Anda di halaman 1dari 45

LABORATORIUM FARMASETIKA

TEKNOLOGI SEDIAAN SOLID


LAPORAN
“TEORI SUPPOSITORIA”

OLEH :
KELOMPOK III (TIGA)
ASISTEN : HASMA, S.Farm,M.Si.,Apt

NUR INDAH SARI NH0517056 RENALDA NH0517071


NURHIKMAH N NH0517064 SITI NOOR ASRINA NH0517085
NURMITA NH0517065 SYAFIRA ARIEF NH0517090
PEBRYANI NH0517067 THISMAWATI M NH0517091
RANI TARABUBUN NH0517070 TOBIAS D KEBAN NH0517092
RIRIN PATANDO NH0517074 YULPITASARI NH0517097
RISKA HARIANTI NH0517076 YULVIANA NH0517098

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Sediaan farmasi, menurut undang – undang republik Indonesia
No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, dan kosmetika. Bentuk sediaan obat merupakan
mengandung suatu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang di
gunakan sebagai obat dalam, atau pun obat luar. Ada berbagai bentuk
sediaan obat di bidang farmasi, yang dapat di klasifikasikan menurut
wujud zat dan rute pemberian sediaan (Sediaan Solida. Hal: 1).
Sediaan solida memiliki keunggulan di bandingkan sediaan
bentuk cair, antara lain takaran dosis yang diberikan lebih tepat, dapat
menghilangkan atau mengurangi rasa tidak enak dari bahan obat,
bahan obat lebih stabil dalam bentuk padat sehingga waktu
kadaluwarsa dapat lebih lama, tempat penyimpanan lebih kecil dan
biaya transportasi dapat lebih murah serta tidak ada resiko botol
hancur atau pecah (Sediaan Solida. Hal: 1).
Formulasi sediaan solida adalah proses untuk memperoleh
sediaan solida yang memenuhi persyaratan, yaitu aman, efektif, dan
akseptabel secara ketersediaan farmasetik dan ketersediaan hayati.
Pada saat tablet kontak dengan medium cair dan hancur, tablet akan
menjadi partikel – partikelnya yang akan larut dan tersedia untuk
proses absorpsi. Ketersediaan farmasetik merupakan bagian obat
yang dibebaskan dari bentuk pemberiannya, misalnya tablet, kapsul,
serbuk, dan granul, dan tersedia untuk proses absorbsi (Sediaan
Solida. Hal: 2).
Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang pemakainnya
dengan cara dimasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh,
dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek
local atau sistemik (Ansel IV. Hal 9).
Adapun alasan pembuatan laporan ini di karenakan agar
mahasiswa dapat mengetahui teori – teori, praktikum tentang sediaan
solida pada sediaan suppositoria baik itu definisi, metode, dan
evaluasi – evaluasi yang dilakukan setelah pembuatan.

I.2 Maksud dan Tujuan


I.2.1 Maksud percobaan
Adapun maksud percobaan adalah untuk mengatahui dan
memahami teori dari sediaan suppositoria.
I.2.2 Tujuan percobaan
Adapun tujuan adalah untuk mengatahui dan memahami
yaitu, definisi suppositoria, bobot dan bentuk suppositoria,
penggunaan terapi suppositoria, faktor yang mempengaruhi
absorbsi obat pada sediaan suppositoria, klasifikasi basis
suppositoria, kriteria basis ideal, bentuk Kristal lemak coklat,
metode pembuatan suppositoria, keuntungan dan kerugian
suppositoria dan evaluasi suppositoria.

I.3 Prinsip percobaan


Diskusi dengan metode FGD(Focus Grup Discusion) dengan
melihat kesesuaian teori umum dalam diskusi dengan respon melalui
litaratur beberapa refrensi yang ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Suppositoria


A. Menurut Formularium Nasional Hal : 333
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumas dan
larut pada suhu tubuh digunakan dengan menyisipkan kedalam
rectum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya,
umumnya berbentuk torpedo.
B. Menurut Scoville’s Hal : 367
Suppositoria adalah padatan obat berbentuk nyaman yang di
maksudkan kedalam salah satu lubangt ubuh selain rongga mulut.
C. Menurut Lachman III Hal : 1147
Suppositoria adalah suatu bentuk sediaan obat padat yang
umumnya di maksudkan untuk dimasukkan kedalam rectum vagina
dan jarang digunakan untuk uretra.
D. Menurut Ansel IV Hal : 576
Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang
pemakainnya dengan cara di masukkan melalui lubang atau celah
pada tubuh, dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan
memberikan efek lokal atau sistemik.
E. Menurut Farmakope Indonesia III Hal : 32
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui
dubur, umumnya berbentuk terpedo, dapat melarut, melunak atau
meleleh pada suhu tubuh.

II.2 Bobot dan Bentuk Suppositoria


A. Menurut Parrot Hal : 382
1. Suppositoria Rektal
Bentuknya kerucut atau silindris dan lonjong. Rektal
suppositoria beratnya 2 gram, panjang ±30 mm, berdiameter 10
mm.
2. Suppositoria Vagina
Berbentuk bundar atau oval, beratnya bervariasi 3-5 gram.
B. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III Hal: 17
1. Suppositoria Rektal
Suppositoria rektal untuk dewasa berbentuk lonjong pada
satu atau kedua ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang
2 gram.
2. Suppositoria Vaginal
Umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot
lebih kurang 5 gram, dibuat dari zat pembawa yang larut dalam
air.

II.3 Penggunaan Terapi Suppositoria (3 Pustaka)


A. Menurut Lachman Edisi III, Hal: 1184-1186
1) Suppositoria untuk Efek Sistemik
Pemilihan basis suppositoria yang mungkin di kehendaki
harus dibuat, misalnya dengan memiliki basis-basis yang
disaran kanavaibilitas dan hanya basis suppositoria yang harus
dipertimbangkan sebelum pengujian dimulai.
2) Suppositoria untuk Efek Lokal
Obat-obat yang dimaksud kan untuk efek local umumnya
tidak diabsorbsi, misalnya obat-obat untuk wasir, anastetik
local, dan antiseptic. Basis-basis yang digunakan untuk obat-
obat ini sebenarnya tidak diabsorbsi, lambat meleleh, dan
lambat melepaskan obat berbeda dengan basis-basis
suppositoria yang dimaksudkan untuk obat-obat sistemik.
Efeklok umumnya terjadi dalam waktu setengah jam sampai
paling sedikit 4 jam.
B. Menurut Ansel Edisi IV, Hal: 577-5 78
1) Aksi Lokal
Begitu dimasukkan, basis suppositoria meleleh, meleleh,
melunak atau melarut menyebarkan bahan obat yang
dibawahnya kejaringan-jaringan daerah tersebut. Obat ini bias
dimasukkan untuk ditahan dalam ruangan tersebut untuk efek
lokal atau bias juga dimasukkan agar diabsorbsi untuk
mendapatkan efek sistemik. Suppositoria rektal dimaksudkan
untuk kerja local dan paling sering digunakan untuk
menghilangkan konstifas idan rasa sakitinstasi, rasa gatal dan
radang sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal
lainnya.
2) Aksi Sistema
a. Obar yang diusak atau dibuat tidak efektif aktif oleh pH atau
aktivitas enzim dari lambung atau usus tidak perlu dibawah
atau masuk kedalam lingkungan yang merusak ini.
b. Obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa
menimbulkan ransangan.
c. Obat yang dirusak dalam sirkulasi portal, dapat tidak
melewati hati setelah absorbsi pada rectum dalam
perawatan obat melewati sirkulasi portal setelah absorbsi
pada penggunaan secara oral.
d. Cara ini lebih sesuai untuk digunakan oleh pasien dewasa
dan anak-anak yang tidak dapat atau tidak mau menelan
obat.
e. Merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang
suka muntah.
C. Menurut Scoville’s, Hal: 368
Suppositoria tidak hanya digunakan untuk aksilokal, terapi
juga memberikan obat untuk menghasilkan efek sistemik ketika
bahan obat dihasilkan dalam bentuk suppositoria diabsorbsi secara
lambat dan menghasilkan aksi terapeutik lebih panjang
masawaktunya, contoh bahan yang diberikan secara rektal untuk
aksisistemik termasuk sulfonamide, merkentum, dan opium
antispasmodik seperti aminophylin dan pelican lebih disukai
kombinasi dari aksilokal obat, sulfonamide untuk mencegah
informasi pelican dari organis mekolon.

III.4 Faktor yang mempengaruhi absorbs obat pada sediaan


suppositoria (2 pustaka)
A. Menurut Ansel Hal : 579-581
1. Faktor fisiologi
Rectum manusia, panjangnya ± 15-20 cm. pada
waktu isi kolon kosong, rectum berisi 2-3 ml cairain mukasa
yang inert. Dalam keadaan istirahat, rectum tidak ada vili dan
nukrovili pada mukosa rectum. Akan tetapi terdapat bervariasi
absorbsi obat dari rectum adalah kandungan kolon, jalur
sirkulasi dan pH serta tidak adanya kemampuan mendapat
dari cairan rectum.
a. Kandungan kolon, apabila diinginkan efeksistemik dari
suppositoria yang mengandungng obat, absorbsi yang
lebih besar banyak terjadi pada rectum yang kosong dari
pad rectum yang digelembungkan oleh feses.
b. Jalur sirkulasi, obat yang diabsorbsi melalui rectum, tidak
seperti yang diabsorbsi setelah pemberian secara oral,
tidak melalui sirkulasi portal sewaktu perjalanan
pertamanya dalam sirkulsi yang lazim dengan car
demikian obat dimungkinkan untuk dihancurkan dalam
hati.
c. PH dan tidak adanya kemampuan mendapat dari cairan
rectum karena karena cairan rectum dasarnya netral.
Pada pH (7-8). Dan kemampuan mendapat tidak ada,
maka bentuk obat yang digunakan lazimnya secara kimia
tidak berubah oleh lingkungan rectum.
2. Faktor fisika kimia dari obat basis suppotoria
a. Kelarutan lemak air, koefisien partisi lemak air dari suatu
obat-obat merupakan pertimbangan yang penting pada
pemilihan basis suppotoria .
b. Ukuran patikel semakin mudah melarut dan lebih besar
kemungkinannya untuk dapat lebih cepat diabsorbsi.
c. Sifat basis yang mampu mencair, melunak atau melarut
suapaya melepas kandungan obatnya untuk diabsorbsi.
Apabila terjadi interaksi antara basis dengan obat ketika
dilepas. Maka absorbsi akan terganggu atau malah
dicegahnya.
B. Menurut Lachman III Hal : 1149 – 1151
1. Faktor – faktor fisiologi
Sejumlah obat tidak dapat diberikan secara oral, karena obat-
obat tersebut mempengaruhi oleh getah pencernaan atau
aktivitas terapetisnya diubah oleh hati sesudah diabsorbsi.
Sesudah obat diabsorbsi dari usus halus, akan dibawah oleh
vena perbahapatika ke hati. Hati mengubah sebagian besar
obat secara kimia hingga keaktifan sistematiknya seringkali
berkurang. Sebaliknya sebagian besar obat yang sama dapat
diabsorbsi dari daerah anorektal dan nilai terapetisnya masih
dipertahankan vena humeroid yang lebih bawah mengelilingi
kolon dan rectum masuk kedalam vena kava enfeflor, jadi
menghindari hati. Vena humoroid yang lebih atas tidak
berhubungan dengan vena porta yang menuju ke hati,
dilaporkan bahwa lebih dari separuh (50 sampai 70 %) obat
yang diberikan secara rectal terabsorbsi secara rectal
terabsorbsi secara langsung kedalam sirkulasi umum.
pH mukosa rectal mempunyai peranan dalam
mengendalikan laju absorbsi obat yang berarti sehanker
melaporkan bahwa kolon tikus mempunyai pH kira-kira 6,8.
Suatu pH yang lebih asam dari pada yang dikira semula.
Keadaan membran anorektal juga memegang
peranan dalam absorbsi obat. Dinding membran ini diliputi
suatu lapisan mukosa yang relatif kontinu yang dapat
bertindak sebagai penghalang mekanik untuk jalannya obat
melalui pori-pori dimana terjadinya absorbsi.
2. Karakteristik fisika kimia obat
Urutan peristiwa yang menuju absorbsi obat melalui daerah
anorektal secara obat dalam pembawa, obat dalam cairan-
cairan kolon, absorbsi melalui mukosa rectal agar obat dapat
diabsorbsi. Obat tersebut harus dilepaskan dari supositoria
dan didistribusikan oleh cairan disekitarnya pada tempat-
tempat absorbsi.

II.5 Klasifikasi Basis Suppositoria dan Contohnya Minimal 2


A. Menurut Ansel IV Hal : 582
1. Basis berminyak atau berlemak. Basis berlemak merupakan
basis yang paling banyak dipakai, karena pada dasarnya oleum
cacao termasuk kelompok ini utama dan kelompok ketiga
merupakan golongan basis-basis lainnya. Diantaranya bahan-
bahan berminyak atau berlemak lainnya yang biasa digunakan
sebagai basis suppositoria. Macam-macam asam lemak yang
dihidrogenasi dari minyak nabati seperti minyak palem dan
minyak biji kapas. Campuran yang demikian seperti gliseril
monostearat, dan gliseril monopalmital.
2. Basis yang larut dalam air dan basis yang bercampur dengan
air. Merupakan kumpulan yang penting dari kelompok inii adalah
gelatin gliserin dan basis polietilen glikol. Basis gelatin glisrerin,
paling sering digunakan dalam pembuatan suppositoria vagina
dimana memang diharapkan efek setempat yang cukup lambat
melunak dan bercampur denga cairan tubuh daripada oleum
cacao dan oleh karena itu waktu penglepasan bahan obatnya
lebih lama.
3. Bahan lainnya. Dalam kelompok basis ini termasuk campuran
bahan bersifat seperti lemak dan yang larut dalam air atau
bercampur fisika beberapa diantaranya berbentuk emulsi,
umumnya dari tipe air satu dari bahan ini adalah polioksil 40
stearat suatu zat aktif pada permukaan yang digunakan pada
sejumlah basis suppositoria dalam perdagangan.
B. Menurut Lachman III Hal: 1168-1174
1. Minyak Cokelat (Minyak Theobroma)
Minyak cokelat merupakan basis suppositoria yang paling
banyak digunakan minyak cokelat sering kali digunakan dalam
resep-resep pencampuran bahan-bahan obat biala biasanya
tidak dinyatakan apa-apa sebagian besar sifat minyak cokelat
memenuhi persyaratan ideal basis, karena minyak ini
berbahaya, lunak dan tidak kreatif, serta meleleh pada
temperatur tubuh.
2. Pengganti Minyak Cokelat
Mekanisme pembuatan suppositoria, seperti juga
kelemahan yang menjadi sifat minyak coklat, telah menjadi sifat
minyak telah merangsang penelitian pengganti minyak cokelat
yang sesuai.

3. Basisi suppositoria khusus


a. Interval yang sempit antara titik leleh dan titik memudar
(misalnya titik leleh 34°C, titik memadat 32°C), yang
digunakan dalam resep farmasi dan rumah sakit skala kecil
serta formula industri.
b. Kisaran leleh yang tinggi (37-41°C) untuk pencampuran
obat-obat yang menurunkan titik leleh basis – kanfar,
klorhidrat, mentol, fenol, tiniol dan beberapa tipe-tipe minyak
menguap.
c. Kisaran leleh rendah (30-34°C) bila zat tersebut ditambahkan
pada basis suppositoria atau sejumlah besar zat padat total
yang meningkatkan viskositas dari suppositoria yang
meleleh.
d. Angka asam rendah (dibawah 3) dan angka lod (dibawah 7)
yang merupakan karakteristik penting basis suppositoria
dengan shicf-life yang lama.
4. Basis Suppositoria Hidrofilik
Formula ini seringkali digunakan dalam suppositoria
vaginal, yang dimaksudkan untuk efek lokal dari zat
antimikroba, suppositoria melarut perlahan untuk
memperpanjang aktivitas obat tersebut karena gliserin bersifat
hidroskopis, maka suppositoria ini dikemas dalam bahan yang
dapat dilindungi dari kelembapan sekeliling.
5. Berbagai polietilen glikol
Suppositoria polietilen glikol dapat dibuat dengan metode
pencetakan maupun metode kompresi dingin. Suatu campuran
6% heksantriol 1,2,6 dengan polietilen glikol 1540 dan 12%
polimer polietilen oksida 4000 merupakan basis yang sesuai,
terutama untuk teknik kompresi dingin.

II.6 Kriteria Basis Ideal


A. Menurut Ansel IV Hal : 581
Basis selalu padat dalam suhu ruangan tetapi akan melunak,
melebur, atau melarut mudah pada suhu tubuh sehingga obat yang
dikandungya dapat sepenuhnya dimasukkan.
B. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III Hal : 32
Bahan dasar harus dapat larut dalam air atau meleleh pada
suhu tubuh.

II. 7. Bentuk Kristal lemak coklat (2 pustaka)


a. Menurut lachman III hal :1169
1) Bentuk d, meleleh pada 24o C, di peroleh dengan pendinginan
secara tiba-tiba minyak cokelat yang sedang meleleh sampai suhu
0o C.
2) Bentuk B, diperoeh dari minyak cokelat yang dicairkan dan diaduk
aduk pada 18 – 23o C titik selebihnya terletak antara 28.dan 31 o C.
3) Bentuk B, secara pwrlahan lahan berubah menjadi bentuk B,yang
stabil, yang mencair antara 34o dan 35o C perubahan ini di sertai
penyusunan volume.
4) Bentuk Y. meleleh pada 18 o C di peroleh dengan penimbang
banyak cokelat dingin (20c). Sebelum minyak cokelat memadat,
ke dalam suatu wadah yang telah di inginkan pada temperatur
sangat dingin.
b. Menurut Ansel IV hal:583
Bentuk Kristal merupakan suatu kondisi metasbil, terjadi
penyesuaian yang lambat ketingkat keristal bentuk B yang lebih
stabil dan lebih tinggi titik leburnya.

II.8 Metode Pembuatan Suppositoria


A. Menurut Ansel IV Hal : 585 - 592
Suppositoria dibuat dengan 3 metode :
1. Pembuatan dengan cara mencetak
2. Pembuatan dengan cara kompressi
3. Pembuatan secara menggulung dan membentuk dengan tangan
B. Menurut Lachman III Hal : 1179-1180
1. Mencetak dengan tangan
Metode pembuatan suppositoria yang paling sederhana
dan paling tua adalah dengan tangan yakni dengan menggulung
basis suppositoria yang aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki.
2. Mencetak kompressi
Suppositoria yang lebih seragam dan elegan secara
farmasetik dapat dibuat dengan mengkompressi parutan massa
dingin menjadi suatu bentuk yang dikehendaki.
3. Mencetak tuang
Metode yang paling umum digunakan untuk membuat
suppositoria skala ideal dan skala besar adalah proses
percetakan.
4. Mesin pencetak otomatis
Pelaksanaan pencetakan (renungan, pendinginan dan
pemindahan) dapat dilakukan dengan mesin.

II.9 Evaluasi Sediaan Suppositoria (2 pustaka)


a. Menurut Lachman hal :1191-1194
1) Uji kisaran leleh.
Uji ini disebut juga uji kisaran celah mikro,dan uji ini
merupakan suatu ukuran waktu yang di perlukan suppositoria
untuk meleleh sempurna bila di lipakan dalam penangas air
dengan temperatur tetap 37o C. Sebaiknya uji kisaran
meleleh.mikro adalah kisaran leleh yang di ukur dalam pipe
kapiler,hanya untuk basis lemak.

2) Uji Kehancuran
Berbagai larutan sudah di uraikan untuk memecahkan
masalah-masalah kerapuhan suppositoria ,uji kehancuran
dirancang sebagai metode untuk mengukur kesegasan dan
kerapuhan suppositoria .
3) Uji Disolusi
Pengujian laju penglepasan zat obat dari suppositoria
secara ini vitro selalu mengalami kesulitan karena adanya
kelelehan, perubahan bentuk dan dispersi dari medium disolusi
b. Menurut FI III hal :33
1) Keseragaman bobot
2) Waktu hancur memenuhi syarat di farmakope Indonesia.

II.10 Keuntungan dan kerugian suppositoria (2 Pustaka)


a. Menurut lachman III, Hal : 1184-1153
1. Keuntungan
Suppositoria rental juga digunakan untuk efek sistemik
dalam kondisi dimana pemberian obat secara oral tidak akan
ditahan atau di absorbsi secara cepat.
2. Kerugian
Dinding membran ini diliputi suatu lapisan mukosa yang
relatif kontinu yang dapat bertindak sebagai penghalang
mekanik untuk jalannya obat melalui dinding pori-pori dimana
terjadi absorbsi.
b. Menurut R.voight. Hal : 283
1. Keuntungan
a) Tidak membebani lambung
b) Tanpa rasa tidak enak (kemaluan)
c) kemungkinan penerapannya bila perlu juga selama
kehilangan kesadaran
d) Pada kesulitan menelan dan sebagainya.
2. Kerugiian

a) Injeksi oleh pasien sebagai yang menyakitkan.


b) Rasa yang tidak menyenangkan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari materi diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumas dan larut
pada suhu tubuh digunakan dengan menyisipkan kedalam rektum,
berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya
berbentuk torpedo.
2. Bobot dan Bentuk Suppositoria, meliputi :
a. Suppositoria Rektal
b. Suppositoria Vagina
3. Penggunaan Terapi Suppositoria, meliputi :
a. Suppositoria untuk Efek Sistemik
b. Suppositoria untuk Efek Lokal
c. Aksi Sistema
4. Faktor yang mempengaruhi absorbs obat pada sediaan
suppositoria, meliputi:
a. Faktor fisiologi
b. Faktor fisika kimia dari obat basis suppotoria
5. Klasifikasi Basis Suppositoria dan Contohnya, meliputi :
a. Basis berminyak atau berlemak, contohnya minyak palem dan
minysk biji kapas.
b. Basis yang larut dalam air dan basis yang bercampur dengan
air, contohnya dalam pembuatan suppositoria vagina.
c. Minyak Cokelat (Minyak Theobroma)
d. Basisi suppositoria khusus
e. Basis Suppositoria Hidrofilik
f. Berbagai polietilen glikol
6. Kriteria Basis Ideal adalah basis selalu padat dalam suhu ruangan
tetapi akan melunak, melebur, atau melarut mudah pada suhu
tubuh sehingga obat yang dikandungya dapat sepenuhnya
dimasukkan.
7. Bentuk Kristal merupakan suatu kondisi metasbil, terjadi
penyesuaian yang lambat ketingkat keristal bentuk B yang lebih
stabil dan lebih tinggi titik leburnya
8. Metode Pembuatan Suppositoria, adalah mencetak dengan tangan,
mencetak kompressi, mencetak tuang, dan mesin pencetak
otomatis.
9. Evaluasi Sediaan Suppositoria, terdiri dari keseragaman bobot, uji
kisaran leleh, uji kehancuran, dan uji disolusi.
10. Keuntungan dan kerugian suppositoria, terdiri dari :
a. Keuntungan
Tidak membebani lambung, tanpa rasa tidak enak
(kemaluan), kemungkinan penerapannya bila perlu juga selama
kehilangan kesadaran, pada kesulitan menelan dan sebagainya.
b. Kerugian
Injeksi oleh pasien sebagai yang menyakitkan dan rasa yang
tidak menyenangkan.

B. Saran
Adapun saran dari laporan ini adalah agar pembaca dapat
memberikan kritik dan saran membangun mengenai kelengkapan isi
dan penyusunan laporan.
LAMPIRAN BUKU
1. Definisi Suppositoria
3.Penggunaan Terapi Suppositoria
II.8 Metode Pembuatan Suppositoria
II.4 Faktor yang mempengaruhi absorbsi obat
10. keuntuungan dan kerugian

Anda mungkin juga menyukai