Anda di halaman 1dari 63

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Reformasi pendidikan di Indonesia berjalan amat lamban, salah satunya
disebabkan guru. Banyak guru tidak suka perubahan. Inginnya kurikulum dan
cara mengajar tetap seperti yang sudah-sudah. Banyak penataran guru dilakukan,
tetapi banyak yang setelah kembali tetap menjalankan tugas seperti sebelum
berangkat penataran (Suparno, 2004: 124).
Kondisi guru tersebut tidak lepas dari input perguruan tinggi yang
mencetak guru kurang bagus. Pengamatan peneliti, sebelum terbitnya UndangUndang Guru dan Dosen (UUGD), lulusan SMA/SMK/MA kurang tertarik
melanjutkan ke perguruan tinggi keguruan. Pengalaman peneliti saat lulus dari
MAN Demak tahun 1997, alumni yang melanjutkan ke perguruan tinggi
keguruan dianggap nomor dua. Setelah tidak diterima di UMPTN (Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri) --sekarang bernama SNMPTN (Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri-- pada pilihan pertama.
Mereka berpandangan lulusan perguruan tinggi keguruan tidak menjamin
masa depan yang mencerahkan. Dari segi kesejahteraan, guru masih tertinggal
dengan profesi lain, misalnya: dokter, pengacara, akuntan, teknik. Hal ini bisa
dilihat dari gaji yang rendah, sehingga pendapatan seorang guru untuk hidup

sederhana pun tidak mencukupi, apalagi di kota-kota besar. Darmaningtyas


(2007:143) menulis:
Seorang guru di wilayah Jabotabek dengan tingkat pendidikan S1 (sarjana)
sedikitnya butuh 10 tahun untuk bisa cicil kredit rumah paling sederhana
(RSS = Rumah Sangat Sederhana), atau butuh 15 tahun untuk bisa kredit
rumah tipe Rumah Sederhana (RS). Itu pun dengan kerja ekstra mengajar di
mana-mana dari pukul 05.00-19.00 WIB. Jika hanya mengajar di satu
tempat, gajinya tidak bakal cukup untuk kredit rumah yang paling sederhana
pun.
Ternyata kenyataan tersebut bukan isapan jempol, Bambang Putrantono,
guru SMP Negeri 7 Semarang menuturkan pengalaman pahit menjadi guru pada
masa orde baru,
Guru pada masa orde baru sungguh memprihatinkan. Saat itu gaji guru
tidak bisa mencukupi kebutuhan selama satu bulan. Apalagi untuk membeli
rumah, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih kurang (wawancara
pada tanggal 2 Oktober 2011).
Gambaran kondisi guru pada masa lalu diabadikan Iwan Fals dalam lirik
lagunya yang berjudul Oemar Bakri. Berikut potongan syairnya:
Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri.
Melihat kenyataan tersebut, keberadaan guru termarginalkan. Secara
politis, marginalisasi guru dilakukan sejak masa orde baru melalui berbagai
bentuk: penyeragaman pakaian dinas, keharusan hanya ada satu organisasi guru
(PGRI), memperkuat fungsi pengawas pendidikan, penataran-penataran yang
lebih bernada indoktrinatif, kurikulum dan buku pelajaran yang sentralistik,

metodologi pengajaran yang sama, serta sistem evaluasi yang sentralistik


(Darmaningtyas, 2007: 142).
Padahal melihat eksistensi guru memainkan peran yang signifikan.
Menurut Suroso (2002:116) guru adalah kunci penentu pendidikan. Jika tidak ada
guru

berkualitas,

hasil

inovasi

pendidikan

dan segala

kementerengan

laboratorium dan sarana belajar akan sia-sia saja. Bahkan Surya (2003: 28)
menegaskan, apabila guru terabaikan maka upaya reformasi pendidikan
bagaimana bagusnya, maka tidak akan mampu mencapai hasil optimal dan hanya
sekedar wacana. Karenanya, masalah guru baik dalam jumlah, mutu, dan
kesejahteraan harus mendapat prioritas dalam keseluruhan pendidikan nasional.
Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004.
Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan meningkat secara
signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka yang kepepet mencari kerja
(Darmaningtyas, 2005:197). Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No.
14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden
RI pada 30 Desember 2005.
Guru sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 1 adalah pendidik
profesional

dengan

tugas

utama

mendidik,

mengajar,

membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan


anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Menurut Oemar Hamalik (2001: 118), guru profesional, harus
memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki bakat sebagai guru, memiliki

keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, memiliki
mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang
luas, guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang
baik.
Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:

a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang


bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni;

c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis


kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang
keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik


guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa (Pasal 20)

Memperhatikan tugas guru tersebut, jelas bahwa tugas guru tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang. Perlu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebelum guru mengajar di sekolah. Dalam UUGD Pasal 8 disebutkan guru wajib
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Adapun kualifikasi akademik adalah lulusan sarjana (S1) atau diploma
empat (DIV).
Dalam

kompetensi,

guru

wajib

memenuhi

empat

kompetensi,

kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan

kompetensi profesional. Untuk memotret keempat kompetensi tersebut,


pemerintah menyelenggarakan

program sertifikasi guru. Bagi yang lulus

sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional sesuai


dengan mata pelajaran yang diampu. Sebelum tahun 2011, pola sertifikasi
melalui portofolio, sementara bagi yang belum lulus mengikuti pendidikan dan
pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun 2011 ini,
pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan
portofolio hanya 1%.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah
memberikan reward (penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi
kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk
menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan
kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan
kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan
tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan
pendidikan;

untuk

berperan

dalam

penentuan

kebijakan

j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan


kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya (UU
Guru dan Dosen Pasal Pasal 14 ayat 1).
Tujuan

diberikan

reward

tersebut

adalah

untuk

meningkatkan

profesionalisme dan kesejahteraan guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang


dapat dinikmati guru besertifikasi adalah mendapatkan tunjangan profesi yang
besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa kerja masing-masing.
Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga swasta.
Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP
(Tunjangan Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah
perbulan.
Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata
belum memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan
dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah
menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas
dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara
instan (Suara Merdeka, 1 Oktober 2010).
Tidak hanya itu, guru belum maksimal dalam memenuhi beban kerja guru.
Beban kerja guru diatur dalam pasal khusus yakni pasal 35 ayat 1 dan 2. Pasal
35 ayat 1 disebutkan beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas
tambahan. Dan ayat 2 ditegaskan, beban kerja guru sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka
dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu)
minggu.
Aturan tersebut kemudian dibreakdown dalam Peraturan Pemerintah No.
74 tahun 2009 tentang guru dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 39
tahun 2009. Dari regulasi tersebut tentang beban kerja guru dapat diketahui
seharusnya setiap guru di Indonesia dalam menjalankan profesinya harus
memenuhi kegiatan pokok, yakni merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta
didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Kemudian dalam melaksanakan
pembelajaran di kelas minimal 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam tatap
muka dalam satu minggu. Ternyata regulasi tersebut saat dimplementasikan,
penulis menduga banyak guru yang belum memenuhi beban kerja minimal.
Diantara guru yang belum memenuhi beban kerja guru, misalnya di SMPN
dan MTsN Kecamatan Pacitan Tahun Pelajaran 2008 / 2009, sebagian besar
Guru Tetap terutama Guru Tetap Mata Pelajaran masih belum dapat memenuhi
beban kerja paling sedikit 24 jam tatap muka dalam 1 minggu (SMPN ada 56
orang, sedangkan MTsN ada 5 Orang) (www.smpn1pacitan.sch.id diakses
tanggal 8 Desember 2010).
Dalam lingkup kecil, di SMP Negeri 7 Semarang tahun pelajaran
2010/2011, dari 38 guru yang ada ternyata 17 guru yang belum memenuhi beban
kerja seperti yang disyaratkan dalam UU Guru dan Dosen. Sedangkan pada
tahun pelajaran 2011/2012 masih ada 11 guru yang belum bisa memenuhi syarat

minimum beban kerja guru. Konsekuensi bagi guru yang belum sertifikasi (jika
tidak guru tersebut tidak bisa memenuhi) maka akan terganjal dalam sertifikasi
guru dan kenaikan golongan bagi guru PNS yang sesuai dengan Peraturan
Menteri Apartur Negara dan Reformasi nomor 16 tahun 2009 tentang jabatan
fungsional guru dan angka kreditnya.
Sebenarnya dengan aturan sebelumnya, yakni dengan menggunakan
Pedoman Pelaksanaan Tugas Guru dan Pengawas oleh Dirjen pada bulan Maret

tahun 2008 PMPTK yang berisi menampung aspirasi merencanakan


pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta
didik, serta melaksanakan tugas tambahan dihitung menjadi beban kerja guru.
Tetapi, hal itu dianulir dengan diterbitkannya PP No 74 tahun 2008 tentang guru
Pasal 52 (Beban Kerja Guru) dan Permendiknas No. 39 Tahun 2009 tentang
pemenuhan beban kerja guru dan pengawas satuan pendidikan yang tidak
mengakomodasi masalah tersebut.
Sampai saat ini, karena banyak guru yang belum dapat memenuhi beban
kerja guru terutama melaksanakan pembelajaran minimal 24 jam perminggu,
Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Permerdiknas No. 30 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tahun
2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.
Isi permendiknas tersebut merubah redaksi pada pasal 5, sebagai berikut:
Dalam jangka waktu sampai dengan tanggal 31 Desember 2011, guru dalam
jabatan yang bertugas selain di satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3, dalam keadaan kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu di wilayah
kabupaten/kota, dapat memenuhi beban mengajar minimal 24 (dua puluh
empat) jam tatap muka dengan cara:

a. mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran
yang diampunya dan/atau mengajar mata pelajaran lain yang tidak ada guru
mata pelajarannya pada satuan administrasi pangkal atau satuan pendidikan
lain;
b. menjadi tutor program Paket A, Paket B, Paket C, Paket C Kejuruan atau
program pendidikan keaksaraan;
c. menjadi guru bina atau gur pamong pada sekolah terbuka
d.menjadi guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan kelompok kerja
guru/musyawarah guru mata pelajaran (KKG/MGMP);
e. membina kegiatan ekstrakurikuler dalam bentuk kegiatan praja muda karana
(Pramuka), olimpiade/lomba kompetensi siswa, olahraga, kesenian, karya
ilmiah remaja (KIR), kerohanian, pasukan pengibar bendera (Paskibra),
pecinta alam (PA), palang merah remaja (PMR),jurnalistik/fotografi, usaha
kesehatan sekolah (UKS), dan sebagainya;
f. membina pengembangan diri peserta didik dalam bentuk kegiatan pelayanan
sesuai dengan bakat, minat, kemempuan, sikap, dan perilaku siswa dalam
belajar, serta kehidupan pribadi, social, dan pengembangan karir diri;
g. melakukan pembelajaran bertim (team teaching) dan/atau;
h. melakukan pembelajaran perbaikan (remedial teaching).
Dari kenyataan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang evaluasi kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang.
Adapun profil guru SMP Negeri 7 Semarang, dilihat dari jenjang pendidikan
dan kelamin dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.1 Jumlah guru berdasarkan jenjang pendidikan dan jenis
kelamin
No

Jenis Kelamin

Jenjang Pendidikan
S2

S1

D3

D2

D1

Jumlah

Laki-laki

12

18

Perempuan

15

20

Total

27

38

Sumber: Diolah dari dokumentasi Tata Usaha SMP Negeri 7 Semarang

10

Berdasarkan tabel di atas, jumlah keseluruhan guru SMP Negeri 7


Semarang berjumlah 38 orang. Rinciannya, 18 guru laki-laki dan 20 guru
perempuan. Sedangkan dilihat dari latar pendidikan, guru yang mempunyai
ijazah S2 sebanyak 6 orang, S1 berjumlah 27 orang, D3 berjumlah 4 orang, dan
D1 sebanyak 1 orang. Khusus untuk guru yang berpendidikan D3 dan D1,
sekarang dalam proses penyelesaian S1 di Universitas Terbuka.
Dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik yang profesional,
maka guru SMP Negeri 7 Semarang harus memenuhi beban kerja yang
diamanatkan dalam UUGD pasal 35 (1), dan (2) dan Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009
tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
. Berdasarkan pengamatan penulis sementara di SMP Negeri 7 Semarang,
pelaksanaan beban kerja guru, yakni pertama, merencanakan pembelajaran. Dari
aspek ini semua guru membuat perencaan pembelajaran. Hanya saja masih ada
guru yang dalam pembuatannya copy paste milik temannya atau dari internet.
Kedua, melaksanakan pembelajaran. Semua guru di SMP Negeri 7 Semarang
melaksanakan pembelajaran di kelas. Dalam melaksanakan pembelajaran, belum
semua guru dapat memenuhi beban kerja guru minimal 24 jam perminggu. Tahun
pelajaran 2011/2012, dari 38 guru di SMP Negeri 7 Semarang terdapat 11 guru
yang belum bisa memenuhi batas minimal beban kerja minggu.
Ketiga, menilai hasil pembelajaran. Beban kerja guru yang ketiga, semua
guru melaksanakan penilaian hasil pembelajaran. Penilaian tersebut dilaksanakan
dalam ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan

11

ulangan kenaikan kelas. Keempat, membimbing dan melatih peserta didik. Aspek
ini guru melakukan bimbingan dan melatih peserta didik di kelas maupun luar
kelas. Bagian ini yang lebih banyak tugas membimbing adalah guru
Bimbingandan

Konseling.

Sedangkan

fungsi

melatih

dilakukan

guru

ekstrakulikuler, yakni: Baca Tulis Alquran (BTA), Jurnalistik, Karya Ilmiah


Siswa, English, Seni Tari, Seni Musik, Paskibra, Pramuka, dan Bola Volly.
Kelima, pengembangan keprofesian keberlanjutan. Aspek beban kerja guru yang
terakhir ini, hanya satu persen yang melakukan. Sisanya 99 persen belum
melakukan pengembangan keprofesian keberlanjutan.
Adapun alasan pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertama, SMP
Negeri 7 Semarang tergolong sekolah unggulan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil
akreditasi mendapatkan nilai A (96). Kedua, peserta didik SMP Negeri 7
Semarang berhasil menjuarai berbagai kompetisi di tingkat regional maupun
nasional. Tidak hanya peserta didiknya tetapi juga pendidiknya. Ketiga, lokasi
SMP Negeri 7 Semarang tergolongan sekolah menengah pertama yang strategis,
(tengah kota, dekat dengan balaikota, mudah dijangkau), yakni terletak di Jalan
Imam Bonjol 191A.
B. Identifikasi Masalah dan Perumusah Masalah
B.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang di atas dapat
diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
a. masih ada guru yang belum bisa memenuhi beban kerja guru dalam
melaksanakan pembelajaran seperti diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun

12

2005 tentang Guru dan Dosen. Tahun pelajaran 2011/2012, dari jumlah
keseluruhan guru, yakni 38 ternyata masih ada 11 guru yang belum bisa
memenuhi minimal beban kerja guru khususnya dalam melaksanakan
pembelajaran;
b. kebijakan beban kerja yang ada, banyak guru yang berorientasi pada jam
tatap muka. Sedangkan tugas pokok yang lain (merencanakan
pembelajaran, membimbing peserta didik dan pengembangan keprofesian
keberlanjutan) belum dilaksanakan dengan maksimal;

c. beban kerja guru yang diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen belum
mencerminkan empat kompetensi bagi guru, khusunya kompetensi
profesional.
B.2. Perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penelitian ini difokuskan pada
masalah berikut ini, yaitu: bagaimana evaluasi kebijakan beban kerja guru di
SMP Negeri 7 Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian yang dibuat penulis
bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7
Semarang, sehingga akan mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yakni secara teoritis
dan praktis.
D. 1 Secara teoritis

13

Peneliti berharap melalui penelitian ini secara teoritis dapat berguna dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kebijakan pendidikan.
Apalagi dalam pengamatan penulis, penelitian tentang beban kerja guru
yang terbaru tergolong tidak banyak. Sehingga nantinya, penelitian dapat
memperkaya kajian tentang evaluasi kebijakan beban kerja guru.
D.2 Secara praktis
Kegunaan penelitian ini secara praktis adalah bermanfaat untuk bahan
masukan pengambil kebijakan pemerintah maupun pengelola sekolah agar
dalam pelaksanaan kebijakan khususnya beban kerja guru dapat terpenuhi
dengan maksimal dan dapat mewujudkan guru yang professional.

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan
Istilah kebijakan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 190)
diartikan dengan kepandaian; kemahiran; kebijakan; rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dipelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpian, dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi dan sebagainya)
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk
manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan. Sementara itu, Islamy
dalam Suwitri (2009: 5) berpendapat bahwa kata kebijakan berasal dari kata
policy yang pelaksanaannya mencakup peraturan-peraturan di dalamnya dan
sangat berkaitan dengan proses politik.
Sedangkan Thoha (2010: 106) memberikan arti yang lebih luas terhadap
arti policy mempunyai dua aspek pokok, yakni: pertama, policy merupakan
praktika sosial, ia bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan demikian,
sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian dalam
masyarakat dan dipergunakan pula untuk kepentingan masyarakat. Kedua,
policy adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan baik untuk mendamaikan claim

15

dari pihak-pihak konflik, atau untuk menciptakan incentive bagi tindakan


bersama untuk pihak-pihak yang ikut menetapkan tujuan akan tetapi
mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha bersama tersebut.
Secara filosofi, kebijakan dipandang sebagai serangkaian prinsip, atau
kondisi yang diinginkan; sebagai suatu produk. Kebijakan diartikan sebagai
serangkaian kesimpulan atau rekomendasi, sebagai suatu proses kebijakan
menunjuk pada cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam
mencapai produknya; dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan
suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan
metode (Keban, 2008: 59).
Sementara

itu

Aminullah

dalam

Muhammadi,

(2001:

371372)

berpendapat kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi


sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud
bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh. Laswell sebagaimana
dikutip Parsons (2006: 17) menyebutkan: kata kebijakan umumnya dipakai
untuk menunjukkan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan
organisasi atau privatKebijakan bebas dari konotasi yang dicakup dalam
kata politis yang sering diyakini mengandung makna keberpihakan dan
korupsi.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan adalah sistem nilai kebijakan
dan kebijaksanaan yang lahir dari aktor atau lembaga yang bersangkutan.

16

Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan


dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan.
Kemudian menurut Abidin (2004:31-33), kebijakan dapat dibedakan dalam
tiga tingkatan:
1.

Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau


petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat
negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang
bersangkutan.

2.

Kebijakan

pelaksanaan

adalah

kebijakan

yang

menjabarkan

kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang


pelaksanaan suatu undang-undang.
3.

Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah


kebijakan pelaksanaan.

B. Kebijakan Publik
Istilah kebijakan publik sering disebut dengan public policy, yaitu
suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan
berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi
sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan
didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan
sanksi (Nugroho, 2004: 1-7).

17

Bagi Mustopadidjaja (2007:5) memberikan pengertian kebijakan


publik sebagai suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi
permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, atau untuk
mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan
dalam

rangka

penyelenggaraan

tugas

pemerintahan

negara

dan

pembangunan.
Sementara itu Dye (1978: 2) mendefinisikan bahwa kebijakan publik
adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah.
Pengertian kebijakan publik tersebut terdapat kelemahan-kelemahan, yakni:
ruang lingkup studi ini menjadi sangat luas dan kabur. Kedua, definisi Dye
sebenarnya tak lebih dari pengertian dari ilmu politik khususnya yang
menfokuskan negara sebagai pokok kajiannya (Badjuri dan Yuwono, 2002:
192).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana dipahami sebagai
kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum.
Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya
secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan
bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi
kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh
para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan
menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah
menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan

18

Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus
ditaati.
Berdasarkan p e n d a p a t y a n g d i k e m u k a k a n beberapa pakar
kebijakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan beban kerja
guru termasuk kebijakan publik. Sementara itu, komponen-komponen dalam
kebijakan publik menurut Jones dalam Tangkilisan (2003: 3) adalah:
a. goal atau tujuan yang ingin diinginkan;
b. plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan;
c. program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan;
d. decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan
tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program;
e. efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer
atau sekunder.
C. Evaluasi Kebijakan
C.1. Pengertian evaluasi
Istilah evaluasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 384)
diartikan sebagai penilaian. Wandt dan Brown (1977) yang dikutip
Soedijono (2009: 1) memberikan definisi evaluasi refer to the act otr
process to determining the value of something. Menurut pengertian tersebut
evaluasi menunjukkan kepada atau mengandung pengertian suatu tindakan
atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.

19

Sedangkan menurut Stufflebeam et.al (1971) yang dikutip Daryanto


(2008: 1) evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing
useful information for judging decision alternatives. (Evaluasi merupakan
proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang
berguna untuk menilai alternatif keputusan.
Anderson (dalam Arikunto, 2004 : 1) memandang Evaluasi sebagai
sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang
direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Sedangkan Pedoman
Evaluasi yang diterbitkan Direktorat Ditjen PLS Depdiknas (2002: 2)
memberikan pengetian evaluasi adalah proses pengumpulan dan penelaahan
data secara berencana, sistematis dan dengan menggunakan metode dan alat
tertentu untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan
program dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan.
Evaluasi adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai,
tujuan, efektifitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses penetapan keputusan itu didasarkan
atas perbandingan secara hati-hati terhadap data yang diobservasi dengan
menggunakan standar tertentu yang telah dibakukan.
Ralp Tyler,1950 (dalam Suharsimi, 2007) mendefinisikan bahwa
evaluasi adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat
terealisasi. Sedangkan Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) evaluasi m
adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil
keputusan. Suharsmi Arikunto dan Abdul Jabar (2004 : 1), evaluasi adalah
suatu kegiatan atau tindakan atau proses untuk menilai segala sesuatu

20

sehingga dapat diketahui hasil-hasilnya dan berguna menilai alternatif


keputusan.
32

Pengertian lebih khusus diberikan Riant Nugroho (2009: 535),


evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan
publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauhmana
tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan
dan kenyataan.
C.2 Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan proses
kebijakan yang kritis dan penting (Tangkilisan,2003: IX). Hal ini
dikarenakan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan kebijakan di
lapangan, apakah sesuai dengan harapan atau ada yang menyimpang.
Subarsono (2005: 119) memberikan pengertian tentang evaluasi kebijakan
sebagai kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Sedangkan
Dye dalam Parsons (2008: 545) memberikan pengertian evaluasi kebijakan
adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris terhadap efek dari
kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin
dicapai.
Kemudian dalam kebijakan mengapa perlu ada evaluasi? Subarsono
(2005: 123) memberikan argumen, yaitu:
a. agar mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh
suatu kebijakan mencapai tujuannya;
b. untuk mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan
melihat tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu

21

kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban


pemerintah kepada publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat
dari kebijakan dan program pemerintah;
c. untuk menunjukkan pada stakeholder manfaat suatu kebijakan. Apabila
tidak dilakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan, para stakeholders,
terutama kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari
sebuah kebijakan atau program;
d. untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Finalnya, evaluasi
kebijakan

bermanfaat

untuk

memberikan

masukan

bagi

proses

pengambilan kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi


kesalahan yang sama. Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat
ditetapkan kebijakan yang lebih baik.
C.3. Tujuan Evaluasi Kebijakan
Menurut Sudjana (2006 : 48), tujuan dilaksanakan evaluasi adalah untuk :
a. memberikan masukan bagi perencanaan program;
b. menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan
tindak lanjut, perluasan atau penghentian program;
c. memberikan masukan bagi pengambilan keputusan tentang modifikasi
atau perbaikan program
d. memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan
penghambat program;
e. memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan,
supervisi dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola dan pelaksana
program dan.

22

f. menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program


pendidikan luar sekolah.
Lebih khusus lagi, Badjuri dan Yuwono (2002: 132) mengatakan
evaluasi kebijakan setidaknya ada tiga tujuan utama, yaitu:
a. Untuk menguji apakah kebijakan yang diimplementasikan telah
mencapai tujuan?
b. Untuk menunjukkan akuntabilitas pelaksana publik terhadap kebijakan
yang telah diimplementasikan;
c. Untuk memberikan masukan pada kebijakan-kebijakan publik yang akan
datang.
Tidak hanya itu, menurut Nugroho (2009: 535-536), tujuan pokok
evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan, melainkan untuk melihat
seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya bagaimana mengurangi atau
menutup kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan publik harus
dipahami sebagai sesuatu yang bersifat positif
C. 4. Model-Model Evaluasi
Yang dimaksud dengan model evaluasi di sini adalah model desain evaluasi
yang dibuat oleh orang ahli dalam evaluasi. Disamping itu, model evaluasi
tersebut berfungsi sebagai pisau analisis dalam melaksanakan evaluasi.
Diantara model dalam evaluasi adalah:
1. Model Evaluasi CIIP
Model ini menurut Stufflebeam,1983 (dalam Farida Yusuf, 2000)
pendekatan yang berorientasi pada pemegang keputusan (a decision
oriented evaluation approach structured) untuk menolong administrator
dalam membuat keputusan. Ia merumuskan evaluasi sebagai suatu proses
menggambarkan, memperoleh dan menyediakan informasi yang berguna

23

untuk menilai alternatif keputusan. Dia membuat pedoman kerja untuk


melayani para manajer dan administrator menghadapi empat macam
keputusan pendidikan, membagi evaluasi menjadi empat macam, yaitu :
a. Contect evaluation to serve planning descion, konteks evaluasi ini
membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang
akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.
b. Input evaluation, structuring decion, evaluasi ini menolong mengatur
keputusan, menentukan sumbser-sumber yang ada, alternatif yang
diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan,
bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
c. Process evaluation, to serve implementing decion, evaluasi proses
untuk

membantu

mengimplementasikan

keputusan

sampai

sejauhmana rencana telah dapat diterapkan ? apa yang harus


direvisi ? Begitu pertanyaan tersebut terjawab prosedur dapat
dimonitor, dikontrol dan diperbaiki.
d. Product evaluation, to serve recycling dicion, evaluasi produk untuk
menolong keputusan selanjutnya, apa hasil yang telah dicapai ? apa
yang dilakukan setelah program berjalan.
Keempat hal tersebut di atas merupakan sasaran evaluasi yang
tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan.
Model evaluasi CIPP adalah model evaluasi yang memandang
program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Dengan demikian
apabila evaluator sudah menentukan model CIPP akan digunakan
untuk mengevaluasi program yang ditugaskan maka mau tidak mau
mereka

harus

menganalisis

program

tersebut

berdasarkan

komponennya. Model ini sekarang telah disempurnakan dengan satu

24

komponen singkatan dari outcames, sehingga menjadi model CIPPO.


(Karding, 2008: 42)
2. Model CSE UCLA
CSE-UCLA merupakan singkatan dari Centre for the Study of
Evaluation University of California in Los Angeles. Dalam model ini
empat tahap evaluasi yakni needs assessment, planning program,
formative evaluation, summative evaluation (Arikunto dan Jabar, 2004:
27-28).
Model ini digambarkan sebagai berikut:
Needs
Planning
Formative
Assessment Program
Evaluation

(a)

(b)

(c)

Summative
Evaluation

(d)

Gamabar II. 1 Tahap-tahap evaluasi model CSE-UCLA


Keterangan:
a. Need assessment
Dalam tahap ini evaluator memusatkan pada penentuan masalah.
Pertanyaan yang diajukan adalah:
- hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan
keberadaan

program?Kebutuhan

apakah

yang

terpenuhi

sehubungan dengan adanya pelaksanaan program ini?


- Tujuan jangka panjang apakah yang akan dicapai melalui
program ini?
b. Planning Program
Dalam tahap kedua, evaluator mengumpulkan data yang terkait
langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan
kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap kesatu. Dalam tahap
perencanaan ini apakah kebijaksanaan beban kerja guru dievaluasi
dengan cermat untuk mengetahui apakah rencana beban kerja guru
telah disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan.
c. Evaluation Formative

25

Pada tahap ketiga ini, evaluator memusatkan perhatian pada


keterlaksanaan program. Dengan demikian, evaluator diharapkan
betul-betul terlibat dalam program karena harus mengumpulkan
data dan berbagai informasi dari pengembang program.
d. Summative Evaluation,
Dalam tahap keempat, yaitu evaluasi sumatif, para evaluator
diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan
dampak dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan
dapat diketahui apakah tujuan yang dirumuskan untuk program
sudah tercapai, dan jika belum dicari bagian mana yang belum dan
apa penyebabnya.
3. Sudjana, (2006:51) berpendapat bahwa model evaluasi terdapat enam
model, yaitu :
a. model evaluasi terfokus pada pengambilan keputusan (jenis inilah yang
terbanyak digunakan),
b. model evaluasi terhadap unsur-unsur program,
c. model evaluasi terhadap jenis/tipe kegiatan program,
d. model evaluasi terhadap proses pelaksanaan program,
e. model evaluasi terhadap pencapaian tujuan program,
f. model evaluasi terhadap hasil dan pengaruh program.
4. Ernest R House dalam Riant (2006:165) membagi model evaluasi menjadi :
a. model sistem (dengan indikator utama adalah efisiensi)
b. model perilaku (dengan indikator utama adalah produktivitas dan
akuntabilitas)
c. model formulasi keputusan (dengan indikator utama adalah keefektifan
dan keterjagaan kualitas)
d. model tujuan-bebas (goal free) denga indikator utama adalah pilihan
pengguna dan manfaat sosial.
e. model kekritisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah
standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.

26

f. model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan


profesional.
g. model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah
resolusi.
h. model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas.
Sedangkan menurut Jones (1994) dalam Suwitri (2009: 56-11) evaluasi
merupakan salah satu bagian tahapan proses kebijakan publik. Adapun
tahapan-tahapan

tersebut

adalah

perception/definition,

agregation,

organization, represantation, agenda setting, formulation, legimitation,


budgeting, implementation, evaluation, dan adjusment/termination. Adapun
penjelasan yang dihubungkan dengan evaluasi pelaksanaan UU No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 35 tentang beban kerja guru
adalah:
a. perception/definition
Yang dimaksud dengan tahapan ini adalah mendefinisikan
masalah dalam proses kebijakan. Masalah yang dimaksudkan dalam
pembahasan tulisan ini ialah pelaksanaan UU Guru Dosen Pasal 35
yakni tentang beban kerja guru. Dalam pasal tersebut terdiri dari dua
pasal. Pasal 1 berbunyi: Beban kerja guru mencakup kegiatan
pokok

yaitu

merencanakan

pembelajaran,

melaksanakan

pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih


peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Sedangkan ayat
(2), ditulis beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka

27

dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1


(satu) minggu.
Dari pasal tersebut, timbul masalah, yakni mengapa dalam
perhitungan beban kerja guru yang dihitung hanya melaksanakan
melaksanakan tatap muka saja, sedangkan tugas pokok yang lain
(merencanakan

pembelajaran,

menilai

hasil

pembelajaran,

membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas


tambahan) tidak dihitung sebagai beban kerja guru?
b. agregation
Tahap ini yang dilakukan adalah mengumpulkan orang-orang
yang mempunyai pikiran sama atau mempengaruhi orang-orang
agar berpikiran sama terhadap sama. Setidaknya terhadap masalah
ini, dalam berbagai kesempatan (khususnya forum guru) masalah
ini diungkapkan. Banyak guru yang merasakan sama dengan
masalah ini. Tidak hanya itu, pengungkapan masalah ini juga
melalui media massa. Diantaranya melalui pemberitaan di Suara
Merdeka, Wawasan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, LKBN Antara.
Di samping itu masalah tersebut diungkapkan melalui jurnal yang
ditulis oleh para para pengamat pendidikan.
Dari langkah-langkah tersebut sebenarnya direspon baik oleh
pemerintah, dalam hal Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas. Yakni
dari pihak Dirjen PMPTK mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan
Tugas Guru dan Pengawas tahun 2008 yang berisi menampung
aspirasi merencanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas

28

tambahan dihitung menjadi beban kerja guru. Tapi, hal itu dianulir
oleh Permendiknas No. 39 Tahun 2009 tentang pemenuhan beban
kerja guru dan pengawas satuan pendidikan yang hanya tidak
mengakomodasi masalah tersebut.
c. organization
Maksud tahap ini adalah mengorganisasi orang-orang yang
berhasil dikumpulkan tersebut ke dalam wadah organisasi baik
formal maupun informal. Dalam masalah tersebut belum banyak
organisasi guru atau pendidikan belum banyak memperjuangkan
masalah tersebut. Organisasi yang memperjuangkan masalah
tersebut Centre for Education Studies (CES), Persatuan Guru
Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jawa Tengah.
d. represantation
Tahap ini yang dilakukan adalah mengajak orang-orang
berpikiran sama terhadap suatu masalah untuk mempengaruhi
pembuat kebijakan agar masalah tersebut dapat diakses ke agenda
setting. Dalam masalah ini organisasi yang mendukung untuk
meninjau ulang beban kerja guru mengajak berbagai pegiat
pendidikan agar memperjuangkan masalah tersebut. Hal ini
dilakukan dalam berbagai kesempatan pertemuan pendidikan,
masalah tersebut terus didengungkan.
e. agenda setting
Terpilihnya suatu masalah ke dalam agenda pembuat
kebijakan. Kaitannya masalah ini, yakni perlu peninjaulan kembali
UU Guru dan Dosen pasal 35 tentang beban kerja guru, khususnya
ayat (2). Di mana dalam ayat tersebut perlu memasukkan

29

merencanakan

pembelajaran,

menilai

hasil

pembelajaran,

membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas


tambahan dihitung menjadi beban kerja guru.
f. formulation
Tahap ini merupakan tahap yang paling kritis, masalah dapat
diredefinisi dan memperoleh solusi yang tidak polular di masyarakat
tetapi merupakan kepentingan kelompok mayor dari para pembuat
kebijakan. Dalam konsteks ini para pengusul terhadap pengkajian
ulang terhadap beban kerja guru. Sebenarnya langkah kompromis
telah dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini Dirjen PMPTK)
dengan mengeluarkan pedoman Pedoman Pelaksanaan Tugas Guru
dan Pengawas tahun 2008 yang menampung aspirasi merencanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih
peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan dihitung menjadi
beban kerja guru. Tapi, hal itu dianulir oleh Permendiknas No. 39
Tahun 2009 tentang pemenuhan beban kerja guru dan pengawas
satuan pendidikan yang hanya tidak mengakomodasi masalah
tersebut
g. legitimation
Tahap ini adanya proses pengesahan dari alternatif yang
terpilih. Hubungannya dengan masalah ini adalah adanya jalur
alternatif untuk masalah beban kerja guru. Artinya kalau aturan
tersebut dalam terjemahan aturan di bawah sudah bisa menampung
aspirasi guru, yakni tugas selain melaksanakan pembelajaran juga
dihitung sebagai beban kerja, sebenarnya menjadi jalan tengah.
Tetapi karena PP dan permendiknas belum mengakomodasi masalah

30

tersebut, maka tidak ada jalan lain, kecuali mengamenden UU Guru


dan Dosen (UUGD). Karena UUGD adalah pokok pangkal PP dan
Permendiknas.
h. budgeting
Penganggaran

yang

disediakan

untuk

implementasi

kebijakan. Dalam konteks ini penganggaran yang berkaitan dengan


beban kerja guru tidak lepas dari anggaran pendidikan dalam skala
nasional. Anggaran pendidikan secara nasional adalah 20 % dari
total APBN, yakni sebesar 200 triliun.
i. implementation
Dalam tahap ini adalah mengimplementasikan kebijakan.
Sejak diundangkan pada tanggal 25 Desember 2005, maka UUGD
resmi dilaksanakan. Semua guru dan dosen di Indonesia terikat
dengan pasal-pasal yang termaktub dalam UUGD termasuk di
dalamnya adalah tentang beban kerja guru. Dalam penjabaran
UUGD diperlukan PP dan Permendiknas untuk menjabarkan dengan
lebih mendetail. Khusus, tentang beban kerja guru telah dijabarkan
dalam PP No. 74 tahun 2009 tentang guru dan Permendiknas No. 39
Tahun 2009 tentang pemenuhan beban kerja guru dan pengawas
satuan pendidikan.
j. evaluation
Dalam tahap ini dilakukan penilaian hasil implementasi
kebijakan, setelah menentukan metode evaluasi. Merupakan tahap
di mana upaya

dilakukan untuk menemukan

faktor-faktor

penghambat dan pendorong serta kelemahan dari sisi konteks

31

kebijakan itu sendiri. Lebih lanjut evaluasi terhadap beban kerja


guru akan dibahas tersendiri.
k. adjusment/termination
Tahap ini dilakukan penyesuaian kebijakan publik untuk
menentukan apakah perlu direvisi ataukah diakhiri. Dalam konteks
ini bukan berarti berhenti, tetapi perlu menginovasi strategi untuk
mengamandemen UUGD. Bentuk inovasi strategi tersebut adalah
dengan menyatukan pemahaman dari organisasi yang peduli
terhadap pendidik terhadap beban kerja guru dalam UUGD. Setelah
itu, perlu langkah konkrit, yakni dengan mengajukan judicial review
ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Lebih khusus lagi, kaitan evaluasi dengan proses kebijakan
digambarkan (Parsons, 2006: 80) dalam siklus di bawah ini:

Gambar II.2 Siklus evaluasi kebijakan


Dari gambar di atas, terlihat jelas siklus evaluasi kebijakan.
a. Problem
Siklus evalusi kebijakan dimulai dari adanya problem (masalah).
Yang dimaksud dengan masalah adalah apa yang diharapkan tidak

32

sesuai dengan kenyataan. Dalam konteks ini adalah tentang adanya


guru yang belum bisa memenuhi beban kerja guru di SMP Negeri 7
b.

Semarang.
Solusi alternatif
Setelah mengetahui

masalah

di

atas,

dicari

solusi

untuk

memecahkannya. Dalam memecahkan tentunya berdasarkan akar


permasalahannya. Harapannya nanti setelah ada pemecahan, tidak
muncul
c.

masalah

baru.

Meminjam

istilah

iklan

pegadaian,

memecahkan masalah tanpa masalah.


Seleksi opsi kebijakan
Setelah mendapatkan solusi alternatif, kemudian menyeleksi opsi
kebijakan berikutnya. Seharusnya dalam menyeleksi ini perlu
kecermatan dan kehati-hatian, agar kebijakan yang dikeluarkan, tidak

d.

menimbulkan masalah baru.


Implementasi
Dari tahap ketiga dia atas dilaksanakan, selanjutnya melaksanakan
kebijakan

e.

tersebut.

Dalam

melaksanakan

kebijakan

perlu

dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh setiap orang yang terlibatnya.


Evaluasi
Tahap terakhir adalah evaluasi. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat
sejauhmana keterlaksanaan kebijakan yang telah diimplementasikan.
Dari evaluasi tersebut akan diketahui kelebihan dan kekurangan
kebijakan yang dilaksanakan.

e. Menurut Finance dalam Badjuri dan Yuwono (2002: 135) ada empat tipe
evaluasi, yakni: evaluasi kecocokan (appropriateness evaluation),
evaluasi

efektivitas

(effectiveness

evaluation),

evaluasi

efisiensi

(efficiency evaluation) dan evaluasi meta (meta evaluation). Penjelasan


keempat tipe tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

33

Tabel II. 3 Tipe evaluasi kebijakan


N Tipe Evaluasi
o
1

Pengujian Dasar

Evaluasi
kecocokan

a. Apakah kebijakan yang sedang berlangsung


cocok untuk dipertahankan?
b. Apakah kebijakan baru dibutuhkan untuk
mengganti kebijaksanaan ini?
c. Siapakah semestinya yang menjalankan
kebijakan publik tersebut: pemerintah atau
sector swasta?
Evaluasi
a.Apakah
program
kebijakan
tersebut
efektivitas
menghasilkan hasil dan dampak kebijakan
yang diharapkan ?
b. Apakah tujuan yang dicapai dapat terwujud?
c. Apakah dampak yang diharapkan sebanding
dengan usaha yang dilakukan
Evaluasi efisiensi
a. Apakah input yang digunakan telah
mendapat hasil sebanding dengan output
kebijakannya ?
b. Apakah cukup efisiensi dalam penggunaan
keuangan publik untuk mencapai dampak
kebijakan tersebut?
Evaluasi meta
a. apakah evaluasi yang dilakukan oleh lembaga
berwenang sudah profesional?
b. apakah evaluasi tersebut sensitif terhadap
kondisi sosial, kultural dan lingkungan?
c. apakah evaluasi tersebut menghasilkan
laporan yang mempengaruhi pilihan-pilihan
manajerial?
Sumber: Badjuri dan Yuwono (2002: 137-138)

f. Menurut Bridgman & Davis dalam Badjuri dan Yuwono (2002: 138)
mengacu pada empat indikator pokok yaitu input, process, outputs dan
outcomes. Masing-masing indikator tersebut akan dijelaskan berikut ini:
a. Indikator input (masukan)
Indikator input menfokuskan pada penilaian apakah sumber daya
pendukung

dan

bahan-bahan

dasar

yang

diperlukan

untuk

melaksanakan kebijakan. Indikator ini terdiri atas sumber daya


manusia, uang, atau infrastruktur pendukung lainnya.

34

b. Indikator process (proses)


Indikator proses menfokuskan pada penilaian bagaimana sebuah
kebijakan ditransformasikan dalam bentuk pelayanan langsung kepada
masyarakat. Indikator ini terdiri atas aspek efektivitas dan efisiensi dari
metode atau cara yang dipakai untuk melaksanakan kebijakan publik
tertentu.
c. Indikator outputs (hasil)
Indikator hasil, menfokuskan penilaian pada hasil atau produk yang
dapat dihasilkan dari sistem atau proses kebijakan publik. Indikator
hasil ini misalnya berapa orang yang berhasil mengikuti program
tertentu.
d. Indikator outcomes (dampak)
Indikator dampak menfokuskan diri pada pertanyaan dampak yang
diterima oleh masyarakat luas atau pihak yang terkena kebijakan.
Apakah kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi dalam jangka
lama?
Keempat indikator tersebut diringkas dalam tabel berikut ini:
II. 4 Tabel indikator evaluasi
No Indikator evaluasi
1
Input

Fokus penilaian
a. Apakah sumber daya pendukung dan
bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan?
b. Berapakah sumber daya manusia, uang
atau infrastruktur pendukung lain yang
diperlukan?

a. Bagaimanakah
sebuah
kebijakan
ditransformasikan dalam bentuk pelayanan

Proses

35

langsung kepada masyarakat?


b. Bagaimanakah efektivitas dan efisiensi
dari metode/cara yang dipakai untuk
melaksanakan kebijakan publik tersebut?
Outputs
a. apakah hasil atau produk yang dihasilkan
sebuah kebijakan publik?
b. berapa orang yang berhasil mengikuti
program/kebijakan tersebut?
Outcomes
a. Apakah dampak yang diterima oleh
masyarakat luas atau pihak yang terkena
kebijakan?
b. Berapa banyak dampak positif yang
dihasilkan ?
c. Apakah dampak negatifnya? Seberapa
seriuskan?
Sumber: Badjuri dan Yuwono (2002: 140-141)
Dari keenam model evaluasi di atas, peneliti memilih model yang

keenam sebagai pisau analis dalam mengevaluasi beban kerja guru di SMP
Negeri 7 Semarang. Alasannya, pertama, model yang keenam ini lebih
mudah, ringkas dalam mengevaluasi beban kerja guru. Kedua, model
keenam lebih operasional untuk mengevaluasi beban kerja guru di SMP
Negeri 7 Semarang.

D. Beban Kerja Guru


Menurut Haryanto (2004) sebagaimana dikutip Adil Kurnia
(www.adilkurnia.wordpress.com) bahwa yang dimaksud dengan beban
kerja adalah: jumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh seseorang
ataupun sekelompok orang selama periode waktu tertentu dalam keadaan
normal. Sedangkan yang dimaksud dengan beban kerja guru adalah
jumlah kegiatan yang harus dilakukan guru dalam memenuhi tanggung

36

jawabnya. Beban kerja guru di sini diatur dalam UU Guru dan Dosen,
yakni Pasal 35 ayat 1 dan 2.
Dalam pasal 35 (1) disebutkan: Beban kerja guru mencakup kegiatan
pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta
melaksanakan tugas tambahan. Sedangkan ayat (2), ditulis beban kerja
guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24
(dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat
puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
Dari pasal tersebut kemudian dibreakdown ke aturan dibawahnya,
yakni Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan tersebut adalah

PP No.74

tentang guru. Khusus beban kerja guru diatur dalam pasal 52-53. Dalam
pasal 52 ayat 1 disebutkan Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok:
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, dan melaksanakan
tugas tambahan yang melekat pada kegiatan pokok sesuai dengan beban
guru.
Kemudian ayat 2 disebutkan bahwa beban kerja guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam
tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1
(satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin
pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah.

37

Pada ayat (3) ditulis bahwa pemenuhan beban kerja paling sedikit 24
(dua puluh empat) tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam
tatap muka dalam satu minggu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikir 6 (enam) jam tatap muka
dalam (1) satu minggu pada satuan pendidikan tempat tugasnya sebagai
guru tetap.
Kemudian pada pasal 53 disebutkan bahwa Menteri dapat
menetapkan ekuivalensi beban kerja untuk memenuhi ketentuan beban
kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) bagi
guru yang: bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus, berkeahlian
khusus, dan atau dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan
nasional.
Dari PP tersebut kemudian dijabarkan dalam peraturan menteri,
yakni peraturan menteri pendidikan nasional (Permendiknas No. 39 tahun
2009 tentang beban kerja guru). Disebutkan dalam pasal 2 ayat (1)
disebutkan guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja sebagaimana
dimaksud pada pasal 1 diberi tugas mengajar pada satuan pendidikan
formal yang bukan satuan administrasi pangkalnya, baik negeri atau
swasta sebagai guru kelas atau guru mata pelajaran yang sesuai dengan
sertifikat pendidik.
Lebih tegas lagi pada pasal 5 ayat 1 dalam jangka waktu dua tahun
sejak berlakunya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini, guru dalam
jabatan yang bertugas selain di satuan pendidikan sebagaimana dimaksud

38

pada pasal 3, dalam keadaan kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu
di wilayah kabupaten/kota, dapat memenuhi beban mengajar minimal 24
(dua puluh empat) jam tatap muka dengan cara:
a. Mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan rumpun mata pelajaran
yang diampunya dan/atau mengajar mata pelajaran lain yang tidak
ada mata pelajarannya pada satuan administrasi pangkal atau satuan
pendidikan lain;
b. Menjadi tutor program paket A, paket B, paket C, paket C Kejuruan
atau program pendidikan keaksaraan;
c. Menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka
d. Menjadi guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan kelompok kerja guru
(KKG) atau musyawarah guru mata pelajaran (MGMP)
e. Membina kegiatan ekstrakulikuler dalam bentuk kegiatan Praja
Muda Karana (Pramuka), Olimpiade/Lomba Kompetensi Siswa,
Olahraga, Kesenian, Karya Ilmiah Remaja (KIR), kerohanian,
Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), Pecinta Alam (PA), Palang
Merah Remaja (PMR), Jurnalistik/fotografi, Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS), dan lain sebaginya.
E. Penelitian sebelumnya
Terhadap tema penelitian ini, peneliti perlu mengkaji penelitian sebelumnya.
Hal ini bertujuan untuk memperjelas fokus kajian penulis.
1. Laporan akhir pengkajian implementasi beban kerja guru dalam
pelaksanaan pembelajaran sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2008 tentang guru SMPN dan MTsN di Kecamatan /Kabupaten Pacitan
Tahun Pelajaran 2008 2009 (www.smpn1pacitan.sch.id diakses tanggal 8
Desember 2010). Laporan ini masih berupa pendataan guru yang
memenuhi peraturan tersebut dan yang tidak memenuhi. Dalam laporan

39

tersebut pelaksanaan pembelajaran pada UPT SMPN 1, 2, 3, 4 dan


MTsN di Kecamatan Pacitan tahun pelajaran 2008 / 2009 belum sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang
Guru). Hal ini terbukti bahwa sebagian besar Guru Tetap terutama Guru
Tetap Mata Pelajaran masih belum dapat memenuhi beban kerja paling
sedikit 24 jam tatap muka dalam 1 minggu (UPT SMPN kelebihan 56
Orang, sedangkan MTsN kelebihan 5 Orang).
2. Hasil penelitian Momon Sudarma yang dimuat di Jurnal Educare. Vol 1
Tahun I Januari Juli 2007 UPI Bandung pemberdayaan guru melalui
vitalisasi beban kerja. Dalam tulisannya, Momon menyoroti beberapa
hal, yakni:
a. UU perlu dimaknai dalam satu nafas. Dengan kata lain, pasal
tertentu harus dikaitkan dengan pasal lainnya bahkan dengan
peraturan perundang-undangan yang terkait. Oleh karena itu, beban
kerja 24 jam sesungguhnya merupakan desahan napas lanjutan dari
kewajiban Negara untuk memberikan anggaran pendidikan 20 %.
Dengan demikian, maka kewajiban guru untuk hadirdi sekolah
selama 5 atau 6 hari tidak akan menjadi penyebab resahnya dapur
(ekonomi) seorang guru. Oleh karena itu, bila pemerintah
berkehendak memaknai jam tatap muka secara indikator maka
kewajiban

untuk

memberikan

jaminan

kesejahteraan

perlu

dilaksanakan dengan seksama.


b. Hal yang lebih rasional, empirik, dan proporsional adalah memberikan
penghargaan

terhadap

tugas-tugas

guru

sebagaimana

yang

dicantumkan dalam ayat 1 Pasal 35 sebagai bagian dari tugas jam

40

kerja. Hal ini, selain logis juga memiliki sandaran empiris dengan
kondisi satuan pendidikan yang ada di Indonesia saat ini.
c. Hal yang paling strategis lagi, dengan beban kerja sebagaimana
dikemukakan dalam sudut pandang pertama, maka seorang guru
memiliki peluang yang luas untuk mengembangkan kompetensi dan
aktualisasi dirinya. Dan mereka tidak terjebak oleh rutinisme yang
bisa mematikan idealismenya sebagai tenaga pendidik.
d. Sebagai sebuah profesi, pada dasarnya beban kerja seorang guru
tersebut, bukan hanya diorientasikan untuk memberikan layanan
pendidikan, tetapi juga harus menjadi sarana pemberdayaan diri dan
masyarakat. Oleh karena itu, sekali lagi perlu ditekankan bahwa
beban kerja guru harus memiliki makna sebagai sarana untuk
menghasilkan jasa dan materi, makna psikologis dan aktualisasi diri.
e. Hal yang paling prinsip, pemberian beban kerja perlu dilandaskan
pada upaya pemberdayaan, bukan pengerangkengan ruang gerak guru.
Terlebih lagi karena sesungguhnya peran dan posisi guru itu bukan
tugas administrasi yang menuntut rutinisme-formalistik, melainkan
lebih bersifat dinamis. Oleh karena itu, ruang gerak untuk
mendinamisir diri perlu diciptakan, sehingga setiap guru tidak
memiliki

kemandegan

dalam

mengembangkan

kemampuan

intelektual dan kariernya. Pada konteks inilah, pemberlakuan beban


kerja dan jam tatap muka perlu memperhatikan aspek ruang terbuka
bagi aktualisasi diri seorang guru.
f. Pemerintah wajib memberikan perhatian terhadap beban kerja di luar
jam belajar mengajar secara proporsional. Karena sesungguhnya 5/6

41

dari beban kerja sebagaimana dinyatakan dalam UUGD merupakan


kegiatan di luar kegiatan kelas.
g. Perlu ada regulasi dalam bidang pendidikan yang memperhatikan
aspek sosiologis dan visi pemberdayaan guru sebagai profesi, bukan
guru sebagai birokrasi. Pendekatan guru sebagai profesi akan
memberikan ruang yang luas dalam peningkatan layanan pendidikan
bagi dunia pendidikan.
3. Penelitian yang dilakukan Tim Litbang SMAN 1 Gondang Kabupaten
Mojokerto Jawa Timur yang berjudul Paradigma jam kerja PNS khusus
tenaga profesional guru: Suatu kajian dan telaah bagi peningkatan
kompetensi dan mutu pendidikan. Dalam penelitian tersebut berisi
tentang:
a. Banyak tugas tambahan guru (guru piket, pembina ekstrakulikuler
(olahraga, pramuka, PMR, pecinta alam, seni, KIR, KKR, dan
lain-lain), bendahara, koordinator laboratorium, perpustakaan dan
sebagainya, seringkali tidak pernah mendapatkan penghargaan
sama sekali dan dianggap tidak pernah ada dan berlalu begitu saja,
padahal terkait tugas tambahan ini seorang guru tidak pernah
mengenal pembatasan waktu bahkan bisa jadi berdurasi 24 jam
sehari dengan beban tanggung jawab yang tidak ringan, dan pada
titik nadirnya bagi guru tidak berlaku aturan main perhitungan
kerja lembur beserta tunjangan, terlebih pengakuan sebagai jam
kerja belum diimplementasikan padahal aturan untuk itu sudah
ada tetapi dianulir.
b. Dengan adanya aturan main jam kerja guru disamaratakan dengan
PNS secara umum tanpa menggunakan analisa beban kerja guru

42

sebagai mana telah diatur oleh undang-undang dan peraturan


pemerintah tersendiri (jam kerja sampai dengan jam 14.00 wib)
akan menimbulkan berbagai dampak yang cukup mengganggu
stabilitas penyelenggaraan pendidikan, diantaranya:
- Siswa telah menyelesaikan beban belajarnya pada pukul 12.55
wib sehingga guru tidak memiliki korelasi tatap muka, dan
-

akan memunculkan masalah baru;


Kebijakan
ini
akan
berdampak
penyelenggaraan

sekolah

swasta

langsung

yang

pada

pelaksanaanya

berdurasi siang hari (mulai pukul 13.00) terlebih lembaga


pendidikan swsta yang masih menggantungkan diri pada
pemanfaatan gedung sekolah negeri. Sekolah swasta tidak
akan

optimal

pengelolaan

proses

pembelajarannya

dikarenakan tenaga pendidiknya tidak datang pada jam


pertama

kegiatan

pembelajaran

(pukul

13.00

wib),

dikarenakan hampir 70-90% tenaga pendidiknya berasal dari


guru PNS yang pada pagi harinya melaksanakan beban kerja
guru

sesuai

kedudukannya

sebagai

PNS.

Selain

itu,

kebingungan mencari alternatif gedung tempat pembelajaran


bagi sekolah yang belum mandiri.
4. Tulisan Hery Nugroho di Harian Suara Merdeka yang dimuat tanggal
8 Januari 2011 tentang meninjau ulang beban kerja guru. Dalam
artikel

tersebut

Hery

menyimpulkan

bahwa

perlu

mengkaji

permberlakuan regulasi beban kerja Guru, yakni pasal 35 (1), yakni


beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan
pembelajaran,

melaksanakan

pembelajaran,

menilai

hasil

43

pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta


melaksanakan tugas tambahan. Tetapi setelah membaca pasal
berikutnya disebutkan, beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap
muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka
dalam 1 (satu) minggu. (Pasal 2). Hal ini dikuatkan dalam PP No. 74
tahun 2008 tentang guru, khususnya pasal 52 (1) dan (2). Dari
keterangan tersebut, ada yang janggal, tugas pokok guru sebagaimana
amanat pasal 35 (1) yang dihitung hanyalah aspek melaksanakan
pembelajaran. Akibatnya, banyak guru yang hanya berorientasi pada
kuantitas pemenuhan minimal 24 jam tatap muka. Soal kualitasnya
urusan belakang.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Nawawi dan Martina (1994: 7) menyebutkan bahwa penelitian
kualitatif dilakukan dengan menghimpun data dalam keadaan sewajarnya,
mempergunakan

cara

kerja

yang

sistematis,

terarah

dan

dapat

dipertanggungjawabkan sehingga tidak kehilangan sifat keilmiahannya.


Dalam penelitian kualitatif dapat dipahami bahwa peneliti merupakan

44

instrumen utama bagi pengumpulan dan analisis data yang dijadikan bahan
untuk menyusun deskripsi yang mengutamakan proses dari pada produk.
Proses dalam penelitian kualitatif merupakan proses induktif yang
membangun abtraksi, konsep, hipotesis dan teori dari hal-hal yang detail di
lapangan. Untuk lebih menekankan pada penemuan makna maka peneliti
harus benar-benar terjun ke lokasi penelitian. Dalam pelaksanaannya,
peneliti langsung masuk ke lapangan dan berusaha mengumpulkan data
secara lengkap sesuai dengan pokok permasalahan yang berhubungan
dengan pelaksanaan (Moleong, 2001:122).
Rancangan penelitian ini menggunakan studi kasus, yaitu bertujuan
untuk memahami secara menyeluruh mengenai evaluasi pelaksanaan UU
No. 14 tahun 2005 Pasal 35 tentang beban kerja. Menurut Sudarwan Danim
(2002 :54), penelitian kasus (case study) dimaksudkan untuk mempelajari
secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini, serta
interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya. Subyek
penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi, atau masyarakat.
Rancangan studi kasus ini digunakan untuk mempertahankan keutuhan dari
objek penelitian, yaitu data yang dikumpulkan sebagai suatu keseluruhan
yangterintegrasi untuk melakukan evaluasi pelaksanaan beban kerja guru di
SMP Negeri 7 Semarang.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan beban kerja guru di
SMP Negeri 7 Semarang
C. Lokasi Penelitian

45

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 7 Semarang yang beralamat


di Jalan Imam Bonjol 191 A Semarang.
D. Fenomena Pengamatan
Dalam Buku Pedoman Penyusunan Tesis yang diterbitkan MIA
Undip (2010: 23) disebutkan fenomena pengamatan aadalah hal-hal yang
diamati dalam penelitian yang didasarkan pada diskursus permasalahan
penelitian. Peneliti dalam penelitian ini mengamati variabel-variabel yang
berhubungan dengan kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7
Semarang. Karenanya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
evaluasi kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang, yang
meliputi fenomena dengan merujuk teori yang dikemukakan Badjuri dan
Yuwono (2002: 140-141), yakni: input (masukan), process (proses), output
(hasil), dan outcomes (dampak).
Dari teori tersebut dapat dihubungkan dengan fenomena yang akan
diamati peneliti adalah:
1. Input (masukan)
Dalam tahap ini yang diamati adalah:
a. Sumber daya pendukung dan bahan-bahan dasar yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7
b.

Semarang;
Sumber daya manusia, uang, atau infrastruktur pendukun lain

yang diperlukan.
2. Process
Dalam tahap proses yang diamati adalah:
a. Kebijakan ditransformasikan dalam bentuk pelayanan kepada
peserta didik SMP Negeri 7 Semarang;
b. Efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan beban kerja
guru di SMP Negeri 7 Semarang.
3. Output
Dalam tahap output yang diamati adalah:

46

a. Hasil atau produk yang dihasilkan sebuah kebijakan publik,


khususnya kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7
Semarang;
b. Berapa orang yang berhasil mengikuti program/kebijakan beban
kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang.
4. Outcome
Dalam tahap outcome yang diamati adalah:
a. Dampak yang diterima oleh masyarakat luas atau pihak yang
b.

terkena kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang;


Berapa banyak dampak positif yang dihasilkan adanya kebijakan

c.

beban kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang;


Adakah dampak negatif yang dihasilkan adanya beban kerja guru
di SMP Negeri 7 Semarang dan seberapa seriuskah dampaknya.

E. Sumber Data
Untuk menghasilkan hasil penelitian yang valid dan akurat, dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan dua sumber data, yakni
1. Data primer yaitu data yang diambil langsung dari responden guru SMP
Negeri 7 Semarang;
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari
sumbernya, berupa regulasi yang berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan kepala sekolah, data sekolah, maupun laporan
administrasi guru.
F. Pemilihan Informan
Penentuan pemilihan informasi dalam penelitian ini adalah aktor yang
mempunyai informasi kunci (key informan) tentang beban kerja guru di SMP
Negeri 7 Semarang. Maksud informasi kunci adalah orang-orang yang
terlibat langsung dan mengetahui masalah beban kerja guru di SMP Negeri 7

47

Semarang, yakni Kepala SMP Negeri 7 Semarang, Wakil Kepala, dan guru
SMP Negeri 7 Semarang.
Kemudian dalam pengambilan informasi, peneliti menggunakan teknik
snowball, yaitu penentuan subyek maupun informan penelitian berkembang
dan bergulir mengikuti informasi atau data yang diperlukan informan yang
diwawancarai sebelumnya (Miftahudin, 2009: 51). Oleh karena itu,
spesifikasi informan dalam penelitian ini tidak dijelaskan secara rinci,
melainkan menyesuaikan data yang didapat untuk dianalisis.

G. Instrumen Penelitian
53 Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi atau pengamatan
Pengumpulan data penelitian ini akan dilakukan melalui kegiatan
observasi atau pengamatan langsung terhadap obyek analisis untuk
menggali aspek-aspek yang relevan dan penting sebagai dasar analisis
dan interpretasi yang akan dilakukan. Pengamatan di lapangan ini
bertujuan untuk menggali kemungkinan adanya informasi yang
terlewatkan dari pedoman wawancara yang dilakukan dan berupaya
memperkaya dimensi pengamatan dari fenomena analisis yang ada.
Adapun panduan wawancara dapat dilihat dalam lampiran.
Selain melakukan pengamatan juga diadakan pengumpulan data dan
mendeskripsikan atau menggambarkan tentang pelaksanaan kebijakan
beban kerja guru. disamping dilakukan pengamatan, informasi maupun
data

yang

mendalam

tentang

faktor-faktor

pendukung,

faktor

48

penghambat, dampaknya bagi pelaksanaan beban kerja sebagaimana


diamanatkan dalam beban kerja guru.
2. Wawancara
Penelitian ini agar dapat memperoleh data yang valid atau akurat
disamping observasi, pengumpulan data akan dilakukan melalui
wawancara

mendalam

(indepth

interview)

dimaksudkan

untuk

memperoleh data kualitatif serta beberapa keterangan atau informasi dari


informan. Wawancara mendalam ini dilakukan terhadap narasumber (key
informan) yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai tentang
suatu persoalan atau fenomena pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2005
tentang guru Pasal 35 tentang beban kerja guru.
Dalam

kegiatan

dimaksudkan

wawancara

untuk memperoleh

mendalam

(indepth

data kualitatif

interview)

serta beberapa

keterangan atau informasi dari informan. Wawancara mendalam ini


dilakukan terhadap nara sumber (key informan) yang dianggap memiliki
pengetahuan yang memadai tentang suatu persoalan atau fenomena
terhadap obyek yang sedang diamati yaitu pelaksanaan UU No. 14 tahun
2005 tentang guru Pasal 35 tentang beban kerja guru di SMP Negeri 7
Semarang.
Adapun pihak-pihak yang akan menjadi target wawancara meliputi :
a. Kepala SMP Negeri 7 Semarang
b. Guru SMP Negeri 7 Semarang
c. Pihak-pihak lain yang dinilai relevan dan dibutuhkan atau ditemukan
saat penelitian dilakukan.
3. Dokumentasi

49

Penggunaan dokumen dalam penelitian ini yaitu dokumen resmi sebagai


bukti-bukti fisik dalam pelaksanaan beban kerja guru di SMP Negeri 7
Semarang. Dokumen dimaksud mencakup surat-surat, data-data/informasi,
catatan, foto-foto kegiatan, rekaman tape recorder dan lainnya yang relevan
serta berkas laporan-laporan yang telah disusun berbagai pihak tentang
obyek yang diteliti.

H. Teknik Analisis Data


Analisis data atau pengolah data adalah bentuk analisis yang lebih
rinci dan mendalam juga membahas suatu tema atau pokok permasalahan.
Dimana dalam analisis ini, fokus penelitian maupun pembahasan kendati
diarahkan pada bidang atau aspek tertentu, namun pendeskrepsikan
fenomena yang menjadi tema sentral dari permasalahan penelitian
diungkapkan secara rinci (Hidayat, 2002 :8).
Analisa tabel tunggal dipergunakan untuk data yang diperoleh
dengan metode survai, sedangkan untuk data kualitatif yang diperoleh
dengan wawancara mendalam. Dalam pelaksanaan analsis data kualitatif
bertujuan

pada

penggalian

makna,

penggambaran,

penjelasan

dan

penempatan data pada konteksnya masing-masing. Uraian data jenis ini


berupa kalimat-kalimat, bukan angka-angka atau tabel-tabel. Untuk itu data
yang diperoleh harus diorganisir dalam struktur yang mudah dipahami dan
diuraikan.

50

Dalam menganalisis dalam penelitian dapat dibagi menjadi beberapa


tahap, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Tahap tersebut dapat gambarkan dalam bagan berikut ini:

Gambar 3.1 Tahap-tahap analisis dalam penelitian

Pengumpulan data

Reduksi data

Penyajian data

Penarikan
kesimpulan/verifik
asi

Sumber: Miles dan Huberman (dalam Tjejep Rohedi, 1992)


Penjelasan masing-masing tahap, akan dijelaskan berikut ini:
1. Tahap pengumpulan data
Pada tahap ini, peneliti melakukan pengumpulan data-data yang
terkait

dengan evaluasi kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7

Semarang.

Data-data tersebut dapat berupa regulasi kebijakan beban

kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang.

2. Tahap reduksi data.

51

Reduksi data yaitu proses pemilihan data kasar dan masih mentah
yang berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung melalui
tahapan membuat ringkasan, memberi kode, menelusur tema, dan
menyusun ringkasan. Tahap reduksi data yang dilakukan peneliti adalah
menelaah secara keseluruhan data yang dihimpun.
3. Tahap Penyajian Data
Seperangkat hasil reduksi data kemudian diorganisasikan ke dalam
bentuk matriks (display data) sehingga terlihat gambarannya secara lebih
utuh. Penyajian data dilakukan dengan cara menyampaikan informasi
berdasarkan data yang dimiliki dan disusun secara runtut dan baik dalam
bentuk naratif, sehingga mudah dipahami. Pada tahap ini peneliti
membuat rangkuman secara deskriptif dan sistematis tentang evaluasi
pelaksanaan UU Guru dan Dosen Pasal 35 tentang Beban Kerja Guru.
4. Tahap Verifikasi Data/Penarikan Simpulan
Verifikasi data penelitian, yaitu menarik simpulan berdasarkan data
yang diperoleh dari berbagai sumber, kemudian peneliti mengambil
simpulan bersifat sementara sambil mencari data pendukung/menolak
kesimpulan. Pada tahap ini, peneliti melakukan pengkajian tentang
simpulan yang telah diambil dengan data pembanding teori tertentu.
Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat kebenaran hasilanalisis yang
melahirkan simpulan yang dapat dipercaya.
Dalam proses analisis data, menurut Sukardi (2006:75-79) ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan adalah catatan ringkas, pembuatan koding,

52

ringkasan dokumen dan pembuatan catatan marginal. Masing-masing dari hal


tersebut dijelaskan berikut ini:
1. Catatan ringkas
Peneliti dalam melakukan penelitian perlu melakukan mencatat ringkas hasil
pengamatan. Elemen isi catatan dapat berupa a) waktu kunjungan, b) kondisi
cuaca, c) siapa yang ditemui, d) kejadian atau peristiwa yang timbul selama
dalam pertemuan, isi atau substansi pokok yang didapat di lapangan. Tujuan
melakukan mencatat ringkas tersebut adalah untuk menghindari data yang
hilang.
2. Kegiatan kategorisasi
Prinsip kegiatan kategorisasi adalah kegiatan sub-analisis yang mendasarkan
kepada metode komparasi yaitu membandingkan substansi satu dengan
substansi lainnya untuk kemudian dikelompokkan dalam satu jenis atau
variabel untuk gejala yang dan ke tipe baru lainnya, apabila gejala yang
diperoleh ternyata mempunyai jenis berbeda.
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti pada tahap ini adalah: a) pilih
kartu atau catatan lapangan yang ada. Kemudian dibaca isi pokok dari
catatan tersebut dan digunakan sebagai masukan pertama. b) ambil kartu lain
dan juga dibaca seperti kartu pertama, apakah isi kartu kedua sejenis dengan
kartu pertama? Jika sejenis dapat dijadikan satu. Apabila ada perbedaan,
maka dibuat kartu kedua sebagai masukan kategori kedua. c) lanjutkan
dengan kartu lainnya dan ditempatkan pada kartu pertama, kedua.
Kategori lainnya yang sejenis. d) Jika terjadi suatu ketika ada catatan
lapangan yang jauh berbeda dan tidak dapat masuk pada kategori yang ada,
informasi tersebut dipisahkan sebagai masukan outliners. e). jika semua
catatan lapangan selesa, peneliti dapat mencocokkan kembali kualitas data

53

yang ada. f) pendasaran kategori sebaiknya dengan melihat fokus


permasalahan atau pertanyaan penelitian.
3. Kegiatan koding
Aktifitas kode sebaiknya dibuat sebelum terjun di lapangan dengan membuat
list yang dasarnya dibuat atas dasar konsep kisi-kisi kerja seperti: pertanyaan
penelitian, hipotesis, cakupan permasalahan dan variabel kunci yang peneliti
gunakan selama proses penelitian. Kegiatan koding mempunyai empat
fungsi, yaitu a) mengurangi sejumlah data dari yang sifatnya masih
berserakan menjadi lebih kecil atau unit analisis, b) memungkinkan peneliti
menganalisis di samping juga mengumpulkan data sehingga data lebih
fokus. c) membantu penelti dalam cognitive, d) memungkinkan peneliti
melakukan cross site antarpeneliti dan menangkap tema umum dan proses
kausal dari data yang dikoding.
4. Pembuatan catatan marginal
Yang dimaksud dengan catatan marginal adalah catatan tangan dari peneliti
atau tim teknisi peneliti yang ditempatkan pada daerah margin sebuah
catatan baik sebelah kanan maupun sebelah kiri. Apabila tanda koding
ditempatkan pada bagaian atas sebelah kanan catatan, maka catatan margin
ditempatkan pada sebelah kiri margin yaitu ruang sisa halaman yang telah
disediakan oleh para penulis pada umumnya.
5. Penafsiran data
Tujuan penafsiran data adalah menjadikan data lapangan yag telah
diadministrasi, dikelompokkan dan dikoding ke dalam deskripsi tebal dan
komprehensif. Langkah ini merupakan tahapan akhir dari kegiatan analisis,
setelah peneliti melewati beberapa langkah sebelumnya. Dalam menafsirkan
data ada tiga macam deskripsi, yakni deskripsi biasa, deskripsi analitik, dan
deskripsi substantif.

54

Deskripsi biasa, peneliti melakukan intepretasi melalui melihat kembali


data yang telah dikategori, mencari keterkaitan antarvariabel termasuk:
pernyataan, kutipan pendapat, ide, fakta pendukung dan memasukkan ke
dalam kerangka system yang menggambarkan keadaan secara benar
(Meleong, 1998: 218) Sedangkan deskripsi analitik adalah peneliti
melakukan melalui kategori data, dan hubungan yang disarankan atas dasar
fenomena yang muncul. Selain itu peneliti melakukan verifikasi teori dan
proposisi yang baru menjadi kenyataan. Dan deskripsi substantif adalah
peneliti guna memperoleh teori baru, mereka harus menunjukkan rancangan
yang telah dikerjakan, kemudian mentransformasikan ke dalam bahasa
disiplin ilmu.
I. Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini menggunakan kerangka pikir di bawah ini:

Gambar III.2 Kerangka Pikir Penelitian


UU GD No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen (khususnya Pasal 35 tentang Beban
Kerja Guru)

PP. No. 74 tentang Guru dalam Pasal 5253 tentang Beban Kerja Guru

55

Permendiknas No. 39 Tahun 2009 tentang


pemenuhan beban kerja guru dan pengawas
satuan pendidikan dan Permendiknas No. 30
tahun 2011 perubahan atas permendiknas No.
39 tahun 2009

Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota


Semarang Tahun 2011 tentang Kaldik dan
jumlah efektif

SK Kepala Sekolah Nomor 422/326.1 tentang


Tugas mengajar guru atau bimbingan semester
I di SMP Negeri 7 Semarang Tahun Pelajaran
2011/2012

Kondisi riil di lapangan

Kondisi yang diharapkan

SK Kepsek 422/326.1

SK. Kepsek 422/326.1

Evaluasi
Berdasarkan kerangka pikir di atas, dapat dilihat bahwa penelitian ini
akan diketahui hasil evaluasi kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7
Semarang. Dari hasil evaluasi tersebut dapat diketahui apa yang menjadi
hambatan pelaksanaan kebijakan beban kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang.

J. Sistematika Penulisan Laporan


Dalam penulisan laporan ini akan mengunakan sistematika sebagai
berikut:

56

Bab I berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian.
Bab II berisi tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari kajian teori, kerangka
pikir penelitian
Bab III berisi tentang metode penelitian yang terdiri dari perspektif pendekatan
penelitian, fokus penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data,
pemilihan informan, instrument penelitian, teknik analisis data.
Bab IV berisi tentang deskripsi lokasi penelitian dan gambaran umum tentang
kebijakan beban kerja guru
Bab V berisi hasil penelitian & pembahasan hasil penelitian evaluasi kebijakan
beban kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang
Bab VI Kesimpulan dan penutup

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Abdul Safrudin, Evaluasi Program Pendidikan,


Bumi Aksara, Jakarta.
Badjuri dan Yuwono, 2002, Kebijakan Publik: Konsep & Strategi, UNDIP Press,
Semarang.
Danim, Sudarwan, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung.

57

Darmaningtyas, 2005, Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Universitas Sanata


Dharma, Yogyakarta.
-----, 2007, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKiS, Yogyakarta.

Daryanto, 2008, Evaluasi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.


Dye, Thomas R, 1978, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall
Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas, 2008, Pedoman Pelaksanaan Tugas Guru
dan Pengawas tahun 2008, Dirjen PMPTK Depdiknas, Jakarta.
--------, 2009. Pedoman Pelaksanaan Tugas Guru dan Pengawas tahun 2009, Dirjen
PMPTK Depdiknas, Jakarta.
Hamalik, Oemar, 2001, Proses Belajar Mengajar, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta
Karding, Kadir, 2008, Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan operasional sekolah
(BOS ) Sekolah Menengah Pertama Negeri Di Kota Semarang, Tesis, Program
Magister Administrasi Publik Undip, Semarang.
Keban, T, Yeremias, 2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep,
Teori dan Isu, Yogyakarta, Gava Media.
Miftahudin, 2009, Evaluasi Kebijakan Peraturan Walikota Semarang Nomor 6
Tahun 2008 tentang Sistem dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik di Kota
Semarang (Kasus Penerimaan Peserta Didik melalui Seleksi Khusus SMP
Negeri 10 Kota Semarang), Tesis, Program Magister Ilmu Administrasi
UNDIP, Semarang.
Moleong, Lexy, J, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Mustopadidjaja, 2007, Manajemen Proses Kebijakan Publik, Lembaga Administrasi
Negara bekerjasama dengan Duta Pertiwi Foundation, Jakarta
Nawawi, Hadari dan Martina, 1994, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Nugroho, Hery, 2 Desember 2010, Tiga Masalah Guru, Wawasan, Semarang.
-------, 8 Januari 2011, Meninjau Ulang Beban Kerja Guru, Suara Merdeka,
Semarang.
Nugroho, Riant, 2009, Public Policy, Elex Media Komputindo, Jakarta.

58

Parsons, Wayne, 2008, Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis
Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Pedoman Penyusunan Tesis, 2010, Program Pascasarjana Magister Ilmu
Administrasi Undip Semarang
Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional dan Gramedia.
PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi No. 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka

Kredit.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan
Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 30 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang
Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan
Program Pascasarjanan Magister Ilmu Administrasi UNDIP, 2010 Pedoman
Penyusunan Tesis, Semarang, MIA Undip.
Setyawan, Ahmad. 2009. Paradigma Jam Kerja PNS khusus Tenaga Profesional
Guru. Mojokerto: Tim Litbang SMAN 1 Gondang Mojokerto.
Subarsono, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suara Merdeka, 1 Oktober 2010
Sudarma, Momon. 2007. Pemberdayaan Guru melalui Vitalisasi Beban Kerja.
Bandung: Jurnal Educare UPI

Sudijoni, Anas, 2009, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press


Sudjana, Djuju, 2006, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta,
Rosdakarya.

Sukardi, Penelitian Kualitatif-Naturalistik dalam Pendidikan, Yogyakarta: Usaha


Keluarga

59

Suparno, Paul, 2004, Pendidikan dan Peran Guru dalam Pendidikan Manusia
Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Surat Keputusan No. 422/201 Kepala SMP Negeri 7 Semarang tanggal 19 Juli 2010
tentang Beban Kerja Guru dalam Kegiatan Proses Belajar Mengajar atau
Bimbingan Semester I Tahun Pelajaran 2010/2011
Surat Keputusan No. 422/230 Kepala SMP Negeri 7 Semarang tanggal 19 Juli 2010
tentang Beban Kerja Guru dalam Kegiatan Proses Belajar Mengajar atau
Bimbingan Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011
Suroso, 2002, In Memoriam Guru Membangkitkan Ruh-Ruh Pencerdasan,
Yogyakarta: Penerbit Jendela
Surya, Mohamad, 2003, Percikan Perjuangan Guru, Semarang: Aneka Ilmu
Suwitri, Sri. 2009. Konsep Dasar Kebijakan Publik. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
Tangkilisan, Nogi, Hessel, 2003, Evaluasi Kebijakan Publik: Penjelasan, Analisis
& Transformasi Pikiran Nagel, Yogyakarta: Balairung & Co
--------, 2003, Kebijakan Publik yang Membumi, Yogyakarta, Yayasan Pembaruan
Administrasi Publik Indonesia dan Lukman Offset.
Thoha, Miftah, 2010, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Jakarta: Kencana
Tim Litbang SMAN 1 Gondang Kabupaten Mojokerto, Paradigma jam kerja PNS
khusus tenaga profesional guru: suatu kajian dan telaah bagi peningkatan
kompetensi dan mutu pendidikan. Mojokerto: SMAN 1 Gondang
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
website
www.adilkurnia.wordpress.com. diakses tanggal 8 Desember 2010.
www.pmptk.go.id diakses tanggal 7 Desember 2010.
www.smpn1pacitan.sch.id diakses tanggal 8 Desember 2010
Wawancara dengan Bambang Putrantono, guru SMP Negeri 7 Semarang tanggal 2
Oktober 2011

60

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA DENGAN


KEPALA SEKOLAH/ WAKIL KEPALA SEKOLAH

Identitas
1. Nama

: ..

2. Hari / Tanggal

: ..

Daftar Pertanyaan

61

1. Bagaimana langkah-langkah bapak sebelum merumuskan kebijakan beban


kerja guru di SMP Negeri 7 Semarang ?
2. Siapa saja yang terlibat dalam merumuskan kebijakan beban kerja guru di
SMP Negeri 7 Semarang ?
3. Bagaimana implementasi kebijakan beban kerja guru dalam merencanakan
guru di SMP Negeri 7 Semarang ?
4. Bagaimana implementasi kebijakan beban kerja guru dalam melaksanakan
pembelajaran di SMP Negeri 7 Semarang?
5. Bagaimana implementasi kebijakan beban kerja guru dalam menilai
pembelajaran di SMP Negeri 7 Semarang?
6. Bagaimana implementasi kebijakan beban kerja guru dalam membimbing
dan melatih peserta didik di SMP Negeri 7 Semarang?
7. Bagaimana implementasi kebijakan beban kerja guru dalam melaksanakan
tugas tambahan di SMP Negeri 7 Semarang
8. Bagaimana implementasi kebijakan beban kerja guru dalam pengembangan
profesi?
9. Bagaimana hasil evaluasi beban kerja guru dalam merencanakan
pembelajaran di SMP Negeri 7 Semarang?
10. Bagaimana hasil evaluasi beban kerja guru dalam melaksanakan
pembelajaran di SMP Negeri 7 Semarang?
11. Bagaimana hasil evaluasi beban kerja guru dalam menilai pembelajaran di
SMP Negeri 7 Semarang?
12. Bagaimana hasil evaluasi beban kerja guru dalam membimbing dan melatih
peserta didik di SMP Negeri 7 Semarang?
13. Bagaimana hasil evaluasi beban kerja guru dalam melaksanakan tugas
tambahan di SMP Negeri 7 Semarang?
14. Bagaimana hasil evalusai beban kerja guru dalam pengembangan profesi?

62

Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA DENGAN GURU

Identitas
1. Nama

: ..

2. Hari / Tanggal

: ..

1. Apakah anda mengetahui tentang kebijakan beban kerja sebagai guru di SMP
Negeri 7 Semarang ?

63

2. Apabila no 1 dijawab ya, sebutkan beban kerja sebagai guru di SMP Negeri 7
Semarang? (Apabila no 1 dijawab tidak, mengapa ?)
3. Bagaimana anda melaksanakan beban kerja guru dalam merencanakan
pembelajaran?
4. Bagaimana anda melaksanakan beban kerja guru dalam melaksanakan
pembelajaran di SMP Negeri 7 Semarang?
5. Bagaimana anda melaksanakan beban kerja guru dalam menilai hasil
pembelajaran di SMP Negeri 7 Semarang?
6.

Bagaimana anda melaksanakan beban kerja guru dalam membimbing dan


melatih peserta didik di SMP Negeri 7 Semarang?

7. Bagaimana anda melaksanakan beban kerja guru dalam melaksanakan tugas


tambahan di SMP Negeri 7 Semarang?
8. Bagaimana anda melaksanakan beban kerja guru dalam pengembangan profesi di
SMP Negeri 7 Semarang ?
9.

Apakah ada hambatan-hambatan dalam melaksanakan beban kerja di SMP


Negeri 7 Semarang? Kalau ya, sebutkan!

10. Apakah ada daya dukung dalam melaksanakan beban kerja guru di SMP Negeri
7 Semarang? Kalau ya sebutkan!

Anda mungkin juga menyukai