Anda di halaman 1dari 20

2

BAB II
GAGAL JANTUNG KONGESTIF
Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang ditandai :
1. Gejala gagal jantung : sesak nafas / lelah bila aktifitas ; pada yang berat, juga saat
istirahat.
2. Tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau bengkak pergelangan kaki.
3. Bukti objektif kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Berdasarkan presentasinya Gagal Jantung dibagi atas:
1. Gagal Jantung Akut
2. Gagal Jantung Menahun
3. Acute on Chronic Heart Failure
Gagal Jantung Akut didefinisikan sebagai :
timbul gejala sesak nafas secara cepat ( < 24 jam ) akibat kelainan fungsi jantung,
gangguan fungsi sistolik atau diastolik atau irama jantung, atau kelebihan beban awal
(preload), beban akhir ( afterload ) atau kontraktilitas dan keadaan ini dapat
mengancam jiwa bila tidak ditangani dengan tepat (ESC 2005 ).
Gagal Jantung Menahun didefinisikan sebagai :
sindrom ( kumpulan gejala ) klinis kompleks akibat kelainan structural atau
fungsional yang mengganggu kemampuan pompa jantung atau mengganggu
pengisian jantung (ACC/AHA 2005).
(Siswanto, Bambang Budi, 2009. Perkembangan Terbaru Tatalaksana Gagal
Jantung. Cermin Dunia Kedokteran 169: 206-207.)

Epidemiologi
Pada penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62%
pada pria dan 42% wanita. Secara epidemiologi, 1% dari orang berusia diatas 50
tahun akan menderita gagal jantung, sekitar 5% dari usia 75 tahun keatas dan 25%
dari usia 85 tahun keatas akan menderita gagal jantung.Lebih dari 3 juta orang akan
menderita gagal jantung, dan lebih dari 400.000 penderita baru muncul setiap
tahunnya. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh Indonesia,
dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya.
Angka prevalensi kejadian gagal jantung adalah 1-2%. Prevalensi terjadinya gagal
jantung lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita pada pasien berusia 40-75 tahun.
Tidak ada perbedaan angka kejadian gagal jantung pada pasien berusia diatas 75
tahun. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi.
Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar
10-20%. Pada Negara tertentu mortality gagal jantung telah menurun dengan terapi
yang moden. Kira-kira 50% penderita gagal jantung meninggal setelah 4 tahun dan
40% pasien yang masuk rumah sakit dengan gagal jantung meninggal atau kambuh
dalam setahun.
(Sugeng dan Sitompul. 2003. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI & Packer, M., Poole-Wilson, P.A., Armstrong, P.W., Cleland,
J.G., Horowitz, J.D., Massie, B.M., et al.1999. Comparative effects of low and high
doses of the angiotensin-converting enzyme inhibitor, lisinopril, on morbidity and
mortality in chronic heart failure. ATLAS Study Group. Circulation.;100(23):2312-8)

Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara maju penyakit
arteri koroner adalah penyebab tertinggi terjadinya gagal jantung, yaitu sebanyak
75%. Walaubagaimanapun, faktor risiko untuk penyakit arteri koroner seperti
hipertensi dan diabetes turut merupakan faktor risiko independen pada perkembangan
gagal jantung dengan atau tanpa keterlibatan penyakit arteri koroner. Menurut Studi
Framingham penyakit jantung koroner dikatakan sebagai penyebab gagal jantung
pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.
Hipertensi adalah penyebab kedua terbesar gagal jantung di negara-negara
barat dan selalu disertaiadanya penyakit arteri koroner. Hipertensi dapat
menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme termasuk hipertrofi
ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri
sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko meningkatnya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit yang melibatkan otot jantung
intrinsik bukan disebabkan penyakit arteri koroner, hipertensi, valvular, kongenital
dan penyakit jantung perikard. Kardiomiopati bisa dibagi kepada 3 kategori
fungsional yaitu dilatasi, hipertrofi dan restriktif. Kardiomiopati dilatasi didefinisikan
sebagai penyakit otot jantung dimana terjadinya dilatasi abnormal pada ventrikel kiri
(dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan). Ini adalah hasil dari berbagai proses
patologi pada jantung walaupun masih banyak kasus kardiomiopati dilatasi yang
idiopatik. Kardiomiopati hipertrofi adalah hipertrofi nondilatasi ventrikel kanan
dan/atau ventrikel kiri. Ini karena hipertrofi ventrikel berlaku tanpa stimulus jantung
atau stimulus sistemik seperti hipertensi atau aorta stenosis. Kardiomiopati hipertrofi
dapat merupakan idiopatik atau penyakit keturunan autosomal dominan ( defek pada
protein sarkomerik seperti rantai berat myosin, troponin dan tropomiosin) yang
ditandai dengan hipertrofi septum yang asimetris, dan pada kasus berat terdapat
gejala obstruksi outflow aorta. Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan
serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan
kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun
saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dihubungkan

dengan kelainan struktural termasuk hipertrofi ventrikel kiri pada penderita


hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.
Alkohol dapat berefek langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung
akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi
alkohol berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung pada 2-3% dari kasus. Alkohol juga
dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin.
Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti
doxorubicin dan obat antivirus seperti zidovudin juga dapat menyebabkan gagal
jantung akibat efek toksi langsung terhadap otot jantung.
(Rosendorff, C., Wiener, M.A., 2005, Essential Cardiology Principles and Practise.
Edisi ke-2. Humana Press.)

Patofisiologi
Gagal jantung kongestif menunjukkan bukan saja ketidakmampuan jantung
untuk mempertahankan kebutuhan oksigen seluruh tubuh, tetapi juga menunjukkan
respons sistemik sebagai bentuk kompensasi untuk memenuhi segala kebutuhan.
Penentuan curah jantung adalah denyut jantung dan volume sekuncup. Volume
sekuncup pula ditentukan oleh preload (volume darah masuk ke ventrikel kiri),
kontraktilitas dan afterload (volume darah keluar dari ventrikel kiri). Gagal jantung
pada gagal jantung kongestif bisa dievaluasi berdasarkan variable-variable diatas.
Jika terjadi penurunan curah jantung, denyut jantung atau volume sekuncup akan
berubah supaya perfusi dapat dipertahankan. Jika volume sekuncup tidak dapat
dipertahankan, maka denyut jantung akan ditingkatkan supaya curah jantung dapat
dipertahankan.
Patofisiologi gagal jantung kongestif bukan saja terdapatnya abnormalitas
pada struktur jantung tetapi juga termasuk respons kardiovaskular terhadap perfusi
yang jelek karena pengaktifan sistem neurohumoral. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung.
Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi yaitu sistem neurohumoral,
sistem Renin - Angiotensin - Aldosteron dan natriuretic peptide yang bertujuan
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi
sistem Renin - Angiotensin - Aldosteron awalnya untuk meningkatkan preload

dengan stimulasi retensi garam dan air, meningkatkan vasokonstriksi dan


kontraktilitas jantung. Awalnya respons ini mencukupi namun aktivasi yang terlalu
lama menyebabkan pengurangan miosit dan perubahan maladaptif pada masa hidup
miosit serta jaringan ekstraselular. Kemudian terjadinya proses remodeling dan
dilatasi oleh karena respons stress pada miokard. Remodeling menyebabkan
dekompensasi jantung dari komplikasi, termasuklah mitral regurgitasi dari valvular
annulus stretching dan aritmia jantung akibat dari remodeling atrium.
Terdapat tiga bentuk natriuretik peptide yang strukturnya hampir sama
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
natriuresis dan vasodilatasi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya di ventrikel. Kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat dan berefek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat
sebagai respon terhadap ekspansi volume dan peningkatan tekanan. Ianya berkerja
terhadap angiotensin II secara antagonis pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan
reabsorpsi natrium di tubulus renal.
(Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006, Congestive Heart Failure : Diagnosis,
Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory Care. 51(4) : 403-412,
Daedalus Enterprises)

Manifestasi Klinis

Gejala yang tersering pada gagal jantung kongestif adalah dispnea dan lelah
dimana dapat menurunkan toleransi terhadap aktivitas. Selain itu terdapat juga retensi
cairan seperti pada kongestif paru dan edema perifer. Pasien dengan disfungsi sistolik
yang berat dan sudah mendapat perawatan medis biasanya dijumpai gejala penurunan
curah jantung, termasuklah lelah, denyut nadi sempit, takikardia, oliguria dan
kelebihan cairan.
(Rungae, M.S., Ohman, E.M., 2004, Netters Cardiology, Edisi pertama, Icon
Learning System.)
Terdapat juga kriteria Framingham yang dipakai untuk diagnosa gagal jantung
kongestif berdasarkan tanda dan gejala yang ada pada pasien. Diagnosa gagal jantung
dapat ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Kriteria major
Paroksismal
dispnea

Kriteria minor

nocturnal Edema ekstremitas

Distensi vena leher

Batuk malam hari

Ronkhi paru

Dispnea deffort

Kardiomegali

Hepatomegali

Edema paru akut

Efusi pleura

Gallop S3

Takikardia

Peningkatan tekanan vena Penurunan kapasitas vital


jugularis
1/3 dari normal
Refluks hepatojugular

Klasifikasi

Major atau minor


Penurunan
BB>4,5kg
dalam 5 hari pengobatan

Beberapa sistem klasifikasi telah diperbuat untuk mempermudah dalam


pengenalan dan penanganan gagal jantung. Diantaranya adalah New York Heart
Association (NYHA) dan The American College of Cardiology/American Heart
Association (ACC/AHA)
Klasifikasi berdasarkan kelas fungsional pada New York Heart Association
(NYHA) :

Kelas I : Tidak ada batasan : aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan capek,
sesak napas, atau palpitasi.

Kelas II : Sedikit batasan pada aktivitas fisik : tidak ada gangguan pada saat
istirahat, tetapi aktifitas fisik biasa menyebabkan capek, sesak napas, atau
palpitasi.

Kelas III : Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik : tidak ada
gangguan pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan capek,
sesak napas, atau palpitasi.

Kelas IV : Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan :


gejala gagal jantung timbul meskipun dalam keadaan istirahat dengan keluhan
yang semakin bertambah pada aktifitas fisik.

(http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/Clas
ses-of-Heart-Failure_UCM_306328_Article.jsp.)
Klasifikasi berdasarkan he American College of Cardiology/American Heart
Association (ACC/AHA) :
Tingkat

Deskripsi

Contoh

Nota

Risiko tinggi untuk gagal


jantung tanpa ada penyakit
jantung struktural atau gejala
gagal jantung

Pasien
dengan
penyakit
arteri
koroner, hipertensi,
atau diabetes mellitus
tanpa ada kerusakan
pada fungsi ventrikel
kiri, hipertrofi atau
distorsi
ruangan
geometrik

Pasien
dengan
faktor
risiko
predisposisi
terhadap
perkembangan
gagal
jantung.
bersamaan
dengan Kelas I
NYHA.

Penyakit jantung struktural Pasien asimptomatik


tetapi tanpa tanda dan gejala tetapi ada pembesaran
gagal jantung
ventrikel kiri dan/atau
kerusakan
fungsi
ventrikel kiri

Penyakit jantung struktural Pasien yang diketahui


dengan sekarang atau selepas ada penyakit jantung
gejala gagal jantung
struktural dan sesak
napas dan fatigue,
penurunan toleransi
olahraga

Mayoritas pasien
gagal
jantung
pada tingkat ini.
Bersamaan
dengan
Kelas
II/III NYHA

Gagal jantung refraktori yang Pasien


yang
ada
memerlukan
intervensi gejala yang jelas
spesialis
waktu
istirahat
walaupun diberikan
terapi maksimal

Pasien tingkat ini


ldiberikan
bantuan
pernapasan
mekanikal, infuse
inotropik
berterusan,
melalui
proses
pembuangan
kelebihan cairan,
transplantasi
jantung
dan
prosedur
lain.
Bersamaan
dengan Kelas IV

10

NYHA

(ACC/AHA 2005 guideline update for the diagnosis and management of chronic
heart failure in the adult: a report of the American College of Cardiology/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2005. J Am Coll Cardiol ;
46(6):e1-82)
Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiogram :
Untuk melihat adakah terdapat iskemik, hipertensi atau aritmia.

Foto thoraks :
Untuk melihat kardiomegali, kongesti pulmonari pada lobus atas, cairan pada
fissure dan edema paru.

Laboratorium :
Pemeriksaan darah lengkap, faal biokimia hati, urea dan elektrolit, enzim
jantung pada gagal jantung akut, BNP dan fungsi tiroid.

Ekokardiografi :
Dimensi ruangan jantung, fungsi sistolik dan diastolik, penyakit jantung
valvular dan kardiomiopati.

Kardiologi nuklear :
Radionucleotide angiography (RNA) untuk menentukan ejection fraction pada
ventrikel, single-positron-emission computed tomography (SPECT) atau
positron emission tomography (PET) dapat menunjukkan miokard iskemik
dan miokardium yang tidak berfungsi lagi.

(Kumar, P., Clark, M., 2009, Kumar & Clarks Clinical Medicine, Edisi ke-7,
Saunders Elsevier.)

11

Diagnosis
Anamnesa:
Gagal jantung kiri: dypsnea, penurunan toleransi exercise, paroxysmal nocturnal
dyspnea, orthopnea, nocturia, fatigue, kemungkinan perubahan status mental. Pada
kasus berat edema paru: distress pernapasan berat, sputum berwarna putih, rales, S3
atau S4.
Gagal jantung kanan: edema ekstremitas, peningkatan tekanan vena jugularis,
pembesaran hepar, asites.
Pemeriksaan fisik
Vital: takipnu, takikardi, hipo- atau hipertensi, hipoksia
Respirasi: ronkhi, wheezes
Jantung: apex bergeser kearah lateral, S3 atau S4, peningkatan tekanan vena
jugularis, hepato-jugular reflux.
Abdominal: hepatomegaly, asites
Vascular perifer: edema peripheral atau sacral, pulsasi peripheral lemah, pulsus
alternans, ekstremitas dingin.
(Colman, Rebecca (eds.), et al, 2008. Approach to Common ER Presntations. Toronto
2008 Notes : 29-30.)
Anamnesis :
Dispnea d effort; orthopnea; paroxysmal nocturnal dispnea; lemas; anoreksia
mual; gangguan mental pada usia tua.

dan

Pemeriksaan Fisik :
Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan atau ekstensi vena jugularis,
refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah halus di basal

12

paru, dan bisa meluas di kedua lapangan paru bila gagal jantung berat, edema
pretibial pada pasien yang rawat jalan, edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi
pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering terjadi pada
pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif, hepatomegali, nyeri
tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik,
ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin, ekstremitas dingin,
pucat dan berkeringat.
Kriteria diagnosis :
Kriteria Framingham : Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Kriteria mayor :

Paroxysmal nocturnal dyspnea


Distensi vena-vena leher
Peningkatan vena jugularis
Ronki
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop bunyi jantung III
Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor :
Edema ekstremitas
Batuk malam
Sesak pada aktivitas
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Takikardia (>120 denyut/menit)
Mayor atau minor : Penurunan berat badan 4,5kg dalam 5 hari terapi.
(McKee, P.A., Castelli, W.P., McNamara, P.M., Kannel, W.B., The natural history of
congestive heart failure: the Framingham study. N Engl J Med. 1971 Dec
23;285(26):1441-6.)

13

Penatalaksanaan
Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan
terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan
pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa
yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan
mengurangi beban jantung. Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu
dan kelembaban, oksigen, pemberian cairan dan diet. Selain itu, penatalaksanaa gagal
jantung juga berupa:
Medikamentosa :
Obat inotropik (digitalis, obat inotropik intravena),
Vasodilator : (arteriolar dilator : hidralazin), (venodilator : nitrat, nitrogliserin),
(mixed dilator : prazosin, kaptopril, nitroprusid)
Diuretik
Pengobatan disritmia

Gagal jantung dengan disfungsi diastolik


Pada usia lanjut lebih sering terdapat gagal jantung dengan disfungsi diastolik. Untuk
mengatasi gagal jantung diastolik dapat dengan cara:
- Memperbaiki sirkulasi koroner dalam mengatasi iskemia miokard (pada kasus
PJK)
- Pengendalian tekanan darah pada hipertensi untuk mencegah hipertrofi miokard
ventrikel kiri dalam jangka panjang.
- Pengobatan agresif terhadap penyakit komorbid terutama yang memperberat
beban sirkulasi darah, seperti anemia, gangguan faal ginjal dan beberapa penyakit
metabolik seperti Diabetes Mellitus.
- Upaya memperbaiki gangguan irama jantung agar terpelihara fungsi sistolik
atrium dalam rangka pengisian diastolik ventrikel.
Obat-obat yang digunakan antara lain:
1. Antagonis kalsium, untuk memperbaiki relaksasi miokard dan menimbulkan
vasodilatasi koroner.

14

2. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel.


3. Diuretika, untuk gagal jantung disertai udem paru akibat disfungsi diastolik. Bila
tanda udem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan
sampai terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah
jantung dan tekanan darah menurun.
Pemberian antagonis kalsium dan beta bloker harus diperhatikan karena keduanya
dapat menurunkan kontraktilitas miokard sehingga memperberat kegagalan jantung.

Gagal Jantung Kronis.


Digoksin meningkatkan kekuatan setiap denyut jantung dan memperlambat denyut
jantung yang terlalu cepat. Ketidakteraturan irama jantung (aritmia, dimana denyut
jantung terlalu cepat, terlalu lambat atau tidak teratur), bisa diatasi dengan obat atau
dengan alat pacu jantung buatan.
Sering digunakan obat yang melebarkan pembuluh darah (vasodilator), yang
bisa melebarkan arteri, vena atau keduanya. Pelebar arteri akan melebarkan arteri dan
menurunkan tekanan darah, yang selanjutnya akan mengurangi beban kerja jantung.
Pelebar vena akan melebarkan vena dan menyediakan ruang yang lebih untuk darah
yang telah terkumpul dan tidak mampu memasuki bagian kanan jantung. Hal ini akan
mengurangi penyumbatan dan mengurangi beban jantung. Vasodilator yang paling
banyak digunakan adalah ACE- inhibitor (angiotensin converting enzyme inhibitor).
Obat ini tidak hanya meringankan gejala tetapi juga memperpanjang harapan hidup
penderita. ACE-inhibitor melebarkan arteri dan vena; sedangkan obat terdahulu hanya
melebarkan vena saja atau arteri saja (misalnya nitrogliserin hanya melebarkan vena,
hydralazine
hanya melebarkan arteri).
Ruang jantung yang melebar dan kontraksinya jelek memungkinkan
terbentuknya bekuan darah di dalamnya. Bekuan ini bisa pecah dan masuk ke dalam
sirkulasi kemudian menyebabkan kerusakan di organ vital lainnya, misalnya otak dan
menyebabkan stroke. Oleh karena itu diberikan obat antikoagulan untuk membantu
mencegah pembentukan bekuan dalam ruang-ruang jantung. Milrinone dan amrinone
menyebabkan pelebaran arteri dan vena, dan juga meningkatkan kekuatan jantung.
Obat baru ini hanya digunakan dalam jangka pendek pada penderita yang dipantau
secara ketat di rumah sakit, karena bisa menyebabkan ketidakteraturan irama jantung
yang berbahaya.

15

Gagal Jantung Akut.


Bila terjadi penimbunan cairan tiba-tiba dalam paru-paru (edema pulmoner akut),
penderita gagal jantung akan mengalami sesak nafas hebat sehingga memerlukan
sungkup muka oksigen dengan konsentrasi tinggi. Diberikan diuretik dan obat-obatan
(misalnya digoksin) secara intravena supaya terjadi perbaikan segera.
Nitrogliserin intravena atau sublingual (dibawah lidah) akan menyebabkan pelebaran
vena, sehingga mengurangi jumlah darah yang melalui paru-paru. Jika pengobatan di
atas gagal, pernafasan penderita dibantu dengan mesin ventilator.
Kadang dipasang torniket pada 3 dari keempat anggota gerak penderita untuk
menahan darah sementara waktu, sehingga mengurangi volume darah yang kembali
ke jantung. Torniket ini dipasang secara bergantian pada setiap anggota gerak setiap
10-20 menit untuk menghindari cedera.
Pemberian morfin dimaksudkan untuk:
mengurangi kecemasan yang biasanya menyertai
edema pulmoner akut
mengurangi laju pernafasan
memperlambat denyut jantung
mengurangi beban kerja jantung
(www.naturindonesia.com/penyakit-jantung/gagal-jantung.html)
Prognosis
Secara umum, mortality rate untuk pasien gagal jantung yang dirawat inap
adalah 5-20% sementara penderita yang di luar rumah sakit adalah 20% pada akhir
tahun pertama setelah diagnosa ditegakkan dan setinggi 50% pada 5 tahun pertama
post diagnosis. Walaupun terdapat perbaikan pengobatan. Setiap pasien yang
rehospitalization mempunyai peningkatan mortality rate sebanyak 20-30%.
Uji stress jantung paru / cardiopulmonary stress testing dapat bermanfaat dalam
menilai peluang hidup pasien dalam tahun berikutnya serta dalam menentukan
kebutuhan rujukan baik untuk transplantasi jantung atau implantasi dukungan
sirkulasi mekanik.
Gagal jantung yang terkait dengan miokard infark akut memiliki tingkat kematian
rawat pada 20-40%; mortalitas mendekati 80% pada pasien yang juga hipotensi
(misalnya, syok kardiogenik).
(Pfeffer, M.A., Braunwald, E., Moy, L.A., Basta, L., Brown, E.J. Jr., Cuddy, T.E., et
al. Effect of captopril on mortality and morbidity in patients with left ventricular
dysfunction after myocardial infarction. Results of the survival and ventricular

16

enlargement trial. The SAVE Investigators. N Engl J Med. Sep 3 1992;327(10):66977.)

MITRAL REGURGITASI
Definisi
Mitral Regurgitasi (MR) terjadi akibat abnormalitas pada struktural dari mitral
annulus, valve leaflets (daun katup), chordate tendinae dan otot papillary.

Etiologi
Sesuai dengan definisinya, etiologi dari MR bisa terjadi karena :
Tempat Patologi

Patologi

Mitral annulus

Kalsifikasi annular

Leaflets (daun katup)

Degenerasi myxomatous

Penyakit Rheumatic

Endocarditis

Systolic
anterior
motion
(kardiomiopati hipertrofi)

Ruptur (idiopatik)

Endokarditis

Disfungsi atau ruptur

Chordae tendinae

Otot papillari

Kalsifikasi pada mitral annulus bisa terjadi karena peningkatan usia, dan
sering terjadi pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan
penyakit ginjal stadium akhir. Kalsifikasi menyebabkan gangguan pada pergerakan

17

normal annulus dan immobilisasi pada bagian basal valve leaflets sewaktu penutupan
sistolik.
Ruptur chordate tendinae primer (idiopatik) berasosiasi dengan inkompetensi
akut valvular stadium berat. Penyakit jantung iskemik bisa meninggalkan jaringan
parut atau menyebabkan disfungsi sementara pada otot papillary, yang mengganggu
penutupan katup. Pembesaran ventrikel kiri juga dapat menyebabkan mitral
regurgitasi.

Patofisiologi
Pada mitral regurgitasi (MR), volume sekuncup ventrikel kiri diijeksi balik
(backward) ke atrium kiri yang tekanan rendah sewaktu sistol karena inkompetensi
katup mitral. Hasilnya, curah jantung ke depan (forward) ke aorta lebih sedikit
berbanding pengeluaran total ventrikel kiri.

18

Oleh itu, akibat dari MR adalah :


1) Peningkatan volume dan tekanan pada atrium kiri.
2) Penurunan curah jantung ke depan (forward).
3) Peningkatan tekanan pada ventrikel kiri karena peningkatan volume
daarah. Ini karena volume darah yang regurgitasi kembali semula ke
ventrikel kiri sewaktu fase diastole. Volume sekuncup pada ventrikel
kiri mesti ditingkatkan agar dapat memenuhi kebutuhan sirkulasi dan
mengeluarkan darah yang berlebihan di ventrikel kiri. Peningkatan ini
sesuai dengan mekanisma Frank-Starling, yang menyebabkan
peningkatan volume diastolik di ventrikel kiri hingga menyebabkan
peregangan miofiber dan peningkatan volume sekuncup pada setiap
kontraksi.
Gangguan pada sistem hemodinamik akibat dari MR bervariasi sesuai dengan
tingkat keparahan regurgitasi dan jangka waktu MR terjadi pada seseorang pasien itu.
Tingkat keparahan MR dan rasio curah jantung ke depan (forward) dan kebelakang
(backward) ditentukan oleh 5 faktor yaitu :
1) Ukuran mitral orifice sewaktu regurgitasi
2) Perbedaan tekanan sistolik antara ventrikel kiri dan atrium kiri.
3) Resistensi vaskular sistemik melawan aliran darah ke ventrikel kiri.
4) Masalah pada ventrikel kiri.
5) Durasi regurgitasi pada setiap kontraksi sistolik.
Fraksi regurgitasi pada MR dapat ditentukan dengan rumus: volume MR / volume
sekuncup total pada ventrikel kiri. Rasio ini meningkat apabila berlaku peningkatan
pada resistensi aortic outflow contohnya pada peningkatan tekanan darah sistemik

19

atau pada aorta stenosis. Peningkatan tekanan atrium kiri adalah hasil respons dari
volume regurgitasi compliance. Compliance adalah ukuran hubungan antara tekananvolume ruangan jantung, yang hasilnya nanti menunjukkan sama ada ruangan
tersebut mudah diisi dengan volume darah.
Pada MR akut, (contoh: rupture yang tiba-tiba pada chordate tendinae),
compliance atrium kiri melalui perubahan yang sedikit saja. Oleh karena atrium kiri
adalah ruangan yang agak keras, tekanannya akan meningkat dengan cepat apabila
terdapatnya volume regurgitasi. Peningkatan tekanan ini awalnya adalah untuk
menghindar berlakunya regurgitasi lagi. Namun tekanan yang tinggi turut ditransmisi
ke belakang (backward) ke sirkulasi pulmonal. Oleh itu, MR akut dapat menyebabkan
kongesti pulmonari pada jangka waktu yang singkat serta edema paru.
Berbeda dengan keadaan akut, pada MR kronis, atrium kiri mengalami
perubahan kompensasi untuk mengurangkan efek regurgitasi pada sirkulasi pulmonal.
Atrium kiri akan dilatasi dan pada keadaan ini dapat menyediakan ruang yang cukup
untuk menerima tambahan volume tanpa peningkatan tekanan di vaskular paru.
Namun, adaptasi ini menyebabkan penurunan curah jantung ke depan (forward) pada
ejeksi ventrikel kiri karena tekanan rendah pada atrium kiri. Oleh itu, semakin
banyak fraksi darah yang teregurgitasi ke atrium kiri, gejala utama pada MR kronis
adalah sama dengan gejala pada curah jantung ke depan (forward) yang rendah
seperti lemas dan lelah. Selain itu, dilatasi atrium kiri bisa menyebabkan
perkembangan kea rah fibrilasi atrium.
Pada MR kronis, ventrikel kiri mengalami kompensasi dilatasi (hipertrofi
esentrik) yang berperingkat akibat respons pada volume masuk agar volume
sekuncup yang tinggi dapat dipertahankan sesuai dengan mekanisma Frank-Starling.
Setelah beberapa tahun, volume overload yang kronis bisa merusakkan fungsi sistolik
ventrikel, penurunan forward output dan gejala gagal jantung.

Manifestasi Klinis

Edema pulmonal.

Lemah dan lelah terutama sewaktu beraktivitas karena curah jantung yang
rendah.

20

Dispnea, orthopnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea pada MR kronis


karena disfungsi kontraksi ventrikel kiri.

Gejala gagal jantung kanan pada MR kronis tingkat berat.

Pemeriksaan
Pada auskultasi, dapat didengar :

S1 bisa lembut atau normal

P2 meningkat

Pansistolik/holositolik murmur pada apeks

MVP mid-systolic click

IHSS murmur meningkat dengan Valsalva

MR akut sistolik murmur descrescendo

S3 gallop & diastolic flow rumble

Pada foto toraks :

Edema paru pada MR akut

Pembesaran atrium dan ventrikel kiri tanpa kongesti pada asimptomatik MR


kronis

Pada ekokardiografi :

Penyebab struktural terjadinya MR.

Tingkat keparahan MR.

21

Penatalaksanaan

Terapi untuk MR tingkat ringan dan sedang adalah vasodilator, diuretik, dan
antikoagulasi.

Terapi pembedahan : sebelum fungsi ventrikel kiri menurun.


-

Penggantian katup mitral

Cincin katup mitral & CABG

Perbaiki katup mitral (berasosiasi dengan peningkatan fungsi ventrikel


kiri pada jangka waktu pangjang - contoh pada rupture chordate
tendinae dan endocarditis.)

(Lilly, L.S., 2011, Pathophysiology of Heart Disease, Edisi ke-5, terbitan Lippincott
Williams & Wilkins.)

Anda mungkin juga menyukai