Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PERPAJAKAN TENTANG

KASUS PAJAK YANG TERJADI DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
JUANDA SULAIMAN
(17622123)

JURUSAN AKUNTANSI KELAS MALAM 2 SEMESTER 3

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN


TANJUNGPINANG
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi tuhan yang Maha Esa berkat rahmat-Nya penulis di berikan kesehatan
untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Dan berkat ridho-Nya pula penulis masih diberi
kekuatan dan kesempatan untuk membuat makalah tentang “Kasus Pajak Yang Terjadi Di
Indonesia”  dalam rangka memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah Perpajakan dengan Dosen
Pengampu Bapak Ranat Mulia Pardede.

Makalah ini telah disusun semaksimal mungkin dengan mengambil dari berbagai sumber
untuk memperlancar pembuatan makalah ini. Segala usaha telah dilakukan untuk
menyempurnakan makalah  ini. Namun penulis menyadari bahwa dalam makalah ini mungkin
masih ditemukan kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang dapat dijadikan masukan guna perbaikan di masa yang akan datang.

Tanjungpinang, 15 Januari 2019

Juanda Sulaiman

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang ............................................................................ 1
2.      Rumusan Masalah ...................................................................... 1
3.      Tujuan ......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1.      Kasus Gayus Tambunan ............................................................. 3
2.      Kasus Dhana Widyatmika .......................................................... 4
3.      Kasus Bahasyim Assife .............................................................. 6
4.      Kasus PT Asian Agri Group ....................................................... 7
5.      Kasus Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho
dan Slamet Riyana ..................................................................... 11
6.      Kasus Penunggakan Pembayaran Pajak
di Kota Bandung ........................................................................ 11
7.      Kasus Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak .................................. 12
8.      Kasus Tommy Hendratno .......................................................... 12
9.      Kasus Pargono Riyadi ................................................................ 13
10.  Kasus Wilmar Group .................................................................. 13
11.  Kasus Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga
Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Fadli Zon Dan Fahri Hamzah ..................................................... 14
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan ................................................................................. 15
2.      Saran ........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang


Pajak merupakan sumber penerimaan  Negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non
migas. Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan strategis yang
harus dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi
penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan
Republik Indonesia.Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk
meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat
dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peraturan perundang-undangan
baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak  maupun menggali sumber
hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan perubahan yang
signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997
dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum
terselesaikan di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak
tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih
rendah persentasenya.namun dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang
menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana
penghindaran diri dari pajak ini bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan
resikonya dapat merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak
yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan aparat penegak
hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan malah berusaha
menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak bukan tujuannya adalah untuk melindungi
tersangka mafia pajak. Dalam hal ini saya akan membahas mengenai salah kasus penggelapan
pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, DhanaWidyatmika, Bahasyim Assife, PT Asian
Agri Group, Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana, Penunggakan
Pembayaran Pajak di Kota Bandung, Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak, Tommy Hendratno,
Pargono Riyadi, Wilmar Group, Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Fadli Zon Dan Fahri Hamzah.

2.    Rumusan Masalah


1. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan?
2. Bagaimna Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Dhana Widyatmika?
3. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Bahasyim Assife ?
4. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh  PT Asian Agri Group ?
5. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Herry Setiadji, Indarto Catur
Nugroho dan Slamet Riyana ?
6. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota Bandung ?
7. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak?
8. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Tommy Hendratno?
9. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Pargono Riyadi?
10. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Wilmar Group ?
11. Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak Tindak Pidana Perpajakan yang Diduga Dilakukan
Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon Dan Fahri Hamzah ?

4
3.    Tujuan
1. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan
2. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Dhana Widyatmika
3. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Bahasyim Assife
4. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh  PT Asian Agri
Group
5. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Herry Setiadji,
Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana
6. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota
Bandung ?
7. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak
8. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Tommy Hendratno
9. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Pargono Riyadi
10. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Wilmar Group
11. Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga
Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon Dan Fahri
Hamzah

5
BAB II
PEMBAHASAN

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di
Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal
yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dalam hal perpajakan,
ada beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Diantaranya adalah :

1.    Kasus Gayus Tambunan


Gayus Halomoan Partahanan Tambunan adalah bekas pegawai negeri sipil di DJP Kemkeu. Ia
dipenjara karena melakukan penyalahgunaan wewenang, menerima suap dari wajib pajak, dan
pidana umum lainnya. Gayus merupakan PNS golongan IIIA namun disebut-sebut memiliki
harta hingga puluhan miliar rupiah.
Gayus dinyatakan terbukti bersalah menerima suap senilai  Rp 925 juta dari Roberto Santonius,
konsultan PT Metropolitan Retailmart terkait kepengurusan keberatan pajak perusahaan tersebut.
Gayus juga lalai menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) yang berakibat pada
kerugian negara sebesar Rp 570 juta. Gayus juga terlibat dalam kasus penggelapan pajak PT
Megah Citra Raya.
Gayus terbukti bersalah menerima gratifikasi saat menjabat petugas penelaah keberatan pajak di
Ditjen Pajak. Gayus terbukti menerima gratifikasi sebesar US$ 659.800 dan Sin$ 9,6 juta.
Gayus juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Selama persidangan, gayus gagal
membuktikan kekayaannya berupa uang RP 925 juta, US$ 3,5 juta, US$ 659.800, Sin$ 9,6 juta
dan 31 keping logam mulai masng-masing 100 gram bukan berasal dari hasil tindak pidana.
Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak
istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus
mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri
Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia. Dalam kasus penggelapan pajak
oleh pejabat pajak “ Gayus” tidak ditemukan sama sekali integritas yang tinggi, dalam hal
kejujuran pejabat tersebut telah membohongi publik, dengan menggunakan uang  yang
seharusnya bukan  miliknya.

 Mereka yang terkait kasus Gayus


 12 Pegawai Dirjen Pajak termasuk seorang direktur, yaitu Bambang Heru Ismiarso dicopot
dari jabatannya dan diperiksa.
 2 orang Petinggi Kepolisian , Brigjen Pol Edmon Ilyas dan Brigjen Pol Radja
Erizman dicopot dari jabatanya dan diperiksa.
 Bahasyim Assifie, mantan Inspektur Bidang Kinerja dan Kelembagaan Bappenas 
 Andi Kosasih
 Haposan Hutagalung sebagai pengacara Gayus
 Kompol Muhammad Arafat
 Lambertus (staf Haposan)
 Alif Kuncoro 
 Beberapa aparat kejaksaan diperiksa
 Jaksa Cirus Sinaga dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati
Jawa Tengah, karena melanggar kode etik penanganan perkara Gayus HP Tambunan.

6
 Jaksa Poltak Manulang dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Pra Penuntutan (Pratut)
Kejagung

 Bukti – bukti
Polri telah melakukan penggeledahan terhadap rumah terdakwa mafia hukum, Gayus
Tambunan terkait pemalsuan paspor atas nama Sony Laksono. Hasil pemeriksaan rumah Gayus
di daerah Kelapa Gading, penyidik telah menemukan berbagai barang bukti perjalanan ke
beberapa negara.
"Penyidik telah menemukan berbagai barang bukti yang diperlukan sekaligus dalam konteks
pembuktian," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Boy Rafli
Amar di Mabes Polri, Jakarta, Jumat 14 Januari 2011.
Boy pun menyebutkan barang bukti yang sudah disita Polri tersebut, antara lain boarding
pass dari China Air yang digunakan Gayus ketika pulang dari Makau, boarding pass Air Asia
atas nama istri Gayus, Milana Anggraeni.
Meski berstatus tahanan, Gayus diduga mengajak Milana pergi ke sejumlah negara. Mereka
diduga pergi ke Makau (Hong Kong), Singapura, dan Kuala Lumpur (Malaysia).
Selain Milana, untuk melengkapi keterangan yang dibutuhkan, penyidik juga berharap bisa
memperoleh keterangan dari Devina, penulis surat pembaca Harian Kompas yang menguak
kepergian Gayus ke luar negeri.
Dengan menggunakan paspor atas nama Sony Laksono, Gayus pelesir ke berbagai tempat. Dari
manifes, terdapat seseorang yang berinisial Sony bepergian ke luar negeri dengan
pesawat Mandala pada 24 September dengan tujuan Makau. Pada 30 September, dengan
menggunakan pesawat Air Asia tujuan Singapura, Sony Laksono duduk di bangku 11F.

2.    Kasus Dhana Widyatmika


   Sosok Dhana Widyatmika, seorang mantan PNS Ditjen Pajak, yang menjadi tersangka kasus
korupsi yang telah ditetapkan oleh kejaksaan agung yang pemberitaannya kini mengemuka di
media massa. Dhana Widyatmika disebut-sebut sebagai The Next Gayus, karena memiliki
rekening dibeberapa bank yang jumlahnya miliaran. Identitas Dhana Widyatmika sendiri
terungkap dari informasi Kabag Humas dan TU Ditjen Imigrasi Maryoto Sumadi. Ketika
wartawan detikFinance mengkonfirmasikan mengenai identitas yang sebelumnya disingkat
dengan DW, maka Maryoto Sumadi membenarkan nama Dhana Widyatmika masuk dalam daftar
cekal di imigrasi.
   Berdasarkan laporan yang dilansir oleh DetikFinance, menyebutkan bahwa Dhana Widyatmika
merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Setelah melanjutkan program
sarjana, dia meneruskan studi pasca sarjana di Program Studi Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).  Setelah lulus STAN, Dhana mulai bekerja
di Ditjen Pajak pada tahun 1996. Karirnya berkembang terus. Pada 2011, berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Dhana Widyatmika menjabat sebagai
Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Enam.
Dhana Widyatmika merupakan PNS golongan III/c dengan pangkat penata. Ia kini berusia 37
tahun. Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany mengungkapkan ‘The Next Gayus’
ini tidak lagi menjadi pegawai pajak. Karena, atas keinginannya sendiri Dhana Widyatmika ini
meminta pindah ke instansi lain. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Dhana Widyatmika
dituntut hukuman 12 tahun penjara untuk tiga perbuatan pidana oleh jaksa penuntut umum (JPU)

7
Kejaksaan Agung. Selain hukuman penjara, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
diminta menjatuhi hukuman membayar denda Rp 1 miliar dan subsider kurungan enam bulan. 
Dhana dianggap terbukti melakukan tiga perbuatan pidana.
   Pertama, tindak pidana korupsi menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp 2,75 miliar.
Perbuatan pertama Dhana tersebut diuraikan jaksa dalam dakwaan primer dan subsider.
Dakwaan primer memuat Pasal 12 B ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP, sedangkan dakwaan subsidernya memuat Pasal 11
undang-undang yang sama. Menurut jaksa, pada 11 Januari 2006, Dhana menerima uang dari
Herly Isdiharsono senilai Rp 3,4 miliar yang ditransfer ke rekening Bank Mandiri Cabang
Nindya Karya, Jakarta. Penerimaan uang 3,4 miliar itu berkaitan dengan penerimaan melawan
hukum, yaitu mengurangi kewajiban pajak PT Mutiara Virgo. Kemudian, sebanyak Rp 1,4 miliar
dari uang tersebut digunakan Dhana untuk membayar rumah atas nama Herly Isdiharsono.
Sedangkan sisanya, Rp 2 miliar, dipakai untuk kepentingan pribadi Dhana. Adapun Herly ikut
ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Atas bantuan para pegawai pajak tersebut, PT Mutiara
Virgo hanya membayar Rp 30 miliar dari nilai Rp 128 miliar yang seharusnya. Adapun total
uang yang dikucurkan PT Mutiara Virgo melalui direkturnya, Jhonny Basuki, ke para pegawai
pajak tersebut mencapai Rp 20,8 miliar. Kejaksaan Agung pun menetapkan Jhonny sebagai
tersangka kasus ini. Kemudian, pada 10 Oktober 2007, Dhana kembali menerima uang
gratifikasi senilai Rp 750 juta dari pencairan cek perjalanan di Bank Mandiri Cabang Nindya
Karya.
   Kedua, Dhana terbukti melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara senilai Rp 1,2
miliar. Dhana terbukti melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara. Dakwaan primer memuat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Subsider, memuat Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor. Atau, dakwaan
kedua, dua, primer yang memuat Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan subsidernya memuat Pasal 12 huruf g undang-undang yang sama. Menurut
tim JPU Kejaksaan Agung, Dhana bersama-sama dengan Salman Magfiron sengaja
menggunakan data eksternal sebagai dasar perhitungan pajak PT Kornet Trans Utama, sehingga
pajak yang harus dibayarkan perusahaan tersebut menjadi lebih tinggi. Dhana dan Salman pun
mengadakan pertemuan dengan Direktur PT Kornet Trans Utama, Lee Jung Ho atau Mr Leo,
yang intinya menawarkan bantuan untuk mengurangi nilai pajak yang harus dibayarkan
perusahaan tersebut dengan meminta imbalan Rp 1 miliar. Namun, permintaan imbalan tersebut
diacuhkan PT Kornet. Perusahaan itu kemudian mengajukan keberatan melalui Pengadilan Pajak
yang hasilnya memenangkan PT Kornet. Atas kemenangan perusahaan tersebut, Dhana dianggap
merugikan negara Rp 1,2 miliar atau paling setidak-tidaknya Rp 241.000.
   Ketiga, terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Menurut jaksa, Dhana menerima uang dari tindak pidana korupsi yang
selanjutnya secara bertahap ditransaksikan dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul
hartanya. Hal tersebut, kata Jaksa, dilakukan Dhana dengan sejumlah cara.
Cara pertama, dengan transaksi perbankan secara bertahap. Dhana memasukkan uang yang
dimilikinya ke berbagai rekening, di antaranya, Bank CIMB Niaga Cabang Jakarta sekitar Rp 4
miliar, Bank HSBC Cabang Jakarta Kelapa Gading sekitar Rp 2,6 miliar, Bank Standard
Chartered sekitar 271.000 dollar AS, Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol Rp 474.000, CIMB

8
Niaga Jakarta Sudirman sebesar Rp 54 juta dan Rp 30.000 dollar AS, kemudian Bank BCA
Cabang Kalimalang sekitar Rp 4,1 miliar.
   Cara kedua, dengan membelanjakan uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi
tersebut untuk membeli logam mulia seberat 1.100 gram yang kemudian disimpan dalam safe
deposite box Bank Mandiri Cabang Mandiri Plaza, Jakarta.
  Cara ketiga, membelanjakan uangnya untuk membeli tanah dan properti. Keempat,
menyembunyikan uang dalam beberapa mata uang asing. Kelima, membeli barang-barang
berharga. Keenam, membeli kendaraan bermotor uang disembunyikan dengan cara seolah-olah
sebagai barang dagangan PT Mitra Modern Mobilindo88, menginvestasikan hartanya pada
bidang properti.
   Sebelumnya, dalam dakwaan, Dhana terancam maksimal 20 tahun penjara. Jaksa mengatakan,
terdapat hal-hal yang memberatkan dan meringankan Dhana.  Adapun hal yang meringakan
karena berusia relatif muda sehingga diharapkan memperbaiki perbuatan. Dhana akan
mengajukan nota pembelaan atau pleidoi. Dhana Widyatmika akan mengajukan sendiri dan
penasihat hukum juga akan mengajukan sendiri. Majelis hakim memberikan waktu satu minggu
untuk mempersiapkan pleidoi. Sidang lanjutan akan dilaksanakan Senin 29 Oktober 2012.

3.    Kasus Bahasyim Assife


   Bahasyim adalah bekas Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII DJP
Kemkeu.
Bahasyim terbukti melakukan korupsi dengan menerima suap dari Wajib Pajak Kartini Mulyadi
senilai Rp 1 milyar saat dirinya menjadi kepala kantor pada Februari 2005.
Selain itu, Bahasyim juga didakwa melakukan pencucian uang dengan modus memindahkan
harta Rp932 miliar ke dalam rekening anak dan istrinya. Uang tersebut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi. Di tingkat pertama Bahasyim divonis 10 tahun dan di tingkat banding di
Pengadilan Tinggi Tipikor Bahasyim divonis 12 tahun.

4.    Kasus PT Asian Agri Group


PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda
Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto
adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp
25,5 triliun).  Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup
Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings
Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech,  Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara
khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina,
Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah
terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain
tiga pabrik minyak goreng.

Awal Mula Kasus


Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin
Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta
pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di
PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh
perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh.

9
Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut.
Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda
Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK
untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah
dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul
“AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar –
untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak
di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang
menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan
tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat
dengan perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution,
kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini
bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan
Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan
terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya
penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan
nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga
Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil
penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak
penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan
pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang
tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan
orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di
samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka
tersebut.

Kajian Hukum Sebuah Kasus


Dalam  persidangan di Pengadilan  Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa Majelis
Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang diwakili oleh
Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group pada dasarnya
menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan pajak merupakan kewenangan
Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam
undang-undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan
Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah, dan cepat.
Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah antara kedua belah
pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan perpajakan.

10
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa
kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat ketetapan
pajak yang diterbitkan oleh  Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada upaya
hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum  keberatan. Oleh karenanya, kasus
Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan Negeri.
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum yang
dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana karena tidak
adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya
sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum  pidana, tentu menjadi
kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan uang pajak.
Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik
kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif pemidanaan atas pajak, patut menjadi
perhatian serius agar tidak terjadi keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai
pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak tergolong
sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur hukum administrasi
(hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai dengan aturan yang sudah
ditegaskan dalam  undang-undang pajak yang mengaturnya. Jika seperti itu, menyelesaikan
persoalan administrasi pajak dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara
membutuhkan dana pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya
terus naik (meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan tersendiri
bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika persoalan
penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi persoalan berindikasikan
tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan
dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian, Kejaksaan,
maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena merupakan
bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama.
Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa
perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam hukum pajak
memuat unsur-unsur :
 Hukum tata negara dan hukum tata usaha negara
 Hukum perdata;
 Hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu
koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin proses
koordinasi demikian.
Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup
PT Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan  pajak (tax evasion) selama
beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum
lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan
(out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya
hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri
ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih
(white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan
melenggang karena kekuatan kapital nya.

11
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi
pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan
para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka
peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur
bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan.
Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan
itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out
of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak
hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan
secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam
melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk
“Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan
langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori
“Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang
pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa
Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana
perpajakan ini.
Asian Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya. Perusahaan
perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan setelah
membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang yakni mencapai Rp 1,95
triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang ditetapkan DJP.
Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total utang pajak. Asian Agri
melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai,
sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun.
Total utang pajak plus denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun.
General Manajer Grup Asian Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. "Sesuai dengan jangka
waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya kepada KONTAN di Jakarta, Rabu
(4/9).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus mengakui telah menerima
surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP wajib memberikan keputusan atas
keberatan itu paling lambat dua belas bulan.
Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam SKP. Jika
Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP dapatmelakukan
penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa, penyitaan dan blokir rekening hingga
pelelangan aset.

5.    Kasus Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana
Mereka adalah tiga bekas pegawai Kantor Pajak Kebayoran Baru III DJP Kemkeu. Majelis
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan masing-masing vonis 5 tahun penjara.
Mereka terbukti memeras perusahaan wajib pajak, yakni PT Electronic Design and
Manufacturing International (EDMI) terkait restitusi lebih bayar pajak atas Pajak Penghasilan

12
(PPh) Badan Tahun 2012 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masa Februari 2013 sekitar Rp 3
milyar. Ketiga orang ini memeras PT EDMI untuk membayarkan uang sejumlah Rp 450 juta,
agar kelebihan pajak bisa dikembalikan.

6.    Kasus Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota Bandung


Pemerintah Kota  Bandung lamban dalam menyelesaikan piutang pajak tahun 2011 yang
berjumlah sekitar Rp3,8 Miliar. Jika melihat akumulasi dari tahun 2006 hingga  2011, piutang
pajak itu mencapai angka Rp 23,4 Miliar. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang
diterima Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), piutang itu berasal dari sektor perhotelan  Rp344
juta, restoran Rp 539 juta, hiburan Rp 72 juta, reklame Rp 469 juta, parkir Rp59 juta, BPHTB
Rp2,1 miliar dan air tanah 135juta.
Dinas Pendapatan Daerah juga  harus berkoordinasi dengan dinas-dinas yang mengeluarkan izin
usaha.Kedepan,  untuk menghindari hal itu terulang, sebelum pengusaha menjalankan izin
usahanya terlebih dahulu membayar pajak.

7.    Kasus Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka dalam kasus dugaan suap kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara pada Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (22/11/2016).
Mereka adalah Country Director PT E.K Prima Ekspor Indonesia, R. Rajamohanan Nair dan
Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan,
Handang Soekarno. Keduanya ditahan di Rumah Tahanan KPK.
Keduanya ditangkap terkait dugaan suap sebesar Rp 6 miliar. Uang tersebut diduga untuk
menghilangkan kewajiban pajak PT E.K Prima Ekspor Indonesia sebesar Rp 78 miliar.
KPK mengamankan uang sejumlah 148.500 dollar AS atau setara Rp 1,9 miliar.
Adapun suap tersebut merupakan tahap pertama dari total Rp 6 miliar yang akan dibayarkan
Rajamohanan kepada Handang.
Rajamohanan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Handang disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) dan huruf (b) serta Pasal 11 UU
No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

8.    Kasus Tommy Hendratno


Tommy Hendratno adalah bekas Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak
Sidoarjo, Jawa Timur. Ia terbukti menyalahgunakan kewenangannya dan menerima suap Rp280
juta terkait pengurusan restitusi atau lebih bayar miliki PT Bhakti Investama Tbk.
Dalam vonis PN Tipikor, Tommy terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) huruf b
UU Tipikor. Vonis Pengadilan Tipikor ini lebih rendah dari tuntutan JPU pada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Kantor Pajak Pratama (KPP) cabang Sidoarjo ini lima tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta
subsider dua bulan kurungan. Jaksa menyatakan Tommy Hendratno terbukti pada dakwaan
kedua, yakni melanggar Pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 31 1999

13
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tommy terbukti menerima uang senilai Rp280 juta dalam tas hitam dari James Gunardjo melalu
Hendy Anuranto di sebuah restoran Padang yang berada kawasan Tebet, Jakarta Selatan pada 6
Juni 2012. Pemberian tersebut untuk membantu memberikan data klaim SPT pajak PT Bhakti
Investama senilai Rp 3 miliar.

9.    Kasus Pargono Riyadi


Pegawai pajak Pargono Riyadi sudah ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan pemerasan
Asep Hendro. Inilah kasus pemerasan pertama yang diusut oleh lembaga antikorupsi tersebut.
Pargono adalah bekas PPNS di Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat. Pengadilan Tipikor Jakarta
memvonis empat tahun enam bulan penjara. Ia terbukti memeras wajib pajak Asep Yusup
Hendra Permana, pemiliki PT Asep Hendro Racing Sport (AHRS) sebesar Rp600 juta.
Menurut Jubir KPK, Johan Budi, pasal yang disangkakan kepada Pargono memang baru kali ini
diterapkan. "Pasal itu memang baru diterapkan sekarang," jelas Johan di kantornya, Jl HR
Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (11\/4\/2013). Dalam proses penyelidikan, KPK
menemukan indikasi kuat jika Pargono memeras pengusaha otomotif Asep. Mantan pembalap
nasional ini pun memang akhirnya dibebaskan. Kini KPK sedang menelusuri, apakah hanya
Asep saja yang sudah diperas oleh Pargono. Termasuk sudah berapa kali Pargono memeras
Asep.
Pargono dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU Pemberantasan Korupsi. Pasal itu
mengatur mengenai pemerasan yang dilakukan penyelenggaran negara.

10.    Kasus Wilmar Group


Nama Wilmar Group identik sebagai juragan kelapa sawit dan produk turunannya di Indonesia.
Sang pendirinya, Martua Sitorus, pun menjadi kaya raya dari roda dua usaha 67 perusahaan yang
bernaung di bawahnya. Martua tercatat sebagai orang terkaya nomor tujuh di Indonesia menurut
majalah Forbes, dengan kekayaan US$ 2 milyar atau sekitar Rp 22 trilyun. Namun, nama besar
Wilmar Group itu belakangan tercoreng oleh laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) kepada Panitia Kerja (Panja) Mafia Perpajakn komisi III DPR. Ketua Panja
Mafia Perpajakn, Tjatur Sapto Edy, menjelaskan bahwa pihaknya memang meminta PPATK
untuk menelusuri transaksi-transaksi di bidang perpajakan yang mencurigakan, termasuk di
dalamnya transaksi pajak Wilmar.
Menurut PPATK terdapat ekspor barang yang tidak didukung dokumen valid sekitar Rp 6
Trilyun. Selain itu ada pula kejanggalan penyimpanan uang restitusi pajak Wilmar periode 2009-
2010. Nilainya Rp 3,5 trilyun, yang dimasukkan ke rekening pinjaman. Seharusnya, restitusi itu
dipakai untuk pembayaran. Atas dua temuan itu, PPATK memperkirakan kerugian negara
sebesar Rp 600 milyar dan 3,5 trilyun.
Temuan baru PPATK itu menjadi bukti anyar adanya dugaan permainan pajak oleh WNI dan
MNA yang sebelumnya diungkap Mohammad Isnaeni, Kepala Kantor  Pelayanan Pajak Besar
Dua. Isnaeni mengirim surat bersifat rahasia kepada Direktur Jenderal Pajak tentang kejanggalan
pajak WNI dan MNA.
Kasus dugaan permainan pajak Wilmar itu juga sudah sampai ke meja Andi Nirwanto, Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. Bersama tim, Andi
menelisik dugaan tindak pidana perpajakan itu.

14
Dari hasil pemeriksaan, tak ditemukan adanya unsur pidana, sehingga pada pertengahan tahun
ini, Gedung Bundar mengembalikan berkas dugaan permainan pajak Wilmar itu ke Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak.
Pengembalian kasus pajak Wilmar ke Ditjen Pajak itu diiringi isu tak sedap yang memapar
Gedung Bundar. Andi Nirwanto, diisukan menerima suap Rp 80 milyar dari Wilmar. Jaksa
Agung Basrief pun melansir janji untuk memeriksa Jampidsus terkait isu suap tersebut. Dari
hasil pemeriksaan internal yang dilakukan Basrief memastikan tak ada suap untuk Andi.
Kasus dugaan permainan pajak Wilmar itunjuga sudah sampai ke meja Andi Nirwanto, Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. Bersama tim, Andi
menelisik dugaan tindak pidana perpajakan itu.

11.    Kasus Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon Dan Fahri Hamzah.
Mantan Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Handang Soekarno buka suara soal dugaan tindak pidana perpajakan yang diduga dilakukan dua
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Dugaan pidana
pajak yang melibatkan Fadli Zon dan Fahri Hamzah terungkap dalam persidangan terhadap
Handang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/5/2017).
Menurut Handang, dugaan tersebut berawal dari informasi intelijen. "Sumbernya adalah data dari
analisis hasil kerja Direktorat Intelijen, saya sebagai Kasubdit Bukper menerima masukan dari
laporan intelijen," kata Handang saat dikonfirmasi. Dalam persidangan, jaksa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan barang bukti berupa nota dinas yang dimiliki
terdakwa Handang Soekarno. Nota dinas tersebut kemudian dibenarkan oleh Direktur Penegakan
Hukum Ditjen Pajak, Dadang Suwarna, yang menjadi saksi untuk Handang. Nota dinas yang
ditunjukan jaksa mencantumkan sejumlah nama wajib pajak, baik berupa perorangan maupun
korporasi. Dua di antaranya adalah wajib pajak atas nama Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Dalam
nota dinas dijelaskan bahwa Fadli Zon diduga tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi atas nama Fadli Zon, untuk tahun pajak 2013 ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama. Dalam catatan lain, Fadli Zon ditulis tidak
menyampaikan SPT dari tahun 2011 sampai 2015. Selain, itu terdapat catatan atas nama wajib
pajak Fahri Hamzah. Dalam nota dinas, Fahri diduga menyampaikan SPT Tahunan PPh orang
pribadi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, untuk tahun pajak 2013 - 2014 ke KPP
Pratama Jakarta Pesanggrahan. "Daftar harta 2014 berbeda dengan LHKPN dengan jumlah
selisih Rp 4,46 miliar,"

15
BAB III
PENUTUP

1.    Kesimpulan
Seharusnya kasus sebelumnya seperti kasus Gayus, sudah menjadi pelajaran bagi Indonesia
bahwa lemahnya perhatian yang dilakukan pihak yang berwenang terhadap kasus pajak
sebelumnya. Kasus pajak ini bisa mencoret nama baik pegawai pajak lain yang tidak melakukan
penggelapan pajak seperti yang dilakukan Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Bahasyim
Assife, Herry Setiadji, Indarto Nugroho dan Slamet Riyana, Pejabat Ditjen Pajak, Tommy
Hendratno, Pargono Riyadi. Tidak semua pegawai pajak melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan para penggelap pajak yang disebut kan di atas.
Diharapkan kasus penggelapan lain, diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan cepat tanpa
menunggu lama.

2.    Saran
Adapun saran yang dapat kami sampaikan mengenai kasus kecurangan pajak yaitu sebagai
berikut :
1. Pemerintah harus tegas dalam menangani kasus kecurangan pajak yang terjadi di
Indonesia
2. Penghindaran Pajak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai. Dalam hal ini, seharusnya Kantor Pelayanan Pajak lebih
meningkatkan kembali pengawasannya kepada para wajib pajak agar tidak melakukan
hal-hal yang dianggap merugikan negara dengan tidak mengikuti peraturan undang-
undang perpajakan yang ada.
3. Penggelapan Pajak dan Penghindaran Pajak merupakan faktor yang mempengaruhi
besarnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini harus menjadi perhatian lebih bagi
Kantor Pelayanan Pajak dikarenakan Pajak Pertambahan Nilai merupakan penerimaan
negara yang cukup besar. Maka dari itu, seharusnya Kantor Pelayanan Pajak lebih
meningkatkan lagi.

16
DAFTAR PUSTAKA

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161122162351-12-174492/rentetan-kasus-korupsi-
yang-menjerat-pegawai-pajak/

http://tulusramdhani.blogspot.co.id/2016/09/contoh-kasus-pajak-dan-penyelesaiannya.html
http://muhammadbayu05.blogspot.co.id/2016/04/penggelapan-pajak.html

http://nasional.kompas.com/read/2017/05/10/18232701/dugaan.pidana.pajak.fahri.hamzah.dan.fa
dli.zon.berawal.dari.intelijen.pajak

https://id.wikipedia.org/wiki/Gayus_Tambunan

http://news.detik.com/berita/2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-pemerasan-pertama-yang-
diusut-kpk

17

Anda mungkin juga menyukai