Anda di halaman 1dari 7

BULETIN LABORATORIUM VETERINER

Balai Besar Veteriner Wates

Vol. 14 Nomer 4 Tahun 2014


Artikel 5

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

Edisi Bulan : OKTOBER - DESEMBER

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


Endang Ruhiat
1

Instalasi Kandang Hewan Percobaan Balai Besar Veteriner Wates

ABSTRAK
Dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani dan untuk menyukseskan program
swasembada daging sapi tahun 2014 diperlukan usaha peternakan sapi yang intensif
dengan memperhatikan manajemen pemeliharaan dan kesehatan dengan baik. Dalam
pengembangan usaha peternakan sapi, saluran reproduksi mempunyai peranan penting.
Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi. Namun
kondisi sapi di usaha peternakan rakyat, hingga saat ini sering dijumpai adanya kasus
gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa
penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi
penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging secara nasional.
Gangguan reproduksi menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar bagi petani yang
berdampak terhadap penurunan pendapatan peternak; umumnya disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya : (1). penyakit reproduksi, (2) buruknya sistem pemeliharaan, (3) tingkat kegagalan kebuntingan dan (4) masih adanya pengulangan inseminasi,
yang kemungkinan salah satu penyebabnya adalah adanya gangguan reproduksi. Studi
pustaka ini membahas gangguan reproduksi pada sapi yang menekankan pada penyakit
post partus pada uterus.
.

Kondisi induk sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ternak, karena induk yang sehat diharapkan dapat menghasilkan keturunan (anak),
sehingga pada akhirnya akan dapat
meningkatkan populasi. Akan tetapi hal
ini tidak tercapai, jika induk berada dalam kondisi tidak sehat atau me-ngalami masalah reproduksi. Permasalah-an
reproduksi pada hewan betina dapat
disebabkan oleh adanya kelainan anatomi saluran reproduksi, gangguan hormonal dan abnormalitas sel telur.
Uterus merupakan tempat berkembangnya embrio dan fetus selama masa kebuntingan. Adanya kelainan patologi uterus dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada fetus, akibat-

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


artikel ditulis oleh : ENDANG RUHIAT

MATERI DAN METODE


Materi dan metode dalam penulisan
makalah ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan materi mengenai penyakit reproduksi sapi dari berbagai
sumber baik dari buku, journal dan
sumber bacaan lain.
PEMBAHASAN
Gangguan reproduksi pada sapi dapat
diakibatkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah yang bersifat tidak menular (non infectious agent) dan yang
bersifat menular (infectious agent).
Khusus untuk gangguan reproduksi
yang diakibatkan oleh agen infeksius

31

Keberhasilan pemeliharaan ternak sapi


dalam bidang reproduksi pada hewan
betina khususnya dapat dilihat dari reproduction performance atau penampilan reproduksi yang langsung dapat
dilihat antara lain service per conception, conception rate, pregnancy rate,
calving rate, estrous post partum dan
calving interval (Budiyanto, A, 2012).

nya dapat terjadi perkembangan fetus


yang abnormal atau dapat pula terjadi
kematian fetus yang diikuti kejadian
abortus, pembentukan mumi-fikasi, maserasi atau bentuk lain. Kelainan pada
uterus dapat didiagnosis dengan pemeriksaan rektal dengan meraba pada
uterusnya. Penyakit pada uterus disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
atau disebabkan oleh noninfeksi seperti
faktor mekanis, fisis, kemis dan genetis
(Harjopranjoto, 1995).

halaman

PENDAHULUAN

BULETIN LABORATORIUM VETERINER


Balai Besar Veteriner Wates

Vol. 14 Nomer 4 Tahun 2014


Artikel 5

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

Metritis atau peradangan seluruh bagian uterus meliputi semua lapisan dinding uterus. Metritis ini erat kaitanya
dengan inersia uterin, retensi plasenta
dan biasanya berkembang dalam waktu
beberapa hari sampai dua minggu post
partus. Metritis umumnya disertai septicemia berat atau toksemia (metritis
septika). Akibat kasus penyakit ini menyebabakan menurunnya efisiensi reproduksi, ditandai dengan calving interval, penurunan angka kebuntingan, meningktnya kasus abortus dan anestrus
yang berkepanjanan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
besar bagi peternak (Hardjopranjoto,
1995).
Etiologi
Penyebab/predisposisi metritis dapat
mengikuti kejadian distokia, torsi uterus, tindakan ostetrik yang kurang benar. Beberapa bakteri yang menjadi
penyebab metritis antara lain Coliforms, Actinomyces pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Sptreptococci, Staphylococci dan Clostridia.
Gejala klinis
Gejala yang sering timbul biasanya
tampak lesu, menahan rasa sakit, pro-

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


artikel ditulis oleh : ENDANG RUHIAT

Diagnosis
Pemeriksaan melalui per rektal, uterus
yang mengalami indurasi akan teraba
keras, tebal seperti tulang rawan. Diameter uterus lebih besar dari uterus
yang normal dan bila uterus ditekan
maka akan mengeluarkan leleran yang
bersifat mucopurulent. (Hardjopranjoto,
1995).
Terapi
Jika kasus ini terlihat dalam waktu tiga
hari maka dapat diberi 50 IU oksitosin,
pemberian estrogen dan antibiotik dapat dipertimbangkan atau dengan melakukan irigasi dengan antiseptik (Partodihardjo, 1987).
2. ENDOMETRITIS
Endometritis merupakan peradangan
pada endometrium (Ratnawati et al.
2007). Patogenesis terjadinya endometritis bisa disebabkan oleh penularan
dari berbagai mikroorganisme langsung
pada endometrium (primer) atau karena
peradangan sekunder dari bagian tubuh yang lain. Endometritis juga bisa
terjadi karena kelanjutan kelahiran yang
tidak normal, seperti abortus, retensio
sekundinae, kelahiran prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang
tidak lege artis. Selain itu juga bisa
terjadi karena infeksi yang diakibatkan
karena perkawinan alam, yaitu betina
terinfeksi dari pejantan yang menderita
penyakit seperti Brucelosis, Trichomoniasis, dan Vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis,
kare-na mungkin saja bakteri atau
mikroba lain terbawa oleh alat inseminasi karena pelaksanaan IB yang tidak
legeartis, atau terbawa oleh semen.

32

1. METRITIS

duksi susu akan menurun, tidak mampu


untuk berdiri, anoreksia, dan keluarnya
discharge (cairan) encer berwarna
coklat dan berbau amis. Pada saat
dilakukan palpasi rektal menunjukan
uterus membesar (tidak normal), cervic
teraba lebih besar dari biasanya. Keadaan ini memungkinkan tidak teraturnya siklus berahi (Subronto dan Tjahajati, 2001).

halaman

atau penyakit menular, menurut Beverige (1983); Beverige (1986); serta


Bearden dan Fuquay (1997) menerangkan bahwa penyakit reproduksi
menular dapat mengakibatkan abortus,
pyometra, endometritis, kematian embrio, kemajiran, retensi pla-senta, kerusakan syaraf pusat dari fetus, sterilitas pada pejantan. Dengan demikian
akibatnya gangguan reproduksi pada
ter-nak akan merugikan para peternak
dan secara nasional tentunya akan
rnemperlambat laju peningkatan populasi ternak di dalam negeri. Peningkatan populasi ternak sapi nasional
yang lamban mengakibatkan pemerintah harus melakukan impor secara terus menerus untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Berikut merupakan penyakit post partus pada uterus yang sering menyerang sapi yaitu
metritis, endometrotis dan piometra.

Edisi Bulan : OKTOBER - DESEMBER

BULETIN LABORATORIUM VETERINER


Balai Besar Veteriner Wates

Vol. 14 Nomer 4 Tahun 2014


Artikel 5

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

Endometritis sub klinis merupakan keradangan pada endometrium yang paling ringan, ditandai dengan kawin berulang. Sekitar 50% dari kasus endometritis kronis pada umumnya tidak terdeteksi. Beberapa penyakit yang berkaitan dengan kondisi endometritis pada sapi diantaranya adalah Brucellosis,
Leptospirosis, Campylobacteriosis, dan
Trichomoniasis. Selain itu, endometritis
juga disebabkan oleh infeksi yang nonspesifik.

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


artikel ditulis oleh : ENDANG RUHIAT

Mikroorganisme yang menyebabkan


endometritis diantaranya Campylobacter foetus, Brucella sp, Vibrio sp.
dan Trichomonas foetus. Endometritis
juga dapat diakibatkan oleh bakteri
oportunistik spesifik seperti Corynebacterium pyogenes, Eschericia coli dan
Fusobacterium necrophorum. Organisme penyebab biasanya mencapai vagina pada saat perkawinan, kelahiran,
sesudah melahirkan atau melalui
sirkulasi darah (Hardjopranjoto, 1995).
Gejala kinis
Gejala endometritis sub klinis tidak tampak, pemeriksaan secara rectal kondisi
uterus sapi tersebut nampak normal, tidak ada perubahan, baik dari konsistensi maupun ukuran. Siklus estrusnya
berjalan normal, namun jika dikawinkan, sulit bunting.
Diagnosis
Endometritis subklinis biasanya terjadi
ketika proses involusi sudah lengkap
(sekitar 5 minggu pospartus), siklus estrus normal namun jika dikawinkan tidak terjadi kebuntingan dan kawin berulang.
Terapi
Terapi yang biasa digunakan dengan
injeksi antibiotik atau pemberian antiseptik secara intera uterin.
b. Endometritis klinis
Hewan yang mengalami endometritis
klinis biasanya memperlihatkan gejala
sakit demam, keluar discharge, anoreksia, dan terjadi penurunan produksi susu. Uterus setelah 40 hari partus berukuran 8-10x lebih besar dari ukuran
normal (Hardjopranjoto, 1995).
Etiologi
Mikroorganisme yang menyebabkan
endometritis diantaranya Campylobacter foetus, Brucella sp., Vibrio sp. dan
Trichomonas foetus. Endometritis juga
dapat diakibatkan oleh bakteri oportunistik spesifik seperti Corynebacterium
pyogenes, Eschericia coli dan Fusobacterium necrophorum. Organisme

33

a. Endometritis sub klinis.

Etiologi

halaman

Endometritis bisa merupakan akibat


perkawinan yang tidak legeartis dan
kandang dan sapi yang kotor. Kejadian
endometritis lebih sering terjadi pasca
partus dan sapi-sapi yang pasca kawin.
Dari hasil penelitian Prihatno (1997)
yang dilakukan terhadap sapi perah
yang mengalami kawin berulang ternyata di dalam uterusnya ditemukan
jamur Aspergillus fumigatus (60 %). Penelitian yang terbaru menunjukan bahwa sapi yang mengalami kawin berulang mengandung bakteri sekitar 62,5
% dibanding sapi-sapi yang fertil sekitar
28.6 %. Bakteri yang ditemukan adalah
Staphylococcus 14 (37.8%), Bacillus 13
(35.1%), E. coli 11 (29.7%), dan Pseudomonas 7 (18.9%) (Gani et al., 2008)
sedangkan prihatno (2010) menemukan Strepthococus 10 %, Staphylococcus 40 %, Bacillus 50 %, dan E. coli 20
%. Kebersihan lingkungan kandang dan
kandangnya harus benar-benar diperhatikan jika ingin mengurangi kejadian
infertilitas.
Pengaruh endometritis terhadap infertilitas dalam jangka pendek, menurunkan kesuburan, calving interval dan
S/C naik, sedangkan dalam jangka
panjang menyebabkan sterilitas karena
teerjadi perubahan traktus reproduksi,
sehingga meningkatkan pemotongan.
Menurut Hardjopranjoto (1995), infertilitas yang terjadi dapat berupa matinya
embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme sendiri atau
ter-ganggunya perlekatan embrio pada
dinding uterus (kegagalan implantasi).
Endometritis pada ternak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endometritis
klinis dan endometritis sub klinis.

Edisi Bulan : OKTOBER - DESEMBER

BULETIN LABORATORIUM VETERINER


Balai Besar Veteriner Wates

Gejala klinis
Gejala endometritis berupa adanya leleran berwarna jernih keputihan sampai
purulen (kekuningan) yang berlebihan,
uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran
vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan. Adanya infeksi actinomyces pyogenes mengakibatkan leleran menjadi purulen dan berbau busuk yang khas. Pada kasus endometritis kronis disertai dengan penimbunan
cairan, gejala akan tampak jelas pada
saat sapi penderita berbaring, akan ada
cairan yang keluar dari alat kelamin luar
berbentuk gumpalan nanah, hal ini disebabkan uterus yang mengandung
cairan atau nanah tertekan antara lantai
kandang dengan rumen.
Diagnosis
InspeksiInspeksi vulva adanya leleran
berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan.
Terapi
Terapi yang biasa digunakan dengan
injeksi antibiotik seperti oksitetrasiklin
500-1500 mg dengan pemakaian maksimal 3-6 gr (Intra Uterine) dan kombinasi antibiotik dan hormon (Prostaglandin F-2 alfa) atau pemberian antiseptik secara intera uterin (Hardjopranjoto, 1995).
Pencegahan
Pencegahan endometritis dilakukan dengan cara mencegah adanya infeksi
uterus oleh mikroorganisme, khususnya
pada saat melahirkan atau pada waktu
pemeriksaan vagina. Menjaga kebersihan alat yang digunakan pada saat
pertolonga kelahiran, menjaga kebersihan kandang dan lingkungan. Pelaksanaan inseminasi buatan harus
dilakukan dengan cara yang benar dan
legalartis.

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


artikel ditulis oleh : ENDANG RUHIAT

3. PIOMETRA
Piometra merupakan pengumpulan sejum-lah ksudat purulen dalam lumen
uterus (rongga rahim) dan adanya korpus luteum persisten pada salah satu
ovariumnya. Korpus luteum mengalami
persistensi mungkin karena adanya isi
uterus abnormal, menyebabkan hambatan pelepasan prostaglandin dari endometrium atau menahan prostaglandin
dalam lumen uterus (Harjopranjoto,
1995). Piometra dapat terjadi pada sapi
perah betina yang belum pernah dikawinkan maupun sapi betina dewasa
yang sudah beberapa kali melahirkan.
Peradangan uterus yang kronis ini
menghasilkan nanah, jika servik tertutup nanah dapat tertimbun didalam uterus. Piometra dapat terjadi setelah partus disertai danya retensio sekundinarum atau karena distokia tanpa penanganan yang baik, sehingga terjadi keradangan pada uterus yang akut. Piometra (endometritis kronik purulen) secara umum merupakan penyakit metoestral yang sebagian besar menye-rang
betina yang lebih tua, dapat disebabkan
karena kontaminasi uterus, retensio sekundinarium, atau kontaminasi selama
proses kelahiran. Penyakit kelamin menular seperti brucellosis, trichomoniasis
dan vibriosis atau kuman non spesifik
seperti golongan kokus, coli, dan piogenes dapat menyebabkan terjadinya
piometra. Pada beberapa kasus, sapi
dapat bunting dan kemudian fetus mati,
terjadi proses maserasi (Cuneo et al.,
2006), uterus mengalami kegagalan
dalam proses involusi uteri, dan pada
ovarium akan terbentuk korpus luteum
(CL) persisten. Sapi piometra akan mengalami infeksi/peradangan uterus.
Uterus berada di bawah pengaruh hormon progesteron yang menekan aktivitas fagositosis oleh sel-sel leukosit
(Garverick dan Youngquist, 1993), sehingga serviks tertutup dan membuat
nanah berakumulasi dan terhambat pengeluarannya (Cuneo et al., 2006).
Piometra dari pengamatan luar dapat
dikelirukan dengan kebuntingan karena
keduanya menyebabkan pembesaaran
perut. Perbedaan piometra degan kebuntingan pada sapi sebagai berikut:
pada piometra, pemeriksaan dari luar

34

penyebab biasanya mencapai vagina


pada saat perkawinan, kelahiran, sesudah melahirkan atau melalui sirkulasi
darah.

Edisi Bulan : OKTOBER - DESEMBER

halaman

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

Vol. 14 Nomer 4 Tahun 2014


Artikel 5

BULETIN LABORATORIUM VETERINER


Balai Besar Veteriner Wates

Etiologi
Piometra dapat disebabkan oleh infeksi
pe-nyakit kelamin menular seperti
Brucella abortus, Tricomonas foetus
dan Vibriosis atau mikroorganisme
nonspesifik seperti golongan Cocus,
Coli dan Pyogene.

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


artikel ditulis oleh : ENDANG RUHIAT

Gejala klinis
Gejala pada hewan betina penderita
pio-metra adalah tidak munculnya
berahi dalam waktu yang lama atau
anestrus, siklus be-rahi hilang karena
adanya CL persisten (Gustafsson et al.,
2004), cairan nanah me-ngisi penuh
uterus dapat ditemukan dengan palpasi
rektal, dan adanya leleran (dis-charge)
yang bisa dilihat di sekitar ekor dan
vulva. Uterus sapi piometra banyak
terda-pat lendir keruh, atau nanah yang
jelas ter-lihat dengan leleran yang
keluar dan me-nempel di sekitar ekor
dan
vulva
karena
ter-tekannya
abdomen pada saat sapi berbaring.Nanah bersifat kental, berwarna
ku-ning atau keabu-abuan (Cuneo et
al., 2006). Serviks dalam keadaan
tertutup me-nyebabkan tertimbunnya
nanah dalam jum-lah yang besar,
sehingga memberi kesan seperti induk
yang
sedang
bunting.
Uterus
membesar sesuai dengan banyaknya
vo-lume nanah yang tertimbun. Karena
sudah kronis dinding uterus menebal
karena ter-jadinya jaringan parut tanpa
adanya tonus. piometra post partus
nanah yang tertimbun didalam uterus
dan tidak dikeluarkan sela-ma 60 hari
post partus dan selama itu birahi tidak
muncul badan.
Diagnosa
Palpasi rektal, ditemukan CL persisten,
ser-viks menutup dan adanya leleran
(dis-charge) purulen yang bisa dilihat di
sekitar ekor dan vulva.
Terapi
Pengobatan awal piometra ditujukan
pada upaya membuka serviks dan
kontraksi ute-rus agar nanah dapat
mengalir
keluar,
diikuti
dengan
melakukan
irigasi
dengan
menggunakan
antiseptik
(larutan
iodium 1-2%) dengan tujuan untuk
membersihkan sisa-sisa nanah dalam
uterus kemudian diobati dengan
antibiotik
(streptomisin)
un-tuk
membunuh bakteri penyebabnya. Pemberian
preparat
estrogen
atau
sintetisnya (dietil stilbestrol) untuk
merangsang
terjadi-nya
kontraksi
uterus dan pembukaan ser-viks, pada

35

(secara inspeksi) akan terlihat adanya


pembesaran perut
yang bersifat
simetris, bulu kusam, keli-hatan kurus,
pada saat berbaring akan ke-luar
kotoran dari alat kelamin. Pada pemeriksaan ekplorasi rektal pada kasus
pio-metra terasa adanya pembesaran
uterus yang bersifat simetris hal ini
dikarenakan cairan nanah akan mengisi
kedua kornua uteri, dinding uterus
terasa lebih tebal dari normal dan pada
mukosa uterus tidak tera-ba adanya
karunkula, arteri uterina media kecil
atau tidak teraba, bila uterus ditekan
adanya fluktuasi karena adanya cairan.
Pada keadaan bunting sebaliknya,
pemerik-saan secara inspeksi akan
terlihat adanya pembesaran perut yang
mengarah kekanan karena sebelah kiri
terdapat rumen, bulu mengkilat, badan
mempunyai kesan gemuk dan tidak ada
kotoran keluar dari alat ke-lamin. Pada
pemeriksaan eksplorasi rektal terasa
adanya pembesaran uterus bersifat
asimetris karena pada sapi, fetus
berada
pada
salahsatu
kornua
sedangkan kornua yang lain tetap kecil,
dinding uterus me-ngecil karena harus
mengikuti pembesaran fetus, teraba
adanya karunkula pada din-ding uterus,
arteri uterina media teraba de-ngan
jelas dan berkelok-kelok dan bila uterus ditekan akan teraba adanya bagianba-gian dari tubuh fetus mulai dari
kepala sam-pai badan (Harjopranjoto,
1995). Diagnosa piometra pada sapi
terjadi akut atau kronis dengan
peradangan dan pengumpulan na-nah
dalam uterus. Kasus ini sering ditemukan pada rangkaian pemeriksaan
kebun-tingan, dimana besarnya uterus
tidak se-suai dengan usia kebuntingan.
Sapi
yang
menderita
piometra
umumnya tidak menun-jukan gejala
sakit secara umum walaupun banyak
nanah yang terkumpul dalam uterusnya (Harjopranjoto, 1995).

Edisi Bulan : OKTOBER - DESEMBER

halaman

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

Vol. 14 Nomer 4 Tahun 2014


Artikel 5

BULETIN LABORATORIUM VETERINER


Balai Besar Veteriner Wates

Vol. 14 Nomer 4 Tahun 2014


Artikel 5

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

sapi dosisnya 50-100 mg secara IM


dan diulang 4 hari sekali. Stimulasi
pada uterus dapat juga dilakukan
dengan pem-berian cairan antiseptis
seperti larutan lugol 2,5 ml yang
dilarutkan dengan aquades 250 ml.
Larutan ini diberikan untuk irigasi dalam
uterus, irigasi dilakukan dengan kateter.
Dengan melakukan irigasi, sisa nanah
yang terkumpul dapat dikeluarkan
(Partodihardjo, S. 1987).
Terapi piometra dapat juga diberikan
de-ngan kombinasi antibiotik dan
PGF2, dengan terapi kombinasi ini
memperlihat-kan pengeluaran leleran
yang lebih cepat dibandingkan sapi
yang diterapi hanya de-ngan antibiotik.
Pengeluaran leleran pada sapi yang
diterapi dengan kombinasi an-tibiotik
dan PGF2 mulai terjadi sehari se-telah
terapi dan pengeluaran leleran terjadi
hampir setiap hari (Sayuti, A, et al.,
2012). Terapi menggunakan kombinasi
antibiotik dan PGF2, selain dapat
membunuh
kuman
juga
dapat
menyebabkan terjadinya pembukaan
serviks uterus karena penam-bahan
pemberian
PGF2.
Penggunaan
prostaglandin terutama PGF2 sebagai
terapi piometra didasarkan pada efek
luteolisis. Lebih dari itu pemakaian
PGF2 menyebabkan relaksasi serviks
dan penge-luaran leleran dari uterus
(Hirsbruner et al., 2000). Uterus yang
berada di bawah pe-ngaruh kerja
hormon estrogen, lebih peka terhadap
infeksi. Oleh karena itu, peng-gunaan
PGF2 dapat menyediakan ling-kungan
uterus yang resisten terhadap ku-man
(mikrobial) dan meningkatkan aktivitas

Edisi Bulan : OKTOBER - DESEMBER

pertahanan tubuh pada mekanisme


fago-sitosis (Wulster et al., 2003).
KESIMPULAN
Gangguan reproduksi post partus pada
ute-rus (metritis, endometritis dan
piometra) dapat dicegah dengan
memperhatikan
be-berapa
faktor
diantaranya: Penanganan masalah
reproduksi
seperti
pertolongan
kelahiran dan inseminasi buatan
hendak-nya dilakukan secara legaartis
sehingga mengurangi kejadian trauma
fisik yang akan menjadi faktor
predisposisi
gangguan
reproduksi,
manajemen pakan yang baik (kwalitas
dan kwantitas) sehingga men-dukung
kesuburan saluran reproduksi. Se-lain
itu diperlukan manajemen kesehatan
yang baik meliputi kesehatan sapi
(program pengobatan dan vaksinasi),
kebersihan kandang dan lingkungan
meliputi
sanitasi
dan
desinfeksi
sehingga dapat meminima-lisasi agen
patogen
(bakteri,
virus,
jamur,
protozoa) yang dapat mengganggu
kese-hatan sapi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepa-da drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa,
Ph.D selaku Kepala Balai Besar
Veteriner Wates atas arahan dan
sarannya. Ucapan terima kasih juga
kami sampaikan kepada Prof. Dr. drh.
Slamet Soebagyo sebagai do-sen
pembimbing ketika penulis menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter
Hewan di UGM.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Veterinarian.http://dokterkunta.blogspot.com/2008/10 endometritis.html.
Bearden, J.H. dan J.W. Fuquay. 1997 . Applied Animal Reproduction. Prentice-Hall, Inc. USA,
Beveridge, W.I .B . 1983 . Animal health in Australia. Vol. 4:Bacterial diseases of cattle, sheep
and goats.Australian Bureau ofAnimal Health . Canberra.

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


artikel ditulis oleh : ENDANG RUHIAT

halaman

Budiyanto, A, 2012. Peningkatan Tingkat Kebuntingan dan Kelahiran Sapi Di Indonesia dan
Masalah-masalah yang Terkait.www.dokterhewanjogja.com

36

Beveridge, W.I.B . 1986 . Animal health in' Australia. Vol. L Viral diseases of farm livestock.
Australian Bureau of Animal Health. Canberra .

BULETIN LABORATORIUM VETERINER


Balai Besar Veteriner Wates

Vol. 14 Nomer 4 Tahun 2014


Artikel 5

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

Edisi Bulan : OKTOBER - DESEMBER

Cuneo, S.P., C.S. Card, and E.J. Bicknell. 2006. Disease of Beef Cattle Associated with Postcalving and Breeding. Cattle Producers Library. London.
Garverick, H.A., and R.S. Youngquist. 1993. Getting Problem Cows Pregnant. Agricultural
Publication. USA.
Gustafsson, H., B. Kornmatitsuk, K. Konigsson, and H. Kindahl. 2004.
Peripartum and early post partum in the cow- physiology and phatology. Publised in IVIS with the
permission of the WBC. www.ivis.org.
Harjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.
Hisbruner, G., R. Ficher, U. Kupfer, H. Burkhardt, and A. Steiner. 2000. Effect of different doses
of prostaglandin F2a on intrauterine pressure and uterine motility during diestrus in
experimental cows. Theriogenology 54(2):291-303.
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Mutiara.
Jakarta.
Prihatno, SA. (2010). Kajian epidemiologi pada sapi perah yang mengalami kawin
berulang di kabupaten Sleman
Ratnawati, D, Pratiwi, W.C & Affandhi, L. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi Pada Sapi Potong. Penerbit pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. DEPTAN.
Subronto dan Tjahajati, I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Sayuti, A., Melia, J., Amrozi , Syafruddin, Roslizawaty1, dan Fahrima,l Y. 2012.

halaman

37

----- =o0o= -----

PROBLEM POST PARTUS PADA SAPI


artikel ditulis oleh : ENDANG RUHIAT

Anda mungkin juga menyukai