Oleh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progesif dan irreversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). GGK dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti Diabetes
Mellitus (DM), glomerulonefritis kronik, pielonefritis, hipertensi yang tidak
dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, infeksi, medikasi, atau agen
toksik (timah, kadmium, merkuri, kromium) (Brunner & Suddart, 2002).
bagi penderita gagal ginjal adalah pembatasan asupan cairan yang dianjurkan
oleh medis. Hal ini karena ginjal termasuk salah satu organ vital yang dimiliki
manusia. Ginjal memiliki fungsi menyaring, membersihkan dan membuang
kelebihan cairan dan sisa sisa metabolisme dalam darah, membantu
memproduksi sel sel darah merah, memproduksi hormon yang mengatur dan
melakukan kontrol atas tekanan darah, serta membantu menjaga tulang tetap
kuat (Sherwood, 2001 ; YGDI, 2007). Menurut Kallenbach et al (2005)
menyebutkan jika terjadi kegagalan pada fungsi organ ginjal, akibatnya pun
bisa fatal. Hal ini akan berakibat ginjal akan sulit mengontrol keseimbangan
cairan, kandungan natrium, kalium dan nitrogen, dengan produk metabolisme
tubuh.
Pada klien gagal ginjal kronik apabila tidak melakukan pembatasan asupan
cairan maka cairan akan menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan
edema di sekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Penumpukan cairan
dapat terjadi di rongga perut disebut ascites . Kondisi ini akan membuat
tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan
juga akan masuk ke paru paru sehingga membuat pasien mengalami sesak
nafas. Secara tidak langsung berat badan klien juga akan mengalami
peningkatan berat badan yang cukup tajam, mencapai lebih dari berat badan
normal (0,5 kg /24 jam) yang dianjurkan bagi klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa. Karena itulah perlunya klien gagal ginjal kronik
mengontrol dan membatasi jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh.
Pembatasan asupan cairan penting agar klien yang menderita gagal ginjal tetap
merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi hemodialisis
(Brunner & Suddart, 2002; Hudak & Gallo, 1996 ; YGDI, 2008).
Klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang mengalami
kegagalan dalam diet, pengaturan cairan dan pengobatan akan memberikan
dampak yang besar dalam morbiditas dan kelangsungan hidup klien.
Kegagalan dalam mengikuti pengaturan pengobatan akan berakibat fatal.
Dilaporkan lebih dari 50 % pasien yang menjalani terapi hemodialisis tidak
patuh dalam pembatasan asupan cairan. (Baines & Jindal, 2000 ; Kutner, 2001
; Tsay, 2003 dalam Barnet et al, 2008)
Pembatasan cairan seringkali sulit dilakukan oleh klien, terutama jika mereka
mengkonsumsi obat-obatan yang membuat membran mukosa kering seperti
diuretik, sehingga menyebabkan rasa haus dan klien berusaha untuk minum.
Hal ini karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama
tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan (Potter & Perry, 2008).
Berdasarkan hasil analisis situasional di RSUP Fatmawati, dari 5 pasien yang
sedang menjalani terapi hemodialisis terdapat 3 pasien yang kurang patuh
terhadap pembatasan asupan cairan. Hal ini berdasarkan wawancara langsung
dengan klien kemudian di lihat kembali rekam medis klien dan didapatkan
data peningkatan berat badan yang melebihi dari dianjurkan. Selain itu
terdapat pula 4 orang klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis lebih dari jadwal yang ditetapkan seperti klien yang seharusnya
menjalani terapi hemodialisis 2x dalam dalam seminggu, menjadi 3x atau cito
akibat kelebihan asupan cairan. Hal ini menunjukkan kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan masih cukup sulit diterapkan oleh klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Yetti (2001)
dikemukakan bahwa salah satu stressor yang dialami oleh klien dengan End
Stage Renal Disease (ESRD) sebagai akibat tidak berfungsinya fungsi ginjal
adalah masalah kelebihan cairan. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan,
untuk mengetahui stressor yang dialami oleh klien hemodialisis, dilaporkan
bahwa masalah cairan merupakan salah satu masalah utama bagi penderita
gagal ginjal (Germino, dkk. 1998 dalam Nursuryawati, 2002).
B. Rumusan Masalah
terus
pembatasan
asupan
cairan
untuk
mencegah
terjadinya
pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
informasi
tentang
hubungan
antara
pendidikan,
D. Manfaat
1. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan
dalam hal mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
asuhan
keperawatan
mandiri
kepada
klien
dengan
E. Ruang lingkup
Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
dalam pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisa RSUP Fatmawati tahun
2009. Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian deskriptif cross
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progressif,
dan cukup lanjut (Suyono, dkk. 2001).
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
ginjal gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddart, 2002).
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu :
a) Derajat (stage) yaitu berdasarkan LFG dengan rumus Kockroft
Gault
Tabel 2.1
Klasifikasi penyakit Gagal Ginjal Kronik berdasarkan LFG dengan
rumus Kockroft-Gault
Derajat
Penjelasan
LFG
(ml/mn/1.73m2)
1
90
60 89
30 59
15 29
Gagal ginjal
Sumber : Sudoyo, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Tabel 2.2
Klasifikasi penyakit Gagal Ginjal berdasarkan kausa/etiologi
Penyakit
Penyakit
Tipe mayor
ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit
ginjal
diabetes
Penyakit pada
transplantasi
Sumber : Sudoyo, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Tabel 2.3
Penyebab Gagal Ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia
tahun 2000
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46,39 %
Diabetes mellitus
18,65 %
12,85 %
Hipertensi
8,46 %
Sebab lain
13,65 %
Sumber : Sudoyo, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
2. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya
kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang di ikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Pada stadium dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan
kadar serum urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60 %, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar serum urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG 30 %, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30 %, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah.
Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal. (Sudoyo, 2006)
3. Manifestasi Klinik
a. Gangguan pada system gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti ammonia dan metal gaunidin, serta
sembabnya mukosa
2) Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga nafas berbau
ammonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis
3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
4) Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik
b. Sistem integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin
uremik dan pengendapan kalsium dipori-pori kulit
2) Ekimosis akibat gangguan hematologis
3) Urea frost : akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat (jarang
dijumpai)
4) Bekas-bekas garukan karena gatal-gatal
c. Sistem hematologi
1) Anemia, dapat disebabkan berbagai faktor antara lain :
a) Berkurangnya
produksi
eritropoetin,
sehingga
rangsangan
e. Sistem kardiovaskular
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan
3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit,
dan klasifikasi metastatik
4) Edema akibat penimbunan cairan
f. Sistem endokrin
1) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin
2) Gangguan metabolisme lemak
3) Gangguan metabolisme vitamin D
4) Gangguan seksual
g. Gangguan sistem lainnya
1) Tulang : osteodistrofi renal yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteoskelrosis, dan klasifikasi metastatik
2) Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil
metabolisme
3) Elektrolit : hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia
4. Pemeriksaan Penunjang Pada Gagal Ginjal Kronik
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal
5. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostatis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal
kronik dan faktor yang dapat dipulihkan, diidentifikasi dan ditangani.
gagal ginjal adalah 1000 ml/hari dan klien yang menjalani dialisis diberi
cairan yang mencukupi untuk memungkinkan penambahan berat badan
0,9 kg sampai dengan 1,3 kg selama pengobatan, yang jelas, asupan
natrium dan cairan harus diatur sedemikian rupa untuk mencapai
keseimbangan cairan dan mencegah hipervolemia serta hipertensi (Price
& Wilson, 2002 dalam Rahmawati, 2008)
b. Haluaran cairan
Cairan terutama dikeluarkan oleh ginjal dan gastrointestinal. Rata-rata
hilangnya cairan setiap hari terangkum dalam tabel 2.4 dibawah ini
Tabel 2.4
Rata-rata jumlah cairan yang hilang
Organ atau sistem
Jumlah (ml)
Ginjal
1500
Kulit
Kehilangan tak kasat mata
Kehilangan kasat mata
600-900
600
Paru-paru
400
Saluran pencernaan
100
Jumlah total
3200-3500
Sumber : Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Pada orang dewasa, ginjal setiap menit menerima sekitar 125 ml plasma
untuk disaring dan memproduksi urine sekitar 60 ml (40 sampai 80 ml)
dalam setiap jam atau totalnya sekitar 1,5 L dalam satu hari (Horne et al,
1991 dalam Perry & Poter, 2002).
C. Pembatasan asupan cairan
Pembatasan asupan cairan/air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air
yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dalam
melakukan pembatasan asupan cairan, cairan yang masuk bergantung pada
haluaran urine. Berasal dari insensible water loss ditambah dengan haluaran
urin per 24 jam yang diperbolehkan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik
yang menjalani dialisis. (Almatsier, 2006; Brunner & Suddart, 2002)
Makanan-makanan cair dalam suhu ruang (agar-agar, es krim) dianggap cairan
yang masuk. Untuk klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa, asupan cairan harus diatur sehingga berat badan yang diperoleh
tidak lebih dari 1 sampai 3 kg diantara waktu dialisis (Lewis et all, 2007).
Mengontrol asupan cairan merupakan salah satu masalah utama bagi pasein
dialisis. Karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih
lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan. Namun bagi
penderita penyakit gagal ginjal kronik harus melakukan pembatasan asupan
cairan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ginjal sehat melakukan
tugasnya menyaring dan membuang limbah dan racun di tubuh kita dalam
bentuk urin 24 jam sehari. Apabila fungsi ginjal berhenti maka terapi dialisis
yang menggantikan tugas dari ginjal tersebut. Mayoritas klien yang menjalani
terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2 kali seminggu antar 4 5
jam pertindakan. Itu artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan
diantara dua waktu terapi (YGDI, 2008).
Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka cairan akan
menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema di sekitar tubuh
seperti tangan, kaki dan muka. Banyak juga penumpukan cairan terjadi di
rongga perut yang membuat perut disebut ascites . Kondisi ini akan membuat
tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan
juga akan masuk ke paru paru sehingga membuat pasien mengalami sesak
nafas. Karena itulah perlunya pasien mengontrol dan membatasi jumlah
asupan cairan yang masuk dalam tubuh. Pembatasan tersebut penting agar
pasien tetap merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi
hemodialisis (Brunner & Suddart, 2002 ; YGDI, 2008).
Penilaian umum mengenai berat badan bersih adalah penting untuk
mempermudah perawat dan pasien dalam mengurangi kelebihan cairan selama
pelaksanaan dialisis. 1 kg sebanding dengan 1 L cairan, artinya bahwa berat
badan pasien adalah metode yang sederhana dan akurat untuk menilai
pertambahan
maupun
pengurangan
cairan
selama
program
dialisis
berjalan.(Nicola, 2002)
Peningkatan berat badan mengidentifikasi kelebihan cairan..Kenaikan yang
diterima adalah 0,5 kg per tiap 24 jam diantara waktu dialisis (Hudak dan
Gallo, 1996). Kelebihan cairan yang terjadi dapat dilihat dari terjadinya
penambahan berat badan secara cepat, penambahan berat badan 2% dari berat
badan normal merupakan kelebihan cairan ringan, penambahan berat badan
5% merupakan kelebihan cairan sedang, penambahan 8%
merupakan
kelebihan cairan berat. (Price & Wilson, 1995 ; Kozier, Erb, Berman &
Snyder, 2004 dalam Rahmawati 2008). Kelebihan cairan pada pasien gagal
ginjal kronik dapat berkembang dengan progressif, yang dapat menimbulkan
kondisi edema paru ataupun komplikasi kegagalan fungsi jantung (Suwitra,
2006 dalam Sudoyo et al 2006 ; Black & Hawks, 2005 dalam Rahmawati
2008).
D. Hemodialisa
1. Definisi
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Brunner & Suddart, 2002).
Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan
pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup
hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialisis.
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium
terminal (ESRD : end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka
panjang atau terapi permanen (Brunner & Suddart, 2002).
Pada Hemodialisis, darah adalah salah satu kompartemen dan dialisat adalah
bagian yang lain. Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori
terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran
memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea,
kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan
bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri,
dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran.
3. Indikasi
Indikasi secara umum dialisis pada gagal ginjal kronik adalah bila laju
filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/ menit).
Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila
terdapat kondisi sebagai berikut :
1) Hiperkalemia
2) Asidosis
3) Kegagalan terapi konservatif
4) Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah (ureum > 200 mg/dL atau
Kreatinin > 6 mEq/L)
5) Kelebihan cairan (fluid overloaded)
6) Mual dan muntah hebat
7) Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
4.
yang harus dipahami klien mengenai gagal ginjal kronik, terapi hemodialisa
dan pembatasan asupan cairan dalam rangka memelihara kesehatan dan
menghindari komplikasi yang dapat terjadi bagi klien gagal ginjal kronik.
Karena luasnya penyuluhan yang harus diberikan pada pasien, perawat dialisis
menyediakan pendidikan berkelanjutan dan mengulangi pengajaran awal yang
diikuti dengan pemantauan perkembangan kesehatan pasien dan kepatuhan
klien terhadap program penanganan klien, seperti pembatasan asupan cairan
(Brunner & Suddart, 2002)
Pembatasan asupan cairan bisa menjadi hal yang sulit bagi klien gagal ginjal
kronik utuk dipertahankan, khususnya jika klien mengalami kehausan.
Menurut Kozier (1995) dan Crisp & tailor (2001) terdapat beberapa intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan perawat untuk mengurangi rasa haus pada
klien dengan pembatasan asupan cairan yakni :
1. Menjelaskan alasan pembatasan cairan, berapa banyak cairan yang
dibatasi dan jenis cairan apa yang diperbolehkan untuk diminum.
2. Mengatur alokasi waktu dan interval minum untuk 24 jam.
3. Memberikan kepingan atau potongan es sebagai alternative pengganti
air untuk mengurangi rasa haus.
4. Menyediakan wadah atau tempat air minum yang berukuran kecil
untuk minum.
5. Apabila klien merasa haus, bantu klien untuk membilas mulut mereka
dengan air tanpa menelannya.
6. Melakukan perawatan mulut
F. Konsep Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar) (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan
ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) seperti perilaku
pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, dan perilaku
pemenuhan kebutuhan gizi.
b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health
seeking behavior)
c. Perilaku kesehatan lingkungan, misalnya sebagai berikut:
H. Kepatuhan
Menurut Safarino (1994) dalam Nursuryawati (2002) mendefinisikan
kepatuhan sebagai tingkat klien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku
yang disarankan oleh dari atau petugas kesehatan lain. Dan menurut Tailor
(1991) dalam Nursuryawati (2002) menyebutkan ketidakpatuhan sebagai
masalah medis yang berat.
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter
yang mengobatinya (Kaplan dkk, 1997). Menurut Sacket dalam Niven (2002)
kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh profesional kesehatan.
Kepatuhan berkenaan dengan kemauan dan kemampuan dari individu untuk
mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasihat, aturan yang ditetapkan,
mengikuti jadwal. Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam
mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup
sehat dan ketepatan berobat. (Niven, 2002)
(mengatasi
masalah-masalah),
dan
meningkatkan
kemudahan
memperoleh
informasi
mengenai
pentingnya
pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik sehingga dapat
memfasilitasi terjadinya perilaku kepatuhan dalam melakukan pembatasan
asupan cairan.
Menurut Snehandu yang dikutip Notoatmojdo 2005 menyebutkan salah
satu faktor yang mempengaruhi perilaku adalah terjangkaunya informasi
yaitu tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan
diambil seseorang.
6. Dukungan keluarga
juga
Suddart, 2002)
J. Penelitian terkait
Dari penelitian Tamanampo (2000) yang bejudul faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan penderita gagal ginjal tahap akhir dalam
menjalankan hemodialisis di unit hemodialisa pelayanan kesehatan St Carolus
tahun 2000 terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan cuci darah
adalah pengetahuan, sikap, dukungan keluarga. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa variabel pengetahuan sebesar 43,5% namun menurut
hasil perhitungan statistik menunjukkan hubungan yang tidak signifikan.
Demikian juga dengan variabel sikap dan keluarga sebesar 43,5% dan 55 %
K. Kerangka teori
Berdasarkan teori Lawrence Green (1980) dalam konsep perilaku kesehatan
menurut Notoatmodjo (2007).
Faktor faktor
predisposisi
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Keyakinan
4. Kepercayaan
5. Nilai-nilai
6. Tradisi
Faktor-faktor
pemungkin
1. Sarana
2. Prasarana
PERILAKU
KESEHATAN
Faktor-faktor
pendukung
1. Dukungan
keluarga
2. Sikap petugas
kesehatan
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN
DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka konsep
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka tentang kepatuhan dalam
menjalankan pembatasan asupan cairan dan berdasarkan teori analisis perilaku
khususnya perilaku yang berhubungan dengan kepatuhan yang didapat dari
Teori Lawrence Green, diperoleh variabel-variabel yang diduga berperan
dalam kaitannya dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan pada
klien gagal ginjal kronik.
Hubungan tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk kerangka konsep penelitian
dengan variabel independen
Faktor predisposisi : pendidikan, pengetahuan, sikap pembatasan asupan
cairan dan lama menjalani hemodialisis
Faktor pendukung : informasi dan dukungan keluarga dalam menjalani
pembatasan asupan cairan
Sedangkan variabel dependen yaitu kepatuhan dalam menjalankan
pembatasan asupan cairan.
INDEPENDEN
Faktor
predisposisi
Pendidikan
Pengetahua
n
Sikap
Lama
menjalani
hemodialisis
DEPENDEN
Kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan
pada klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi
hemodialisis
Faktor pendukung
Informasi
Dukungan
keluarga
B. Hipotesis
1. Ada hubungan pendidikan klien dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis
2. Ada hubungan pengetahuan klien dengan kepatuhan dalam pembatasan
asupan cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis
3. Ada hubungan sikap klien dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan
cairan pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
1. Pendekatan penelitian
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berbentuk data
kuantitatif untuk itu pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah kuantitatif.
2. Metode penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan
pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. Untuk
itu metode penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif
cross sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran/ observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat.
Pada jenis ini variabel independen dan dependen dinilai secara bersamaan
pada satu saat, jadi tidak ada follow up. Tentunya tidak semua subjek
penelitian harus di observasi pada hari atau pada waktu yang sama, akan
tetapi baik variable independen maupun variable dependen di nilai hanya
satu kali saja. Dengan studi ini akan diperoleh prevalensi atau efek suatu
fenomena (variable dependent) dihubungkan dengan penyebab (variable
independent)
C. Pengambilan sampel
1. Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu
yang akan di teliti (Hidayat , 2008). Subjek penelitian yang di ambil adalah
semua klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di
RSUP Fatmawati. Saat ini klien yang menjalani terapi hemodialisis di
ruang hemodialisis RSUP Fatmawati pada bulan April terdapat 103 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang akan di teliti atau sebagian jumlah
dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2008).
Sampel yang diperlukan
1 2
Ket :
= Jumlah sample
P2
Tamanampo (2000)
dengan
= (P1+ P2)/2
Z a / 2 21 Z1 1 1 1 2 1 2
n= 1
1 2
0,43 0,73
= 55
Berdasarkan perhitungan diatas sampel yang akan digunakan yakni 55
orang dengan tambahan 10% menjadi 60 orang untuk mencegah
terjadinya missing data.
Hemodialisis
yang
mengikuti
jadwal
regular
dengan
penambahan berat badan (BB) > 1,5 kg dan < 1,5 kg diantara waktu
dialisis
c. Klien hemodialisis dengan jadwal regular, dimana pada anamnesa
ditemukan tanda kelebihan asupan cairan : edema, ascites, tekanan
darah tinggi, sesak nafas.
d. Klien tidak memiliki riwayat penyakit asma dan hipertensi
D. Pengumpulan data
1. Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2002). Dalam penelitian ini instrumen
yang digunakan adalah kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner akan
dibagikan langsung oleh peneliti kepada klien yang menderita gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis untuk di isi dan di lengkapi.
Kuesioner yang telah dibuat mencakup beberapa variabel yang diteliti,
yaitu variabel independen :
F. Analisa data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis tiap variable yang dinyatakan
dengan sebaran frekuensi,baik secara angka-angka mutlak, maupun secara
presentase disertai dengan penjelasan kualitatif (Rahmawati, 2004)
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi semua
variable yang terdiri dari variable karakteristik demografi, pengetahuan,
sikap, lama menjalani terapi hemodialisis, informasi, dukungan keluarga
yang mempengaruhi kepatuhan klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat analisis yang menghubungkan
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran ruang hemodialisa RSUP Fatmawati
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati memiliki ruang hemodialisa yang
berdiri pada tahun 1993 dengan memiliki 2 mesin, 3 perawat, 2 dokter (1
dokter umum dan 1 dokter spesialis penyakit dalam). Latar belakang
pembangunan ruang hemodialisa adalah terjadinya peningkatan pasien
gagal ginjal kronis dan kebutuhan akan dialisis semakin meningkat di
rumah sakit Fatmawati. Pada tahun 2009 ruang hemodialisa RSUP
Fatmawati telah memiliki 20 mesin dialiser dan diruang ICU memiliki 1
mesin dengan jumlah perawat 13 orang dan dokter sebanyak 3 orang yang
terdiri dari 2 orang dokter umum dan 1 orang dokter spesialis penyakit
dalam.
Pada bulan Agustus 2009 jumlah klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis di ruang hemodialisa RSUP Fatmawati sebanyak 105
orang. Penelitian dilakukan selama 2 minggu. Teknik yang digunakan
dalam pengambilan sampel adalah teknik accidental dan berdasarkan
perhitungan, jumlah sampel yang didapat sebanyak 60 orang.
A. Analisis Univariat
Variabel
Mean
Median
SD
Min
Mak
Usia
49.98
52.00
15.224
20
79
b. Jenis kelamin
Tabel 5.2
Distribusi frekuensi jenis kelamin responden di ruang hemodialisa
RSUP Fatmawati, Jakarta tahun 2009
Variabel
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Jenis kelamin
Laki-laki
34
56.7
Perempuan
26
43.3
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Bekerja
14
23.3
Tidak bekerja
46
76.7
2. Kepatuhan
Tabel 5.4
Distribusi responden berdasarkan kepatuhan klien gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati Jakarta
Variabel
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
20
33.3
40
66.7
Kategori
SD
SMP
SMA
Perguruan
Tinggi
Jumlah
Persentase (%)
6
10
32
12
10.0
16.7
53.3
20.0
Pengetahuan klien
Kategori
Kurang
Cukup
Baik
Jumlah
Persentase (%)
13
21
26
21.7
35.0
43.3
5. Sikap
Tabel 5.7
Distribusi responden berdasarkan sikap klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis Di RSUP Fatmawati Jakarta
Variabel
Sikap klien
Kategori
Kurang
Baik
Jumlah
Persentase (%)
25
35
41.7
58.3
Variabel
Mean Median
Lama menjalani HD
60
14.42
8.50
SD
Min
Mak
17.664
108
Kategori
Ya
56
93.3
Tidak
6.7
Variabel
Kategori
Jumlah
Persentase
(%)
Dukungan keluarga
Kurang
31
51.7
Baik
29
48.3
kepentingan
analisa
data,
dukungan
keluarga
klien
B. Analisa Bivariat
1. Hubungan antara pendidikan klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan
cairan
Tabel 5.11
Hubungan antara pendidikan klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan
cairan
n = 60
KEPATUHAN
Pendidikan
Patuh
OR
Tidak patuh
TOTAL
Klien
SD
SMP
SMA
PT
1
1
12
6
16.7
10.0
37.5
50.0
5
9
20
6
83.3
90.0
62.5
50.0
6
10
32
12
100
100
100
100
( 95% CI )
Exp(B)
Lower-upper
P
value
0.044
0.556
3.000
5.000
0.028-10.933
0.312-28.841
0.442-56.623
Patuh
klien
TOTAL
Tidak
patuh
OR
( 95% CI
value
Kurang
38.5
61.5
13 100
1.406
Cukup
33.3
14
66.7
21 100
0.349-
Baik
30.8
18
69.2
26 100
5.666
0.645
3. Hubungan antara sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan cairan
Tabel 5.13
Hubungan antara sikap klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis dengan kepatuhan klien dalam pembatasan asupan cairan
n = 60
KEPATUHAN
Sikap
Patuh
Tidak
klien
TOTAL
patuh
n
OR
( 95% CI )
value
Negatif
16,0
21
84,0
25
100
4.421
Positif
16
45,7
19
60,0
35
100
1.255-
0,033
15.573
adanya
KEPATUHAN
yang
Patuh
Tidak
didapat
TOTAL
patuh
OR
( 95% CI )
value
Tidak
50.0
50.0
100
0.474
Ya
18
32.1
38
67.9
56
100
0.062-
0.855
3.638
pembatasan
asupan
cairan.
Sedangkan
yang
tidak
P-Value
Kepatuhan
0,216
Lama menjalani HD
Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar
0.216 dapat disimpulkan secara statistik belum cukup bukti untuk
menyatakan adanya hubungan antara lama menjalani hemodialisis
klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dengan
kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan
Dukungan
Patuh
Tidak
keluarga
TOTAL
patuh
OR
( 95% CI )
value
0.523
Negatif
12
38.7
19
61.3
31
100
0.603
Positif
27.6
21
72.4
29
100
0.2031.792
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan penelitian
Penelitian
ini
memiliki
keterbatasan-keterbatasan
yang
dapat
(mengatasi
masalah-masalah),
dan
meningkatkan
seseorang
untuk
menyerap
informasi
dan
asupan cairan harus didahului oleh pengetahuan yang baik. Hal ini sejalan
dengan teori model keyakinan kesehatan dimana perilaku kesehatan akan
tumbuh dari keinginan individu untuk menghindari suatu penyakit dan
kepercayaan bahwa tindakan kesehatan yang tersedia akan mencegah
suatu penyakit (Glanz,2002).
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Tamanampo (2000) yang
menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan klien
dengan perilaku kepatuhan dalam melakukan hemodialisis, kemungkinan
dikarenakan peneliti tidak membagi responden dalam waktu lamanya
menjalani pengobatan cuci darah, Menurut Cameron (1995) yang dikutip
dari Haynes (1976) lamanya pengobatan jangka panjang yang memaksa
untuk merubah kebiasaan-kebiasaan atau perubahan gaya hidup dapat
memberikan kesan negatif sehingga dapat mempengaruhi perilaku
kepatuhan dalam hemodialisis.
Berbeda dengan teori menurut Notoatmojdo (2005) yang menyebutkan
Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting terbentuknya perilaku
seseorang dalam bertindak. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
Sanfransisco (1964) dalam Tamanampo (2000) menyebutkan bahwa
penderita yang mempunyai pengetahuan rendah dan awam tidak akan
patuh berobat dan menghentikan sendiri pengobatannya.
Dengan hasil penelitian yang menunjukkan belum ada cukup bukti untuk
menyatakan hubungan antara
untuk tidak minum. Hal ini dikarenakan adanya faktor rasa haus yang
dirasakan klien sehingga klien tidak konsisten untuk menjalani program
pembatasan asupan cairan dengan teratur. Pembatasan asupan cairan
merupakan salah satu terapi
membuat ketidaknyamanan dan sering kali sulit bagi klien gagal ginjal
untuk mempertahankannya khususnya jika pasien mengalami sensasi haus.
(Crisp & Tailor, 2001 ; Black Hawks, 2005). Sensasi haus merupakan
keinginan sadar terhadap air dan merupakan salah satu faktor utama yang
menentukan asupan cairan (Guyton, 1994 dalam Rahmawati, 2008). Rasa
haus yang dirasakan klien dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dari
luar seperti iklim dan cuaca, dimana Indonesia merupakan negara yang
memiliki iklim tropis dan cuaca yang yang cukup panas sehingga dapat
menimbulkan rasa haus dan dapat mempengaruhi kepatuhan klien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis dalam pembatasan asupan
cairan. Hal ini berdasarkan penelitian Bloom dalam Notoatmodjo (2003)
yang dilakukan di Amerika Serikat yang menyimpulkan lingkungan
memiliki andil yang paling besar terhadap status kesehatan seseorang.
cairan.
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis memiliki sikap positif terhadap pembatasan
asupan cairan. Berdasarkan hasil uji statistik di dapatkan P value < 0.05
dalam
pembatasan
cairan,
menurut
peneliti
(2003)
yang
dilakukan
di
Amerika
Serikat
yang
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Karakteristik responden usia klien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis memiliki rata-rata 49.98 tahun dengan median 52, usia
termuda 20 tahun dan tertua 79 tahun. Klien yang memiliki jenis
kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan klien yang memiliki jenis
perempuan, klien yang yang tidak bekerja lebih banyak dibandingkan
klien yang bekerja.
2. Kepatuhan responden yang menjalani terapi hemodialisis yang tidak
patuh lebih banyak dibandingkan responden yang patuh dalam
pembatasan asupan cairan
3. Pendidikan responden yang menjalani terapi hemodialisis lebih banyak
yang memiliki pendidikan SMA dibandingkan klien yang memiliki
pendidikan SD,SMP dan perguruan tinggi, klien yang memiliki
pengetahuan baik dalam pembatasan asupan cairan lebih banyak
dibandingkan klien yang memiliki pengetahuan yang kurang dan
cukup, klien yang memiliki sikap positif terhadap pembatasan asupan
cairan lebih banyak dibandingkan klien yang memiliki sikap yang
negatif, klien yang menjalani hemodialisis memiliki rata-rata 14.42
bulan, dengan nilai median 8.30, klien yang mendapat informasi
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan,
penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi pelayanan
a. Program pembatasan asupan cairan bagi klien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis hendaknya semakin diperhatikan
seperti mengoptimalkan adanya penyuluhan dan sosialisasi yang
lebih sering mengenai program tersebut, hal ini dikarenakan
pengetahuan klien mengenai pembatasan asupan cairan sudah baik
namun masih banyak pula klien yang tidak patuh terhadap program
tersebut. sehingga diharapkan klien lebih dapat meningkatkan
kepatuhannya dalam pembatasan asupan cairan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
Statistika
dasar
konsep-konsep
dasar
penelitian
Lens
Research,
Department
of
Optometry and
Vision
Statistik
Rumah
Sakit
Indonesia
seri
Statistik
Rumah
Sakit
Indonesia
seri
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Kepatuhan
Klien