a.
Mengingat
3.
4.
5.
7.
8.
9.
KUTAI
BARAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1.
2.
3.
4.
6.
7.
8.
9.
24. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam
didalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan;
25. Mineral Bukan Logan dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud didalam Peraturan Perundang-undangan dibidang
mineral dan batubara;
26. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor;
27. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara;
28. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air
tanah;
29. Air Tanah adalah air yang terdapat pada lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah;
30. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan
atau pengusahaan sarang burung walet;
pengambilan dan
31. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia fuchliap haga,
collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi;
32. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan / Perkotaan adalah pajak atas
bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan;
33. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman
serta laut wilayah kabupaten atau kota;
34. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan atau perairan pedalaman dan atau laut;
35. Nilai Jual Obyek Pajak adalah, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga
rata rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar,
dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau NJOP pengganti;
36. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan;
37. Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan;
38. Hak Atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam
undang- undang dibidang pertanahan dan bangunan;
39. Subyek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak
daerah;
40. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang undangan
perpajakan daerah;
41. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu
lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang;
42. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender,
kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender;
43. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat,
dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan
daerah;
44. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan
data obyek dan subyek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau
retribusi, yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi
kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya;
45. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD,
adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan
perhitungan dan atau pembayaran pajak, obyek pajak, dan atau bukan
obyek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan perpajakan daerah;
46. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah
surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subyek dan
obyek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan daerah;
47. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati;
48. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang
terutang;
49. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, selanjutnya disingkat SPPT, adalah
surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan yang terutang kepada wajib pajak;
50. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar;
51. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya
disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
52. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak;
53. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak kerena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak
yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
54. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat
untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administratif, berupa bunga
dan atau denda;
55. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan
ketentuan tertentu dalam Peraturan Perundang-undangan perpajakan
daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat
Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
5
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak
Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan;
56. Surat Keputusan Keberatan, adalah surat atas keberatan terhadap Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh
pihak ketiga yang diusulkan oleh wajib pajak;
57. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap Surat Keputusan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak;
58. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan
barang dan jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun pajak tersebut.
BAB II
JENIS PAJAK KABUPATEN
Pasal 2
Jenis Pajak Kabupaten terdiri dari atas :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f.
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i.
j.
(1)
Dengan nama Pajak Hotel dipungut Pajak atas setiap pelayanan Hotel;
(2)
Obyek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang
sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah
raga dan hiburan;
(3)
(4)
Tidak termasuk obyek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah :
a.
d. Jasa tempat tinggal dirumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti
asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e.
(1)
Subyek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel;
(2)
Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
hotel.
Pasal 5
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada hotel.
Pasal 6
Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen).
Pasal 7
(1)
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
(2)
(1)
Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan restoran;
(2)
(3)
(4)
(1)
Subyek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli
makanan dan atau minuman dari restoran;
(2)
Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
restoran.
Pasal 10
Dasar Pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau
yang seharusnya diterima restoran.
Pasal 11
Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen).
Pasal 12
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
tontonan film;
d. pameran;
e.
(1)
Subyek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati
hiburan;
(2)
Wajib Pajak
Hiburan adalah
menyelenggarakan hiburan,
orang
pribadi
atau
badan
yang
Pasal 15
(1)
Dasar Pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau
yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan;
(2)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Obyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini meliputi :
a.
b. reklame kain;
c.
d. reklame selebaran;
e.
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame suara;
i. reklame film atau slide; dan
j. reklame peragaan.
(4)
(1)
Subyek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
reklame;
(2)
orang
pribadi
atau
badan
yang
(3)
(4)
(1)
(2)
Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak
reklame;
(3)
(4)
Dalam hal nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui dan atau dianggap tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan
dengan menggunakan faktor faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
(5)
Cara perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan sebagai berikut : NSR = NSPR x NJOPR x Tarif Pajak;
(6)
Hasil perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 21
(1)
(2)
(1)
(2)
Obyek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain;
(3)
Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini
meliputi seluruh pembangkit listrik;
(4)
Jalan
dipungut
Penerangan
Jalan
pajak
atas
sebagaimana
setiap
yang
10
Pasal 24
(1)
Subyek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang dapat
menggunakan tenaga listrik;
(2)
Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang
menggunakan tenaga listrik;
(3)
lain,
Wajib
Pajak
Pasal 25
(1)
Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik;
(2)
Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan :
a.
dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran,
Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap
ditambah dengan biaya pemakaian kwh/variabel yang ditagihkan dalam
rekening listrik;
b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik
dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik,
jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di
wilayah daerah yang bersangkutan.
Pasal 26
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan :
a.
b.
c.
d.
(1)
Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
(2)
(3)
(1)
Dengan nama Pajak Mineral Bukan logam dan Batuan dipungut pajak atas
setiap kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan;
(2)
Obyek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah setiap kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang meliputi :
a.
asbes;
11
b.
batu tulis;
c.
d.
batu kapur;
e.
batu apung;
f. batu permata;
g.
bentonit;
h.
dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k.
grafit;
kalsit;
o.
kaolin;
p.
leusit;
q.
magnesit;
r.mika;
s.
marmer;
t.nitrat;
u.
opsidien;
v.
oker;
pasir kuarsa;
y.
perlit;
z.
phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii.
basal;
jj.
trakkit; dan
kk. mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Logam
dan
Batuan
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang nyatanyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan
pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang
listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;
12
Subyek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau
badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan;
(2)
Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau
badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan.
Pasal 30
(1)
Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual
Hasil pengambilan mineral bukan logam dan batuan;
(2)
Nilai Jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan
volume atau tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga
standar masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan;
(3)
Nilai Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata rata
yang berlaku di lokasi setempat diwilayah daerah yang bersangkutan;
(4)
Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga
standar yang ditetapkan oleh instansi yang membidangi Pertambangan
Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Pasal 31
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 20 % (dua puluh
persen).
Pasal 32
(1)
Besaran Pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30;
(2)
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dipungut di wilayah
daerah tempat pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
Bagian Ketujuh
Pajak Parkir
Pasal 33
(1)
(2)
(3)
Tidak termasuk obyek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
penyelenggaraan
Daerah;
tempat
parkir
oleh
Pemerintah
dan
Pemerintah
Pasal 34
(1)
Subyek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan parkir
kendaraan bermotor;
(2)
Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
tempat parkir.
Pasal 35
(1)
(2)
(1)
Besaran Pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;
(2)
(1)
Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas setiap pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah;
(2)
Obyek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah;
(3)
(1)
Subyek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah;
(2)
Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah.
Pasal 40
(1)
Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah nilai perolehan air tanah;
(2)
Nilai Perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
dalam Rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau
seluruh faktor-faktor berikut :
a.
14
e.
dimaksud
pada
ayat
(2)
(4)
Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 41
(1)
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4);
(2)
Pajak Air Tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air
diambil.
Bagian Kesembilan
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 43
(1)
Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas setiap
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet;
(2)
(3)
Tidak termasuk obyek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).
adalah
pengambilan
dan/atau
Pasal 44
(1)
Subyek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet;
(2)
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
Pasal 45
(1)
Dasar pengenaan Pajak sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang burung
walet;
(2)
Nilai Jual sarang burung walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet
yang berlaku didaerah yang bersangkutan dengan volume sarang burung
walet.
Pasal 46
(1)
Besaran Pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45;
15
(2)
(1)
Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut
pajak atas setiap kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan bumi
dan/atau bangunan;
(2)
Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan;
(3)
b. jalan tol;
c.
kolam renang;
d. pagar mewah;
e.
Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah obyek pajak yang :
a.
digunakan
oleh
Pemerintah
penyelenggaraan pemerintahan;
dan
Pemerintah
Daerah
untuk
Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Pasal 49
(1)
Subyek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah orang
pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan;
16
(2)
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah
orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
bumi dan/atau manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
Pasal 50
(1)
(2)
(3)
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar 0,3
% (nol koma tiga persen).
Pasal 52
Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 setelah
dikurangi Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (5).
Pasal 53
(1)
(2)
Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan obyek
pajak pada Tanggal 1 Januari;
(3)
Tempat Pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak
obyek pajak.
Pasal 54
(1)
(2)
SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar,
dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Bupati yang
wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak, selambat lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subyek pajak.
Pasal 55
(1)
(2)
(1)
Dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dipungut pajak
atas setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan;
(2)
Obyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan;
(3)
jual beli;
2)
tukar menukar;
3)
hibah;
4)
hibah wasiat;
5)
waris;
6)
7)
8)
9)
(4)
1)
2)
hak milik;
d. hak pakai;
e.
f. hak pengelolaan.
(5)
Obyek Pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah obyek pajak diperoleh :
a.
untuk
d. orang pribadi atau badan kerena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.
Pasal 57
(1)
Subyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan;
(2)
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
Pasal 58
(1)
Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai
Perolehan Obyek Pajak;
(2)
Nilai Perolehan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal
:
a.
adalah
harga
transaksi
yang
(3)
Jika Nilai Perolehan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP
yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi
dan Bangunan;
(4)
Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak;
(5)
Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami atau istri, Nilai Perolehan Obyek
Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Pasal 59
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5 % (lima
persen).
19
Pasal 60
(1)
Besaran Pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4) dan ayat (5);
(2)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.
Pasal 61
(1)
Saat terutangnya pajak bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
ditetapkan untuk :
a.
putusan
pengadilan
yang
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k.
penggabungan
usaha
ditandatanganinya akta;
adalah
sejak
adalah
tanggal
sejak
tanggal
dibuat
dan
Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 62
(1)
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak;
(2)
(3)
Pasal 63
(1)
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang daerah melaporkan pembuatan akta atau
risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Bupati
paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya;
(2)
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 64
(1)
(2)
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang daerah, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran;
(3)
(1)
(2)
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu
lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender,
yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terhutang;
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender,
kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender.
Pasal 66
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi sejak tanggal diterimanya SPPT oleh
Wajib Pajak.
BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 67
(1)
(2)
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat
ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan perpajakan;
(3)
21
(4)
(5)
(1)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati
dapat menerbitkan :
a.
(3)
(4)
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib
Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan;
(5)
(1)
b. Pajak Reklame;
c.
(2)
Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c.
Pajak Hiburan;
d. Pajak parkir;
22
e.
f.
Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD,
SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) dan
ayat (5) diatur dengan Peraturan Bupati;
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD
atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak
Pasal 71
(1)
(2)
(3)
SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 % (dua persen)
sebulan dan ditagih melalui STPD.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal 72
(1)
(2)
(3)
(4)
23
(1)
(2)
(1)
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat
yang ditunjuk atas suatu:
a.
SPPT;
b. SKPD;
c.
SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e.
SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g.
(2)
(3)
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi kerena keadaan diluar kekuasaannya;
(4)
Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak;
(5)
(6)
Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau
pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat
pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 75
(1)
Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal
surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan;
(2)
(3)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan
Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keputusan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 76
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan
pelunasan sampai dengan diterbitkanya SKPDLB;
(3)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50 % (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan;
(4)
(5)
Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan
atau Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal 78
(1)
(2)
Bupati dapat :
a.
25
BAB VI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 79
(1)
pajak
dapat
mengajukan
(2)
Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas bulan), sejak
diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan;
(3)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui
dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian
pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan;
(4)
(5)
(6)
(7)
sebagaimana
BAB VII
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 80
(1)
(2)
b.
adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun
tidak langsung.
(3)
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal
penyampaian Surat Paksa tersebut;
(4)
(5)
(1)
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi kerena hak untuk melakukan
penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan;
26
(2)
(3)
(1)
(2)
Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara
pembukuaan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bupati.
Pasal 83
(1)
(2)
tata
cara
pemeriksaan
Pajak
diatur
BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 84
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
27
(3)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah:
a.
Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli
dalam sidang pengadilan;
b. Pejabat dan atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
keuangan daerah.
(4)
(5)
(6)
(1)
(2)
(3)
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan,
sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah;
d.
e.
f.
tugas
28
(4)
g.
h.
Memotret seseorang
perpajakan Daerah;
i.
j.
Menghentikan Penyidikan;
k.
yang
berkaitan
dengan
tindak
pidana
(1)
(2)
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi
dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang
tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 88
(1)
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang karena kealpaannya
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat
juta rupiah);
(2)
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja
tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
(3)
29
(4)
Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai
dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau
badan selaku Wajib Pajak, kerena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 90
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 ayat (1) dan ayat (2)
merupakan penerimaan negara.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 91
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Pajak yang masih terutang berdasarkan
Peraturan mengenai jenis Pajak Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Peraturan Daerah ini, sepanjang tidak diatur dalam Peraturan yang bersangkutan
masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat
terutang.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
Dengan diundangkannya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai Barat Nomor 06 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel (Lembaran
Daerah Kabuparten Kutai Barat Tahun 2002 Nomor 06, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 42), Peraturan Daerah Kabupaten Kutai
Barat Nomor 07 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah
Kabuparten Kutai Barat Tahun 2002 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah
kabupaten Kutai Barat Nomor 43), Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat
Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabuparten Kutai
Barat Tahun 2002 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kutai Barat
Nomor 47), Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 06 Tahun 2003
tentang Pajak Pengambilan Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kabuparten
Kutai Barat Tahun 2003 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kutai
Barat Nomor 75), Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 09 Tahun 2003
tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dalam
Wilayah Kabupaten Kutai Barat (Lembaran Daerah Kabuparten Kutai Barat Tahun
2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 78),
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pajak
Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabuparten Kutai Barat Tahun 2005 Nomor
21) dan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 15 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 05 Tahun 2002
tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabuparten Kutai Barat Tahun 2007
Nomor 15), dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Pasal 93
Hal
hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang
mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 94
30
(1) Peraturan Daerah, di luar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
dan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan mulai berlaku sejak
tanggal diundangkan;
(2) Ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
berlaku mulai
1 Januari 2013;
(3) Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan berlaku
mulai
1 Januari 2011.
Pasal 95
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah
ini dengan Penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Kutai Barat.
ditetapkan di Sendawar.
pada tanggal, 22 Juli 2010.
BUPATI KUTAI BARAT,
ISMAIL THOMAS
diundangkan di Sendawar.
pada tanggal, 22 Juli 2010.
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN KUTAI BARAT,
YAHYA MARTHAN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT TAHUN 2010 NOMOR 10.
31
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT
NOMOR 10 TAHUN 2010
TENTANG
PAJAK DAERAH
I.
PENJELASAN UMUM.
Dengan ditetapkannya Undang - undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab,
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya yang bersumber dari Pajak Daerah
perlu ditingkatkan sehingga kemandirian Daerah dalam hal pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan di Daerah dapat terwujud.
Untuk meningkatkan pelaksanaan pembangunan dan pemberian
pelayanan
kepada
masyarakat
serta
meningkatkan
pertumbuhan
perekonomian di Daerah, diperlukan penyediaan sumber sumber Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang hasilnya memadai. Upaya peningkatan penyediaan
pembiayaan dari sumber tersebut, antara lain dilakukan dengan peningkatan
kinerja pemungutan, penyempurnaan dan penambahan jenis Pajak, serta
pemberian keleluasaan bagi daerah untuk menggali sumber- sumber
penerimaan khususnya dari sektor Pajak Daerah.
Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,
Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam Perpajakan.
Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang
undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan
perpajakan tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah dan
memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.
Perluasan basis pajak tersebut dilakukan dengan prinsip pajak yang
baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan atau menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan
ekspor impor.
32
dan
33
jelas
jelas.
jelas
jelas
jelas
jelas.
jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sewa / tarif parkir sebagai dasar pengenaan Pajak Parkir yang
dikelola secara monopoli dapat diatur dengan Pemerintah
Daerah.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
34
Cukup
Pasal 40
Cukup
Pasal 41
Cukup
Pasal 42
Cukup
Pasal 43
Cukup
Pasal 44
Cukup
Pasal 45
Cukup
Pasal 46
Cukup
Pasal 47
Cukup
jelas
jelas.
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kawasan adalah semua tanah dan
bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan,
perhutanan,dan Pertambangan di tanah yang diberi hak guna
usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan
dan tanah yangmenjadi wilayah usaha pertambangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan adalah bahwa obyek pajak
itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum,
dan nyata
nyata tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan.Hal ini dapat diketahui antara lain dari
anggaran dasar dananggaran rumah tangga dari
yayasan
atau badan
yangbergerak
dibidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan,dan kebudayaan
nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan
wisata
milik
Negara
sesuai
dengan Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
35
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Ayat (3)
Cukup jelas
63
Cukup jelas
64
Cukup jelas
65
Cukup jelas
66
Cukup jelas
67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu
ditetapkan oleh Bupati atau dibayar sendiri oleh wajib pajak.
a. Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah
terlebih dahulu ditetapkan oleh Bupati melalui SKPD atau
dokumen yang dipersamakan.
b. Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak
yang memberikan kepaercayaan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan,membayar,dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Wajib pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara
membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang
dengan menggunakan SPTPD.
Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung,
memperhitungkan,membayar,dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
mestinya, dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang
menjadi sarana penagihan.
68
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas
pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak
ditunjukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran
dalam
pengisian
SPTPD
atau
karena
ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah
untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya
hanya terhadap kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain
hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban
formal dan/atau kewajiban material.
Contoh :
1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada
tahun pajak 2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu
tertntu juga belum menyampaikan SPTPD, maka dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah
dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun
pajak 2009. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun,ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang
disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang
kurang bayar tersebut, Kepala Daerah dapat menerbitkan
SKPDKB ditambah dengan sangsi administrative.
37
Ayat
Ayat
Ayat
Ayat
Pasal 85
Cukup
Pasal 86
Cukup
Pasal 87
Cukup
Pasal 88
Cukup
Pasal 89
Cukup
Pasal 90
Cukup
Pasal 91
Cukup
Pasal 92
Cukup
Pasal 93
Cukup
Pasal 94
Cukup
Pasal 95
Cukup
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT TAHUN 2010 NOMOR 146.
40
41