Anda di halaman 1dari 10

Nama

: Petsy Jessy Ismoyo

NPM

: 1206339090

Mata Kuliah : Keuangan dan Sistem Moneter Eropa


Pengajar

: Komara Djaya, Ph.D.

PROGRAM PASCASARJANA
KAJIAN WILAYAH EROPA UNIVERSITAS INDONESIA

KEUANGAN DAN SISTEM MONETER ITALIA: KRISIS


FINANSIAL TAHUN 1992 DAN 2008

PENDAHULUAN
Italia merupakan salah satu anggota Uni-Eropa yang maju dilihat dari angka
GDP mencapai US$ 2.055 trilyun tahun 2010 di mana persentase sektor jasa
mencapai 72,8%, industri 25,3% dan sektor pertanian 1,9%. GNI-nya berfluktuasi
pada kisaran US$ 35.760 dan US$ 960 (https://www.indexmundi.com/fects/italy/gniper-capita). Sebagai negara eksportir besar, Italia menyumbangkan hingga 59% dari
hasil keseluruhan perdagangannya pada kemajuan ekonomi Eropa. Ironinya, Italia
saat ini mengalami penurunan dalam performa ekonomi. Catatan dari Eurostat, Italia
merupakan negara ke-2 dengan jumlah rasio utang terbesar setelah Yunani (116% dari
GDP tahun 2010). Ditulis dalam The Economist, penyebab utang Italia adalah GDP
per kapita Italia utara yang jauh melebihi rata-rata Uni-Eropa. Kesenjangan antara
Italia Utara dan Italia Selatan juga menempatkan posisi lainnya pada situasi kondisi
ekonomi jauh di bawah rata-rata (https://www/economist.com/node/21556297).
Berikut selanjutnya dijelaskan pada bagian beriutnya tentang krisis ekonomi Italia
yang berdampak pada lesunya ekonomi Uni-Eropa.
Menilik ke belakang, Italia mengalami krisis mata uang dalam sejarahnya
dengan Uni-Eropa. European Monetary System (EMS) adalah bentukkan anggota
Uni-Eropa dari akhir tahun 1970-an sampai awal 1990-an pasca jatuhnya Bretton
Woods System di mana Uni-Eropa mencoba kembali membatasi fluktuasi exchange
rate. Bentukan EMS kemudian dibagi menjadi dua komponen artifisial yaitu
European Currency Unit (ECU) dan Exchange Rate Mechanism (ERM). Tujuannya
adalah mencapai stabilitas moneter di kalangan Eropa sendiri daripada bersandar pada
ekonomi global sembari berjalan pada unifikasi di mana mengeliminasi seluruh
batasan capital dan trade di seluruh Eropa. Dari 15 anggota Uni-Eropa pada saat itu,

hanya 11 yang bersedia bergabung dalam EMS termasuk Italia. Hal ini juga yang
akan mempengaruhi situasi finansial di Italia. Awalnya ERM dibuat untuk menjaga
stabilisasi antara mata uang Mark-Pound-Lira, keadaan justru membuat mata uang
Pound dan Lira terdepak dari ERM. Tulisan ini memaparkan akar masalah dan
dampak tataran krisis finansial Italia terutama krisis mata uang yang terjadi pada
tahun 1992 serta krisis utang selanjutnya yang terjadi tahun 2008 dalam perspektif
moneter Eropa.

KRISIS MATA UANG ITALIA TAHUN 1992


Krisis mata uang di Eropa ditengarai akibat perang di Eropa pada September
1992. Keadaan di mana Central Bank yang menjual Deutsche Mark, membeli British
Pound dan Italian Lira. Di sisi lain hal itu terjadi karena investor membeli British
Pound dan Italian Lira dan membeli Deutsche Mark. Demikian terjadi karena
Deutsche Mark menjadi 'dasar' dari posisi nilai tukar mata uang dalam EMS karena
situasi ekonomi Jerman berkembang pesat pasca reunifikasi Jerman pada tahun 1990
dan adanya kebijakan low-inflation policy yang dilakukan oleh Deutsche Bundesbank.
Jerman konsen pada pembangunan eknomoni dan inflasi yang terjadi dalam
negaranya, sehingga interest rate dinaikkan dengan sangat tinggi. Hal ini berpengaruh
pada negara Eropa lainnya termasuk Italia. Resesi pun dilakukan untuk meningkatkan
tingkat ekonomi yang melaju lambat. Di sisi lain, Italia harus mencegah turunnya
Italian Lira untuk mempertahankan nilainya dari Deutsch Mark. Krisis semakin
memanas mengingat situasi ekonomi Italia sedang bermasalah dengan double digit
deficits, sehingga kebijakan low-interest rate (suku bunga rendah) harus dilakukan.
Suku bunga yang rendah akan menarik pinjaman uang di bank, sehingga menurunkan
tingkat inflasi. Situasi ini bersamaan dengan meningkatnya discount rate Jerman
hingga 8.75% untuk melonggarkan tegangan inflasi. Hal ini berakibat sebaliknya
untung Italia, mata uang lain mengalami revaluasi 3.5% dan Italian Lira mengalami
devaluasi hingga 3.5%.
Gambar di bawah ini menunjukkan rendahnya nilai tukar Lira dan Mark dari
tahun 1970-2010. Italia mengalami begitu banyak depresiasi Lira dibanding apresiasi.
Nilai Lira selalu terdepresiasi dengan mata uang negara Eropa lainnya. Kolom
dibedakan ketika sistem moneter Eropa masih berbentuk EMS (European Monetary
System) dan EMU (European Monetary Union).

Krisis semakin menyebar dalam sistem finansial Italia tertanggal 11


September 1992, Italian Lira jatuh dalam nilai tukar terendahnya dalam ERM
dihantam oleh para spekulan. Investor terus menjual Lira pada Central Bank,
demikian terjadi karena pasar mengetahui bahwa Italia tidak mampu menjaga interest
rate atau suku bunga tetap tinggi di sela-sela resesi. Kemudian berimbas pada
terjadinya devaluasi Lira besar-besaran hingga 7% dalam EMS. Kebijakan ini diikuti
dengan adanya pemotongan discound rate 0,5-8,25%, Lombard rate 0,25-9,5% di
Jerman.
Intervensi Bundesbank ketika jumlah money supply mencapai DM 24 Juta,
jauh lebih besar dari krisis mata uang sebelumnya, di mana situasi ini telah menelan
cukup menggembungkan money supply Jerman. Posisi Italian Lira dalam EMS
semakin terpojok sejak Danish Referendum dan diperparah dengan ketidakjelasan dari
French Referendum. Pasar pun khawatir pemerintah Italia tidak mengambil langkahlangkah untuk mengatasi defisit anggaran megara yang naik hingga 10,5% dari GDP.
Hantaman bertubi-tubi dari sisi finansial membuat Italia pada akhirnya mengundurkan
diri dari ERM menghindari agar tidak kehilangan nilai tukar mata uangnya.
Uni-Eropa mengadaptasi fixed exchage rate system atau disebut juga
crawling peg system. Sistem ini kemudian dikenal dengan Second Generation Model
(SGM) sebagagai jawaban atas fenomena krisis ERM 1992. Dikenal juga dengan
endogeneous policy model atau self fulfiling process menyebabkan setiap mata uang
memiliki nilai tengah dan dapat bergerak fleksibel sampai 2,5% ke atas atau ke bawah

nilai tengahnya. Italia melakukan devaluasi untuk mendorong produksi dalam


negeri. Apabila investor berpikir bahwa mata uang harus didevaluasi, maka posibilitas
keuntungan untuk melakukannya semakin tinggi. Digambarkan seperti di atas, Italia
ditempatkan pada posisi C ketika jumlah investor percaya nilai tukar harus diubah
lebih besar dari benefitnya, maka negara bersangkutan harus mengubah nilai tukar.
Hal ini kemudian yang menjelaskan devaluasi yang terjadi, sehingga menjadikan nilai
Italian Lira semakin rendah dan berpengaruh pada nilai tukarnya dengan mata uang
lain.
Setelah krisis yang terjadi pada tahun 1992, perekonomian Italia kemudian
tetap fluktuatif hingga tahun 1994. Kemudian, peningkatan signifikan dari
$1,225,180,000,000 ke $ 1,514,500,000,000 dari tahun 2002 ke 2003 tercatat bahwa
Uni-Eropa mulai memberlakukan Euro Currency di mana hal ini membawa dampak
positif pada keadaan finansial Italia. Berikut tabel di bawah ini untuk memperlihatkan
tingkat perekenonomian Italia.

(sumber: indexmundi.com)
Keadaan ini semakin membaik sampai pada kondisi krisis selanjutnya
yang terjadi pada tahun 2008 di mana membawa Itali ke krisis utang yang
berpengaruh pada perekonomian Italia hingga kini. Berikut dijelaskan tentang
dampak krisis utang Italia.

KRISIS UTANG ITALIA TAHUN 2008


Mulanya, krisis utang diakibatkan karena kredit macet di Yunani dan
kemudian menyebar hampir ke seluruh negara Eropa termasuk Italia. Diawali dari
utang publik yang mencapai 1,9 trilyun Euro, sekitar 120% dari GDP Italia, tingkat
obligasi Italia mencapai 7%, terbesar kedua dari Yunani. Tingginya obligasi adalah
dampak langsung tingginya resiko pasar yang ditanggung oleh investor dalam
pembelian surat utang tersebut.
Jatuhnya Lehman Brothers pada September 2008 merupakan momentum
bahwa kondisi ekonomi Italia berada dalam tahap mengkhawatirkan. Kejadian ini
terjadi karena bank menolak untuk memberikan pinjaman karena tingkat likuiditas
rendah dan ketidakjelasan kondisi finansial pihak peminjam. Dalam kasus ini, bank
mereduksi pemberian kredit pada klien untuk mendapatkan likuiditas kembali yang
menyebabkan Itali mengalami krisis internasional. Eropa di lain pihak melalui EBC
(European Bank Central) memotong discount rate karena krisis telah sampai pada
bank-bank besar. Banyak bank di Italia kehilangan dana karena jatuhnya Lehman
Brothers dan nilai pada asetnya mengalami devaluasi karena pasar bursa saham jatuh.
Krisis likuiditas berpengaruh pada investasi dan konsumsi. Krisis
menyebabkan bank kecil dan menengah untuk meningkatkan pinjaman. Akibatnya,
kredit untuk klien dan konsumen berkurang dan jumlah pinjaman meningkat. Dampak
nyata terlihat pada berkurangnya investasi pada ekspor negara, usaha machinery dan
real estate serta mengancam situasi ekonomi firma kecil dan menengah. Selain itu,
pembatasan kredit dan konsumen yang pesimis membentuk kondisi ekonomi yang
lesu karena berkurangnya konsumsi. Sektor produksi seperti real estate dan mobil
pun runtuh. Turunnya sektor produksi dalam industri mengurangi margin profits,
sehingga perusahaan harus memotong pengeluaran dengan cara mengurangi jumlah
pekerja. Hal ini menyebabkan naiknya tingkat pengangguran.
Naiknya tingkat pengangguran akibat resesi ekonomi diperlihatkan pada
gambar di bawah ini dari tahun 2004-2010 di mana tingkat pengangguran mengalami
fluktuasi dengan tingkat tertinggi pada tahun 2010 sebesar 8.7% dan terendah 6.2%
tahun 2007. Angka ini telah melewati batas tingkat pengangguran di Uni Eropa.

(sumber: www.istat.it)
Krisis ini juga berpengaruh pada sektor finansial publik. Menurunnya
aktivitas ekonomi otomatis berpengaruh pada jumlah pajak serta timbulnya kebijakan
anti-krisis dengan tujuan meningkatkan anggaran belanja. Situasi Italia saat itu berada
pada budget deficit, utang publik yang meningkat, serta penurunan GDP yang
menyebabkan rasio utang naik dan defisit pada GDP juga naik. Dalam Uni-Eropa,
angka rasio utang dan defisit pada GDP melanggar pakta stabilitas yang ditetapkan
oleh European Monetary Union (UMN). Kondisi tersebut beresiko memicu prosedur
defisit berlebih dari komisi Uni-Eropa.
Fase ini membuat Uni-Eropa bergantung pada struktur dan cakupan
nasional atau internasional bank yang ikut serta. Pemerintah Italia mendukung dan
menyelamatkan bank dengan memberi akses likuiditas karena beberapa bank
membutuhkan intervensi dari pemerintah terkait posisi "tidak aman" pada taraf krisis
finansial. Sistem bank akan merespon krisis dengan solusi konvensional seperti
pembatasan kredit dan meningkatkan akses likuiditas di mana bank menaikkan tax
revenue dan meningkatkan suku bunga yang justru memicu fase kedua krisis. Fase
berikutnya yang dikenal dengan solvency crisis (krisis solvenitas) mengarah pada
kebangkrutan, pemotongan kredit bank, penurunan tajam dalam pasar finansial akibat
meningkatnya deficit budget yang menarik dana dari pasar modal.
Akibatnya, kegiatan ekonomi berkurang, banyak perusahaan tutup, dan
tingkat pengangguran meningkat. Uni-Eropa menjadi sandaran ekonomi Italia sebagai
solusi atas defisit dari anggaran pengeluaran untuk sektor publik seperti layanan
kesehatan. Di bawah ini diperlihatkan indikator untama perekonomian di Italia sejak
tahun 2006 hingga 2009. 2007 menunjukkan kondisi ekonomi Italia dengan jumlah

defisit GDP terendah. Sementara itu defisit GDP terbesar terjadi pada tahun 2009,
setahun setelah krisis Yunani terjadi yang menunjukkan efek krisis yang parah terjadi
di Italia.

(sumber: www.istat.it)
Gambar selanjutnya memperlihatkan efek krisis utang Italia masih
berlanjut di tahun 2010, bahkan sampai saat ini. Utang yang mencapai 121.4% tepat
setelah Yunani, serta tingkat defisit 4,6% proporsinya dengan GDP memperlihatkan
kondisi keuangan dan moneter Italia seperti yang telah dipaparkan dalam penjelasan
di atas.

Pemerintah melakukan dua kebijakan untuk menghadapi krisis yaitu


memberi dukungan dana pada bank dan firma besar, serta memotong anggaran
pengeluaran publik. Awalnya kebijakan ini membantu situasi ekonomi, bank terhindar
dari efek domino kejatuhan ekonomi, firma besar mampu mempertahankan karyawan,
dan pemotongan anggaran pengeluaran publik dibandingkan pemotongan pajak
menghindarkan efek negatif dalam investasi dan ekspektasi konsumen. Namun, hal
ini tidak berlangsung lama karena tiga faktor. Pertama, penerapan pemerintah yang
tidak transparan dalam dukungan bank menyebabkan pertanyaan mengenai aliran
dana yang diberikan. Kedua, adanya inefisiensi dalam dukungan dana untuk firma
besar karena tidak ada perkembangan dalam jumlah pekerja yang diserap dan tingkat
kesejahteraan pekerja. Terakhir, pemotongan yang terjadi mengarah pada
ketidakadilan sektor publik terutama gaji pekerja secara khusus, serta pemotongan
dana dalam lembaga sektor publik terutama bidang kesehatan.

PENUTUP
Untuk menutup tulisan ini, penulis akan memaparkan kondisi finansial
Italia beberapa tahun ke depan berdasarkan dua prediksi dari Ernst & Young serta
Banca d'Italia. Sampai saat ini tercatat pertumbuhan ekonomi Italia masih mengalami
pertumbuhan negatif yakni 0,2-0,6% sepanjang tahun 2013 menurut badan statistik
Italia. Walaupun demikian, adanya tanda-tanda stabilisasi ekonomi dan inflasi terlihat
dalam kuartal selanjutnya. Dalam lingkup Eropa, keadaan finansial membaik. Nilai
Euro mengalami apresiasi dibandingkan Dollar dan Yen sejak Juni sebesar 3,7%.
GDP juga meningkat pada kuarter kedua tahun ini ditandai dengan naiknya tingkat
ekspor sampai 2,1% serta kenaikan konsumsi rumah tangga dan perusahaan. Banca
d'Italia mencatat tingkat inflasi berada pada tahap normal.
Mengutip Ernst & Young Forecast, resesi diperkirakan tetap ada hingga
akhir tahun di mana budget austerity terjadi untuk kedua kalinya. Adanya pengetatan
anggaran berdampak langsung pada turunnya pendapatan, sehingga investasi juga ikut
turun sebesar 1% pada kuarter kedua tahun ini. GDP diperkirakan akan turun hingga
1,8% setelah penurunan sebelumnya sebesar 2,8% di kuarter akhir tahun 2012 dan
2,4% di kuarter pertama tahun ini. Penurunan ekonomi di awal tahun diperkirakan
akibat pemilihan politik pada Februari.

Tingkat inflasi yang berada di tahap normal memungkinkan kenaikan


finansial berkisar sekitar 0,4% dalam ekspor tahun depan yang nantinya akan
berpengaruh pada nilai tukar Lira dalam kesatuan Balance of Payment (BOP). BOP
dinilai mengalami surplus hingga 3.9 di mana peningkatan melingkupi semua sektor
kecuali pendapatan. Lonjakan besar terjadi pada sektor perdagangan yang mencatat
nilai ekspor naik hingga 0,6% baik dalam Eropa maupun cakupan global. Surplus
dalam BOP mempengaruhi indeks bursa saham Italia mencapai 14%, sehingga
otomatis meningkatkan pinjaman suku bunga jangka panjang. Kondisi ekonomi yang
positif mengecilkan kemungkinan risiko peminjaman. Berikut ditampilkan pada
gambar di bawah ini BOP Italia dari tahun 2011-2013 yang memperlihatkan situasi
eknonomi Italia yang membaik pada tahun ini (kuarter pertama dan kedua tahun).

Namun, pemulihan krisis tidak akan melebihi 1% sampai dengan tahun


2017. Pemerintah merencanakan untuk meminjam 2,5% dari GDP pada 2014. Untuk
menanggapi hal tersebut, timbul wacana untuk mengurangi budget austerity dan
memperpanjang rentang konsolidasi fiskal. Kedua langkah itu dirasa perlu untuk
memicu pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Di sisi lain, keduanya tidak dianjurkan
karena berisiko dengan kondisi Italia yang fluktuatif. Walaupun demikian, wacana ini
akan dijalankan apabila perekonomian Italia terlihat berkembang lebih dari prediksi
sampai 2015.

10

REFERENSI
http://aei.pitt.edu/7014/1/sevilla_christina.pdf diakses pada 3 Desember 2013 23:11
WIB
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/siaranpers/siaranpdf%5CTeori%20KrisisDjoko.pdf diakses pada 3 Desember 2013 23:34 WIB
http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2013/07/C%20_eJurnal%20SALMIAH_%20(07-31-13-06-5405).pdf diakses pada 4 Desember 2013 00:16 WIB
http://www.gla.ac.uk/media/media_191024_en.pdf diakses pada 4 Desember 2013
00:50 WIB
http://www.politicalscience.uncc.edu/jwalsh/jpp.pdf diakses pada 4 Desember 2013
01:15 WIB
http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/Eurozone-Forecast-summer-2013Italy/$FILE/Eurozone-Forecast-summer-2013-Italy.pdf diakses pada 11 Desember
2013 16:10 WIB
https://www.indexmundi.com/fects/italy/gni-per-capita diakses pada 11 Desember
2013 16:45 WIB
http://www.bancaditalia.it/pubblicazioni/econo/bollec/2013/bolleco71;internal&actio
n=_setlanguage.action?LANGUAGE=en diakses pada 11 Desember 2013 17.05
WIB

Anda mungkin juga menyukai