Anda di halaman 1dari 8

TUGAS KLINIK KONSERVASI

Nama : Siti Ramadania W.


NIM : 10/299560/KG/8711
SENSITIVITAS DENTIN
Sensitivitas dentin dapat dipahami melalui teori hidrodinamis oleh Brannstorm
(1962,1992). Teori ini menjelaskan bahwa stimulus hidrodinamik (seperti panas,
dingin, taktil, evaporasi, maupun osmotik) dapat menimbulkan pergerakan cairan
dentin di dalam tubuli dentinalis yang kemudian akan mengaktifkan serabut syaraf A
pada pulpa sehingga menghasilkan rasa nyeri yang tajam dan terlokalisasi (Taha &
Clarkson, 2014).
Stimulus dingin menyebabkan cairan dentin bergerak
cepat menjauhi pulpa dan menimbulkan respon pulpa
yang lebih besar dibandingkan stimulus panas yang
menyebabkan pergerakan cairan dentin ke arah pulpa.
Hal ini menjelaskan respon yang lebih kuat dan cepat
pada stimulus dingin dibandingkan stimulus panas
yang responnya tumpul (Garg & Garg, 2014).
Dehidrasi dentin dengan semprotan udara menyebabkan cairan dentin bergerak keluar
kemudian menstimulasi mekanoreseptor odontoblas sehingga timbul rasa nyeri.
Penggunaan semprotan udara dalam waktu yang lama akan menyebabkan
terbentuknya plug protein pada tubulus sehingga mengurangi pergerakan cairan
dentin dan mengurangi nyeri (Garg & Garg, 2014).
Nyeri yang timbul akibat makanan manis atau asin terjadi karena reaksi osmotik.
Cairan dentin yang osmolaritasnya rendah cenderung bergerak ke arah cairan yang
osmolaritasnya tinggi (larutan manis atau asin) (Garg & Garg, 2014).
HIPERSENSITIVITAS DENTIN
-Definisi : Hipersensitivitas dentin merupakan suatu kondisi yang dicirikan dengan
rasa nyeri tajam sesaat yang timbul akibat terbukanya dentin dan merupakan respon
dari stimulus tertentu (seperti suhu, evaporasi, taktil, osmotik, dan kimia) yang bukan
merupakan efek dari defek atau kondisi patologis gigi (Porto dkk., 2009).
-Etiologi : Hipersensitivitas dentin terjadi ketika dentin terekspos lingkungan intraoral
karena hilangnya email (seperti pada lesi abrasi, erosi, maupun korosi) diikuti dengan
aksi konstan asam sehingga tubuli dentinalis pada permukaan dentin terbuka.
Tereksposnya dentin juga dapat terjadi akibat permukaan akar yang sementumnya
terkikis akibat cara menyikat gigi yang salah atau perawatan periodontal. Beberapa
penelitian menyebutkan tereksposnya dentin disebabkan oleh (Porto dkk., 2009):
1. Kurangnya menyikat gigi atau menyikat gigi secara berlebihan

Menyikat gigi dengan tenaga yang berlebihan dapat menyebabkan trauma pada
gigi dan terkikisnya email. Kurangnya menyikat gigi dapat menimbulkan
akumulasi plak yang mampu menyebabkan inflamasi gingiva sehingga terjadi
migrasi gingiva ke arah apikal, sementum dan dentinpun akan terekspos ke
lingkungan rongga mulut.
2. Oral hygiene yang buruk
Pasien dengan oral hygiene yang buruk memiliki tendensi yang lebih besar akan
desktruksi jaringan periodontal dan tereksposnya akar gigi. Tereksposnya akar gigi
ke lingkungan rongga mulut dapat diperburuk dengan asam produk bakteri
sehingga tubuli dentinalis dapat terbuka lebih jauh.
3. Perawatan periodontal
Tubuli dentinalis dapat terekspos ke lingkungan rongga mulut akibat perawatan
scaling yang menghilangkan kalkulus sub dan supragingiva.
4. Tereksposnya gigi pada lingkungan asam (non-bakterial)
Asam pada lingkungan rongga mulut non-bakterial dapat berupa diet, produk
kimia, medikasi, ataupun produk endogen seperti refluks asam lambung. Zat ini
dapat menyebabkan erosi (disolusi kimiawi pada struktur gigi) sehingga enamel
menjadi lebih lunak kemudian terlarut.
5. Tekanan oklusal yang berlebihan dan kontak oklusal yang prematur
Tekanan oklusal yang berlebihan dapat menyebabkan deformasi dan fleksi
sehingga terjadi fraktur pada kristal enamel bagian servikal dan kemudian
menyebabkan tereksposnya dentin (abfraksi).
6. Penyebab fisiologis
Gigi dengan akar yang terekspos meningkat seiring dengan usia. Hal ini di
antaranya disebabkan oleh ekstrusi gigi karena hilangnya gigi antagonis pada
pasien lanjut usia.
KARIES
Definisi : Karies gigi adalah penyakit mulut yang multifaktorial, menular, dan
infeksius, yang terutama disebabkan oleh interaksi kompleks antara bakteri
kariogenik oral (biofilm) dengan karbohidrat terfermentasi pada permukaan gigi dari
waktu ke waktu (Heymann dkk., 2013).
Proses : Aktivitas karies dicirikan melalui demineralisasi lokal serta hilangnya
struktur gigi. Bakteri kariogenik pada biofilm memetabolisme karbohidrat untuk
menghasilkan energi serta menghasilkan asam organik sebagai zat buangnya. Jika
asam organik ini bertahan pada lapisan biofilm dalam waktu yang lama maka pH
biofilm akan turun hingga di bawah pH kritis email (5,5) dan dentin (6,2). pH yang
rendah kemudian akan mendorong pergerakan kalsium dan fosfat pada gigi keluar ke
biofilm dengan tujuan untuk mencapai ekuilibrium. Hal inilah yang menyebabkan
hilangnya mineral gigi (demineralisasi) (Heymann dkk., 2013).
Demineralisasi berulang dapat terjadi akibat lingkungan patologis yang dominan yang
menyebabkan pelarutan dan destruksi jaringan gigi terkalsifikasi yang disebut sebagai

lesi karies atau kavitas. Demineralisasi dentin tahap lanjut menyebabkan tereksposnya
matriks protein yang dapat terdemineralisasi oleh matrix metalloproteinase (MMP)
dan enzim protease bakteri lainnya. Demineralisasi komponen anorganik dan
denaturasi serta degradasi komponen organik dentin menyebabkan terjadinya kavitas
pada dentin (Heymann dkk., 2013).
INFECTED DENTIN, AFFECTED DENTIN, dan DENTIN SEHAT
Menurut Heymann dkk. (2013) karies pada dentin terjadi melalui tiga proses
perubahan yaitu :
1. Asam organik lemah mendemineralisasi dentin
2. Komponen organik dentin, terutama kolagen terdegenerasi dan larut
3. Terjadi penurunan integritas struktural dentin diikuti dengan invasi bakteri
Terdapat tiga zona berbeda pada karies dentin, zona tersebut dapat dibedakan pada
karies yang berkembang lambat namun sulit untuk dibedakan pada karies yang
berkembang cepat.
1. Dentin normal (dentin sehat) : Area terdalam (pada lesi karies dentin) yang
memiliki tubulus dengan prosesus odontoblas yang halus, serta tak berkristal pada
lumennya. Dentin intertubuler memiliki kolagen dan kristal apatit yang normal.
Stimulasi dentin oleh perbedaan osmotik, getaran bur, panas, serta udara dapat
menyebabkan rasa nyeri tajam.
2. Affected dentin (Inner carious dentin):
Zona demineralisasi dentin intertubuler
disertai pembentukan awal kristal halus
pada lumen tubulus pada sisi karies yang
sedang berkembang. Pada zona ini dapat
ditemukan kerusakan prosesus odontoblas.
Affected dentin lebih lunak dibandingkan
dengan dentin normal dan menunjukkan
terjadinya hilangnya mineral dentin, selain
itu dapat ditemukan pula kristal-kristal
besar pada lumen tubulus dentin.
Stimulasi pada area ini menimbulkan rasa
nyeri. Meskipun asam organik menyerang komponen mineral dan organik, anyaman
kolagen masih utuh pada zona ini. Kolagen utuh ini berperan sebagai basis
remineralisasi dentin intertubuler dan masih memiliki kemampuan memperbaiki diri
sehingga mampu melindungi pulpa yang vital.
3. Infected dentin (Outer carious dentin) : Lapisan terluar dari karies dentin yang
merupakan zona invasi bakteri dan ditandai dengan pelebaran dan distorsi tubulus
dentin yang berisi bakteri. Hanya sedikit mineral yang tersisa dan kolagen
terdenaturasi permanen pada zona ini. Dentin pada zona ini tidak memiliki

kemampuan memperbaiki diri dan tidak dapat terremineralisasi. Pembuangan zona ini
sangat penting dalam prosedur restorasi dan penting dalam mencegah perluasan
infeksi.
SCLEROTIC DENTIN
Pertumbuhan dentin terjadi sejak erupsi gigi
dan berlangsung terus selama pulpa masih
hidup. Berdasarkan waktu pembentukannya
dentin dibedakan menjadi dentin primer,
sekunder, dan tersier. Dentin primer terbentuk
pada awal pembentukan gigi dan umumnya
terbentuk sempurna setelah tiga tahun setelah
gigi erupsi. Dentin sekunder merupakan dentin
yang terbentuk setelah dentin primer terbentuk.
Dentin sekunder tumbuh meskipun tanpa
adanya stimulus eksternal dengan kecepatan
deposisi yang lebih rendah dari dentin primer.
Dentin tersier adalah dentin yang dibentuk oleh
odontoblas sekunder pulpa pada saat stimulus
moderat (seperti karies, atrisi, dan prosedur operatif) mengenai dentin (Heyman, dkk.,
2013).
Dentin sklerotik adalah salah satu jenis dentin tersier yang berkaitan dengan jejas
kronis pada lesi karies. Dentin sklerotik terjadi akibat proses penuaan atau iritasi
ringan (contohnya pada karies yang berkembang lambat) yang mengalami perubahan
komposisi dentin primer. Dentin peritubuler menjadi lebih lebar dan tubulusnya
berangsur-angsur terisi material terkalsifikasi yang berkembang dari dentinoenamel
junction (DEJ) ke arah pulpa. Dentin sklerotik bersifat lebih keras, padat, lebih tidak
sensitif, dan lebih protektif terhadap iritasi pulpa. Dentin sklerotik yang terjadi karena
proses penuaan disebut dentin sklerotik fisiologis sedangkan dentin sklerotik yang
terjadi karena iritasi ringan disebut dentin sklerotik reaktif. Dentin sklerotik reaktif
pada radiograf tampak lebih radiopaque (Bath-Balogh & Fehrenbach, 2011; Heymann
dkk., 2012).
Dentin sklerotik tampak lebih mengkilat dan warnanya lebih gelap namun terasa lebih
keras jika dirasakan dengan ujung eksplorer berbeda dengan dentin normal yang lebih
tidak mengkilat dan reflektif serta memungkinkan penetrasi dari eksplorer yang tajam.
Fungsi dentin sklerotik adalah untuk membatasi lesi karies dengan jaringan gigi yang
sehat dengan cara memblokade tubulus. Permeabilitas dentin sklerotik berkurang
akibat mengecilnya diameter lumen tubulus karena proses kalsifikasi (Heymann dkk.,
2013).

REVERSIBLE PULPITIS
Definisi : Reversible pulpitis adalah inflamasi pulpa ringan atau moderat yang
disebabkan oleh stimulus penyebab nyeri dengan kondisi pulpa masih mampu untuk
kembali normal apabila stimulus dihilangkan (Hegde, 2008).
Etiologi : Menurut Hegde (2008) reversible pulpitis disebabkan oleh iritasi berpotensi
menimbulkan jejas pada pulpa seperti :
-trauma
-syok termal akibat preparasi kavitas dengan bur yang tumpul, tanpa air pendingin;
menyentuhkan bur terlalu lama pada gigi; overheating saat proses polishing sebuah
restorasi
-dehidrasi berlebihan pada kavitas (dengan bahan alkohol atau kloroform)
-iritasi pada dentin servikal yang terekspos
-stimulus kimia dari makanan yang asam atau manis, bahan restorasi yang bersifat self-cured, maupun bakteri karies
-kondisi pascainsersi restorasi, pasien terkadang mengeluhkan sensitivitas ringan
terhadap perubahan suhu dalam mulut terutama suhu rendah. Sensitivitas ini dapat
terjadi 2-3 hari hingga seminggu namun rasa ini akan berangsur-angsur hilang.
Tanda dan gejala : Gejala yang timbul pada reversible pulpitis berupa nyeri yang
umunya disebabkan karena dingin. Makanan manis jarang menimbulkan nyeri. Gigi
dengan reversible pulpitis bereaksi normal pada perkusi dan palpasi, serta tidak
menunjukkan adanya mobilitas. Jaringan periapikal normal pada radiograf serta tes
vitalitas gigi menunjukkan hasil positif (Hegde, 2008).
Karakteristik nyeri : Nyeri yang ditimbulkan reversible pulpitis adalah berupa nyeri
tajam dengan onset cepat pada saat stimulus diberikan dan nyeri tersebut hilang
dengan segera setelah stimulus dihilangkan. Durasi nyeri hanya beberapa detik
menyertai hilangnya stimulus. Nyeri reversible pulpitis tidak terjadi secara spontan
(DeLong & Burkhart, 2013).
LESI PERIAPIKAL
Definisi : Lesi periapikal adalah lesi
pada daerah sekitar apeks gigi yang
timbul akibat pulpa yang nekrosis. Lesi
ini disebabkan oleh tereksposnya pulpa
oleh bakteri serta hasil sampingnya
(sebagai
antigen)
sehingga
membangkitkan
respon
inflamasi
nonspesifik dan reaksi imunologis pada
jaringan periradikuler (Garcia dkk.,
2007).

Klasifikasi : Menurut Abbott (2004), berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan


radiograf pasien, kondisi jaringan periradikuler dibagi menjadi 9 jenis. Klasifikasi ini
mengadaptasi klasifikasi lesi periapikal oleh Nair (1997) dan dapat digunakan sebagai
diagnosis klinis status jaringan periradikuler namun tidak mengikutsertakan penyakit
jaringan periodontal tepi (penyakit periodontal). Klasifikasi ini lebih komprehensif
dibandingkan dengan klasifikasi Nair dan WHO karena klasifikasi ini juga
menyertakan jaringan normal dan kondisi periapikal yang terkait dengan gigi pasca
perawatan endodontik. Defek resorptif akar juga dimasukkan ke dalam klasifikasi
karena kondisi tersebut juga berpengaruh terhadap jaringan periapikal.
Periodontitis Apikal
-Periodontitis apikal akut primer (PAAP)
adalah respon awal terhadap bakteri di dalam
saluran akar atau invasi bakteri pada regio
periapikal. Hal ini dapat disebabkan oleh
trauma jaringan, prosedur instrumentasi endo,
atau iritan. PAAP terjadi pada region periapikal
yang sehat dengan durasi yang singkat. Apabila
PAAP tidak dirawat maka kemungkinan yang
dapat
terjadi
adalah
penyembuhan,
perkembangan patologis, pembentukan abses (abses apikal primer), pembentukan
saluran sinus (abses apikal kronis), penyebaran infeksi melalui tulang atau jaringan
lunak (selulitis), pembentukan kista, atau perkembangan lesi menjadi periodontitis
apikal kronis.
-Periodontitis apikal kronis (PAK) adalah reaksi tahap lanjut dari PAAP yang terjadi
akibat iritan yang terus-menerus berada pada area apikal sistem saluran akar. PAK
disebut juga sebagai granuloma apikal. Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya
radiolusensi asimtomatik yang menandakan keseimbangan mikroba yang terdapat
pada saluran akar.
-Periodontitis apikal akut sekunder (PAAS)
adalah
reaksi
yang
diawali
dengan
terganggunya keseimbangan mikroba akibat
adanya faktor yang meningkatkan pertumbuhan
atau migrasi mikroba ke jaringan periapikal
sehingga inflamasi kronis yang terjadi berubah
menjadi akut kembali. PAAS dapat berupa
abses (abses periapikal sekunder) atau
eksaserbasi akut dari inflamasi yang ada.
Kista Periapikal
Kista periapikal merupakan sekuel langsung dari granuloma periapikal meskipun
tidak semua granuloma akan berkembang menjadi kista.

-Kista periapikal poket adalah kavitas yang diselubungi oleh lapisan epitel yang
berbentuk seperti kantung, yang tersambung dengan saluran akar. Kista periapikal
poket tersambung dengan saluran akar sehingga penyebuhan dapat terjadi setelah
perawatan endodontik konvensional dilakukan karena sumber iritan pada saluran akar
akan hilang setelah dilakukannya perawatan ini. Kista periapikal poket dapat
melepaskan diri dari apikal akar gigi dan membentuk kista periapikal sejati.
-Kista periapikal sejati merupakan suatu bentuk lumen yang dikelilingi oleh lapisan
epitel, tanpa adanya sambungan ke saluran akar. Kista periapikal sejati tidak
dipengaruhi oleh ada-tidaknya iritan di dalam saluran akar sehingga kista jenis ini
membutuhkan tindakan bedah tersendiri untuk penyembuhannya.
Abses Periapikal
Abses periapikal adalah pus yang bersifat lokal pada area sekitar apikal gigi.
-Abses apikal akut primer berkembang dari PAAP sedangkan abses apikal akut
sekunder berkembang dari PAAS. Kedua bentuk akut ini merupakan kondisi yang
dapat menimbulkan rasa nyeri intens terhadap sentuhan, gerakan menggigit, dan
perkusi. Gejala ini dapat disertai dengan nyeri tekan saat dipalpasi dan meningkatnya
mobilitas gigi. Tanda-tanda sistemik yang dapat terjadi di antaranya pasien merasa
lemas, demam, dan terdapat pembengkakan limfonodi. Pembengkakan intraoral atau
ekstraoral dapat terjadi dan pembengkakan ini bersifat fluktuan. Gigi yang menjadi
fokal infeksi abses memiliki pulpa yang nekrosis dan mengalami infeksi, atau pernah
dirawat saluran akarnya namun infeksi masih terjadi pada saluran akar.
-Abses apikal kronis berkembang dari PAK dan umumnya tidak disertai dengan nyeri
dan ditandai dengan adanya tampakan klinis berupa rongga drainase pada mukosa
oral atau kulit wajah. Pada gambaran radiograf tampak radiolusensi periapikal dan
faktor penyebabnya (contohnya: terdapat karies). Abses apikal kronis dapat berubah
kembali menjadi granuloma apabila tidak terjadi lagi pembentukan pus. Abses apikal
kronis juga dapat berubah menjadi abses apikal akut apabila drainase terhambat dan
tekanan terjadi dalam lesi. Selain itu abses apikal kronis dapat pula berkembang
menjadi kista dan kembali menjadi abses jika bakteri masuk ke dalam lesi dan terjadi
produksi pus kembali.

REFERENSI
Abbott , P.V., 2004, Classification, diagnosis, and clinical manifestations of apical
periodontitis, Endodontic Topics, 8: 36-54.
Bath-Balogh, M. & Fehrenbach, M.J., 2011, Illustrated Dental Embryology,
Histology, and Anatomy, 3rd ed., Elsevier Saunders, St. Louis.
DeLong , L. & Burkhart, N.W., 2013, General and Oral Pathology: for Dental
Hygienist, 2nd ed., Christopher Johnson, China.
Garcia, C.C., Sempere, F.V., Diago, M.P., Bowen, E.M., 2007, The post-endodontic
periapical lesion: Histologic and etiopathologenic aspects, Med. Oral Patol, Oral Cir,
Bucal., 12(8): 585-590.
Garg, N. & Garg, A., 2014, Textbook of Endodontics, Jaypee, New Delhi.
Hegde, J., 2008, Endodontics: Prep Manual for Undergraduates,
Delhi.

Elsevier, New

Heymann H.O., Swift, E.J., Ritter, A.V., 2012, Sturdevants Art and Science of
Operative Dentistry: A South Asian Edition, 1st ed., Elsevier, New Delhi.
Heymann, H.O., Swift, E.J., Ritter, A.V., 2013, Sturdevants Art and Science of
Operative Dentistry, 6th ed., Elsevier Mosby, St. Louis.
Porto, I.C.C.M., Andrade, A.K.M., Montes, M.A.J.R., 2009, Diagnosis and treatment
of dentin hypersensitivity, Journal of Oral Science, 51 (3): 323-332.
Taha, S. & Clarkson, B.H., 2014, Clinicians Guide to Diangnosis and Management of
Tooth Sensitivity, Springer, Heidelberg.

Anda mungkin juga menyukai