Anda di halaman 1dari 11

MOBILISASI SOSIAL

A. Mobilisasi sosial
Promosi kesehatan juga mengandung pengertian mobilisasi sosial, karena dalam
promosi kesehatan diperlukan adanya advokasi kebijakan. Sehingga kebijakan yang sudah
ada dapat memberikan dukungan bagi pengembangan perilaku dan lingkungan sehat. Hal ini
merupakan low enforcement yang dapat memaksa atau memobilitasi masyarakat untuk
berbuat atau tidak berbuat sama sekali (Maulana, 2009: 12-15).
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan kesehatan, KIE, penyuluhan
kesehatan, pemasaran sosial, dan mobilisasi sosial merupakan komponen. Dalam pengertian
yang lebih luas, idealnya setiap kegiatan atau program yang bertujuan memandirikan
masyarakat harus memasukkan pertimbangan-pertimbangan kesehatan di dalamnya, dan
promosi kesehatan sebagai payung yang merangkum kegiatan atau program tersebut. Hari
D. J Maulana 2009 mengatakan ada beberapa tujuan promosi kesehatan, yaitu peningkatan
pengetahuan atau sikap masyarakat, peningkatan perilaku masyarakat, dan peningkatan status
masyarakat. Agar tujuan dapat dicapai dan dijalankan sesuai keinginan, penetapan tujuan
harus memenuhi syarat, yaitu specific, measurable, appropriate, reasonable, time bound, dan
dinyatakan dalam bentuk performance, bukan effort (Maulana, 2009: 116).
a. Pengertian mobilisasi sosial
Mobilisasi adalah proses yangterencana untuk melibatkan masyarakat luas secara
aktif,serentakdalamkurunwaktudankegiatantertentu.Dalamprosesnyaterjadiupaya
penggerakan masyarakat dari berbagai unsur untuk secara fokus mendukung suatu
kegiatanyangtelahditentukan.
Mobilisasi adalah proses membawa seluruh partner komunitas multisektoral untuk
meningkatkan kesadaran, kebutuhan, dan kemajuan untuk tujuan, proses dan hasil
tertentu.
Mobilisasi sosial adalah proses menyatukan semua sekutu lintas sektoral secara
mudah dan praktis untuk meningkatkan kesadaran dan kebutuhan untuk program tertentu,
untuk membantu pengiriman sumber daya dan jasa dan untuk memperkuat partisipasi
komunitas untuk keberlanjutan dan kemandirian.

Pada tinjauan literatur menunjukkan beberapa definisi, disebabkan oleh penggunaan


terminologi yang berbeda untuk menjelaskan hal yang sama, seperti penggunaan sosial
terkadang digantikan menjadi nasional, komunitas, global, organisasional atau lokal.
sekutu mencakup pembuat keputusan dan kebijakan, pemimpin opini, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) seperti profesional dan kelompok agama, media, sektor
swasta, masyarakat dan individu. Mobilisasi sosial menghasilkan dialog, negosiasi, dan
konsensu, melibatkan berbagai pihak yang terkait dan saling melengkapi. Mobilisasi
sosial, terintegrasi dengan pendekatan komunikasi lainnya, telah menjadi fitur kunci
dalam upaya komunikasi di seluruh dunia.
Dalam mobilisasi sosial, perubahan sosial dan perilaku yang berkelanjutan
membutuhkan banyak keterlibatan, muali dari individu ke masyarakat kemudian
kebijakan dan tindakan legislatif.
Advokasi untuk memobilisasi sumber daya dan perubahan efek kebijakan, media dan
acara khusus untuk meningkatkan keasadaran masyarakat, membangun kemitraan dan
jaringan, dan partisipasi masyarakat, adalah semua strategi kunci dari mobilisasi sosial.
b. Prinsip Mobilisasi Sosial
Beberapa prinsip mobilisasi sosial:

Memahami kemampuan lembaga yang ada di masyarakat.

Berstandar pada pemahaman dalam konteks sosial dan kultural termasuk situasi
politik dan ekonomi masyarakat setempat.

Memenuhi permintaan masyarakat.

Mengembangkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi.

Berdasarkan rencana nasional dalam rumusan tujuan, sasaran, pesan, indikator dan
umpan balik mobilisasi.

Memerlukan pengulangan secara periodik.

Menggunakan individu yang terkenal atau dihormati sebagai penggerak.

c. Langkah-Langkah Mobilisasi Sosial

Memberikan pelatihan kepada kelompok pelopor (kelompok yang paling


mudah menerima isu yang sedang diadvokasi.).

Mengkonsilidasikan mereka yang telah mengikuti pelatihan menjadi


kelompok pendukung.

Mengembangkan koalisi diantara kelompok maupun pribadi pendukung.

Mengembangkan jaringan informasi iantara anggota koalisi agar selalu


mengetahui dan merasa terlibat dengan isu yang diadvokasikan.

Melaksanakan kegiatan yang bersifat massal dengan melibatkan banyak


anggota koalisi.

Mendayagunakan media massa untuk mengekspos kegiatan koalisi sebagai


jaringan informasi.

Mendayagunakan berbagai media massa untuk membangun kebersamaan


dalam mengatasi masalah. Hal ini efektif bila dilakukan menggunakan TV,
radio, billboard maupun spanduk.

d. MOBILISASI IDEAL
Mobilisasi yang ideal adalah :

Demokratis [yang hrs bersifat :(1) edukatif, (2). merupakan suatu percontohan unt
masalah lain, (3). kegiatan hrs merupakan kerja sama]

Timbul dari masyarakat sendiri (bukan dari atas/penguasa)

Program hrs memberi manfaat pd. masy. dan memang merupakan prioritas umum

e. Contoh Mobilisasi sosial dalam bidang kesehatan


Mobilisasi sosial dalam pengendalian TB
Strategi mobilisasi sosial dalam pengendalian TB yang digunakan adalah:

Strategi untuk memantau jumlah kasus TB BTA positif yang merupakan rujukan
kader LSM diantara total kasus baru TB BTA positif yang dilaporkan adalah
dengan memasukkan ke dalam sistem pencatatan yang ada ditingkat UPK,
sehingga tercatata sampai di tingkat nasional.

Strategi untuk mensosilisasikan piagam hak dan kewajiban pasien adalah dengan
melibatkan LSM dan paguyuban TB untuk ikut menyebarluaskan piagam ini.
Selain itu untuk menjangkau petugas kesehatan piagam hak dan kewajiban pasien
ini dilampirkan dalam modul pelatihan UPK.

Strategi mobilisasi sosial untuk menjawab isu strategis tentang kurangnya


pemahaman masyarakat dalam pencegahan dan pencarian pengobatan TB,
kurangnya kerjasama antar lintas program, sektor serta mitra terkait dalam
pengendalian TB, serta kurangnya akses dan informasi mesyarakat mengenai TB.

Rencana kegiatan operasional mobilisasi sosial dalam program pengendalian TB, antara
lain:
1. Menyusun pedoman mobilisasi sosial pengendalian TB
Pedoman pengendalian mobilisasi sosial disusun untuk menjadi acuan seluruh
komponen masyarakat dalam melaksanakan mobilisasi sosial mulai dari pusat
sampai desa.
2. Menyelenggarakan Forum Gerdunas TB (Gerakan Terpadu Nasional)
Forum Gerdunas harus diselenggarakan secara berkala sedikitnya 3 bulan sekali
dan berkesinambungan.
3. Evaluasi pelaksanaan ujicoba layanan TB yang terintegrasi dengan UKBM di 3
provinsi
Mengevaluasi pelaksanaan ujicoba layanan TB yang terintegrasi dengan UKBM
untuk melihat efektifitas kegiatan dan model keterlibatan masyarakat di populasi
yang sulit terjangkau.
4. Perumusan kebijakan yang mendukuing implementasi integrasi layanan TB di
UKBM di daerah.
5. Memperluas layanan TB yang terintegrasi dengan UKBM di provinsi lain.

Memperluas pelaksanaan layanan TB yang terintegrasi dengan UKBM


berdasarkan hasil uji yang sudah dilaksanakan.
6. Mereview, mengembangkan dan mendistribusikan TB kit untuk Pos TB Desa.
TB kit untuk Pos Desa akan menjadi pegangan bidan dan kader di desa dalam
menyelenggarakan Pos TB Desa.
7. Melaksanakan mobilisasi organisasi masyarakat
Mengadakan gerakan masyarakat secara serentak oleh organisasi masyarakat
yang dikaitkan dengan momentum hari-hari kesehatan.
8. Menyusun pedoman pelaksanaan keterlibatan komunitas khusus (pesantren)
dalam program pengendalian TB.
9. Melibatkan LSM dan paguyuban pasien TB dalam kegiatan sosialisasi piagam
hak dan kewajiban pasien TB.
B. Partisipasi dan Peranan Masyarakat
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses
pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan
memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut
memanfaatkan dan menikmati hasil hasil pembangunan (I Nyoman Sumaryadi, 2010:
46).
Pengertian tentang partisipasi dikemukakan oleh Fasli Djalal dan Dedi Supriadi,
(2001: 201-202) dimana partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan
menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran
dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa
kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat
keputusan, dan memecahkan masalahnya.
Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001: 38) mengklasifikasikan partisipasi
menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu :
a. Partisipasi Langsung: Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan
tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat

mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan


terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya.
b. Partisipasi tidak langsung: Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan
hak partisipasinya.
Menurut Arnstein (1971), setiap partisipasi mempunyai kadar yang berbeda. Untuk
memperjelas mana proses yang disebut partisipasi dan bukan partisipasi, Arnstein
mempergunakan konsep delapan tangga partisipasi masyarakat. Secara umum, dalam
konsep ini ada tiga derajat partisipasi masyarakat: (1) tidak partisipatif, (2) Derajat Semu,
(3) Kekuatan Masyarakat.

Dua tangga terbawah yang dikategorikan dalam derajat Non Partisipasif


menempatkan bentuk-bentuk partisipasi yang dinamakan manipulasi dan terapi, dalam
kedua tangga tersebut partisipasi hanya bertujuan untuk mendidik menatar masyarakat
dan mengobati masyarakat. Manipulasi bisa diartikan tidak ada komunikasi apalagi
dialog, sedangkan Terapi telah ada komunikasi namun masih bersifat terbatas, inisiatif
datang dari pemerintah (pemegang kekuasaan) dan hanya satu arah.
Derajat tanda partisipasi, partisipasi masyarakat telah didengar dan berpendapat tetapi
mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan
mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan, dalam taraf ini partisipasi

masyarakat memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan


dalam masyarakat.
Derajat Kuasa Masyarakat, dimana masyarakat memiliki pengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan, partisipasi masyarakat sudah masuk dalam ruang penentuan
proses, hasil, dan dampak kebijakan dengan menjalankan kemitraan.
Keberhasilan peningkatan partisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
dapat diukur dengan beberapa indikator berikut:
a. Kontribusi/dedikasi stakeholders meningkat dalam hal jasa (pemikiran/keterampilan),
finansial, moral dan material/barang.
b. Meningkatnya kepercayaan stakeholders kepada sekolah terutama menyangkut
kewibawaan dan kebersihan.
c. Meningkatnya tanggungjawab stakeholders terhadap penyelenggaraan pendidikan di
sekolah.
d. Meningkatnya kualitas dan kuantitas masukkan (kritik dan saran) untuk peningkatan
mutu pendidikan.
e. Meningkatnya kepedulian stakeholders terhadap setiap langkah yang dilakukan
sekolah untuk meningkatkan mutu.
f. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh sekolah benar-benar mengekspresikan
apresiasi dan pendapat stakeholders dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan
(Sri Surhayati, 2008: 25).

C. Kader Pemberdayaan Masyarakat


Dalam rangka penumbuhkembangan, penggerakan prakarsa dan partisipasi serta
swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan di desa dan kelurahan perlu
dibentuk

Kader

Pemberdayaan

Masyarakat.

Kader

Pemberdayaan

Masyarakat

merupakan mitra Pemerintah Desa dan Kelurahan yang diperlukan keberadaan dan
peranannya dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif di Desa dan
Kelurahan. KPM dibentuk di desa dan kelurahan berdasarkan Keputusan Kepala Desa/
Lurah.

Kader mempunyai tugas membantu Pemerintah Desa atau Lurah dan Lembaga
Kemasyarakatan dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif, yang
meliputi:
1. menggerakkan dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
kegiatan pembangunan diwilayahnya;
2. membantu masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhannya dan membantu
mengidentifikasi masalahnya;
3. membantu masyarakat mengembangkan kapasitas agar dapat menangani
masalah yang dihadapi secara efektif;
4. mendorong dan meyakinkan para pembuat keputusan untuk benar-benar
mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap kebutuhan masyarakat;
dan
5. melakukan pekerjaan purna waktu untuk menghadiri pertemuan/ musyawarah,
membantu kelompok masyarakat dalam memperoleh akses terhadap berbagai
pelayanan yang dibutuhkan.
Kader mempunyai fungsi :
1. pengidentifikasian masalah, kebutuhan dan sumber daya pembangunan yang
dilakukan secara partisipatif;
2. penampungan

dan

penyaluran

aspirasimasyarakat

bersama

Lembaga

Kemasyarakatan kepada Pemerintah Desa atau Kelurahan;


3. penyusunan rencana pembangunan dan fasiltasi musyawarah perencanaan
pembangunan secara partisipatif;
4. pemberian motivasi, penggerakkan dan pembimbingan masyarakat dalam
pemberdayaanmasyarakat dan pembangunanpartisipatif;
5. penumbuhkembangan prakarsa, swadaya dan gotong royong masyarakat
dalam pemberdayaanmasyarakat dan pembangunan partisipatif;
6. pendampingan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan partisipatif;
7.

pendampingan masyarakat dalam pemantauan dan proses kesepakatan


penyempurnaan
pembangunan;

pelaksanaan

kegiatan

pemberdayaan

masyarakat

dan

8. pendampingan

masyarakat

dalam

pemanfaatan,

pemeliharaan

dan

pengembangan hasil pembangunan;


9. penumbuhkembangan

dinamika

Lembaga

Kemasyarakatan

dan

kelompokkelompok masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi, sosial


budaya, politik, dan pelestarian lingkungan hidup dalam peningkatan
kesejahteraanmasyarakat;
10. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan Kader Teknis dalam pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan partisipatif; dan
11. penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam
kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik lndonesia.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kader mempunyai peran sebagai:
a. pemercepat

perubahan

(enabler),

yaitu

membantu

masyarakat

untuk

mengidentifikasi masalah, mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah


yang dihadapi secara Ie bih efektif dan mengembangkan hubungan di antara pemeran/
stakeholders pembangunan dengan baik;
b. perantara (mediator), yaitu melakukan mediasi individu atau kelompok dalam
masyarakat yang membutuhkan bantuan atau pelayanan masyarakat atau kelompok
masyarakat dengan stakeholder lainnya, dan individu atau kelompok masyarakat
apabila terjadi konflik dalam masyarakat;
c. pendidik (educator), yaitu secara aktif memberikan berbagai masukan yang positif
dan langsung sebagai bagian dari pengalaman-pengalamannya.Membangkitkan
kesadaran individu atau kelompok warga masyarakat bahwa ketidakberdayaan mereka
disebabkan oleh ketidaksadarannya pada berbagai masalah yang ada pada dirinya.
Memberi informasi melalui kegiatan belajar-mengajar untuk mendidik dan
membiasakan warga yang didampinginya berfikir lebih matang secara komprehensif.
Menularkan dan membagi pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh selama
menjadi pendamping kepada masyarakat;
d. perencana (planner), yaitu mengumpulkan data mengenai masalah yang terdapat
dalam masyarakat, kemudian menganalisa dan menyajikan alternatif tindakan yang
rasional untuk menangani masalah dan mengembangkan program pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan patisipatif;
e. advokasi (advocation), yaitu memberikan advokasi dani atau mewakili kelompok
masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun pelayanan dan mendorong para

pembuat keputusan/Kepala Desa/Lurah untukmau mendengar, mempertimbangkan


dan peka terhadap kebutuhan masyarakat;
f. aktivis (activist), yaitu melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar
dengan tujuan pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang
kurang mendapatkan keuntungan. Memperhatikan isu-isu tertentu, menstimulasi
kelompokkelompok yang kurang diuntungkan untuk mengorganisir diri dan
melakukan tindakan melalui negosiasi dalam mengatasi konflik; dan
g. pelaksana teknis (technical roles), yaitu mengorganisir warga masyarakat, tetapi
juga melaksanakan tugas-tugas teknis seperti mengumpulkan data, mengolah data,
menganalisis, mengoperasikan komputer, menulis, presentasi dan mengatur serta
mengendalikan keuangan.
Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pelaksanaan kegiatan Kader Desa, dilakukan
Pembinaan dan Supervisi secara berjenjang sesuai dengan tingkat kewenangannya mulai dari
Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa dan Lurah.
Pembinaan dilakukan dengan memberikan pedoman dalam pengembangan kegiatan
Kader; pemberian pedoman standarisasi, akreditasi dan evaluasi kegiatan kader; pemberian
pedoman dan pelatihan bagi KPM dan melaksanakan pelatihan-pelatihan tingkat nasional
serta orientasi bagi pembina KPM Provinsi; pemberian pedoman bantuan pembiayaan
kepada KPM; pembinaan secara berkesinambungan dalam berbagai bentuk seperti: petunjuk
teknis, temu karya, temu wicara, pelatihan, pelatihan penyegaran, pelatihan keterampilan,
pemberian stimulan, studi banding, kunjungan kerja, rapat-rapat (umum, khusus), penyuluhan
lewat media cetak dan elektronika, dll sesuai kemampuan dan karakteristik daerah; dan
pemberian penghargaan atas prestasi yang telah dilakukan KPM dalam skala nasional.
Kegiatan supervisi, dilakukan melalui : bimbingan teknis dan pengarahan kepada
pelaksana kegiatan KPM dan pembinaannya, yang dilakukan oleh petugas yang memiliki
kompetensi dalam bidang pembinaan KPM serta pemberdayaan masyarakat dan
pembangunan partisipatif dari Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota atau Tim Khusus.
Pengawasan

atas

pelaksanaan

kegiatan

KPM

dilakukan

melalui

kegiatan

pemantaauan, evaluasi, dan pelaporan. Kegiatan pemantauan, bertujuan untuk:


a. mengetahui kesiapan pelaksanaan kegiatan KPM dan pembinaannya;
b. memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut telah
menjalankan peran dan fungsinya sesuai tugas masing-masing; dan
c. mengetahui proses pelaksanaan kegiatan KPM dan pembinaannya.

Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui kesiapan, hambatan, peluang dan tingkat
keberhasilan pelaksanaan kegiatan KPM dan pembinaannya, dalam rangka pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan partisipatif sebagai bahan acuan upaya perbaikan serta
penyempurnaan. Kegiatan pelaporan, bertujuan untuk menginformasikan berbagai masukan,
proses, kendala serta tingkat pencapaian hasil sebagai bahan/ dokumen perkembangan
pelaksanaan kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai