viral diseases of farm livestock.
Australian Bureau of Animal Health. Canberra .
Cuneo, S.P., C.S. Card, and E.J. Bicknell. 2006. Disease of Beef Cattle Associated with Postcalving and Breeding. Cattle Producers Library. London.
Garverick, H.A., and R.S. Youngquist. 1993. Getting Problem Cows Pregnant. Agricultural
Publication. USA.
Gustafsson, H., B. Kornmatitsuk, K. Konigsson, and H. Kindahl. 2004.
Peripartum and early post partum in the cow- physiology and phatology. Publised in IVIS with the
permission of the WBC. www.ivis.org.
Harjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.
Hisbruner, G., R. Ficher, U. Kupfer, H. Burkhardt, and A. Steiner. 2000. Effect of different doses
of prostaglandin F2a on intrauterine pressure and uterine motility during diestrus in
experimental cows. Theriogenology 54(2):291-303.
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Mutiara.
Jakarta.
Prihatno, SA. (2010). Kajian epidemiologi pada sapi perah yang mengalami kawin
berulang di kabupaten Sleman
Ratnawati, D, Pratiwi, W.C & Affandhi, L. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi Pada Sapi Potong. Penerbit pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. DEPTAN.
Subronto dan Tjahajati, I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Sayuti, A., Melia, J., Amrozi , Syafruddin, Roslizawaty1, dan Fahrima,l Y. 2012.
halaman
37