PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk torpedo,
dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh. (Moh. Anief. 1997)
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui
rectal, vagina atau uretra. (Farmakope Indonesia Edisi IV)
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo,
dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh. ( Farmakope Indonesia Edisi III)
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh,
digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud
penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. (Formularium Nasional)
Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang berbentuk torpedo yang
biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area tubuh, sediaan ini
ditujukan pada pasien yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh penanganan cepat.
Menurut FI edisi III hal 32
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk
torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh.
b. Menurut FI edisi IV hal 16
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot bentuk, yang diberikan melalui
rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh.
c. Menurut RPS 18 th hal 1609
Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang memiliki berat dan bentuk yang bervariasi,
biasanya penggobatan dilakukan dengan dimasukan dalam rektum, vagina dan uretra. Setelah
pemasukan suppositoria akan menjadi lembut atau lunak, melebur dalam cairan pencernaan.
d. Menurut Parrot hal 382
Suppositoria adalah suatu bentuk unit sediaan yang dimaksudkan untuk dimasukan
kedalam rektum, vagina dan uretra. Suppositoria melebur, melunak, dan melarut dalam suhu
tubuh.
e. Menurut R.Voight hal 281
Suppositoria adalah sediaan bentuk silindris atau kerucut berdosis dan berbentuk mantap
yang ditetapkan untuk dimasukan kedalam rektum, sediaan ini melebur pada suhu tubuh atau
larut dalam lingkungan berair.
f. Menurut FN hal 333
Suppositorium adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh,
digunakan dengan cara menyisipkan kedalam rektum, berbentuk sesuai dengan maksud
penggunaan, umumnya berbentuk terpedo.
g. Menurut Ilmu Meracik Obat hal 158
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur berbentuk terpedo, dapat
melunak, melarut, atau meleleh pada suhu tubuh.
h. Menurut Ansel hal 576
Suppositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaianya dengaan cara
memasukkan kedalam lubang atau celah dalam tubuh dimana ia akan melebur, melunak atau
larut dan memberikan efek lokal atau sistemik.
i. Menurut Lachman hal 1147
Suppositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang umumnya dimaksudkan untuk
dimasukan kedalam rektum, vagina, dan jarang digunakan untuk uretra. Suppositoria rektal dan
urektal biasanya menggunakan pembawa yang meleleh, atau melunak pada temperatur tubuh,
sedangkan suppositoria vaginal kadang-kadang disebut pessaries, juga dibuat dengan tablet
kompressi yang hancur dalam cairan tubuh.
j. Menurut Dom Hoover hal 163
Suppositoria adalah sediaan obat padat dengan berbagai ukuran dan bentuk yang
penggunaanya dengan diselipkan kedalam bagian tubuh biasanya melalui rektum, vagina atau
uretra.
k. Menurut Dom Marthin hal 834
Suppositoria adalah sediaan padat yang diberikan melalui bagian tubuh yakni vagina,
rektum, atau uretra.
2. PEG (Polietilenglikol)
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara 300-6000. Dipasaran
terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax 1000), PEG 1500 (carbowax 1500),
PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG di bawah 1000 berbentuk
cair, sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak seperti malam. Formula PEG yang dipakai
sebagai berikut:
1. Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%).
2. Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%.
Titik lebur PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi larut dalam cairan
sekresi tubuh.
Ø Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Tidak mengiritasi atau merangsang.
2. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum cacao.
3. Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh.
Ø Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga timbul rasa yang
menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam air
dahulu sebelum digunakan.
2. Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan obat.
Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan dasar, lalu
dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan supositoria dengan bahan dasar lemak
coklat.
Dalam praktik, nilai tukar beberapa obat adalah 0.7 kecuali untuk garam Bismuth dan
Zincy Oxydum. Untuk larutan nilai tukarnya dianggap satu. Bila supositoria mengandung obat
atau zat padat yang banyak, pengisian pada cetakan berkurang dan jika dipenuhi dengan
campuran massa, akan diperoleh jumlah obat yang melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk
membuat supositoria yang sesuai dapat dilakukan dengan cara menggunakan perhitungan nilai
tukar.
2.11Evaluasi Sediaan
Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut:
1. Uji homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan aktif dapat tercampur rata
dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika tidak dapat tercampur maka akan mempengaruhi
proses absorbsi dalam tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara
menguji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau
kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah
mikroskop, cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
2. Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak seperti sediaan
suppositoria pada umunya, maka seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa sediaan tersebut
bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan memberikan keyakinan
pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain itu, suppositoria merupakan
sediaan padat yang mempunyai bentuk torpedo.
3. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama sediaan tersebut dapat hancur
dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu
tubuh manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu hancurnya ±15
menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi syarat diatas maka sediaan
tersebut belum memenuhi syarat untuk digunakan dalam tubuh. Mengapa menggunakan media
air? Dikarenakan sebagian besar tubuh manusia mengandung cairan.
4. Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah sama atau
belum, jika belum maka perlu dicatat. Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap
kemurnian suatu sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya dengan
ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian dihitung berat rata-ratanya. Dari
hasil penetapan kadar, yang diperoleh dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif
dari masing-masing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen. Jika
terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut tidak memenuhi
syarat dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui
kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan dapat
memberikan efek terapi yang sama pula.
5. Uji titik lebur
Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan sediaan
supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh. Dilakukan dengan cara menyiapkan air dengan
suhu ±37°C. Kemudian dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati waktu leburnya. Untuk
basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3 menit, sedangkan untuk PEG 1000
adalah 15 menit.
6. Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras yang menjadikannya
sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas. Supositoria dipotong
horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan
jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian diberi beban seberat 20N
(lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam
tabung.
7. Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan parameter untuk untuk menunjukkan volume penyebaran
obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Volume distribusi ini hanyalah perhitungan
volume sementara yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.
Tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terduru dari plasma atau serum, dan Vd
adalah jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan kadarnya dalam plasma atau serum.
Keterangan :
X = jumlah obat dalam tubuh C = kadar obat dalam plasma atau serum
DIV = dosis obat dalam pemberian IV Doral = dosis obat dalam pemberian oral
F = fraksi dosis oral yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk
aktif.
= bioavailabilitas absolute obat oral
Co= kadar plasma atau serum pada waktu T = 0 (ekstrapolasi garis eliminasi ke t = 0 )
Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, kemampuan molekul obat memasuki
berbagai kompartemen tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan
berbagai jaringan. Obat yang tertimbun dalam jaringan mempunyai kadar dalam plasma yang
rendah sekali sedangkan Vd nya besar (misalnya, digoksin). Untuk obat yang terikat dengan kuat
pada protein plasma mempunyai kadar plasma yang cukup tinggi dan mempunyai Vd yang kecil
(misalnya, warfarin, tolbutamid dan salisilat).
2.12Monografi
Monografi bahan dalam pembuatan sediaan supositorian adalah sebagai berikut:
1. Aminophyllinum, Teofilin Etilendiamin (FI IV hal 90)
Pemerian: butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia lemah, rasa pahit. Jika
dibiarkan di udara terbuka, perlahan-lahan kehilangan etilenadiamina dan menyerap karbon
dioksida dengan melepaskan teofilin. Larutan bersifat basa terhadap kertas lakmus.
Kelarutan: tidak larut dalam etanol dan dalam eter. Larutan 1 g dalam 25 air menghasilkan
larutan jernih, larutan 1 g dalam 5 ml air menghablur jika didiamkan dan larut kembali jika
ditambah sedikit etilenadiamina.
Khasiat: obat asma.
2 Bisakodil, Bisacodylum (FI IV hal 144)
Pemerian: serbuk hablur, putih sampai hampir putih, terutama terdiri dari partikel dengan
diameter terpanjang lebih kecil dari 50 µm.
Kelarutan: praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, dan dalam benzene, agak sukar
larut dalam etanol dan dalam methanol, sukar larut dalam eter.
Khasiat: obat laksativum atau memperlancar BAB.
3. Oleum Cacao (FI-III hal 453)
Lemak coklat adalahcoklat padat yang diperoleh dengan pemerasan panas biji Theo Broma
Cacao L. yang telah dikupas/ dipanggang.
Pemerian: lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa khas lemak agak rapuh.
Kelarutan: sukar larut dalam etanol (95 %)P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P dan
dalam eter minyak tanah P.
Suhu lebur: 310 – 340 C.
Khasiat: zat tambahan.
2.13 Alasan Pemilihan Bahan
a. Amynophyllinum
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk mengobati asma, zat aktif ini dibuat dalam bentuk
suppositoria karena untuk asma membutuhkan penanganan yang cepat. Efek terapi yang
diberikan jika sediaan dalam bentuk suppositoria lebih cepat daripada dalam bentuk oral.
Sediaan dalam bentuk oral, kerja obatnya harus melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan
sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih cepat.
b. Oleum Cacao
Oleum Cacao berdaya guna dalam melepaskan zat aktif daripada yang lain, karena mempunyai
titik lebur pada suhu 31°-34°. Dibuat dalam bentuk suppositoria ditujukan untuk melebur pada
suhu tubuh, karena oleum cacao digunakan sebagai bahan dasar suppo yang ketambahan zat
aktif, jadi titik leburnya akan menjadi 35°-37°. Obat yang larut dalam air yang dicampur dengan
oleum cacao, pada umumnya memberi hasil pelepasan yang baik. (Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi: 581). Pada bahan tambahan oleum cacao ini dilebihkan 10% pada basisnya, sebab basis
saat dileburkan selain melebur juga menguap, sehingga berkurang. Selain itu saat di dinginkan
basis akan menyusut dan berkurang oleh karena itu harus dilebihkan 10% pada basisnya.
c. Bisakodil
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa nyeri pada buang air besar.
Dibuat dalam bentuk suppositoria karena bentuk sediaan ini akan membantu memberikan efek
terapi yang lebih cepat dari pada dalam bentuk oral. Sediaan dalam bentuk oral, kerja obat harus
melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi sehingga
efek terapi yang diberikan akan lebih cepat.
Ovulae / Ovula
Ovula adalah sediaan padat , umumnya berbentuk telur mudah melemah (melembek) dan
meleleh pada suhu tubuh, dapat melarut dan digunakan sebagai obat luar khusus untuk vagina.
Sebagai bahan dasar ovula harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh.
Sebagai bahan dasar dapat digunakan lemak coklat atau campuran PEG dalam berbagai
perbandingan. Bobot ovula adalah 3 - 6 gram, umumnya 5 gram. Ovula disimpan dalam wadah
tertutup baik dan ditempat yang sejuk.
Menurut FI IV, supositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau dapat
bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin tergliserinasi memiliki bobot 5 g. Supositoria
dengan bahan dasar gelatin tergliserinasi ( 70 bagian gliserin, 20 bagian gelatin dan 10 bagian
air) harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada suhu di bawah 35°C.