Anda di halaman 1dari 63

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem pernafasan berperan penting dalam pertukaran oksigen (O2)
dengan karbondioksida (O2). Secara fungsional sistem pernafasan terdiri
dari trakea, bronkus, bronkiolus, alveolus, dan paru-paru. Alveolus
dikelilingi oleh pipa-pipa kapiler, baik alveolus maupun kapiler tersusun
oleh satu lapis sel yang memungkinkan terjadinya pertukaran antara O2
dengan CO2. Oksigen dari udara masuk melalui bronkus, bronkiolus,
alveolus dan terjadi inspirasi lalu masuk ke sirulasi sistematik (darah) dan
secara bersamaan CO2 didifusikan keluar dari pipa-pipa kapiler masuk ke
alveolus yang selanjutnya dikeluarkan dari tubuh melalui pernapasan.
Secara umum fungsi sistem pernapasan untuk tujuan menyediakan
oksigen bagi semua sel tubuh, membuang CO2 dari seluruh tubuh,
membantu pertahankan tubuh melawan senyawa asing, dan menghasilkan
suara untuk berbicara. Banyak sekali golongan dan jenis obat yang bekerja
di saluran pernapasan untuk menjaga fungsinya.
B. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis obat anti tuberculosis, obat
antiasma serta beberapa obat saluran pernafasan lain.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami contoh-contoh obat anti
tuberculosis, obat antiasma serta beberapa obat saluran pernafasan lain.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami cara kerja dan efek samping
obat anti tuberculosis, obat antiasma serta beberapa obat saluran
pernafasan lain.
4. Mahasiswa mengetahui

dan

memahami

farmakodinamik

dan

farmakokinetik obat anti tuberculosis, obat antiasma serta beberapa


obat saluran pernafasan lain.

5. Mahasiswa mengetahui dan memahami cara peresepan obat anti


tuberculosis, obat antiasma serta beberapa obat saluran pernafasan lain.

C. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui seuk-beluk obat anti tuberculosis, obat
antiasma serta beberapa obat saluran pernafasan lain.
2. Mahasiswa mampu memilih obat anti tuberculosis, obat antiasma serta
beberapa obat saluran pernafasan lain yang tepat untuk setiap kasus
dengan karakteristik pasien yang berbeda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Asma
1. Definisi Asma
Kata asma berasal dari bahasa Yunani yang berarti terengahengah atau sukar bernapas. Dalam ilmu kedokteran dikenal dua istilah
mengenai asma yaitu asma bronkial yang sesak napasnya diakibatkan
oleh penyempitan saluran napas secara menyeluruh dan asma kardial
yang sesak napasnya berkaitan dengan kegagalan jantung yang
menyebabkan sembab paru (Alsagaff, 2009). Asma bronkial

merupakan penyakit obstruksi saluran napas yang terjadi karena


inflamasi

(Ward,

2008).

Asma

bronkial

memiliki

beberapa

karakteristik (Sundaru, 2009) :


a. Obstruksi saluran napas yang reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan.
b. Inflamasi saluran napas ditandai dengan peningkatan sel inflamasi
(eosinofil, sel mast, neutrofil, limfosit T) dalam bronkus.
c. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan
(hiperaktivitas)
Definisi asma bronkial secara lengkap adalah peningkatan
responsivitas bronkus terhadap berbagai stimulus, bermanifestasi
sebagai penyempitan jalan napas yang meluas yang keparahannya
berubah secara spontan maupun sebagai akibat pengobatan. Pada asma
bronkial terjadi hipersekresi mukus, pembengkakan mukosa yang
disebabkan oleh kebocoran vaskular akibat inflamasi dan edema yang
semuanya membatasi aliran udara masuk. Selain itu ditemukan juga
kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh sel eosinofil. (Ward,
2008).
2. Mekanisme Asma
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum
diketahui dengan pasti, namun dasar gejala asma adalah inflamasi
dan respon saluran napas yang berlebihan (Sundaru, 2009).
Inflamasi saluran napas, baik yang dirangsang oleh mekanisme
imunologi maupun non-imunologi, merupakan proses penting

untuk

menerangkan

perkembangan

pengertian

asma

pada

umumnya (Alsagaff, 2009).


Mekanisme asma dapat melewati dua jalur yaitu :
a. Jalur imunologis
Pada jalur imunologis mekanisme asma serupa dengan reaksi
hipersensitivitas tipe I. Tahap pertama adalah sensitisasi yaitu
pengenalan antigen yang terpapar pertama kali oleh sel APC
(Antigen Presenting Cell) kepada limfosit T. Limfosit T yang telah
dikenalkan oleh sel APC kemudian mengeluarkan sitokin-sitokin
yang mengode perintah untuk limfosit B agar memproduksi
antibodi IgE sesuai dengan antigen yang dikenalkan (Sundaru,
2009). Pada paparan antigen kedua terjadi degranulasi sel mast
yang diinduksi oleh IgE. Degranulasi sel mast menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator-mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin D2 (PgD2) dan leukotrien C4 dan D4 (LTC4, LTD4).
Mediator-mediator

inflamasi

ini

yang

menyebabkan

bronkokonstriksi, peningkatan produksi mukus, dan kebocoran


vaskular yang menyebabkan oedema. Pada fase lambat, mediator
dari sel mast dan limfosit T teraktivasi menyebabkan infiltrasi
neutrofil dan eosinofil. Eusinofil terdapat dalam jumlah besar pada
asma bronkial dan melepaskan leukotrien, faktor pengaktivasi
trombosit (platelet activating factor, PAF), protein kationik
eosinofil (eusinophil cationic protein, ECP) dan protein dasar
utama (major basic protein, MBP). ECP dan MBP berberan pada

kerusakan sel epitel yang menyebabkan alergen mudah masuk


(Ward, 2008).
b. Jalur saraf otonom
Pada jalur saraf otonom penyebabnya dapat berupa alergik
maupun non alergik. Penyebab alergik dan non alergik ini dapat
merangsang

sistem

saraf

otonom

yang

mengakibatkan

peningkatannya kerja saraf parasimpatis. Hasil akhir dari


peningkatan saraf parasimpatis berupa inflamasi dan HSN
(Sundaru, 2009). Obat-obat antagonis beta andrenergik juga dapat
berperan dalam asma melalui jalur saraf otonom yaitu dengan cara
memblokade 2 adrenoseptor yang berfungsi sebagai bronkodilator.
Penghambatan ini menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi pada
penderuta asma (Ward, 2008).
3. Klasifikasi Asma
Asma diklasifikasikan berdasarkan saat tanpa serangan dan saat
terjadi serangan (akut). Asma berdasarkan saat tanpa serangan dinilai
berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa.
Sedangkan asma berdasarkan saat terjadi serangan(akut) dinilai
berdasarkan berat ringan serangan (Depkes RI, 2009).
a. Asma saat tanpa serangan
Asma saat tanpa serangan digolongkan dalam beberapa
derajat yaitu intermitent, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat dengan melihat gambaran klinis secara umum pada
orang dewasa (Depkes RI, 2009).
Tabel 2.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum
pada orang dewasa.

b. Asma saat serangan


Klasifikasi asma berdasarkan serangan dinilai berdasarkan
berat ringannya serangan asma. Menurut Global Initiative for
Asma (GINA), pembagian derajat asma dilihat dari gejala dan
tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaaan laboratorium.
Derajat terapi yang diterapkan yaitu asma serangan ringan,
serangan sedang, dan serangan berat (GINA,2006).
Tabel 2.2 Klasifikasi asma menurut derajat serangan (GINA,2006).

4. Algoritma Terapi Asma


Penatalaksanaan asma memiliki perbedaan antara penatalaksanaan
serangan asma dirumah, penatalaksanaan serangan asma dirumah sakit
dan alur penatalaksanaan asma pada anak. Hal ini digambarkan pada
bagan 1, bagan 2 dan bagan 3 (Depkes RI, 2009).
Bagan 2.1. Algoritma Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah

Bagan 2.2 Alogaritma Penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit

Bagan 2.3. Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

B. Farmakologi obat asma


1. Antimuskarinik
a. Mekanisme kerja
Menghambat

efek

asetilkolin

pada

reseptor-reseptor

muskarinik secara kompetitif menghambat kontraksi otot polos


saluran nafas dan memblokade peningkatan sekresi mucus (Syarif,
2013).
b. Farmakokinetik

10

Alkaloid belladona mudah diserap dari semua tempat,


kecuali dari kulit. Pemberian atropin sebagai obat tetes mata,
terutama pada anak dapat menyebabkan absorpsi dalam jumlah
yang cukup besar lewat mukosa nasal, sehingga menimbulkan efek
sistemik dan bahkan keracunan. Dari sirkulasi darah, atropin cepat
memasuki

jaringan

dan

kebanyakan

mengalami

hidrolisis

enzimatik oleh hepar, Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam


bentuk asal. Absorpsi pirenzepin tidak lengkap (20-30%) dan
dipengaruhi adanya makanan dalam lambung. Masa paruh
eliminasinya sekitar 11 jam. Sebagian besar pirenzepin diekskresi
melalui urin dan feses dalam bentuk senyawa asalya.Pada pasien
gagal ginjal, kadar obat meningkat 30-40%, namun belUm
menyebabkan efek toksik. Hemodialisis tidak banyak bermanlaat
untuk mempercepat ekskresi obat pada keracunan pirenzepin
(Syarif, 2013).
c. Farmakodinamik
Atropin sebagai prototip antimuskarinik akan dibicarakan
sebagai contoh dan antimuskarinik lain akan disebut bila ada
perbedaan. Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat
diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau
pemberian antikolinesterase, Atropin memblok asetilkolin endogen
maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap
yang eksogen. Skopolamin memiliki efek depresi sentral yang
lebih besar daripada atropin, sedangkan efek perifer terhadap

11

jantung, usus dan otot bronkus lebih kuat dipengaruhi oleh atropine
(Syarif, 2013).
Terhdap saluran napas, alkaloid belladona mengurangi
sekret hidung, mulut, laring dan bronkus. Pemakaiannya ialah pada
medikasi preanestetik untuk mengurangi sekresi lendir pada jalan
napas. Sebagai bronkodilator, atropin tidak berguna dan jauh lebih
lemah daripada epinefrin atau aminofilin. Ipratropiurn bromida
merupakan antimuskarinik yang memperlihatkan bronkodilatasi
berarti secara khusus (Syarif, 2013).
d. Efek samping obat
Efek samping antimuskarinik hampir semuanya merupakhn
efek farmakodinamik obat. Pada orang muda efek samping mulut
kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak
membahayakan. Pada orang tua efek sentral terutama sindrom
demensia, dapat terjadi. Memburuknya retensi urin pada pasien
dengan hipertrofi prostat dan penglihatan pada pasien glaukoma,
menyebabkan obat ini kurang diterima. Elek samping sentral
kurang pada pemberian antimuskarinik yang bersifat amonium
kuaterner. Walaupun demikian selektivitas hanya berlaku pada
dosis rendah dan pada dosis toksik semuanya dapat terjadi (Syarif,
2013).
Muka merah selelah pemberian atropin bukan alergi
melainkan efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah
di wajah. Alergi terhadap atropin tidak sering ditemukan. Atropin
dan skopolamin kadang-kadang menyebabkan keracunan, terutama
pada anak, karena kesalahan dalam menghitung dosis, atau

12

sewaktu meracik obat kombinasi, karena itu atropin tidak


dianjurkan diberikan pada anak di bawah 4 tahun (Syarif, 2013).
Telah dijelaskan di atas bahwa kadang-kadang obat tetes
matapun dapat menyebabkan keracunan bila tidak dilakukan
tindakan untuk mengurangi absorpsinya. Keracunan terjadi akibat
makan buah dari tanaman yang mengandung alkaloid belladonna,
misalnya kecubung. Walaupun gejala keracunan obat ini sangat
mengeiutkan, kematian iarang terjadi (Syarif, 2013).
e. Bentuk sediaan obat

Gambar 2.1 Bentuk sediaan obat antikolinergik

Banyak sekali me-too drugs dalam golongan ini yang semuanya


tidak memberi keuntungan yang mencolok dari segi efektlvitasnya,
toksisitas dan harga. Daftar antikolinergik dapat dilihat dalam Tabel
Interaksi obat antasid natrium bikarbonat dan kombinasi magnesium
trisilikat + aluminium hidroksid meningkatkan absorpsi pirenzepin
sekitar 14-20%. Pirenzepin tidak diindikasikan untuk penderita
sindrom Zollinger- Ellison, namun bila dikombinaskan dengan AH2
(misalnya simetidin alau ranitidin) dapat menghambat produksi asam
lambung secara lebih efektil sehingga mencapai keadaan aklorhidria
(Syarif, 2013).
2. Kromolin dan nedokromil

13

Kromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan


histamin dari sel rnast paru-paru dan tempat-tempat tertentu, yang
diinduksi oleh antigen. Walaupun penggunaan kromolin terbatas, obat
ini berharga untuk prolilaksis asma bronchial dan kasus atopik tertentu.
a. Farmakodinamik
Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain.
Kromolin juga tidak menghambat respons otot tersebut terhadap
berbagai obat yang bersifat spasmogenik. Tetapi kromolin
menghambat penglepasan histamin dan autakoid lain termasuk
leukotrien dari paru-paru manusia pada proses alergi yang
diperantai lgE. Karena itu kromolin mengurangi bronkospasme.
Hambatan penglepasan leukotrien terutama penting pada penderita
asma bronkial, karena leukotrien merupakan penyebab utama
bronkokonstriksi (Syarif, 2013).
Kromolin bekerja pada sel mast paru-paru, yaitu sasaran
primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin tidak
menghambat ikatan lgE dengan sel mast atau interaksi antara
kompleks sel IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan
responssekresi akibat reaksi tersebut (Syarif, 2013).
b. Farmakokinetik
Kromolin diabsorpsi amat buruk setelah pemberian oral,
karena itu perlu diberikan secara inhalasi pada penderita asma
bronkial. Dengan turbo inhaler 10% bubuk halus kromolin dapat
mencapai paru-paru bagian dalam, kemudian kromolin diabsorpsi

14

masuk peredaran darah, dengan waktu paruh kira-kira 80 menit.


Kromolin tidak dibiotransformasi, dan diekskresi dalam bentuk
asal 50% bersama urin dan 50% dalam empedu (Syarif, 2013).
c. Bentuk sediaan obat
Natrium kromolin untuk inhalasi tersedia dalam bentuk
kapsul yang mengandung 20 mg kromolin bubuk halus dicampur
dengan laktosa. Obat ini diberikan dengan turbo inhaler 4 kali
sehari. Larutan kromolin dapat diberikan secara inhalasi dengan
menggunakan nebulizer. Larutan kromolin 4% mengandung 5,2
mg kromolin setiap kali sernprot. Dosis yang dianjurkan sekali
semprot 3-6 kali sehari. Juga tersedia pula larutan kromolin 4%
untuk tetes mata dengan dosis 4-6 kali 1-2 tetes/hari

(Syarif,

2013).
3. Antileukotrien
Penghambat leukotriene adalah obat profilaksis yang efektif
untuk asma ringan, namun peran mereka dalam terapi asma belum bisa
didefinisikan secara jelas. Obat ini diberikan secara oral. Zafirlukast
diserap dengan cepat, dengan bioavaibilitas lebih dari 90%. Pada
plasma obat ini terikat lebih dari 99% dengan protein. Zafirlukast
dimetabolisme oleh CYP2C9 di hati (Syarif, 2013).
a. Bentuk sediaan obat
1) Zafirlukast
Oral: 10, 20 mg tablets
2) Zileuton
Oral: 600 mg tablets
3) Montelukast(Singulair)
Oral: 4,5 mg chewable tablets; 10 mg tablets, 4 mg granules
b. Mekanisme kerja obat
1) Antagonis Reseptor Leukotrin

15

Cysteinyl Leukotriene (CYS-LT) merupakan konstriktor


dari otot polos bronkial. Zafirlukast dan montelukast
merupakan antagonis kompetitif dengan selektivitas dan
afinitas

yang

kuat

untuk

reseptor

CYS-LT1.

Dengan

menghambat reseptor resebut maka bronkokontriksi tidak akan


terjadi. Efek dari CYS-LT yang terkait dengan asma bronkial
dapat meningkatkan kebocoran mikrovaskular, meningkatkan
produksi lendir, dan meningkatkan eosinofil dan basofil masuk
ke dalam saluran nafas (Syarif, 2013).
2) Inhibitor Sintesis Leukotriene
Zileuton adalah inhibitor poten dan selektif untuk
aktivitas5-lipoxygenase, sedangkan pembentukan leukotrien
bergantung

pada

lipoksigenisasi

asam

arakidonatoleh5-

lipoxygenase (Syarif, 2013).


4. Simpatomimetik
a. Mekanisme Kerja
Agonis adrenoreseptor merupakan salah satu contoh dari
obat simpatomimetik. Obat-obat golongan ini memiliki efek
melemaskan otot polos saluran napas dan menghambat pengeluaran
berbagai mediator bronkokonstriksi dari sel mast. Golongan obat ini
juga

dapat

menghambat

kebocoran

mikrovaskular

dengan

meningkatkan transport mukosilia dengan memperbesar aktivitas


silia (Katzung, 2014). Cara kerja obat ini dalam melemaskan otot
polos

adalah

dengan

mengaktivasi

adenilat

siklase

untuk

meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cyclic adenosine

16

monophosphate, cAMP). Ketika kadar cAMP meningkat maka akan


memberikan efek relaksasi pada otot polos (Ward, 2008).
b. Farmakokinetik
Obat simpatomimetik terutama agonis adrenoreseptor
paling baik diberikan melalui inhalasi. Hal ini disebabkan karena
dapat menghasilkan efek lokal yang paling besar pada otot polos
saluran napas dengan toksisitas sistemik paling kecil (Katzung,
2014). Untuk onset dan masa kerja dari obat agonis adrenoreseptor
berbeda-beda. Pada tabel 3 dapat dilihat perbandingan efek
farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat simpatomimetik
yang digunakan pada terapi asma (Depkes RI, 2007).
Tabel 2.3. Efek farmakologi dan sifat farmakokinetik

c. Farmakodinamik
Pemakaian obat simpatomimetik melalui inhalasi memiliki
kemungkinan dapat menyebabkan aritmia jantung dan hipoksemia
secara akut dan tafilaksis atau toleransi jika diberikan berulang. Efek
dilatasi pemberian agonis 2 dapat meningkatkan perfusi bagian-bagian
paru yang kurang mendapat ventilasi dan secara transien menurunkan
tegangan oksigen arteri (PaO2). Namun, efek ini biasanya kecil dan
dapat terjaddi pada pemberian setiap obat bronkodilator, makna efek

17

ini bergantung pada PaO2 awal pasien (Katzung, 2014). Pada pasien
dengan gangguan fungsi jantung harus hati-hati menggunakan obat
golongan ini karena agonis beta adrenergik dapat menyebabkan efek
kardiovaskular yang bermakna seperti meningkatkan ritme jantung,
tekanan darah dan terjadi perubahan EKG. (Depkes RI, 2007).
d. Bentuk Sediaan Obat
Secara umum pemakaian obat simpatomimetik adalah melalui inhalasi
(Katzung, 2014). Untuk dosis dan cara penggunaan setiap obat
golongan agonis beta adrenergik bisa dilihat pada tabel 4.
Tabel 2.4. Dosis dan cara penggunaan obat simpatomimetik

18

e. Efek Samping Obat


Ada bukti bahwa pemberian agonis beta adrenergic dalam kerja lama
jangka panjang berisiko menimbulkan efek samping meskipun agonis
beta adrenergic adalah bronkodilator yang tampaknya aman dan efektif
jika digunakan sesuai kebutuhan untuk menghilangkan gejala
(Katzung, 2014). Efek samping dari masing-masing obat telah
dirangkum dalam tabel 5 (Depkes RI, 2007).

Tabel 2.5. Efek samping obat agonis beta adrenergic

19

5. Metil xantin
Ada 3 obat golongan metilxantin yang terpenting yaitu; teofilin,
teobromin dan kafein.
a. Jenis
Bronkodilator
b. Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan
turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan
pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis,
meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter
esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga
merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek
kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan
demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki

20

kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran


pernapasan kronik.
Efek farmakologi teofilin dengan menginhibisi aktivitas
fosfodiesterase yang dihasilkan oleh peningkatan kadar cAMP
dalam otot polos saluran nafas, tapi hal ini berlaku pada dosis besar
dibandingkan dosis terapi. Teofilin dapat menunjukkan efek
bronkodilatasi dengan memblok receptor adenosin, selain itu
teofilin juga telah dibuktikan dapat menghambat degranulasi sel
mastosit, mengurangi kebocoran mikrovaskular, dan meningkatkan
bersihan mikrosiliar (Staff farmakologi UNSRI, 2004).
Efek Farmakodinamik, teofilin dimetabolisme

oleh

sitokrom P-450 dan kecepatan metabolisme bervariasi luas diantara


subjek subjek. Karena teofilin mempunyai kisaran terapi yang
sempit (10-20mg/l), perlu dilakukan pemantauan kadar teofilin
dalam darah. Teofilin di eliminasi dalam hati dan diekskresikan
dalam urin (Staff farmakologi UNSRI, 2004). Obat-obat golongan
metilxantin berpengaruh pada beberapa organ tubuh yaitu :
1) Pada susunan saraf pusat (SSP)
b) Meningkatkan kesiagaan
c) Mengurangi kelelahan
d) Kecemasan dan insomnia (kafein)
e) Pada dosis tinggi menyebabkan kejang
f) Tremor (aminofili)
2) Kardiovaskuler
a) Kronotropik dan inotropik (+)
b) Meningkatkan aliran darah perifer disebabkan viskositas darah
menurun
c) Di ginjal, diuretik lemah
d) GIT, merangasang sekresi getah saluran pencernaan
e) Otot polos, bronkodilatasi
c. Sediaan

21

Injeksi: 1mg/ml, 2mg/ml, 5mg/ml


Tablet, 100mg, 200mg
Larutan oral, 105mg/5ml
Supositoria rectal, 250mg, 500mg
d. Dosis
1) Pemuatan:
IV, 5-6 mg/kg (berikan dalam 20-30 menit) Atau PO/rectal,
6mg/kg
Setiap 0,5

mg/kg

teofilin

(0,6mg/kg

aminofilin)

akan

menigkatkan konsentrasi teofilin 1g/ml.


2) Pemeliharaan:
Infus IV, 0,5-1mg/kg/jam
PO, 2-4mg/kg setiap 6-12 jam
e. Efek samping
1)
2)
3)
4)
5)

Kardiovaskular: Palpitasi, takikardia sinus, aritmia ventrikuler


Pulmoner: Takipneu
SSP: Kejang, Sakitkepala, iritabilitas
GI: Mual, muntah, nyeriepigastrik
Lain: Hiperglikemia, sindrom hormone antidiuretik yang
taksemestinya (SIADH)

f. Indikasi dan Kontraindikasi


1) Indikasi: Bronkodilator pada obstruksi jalan napas reversible
akibat asma atau PPOM. Penggunaan tidak resmi: Stimulan
pernapasan dan miokardial pada apnea bayi
2) Kontraindikasi: Aritmia yang tidak terkendali, Hipertiroidisme.
6. Anti IgE
Omalizumab dan kromolin merupakanobat yang agen biologis
yang

dipercaya

monoklonal

dalam

mengatasi

rekombinan.

asma

Antibodi

Merupakan

Monoklonal

antibodi
Anti-IgE

(Immunoglobulin E) pendekatan pada pengobatan asma yang


mengeksploitasi perkembangan biologi molekuler untuk target

22

antibodi IgE. Antibodi Monoklonal Anti-IgE menghambat terjadinya


ikatan IgE pada sel mast tetapi tidak mengaktifkan IgE yang telah
terikat pada sel-sel tersebut dan karenanya tidak memicu terjadinya
degranulasi sel mast.
a. Farmakodinamik
Mekanisme kerja : IgE yg terikat omalizumab tidak dapat berikatan dg
reseptor IgE pada mast cell dan basofil sehingga tidak terjadi reaksi
alergi.
b. Farmakokinetik
Absorbsi untuk obat golongan anti IgE ini sangat buruk dengan
pemberian cara apapun kerjanya bersifat local. Sejumlah kecil dapat
mencapai sirkulasi sistemik setelah inhalasi. Distribusi, karena hanya
sejumlah kecil yang diabsorbsi, maka distribusinya tidak diketahui.
Untuk metabolisme dan ekskresi, sejumlah kecil yang diabsorbsi
diekskresikan dalam empedu dan urin tanpa mengalami perubahan.
c. Sediaan
Tablet, 100mg, 200mg
Caps, 20 mg
d. Dosis
Dewasa : 200 mg 4x sehari
Anak anak 2-12 th: 100 mg 4x sehari
Anak< 2 th : 20 mg/kg/haridalam 4 dosisterbagi
Inhalasi (dewasadananak> 5 th): 20 mg kapsul inhaler
e. Efek samping
i. SSP: sakitkepala, irritabilitas dan sulit tidur
ii. Mata danTHT : Iritasi hidung, bersin, rasa terbakar pada okuler,
rasa tersengat dan rasa tidak enak.
iii. GI: diare, nyeri abdomen (peningkatan asam urat, nyeri sendi,
edema)
iv. Respirasi :iritasi tenggorokan dan trakea dan batuk
v. Derm: ruam, eritemurtikaria
f. Kontraindikasi

23

Dikontraindikasikan pada hipersensitivitas, serangan astma akut,


kehamilan dan menyusui.
7. Kortikosteroid
a. Mekanisme Kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik
dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel
yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik
dengan

memproduksi

AMP

siklik,

inhibisi

mekanisme

bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.


Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara
efektif dengan efek sistemik minimal (Kemenkes, 2007).
b. Indikasi dan Kontraindikasi
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien
yang

memerlukan

kortikosteoid

sistemik,

pasien

yang

mendapatkan keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi


pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan
sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma
yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain,
pasien yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik
atau terapi bronkhitis non asma.
Bronkospasma akut yang membaik, terapi utama pada status
asmatikus atau episode asma akut lain yang memerlukan tindakan
intensif, hipersensitif terhadap beberapa komponen, infeksi jamur
sistemik, kultur sputum menunjukkan hasil positif untuk Candida
albicans (Kemenkes, 2007).
c. Dosis dan Sediaan
i. Prednisone
a Sediaan : Tablet

24

Dosis
Dewasa : 5 60 mg dalam 2 4 dosis terbagi
Anak anak : 0,14 2 mg/kg berat badan setiap hari
dalam 4 dosis terbagi

ii. Triamsinolon
a Sediaan : Aerosol oral
b Dosis
- Dewasa : 2 inhalasi (kira-kira 200 mcg), 3 sampai 4 kali
sehari atau 4 inhalasi (400 mcg) dua kali sehari. Dosis
-

harian maksimum adalah 16 inhalasi (1600 mcg).


Anak-anak 6 12 tahun : Dosis umum adalah 1-2 inhalasi
(100-200 mcg), 3 sampai 4 kali sehari atau 2-4 inhalasi
(200-400 mcg) dua kali sehari. Dosis harian maksimum

adalah 12 inhalasi (1200 mcg).


iii. Flutikason
a Sediaan : Aerosol
b Dosis :Usia>12 tahun Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma dengan
bronkodilator saja : 88 mcg dua kali sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani
terapi asma dengan kortikosteroid inhalasi : 88 220 mcg sehari. Pasien yang
sebelumnya menjalani terapi asma dengan kortikosteroid oral, dosis maksimum
880 mcg dua kali sehari (Kemenkes, 2007).
c Efek Samping
-Iritasi tenggorokan
-Suara serak, batuk, mulut kering
-Ruam
-Pernafasan berbunyi
-Edema wajah (Kemenkes, 2007).
C. Pengobatan Tuberculosis Pada Anak
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi dan
profilaksis (pencegahan). Terapi Tb diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis

25

primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sajut TB (profilaksis


sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah :
1. Obat Tb diberikan dalam panduan obat tidak boleh diberikan sebagai
mono terapi.
2. Pemberian gizi yang adekuat.
3. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

Berikut ini adalah panduan OAT (Obat Anti Tuberculosis) pada anak:
1. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler.
2. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka
penjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan kekambuhan.
3. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap :
a. Tahap intensif selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
b. Tahap lanjutan selam 4-10 bulan selanjutnya, tergantung
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap
hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
4. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
5. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis.

26

Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian


kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
dengan Tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian kortikosteroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadi perlekatan jaringan.
6. Panduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :
a. Kategori anak dengan 3 macam obat : 2HRZ/4HR
b. Kategori anak dengan 4 macam obat : 2HRZE(S)/4-10HR
7. Panduan OAT kategori anak diberikan dalam bentuk paket berupa
Obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.
8. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Tabel 2.6 Skema panduan OAT anak

Catatan :Mengacu pada upaya Program Nasional Pengendalian TB setelah


pemberian pengobatan selama 6 bulan, dapat dilaporkan sebagai
pasien dengan hasil akhir : pengobatan lengkap.
Tabel 2.7 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang bisa dipakai dan dosisnya.

27

Panduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap


sesuai dengan tabel-tabel berikut ini :
Tabel 2.8 Panduan OAT kategori anak

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan


keteraturan minum obat, panduan OAT disediakan dalam bentuk paket
KDT (Kombinasi Dosis Tetap) /FDC (Fixed Dose Combination). Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk satu mas pengobatan. Paket KDT
untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu Rifampisi (R) 75mg, Isoniazid
(H) 50mg, dan Pirazinamid (Z) 150mg, serta obat fase lanjutan yaitu R
75mg dan H 50mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat
pada tabel berikut.

28

Tabel 2.9 Dosis Kombinasi pada TB Anak

BB > 30 kg diberikan 4 tablet atau menggunakan KDT dewwasa.


Keterangan :
R = Rifampisin; H = Isoniazid; Z = Pirazinamid
1. Bayi dibawah 5 kg pemberian AOT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan.
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu.
3. Untuk anak obesitas,dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal
(sesuai umur).
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah dan tidak
boleh digerus).
5. Obat dapat debarikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah atau dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan.
7. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.

D. Evaluasi Pengobatan dan Farmakologi Obat Tuberculosis


1. Evaluasi Pengobatan TB

29

Evaluasi

penderita

meliputi

evaluasi

klinik,

bakteriologik,

radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat


(PDPI, 2006).
a. Evaluasi klinik
1) Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
2) Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.
3) Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
b. Evaluasi bakteriologik (0 2 6 /9)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
1) Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a) Sebelum pengobatan dimulai.
b) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif).
c) Pada akhir pengobatan.
2) Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (0 2 6/9)

c. Evaluasi radiologik (0 2 6/9)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1) Sebelum pengobatan.
2) Setelah 2 bulan pengobatan.
3) Pada akhir pengobatan
d. Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap.
1) Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin.
2) Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, asam urat untuk
data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.
3) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
4) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol.
5) Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri.
6) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi

30

klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan


pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman.

e. Evalusi keteraturan berobat


Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang
digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum/tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang
diberikan

kepada

penderita,

keluarga

dan

lingkungan.

Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah


resistensi (PDPI, 2006).
f. Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui
terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh (PDPI, 2006).
2. Farmakologi Obat TB
Berikut dijelaskan mengenai OAT atau Obat Anti Tuberkulosis
(Depkes, 2005).
a. Isoniazid (H)
1) Identitas
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
isoniazid 100 mg dan 300 mg/ tablet. Nama lain dari isoniazid
adalah asam nicotinathidrazida, isonikotinilhidrazida, ataupun
INH.
2) Dosis

31

Untuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak


anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari.
Untuk pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk
dokter/ petugas kesehatan lainnya. Umumnya dipakai bersama
dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa
dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mgper kg berat badan
sampai dengan 900 mg, kadang-kadang 2 kali atau 3 kali
seminggu. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg berat badan.
Atau 20 40 mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali
seminggu.
3) Indikasi
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk
tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk
profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat
digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis
lain.
4) Kontraindikasi.
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau
reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan
hati akut, tiap etiologi: kehamilan(kecuali risiko terjamin).
5) Kerja Obat.
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesis
mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri.
6) Dinamika/Kinetika Obat.

32

Pada saat dipakai isoniazid akan mencapai kadar plasma


puncak dalam 1 2 jam sesudah pemberian peroral dan lebih
cepat sesudah suntikan im; kadar berkurang menjadi 50 % atau
kurang dalam 6 jam. Mudah difusi ke dalam jaringan tubuh,
organ, atau cairan tubuh. Juga terdapat dalam liur, sekresi bronkus
dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik. Metabolisme di
hati, terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi (kecepatan
asetilasi umumnya lebih dominan). Waktu paruh plasma 2-4 jam
diperlama pada insufiensi hati, dan pada inaktivator lambat.
Lebih kurang 75-95 % dosis diekskresikan di kemih dalam 24
jam sebagai metabolit, sebagian kecil diekskresikan di liur dan
tinja. Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI.
7) Interaksi.
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450
isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A.
Pemakaian isoniazid bersamaan dengan obat-obat tertentu,
mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat
menimbulkan risiko toksik. Antikonvulsan seperti fenitoin dan
karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid.
Isofluran, parasetamol dan karbamazepin menyebabkan
hepatotoksisitas, antasida dan adsorben menurunkan absopsi,
sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP, menghambat
metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan
kadar plasma teofilin. Efek rifampisin lebih besar dibanding efek
isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan

33

rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-obatan


tersebut, seperti fenitoin dan karbamazepin
8) Efek Samping
Efek samping isoniazid, diantaranya:
a) Dalam hal neurologi, diantaranya parestesia, neuritis perifer,
gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus,
vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia,
amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku,
depresi, ingatan tak sempurna, hiperrefleksia, otot melintir,
konvulsi.
b) Hipersensitifitas, demam, menggigil, eropsi kulit (bentuk
morbili, mapulo papulo, purpura, urtikaria), limfadenitis,
vaskulitis, keratitis.
c) Efek hepatotoksik diantaranya SGOT dan SGPT meningkat,
bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis fatal.
d) Efek metabolisme dan endrokrin, diantaranya defisiensi
Vitamin

B6,

pelagra,

kenekomastia,

hiperglikemia,

glukosuria, asetonuria, asidosismetabolik, proteinurea.


e) Pada hemotologi, yaitu agranulositosis, anemia aplastik, atau
hemolisis,

anemia,

trambositopenia,

eusinofilia,

methemoglobinemia.
f) Pada saluran cerna, yaitu mual, muntah, sakit ulu hati,
sembelit.
g) Intoksikasi lain, seperti sakit kepala, takikardia, dispenia,
mulut kering, retensi kemih (pria), hipotensi postura, sindrom
seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik.
9) Peringatan/Perhatian
Diperingatkan hati-hati jika menggunakan isoniazid pada
sakit hati kronik, disfungsi ginjal, riwayat gangguan konvulsi.
Perlu dilakukan monitoring bagi peminum alkohol karena

34

menyebabkan hepatitis, penderita yang mengalami penyakit hati


kronis aktif dan gagal ginjal, penderita berusia lebih dari 35
tahun, kehamilan, pemakaian obat injeksi dan penderita dengan
seropositif HIV. Disarankan menggunakan piridoksin 10-20 mg
untuk mencegah reaksi adversus
10) Overdosis.
Gejala yang timbul 30 menit sampai 3 jam setelah
pemakaian berupa mual, muntah, kesulitan berbicara, gangguan
penglihatan atau halusinasi, tekanan pernafasan dan SSP, kadang
kadang asidosis, asetonurea, dan hiperglikemia pada pemeriksaan
laboratorium. Penanganan penderita asimpatomimetik dilakukan
dengan cara memberikan karbon aktif, mengosongkan lambung,
dan berikan suntikan IV piridoksin sama banyak dengan isoniazid
yang diminum, atau jika tidak diketahui, berikan 5 gram suntikan
piridoksin selama 30-60 menit untuk dewasa, dan 80 mg/kg berat
badan untuk anak-anak.
Sedangkan penanganan

penderita

simpatomimetik,

ditangani dengan memastikan pernafasan yang cukup, dan


berikan dukungan terhadap kerja jantung. Jika jumlah isoniazid
diketahui, berikan infus IV piridoksin dengan lambat 3 5 menit,
dengan jumlah yang seimbang dengan jumlah isoniazid. Jika
tidak diketahui jumlah isoniazid, berikan infus IV 5 gram
piridoksin untuk dewasa dan 80 mg/kg berat badan untuk anakanak.
11) Informasi untuk Penderita

35

Sebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan


tentang alergi yang pernah dialami dan penggunaan obat lain bila
menggunakan isoniazid.
Penderita perlu diberikan

informasi

tentang

cara

penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang
akan dirasakan.
a) Jika obat dalam bentuk cair seperti sirup, agar menggunakan
takaran yang tepat sesuai petunjuk dalam kemasan obat.
b) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan
kategori penyakit atau petunjuk dokter/petugas kesehatan
lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari,
jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.
c) Dapat dianjurkan menggunakan Vitamin

B6

untuk

mengurangi pengaruh efek samping.


d) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu
diberitahukan berat badan kepada petugas,
e) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun
jika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu
minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah
jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat
sesuai dengan waktu/dosis berikutnya.
f) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter atau
petugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.
g) Jangan makan keju, ikan tuna dan sarden karena mungkin
menimbulkan reaksi.
h) Sampaikan kepada dokter / petugas kesehatan lain jika
mengalami kulit gatal, merasakan panas, sakit kepala yang
tidak tertahankan, atau kesulitan melihat cahaya, kurang

36

nafsu makan, mual, muntah, merasa terbakar, pada tangan


dan kaki.
i) Menghindari meminum alokhol
j) Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapat
mempengaruhi pemeriksaan kadar gula dalam air seni yakni
hasil palsu.
Obat ini harus disimpan jauh dari jangkauan anak anak.
dihindari dari panas dan cahaya langsung, simpan ditempat
kering dan tidak lembab, serta untuk sediaan cairan seperti sirup
agar tidak disimpan didalam kulkas.
b. Rifampisin
1) Identitas.
Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg,
450 mg, 600 mg.
2) Dosis
Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu
kali sehari, atau 600 mg 2 3 kali seminggu. Rifampisin harus
diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi dan
anak-anak,

dosis

diberikan

dokter/tenaga

kesehatan

lain

berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari


maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5 15 mg per
kg berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah 75
mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 20 kg, dan 300 mg
untuk 20 -33 kg.
3) Indikasi
Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan
dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.
4) Kerja Obat

37

Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman semi-dormant


yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.Rifampicin menghambat
enzim RNA polymerase.
5) Mekanisme kerja
Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri
Ribose Nucleotida Acid (RNA)-polimerase sehingga sintesis RNA
terganggu.
6) Dinamika/ Kinetika Obat
Obat ini akan mencapai kadar plasma puncak (berbedabeda dalam kadar) setelah 2- 4 jam sesudah dosis 600 mg, masih
terdeteksi selama 24 jam. Tersebar merata dalam jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrosfinal, dengan kadar paling
tinggi dalam hati, dinding kandung empedu, dan ginjal. Waktu
paruh plasma lebih kurang 1,5 - 5 jam (lebih tinggi dan lebih lama
pada disfungsi hati, dan dapat lebih rendah pada penderita terapi
INH). Cepat diasetilkan dalam hati menjadi metaboltit aktif dan
tak aktif, masuk empedu melalui sirkulasi enterohepar. Hingga
30% dosis diekskresikan dalam kemih, lebih kurang setengahnya
sebagai obat bebas. Meransang enzim mikrosom, sehingga dapat
menginaktifkan

obat

tertentu.

Melintasi

plasenta

dan

mendifusikan obat tertentu ke dalam hati.


7) Interaksi
Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme
metadon,

absorpsi

dikurangi

oleh

antasida,

mempercepat

metabolisme, menurunkan kadar plasma dari dizopiramid,


meksiletin, propanon dan kinidin.
Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk
cytochrome

P-450

isoenzymes,

mengakibatkan

turunnya

38

konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzim


tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama
pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah
rifampisin dihentikan.
8) Efek Samping
a) Efek samping pada saluran cerna, yaitu rasa panas pada perut,
sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung, kejang
perut, diare.
b) Pada SSP, diantaranya letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia,
bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada
anggota, otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian
frekuensi rendah sementara (jarang).
c) Hipersensitifitas, dengan gejala demam, pruritis, urtikaria,
erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia, hemolisis,
hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal
akut (reversibel).
d) Pada hematologi diantranya trombositopenia, leukopenia
transien, anemia, termasuk anemia hemolisis.
e) Intoksikasi lain, seperti hemoptisis, proteinurea rantai rendah,
gangguan menstruasi, sindrom hematoreal.
9) Peringatan/Perhatian
Keamanan penggunaan selama kehamilan, dan pada anak
anak usia kurang 5 tahun belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan
pada penyakit hati, riwayat alkoholisme, penggunaan bersamaan
dengan obat hepatotoksik lain.
10) Overdosis
Gejala yang kadang kadang timbul adalah mual, muntah,
sakit perut, pruritus, sakit kepala, peningkatan bilirubin, cokelat
merah pada air seni, kulit, air liur, air mata, buang air besar,

39

hipotensi, aritmia ventrikular. Pemberian dosis yang berlebih pada


ibu hamil dapat menyebabkan gangguan pada kelahiran
berhubungan dengan masalah tulang belakang (spina bifida).
Penanganan mual dan muntah dengan memberikan karbon aktif,
dan pemberian antiemetik. Pengurangan obat dengan cepat dari
tubuh diberikan diuresis dan kalau perlu hemodialisis.
11) Informasi untuk Penderita
Sebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang :
a) Alergi yang pernah dialami.
b) Penggunaan obat lain bila menggunakan rifampisin.
Penderita

perlu

diberikan

informasi

tentang

cara

penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang
akan dirasakan, yakni:
a) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan
kategori penyakit atau petunjuk dokter/petugas kesehatan
lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari,
jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.
b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu
diberitahukan berat badan kepada petugas.
c) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun
jika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu
minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah
jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat
sesuai dengan waktu / dosis berikutnya.
d) Minum sesuai jadwalyang diberitahukan oleh dokter atau
petugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.

40

e) Beritahukan kepada dokter/petugas kala sedang hamil, karena


penggunaan

pada

minggu

terakhir

kehamilan

dapat

menyebabkan pendarahan pada bayi dan ibu.


f) Beritahukan kepada dokter / petugas kesehatan lain kalau
sedang meminum obat lain karena ada kemungkinan
interaksi.
g) Obat ini dapat menyebabkan kencing, air ludah, dahak, dan
air mata akan menjadi coklat merah.
h) Bagi yang menggunakan lensa kontak (soft lens), disarankan
untuk melepasnya, karena akan bereaksi atau berubah warna.
i) Bagi peminum alkohol atau pernah/sedang berpenyakit hati
agar menyampaikan juga kepada dokter/tenaga kesehatan lain
karena dapat meningkatkan efek samping.
j) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jika
mengalami efek samping berat.
k) Jika akan melakukan pemeriksaan diagnostik kencing dan
darah, beritahukan bahwa sedang meminum rifampisin
kepada petugas laboratorium atau dokter dan tenaga
kesehatan lain karena kadang-kadang akan mempengaruhi
hasil pemeriksaan.
12) Penyimpanan Obat Yang Benar
Obat ini harus disimpan :
a) Jauh dari jangkauan anakanak.
b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.
c) Simpan ditempat kering dan tidak lembab.
d) Jangan disimpan obatyang berlebih atau obat yang dibatalkan
penggunaannya.
c. Pirazinamid
1) Identitas.
Sediaan dasar pirazinamid adalah tablet 500 mg/tablet.
2) Dosis
Dewasa dan anak sebanyak 15 30 mg per kg berat badan,
satu kali sehari. Atau 50 70 mg per kg berat badan 2 3 kali

41

seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti


tuberkulosis lainnya.
3) Indikasi
Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi
dengan anti tuberkulosis lain.
4) Kontraindikasi
Terhadap gangguan fungsi

hati

parah,

porfiria,

hipersensitivitas.
5) Kerja Obat
Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang berada
dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan
pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari
basil tuberkulosa.
6) Dinamika/Kinetika Obat
Pirazinamid cepat terserap dari saluran cerna. Kadar plasma
puncak dalam darah lebih kurang 2 jam, kemudian menurun.
Waktu

paruh

kira-kira

jam.

Dimetabolisme

di

hati.

Diekskresikan lambat dalam kemih, 30% dikeluarkan sebagai


metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam.
7) Interaksi
Bereaksi dengan reagen acetes dan ketostix yang akan
memberikan warna ungu muda sampai coklat.
8) Efek Samping
Efek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,
hepatomegali, ikterus; gagal hati, mual, muntah, artralgia, anemia
sideroblastik, urtikaria.
9) Keamanan penggunaan
Pada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan
pada penderita dengan encok atau riwayat encok keluarga atau
diabetes melitus, dan penderita dengan fungsi ginjal tak
sempurna, juga pada penderita dengan riwayat tukak peptik.
10) Peringatan/Perhatian

42

Hanya dipakai pada terapi kombinasi anti tuberkulosis


dengan pirazinamid, namun dapat dipakai secara tunggal
mengobati penderita yang telah resisten terhadap obat kombinasi.
Obat ini dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal
sehingga menimbulkan hiperuremia. Jadi penderita yang diobati
pirazinamid harus dimonitor asam uratnya.
11) Overdosis
Data mengenai overdosis terbatas,

namun

pernah

dilaporkan adanya fungsi abnormal dari hati, walaupun akan


hilang jika obat dihentikan.
12) Informasi Untuk Penderita
Sebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang alergi yang pernah dialami, penggunaan obat lain bila
menggunakan pirazinamid. Penderita perlu diberikan informasi
tentang cara penggunaan yang baik dari obat ini dan
kemungkinan reaksi yang akan dirasakan, yakni:
a) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan kategori
penyakit atau petunjuk dokter/ petugas kesehatan lainnya, dan
diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari, jangan
meminum dua kali pada hari berikutnya.
b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu
diberitahukan berat badan kepada petugas.
c) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun jika
lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum
obat seharusnya. Tetapi jika lewat waktu sudah jauh, dan
dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai dengan
waktu/dosis berikutnya.

43

d) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter atau


petugas kesehatan lain, misalnya pada pagi hari.
e) Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapat
mempengaruhi pemeriksaan kadar keton dalam air seni yakni
hasil palsu.
f) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jika
merasakan sakit pada sendi, kehilangan nafsu makan, atau
mata menjadi kuning.
13) Penyimpanan Obat Yang Benar
Obat ini harus disimpan :
a) Jauh dari jangkauan anak anak.
b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.
c) Simpan ditempat kering dan tidak lembab.
d) Untuk sediaan cairan seperti sirup agar tidak disimpan
didalam kulkas.
d. Etambutol
1) Identitas
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet.
2) Dosis
Untuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15-25
mg mg per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan
awal diberikan 15 mg/kg berat badan, dan pengobatan lanjutan 25
mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga memberikan
50 mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali
seminggu. Obat ini harus diberikan bersama dengan obat anti
tuberkulosis lainnya. Tidak diberikan untuk anak dibawah 13
tahun dan bayi.
3) Indikasi
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis
dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada

44

resistensi.

Jika

risiko resistensi

rendah,

obat

ini

dapat

ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia


kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual.
4) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik.
5) Kerja Obat
Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan
kuman

TB

yang

telah

resisten

terhadap

isoniazid

dan

streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan


sintesis RNA pada kuman yang sedang membelah, juga
menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel.
6) Dinamika/Kinetika Obat
Obat ini diserap dari saluran cerna. Kadar plasma puncak 2
- 4 jam dengan bioavaliabilitas 77+ 8%. Lebih kurang 40% terikat
protein plasma. Diekskresikan terutama dalam kemih. Hanya 10%
berubah menjadi metabolit tak aktif. Klirens 8,6% + 0,8 %
ml/menit/kg BB dan waktu paru eliminasi 3.1 + 0,4 jam. Tidak
penetrasi meninges secara utuh, tetapi dapat dideteksi dalam
cairan

serebrospina

pada

penderita

dengan

meningetis

tuberkulosa
7) Interaksi
Garam aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda
dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika diperlukan garam
alumunium agar diberikan dengan jarak beberapa jam.
8) Efek Samping
Efek samping yang muncul antara lain gangguan
penglihatan

dengan

penurunan

visual,

buta

warna

dan

penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan


bersifat subjektif, bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera

45

dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan


akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala, disorientasi,
mual, muntah dan sakit perut.
9) Peringatan/Perhatian
Jika etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan
fungsi mata sebelum pengobatan. Turunkan dosis pada gangguan
fungsi ginjal, usia lanjut, kehamilan, ingatkan penderita untuk
melaporkan gangguan penglihatan. Etambutol tidak diberikan
kepada penderita anak berumur dibawah umur 6 tahun, karena
tidak dapat menyampaikan reaksi yang mungkin timbul seperti
gangguan penglihatan.
10) Informasi untuk Penderita
Sebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang:
a) Alergi yang pernah dialami karena etambutol.
b) Penggunaan obat lain bila menggunakan etambutol.
Penderita perlu diberikan informasi tentang

cara

penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang
akan dirasakan, yakni:
a) Obat ini diminum dengan makanan atau pada saat perut isi.
b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu
diberitahukan perubahan berat badan kepada petugas.
c) Harus dipakai setiap hari atau sesuaidengan dosis, namun jika
lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum
obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah jauh,
dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai
dengan waktu/dosis berikutnya.
d) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter atau
petugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.

46

e) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jika


mengalami rasa sakit pada sendi, sakit pada mata, gangguan
penglihatan,

demam,

merasa

terbakar.

Khusus

untuk

gangguan mata dapat menghubungi dokter mata.


11) Penyimpanan Obat Yang Benar
Obat ini harus disimpan :
a) Jauh dari jangkauan anak anak.
b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.
c) Simpan ditempat kering dan lembab
e. Streptomisin
1) Identitas
Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk injeksi 1,5
gram/vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan bersama
dengan Aqua Pro Injeksi dan spuit.
2) Dosis
Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular,
setelah dilakukan uji sensitifitas. Dosis yang direkomendasikan
untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat badan maksimum 1 gram
setiap hari, atau 25 30 mg per kg berat badan, maksimum 1,5
gram 2 3 kali seminggu. Untuk anak 20 40 mg per kg berat
badan maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 25 30 mg per kg
berat badan 2 3 kali seminggu. Jumlah total pengobatan tidak
lebih dari 120 gram.
3) Indikasi
Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid,
rifampisin,

dan

pirazinamid,

atau

untuk

penderita

yang

dikontraindikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.


4) Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau
aminoglikosida lainnya.
5) Kerja Obat

47

Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang sedang


membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesis
protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal.
6) Dinamika/ Kinetika Obat
Absorpsi dan nasib streptomisin adalah kadar plasma
dicapai sesudah suntikan IM 1 2 jam, sebanyak 5 20 mcg/ml
pada dosis tunggal 500 mg, dan 25 50 mcg/ml pada dosis 1.
Didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dan cairan otak, dan akan
dieliminasi dengan waktu paruh 2 3 jam kalau ginjal normal,
namun 110 jam jika ada gangguan ginjal.
7) Interaksi
Interaksi dari streptomisin adalah
siklosporin,

sisplatin

menaikkan

risiko

dengan

kolistin,

nefrotoksisitas,

kapreomisin, dan vankomisin menaikkan ototoksisitas dan


nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan risiko hipokalsemia,
toksin

botulinum

meningkatkan

hambatan

neuromuskuler,

diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas, meningkatkan


efek relaksan otot yang non depolarising, melawan efek
parasimpatomimetik dari neostigmen dan piridostigmin.
8) Efek Samping
Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif
100g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat
khusus.
9) Peringatan/Perhatian
Peringatan untuk penggunaan streptomisin, hati hati pada
penderita gangguan ginjal, lakukan pemeriksaan bakteri tahan
asam, hentikan obat jika sudah negatif setelah beberapa bulan.

48

Penggunaan intramuskuler agar diawasi kadar obat dalam plasma


terutama untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
10) Informasi untuk Penderita
Sebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang:
a) Alergi yang pernah dialami.
b) Apakah dalam keadaan hamil atau tidak, karena ada risiko
gangguan pendengaran dan gangguan ginjal untuk bayi.
c) Perhatian untuk anak ada kemungkinan mengalami gangguan
pendengaran dan ginjal.
d) Orang tua ada kemungkinan

mengalami

gangguan

pendengaran dan ginjal.


e) Penggunaan obat lain bila menggunakan streptomisin.
Penderita perlu diberikan informasi tenang

cara

penggunaan yang baik dari obat ini, yakni:


a) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu
diberitahukan berat badan kepada petugas.
b) Harus dipakai setiap hari ( atau berdasarkan petunjuk dokter)
diupayakan datang ke petugas untuk di suntik pada jam yang
sama.
11) Penyimpanan Obat Yang Benar
Obat ini harus disimpan :
a) Dihindari dari panas dan cahaya langsung
b) Jangan disimpan obat yang berlebih, obat yang sudah
dilarutkan dalam air untuk injeksi atau obat yang dibatalkan
penggunaannya.
E. Farmakologi Obat Pernafasan Lain
1. Antihistamin
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau
menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok
reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya hanya
dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis

49

reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2, maka


secara farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe ,
yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini,
antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis
reseptor-H1 (sH1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis
reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam).
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar
(Andra,2006):
a. Menghambat reseptor H1
H1-blockers (antihistaminika klasik) Mengantagonis histamin
dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding
pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim.
Begitu pula melawan efek histamine di kapiler dan ujung saraf
(gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistmin tidak
dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi Dahulu antihistamin
dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan
penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP,
yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.
b. Menghambat reseptor H2
H2-blockers (Penghambat asma) obat-obat ini menghambat
secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat
histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di
lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida,
juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun.
Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus
guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat
pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula

50

sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas lambung


(cisaprida) pada penderita reflux. Penghambat asam yang dewasa
ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine, famotidin,
nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa
heterosiklis dari histamin.
Antihistamin adalah antagonis reseptor histamin H1 (AH1).
Semua kelas antihistamin H1 struktur kimianya menyerupai
histamin.
a. Farmakologi
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan
bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum
aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan
reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular,
pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta
napas. Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan
sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal,
seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang
efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan
reaksi fase akhir (Dripa, 2005).
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga
memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih
selektif pada reseptor perifer dan juga bisa

menurunkan

lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di


samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi
tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi
baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan

51

menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran


basofil

plasma,

atau

menghambat

pelepasan

ion

kalsium

intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan


bekerja

pada

leukotriene

dan

prostaglandin,

atau

dengan

menghasilkan efek anti-platelet activating factor.


Antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi.
Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin
H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki
efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat
pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel
epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori
dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin
menjelaskan

kenapa

desloratadine

secara

signifikan

bisa

memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind,


placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi
sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu
dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek
tambahan ini.
Selain itu efek yang dihasilkan dari antihistamin H1 antara lain
(Dripa, 2005):
1) Efek sedasi
Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek sedasi yang
cukup besar sehingga berguna sebagai bantuan tidur dan tidak
sesuai untuk penggunaan pada siang hari. Pada anak anak
(dan jarang terjadi pada dewasa) menimbulkan eksitasi
daripada sedasi. Pada dosis toksik yang tinggi dapat

52

menyebabkan

agitasi,

kejang,

dan

koma.

Sedangkan

Antihistamin H1 generasi kedua hanya mempunyai sedikit atau


bahkan tidak mempunyai kerja sedatif atau stimulasi. Obat
antihistamin H1 generasi kedua (atau metabolitnya) juga
mempunyai

efek

autonomik

yang

lebih

sedikit

dari

antihistamin H1 generasi pertama.


2) Efek anti mual dan anti muntah
Beberapa antihistamin H1 generasi pertama mempunyai
aktivitas bermakna dalam mencegah terjadinya motion sickness
(mabuk kendaraan), tetapi kurang efektif jika sudah terjadi
mabuk.
3) Efek anti parkinsonisme
Diduga karena efek antikolinergik, beberapa antihistamin H1
mempunyai efek supresi akut yang bermakna pada gejala
gejala parkinsonisme yang dikaitkan dengan penggunaan obat
parkinsonisme tersebut.
4) Kerja antikolinoseptor
Banyak agen dari generasi pertama, khususnya subgrup
ethanolamine

dan

ethylendiamine,

mempunyai

efek

menyerupai atropin yang bermakna pada reseptor muskarinik


perifer.
5) Kerja penyekat adrenoseptor
Efek penyekat reseptor alfa dapat dibuktikan untuk beberapa
antihistamin H1, khususnya di dalam subgrup phenothiazine,
misalnya promethazine. Kerja tersebut dapat mengakibatkan
hipotensi ortostatik pada orang-orang yang rentan. Penyekatan
terhadap reseptor beta tidak terjadi.
6) Kerja penyekat serotonin

53

Efek penyekatan yang kuat terhadap reseptor serotonin telah


dibuktikan pada beberapa generasi pertama antihistamin H 1,
terutama cyproheptadine. Obat tersebut digunakan sebagai
antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai struktur kimia
yang menyerupai antihistamin phenothiazine dan merupakan
suatu obat penyekat H1 yang kuat.
7) Anestesi lokal
8) Antihistamin H1 generasi pertama merupakan anestesi lokal
yang efektif karena menyekat kanal kalsium di membran yang
eksitabel.

Diphenhidramine

dan

promethazine

kadang

digunakan sebagai anestesi lokal pada pasien alergi terhadap


obat-obat anestetik lokal yang konvensional.
b. Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1
diabsorpsi secara baik. Pemberian antihistamin H1 secara oral
efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam,
mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan
dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot,
dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar antihistamin H 1
dimetabolisme

melalui

hepatic

microsomal

mixed-function

oxygenase system, tetapi dapat juga melalui paru-paru dan ginjal.


Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis
tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh
hati. Antihistamin H1 dieksresi melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya.

54

Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin


memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang
akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat
berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari
sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki
waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan
kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya
dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa
antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih
panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan pasien yang
menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal
oxygenase lainnya (Deglin, 2005).
c. Mekanisme kerja
1) Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin
untuk suatu reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir
semua AH1 mempunyai kemampuan yang sama dalam
memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah
berkenaan dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih
baik sebagai pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi
serangan.
2) Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas
terhadap reseptor AH1 lebih kuat dan masa kerjanya lebih
lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan preparat
dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
3) Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat
menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan

55

histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang


menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi
(ICAM-1) dan penghambatan adhesi antara eosinofil dan
neutrofil pada sel endotel. Oleh karena dapat mencegah
pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan
beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai
terapi profilaksis yang lebih kuat untuk reaksi alergi yang
bersifat kronik.
2. Dekongestan
Dekongestan nasal adalah alfa agonis yang banyak digunakan
pada pasien rinitis alergikaatau rinitis vasomotor dan pada pasien ISPA
dengan rinitis akut. Obat ini menyebabkanvenokonstriksi dalam
mukosa hidung melalui reseptor alfa 1 sehingga mengurangi volume
mukosadan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.Obat
golongan ini disebut obat adrenergik atau obat simptomimetik, karena
obat inimerangsang saraf simpatis. Kerja obat ini digolongkan 7 jenis
(Andra,2006) :
a. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah
kulit dan mukosa, misal :vasokontriksi mukosa hidung
sehingga menghilangkan pembengkakan mukosa pada
konka.
b. Penghambatan organ perifer : otot polos usus dan bronkus,
misal : bronkodilatasi.
c. Perangsangan jantung : peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kontraksi.
d. Perangsangan Sistem

Saraf

Pusat

pernapasan dan aktivitas psikomotor.

perangsangan

56

e. Efek metabolik : peningkatan glikogenolisis dan lipolisis.


f. Efek endokrin : modulasi sekresi insulin, renin, dan
hormon hipofisis.
g. Efek prasipnatik : peningkatan pelepasan neurotransmiter.
Berikut ini adalah contoh dekongestan:
a. Obat Dekongestan Oral
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan
efedra. Efektif pada pemberian oral,masa kerja panjang, efek
sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor alfa, beta 1 danbeta 2.Efek
kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat, tekanan
nadi membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena
vasokontriksi dan stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang
relatif lama.Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan
kronik yang dapat diatasi dengan pemberian sedatif.
Dosis obat ini untuk Dewasa : 60 mg/4-6 jam, Anak-anak
6-12 tahun : 30 mg/4-6 jamAnak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam2.
b. Dekongestan nasal
Fenil propanolamin Dekongestan nasal yang efektif pada
pemberian oral. Selain menimbulkan konstriksi pembuluh darah
mukosa hidung, juga menimbulkan konstriksi pembuluh darah lain
sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan
stimulasi jantung.Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin
tapi kurang menimbulkan efek SSP.Harus digunakan sangat hatihati pada pasien hipertensi dan pada pria dengan hipertrofi
prostat.Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah
kontraindikasi. Obat ini jikadigunakan dalam dosis besar (>75
mg/hari) pada orang yang obesitas akanmeningkatkan kejadian

57

stroke, sehingga hanya boleh digunakan dalam dosismaksimal 75


mg/hari sebagai dekongesta.
Dosis obat ini adalah Dewasa : 25 mg/4 jam Anak-anak 6-12
tahun : 12,5 mg/4 jamAnak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam
Fenilefrin Adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya
sedikit mempengaruhi reseptorbeta. Hanya sedikit mempengaruhi
jantung

secara

langsung

dan

tidak

merelaksasi

bronkus.

Menyebabkan konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah


splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah.
c. Obat Dekongestan Topikal
Derivat imidazolin (nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin,
dan xilometazolin). Dalam bentuk spray atau inhalan. Terutama
untuk rinitis akut, karena tempat kerjanya lebihselektif. Tapi jika
digunakan secara berlebihan akan menimbulkan penyumbatan
berlebihandisebut rebound

congestion. Bila terlalu

banyak

terabsorpsi dapat menimbulkan depresiSistem Saraf Pusat dengan


akibatkoma dan penurunan suhu tubuh yang hebat, terutamapada
bayi. Maka tidak boleh diberikan pada bayi dan anak kecil.
a. Mekanisme Kerja dekongestan
agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada
penderita rhinitis alergika ataurhinitis vasomotor dan pada
penderita infeksi saluran napas atas dengan rhinitis akut. Obat-obat
ini menyebabkan venokontriksi dalam mukosa hidung melalui
reseptor 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan
demikian mengurangi penyumbatan hidung. Reseptor 2 terdapat
pada arteriol yang membawa suplai makanan bagi mukosa
hidung.Vasokontriksi

arteriol

ini

oleh

agonis

dapat

58

menyebabkan

kerusakan

struktural

padamukosa

tersebut.

Pengobatan dengan dekongestan nasal sering kali menimbulkan


hilangnyaefektivitas
hyperemia

dan

Mekanismenya

pada

pemberian

memburuknya
belum

kronik,serta

gejala

jelas,tetapi

bilaobat
mungkin

rebound
dihentikan.
melibatkan

desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa.1 agonis yang


selektif

lebih

kecil

kemungkinannya

untuk menimbulkan

kerusakan mukosa (Vallerant,2005).


3. Antitusif
Obat-obatan antitusif digolongkan menjadi obat antitusif
kerja perifer dan sentral. Dimana obat-obatan sentral dibagi lagi
menjadi derivat opioid dan non-opioid. Antitusif kerja sentral
melakukan depresi terhadap pusat batuk di medulla, sementara
antitusif kerja perifer melakukan anestesi terhadap reseptor pada
saluran nafas. Biasanya obat jenis ini digunakan untuk batuk kering
(Roach, 2007).
a. Farmakokinetik
Kebanyakan obat antitusif tersedia dalam bentuk sirup atau cairan,
kapsul yang tidak dikunyah, dan pelega tenggorok. Nama
dagangnya mencakup Robitusin DM, Romillar, PediacareI,
FormulaContact Cold, Formula batuk Sucrets, dan banyak lainnya.
Obat ini diabsorbsi dengan cepat. Presentase ikatan protein dan
waktu paruhnya tidak diketahui, dekstrometofan dimetabolisasi
oleh hati (Pradana, 2012).
b. Farmakodinamik
Onset kerja derivat opioid relatif cepat dan lama kerjanya 3-6 jam
biasanya obat yang mengandung dekstrometrofandapat dipakai

59

beberapa kali sehari. Antitusif sendiri biasanya digunakan


bersamaan dengan obat jenis lain namun tidak dengan ekspektoran
(Pradana, 2012).
4. Mukolitik
a. Famakodinamik
Agen mukolitik biasanya juga menunjukkan efek sebagai antagonis
terhadap formasi in loco dan radikal-radikal bebas dan sangat
berbeda dengan kerja enzim elastase (Alonim, 2011).
b. Farmakodinamik
Kebanyakan agen mukolitik dengan cepat diabsorbsi setelah
pemberian oral, setelah dosis oral tunggal, Tmax-nya adalah 1.2
jam. Beberapa jenis agen mukolitik, seperti erdostein, dengan cepat
dimetabolisme menjadi 3 metabolit aktif yang mengandung gugusgugus thiol bebas, yaitu N-thiodiglycolyl-homocysteine (metabolit
I), N-acetyl-homocysteine (Metabolit

II)

dan

homocysteine (metabolit III). Waktu paruh eliminasi erdostein ratarata 1.4 jam. Metabolit I dan II masing-masing 1.2 dan 2.7 jam.
Pemberian berulang dan usia lanjut biasanya tidak mengubah
farmakokinetik maupun hasil metabolit agen mukolitik (Alonim,
2011).
5. Ekspektoran
a. Mekanisme Kerja
Obat golongan ekspektoran meningkatkan produksi sekresi
respiratorik sehingga menyebabkan viskositas sekret berkurang.
Hal ini memudahkan ekspulsi sekret keluar dari jalan nafas melalui
batuk (Roach, 2007). Dapat juga dikatakan bahwa ekspektoran
membantu peningkatan volume sekret respiratorik. Dengan
demikian efisiensi batuk dapat meningkat untuk memfasilitasi

60

keluarnya secret. Beberapa contoh obat ekspektoran yaitu


guaifenesin (gliseril guaiakolat), terpin hydrate, iodide, creosote,
antimoni pentasulfida, dan guaiakolsulfonat (Gutierrez, 2007),
b. Farmakokinetik
Obat ini akan dikonsumsi peroral kemudian diabsorpsi melalui
mukosa gastrointestinalis. Setelah itu obat akan berdifusi dan
didistribusikan ke seluruh tubuh terutama di area respiratori oleh
peredaran darah. Obat akan dimetabolisme di liver (hepar) untuk
kemudian diekskresikan secara primer melalui renal (Gutierrez,
2007).
c. Farmakodinamik
Memblokade transmisi impuls saraf pada level saraf internuncial di
area subcortex otak, batang otak, dan medulla spinalis. Obat ini
(misalnya guaifenesin) merelaksasi otot laring dan faring sehingga
memudahkan intubasi. Guaifenesin juga memiliki efek analgesik
dan sedatif ringan (Roach, 2007).

61

BAB III KESIMPULAN


1. Obat anti tuberculosis terbagi menjadi dua jenis yaitu lini I dan lini II. Yang
termasuk lini 1 adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin.
2. Obat anti tuberculosis dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori 1 diberikan
obat dengan aturan 2RHZE/ 4(RH)3, kategori 2 2RHZES/ 1RHZE/ 5(RHE)3,
kategori 3 yaitu 2RHZ/4(RH)3.
3. Obat asma dibagi menjadi dua golongan, yaitu obat reliever dan controller.
4. Contoh obat reliever adalah kortikosteroid sistemik, agonis 2 kerja singkat,
antikolinergik,

metilxantin,

adrenalin.

Sedangkan

controller

adalah

kortikosteroid, sodium kromoglikat, nedocromil sodium, metilxantin, agonis


2 kerja lama, leukotrien modifiers, antihistamin generasi kedua.
5. Contoh efek samping dari obat TB paling toksik adalah pirazinamid yang
sangat hepatotoksik.

DAFTAR PUSTAKA
Ward, Jane. 2008. At a Glance Sistem Respirasi. Jakarta : Penerbit Erlangga
Sundaru, Heru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta : Interna
Publishing
Syarif, amir; Sunaryo. 2013. Autokoid dan Antagonis Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI

62

Alsagaff, Hood. 2009. Dasar Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga Universiti


Press
Juknis TB Anak Program Nasional pemberantasan TB
Andra. 2006. Optimalisasi terapi Antihistamin dalam Majalah Farmacia, Volume
6, Jakarta, 2006, p.64.
Sjabana,Dripa. 2005. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Vallerand. 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta: EGC
Bennet S, Hoffman N, Monga M. 2004. Ephedrine and guaifenesin induced
nephrolithiasis. J Altern Complement Med 10 (6) : 967-9.
Gutierrez, K. 2007. Pharmacotherapeutics: Clinical Reasoning in Primary Care.
Philadelphia: W.B. Saunders Co.
Roach SS, Beggs S, Cosgarea M, Hatfield MT et al. 2007. Introductory Clinical
Pharmacology. 7th edition. New York: Lippincott William and Wilkins.
Pradana, Kristian Adi. 2012. Farmakologi: Infeksi Saluran Pernapasan Atas
(ISPA). Surabaya.
Alonim.

2011

Erdostein

(Mukolitik).

Diakses

melalui:

http://www.old.health.gov.il/units/pharmacy/trufot/alonim/ERDOTIN_dr
_1322978767512.pdf
Syarif, amir; Sunaryo. 2013. Autokoid dan Antagonis Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI.
Depkes RI.2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

63

Depkes RI.2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Jakarta :


Departemen Kesehatan RI.
Katzung, Bertram. 2014. Farmakologi Dasar & Klinik. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2006. Pocket Guide for Asthma
Management

and

Prevension

in

Children.

Available

at:

www.Ginaasthma.org. Diakses pada 9 Maret 2015.


Staff Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. .EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai