Anda di halaman 1dari 88

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEPATUHAN DALAM PEMBATASAN ASUPAN CAIRAN


PADA KLIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI
TERAPI HEMODIALISIS DIRUANG HEMODIALISA
RSUP FATMAWATI JAKARTA 2009

Oleh

LITA KARTIKA SARI


105104003464

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./ 2009 M.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.

Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progesif dan irreversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). GGK dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti Diabetes
Mellitus (DM), glomerulonefritis kronik, pielonefritis, hipertensi yang tidak
dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, infeksi, medikasi, atau agen
toksik (timah, kadmium, merkuri, kromium) (Brunner & Suddart, 2002).

Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di


Amerika Serikat (AS), angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10
tahun. Pada tahun 1990, terjadi 166 ribu kasus GGK dan pada tahun 2000
menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada tahun
2010, jumlahnya di estimasi lebih dari 650 ribu kasus. Selain data tersebut, 6
s.d 20 juta orang di AS diperkirakan mengalami GGK

fase awal dan

cenderung berlanjut tanpa berhenti (Santoso, 2008) Pada tahun 2005


prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika Serikat terdapat 485.012 jumlah
penduduk. Hal ini diikuti dengan jumlah penduduk yang menjalani terapi
dipusat hemodialisis terdapat 312.057 penduduk (NIDDK, 2008).

Menurut Suhud, kepala Yayasan Ginjal Diatrash Indonesia (YGDI) jumlah


pasien gagal ginjal

pada saat ini diperkirakan 60.000 orang dengan

pertambahan 4.400 baru setiap tahunnya. Di Indonesia, jumlah penderita


ginjal hingga April 2006 berjumlah 150 ribu orang akan tetapi yang
membutuhkan terapi fungsi ginjal seperti terapi hemodialisis mencapai 3000
orang. (YGDI. 2007). Berdasarkan data yang diperoleh YAGINA (Yayasan
Ginjal Indonesia) pada tahun 2007 terdapat 6,7 persen dari penduduk
Indonesia sudah mempunyai gangguan fungsi ginjal dengan tingkatan sedang
sampai berat, dengan kecendrungan yang meningkat sesuai dengan kemajuan
sebuah negara yang mengubah pola konsumsi masyarakatnya. Menurut ketua
YAGINA Chaerul Tanjung (2007) di Indonesia sekarang ini terdapat 70 ribu
penderita gagal ginjal yang perlu mendapatkan perawatan berupa dialisis rutin
maupun cangkok ginjal. Berdasarkan data pada Departemen Kesehatan pada
tahun 2006, penyakit gagal ginjal menduduki no 4 angka penyebab kematian
di rumah sakit Indonesia (Depkes, 2007).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ruang Hemodialisis


RSUP Fatmawati didapatkan jumlah pasien yang melakukan terapi
hemodialisa pada tiga tahun terakhir mengalami peningkatan, pada tahun 2007
jumlah klien yang menjalani terapi hemodialisa sebanyak 82 orang, tahun
2008 menjadi 88 dan sampai juli 2009 telah mencapai 106 orang.

Pada klien gagal ginjal kronik, tindakan untuk mempertahankan hidupnya


salah satunya dengan terapi hemodialisis dan taat terhadap intervensi yang
diberikan bagi penderita gagal ginjal. Salah satu intervensi yang diberikan

bagi penderita gagal ginjal adalah pembatasan asupan cairan yang dianjurkan
oleh medis. Hal ini karena ginjal termasuk salah satu organ vital yang dimiliki
manusia. Ginjal memiliki fungsi menyaring, membersihkan dan membuang
kelebihan cairan dan sisa sisa metabolisme dalam darah, membantu
memproduksi sel sel darah merah, memproduksi hormon yang mengatur dan
melakukan kontrol atas tekanan darah, serta membantu menjaga tulang tetap
kuat (Sherwood, 2001 ; YGDI, 2007). Menurut Kallenbach et al (2005)
menyebutkan jika terjadi kegagalan pada fungsi organ ginjal, akibatnya pun
bisa fatal. Hal ini akan berakibat ginjal akan sulit mengontrol keseimbangan
cairan, kandungan natrium, kalium dan nitrogen, dengan produk metabolisme
tubuh.

Pada klien gagal ginjal kronik apabila tidak melakukan pembatasan asupan
cairan maka cairan akan menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan
edema di sekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Penumpukan cairan
dapat terjadi di rongga perut disebut ascites . Kondisi ini akan membuat
tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan
juga akan masuk ke paru paru sehingga membuat pasien mengalami sesak
nafas. Secara tidak langsung berat badan klien juga akan mengalami
peningkatan berat badan yang cukup tajam, mencapai lebih dari berat badan
normal (0,5 kg /24 jam) yang dianjurkan bagi klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa. Karena itulah perlunya klien gagal ginjal kronik
mengontrol dan membatasi jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh.
Pembatasan asupan cairan penting agar klien yang menderita gagal ginjal tetap

merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi hemodialisis
(Brunner & Suddart, 2002; Hudak & Gallo, 1996 ; YGDI, 2008).

Klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang mengalami
kegagalan dalam diet, pengaturan cairan dan pengobatan akan memberikan
dampak yang besar dalam morbiditas dan kelangsungan hidup klien.
Kegagalan dalam mengikuti pengaturan pengobatan akan berakibat fatal.
Dilaporkan lebih dari 50 % pasien yang menjalani terapi hemodialisis tidak
patuh dalam pembatasan asupan cairan. (Baines & Jindal, 2000 ; Kutner, 2001
; Tsay, 2003 dalam Barnet et al, 2008)

Pembatasan cairan seringkali sulit dilakukan oleh klien, terutama jika mereka
mengkonsumsi obat-obatan yang membuat membran mukosa kering seperti
diuretik, sehingga menyebabkan rasa haus dan klien berusaha untuk minum.
Hal ini karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama
tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan (Potter & Perry, 2008).
Berdasarkan hasil analisis situasional di RSUP Fatmawati, dari 5 pasien yang
sedang menjalani terapi hemodialisis terdapat 3 pasien yang kurang patuh
terhadap pembatasan asupan cairan. Hal ini berdasarkan wawancara langsung
dengan klien kemudian di lihat kembali rekam medis klien dan didapatkan
data peningkatan berat badan yang melebihi dari dianjurkan. Selain itu
terdapat pula 4 orang klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis lebih dari jadwal yang ditetapkan seperti klien yang seharusnya
menjalani terapi hemodialisis 2x dalam dalam seminggu, menjadi 3x atau cito
akibat kelebihan asupan cairan. Hal ini menunjukkan kepatuhan dalam

pembatasan asupan cairan masih cukup sulit diterapkan oleh klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis.

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Yetti (2001)
dikemukakan bahwa salah satu stressor yang dialami oleh klien dengan End
Stage Renal Disease (ESRD) sebagai akibat tidak berfungsinya fungsi ginjal
adalah masalah kelebihan cairan. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan,
untuk mengetahui stressor yang dialami oleh klien hemodialisis, dilaporkan
bahwa masalah cairan merupakan salah satu masalah utama bagi penderita
gagal ginjal (Germino, dkk. 1998 dalam Nursuryawati, 2002).

Sepengetahuan peneliti telah dilakukan penelitian oleh Nursuryawati (2002)


untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan. Pada penelitian terdahulu menggunakan desain
penelitian deskriptif sederhana yang mendeskripsikan atau menggambarkan
informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam diet
cairan pada klien yang menjalani terapi hemodialisis, sehingga tidak melihat
hubungan antar variabel. Untuk melanjutkan penelitian terdahulu, peneliti
ingin meneliti kembali faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
dalam pembatasan asupan cairan, dengan menggunakan desain penelitian
deskriptif cross sectional, pada penelitian ini, selain untuk menggambarkan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan
cairan, juga akan melihat hubungan antara variabel dependen dan independen.
Peneliti menggunakan sampel yang berbeda, yang bertujuan untuk
menyempurnakan penelitian terdahulu.

Berdasarkan latar belakang diatas dan melihat pentingnya pembatasan asupan


cairan bagi penderita gagal ginjal , peneliti tertarik untuk meneliti FaktorFaktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Dalam Pembatasan Asupan
Cairan Pada Klien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis
Diruang Hemodialisa RSUP Fatmawati Jakarta 2009

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas peneliti menyimpulkan


bahwa, angka kejadian klien yang menderita penyakit gagal ginjal

terus

mengalami peningkatan, begitu pula dengan angka kejadian klien yang


menjalani terapi hemodialisis juga mengalami peningkatan tiap tahunnya,
pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis perlu
melakukan

pembatasan

asupan

cairan

untuk

mencegah

terjadinya

penumpukan cairan akibat tidak berfungsinya ginjal yang ditandai dengan


peningkatan berat badan > 1,5 kg diantara 2 waktu dialisis, edema, ascites,
sesak nafas dan peningkatan tekanan darah. Maka peneliti ingin meneliti
faktor-faktor

apa saja yang berhubungan dengan kepatuhan dalam

pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam


pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik responden yang meliputi usia,
jenis kelamin dan pekerjaan
b. Mengidentifikasi gambaran kepatuhan dan ketidakpatuhan dalam
pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal yang menjalani
terapi hemodialisis
c. Mengidentifikasi gambaran faktor

pendidikan, pengetahuan, sikap,

lama menjalani terapi hemodialisis, informasi, dan dukungan keluarga


yang mempengaruhi kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan pada
klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
d. Memperoleh

informasi

tentang

hubungan

antara

pendidikan,

pengetahuan, sikap, lama menjalani terapi hemodialisis, informasi, dan


dukungan keluarga dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan
pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis

D. Manfaat
1. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan
dalam hal mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

klien dengan gagal ginjal kronik dalam menentukan asuhan keperawatan


yang tepat dan dapat sebagai masukan bagi perawat untuk memahami
pentingnya pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis sehingga dapat memberi pendidikan
kesehatan dalam pengaturan cairan secara mandiri pada klien
2. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pelayanan keperawatan dalam
memberikan

asuhan

keperawatan

mandiri

kepada

klien

dengan

pembatasan asupan cairan


3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan dan menambah
pengalaman peneliti dalam melaksanakan penelitian. Serta dapat dijadikan
dasar untuk penelitian selanjutnya .

E. Ruang lingkup
Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
dalam pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisa RSUP Fatmawati tahun
2009. Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian deskriptif cross

sectional. Metode pengambilan data primer dan sekunder berupa observasi,


kuesioner dan rekam medis serta timbangan BB. Penelitian ini perlu dilakukan
karena masih ditemukan klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa kurang patuh dalam pembatasan asupan cairan yang dapat
mengakibatkan penumpukan atau kelebihan cairan dalam tubuh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progressif,
dan cukup lanjut (Suyono, dkk. 2001).
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
ginjal gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddart, 2002).
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu :
a) Derajat (stage) yaitu berdasarkan LFG dengan rumus Kockroft
Gault

Tabel 2.1
Klasifikasi penyakit Gagal Ginjal Kronik berdasarkan LFG dengan
rumus Kockroft-Gault
Derajat
Penjelasan
LFG
(ml/mn/1.73m2)
1

Kerusakan ginjal dgn LFG normal atau

90

Kerusakan ginjal dgn LFG ringan

60 89

Kerusakan ginjal dgn LFG sedang

30 59

Kerusakan ginjal dgn LFG berat

15 29

Gagal ginjal

< 15 atau dialisis

Sumber : Sudoyo, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

b) Berdasarkan diagnosa kausa/etiologi

Tabel 2.2
Klasifikasi penyakit Gagal Ginjal berdasarkan kausa/etiologi
Penyakit
Penyakit

Tipe mayor
ginjal Diabetes tipe 1 dan 2

diabetes
Penyakit

ginjal

non Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi

diabetes

sistemik, obat, neoplasia), Penyakit vascular


(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati), Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan
obat), Penyakt kistik (ginjal polikstik)

Penyakit pada

Rejeksi kronik, Keracunan obat

transplantasi

(siklosporin/takrolimus), Penyakit recurrent


(glomerular), Transplant glomerulopathy

Sumber : Sudoyo, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

c) Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di Indonesia tahun


2000

Tabel 2.3
Penyebab Gagal Ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia
tahun 2000
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis

46,39 %

Diabetes mellitus

18,65 %

Obstruksi dan infeksi

12,85 %

Hipertensi

8,46 %

Sebab lain

13,65 %

Sumber : Sudoyo, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

2. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya
kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang di ikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Pada stadium dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan
kadar serum urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60 %, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar serum urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG 30 %, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30 %, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah.

Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal. (Sudoyo, 2006)

3. Manifestasi Klinik
a. Gangguan pada system gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti ammonia dan metal gaunidin, serta
sembabnya mukosa
2) Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga nafas berbau
ammonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis
3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
4) Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik
b. Sistem integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin
uremik dan pengendapan kalsium dipori-pori kulit
2) Ekimosis akibat gangguan hematologis
3) Urea frost : akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat (jarang
dijumpai)
4) Bekas-bekas garukan karena gatal-gatal

c. Sistem hematologi
1) Anemia, dapat disebabkan berbagai faktor antara lain :
a) Berkurangnya

produksi

eritropoetin,

sehingga

rangsangan

eritropoesis pada sumsum tulang menurun


b) Hemolisis, akibat berkurangnya massa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik
c) Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan yang
berkurang
d) Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit
e) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, mengakibatkan
perdarahan
d. Sistem saraf dan otot
1) Restless leg syndrome
Klien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan
2) Burning feet syndrome
Klien merasa semutan dan seperti terbakar, terutama ditelapak kaki
3) Ensefalopati metabolik
Klien tampak lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor,
mioklonus, kejang
4) Miopati
Klien tampak mengalami kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama
otot-otot ekstremitas proximal

e. Sistem kardiovaskular
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan
3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit,
dan klasifikasi metastatik
4) Edema akibat penimbunan cairan
f. Sistem endokrin
1) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin
2) Gangguan metabolisme lemak
3) Gangguan metabolisme vitamin D
4) Gangguan seksual
g. Gangguan sistem lainnya
1) Tulang : osteodistrofi renal yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteoskelrosis, dan klasifikasi metastatik
2) Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil
metabolisme
3) Elektrolit : hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia
4. Pemeriksaan Penunjang Pada Gagal Ginjal Kronik
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal

b. Foto polos abdomen


Menilai bentuk dan besar ginjal serta adakah batu/obstruksi lain.
c. Pielografi Intra Vena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter , beresiko terjadi penurunan faal
ginjal pada usia lanjut, DM dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenhim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kepadatan parenhim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih serta prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi gnjal kiri dan kanan, lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim)
serta sisa fungsi ginjal.
f. Pemeriksaan radiologi jantung
Mencari kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falanks/jari) kalsifikasi metastatik.
h. Pemeriksaan radiologi paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan pielografi retrograde
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi ginjal

Dilakukan bila ada keraguan diagnostik GGK atau perlu diketahui


etiologinya.
l. Pemeriksaan lab yang dapat menujang kemungkinan GGK :
1) Laju endap darah meninggi
2) Anemia normositer normokrom.
3) Ureum dan kreatinin meninggi
4) Hiponatremia karena kelebihan cairan
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Peninggian gula darah
9) Hipertrigleserida
10) Asidosis metabolic

5. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostatis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal
kronik dan faktor yang dapat dipulihkan, diidentifikasi dan ditangani.

Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik


a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b.Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d.Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi


f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

B. Konsep Keseimbangan cairan


1. Distribusi cairan tubuh
Cairan tubuh didistribusikan dalam dua kompartemen yakni : cairan
ekstrasel (CES) dan cairan intrasel (CIS). Cairan ekstrasel terdiri dari cairan
interstisial dan cairan intravaskular. Cairan interstitial mengisi ruangan yang
berada diantara sebagian besar sel tubuh dan menyusun sejumlah besar
lingkungan cairan tubuh. Sekitar 15 % berat tubuh merupakan cairan
interstitial. Cairan intravaskular terdiri dari plasma, bagian cairan limfe
yang mengandung air dan tidak berwarna, dan mengandung suspense
leukosit, eritrosit dan trombosit. Plasma menyusun 5 % berat tubuh (Potter
& Perry, 2006).
Cairan intrasel adalah cairan didalam membrane sel yang berisi substansi
terlarut atau solute yang penting untuk keseimbangan cairan dan elektrolit
serta untuk metabolisme. Cairan intrasel membentuk 40 % berat tubuh
(Potter & Perry, 2006).
Komposisi cairan tubuh
a. Elektrolit
b. Mineral
c. Sel
2. Pengaturan cairan tubuh
a. Asupan cairan

Asupan cairan terutama diatur melalui mekanisme rasa haus. Pusat


pengendali rasa haus berada didalam hipotalamus di otak. Stimulus
fisiologi utama terhadap pusat rasa haus adalah peningkatan konsentrasi
plasma dan penurunan volume darah. Sel-sel reseptor yang disebut
osmoreseptor secara terus-menerus memantau osmolalitas. Apabila
kehilangan cairan terlalu banyak, osmoreseptor akan mendeteksi
kehilangan tersebut dan mengaktifkan pusat rasa haus. Faktor lain yang
mempengaruhi pusat rasa haus adalah keringnya membran mukosa faring
dan mulut, angiotensin II, kehilangan kalium, dan faktor-faktor psikologis
(Potter & Perry, 1995).
Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati pada gagal ginjal
lanjut, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat
diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien, yang menyebabkan terjadinya
fenomena kelebihan cairan pada klien yang menjalani terapi hemodialisis.
Berat badan harian merupakan parameter penting yang dipantau, selain
catatan yang akurat mengenai asupan dan keluaran. Asupan yang terlalu
bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema, intoksikasi
cairan. Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urin dalam 24
jam + (IWL total) mencerminkan kehilangan cairan yang tidak disadari.
IWL total terdiri dari IWL normal (1% dari BB) ditambah dengan IWL
akibat peningkatan suhu (apabila peningkatan suhu 10C maka rumus yang
digunakan 10% x IWL normal). Misalnya, jika keluaran urin pasien
dalam 24 jam terakhir adalah 400 ml, asupan total perhari adalah iwl total
600 ml + 400 ml = 1000 ml. Kebutuhan yang diperbolehkan pada klien

gagal ginjal adalah 1000 ml/hari dan klien yang menjalani dialisis diberi
cairan yang mencukupi untuk memungkinkan penambahan berat badan
0,9 kg sampai dengan 1,3 kg selama pengobatan, yang jelas, asupan
natrium dan cairan harus diatur sedemikian rupa untuk mencapai
keseimbangan cairan dan mencegah hipervolemia serta hipertensi (Price
& Wilson, 2002 dalam Rahmawati, 2008)
b. Haluaran cairan
Cairan terutama dikeluarkan oleh ginjal dan gastrointestinal. Rata-rata
hilangnya cairan setiap hari terangkum dalam tabel 2.4 dibawah ini

Tabel 2.4
Rata-rata jumlah cairan yang hilang
Organ atau sistem
Jumlah (ml)
Ginjal

1500

Kulit
Kehilangan tak kasat mata
Kehilangan kasat mata

600-900
600

Paru-paru

400

Saluran pencernaan

100

Jumlah total

3200-3500

Sumber : Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Pada orang dewasa, ginjal setiap menit menerima sekitar 125 ml plasma
untuk disaring dan memproduksi urine sekitar 60 ml (40 sampai 80 ml)
dalam setiap jam atau totalnya sekitar 1,5 L dalam satu hari (Horne et al,
1991 dalam Perry & Poter, 2002).
C. Pembatasan asupan cairan
Pembatasan asupan cairan/air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi

kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air
yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dalam
melakukan pembatasan asupan cairan, cairan yang masuk bergantung pada
haluaran urine. Berasal dari insensible water loss ditambah dengan haluaran
urin per 24 jam yang diperbolehkan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik
yang menjalani dialisis. (Almatsier, 2006; Brunner & Suddart, 2002)
Makanan-makanan cair dalam suhu ruang (agar-agar, es krim) dianggap cairan
yang masuk. Untuk klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa, asupan cairan harus diatur sehingga berat badan yang diperoleh
tidak lebih dari 1 sampai 3 kg diantara waktu dialisis (Lewis et all, 2007).
Mengontrol asupan cairan merupakan salah satu masalah utama bagi pasein
dialisis. Karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih
lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan. Namun bagi
penderita penyakit gagal ginjal kronik harus melakukan pembatasan asupan
cairan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ginjal sehat melakukan
tugasnya menyaring dan membuang limbah dan racun di tubuh kita dalam
bentuk urin 24 jam sehari. Apabila fungsi ginjal berhenti maka terapi dialisis
yang menggantikan tugas dari ginjal tersebut. Mayoritas klien yang menjalani
terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2 kali seminggu antar 4 5
jam pertindakan. Itu artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan
diantara dua waktu terapi (YGDI, 2008).
Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka cairan akan
menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema di sekitar tubuh
seperti tangan, kaki dan muka. Banyak juga penumpukan cairan terjadi di

rongga perut yang membuat perut disebut ascites . Kondisi ini akan membuat
tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan
juga akan masuk ke paru paru sehingga membuat pasien mengalami sesak
nafas. Karena itulah perlunya pasien mengontrol dan membatasi jumlah
asupan cairan yang masuk dalam tubuh. Pembatasan tersebut penting agar
pasien tetap merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi
hemodialisis (Brunner & Suddart, 2002 ; YGDI, 2008).
Penilaian umum mengenai berat badan bersih adalah penting untuk
mempermudah perawat dan pasien dalam mengurangi kelebihan cairan selama
pelaksanaan dialisis. 1 kg sebanding dengan 1 L cairan, artinya bahwa berat
badan pasien adalah metode yang sederhana dan akurat untuk menilai
pertambahan

maupun

pengurangan

cairan

selama

program

dialisis

berjalan.(Nicola, 2002)
Peningkatan berat badan mengidentifikasi kelebihan cairan..Kenaikan yang
diterima adalah 0,5 kg per tiap 24 jam diantara waktu dialisis (Hudak dan
Gallo, 1996). Kelebihan cairan yang terjadi dapat dilihat dari terjadinya
penambahan berat badan secara cepat, penambahan berat badan 2% dari berat
badan normal merupakan kelebihan cairan ringan, penambahan berat badan
5% merupakan kelebihan cairan sedang, penambahan 8%

merupakan

kelebihan cairan berat. (Price & Wilson, 1995 ; Kozier, Erb, Berman &
Snyder, 2004 dalam Rahmawati 2008). Kelebihan cairan pada pasien gagal
ginjal kronik dapat berkembang dengan progressif, yang dapat menimbulkan
kondisi edema paru ataupun komplikasi kegagalan fungsi jantung (Suwitra,

2006 dalam Sudoyo et al 2006 ; Black & Hawks, 2005 dalam Rahmawati
2008).

D. Hemodialisa
1. Definisi
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Brunner & Suddart, 2002).
Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan
pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup
hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialisis.
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium
terminal (ESRD : end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka
panjang atau terapi permanen (Brunner & Suddart, 2002).
Pada Hemodialisis, darah adalah salah satu kompartemen dan dialisat adalah
bagian yang lain. Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori
terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran
memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea,
kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan
bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri,
dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran.

Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien


konsentrasi. (Hidayat, 2008)
2.

Fungsi Sistem ginjal buatan


a) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan
asam urat.
b) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus
darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat
(proses ultrafiltrasi).
c) Mempertahankan dan mengembalikan sistem buffer tubuh.
d) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh

3. Indikasi
Indikasi secara umum dialisis pada gagal ginjal kronik adalah bila laju
filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/ menit).
Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila
terdapat kondisi sebagai berikut :
1) Hiperkalemia
2) Asidosis
3) Kegagalan terapi konservatif
4) Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah (ureum > 200 mg/dL atau
Kreatinin > 6 mEq/L)
5) Kelebihan cairan (fluid overloaded)
6) Mual dan muntah hebat
7) Anuria berkepanjangan (> 5 hari)

4.

Prinsip-prinsip yang mendasari hemodialisis


Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis: yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melalui
proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi
tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan
dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi
ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan
mengatur rendaman dialisat (dialisate bath) secara tepat (pori-pori kecil
dalam membran semipermeabel tidak memungkinkan lolosnya sel darah
merah dan protein)
Air yang berlebihan dikeluarkan dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient
tekanan; dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif
diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan
air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia (keseimbangan cairan) (Brunner & Suddart, 2002)

E. Peran perawat dialisis


Perawat berperan sangat penting dalam penyuluhan kesehatan pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa. Terdapat sejumlah informasi

yang harus dipahami klien mengenai gagal ginjal kronik, terapi hemodialisa
dan pembatasan asupan cairan dalam rangka memelihara kesehatan dan
menghindari komplikasi yang dapat terjadi bagi klien gagal ginjal kronik.
Karena luasnya penyuluhan yang harus diberikan pada pasien, perawat dialisis
menyediakan pendidikan berkelanjutan dan mengulangi pengajaran awal yang
diikuti dengan pemantauan perkembangan kesehatan pasien dan kepatuhan
klien terhadap program penanganan klien, seperti pembatasan asupan cairan
(Brunner & Suddart, 2002)
Pembatasan asupan cairan bisa menjadi hal yang sulit bagi klien gagal ginjal
kronik utuk dipertahankan, khususnya jika klien mengalami kehausan.
Menurut Kozier (1995) dan Crisp & tailor (2001) terdapat beberapa intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan perawat untuk mengurangi rasa haus pada
klien dengan pembatasan asupan cairan yakni :
1. Menjelaskan alasan pembatasan cairan, berapa banyak cairan yang
dibatasi dan jenis cairan apa yang diperbolehkan untuk diminum.
2. Mengatur alokasi waktu dan interval minum untuk 24 jam.
3. Memberikan kepingan atau potongan es sebagai alternative pengganti
air untuk mengurangi rasa haus.
4. Menyediakan wadah atau tempat air minum yang berukuran kecil
untuk minum.
5. Apabila klien merasa haus, bantu klien untuk membilas mulut mereka
dengan air tanpa menelannya.
6. Melakukan perawatan mulut

7. Menginstruksikan klien untuk menghindari menelan atau mengunyah


makanan yang terlalu asin atau manis, karena makanan tersebut
cenderung menyebabkan sensasi haus.
8. Jika memungkinkan instruksikan klien mencatat cairan yang masuk
pada buku catatan untuk memantau jumlah cairan yang masuk.

F. Konsep Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar) (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan
ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) seperti perilaku
pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, dan perilaku
pemenuhan kebutuhan gizi.
b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health
seeking behavior)
c. Perilaku kesehatan lingkungan, misalnya sebagai berikut:

1) Perilaku hidup sehat, seperti makan dengan menu seimbang


(appropriate diet), olahraga teratur, tidak merokok dan tidak minumminuman keras, istirahat cukup, mengendalikan stress, dan gaya hidup
yang positif.
2) Perilaku sakit (illness behavior), seperti pengetahuan tentang
penyebab, gejala dan pengobatan.
3) Perilaku peran sakit (the sick role behavior), dimana peran klien yaitu :
a) Hak-hak orang sakit (right), seperti memperoleh perawatan,
memperoleh pelayanan kesehatan, dan lain-lain.
b) Kewajiban orang sakit (obligation), seperti memberitahukan
penyakit kepada orang lain khususnya pada dokter, tidak
menularkan penyakit kepada orang lain, dan lain-lain.
c) Perilaku peran orang sakit (the sick role). seperti tindakan untuk
memperoleh kesembuhan, mengenal fasilitas penyembuhan yang
layak, mengetahui hak dan keewajiban orang sakit, dan lain-lain.

G. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan


Menurut Notoatmodjo tahun 2007 dari aspek biologis, perilaku adalah suatu
kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan.
Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan
respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut.
Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun non fisik dalam bentuk sosial (struktur sosial, pranata-pranata sosial
dan permasalahanpermasalahan sosial lain), budaya (nilai-nilai, adat istiadat,

kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi,dan sebagainya), ekonomi, politik


dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor internal yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku antara lain perhatian, motivasi, persepsi, intelegensi,
fantasi, dan sebagainya.
Dengan perkataan lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau di
tentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor
yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan. Menurut
teori Lawrence Green (1980), Green menganalisis, bahwa faktor perilaku di
tentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara
lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan
sebagainya
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku dan tindakan. Yang
dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau
fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas,
posyandu, rumah sakit, tempat pembuangan sampah, tempat olahraga,
makanan bergizi, uang dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendukung (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

H. Kepatuhan
Menurut Safarino (1994) dalam Nursuryawati (2002) mendefinisikan
kepatuhan sebagai tingkat klien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku
yang disarankan oleh dari atau petugas kesehatan lain. Dan menurut Tailor
(1991) dalam Nursuryawati (2002) menyebutkan ketidakpatuhan sebagai
masalah medis yang berat.
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter
yang mengobatinya (Kaplan dkk, 1997). Menurut Sacket dalam Niven (2002)
kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh profesional kesehatan.
Kepatuhan berkenaan dengan kemauan dan kemampuan dari individu untuk
mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasihat, aturan yang ditetapkan,
mengikuti jadwal. Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam
mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup
sehat dan ketepatan berobat. (Niven, 2002)

I. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Dalam Pembatasan


Asupan Cairan
1. Pendidikan
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat
agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk
memelihara

(mengatasi

masalah-masalah),

dan

meningkatkan

kesehatannya. (Notoatmodjo, 2005). Menurut Azwar (1995) dalam Era


(2008) menyebutkan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan terhadap

perilaku positif yang menjadi dasar pengertian (pemahaman) dan perilaku


dalam diri seorang individu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini
membutuhkan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat
langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri. Tingkat
pendidikan individu memberikan kesempatan yang lebih banyak terhadap
diterimanya pengetahuan baru termasuk informasi kesehatan.
2. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan
sebagainya) (Notoatmojo, 2005). Pengetahuan merupakan faktor yang
sangat penting terbentuknya perilaku seseorang. Perilaku didasarkan atas
pengetahuan, walaupun pengetahuan yang mendasari sikap seseorang
masih dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang sangat kompleks sehingga
terbentuk perilaku yang nyata (Notoatmodjo, 2003).
3. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan. (Notoatmodjo, 2005). Menurut Newcomb, salah seorang
ahli psikologi sosial yang dikutip oleh Notoatmojdo (2005) menyatakan
bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, fungsi
sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan atau reaksi tertutup).
4. Lama menjalani hemodialisis

Individu dengan hemodialisis jangka panjang sering merasa khawatir akan


kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam
kehidupannya. Gaya hidup terencana dalam jangka waktu lama, yang
berhubungan dengan terapi hemodialisis dan pembatasan asupan makanan
dan cairan klien gagal ginjal kronik sering menghilangkan semangat hidup
klien sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan klien dalam terapi
hemodialisis ataupun dengan pembatasan asupan cairan (Brunner &
Suddart, 2002).
5. Informasi
Dalam teori Lawrence Green 1980 yang dikutip oleh Notoatmodjo 2005,
salah satu faktor yang berpengaruh dalam perilaku adalah faktor
pemungkin (enabling factor) yang memungkinkan atau memfasilitasi
perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah
sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.
Salah satu sarana dan prasarana yang digunakan adalah informasi. Dengan
adanya

kemudahan

memperoleh

informasi

mengenai

pentingnya

pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik sehingga dapat
memfasilitasi terjadinya perilaku kepatuhan dalam melakukan pembatasan
asupan cairan.
Menurut Snehandu yang dikutip Notoatmojdo 2005 menyebutkan salah
satu faktor yang mempengaruhi perilaku adalah terjangkaunya informasi
yaitu tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan
diambil seseorang.
6. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penguat atau pendorong


terjadinya perilaku. (Green 1980 dalam Notoatmojdo 2005). Dukungan
keluarga dalam hal ini memberikan motivasi, perhatian, mengingatkan
untuk selalu melakukan pembatasan asupan cairan sesuai dengan anjuran
tim medis. Pada Penelitian yang dilakukan Foote (1990) dalam
Tamanampo (2000) membuktikan bahwa dukungan sosial

juga

mempunyai hubungan yang positif yang dapat mempengaruhi kesehatan


individu dan kesejahteraannya atau dapat meningkatkan kreativitas
individu dalam kemampuan penyesuaian yang adaptif terhadap stres dan
rasa sakit yang dialami. Dukungan keluarga diperlukan karena klien gagal
ginjal kronik akan mengalami sejumlah perubahan bagi hidupnnya
sehingga menghilangkan semangat hidup klien, diharapkan dengan adanya
dukungan keluarga dapat

menunjang kepatuhan klien (Brunner &

Suddart, 2002)

J. Penelitian terkait
Dari penelitian Tamanampo (2000) yang bejudul faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan penderita gagal ginjal tahap akhir dalam
menjalankan hemodialisis di unit hemodialisa pelayanan kesehatan St Carolus
tahun 2000 terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan cuci darah
adalah pengetahuan, sikap, dukungan keluarga. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa variabel pengetahuan sebesar 43,5% namun menurut
hasil perhitungan statistik menunjukkan hubungan yang tidak signifikan.
Demikian juga dengan variabel sikap dan keluarga sebesar 43,5% dan 55 %

nenunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara variabel independen dan


dependen menurut hasil perhitungan statistik.

K. Kerangka teori
Berdasarkan teori Lawrence Green (1980) dalam konsep perilaku kesehatan
menurut Notoatmodjo (2007).

Faktor faktor
predisposisi
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Keyakinan
4. Kepercayaan
5. Nilai-nilai
6. Tradisi

Faktor-faktor
pemungkin
1. Sarana
2. Prasarana

PERILAKU
KESEHATAN

Faktor-faktor
pendukung
1. Dukungan
keluarga
2. Sikap petugas
kesehatan

Gambar 2.1 Kerangka Teori

BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN
DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka konsep
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka tentang kepatuhan dalam
menjalankan pembatasan asupan cairan dan berdasarkan teori analisis perilaku
khususnya perilaku yang berhubungan dengan kepatuhan yang didapat dari
Teori Lawrence Green, diperoleh variabel-variabel yang diduga berperan
dalam kaitannya dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan pada
klien gagal ginjal kronik.
Hubungan tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk kerangka konsep penelitian
dengan variabel independen
Faktor predisposisi : pendidikan, pengetahuan, sikap pembatasan asupan
cairan dan lama menjalani hemodialisis
Faktor pendukung : informasi dan dukungan keluarga dalam menjalani
pembatasan asupan cairan
Sedangkan variabel dependen yaitu kepatuhan dalam menjalankan
pembatasan asupan cairan.

Adapun kerangka konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

INDEPENDEN
Faktor
predisposisi
Pendidikan
Pengetahua
n
Sikap
Lama
menjalani
hemodialisis

DEPENDEN

Kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan
pada klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi
hemodialisis

Faktor pendukung
Informasi
Dukungan
keluarga

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian mengenai Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kepatuhan Dalam Pembatasan Asupan Cairan Pada Klien
Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis

B. Hipotesis
1. Ada hubungan pendidikan klien dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis
2. Ada hubungan pengetahuan klien dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis
3. Ada hubungan sikap klien dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan
cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis

4. Ada hubungan lama menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan


dalam pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis
5. Ada hubungan informasi dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan
cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
6. Ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
1. Pendekatan penelitian
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berbentuk data
kuantitatif untuk itu pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah kuantitatif.
2. Metode penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan
pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. Untuk
itu metode penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif
cross sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran/ observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat.
Pada jenis ini variabel independen dan dependen dinilai secara bersamaan
pada satu saat, jadi tidak ada follow up. Tentunya tidak semua subjek
penelitian harus di observasi pada hari atau pada waktu yang sama, akan
tetapi baik variable independen maupun variable dependen di nilai hanya
satu kali saja. Dengan studi ini akan diperoleh prevalensi atau efek suatu
fenomena (variable dependent) dihubungkan dengan penyebab (variable
independent)

B. Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September tahun 2009 di RSUP


Fatmawati Jakarta. Alasan dilakukan penelitian di RSUP Fatmawati
Jakarta adalah rumah sakit tersebut memiliki sarana dan prasarana yang
lengkap yakni memiliki ruang hemodialisa yang jumlah responden
menjalani terapi hemodialisis cukup banyak. Dan setelah dilakukan studi
pendahuluan di rumah sakit tersebut pada 5 orang klien masih didapatkan
3 orang klien yang kurang patuh pada pembatasan asupan cairan.

C. Pengambilan sampel
1. Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu
yang akan di teliti (Hidayat , 2008). Subjek penelitian yang di ambil adalah
semua klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di
RSUP Fatmawati. Saat ini klien yang menjalani terapi hemodialisis di
ruang hemodialisis RSUP Fatmawati pada bulan April terdapat 103 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang akan di teliti atau sebagian jumlah
dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2008).
Sampel yang diperlukan

orang , Jumlah sampel ditetapkan dengan

menggunakan rumus Uji Hipotesis Beda 2 Proporsi sesuai dengan rumus


dari Lwanga dan Lemeshow tahun 1998.
Z a / 2 21 Z1 1 1 1 2 1 2
N= 1

1 2

Ket :

= Jumlah sample

Z1-/2 = 1,96 (derajat kepercayaan(CI) 95%, derajat kemaknaan


5%)
Z2-/2 = 1,28 (kekuatan uji 90%)
P1

= proporsi distribusi kepatuhan penderita gagal ginjal tahap


akhir dalam menjalankan hemodialisis berdasarkan
penelitian Tamanampo (2000)

P2

= P1+ 30% (proporsi distribusi kepatuhan penderita gagal


ginjal tahap akhir dalam menjalankan hemodialisis
berdasarkan penelitian

Tamanampo (2000)

dengan

perbedaan selisih 30% dari proporsi awal)


P

= (P1+ P2)/2
Z a / 2 21 Z1 1 1 1 2 1 2
n= 1

1 2

1,96 2.0,581 0,43 1,28 0,431 0,43 0,731 0,73

0,43 0,73

= 55
Berdasarkan perhitungan diatas sampel yang akan digunakan yakni 55
orang dengan tambahan 10% menjadi 60 orang untuk mencegah
terjadinya missing data.

3. Teknik pengambilan sampel


Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmojdo, 2005 ; Supriyanto, 2007).
Pengambilan sampel dalam penelitian ini digunakan non probability

sampling dengan teknik Accidental sampling yaitu teknik penentuan


sampel dengan cara aksidental, yaitu siapa saja yang kebetulan bertemu
akan terpilih menjadi sampel
Sampel yang digunakan didasarkan pada kriteria inklusi
a. Kesadaran baik
b. Klien

Hemodialisis

yang

mengikuti

jadwal

regular

dengan

penambahan berat badan (BB) > 1,5 kg dan < 1,5 kg diantara waktu
dialisis
c. Klien hemodialisis dengan jadwal regular, dimana pada anamnesa
ditemukan tanda kelebihan asupan cairan : edema, ascites, tekanan
darah tinggi, sesak nafas.
d. Klien tidak memiliki riwayat penyakit asma dan hipertensi

D. Pengumpulan data
1. Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2002). Dalam penelitian ini instrumen
yang digunakan adalah kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner akan
dibagikan langsung oleh peneliti kepada klien yang menderita gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis untuk di isi dan di lengkapi.
Kuesioner yang telah dibuat mencakup beberapa variabel yang diteliti,
yaitu variabel independen :

pendidikan, pengetahuan, sikap, lama

menjalani hemodalisa, informasi dan dukungan keluarga.

Lembar observasi yang telah dibuat mencakup Variabel dependen yaitu


perilaku kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan pada klien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis.

2. Uji instrument penelitian


Uji instrument di laksanakan di ruang Hemodialisis yang sudah dipilih
oleh peneliti di ruang hemodialisis RS Umum kabupaten Tangerang. Uji
kuesioner dilakukan untuk menguji kuesioner yang akan digunakan dalam
penelitian mengenai kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan.
Pertanyaan dan pernyataan pada uji kuesioner ini diajukan kepada klien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis pada tanggal 3-4
Agustus 2009. Dengan jumlah responden sebanyak 30 orang dengan nilai
(alpha cronbach) dari kuesioner adalah 0.829.
E. Pengolahan data
Dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan
mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh
dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian
hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus
ditempuh, diantaranya:
1. Editing
Setelah data masuk, langsung diperiksa kelengkapannya, sehingga dengan
cara ini data yang hilang atau kurang bisa diperoleh kembali dilapangan.
2. Coding

Setelah data masuk, setiap jawaban dikonversi kedalam angka-angka


sehingga memudahkan untuk pengolahan
3. Entri data
Proses memasukkan data kedalam program komputer
4. Cleaning data
Pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan kedalam komputer
untuk memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan, baik
kesalahan dalam pengkodean maupun kesalahan dalam mencoba kode,
dengan demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk
dianalisa

F. Analisa data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis tiap variable yang dinyatakan
dengan sebaran frekuensi,baik secara angka-angka mutlak, maupun secara
presentase disertai dengan penjelasan kualitatif (Rahmawati, 2004)
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi semua
variable yang terdiri dari variable karakteristik demografi, pengetahuan,
sikap, lama menjalani terapi hemodialisis, informasi, dukungan keluarga
yang mempengaruhi kepatuhan klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat analisis yang menghubungkan

antara satu variabel

independen dengan variabel dependen (Jekel, 2001). Uji statistik yang

digunakan adalah uji Chi Square (X2) dengan derajat kemaknaan ()


adalah 0,05
Apabila nilai p < 0.05 maka hasilnya bermakna secara statistic atau
terdapat hubungan ( Ho ditolak & Ha diterima), sedangkan bila nilai p >
0.05 maka hasilnya tidak bermakna secara statistik atau tidak terdapat
hubungan (Ho gagal ditolak / diterima dan Ha ditolak)

BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran ruang hemodialisa RSUP Fatmawati
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati memiliki ruang hemodialisa yang
berdiri pada tahun 1993 dengan memiliki 2 mesin, 3 perawat, 2 dokter (1
dokter umum dan 1 dokter spesialis penyakit dalam). Latar belakang
pembangunan ruang hemodialisa adalah terjadinya peningkatan pasien
gagal ginjal kronis dan kebutuhan akan dialisis semakin meningkat di
rumah sakit Fatmawati. Pada tahun 2009 ruang hemodialisa RSUP
Fatmawati telah memiliki 20 mesin dialiser dan diruang ICU memiliki 1
mesin dengan jumlah perawat 13 orang dan dokter sebanyak 3 orang yang
terdiri dari 2 orang dokter umum dan 1 orang dokter spesialis penyakit
dalam.
Pada bulan Agustus 2009 jumlah klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis di ruang hemodialisa RSUP Fatmawati sebanyak 105
orang. Penelitian dilakukan selama 2 minggu. Teknik yang digunakan
dalam pengambilan sampel adalah teknik accidental dan berdasarkan
perhitungan, jumlah sampel yang didapat sebanyak 60 orang.

A. Analisis Univariat

1. Karakteristik demografi responden


a. Usia
Tabel 5.1
Distribusi frekuensi usia responden di ruang hemodialisa
RSUP Fatmawati, Jakarta tahun 2009

Variabel

Mean

Median

SD

Min

Mak

Usia

49.98

52.00

15.224

20

79

Berdasarkan hasil penelitian usia klien gagal ginjal kronik yang


menjalani terapi hemodialisis di RSUP Fatmawati dari 60
responden, didapatkan nilai mean (49.98), median (52.00),
std.deviasi (15.224), dan nilai minimum usia (20), sedangkan nilai
maksimum usia (79).

b. Jenis kelamin
Tabel 5.2
Distribusi frekuensi jenis kelamin responden di ruang hemodialisa
RSUP Fatmawati, Jakarta tahun 2009
Variabel
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Jenis kelamin

Laki-laki

34

56.7

Perempuan

26

43.3

Berdasarkan hasil analisa data didapatkan bahwa sebagian besar


jenis kelamin klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa yakni klien yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak

34 orang (56.7%) dan klien yang berjenis kelamin perempuan


sebanyak 26 orang (43.3%)
c. Pekerjaan
Tabel 5.3
Distribusi frekuensi pekerjaan responden di ruang hemodialisa
RSUP Fatmawati, Jakarta tahun 2009
Variabel
Pekerjaan

Kategori

Jumlah

Persentase (%)

Bekerja

14

23.3

Tidak bekerja

46

76.7

Berdasarkan hasil analisa data didapatkan bahwa sebagian besar


klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa yang
bekerja sebanyak 14 orang (23.3%) dan klien yang tidak bekerja
sebanyak 46 orang (76.7%)

2. Kepatuhan
Tabel 5.4
Distribusi responden berdasarkan kepatuhan klien gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati Jakarta
Variabel

Kategori

Kepatuhan klien Patuh


Tidak patuh

Jumlah

Persentase (%)

20

33.3

40

66.7

Kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan didefinisikan sebagai


kemauan klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
dalam melaksanakan program yang disarankan oleh tim kesehatan
mengenai pembatasan asupan cairan. Kepatuhan klien diukur dengan

mengobservasi langsung klien dan melihat tanda-tanda kelebihan


cairan kemudian mencatatnya pada lembar observasi kemudian
dikelompokkan menjadi dua yakni patuh dan tidak patuh
Berdasarkan analisa data didapatkan kepatuhan klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis yaitu klien yang patuh
sebanyak 20 orang (33.3%) dan yang tidak patuh sebanyak 40 orang
(66.7%)
3. Pendidikan
Tabel 5.5
Distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan klien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati
Jakarta
Variabel
Pendidikan
klien

Kategori
SD
SMP
SMA
Perguruan
Tinggi

Jumlah

Persentase (%)

6
10
32
12

10.0
16.7
53.3
20.0

Berdasarkan analisa data didapatkan bahwa pendidikan klien gagal


ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis yaitu klien dengan
pendidikan SD berjumlah 6 orang (10,0%), klien dengan pendidikan
SMP berjumlah 10 orang (16,7%), klien dengan pendidikan SMA
berjumlah 32 orang (53.3 %) dan klien dengan pendidikan Perguruan
Tinggi berjumlah 12 orang (20%).
4. Pengetahuan
Tabel 5.6

Distribusi responden berdasarkan pengetahuan klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati Jakarta
Variabel
Pengetahuan klien

Pengetahuan klien

Kategori
Kurang
Cukup
Baik

Jumlah

Persentase (%)

13
21
26

21.7
35.0
43.3

gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisis tentang pembatasan asupan cairan, diukur melalui


pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner tentang pengertian,
manfaat, jumlah cairan dan dampak apabila tidak melakukan
pembatasan asupan cairan.
Berdasarkan analisa data didapatkan bahwa pengetahuan klien
dikelompokkan menjadi 3 yakni klien dengan pengetahuan kurang
(bila didapat skor < 55%) berjumlah 13 orang (21,7%), klien dengan
pengetahuan cukup (bila didapat skor 56%-75%) berjumlah 21 orang
(35,0%) dan klien dengan pengetahuan baik (bila didapat skor 76%100%) berjumlah 26 orang (43,3%).

5. Sikap
Tabel 5.7
Distribusi responden berdasarkan sikap klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati Jakarta

Variabel
Sikap klien

Kategori
Kurang
Baik

Jumlah

Persentase (%)

25
35

41.7
58.3

Variabel sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi


hemodialisis diukur dengan 7 pertanyaan, yang masing-masing terdiri
dari 3 pernyataan positif dan 4 pernyataan negatif, yang kemudian
nilainya diskoring. Berdasarkan analisa data diketahui bahwa nilai skor
sikap klien tertinggi adalah 21 dan terendah 12. berdasarkan uji
normalitas didapatkan P value < 0,05 yang menunjukkan data sikap
klien berdistribusi tidak normal (p=0,001). Untuk kepentingan analisa
data, sikap klien dikelompokkan menjadi 2 kategori berdasarkan nilai
tengah (median) yaitu 17. Berdasarkan kategori tersebut diketahui
bahwa klien yang memiliki sikap negatif terhadap pembatasan asupan
cairan berjumlah 25 orang (41,7%), sedangkan klien yang memiliki
sikap positif terhadap pembatasan asupan cairan berjumlah 35 orang
(58,3%).

6. Lama menjalani hemodialisa


Tabel 5.8
Distribusi responden berdasarkan lama klien menjalani hemodialisis Di
RSUP Fatmawati Jakarta

Variabel

Mean Median

Lama menjalani HD

60

14.42

8.50

SD

Min

Mak

17.664

108

Berdasarkan hasil penelitian lama menjalani hemodialisis dari 60


responden, didapatkan nilai mean (14.42), median (8.50), std.deviasi
(17.664), dan nilai minimum lama menjalani HD ( 1 ) bulan,
sedangkan nilai maksimum lama menjalani HD (108) bulan.
7. Informasi
Tabel 5.9
Distribusi responden berdasarkan informasi tentang pembatasan
asupan cairan yang diterima klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati Jakarta
Variabel

Kategori

Informasi pembatasan asupan cairan

Jumlah Persentase (%)

Ya

56

93.3

Tidak

6.7

Berdasarkan hasil analisa data didapatkan bahwa sebagian besar klien


gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa mendapatkan
informasi mengenai pembatasan asupan cairan sebanyak 56 orang
(93,3%) dan yang tidak mendapatkan informasi mengenai pembatasan
asupan cairan sebanyak 4 orang (6,7%).
8. Dukungan keluarga
Tabel 5.10
Distribusi responden berdasarkan dukungan yang didapat klien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati
Jakarta

Variabel

Kategori

Jumlah

Persentase
(%)

Dukungan keluarga

Kurang

31

51.7

Baik

29

48.3

Variabel dukungan keluarga klien gagal ginjal kronik yang menjalani


terapi hemodialisis diukur dengan 2 pertanyaan. Berdasarkan analisa
data diketahui bahwa nilai skor sikap klien tertinggi adalah 8 dan
terendah 2. berdasarkan uji normalitas didapatkan P value < 0,05 yang
menunjukkan data sikap klien berdistribusi tidak normal (p=0,000).
Untuk

kepentingan

analisa

data,

dukungan

keluarga

klien

dikelompokkan menjadi 2 kategori berdasarkan nilai tengah (median)


yaitu 7. Berdasarkan kategori tersebut diketahui bahwa klien yang
memiliki dukungan keluarga negatif terhadap pembatasan asupan
cairan berjumlah 31 orang (51,7%), sedangkan klien yang memiliki
sikap positif terhadap pembatasan asupan cairan berjumlah 29 orang
(48,3%).

B. Analisa Bivariat
1. Hubungan antara pendidikan klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan
cairan

Tabel 5.11
Hubungan antara pendidikan klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan
cairan
n = 60
KEPATUHAN
Pendidikan

Patuh

OR

Tidak patuh

TOTAL

Klien

SD
SMP
SMA
PT

1
1
12
6

16.7
10.0
37.5
50.0

5
9
20
6

83.3
90.0
62.5
50.0

6
10
32
12

100
100
100
100

( 95% CI )
Exp(B)

Lower-upper

P
value
0.044

0.556
3.000
5.000

0.028-10.933
0.312-28.841
0.442-56.623

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara 60 orang, klien gagal


ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang berpendidikan
SD sebanyak 1 orang (16.7%), SMP sebanyak 1 orang (10.0), SMA
sebanyak 12 orang (37.5) dan perguruan tinggi sebanyak 6 orang
(50%) yang patuh terhadap pembatasan asupan cairan.
Berdasarkan hasil analisa bivariat dapat disimpulkan secara statistik
terbukti untuk menyatakan adanya hubungan antara pendidikan klien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan perilaku
kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan.
Klien yang berpendidikan SMP menurunkan resiko untuk tidak patuh
dalam pembatasan asupan cairan sebesar 0.556 dibandingkan dengan
klien yang berpendidikan SD. Klien yang berpendidikan SMA
berpeluang 3 kali untuk patuh dalam pembatasan asupan cairan

dibandingkan dengan klien yang berpendidikan SD, klien yang


berpendidikan Perguruan Tinggi berpeluang 5 kali untuk patuh dalam
pembatasan asupan cairan dibandingkan SD.

2. Hubungan antara pengetahuan klien gagal ginjal kronik yang


menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam
pembatasan asupan cairan
Tabel 5.12
Hubungan antara pengetahuan klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam
pembatasan asupan cairan
n = 60
KEPATUHAN
Pengetahuan

Patuh

klien

TOTAL

Tidak
patuh

OR

( 95% CI

value

Kurang

38.5

61.5

13 100

1.406

Cukup

33.3

14

66.7

21 100

0.349-

Baik

30.8

18

69.2

26 100

5.666

0.645

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara 60 klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang memiliki pengetahuan
kurang terdapat 5 orang (38.5%) yang patuh terhadap pembatasan
asupan cairan. Sedangkan yang memiliki pengetahuan baik terdapat 6
orang (7.8%) yang patuh terhadap pembatasan asupan cairan .
Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar
0.301 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti untuk

menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan.

3. Hubungan antara sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan cairan
Tabel 5.13
Hubungan antara sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan cairan
n = 60
KEPATUHAN
Sikap

Patuh

Tidak

klien

TOTAL

patuh
n

OR

( 95% CI )

value

Negatif

16,0

21

84,0

25

100

4.421

Positif

16

45,7

19

60,0

35

100

1.255-

0,033

15.573

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara 60 klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang memiliki sikap negatif
terdapat 4 orang (16.0%) yang patuh terhadap pembatasan asupan
cairan. Sedangkan yang memiliki sikap positif terdapat 14 orang (40
%) yang patuh terhadap pembatasan asupan cairan .
Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value < 0.05 yaitu sebesar
0.33 dapat disimpulkan secara statistik dapat dibuktikan

adanya

hubungan yang signifikan antara sikap klien dengan kepatuhan dalam


pembatasan asupan cairan. Klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis yang memiliki sikap positif berpeluang 4.421 kali
untuk patuh dalam pembatasan asupan cairan dibandingkan dengan
sikap negatif

4. Hubungan antara informasi yang didapat klien gagal ginjal kronik


yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam
pembatasan asupan cairan
Tabel 5.14
Hubungan antara informasi yang didapat klien gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam
pembatasan asupan cairan
n = 60
Informasi

KEPATUHAN

yang

Patuh

Tidak

didapat

TOTAL

patuh

OR

( 95% CI )

value

Tidak

50.0

50.0

100

0.474

Ya

18

32.1

38

67.9

56

100

0.062-

0.855

3.638

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara 60 klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang mendapat informasi
tentang pembatasan asupan terdapat 16 orang (28.6%) yang patuh
terhadap

pembatasan

asupan

cairan.

Sedangkan

yang

tidak

mendapatkan informasi terdapat 2 orang (50 %) yang patuh terhadap


pembatasan asupan cairan .
Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar
0.855 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti untuk
menyatakan adanya hubungan antara informasi yang didapat klien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan
kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan.

5. Hubungan antara lama menjalani terapi hemodialisis klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien
dalam pembatasan asupan cairan
Tabel 5.15

Hubungan antara lama menjalani terapi hemodialisis klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien
dalam pembatasan asupan cairan
n = 60
Variabel

P-Value

Kepatuhan

0,216

Lama menjalani HD

Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar
0.216 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti untuk
menyatakan adanya hubungan antara lama menjalani hemodialisis
klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan
kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan

6. Hubungan antara dukungan keluarga klien gagal ginjal kronik yang


menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam
pembatasan asupan cairan
Tabel 5.16
Hubungan antara dukungan keluarga klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam
pembatasan asupan cairan
n = 60
KEPATUHAN

Dukungan

Patuh

Tidak

keluarga

TOTAL

patuh

OR

( 95% CI )

value

0.523

Negatif

12

38.7

19

61.3

31

100

0.603

Positif

27.6

21

72.4

29

100

0.2031.792

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara 60 klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang memiliki dukungan
keluarga positif terdapat 8 orang (27.6%) yang patuh terhadap
pembatasan asupan cairan. Sedangkan yang memiliki dukungan
keluarga negatif terdapat 12 orang (38.7%) yang patuh terhadap
pembatasan asupan cairan .
Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar
0.523 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti untuk
menyatakan adanya hubungan antara dukungan keluarga klien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan
dalam pembatasan asupan cairan.

BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan penelitian
Penelitian

ini

memiliki

keterbatasan-keterbatasan

yang

dapat

mempengaruhi hasil penelitian. Keterbatasan-keterbatasan tersebut yaitu :


1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional atau desain
potong lintang yang hanya menggambarkan variabel yang diteliti,
baik independen maupun dependen pada waktu yang sama sehingga
tidak bisa melihat adanya hubungan sebab akibat.
2. Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini hanya
menghubungkan variabel-variabel yang diduga berhubungan dengan
variabel dependen, sehingga masih ada variabel-variabel lain yang
ada di dalam kerangka teori yang belum masuk dalam kerangka
konsep yang diduga berhubungan dengan variabel dependen.
3. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang telah disediakan
alternatif jawaban (pertanyaan tertutup) sehingga jawaban responden
kurang sesuai dengan yang diharapkan peneliti bila dibandingkan
dengan jawaban yang bersifat terbuka. Kualitas jawaban kuesioner
tergantung dari kejujuran responden dalam menjawab setiap
pertanyaan atau pernyataan sehingga bisa saja terdapat bias karena
responden menjawab sesuai dengan keinginan responden tersebut.
Instrumen

yang digunakan adalah instrumen yang dibuat oleh

peneliti berdasarkan teori yang berkaitan dengan variabel penelitian,


peneliti merasa belum sempurna dalam mengintegrasi teori dan

instrumen sehingga kualitas instrumen di pengaruhi oleh kemampuan


kognitif peneliti.
4. Pada penelitian ini, peneliti tidak mengkhususkan pasien dengan
jadwal Hemodialisisnya seperti pasien yang menjalani hemodialisis
1x seminggu, 2x seminggu atau setiap hari menjalani hemodialisis.

B. Kepatuhan klien dalam pembatasan asupan cairan


Menurut Safarino (1994) dalam Nursuryawati 2002 mendefinisikan
kepatuhan sebagai tingkat klien melaksanakan cara pengobatan dan
perilaku yang disarankan oleh dari atau petugas kesehatan lain. Dengan
demikian kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan adalah suatu
perilaku yang disarankan bagi klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis untuk melakukan pembatasan asupan cairan yang
masuk ke tubuh klien. Pembatasan asupan cairan/air pada pasien penyakit
ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular.
Pada hasil penelitian menunjukkan jumlah klien gagal ginjal yang
menjalani terapi hemodialisis lebih banyak yang tidak patuh sebanyak 40
orang (66.7%) dibandingkan dengan yang patuh terhadap pembatasan
asupan cairan sebanyak 20 orang (33.7%).

C. Hubungan antara pendidikan klien gagal ginjal kronik yang


menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat


agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk
memelihara

(mengatasi

masalah-masalah),

dan

meningkatkan

kesehatannya. (Notoatmodjo, 2005).


Pada penelitian ini diketahui sebagian besar klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis berpendidikan SMA. Berdasarkan hasil uji
statistik di dapatkan P value < 0.05 yaitu sebesar 0.044 dapat disimpulkan
secara statistik terbukti untuk menyatakan adanya hubungan antara
pendidikan klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan.
Klien yang berpendidikan SMP menurunkan resiko untuk tidak patuh
dalam pembatasan asupan cairan sebesar 0.556 dibandingkan dengan klien
yang berpendidikan SD. Klien yang berpendidikan SMA berpotensi 3 kali
untuk patuh dalam pembatasan asupan cairan dibandingkan dengan klien
yang berpendidikan SD, klien yang berpendidikan perguruan tinggi
berpotensi 5 kali untuk patuh dalam pembatasan asupan cairan
dibandingkan SD.
Hal ini sesuai dengan penelitian Yokohama et al (2009) yang
menyebutkan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan
kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan. Menurut Azwar (1995) dalam
Era (2008) juga menyebutkan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan
terhadap perilaku positif yang menjadi dasar pengertian (pemahaman) dan
perilaku dalam diri seorang individu. Namun hal ini tidak sejalan dengan

penelitian Ifudu (2002) yang menyatakan tingkat pendidikan tidak menjadi


acuan kepatuhan pasien hemodialisis.
Dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara masing-masing tingkat pendidikan dengan kepatuhan
dalam pembatasan asupan cairan kemungkinan disebabkan karena tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku
seseorang. Selain itu tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan akan
memudahkan

seseorang

untuk

menyerap

informasi

dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari,


termasuk dalam kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan.

D. Hubungan antara pengetahuan klien gagal ginjal kronik yang


menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis memiliki pengetahuan yang kurang.
Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar
0.645 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti untuk
menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan.
Meskipun pengetahuan merupakan salah satu faktor yang diduga dapat
mempengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak atau melakukan suatu
hal, pada penelitian ini tidak sepenuhnya kepatuhan dalam pembatasan

asupan cairan harus didahului oleh pengetahuan yang baik. Hal ini sejalan
dengan teori model keyakinan kesehatan dimana perilaku kesehatan akan
tumbuh dari keinginan individu untuk menghindari suatu penyakit dan
kepercayaan bahwa tindakan kesehatan yang tersedia akan mencegah
suatu penyakit (Glanz,2002).
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Tamanampo (2000) yang
menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan klien
dengan perilaku kepatuhan dalam melakukan hemodialisis, kemungkinan
dikarenakan peneliti tidak membagi responden dalam waktu lamanya
menjalani pengobatan cuci darah, Menurut Cameron (1995) yang dikutip
dari Haynes (1976) lamanya pengobatan jangka panjang yang memaksa
untuk merubah kebiasaan-kebiasaan atau perubahan gaya hidup dapat
memberikan kesan negatif sehingga dapat mempengaruhi perilaku
kepatuhan dalam hemodialisis.
Berbeda dengan teori menurut Notoatmojdo (2005) yang menyebutkan
Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting terbentuknya perilaku
seseorang dalam bertindak. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
Sanfransisco (1964) dalam Tamanampo (2000) menyebutkan bahwa
penderita yang mempunyai pengetahuan rendah dan awam tidak akan
patuh berobat dan menghentikan sendiri pengobatannya.
Dengan hasil penelitian yang menunjukkan belum ada cukup bukti untuk
menyatakan hubungan antara

pengetahuan dengan kepatuhan dalam

pembatasan asupan cairan. Menurut peneliti kemungkinan disebabkan


karena kurangnya kemampuan untuk mengendalikan keinginan klien

untuk tidak minum. Hal ini dikarenakan adanya faktor rasa haus yang
dirasakan klien sehingga klien tidak konsisten untuk menjalani program
pembatasan asupan cairan dengan teratur. Pembatasan asupan cairan
merupakan salah satu terapi

yang paling menimbulkan rasa stress,

membuat ketidaknyamanan dan sering kali sulit bagi klien gagal ginjal
untuk mempertahankannya khususnya jika pasien mengalami sensasi haus.
(Crisp & Tailor, 2001 ; Black Hawks, 2005). Sensasi haus merupakan
keinginan sadar terhadap air dan merupakan salah satu faktor utama yang
menentukan asupan cairan (Guyton, 1994 dalam Rahmawati, 2008). Rasa
haus yang dirasakan klien dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dari
luar seperti iklim dan cuaca, dimana Indonesia merupakan negara yang
memiliki iklim tropis dan cuaca yang yang cukup panas sehingga dapat
menimbulkan rasa haus dan dapat mempengaruhi kepatuhan klien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dalam pembatasan asupan
cairan. Hal ini berdasarkan penelitian Bloom dalam Notoatmodjo (2003)
yang dilakukan di Amerika Serikat yang menyimpulkan lingkungan
memiliki andil yang paling besar terhadap status kesehatan seseorang.

E. Hubungan antara sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani


terapi hemodialisis dengan

kepatuhan dalam pembatasan asupan

cairan.
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis memiliki sikap positif terhadap pembatasan
asupan cairan. Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value < 0.05

yaitu sebesar 0.033 dapat disimpulkan secara statistik terbukti untuk


menyatakan adanya hubungan antara sikap klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan
cairan. Sikap positif klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis 4.421 kali untuk patuh dibandingkan dengan sikap negatif.
Hal ini sesuai dengan teori Green(1980), bahwa sikap merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya perilaku kesehatan. Sejalan pula dengan
pendapat Newcomb yang dikutip oleh Notoadmojo (2005) menyatakan
bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, fungsi
sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan atau reaksi tertutup).
Dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara masing-masing sikap klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan
cairan kemungkinan disebabkan karena sikap klien merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya perilaku, maka sikap klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang merasa terancam
kesehatannya oleh penyakit yang diderita dan percaya bahwa program
pembatasan asupan cairan akan memunculkan sikap positif sehingga
cenderung untuk berperilaku patuh.

F. Hubungan antara lama menjalani hemodialisis klien gagal ginjal


kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan.
Pada penelitian ini diketahui klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis paling lama adalah 108 bulan. Berdasarkan hasil uji
statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar 0.216 dapat disimpulkan
secara statistik belum cukup bukti untuk menyatakan adanya hubungan
antara lama menjalani hemodialisis gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan.
Menurut penelitian Haynes (1976) dalam Cameron (1995) yang
menyatakan bahwa pengobatan jangka panjang yang memaksa untuk
merubah kebiasaan-kebiasaan seperti mengurangi kalori makanan atau
komponen tertentu dalam diit sehari-hari yang memberikan kesan atau
sikap negatif bagi penderita untuk dilakukan sehingga cenderung untuk
tidak patuh.
Dengan hasil penelitian yang menunjukkan belum ada cukup bukti untuk
menyatakan hubungan antara
kepatuhan

dalam

pembatasan

lama menjalani hemodialisis dengan


asupan

cairan,

menurut

peneliti

kemungkinan disebabkan karena ada hal lain yang mempengaruhi


kepatuhan klien seperti pendidikan dan sikap klien terhadap pembatasan
asupan cairan. Dimana pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan
sikap dan perilaku seseorang. Selain itu masih terdapat faktor lingkungan
berupa iklim dan cuaca yang sulit untuk dikendalikan. Iklim tropis dan
cuaca yang cukup panas dapat menyebabkan tubuh berusaha mengatur

suhu tubuh dengan mengeluarkan keringat dan dapat menimbulkan sensasi


haus sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan klien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis cenderung untuk tidak patuh dalam
pembatasan asupan cairan. Hal ini berdasarkan penelitian Bloom dalam
Notoatmodjo

(2003)

yang

dilakukan

di

Amerika

Serikat

yang

menyimpulkan lingkungan memiliki andil yang paling besar terhadap


status kesehatan seseorang.

G. Hubungan antara informasi yang didapat klien gagal ginjal kronik


yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan.
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis mendapat informasi tentang pembatasan
asupan cairan. Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05
yaitu sebesar 0.855 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti
untuk menyatakan adanya hubungan antara informasi yang didapat klien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan
dalam pembatasan asupan cairan.
Hal ini tidak sejalan dengan teori Lawrence green (1980) yang dikutip
oleh Notoatmodjo (2005), salah satu faktor yang berpengaruh dalam
perilaku adalah faktor pemungkin (enabling factor) yang memungkinkan
atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya
perilaku kesehatan. Salah satu sarana dan prasarana yang digunakan

adalah informasi. Dengan adanya kemudahan memperoleh informasi


mengenai pentingnya pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal
kronik sehingga dapat memfasilitasi terjadinya kepatuhan dalam
melakukan pembatasan asupan cairan. Begitu pula menurut Snehandu
yang dikutip Notoatmojdo (2005) menyebutkan salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku adalah terjangkaunya informasi yaitu tersedianya
informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil seseorang.
Dengan hasil penelitian yang menunjukkan belum ada cukup bukti untuk
menyatakan hubungan antara

informasi yang didapat klien dengan

perilaku kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan, kemungkinan


disebabkan karena informasi yang telah didapat tidak diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dan informasi ataupun instruksi yang diberikan oleh
tim medis kurang jelas atau dalam penyampaian informasi tidak dibarengi
dengan simulasi, seperti mengenai berapa banyak jumlah cairan yang
dikonversi dengan jumlah gelas yang dianjurkan. Sehingga dapat
mempengaruhi kepatuhan klien dalam pembatasan asupan cairan. Hal ini
berdasarkan Marrow, Leirer & Sheiks yang dikutip oleh Klein (2006)
dalam Bangun (2008) yang berpendapat bahwa seseorang perlu
mengetahui dengan jelas dan tepat apa yang hendak dilakukan agar dapat
mengerjakan tindakan tersebut dengan benar.

H. Hubungan antara dukungan keluarga klien gagal ginjal kronik yang


menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis mendapat dukungan positif keluarga.
Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar
0.523 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti untuk
menyatakan adanya hubungan antara dukungan keluarga klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Kimel et al (1995) dalam Pang et al
(2001) menemukan bahwa dukungan sosial tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan perilaku kepatuhan.
Namun hal ini tidak sejalan dengan teori Green (1980) dalam Notoatmodjo
(2005), yang menyebutkan dukungan keluarga merupakan salah satu
faktor penguat atau pendorong terjadinya perilaku. Begitu pula menurut
hasil penelitian Foote (1990) dalam Tamanampo (2000) membuktikan
bahwa dukungan sosial juga mempunyai hubungan yang positif yang
dapat mempengaruhi kesehatan individu dan kesejahteraannya atau dapat
meningkatkan kreativitas individu dalam kemampuan penyesuaian yang
adaptif terhadap stres dan rasa sakit yang dialami.
Dengan hasil penelitian yang menunjukkan belum ada cukup bukti untuk
menyatakan hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan, menurut peneliti kemungkinan disebabkan

karena masih banyaknya faktor lain yang mendukung untuk tercapainya


status kesehatan yang optimal klien. Seperti faktor motivasi dalam diri
klien untuk melakukan pembatasan asupan cairan. Diharapkan dengan
adanya motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah,
dan mempertahankan perilaku pembatasan asupan cairan. Hal ini
berdasarkan Claydon & Efron (1994) yang menyebutkan diperlukannya
motivasi dan penghargaan baik dalam diri seseorang ataupun dari praktisi
kesehatan sehingga dapat meningkatkan perilaku kesehatan khususnya
perilaku kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Karakteristik responden usia klien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis memiliki rata-rata 49.98 tahun dengan median 52, usia
termuda 20 tahun dan tertua 79 tahun. Klien yang memiliki jenis
kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan klien yang memiliki jenis
perempuan, klien yang yang tidak bekerja lebih banyak dibandingkan
klien yang bekerja.
2. Kepatuhan responden yang menjalani terapi hemodialisis yang tidak
patuh lebih banyak dibandingkan responden yang patuh dalam
pembatasan asupan cairan
3. Pendidikan responden yang menjalani terapi hemodialisis lebih banyak
yang memiliki pendidikan SMA dibandingkan klien yang memiliki
pendidikan SD,SMP dan perguruan tinggi, klien yang memiliki
pengetahuan baik dalam pembatasan asupan cairan lebih banyak
dibandingkan klien yang memiliki pengetahuan yang kurang dan
cukup, klien yang memiliki sikap positif terhadap pembatasan asupan
cairan lebih banyak dibandingkan klien yang memiliki sikap yang
negatif, klien yang menjalani hemodialisis memiliki rata-rata 14.42
bulan, dengan nilai median 8.30, klien yang mendapat informasi

megenai pembatasan asupan cairan lebih banyak dibandingkan klien


yang tidak mendapatkan informasi, klien yang memiliki dukungan
keluarga negatif terhadap pembatasan asupan cairan lebih banyak
dibandingkan klien yang memiliki dukungan keluarga positif
4. Faktor pendidikan dan sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis ada hubungan yang signifikan terhadap kepatuhan
dalam pembatasan asupan cairan
5. Faktor pengetahuan, lama menjalani hemodialisis, informasi, dan
dukungan keluarga klien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap
kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan,
penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi pelayanan
a. Program pembatasan asupan cairan bagi klien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis hendaknya semakin diperhatikan
seperti mengoptimalkan adanya penyuluhan dan sosialisasi yang
lebih sering mengenai program tersebut, hal ini dikarenakan
pengetahuan klien mengenai pembatasan asupan cairan sudah baik
namun masih banyak pula klien yang tidak patuh terhadap program
tersebut. sehingga diharapkan klien lebih dapat meningkatkan
kepatuhannya dalam pembatasan asupan cairan.

b. Perawat diruang hemodialisa dapat memodikasi penyampaian


informasi kesehatan melalui berbagai media kepada klien dan
keluarga dalam upaya promotif dan preventif karena hal ini sangat
erat kaitannya dengan keberhasilan intervensi keperawatan. Seperti
adanya diskusi dan Tanya jawab, interaksi yang diharapkan dapat
memberikan umpan balik yang positif dari klien dan keluarga
tentang masalah kesehatan yang sesungguhnya dihadapi oleh klien
dan keluarga dalam pelaksanaan anjuran kesehatan khususnya
pembatasan asupan cairan.
c. Pada penelitian kali ini yang terbukti signifikan adalah sikap, untuk
meningkatkan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan perawat
sebaiknya dapat menanamkan pada klien bahwa dalam menjalani
hidup klien tetap berpikiran positif seperti berfikir dan bersikap
optimis untuk hidupnya dan menetapkan gaya hidup sehat serta
lebih mendekatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Bagi peneliti lanjutan


Dari hasil penelitian, diketahui bahwa yang terbukti signifikan dengan
kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan adalah pendidikan dan
sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
diharapkan ada penelitian sejenis dengan variabel yang berbeda dari
penelitian ini seperti variabel sensasi haus yang dirasakan oleh klien
dan penambahan variabel lingkungan khususnya variabel iklim dan
cuaca yang dapat mempengaruhi kepatuhan klien gagal ginjal serta

perlu dilakukan penelitian analisis multivariat untuk melihat faktor


yang lebih dominan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.

Statistika

dasar

konsep-konsep

dasar

penelitian

.www.omegahat.blogspot.com. 2008 diunduh tanggal 12 april 2009


Anonim. Kidney and Urologic Diseases Statistics for the United States.
www.kidney.niddk.nih.gov. 2008. diunduh tanggal 15 mei 2008
Almatsier, Sunita. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2006
Arikunto, S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka
cipta. 1998
Bangun, Virgona Argi. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan
pasien DM tipe 2 dalam kontek asuhan keperawatan di poliklinik
endokrin RSHS Bandung. Tesis-Universitas Indonesia. 2006
Barrnet et al. Fluid compliance among patients having haemodialysis : can an
educational program make a difference? Journal of advance nursing.
Oxford : vol 61, iss.3 ; pg.300. 2008 . www.ebsco.com diunduh tanggal 3
November 2009 Jam 10.35 WIB
Black & Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management for positive
outcomes. 7 th edition. St Louis Missourr. Elsevier saunders.
Brunner & Suddart. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC. 2002
Cameron, Catherine. Patient Compliance : Recognition Of Factors Involved And
Suggestions For Promoting Compliance With Therapeutic Regimens.
Journal of advanced nursing 24, 244-250. 1996 .www.ebsco.com diunduh
tanggal 10 November 2009. Jam 10.46 WIB
Claydon & Efron. Non-compliance in general health care. European Centre for
Contact

Lens

Research,

Department

of

Optometry and

Vision

Sciences,University of Manchester Institute of Science and Technology.


Manchester M60 1QD,(UK). 1994. www.ebsco.com. Diunduh tanggal 10
November 2009. Jam 12.10 WIB
Crisp & Tailor. Potter & Perrys fundamental of nursing. Australia Harcourt.
2001
Departemen kesehatan RI, profil kesehatan Indonesia 2007. Jakarta :
Departemen kesdata, 2008
____________________.

Statistik

Rumah

Sakit

Indonesia

seri

morbiditas/mortalitas edisi 3. Jakarta : Depkes RI Direktorat Jenderal


Bina Pelayanan Medik. 2006
____________________.

Statistik

Rumah

Sakit

Indonesia

seri

morbiditas/mortalitas edisi 3. Jakarta : Depkes RI Direktorat Jenderal


Bina Pelayanan Medik. 2008
Era, Prihatin Dwi. Pengaruh edukasi terhadap penambahan Berat badan
diantara 2 waktu dialysis pada pasien Hemodialisis di RS Islam Jakarta
Cempaka Putih. Tesis FIK- Universitas Indonesia.2008
Glanz, Karen. Health Behavoir and Health Education. San Francisco : JosseyBass, 2002.
Hidayat, Chandra. Hemodialisa. www.askep-asuhankeperawatan.blogspot.com.
2008 diunduh tanggal 13 maret 2009
Hendra. Pengetahuan. www.ajangberkarya.com. 2008 diunduh tanggal 25 mei
2009
Hudak & Gallo. Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Jakarta : EGC. 1996

Isgianto, Awal. Teknik pengambilan sampel pada penelitian non-eksperimental.


Jogjakarta : Mitra Cendekia. 2009
Jekel, James F. Epidemiology, biostatistics, and preventive medicine. Second
edition. USA Philadelphia : W.B Saunders. 2001
Kallenbach et al. Review Of Hemodialysis For Nurses And Dialysis Personel.
Seventh edition. USA Philadelphia : Elsevier Mosby. 2005
Kozier, dkk. Fundamentals of nursing : concepts, prossess, and practice.
California : Addison. Wesley publishing company. 1995
Lewis, dkk. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of
Clinical Problem. Philadelphia Pennsylvania : W.B Saunders. 2007
Lwanga & Lemeshow. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press. 1997
Malawat, Yetti. Pengaturan cairan secara mandiri pada klien yang menjalani
hemodialisis. Jurnal keperawatan Indonesia. Jakarta : FKUI. 2001
Metheny, Milligan Norma. Fluid and electrolyte balance. Philadelphia : J.B.
Lippincott company. 1992
Niven, Neil. Psikologi kesehatan dan pengantar untuk perawat dan professional
kesehatan lain. Jakarta : EGC, 2002
Notoatmodjo. Ilmu kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dasar. Jakarta :
Rineka Cipta. 2003
___________. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta : PT Rineka Cipta.
2005
___________. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta : PT Rineka Cipta.
2007

Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta : salemba medika. 2008
Nursuryawati.

Faktor-Faktor

yang

Mempengaruhi

Kepatuhan

Klien

Hemodialisis Secara Reguler dalam melakukan Pembatasan Intake


Cairan. Riset Keperawatan FIK-Universitas Indonesia. 2002
Pang et al. Psychosocial correlates of

fluid compliance among Chinese

haemodialysis patients. Journal of advance nursing. Blackwell Science


35(5), 691-698. www.ebsco.com. Diunduh tanggal 11 November 2009.
Jam 12.37 WIB
Price & Wilson. Pathophysiologi : clinical consepts of disease procces. Michigan
University : Mosby. 2002
Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. 2006
Rahmawati. Di unduh dari www.damandiri.or.id/file/rahmawati. 2004 di akses
tanggal 29 Mei tahun 2009
Rahmawati. 2008. Pengaruh Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum
Terhadap Sensasi Haus Pasien pada Penyakit Ginjal Tahap Akhir di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Tesis-Universitas
Indonesia. 2008
Santoso, Djoko. Jangan Sakit Ginjal di Indonesia. www. opinibebas.epajak.org
diunduh tanggal 6 maret 2009
Sapri, Akhmad. Asuhan gagal ginjal kronik. www.wairorosatu.blogspot.com.
2008 diunduh tanggal 5 maret 2009
Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia dari sel ke Sistem. Jakarta : EGC. 2001

Syaifuddin. Anatomi fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta : EGC.


2006
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006
Suyono, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2001
Tamanampo, Betti. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan
Penderita Gagal Ginjal Tahap Akhir dalam Menjalankan Hemodialisis
di Unit Hemodialisa Pelayanan Kesehatan St Carolus Tahun 2000.
Skripsi FKM-Universitas Indonesia. 2000.
Thomas, Nicola. Renal Nursing. London : Bailliere Tindall. 2002
Yayasan Ginjal Diatrash Indonesia. Cuci Darah demi kualitas hidup.
www.ygdi.org. 2008 diunduh tanggal 15 april 2008
Yokohama et al. Dialysis Staff Encouragement And Fluid Control Adherence In
Patients On Hemodialysis. Nephrology nursing journal. Vol 36 no 3.
2009. www.ebsco.com diunduh tanggal 11November 2009. Jam 11.25
WIB

Anda mungkin juga menyukai