Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pada

dasarnya

farmasi

merupakan

sistem

pengetahuan

yang

mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan


dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan
pengetahuan tentang obat dalam arti yang seluas-luasnya serta efek dan
pengaruh obat terhadap manusia dan hewan. Pengetahuan ilmu farmasi
jangkauannya sangat luas, namun dari semua cabang ilmu profesi
kefarmasian bertujuan untuk menciptakan racikan obat yang rasional, baik,
dan cocok bagi masyarakat untuk digunakan atau dikonsumsi, yang
memberikan efek teraupetik. Sediaan farmasi tersebut diantaranya sediaan
serbuk, kapsul, tablet dan suppositoria. Bentuk-bentuk sediaan tersebut
memiliki fungsi dan kegunaannya masing-masing sesuai dengan kebutuhan
obat yang digunakan. Salah satu bentuk sediaan yang jarang dijumpai di
pasaran yaitu sediaan suppositoria. Namun kebanyakan orang lebih memilih
obat yang dikonsumsi digunakan secara oral karena difikir lebih aman,
dibandingkan sediaan suppositoria yang penggunaannya melalui dubur, vagina
maupun uretra.
Secara umum, suppositoria merupakan salah satu dari sediaan farmasi
yang berbentuk padat seperti torpedo yang pemakaiannya dengan cara
memasukkannya melalui lubang atau celah pada tubuh seperti rektal dan
vaginal, dimana sediaan akan melebur, melunak, atau melarut pada suhu tubuh
dan memberikan efeknya baik secara lokal maupun sistemik. Bentuk dan
ukuran dari sediaan suppositoria harus dibentuk sedemikian rupa sehingga
dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan
tanpa menimbulkan kejanggalan dan penggelembungan ketika digunakan serta
dapat bertahan dalam waktu tertentu. Suppositoria untuk rektum umumnya
dapat dimasukkan dengan jari tangan. Pada aksi lokal, begitu dimasukkan
basis suppositoria akan meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan bahan
obat yang dibawanya ke jaringan- jaringan di daerah tersebut. Obat ini
dimaksudkan agar dapat ditahan dalam ruang tersebut untuk efek kerja lokal,

atau bisa juga dimaksudkan agar diabsorpsi untuk mendapat efek sistemik.
Sedangkan pada aksi sistemik membran mukosa rektum memungkinkan
absorbsi dari kebanyakan obat yang dapat larut.
I.2 Maksud Percobaan

Untuk mengetahui bentuk-bentuk suppositoria, cara pembuatan, serta


basis yang digunakan.
I.3 Tujuan Percobaan

Mahasiswa mampu membuat suppositoria dengan basis serta metode


yang sesuai serta mengetahui pesyaratan dan evaluasi suppositoria.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
II.1.1 Pengertian Suppositoria
Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan
cara memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana ia akan
melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik.
Suppositoria umumnya dimasukkan melalui rektum, vagina, kadang-kadang
melalui saluran urin dan jarang melalui telinga dan hidung (Ansel,2008).
Suppositoria adalah sediaan sediaan padat, melunak, melumer, dan
larut pada suhu tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam
rektum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya
berbentuk torpedo (Formularium Nasional, 1979). Bentuk dan ukuran
suppositoria harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah
dimasukkan

kedalam

lubang atau celah yang diinginkan tanpa

menimbulkan kejanggalan saat menggunakan.


Selain itu, suppositoria merupakan bentuk sediaan obat padat yang
umumnya dimaksudkan untuk dimasukkan ke dalam rektum, vagina, dan
jarang digunakan untuk uretra. Suppositoria rektal dan uretral biasanya
menggunakan pembawa yang meleleh atau melunak pada temperatur tubuh,
sedangkan suppositoria vaginal kadang-kadang disebut pessaries, juga
dibuat sebagai tablet kompresi yang hancur dalam cairan tubuh (Lachman,
2008).
Suppositoria dapat memberikan efek lokal dan efek sistemik yaitu
utuk mendapatkan efek lokal basis suppositoria meleleh, melunak, dan
melarut menyebarkan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah
tersebut. Obat yang dimaksudkan untuk ditahan dalam ruangan tersebut agar
mendapatkan keja lokal. Sedangkan untuk efek sistemik membran mukosa
rektum dan vagina memungkinkan absorpsi dari kebanyakan obat dapat
larut.
II.I.2 Macam-Macam Suppositoria
macam suppositoria dapat dibagi sesuai penggunaannya yaitu (Ansel,2008):
a. Suppositoria untuk rectum (rectal)

Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari


tangan. Biasanya suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5 inchi),
dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria
rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung
kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya
menurut USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao
b. Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk
bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g,
apabila basisnya oleum cacao.
c. Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya
rampiung seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria
atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm
dengan panjang 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu
dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya 4
g. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya dari
ukuran untuk pria, panjang 70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila
oleum cacao sebagai basisnya.
II.1.3 Beberapa Faktor Absorbsi Obat dari Suppositoria Rektum
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Absorbsi Obatdari
Suppositoria Rektum yaitu (Ansel,2008):
1. Faktor Fisiologi
Pada waktu isi kolon kosong, rektum hanya berisi 2- 3 mL.
Cairan mukosa yang inert. Dalam keadaan istirahat rektum tidak ada
gerakan, tidak ada villi dan mikrovilli pada mukosa rektum. Akan
tetapi terdapat vaskularisasi yang berlebihan dari bagian sub mukosa
dinding rektum dengan darah dan kelenjar limfe.
Diantara faktor fisiologi yang mempengaruhi faktor absorbsi
obat dari rektum adalah kandungan kolo, jalur sirkulasi, dan pH serta
tidak adanya kemampuan mendapar dari cairan rektum.
2. Faktor Fisika Kimia dari Obat dan Basis Suppositoria
Faktorfisika kimia mencakup sifat-sifat seperti kelarutan relatif obat
dalam lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang menyebar.

Faktor fisika kimia basis melengkapi kemampuannya melebur,


melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Kemampuannya melepaskan
obat dan sifat hidrofilik atau hidrofobiknya.
II.1.4 Bahan Dasar Suppositoria
Klasifikasi Basis Suppositoria yaitu (Ansel,2008):
1. Basis berminyak/ berlemak
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai karena
pada dasarnya oleum cacao termasuk kelompok ini. Diantara bahanbahan yang bisa digunakan yaitu: macam-macam asam lemakyang
dihigrogenasi dari minyak dari minyak palem dan minyak biji kapas.
2. Basis yang larut dalam air dan basis bercampur dengan air
Komponen yang penting dari basis yang larut dalam air dan basis
bercampur dengan air adalah gelatin gliserin dan basis PEG. Dimana
basis gliserin paling sering digunakan dalam pembuatan suppositoria
vagiana dimana memang diharapkan efek setempar yang cukup lama
dari unsur obatnya.
3. Basis Lainnya
Dalam kelompok ini termasuk campuran bahan bersifat lemak dan yang
larut dalam air atau bercampur dengan air. Bahan-bahan ini mungkin
berbentuk zat kimia atau cmpuran fisika.
II.1.5 Metode Pembuatan Suppositoria
Metode yang bisa digunakan dalam pembuatan suppositoria yaitu:
a. Dengan tangan
Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah
dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang
dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahanbahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai
diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian
massa digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan
panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah
pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu
ujungnya diruncingkan.

II.3 Alasan Penambahan


II.3.1 Alasan Formulasi

Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bentuk yang


diberikn melalui rektal, vagina atau uretra umumnya meleleh,
melunak, atau melarut pada suhu tubuh (Dirjen POM, 16).

Aminofilin dibuat dalam bentuk suppositoria karena zat aktif ini


dapat mengiritasi saluran cerna karena dapat meningkatkan
sekresi asam lambung, sehingga dengan dibuat dalam bentuk
suppositoria maka dapat menghindari kontak langsung dengan
saluran cerna (Rusdi, 9).

Zat aktif ini tidak dibuat dalam bentuk sediaan inhaler atau
aerosol seperti obat asma pada umumnya karena, sediaan aerosol
diperlukan alat dan metode khusus, sukar mengatur dosis, sering
mengiritasi epitel paru-paru, sekresi saluran nafas, toksisitas pada
jantung. Oleh

karena itu

dibuat

dalam bentuk

sediaan

suppositoria, karena sediaan suppositoria tidak melalui saluran


pernafasan sehingga suppositoria tidak akan mngiritasi saluran
pernafasan (Sanjoyo, 15).

Zat aktif aminofilin ini tidak dibuat dalam bentuk injeksi, karena
aminofilin dalam larutan apabila terpapar dengan cahaya matahari
dan oksigen, maka akan terurai menjadi 2,3 dimetillalantoin, N.Ndimetil-oksiamida- dan amonia (Hadyanti, 16).

Aminofilin suppositoria ini dibuat dalam bentuk torpedo, karena


cara penggunaannya melalui atau secara rektal. Penggunaan rektal
ini ditujukan untuk mempercepat kerja obat seta sifatnya lokal
dan sistemik. Selain itu, suppositoria ini tidak dibuat untuk
penggunaan vagina dalam bnetuk ovula, karena sediaan ovula
umumnya untuk keputihan atau infeksi jamur (Sanjoyo, 15).

Pembuatan suppositoria ini dibuat dengan metode cetak tuang,


karena metode ini yang paling umum digunakan untuk membuat
suppositoria skala kecil dan skala besar. Selain itu, metode ini

juga, lebih mudah dibandingkan dengan metode tangan dan


mencetak kompresi (Lachman, 1180).

Suppositoria ini dibuat dengan kandungan zat aktif sebesar 250


mg dalam setiap suppositoria karena menurut fornas kekuatan zat
aktif aminoilin dalam bentuk suppositoria adalah 250 mg (Dirjen
POM, 19).

Suppositoria ini dibuat dengan aturan pakai 2 kali 1 karena


menurut literatur dosis untuk orang dewasa 3 kali 1 dengan zar
aktif sebesar 200 mg, tetapi menurut literatur lain dengan kadar
zat aktif 250 mg dipakai 1 sampai 2 kali sehari. Hal ini juga
disesuaikan dengan pernyataan literatur lain, dimana aminofilin
baik oral, rektal, maupun intravena diberikan tiap 6 8 jam (IAI,
49; Fornas, 19; Dirjen POM, 82).

Aksi sistemik
Obat yang diabsorpsi melalui rektum, tida seperti yang di
absorpsi setelah pemberian secara pemberian secara oral, tidak
melalui sirkulasi portal sewaktu perjalanan pertamanya dalam
sirkulasi yang lazim, dengan cara demikian obat yang
dimungkinkan untuk tidak dihancurkan dalam hati untuk
memperoleh efek sistemik. Pembuluh hemoroid bagian bawah
yang mengelilingi kolon menerima obat yang diabsorpsi lalu
mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati. Sirkulasi
melalui getah bening juga membantu pengedaran obat yang
digunakan melalui rektum (Ansel, 579).

Bentuk-bentuk kristal oleum cacao (Lachman, 1169):


Minyak coklat diperkirakan mampu berada dalam empat
keadaan kristal :
1. Bentuk meleleh pada 24oC, diperoleh dengan pendinginan
secara tiba-tiba minyak coklat yang sedang meleleh sampai
suhu 0oC.

2. Bentuk 1, diperoleh dari minyak coklat yang dicairkan dan


diaduk aduk pada 18 23oC, titik lelehnya terletak antara 28
31oC.
3. Bentuk 1secara perlahan lahan menjadi bentuk yang stabil,
yang mencair antara 34 dan 35oC, perubahan ini disertai oleh
penyusutan volume.
4. Bentuk , meleleh pada 18oC, diperoleh dengan menuang
minyak coklat dingin (20oC), sebelum minyak coklat
memadat, ke dalam suatu wadah yang telah didinginkan pada
temperatur sangat dingin.

Suppositoria dengan basis minyak coklat pada penyimpanan,


diisimpan pada temperatur lemari pendingin atau temperatur
sejuk yang sama. Suhu lemari pendingin 2 - 8 oC (Lachman,
1195).

Suhu peleburan waterbath untuk oleum cacao pada suhu 30


35oC atau 35oC (Parrot, 264; Scoviles, 337).

Berat tiap suppositoria yang digunakan adalah 2 gram, dimana hal


ini sesuai dengan tetapan USP menyataan berat suppositoria untuk
orang dewasa dengan basis oleum cacao adalah 2 gram (Ansel,
576).

Obat yang digunakan memalui rektum dalam bentuk suppositoria


untuk mendapatkan efek sistemiknya antara lain terdiri dari
aminofilin, dan teofilin dipakai untuk meghilangkan asma (Ansel,
578).

Cara kalibrasi cetakan (Baviskar, 22):


1. Dibuat dan dicetak suppositoria dari basis saja.
2. Dikeluarkan hasil cetakan dari cetakan rata-ratanya (bagi
pemakaian basis tertentu).
3. Suppositoria dilebur dengan hati-hati dalam gelas ukur untuk
menentukan volume cetakan.
4. Volume leburan ditentukan untuk keseluruhan dan rata-rata.

Perbedaan cera alba dan cera flava (Dirjen POM, 140-141):

Cera alba (malam putih) dibuat dengan memutihkan malam


yang diperoleh dari sarang lebah (Apis merllifer. L) atau
spesies Apis lain. Sedangkan cera flava diperoleh dari sarang
(Apis merllifer. L) atau spesies Apis lainnya.

Cera alba pemeriannya berupa zat padat, lapisan tipis bening,


putih kekuningan, bau khas lemah. Sedangkan cera flava
pemeriannya berupa zat padat, coklat kekuningan, bau enak
seperti madu, agak rapuh jika dingin dan menjadi elastik jika
hangat.

Suhu lebur cera alba dari 62 64oC, sedangkan cera flava dari
62 65oC.

Cera alba agak sukar larut dalam etanol 95 % sedangkan cera


flava larut dalam etanol 95 %.

Alasan kontra indikasi dan efek samping aminofilin (Mardjono,


252-257).
Derivat xantin yang terdiri dari kafein, teofilin dan
theobromin ialah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan. Zat
aktif dalam formulasi ini yaitu aminofilin yang merupakan garam
dari teofilin. Efek samping teofilin 250 mg atau lebih pada
pengobatan asma bronkial mirip dengan gejala perngsangan
kafein terhadap SSP. Bila dosis metil xantin ditinggikan akan
menyebabkan gugup, gelisah, insomnia, tremor, hiperostesia,
kejang lokal atau kejang umum. Kejang akibat teofilin ternyata
lebih kuat dibandingkan akibat kafein. Kejang sering terjadi bila
kadar teofilin darah 50 % lebih tinggi daripada kadar terapi (10
20 g/ mL.
Dosis sedang pada kucing dan manusia menyebabkan
kenaikan sekresi lambung yang berlangsung lama. Kombinasi
histamin dan kafein memperoleh efek potensiasi pada peninggian
sekresi pepsin dan asam. Pada hewan coba didapati perubahan
patologis dan pembentuan ulkus pada saluran cerna akibat

pemberian kafein dosis tunggal yang tinggi atau dosis kecil


berulang.
Xantin dapat menyebabkan toleransi terutama terhadap efek
diuresis dan gangguan tidur. Terhadap perangsangan SSP hanya
sedikit terjadi toleransi, juga terdapat toleransi silang antar derivat
xantin.
Teofilin juga banyak digunakan pada penyakit ini denga
tujuan yang sama dengan pengobatan penyakit asma. Tetapi,
gejala lain yang mengangkat sistem kardiovaskular akibat
penyakit paru obstruktif kronik ini misalnya hipertensi pulmonal,
payah jantung kanan pada con pulmonale, tidak diperbaiki oleh
teofilin.
II.3.2 Alasan Penambahan Zat Tambahan
1. Oleum cacao
-

Oleum cacao merupakan basis suppositoria yang larut dalam


lemak.

Penggunaan oleum cacao ini berdasarkan kelarutan zat aktif


yang lebih larut dalam air dibandingkan etanol dan pelarut non
polar lainnya. Karena manurut lachman dalam suppositoria
untuk efek sistemik dijelaskan bahwa obat harus didispersikan
secara homogen didalamnya, tetapi obat tersebut dapat
dilepaskan dengan laju yang dikehendaki pada cairan-cairan
tubuh yang encer disekitar suppositoria tersebut. Oleh karena
itu kelarutan bahan-bahan aktif dalam air atau pelarut lainnya
harus diketahui. Jika obat larut dalam air, maka basis lemak
dengan angka air kecil yang dipilih ataupun sebaliknya
(Lachman, 1184).

Minyak coklat (oleum cacao) merupakan basis suppositoria


yang paling banyak digunakan. Selain itu sebagian besar sifat
minyak coklat memenuhi persyaratan basis ideal, karena
minyak ini tidak berbahaya, lunak dan reaktif, serta meleleh
pada temperatur tubuh (Lachman, 1168)

2. Cera alba
-

Berdasarkan basis yang digunakan yaitu olem cacao, maka


dalam formula ini menggunakan cera alba karena menurut
ansel oleum cacao dapat menunjukkan sifat polimerfisme atau
keberadaan zat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Jika
titik lebur menurun sedemikian rupa maka tidak mungkin lagi
dijadikan suppositoria yang padat dengan menggunakan oleum
cacao sebagai basis tunggal, maka bahan pengeras seperti cera
alba kurang lebih 4 % dapat dilebur dengan oleum cacao untuk
mengimbangi

pengaruh

pelunakan

dari

bahan

yang

ditambahkan (Ansel, 583).


-

Penggunaan cera alba dalam suppositoria dengan basis oleum


cacao digunakan konsentrasi 4% karena dapat memberikan
suhu lebur yang paling mendekati persyaratan farmasetik
(Nursal, 1).

3. -Tokoferol
-

-Tokoferol digunakan sebagai antioksidan

Berdasarkan basis yang digunakan yaitu oleum cacao memiliki


ketengikan yang disebabkan oleh antioksidasi dan penguraian
berturut-turut dari lemak tidak semua menjadi aldehid jenuh,
agar tidak terjadi autooksidasi maka digunakan antioksidan
(Lachman, 1191)

Penggunaan

anti

oksidan

ini

untuk

mengurangi

atau

meminimalisir timbulnya bau tengik dari basis oleum cacao


karena menurut lachman oleum cacao mempunyai kelemahan
dapat menjadi tengik (Lachman, 1191; Rowe, 31)
-

Konsentrasi yang digunakan adalah 0,05 % (Rowe, 31).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1

IV.2

Hasil Pengamatan
Bentuk

: ovula

Warna

: Putih

Bau

: Khas Gliserin gelatin

Pembahasan
Pada praktikum teknologi sediaan solda yang kedua ini membuat
suatu sediaan padat yaitu suppositoria. Dimana suppositoria adalah sediaan
padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal,
vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu
tubuh (Dirjen POM, 1995).
Bentuk suppositoria yang kami rancang adalah bentuk suppositoria
vagina. Karena dalam rancangan formulasi suppositoria dengan tiga zat
aktif sulfanilamida, aminakrin HCL dan allantoin yang diindikasikan untuk
inveksi vagina dan exocermis seperti monilasis dan trikomonal vaginitis
yang disebabkan oleh baktiri T. Vaginalis . Dimana suppositoria vagina
dimaksudkan untuk efek lokal digunakan terutama sebagai antiseptik pada
hygine wanita dan sebagai zat khusus untuk memerangi dan menyerang
penyebab penyakit (bakteri patogen) (Ansel, 1989)
Dalam rancangan formula suppositoria vagina ini menggunakan
basis Gliserin-gelatin, diamana Gliserin-gelatin paling sering digunakan
dalam pembuatan suppositoria vagina dimana memang diharapkan efek
setempat yang cukup lama dari unsur obatnya. Basis gliserin-gelatin lebih
lambat melunak dan bercampur dengan cairan tubuh daripada oleum cacao
dan oleh karena itu waktu pelepasan bahan obatnya lebih lama. Untuk
pembuatan suppositoria vagina, lazimnya paling banyak digunakan basis
kombinasi yang terdiri dari polietilen glikol dari macam-macam berat
molekul (Ansel, 1989).
Pada basis ini ditambahkan surfaktan nonionik tween 80 dan bahan
pengawet metil paraben dan propilen glikol, diamana aktivitas antimikroba
metil paraben dan paraben lainnya jauh berkurang dengan adanya

surfaktan nonionik seperti tween 80 sebagai hasil dari misel. Namun


propilen glikol 10% telah terbukti mempotensi aktivitas antimikroba
paraben dengan adanya surfaktan nonionik. Serta dapat mencegah infeksi
antara metil paraben dan polisorbata (Rowe, 2009).
Untuk membuat sediaan suppositoria vagina, langkah awal yang
dilakukan adalah membuat basis terlebih dahulu. Pertama-tama disiapkan
alat dan bahan yang akan digunakan. Kemudian alat dibersihkan
menggunakan alkohol 70% dengan tujuan untuk menghilangkan lemak
dan kotoran yang menempel pada alat (Dirjen POM, 1979). Kemudian
ditimbang gliserin 22,309 gram, gelatin 6,374 gram dan air 3,187 gram,
metil paraben 0,09 gram dan propilen glikol 5 gram. Kemudian dipanaskan
campuran gliserin, gelatin, metil paraben dan propilen glikol pada water
bath dengan suhu 50 0C. Selanjutnya adalah membuat sediaan suppositoria
vagina. Pertama ditimbang sulfanilamida 10,5 gram, aminakrin HCL 0,14
gram, allantoin 1,4 gram dan tween 80 1 gram. Kemudian dimasukkan
sulfanilamida 10,5 gram kedalam lumpang dan digerus. Lalu ditambahkan
aminakrin HCl 0,14 gram dan allantoin 1,4 gram dan digerus hingga
homogen. Kemudian ditambahkan tween 80 1 gram dengan tujuan untuk
menambah kelarutan dari sulfanilamida dan kemudian diaduk hingga
homogen. Kemudan dimasukkan campuran zat aktif ke dalam wadah dan
dituang basis yang telah dibuat ke dalam wadah yang berisi zat aktif.
Kemudian dilebur menggunakan water bath hingga homogen. Selanjutnya
diamkan beberapa saat hingga suppositoria vagina siap dicetak. Dalam
pembuatan suppositoria vagina ini menggunakan metode dengan tangan
dimana metode dengan pembuatan tangan merupakan metode suppositoria
yang paling tua dan sederhana. Massa suppositoria yang telah dilebur
kemudian digulung menjadi bola-bola vaginal sesuai berat yang
dikehendaki (Lachman, 2012). Kemudan dibungkus bola-bola vagina tadi
menggunakan alumunium foil agar suppositoria tidak tembus cahaya dan
sebaiknya dikemas dalam wadah tertutup rapat untuk mencegah perubahan
kelembapan dalam isi suppositoria dan sangat baik bila disimpan pada
lemari es pada suhu 15 C. Efek samping dari sediaan suppositoria vagina

ini adalah agranulositosis, anemia molitis, reaksi alergi misalnya urtikaria,


kotosensitasi serta iritasi.

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pemilihan basis yang tepat untuk suppositoria harus disesuaikan dengan zat
aktif dari suppositoria itu sendiri, yang apabila zat aktif dari suppositoria
sukar laut dalam air akan digunakan basis yang memiliki kelarutan yang
baik dalam air seperti PEG, sedangkan apabila suppositoria memiliki zat
aktif yang larut dalam air digunakan basis yang kelarutannya sedikit dalam
air seperti oleum cacao. Salah satu keunggulan sediaan supositoria adalah
dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung karena sediaan
suppositoria tidak melewati organ pencernaan.
V.2 Saran
Sebaiknya pada saat praktikum, praktikan diharapkan bisa mengetahui
bagaimana cara menggunakan alat yang baik dan benar, agar dapat
meminimalisir berbagai kesalahan yang mungkin saja terjadi pada saat
praktikum berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai