Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

CONGESTIF HEART FAILURE

Disusun oleh :
Ikbal Adi Takwa

09310117

Maria Ulfa

09310093

Ria Indira Burdani

09310031

Pembimbing :
dr, R. Sipayung Sp.PD
dr. Suara Ginting Sp.PD
dr. Rumbang Sembiring Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSU KABANJAHE
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang membahas tentang Congestif Heart Failure ini
dapat selesai sesuai waktunya, makalah ini ditunjukan guna memenuhi tugas akhir Ilmu Penyakit
Dalam.
Saya ucapkan terimakasih kepada dr. R. Sipayung, Sp.PD, dr. Suara Ginting, Sp,PD, dr.
Rumbang Sembiring, Sp,PD dan semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini,
makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran
guna kesempurnaan makalah ini dan guna perbaikan di makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca dan dapat
bermanfaat bagi Ilmu Penyakit Dalam.

Kabanjahe, April 2015


Penulis

STATUS PASIEN
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

Darni Br Bangun

Jenis kelamin

Perempuan

Umur

63 tahun

Status marital

Menikah

Pendidikan terakhir

SD

Suku

Karo

Pekerjaan

Petani

Alamat

Batu Karang

Masuk RS

25 Maret 2015

Tanggal Periksa

25 Maret 2015

No. Rekam Medik

112562

ANAMNESA
Keluhan utama :
Sesak napas
Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 4 hari sebelum masuk RS, sesak
dirasakan pasien terus-menerus sehingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas
apapun, Sesak pertama kali dirasakan pasien sejak 1 bulan SMRS.
Sejak 1 bulan SMRS, pasien sering merasa sesak dan mudah lelah, sesak awalnya
dirasakan setelah melakukan aktivitas berat seperti bekerja di ladang dan tidak ada
sesak saat berbaring , namun beberapa hari terakhir sesak semakin memberat dan
muncul setelah pasien beraktivitas ringan seperti jalan kaki dari kamar tidur ke kamar
mandi yang berjarak sekitar 10 meter, pasien juga sesak dan mudah lelah setelah
melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi dan menyapu, sesak biasanya
berkurang jika pasien beristirahat dan minum obat jantung. Pasien juga sering
terbangun pada malam hari karena sesak, terkadang pasien terbangun hingga 30 menit
3

sekali karena sesak. Pasien selalu menggunakan 2 sampai 3 bantal ketika tidur karena
pasien merasa sesak jika berbaring hanya dengan 1 bantal.
Selain sesak pasien juga merasa mual dan muntah, pasien juga merasa perutnya
terasa penuh, nyeri ulu hati ,keringat dingin serta badan lemas dan napsu makan
menurun. Keluhan sesak napas disertai dengan nyeri dada kiri yang menjalar ke
bagian bahu dan lengan . demam maupun pusing juga tidak ada. BAK dan BAB tidak
ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu


Hipertensi sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat penyakit keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan sesak napas seperti pasien, di
keluarga pasien juga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi,
maupun diabetes mellitus.
FaktorResiko :
Modifikasi:

Tidak modifikasi:

Dislipidemia (-)

Jenis kelamin (Perempuan)

Hipertensi (+)

Umur : 63 tahun

Merokok (-)

Riwayat penyakit jantung dikeluarga (-)

Diabetes mellitus (-)

Riwayat penyakit jantung sebelumnya (-)

Obesitas (-)
Riwayat stroke (-)

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah di rawat dirumah sakit sebelumnya,
Untuk keluhan sesak 4 hari ini belum berobat ke manapun.

Riwayat Habituasi
Pasien jarang berolahraga.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat maupun cuaca
III.

Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran

GCS 15 E4M5V6

Tekanan darah

180/100 mmHg

Nadi

95 x / menit

Suhu

36,5 o C

Respirasi

38 x / menit

Berat Badan

63 kg

Bentuk

tidak ada kelainan

Mata

konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik,

b. Vital sign

c. Kepala

pupil isokor, reflek cahaya (+/+)


Telinga

Tidak ada kelainan

Hidung

pernapasan cuping hidung (-/-), tidak ada kelainan

Mulut dan tenggorokan :

bibir sianosis (-)

d. Leher
JVP

5+5

Struma

tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

KGB

tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

e. Thoraks
1. Paru-paru
Inspeksi

bentuk dan gerak dada simetris kanan dan kiri, tidak tampak
nafas tertinggal, tampak retraksi intercostal.

Palpasi

vocal fremitus normal simetris kanan=kiri

Perkusi

sonor diseluruh lapang paru


5

Auskultasi :

suara nafas vesikuler kiri= kanan,rhonki (+/-)wheezing (-/-),

2. Jantung
Inspeksi

iktus cordis tidak terlihat

Palpasi

iktus cordis tidak teraba

Perkusi

Batas jantung kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra


Batas jantung kanan bawah: ICS IV linea midclavicularis dextra
Batas jantung kiri atas

: ICS III linea parasternalis sinistra

Batas jantung kiri bawah : ICS VI linea axilaris anterior sinistra


Auskultasi :

bunyi jantung I - II, regular, gallop (+)

3. Abdomen
Inspeksi

: cembung, sikatrik (-)

Auskultasi

: bising usus normal

Palpasi

: supel, lembut, nyeri tekan epigastrium (+), tidak teraba


massa, lien tidak teraba, hepar tidak teraba

Perkusi

: timpani seluruh lapang abdomen

Perkusi batas paru-hepar (sonor-pekak) pada 2 jari dibawah arcus costae


4. Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Ekstremitas:
Akral hangat, CRT < 2 detik, oedem pretibial (+/+), oedem dorsum pedis (+/
+)
IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

Laboratorium
Hb

: 12,5 g/dl

Hematokrit

: 36,6 %

Leukosit

: 5.400/mm3

Trombosit

: 240.000/mm3

GDS

: 174 mg/dl
6

SGOT

: 35 U/l

SGPT

: 29 U/l

Ureum

: 40 mg/dl

Kreatinin

: 1,2 mg/dl

b. Rontgen Thoraks
Expertise :
Kesan: kardiomegali
CTR > 50 %

V.

DIAGNOSIS BANDING

VI.

CHF (Congestif Heart Failure)

CPC (Cor Pulmonum Chronic)

DIAGNOSIS KERJA
-

VII.

CHF (Congestif Heart Failure)

USULAN PEMERIKSAAN
-

EKG

Foto Thorak

Laboratorium

VIII. PENATALAKSANAN
-

tirah baring setengah duduk


7

O2 4-6 liter/menit

IVFD RL + 2 amp aminophilin 24jam/kolf

Bolus amp aminophilin dalm 10 cc aquabidest bolus 10 menit

Furosemid inj 2 amp, lanjut 2x1 amp iv

Ranitidin inj 2x1 amp i.v

Aspilet 4 tab gerus telan lanjut 2x1 tab

CPG 4 tab gerus telan lanjut 1x1 tab

Antasid 3x 1 cth

IX.

PROGNOSA
Quo Ad Vitam

dubia ad malam

Quo Ad Functionam

dubia ad malam

TINJAUAN PUSTAKA
Gagal Jantung Kongestif (CHF)
A. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
B. Beberapa istilah dalam gagal jantung :
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan
aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi
ejeksi lebih dari 50%.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A V, beriberi, dan Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan (CHF)
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung
kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena
sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,

maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda.

4. Gagal Jantung Akut dan Kronik


Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tibatiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contoh gagal
jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi
secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih
terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure , hampir selalu
disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena
ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini
menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan
tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal
jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga
jantung.
C. Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan
defek septum ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta
dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium
dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paruparu dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup
mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik (CAD), dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan
kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat
terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau
10

pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis
atau trikuspid.
D. Patofisiologi
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan timbul dua
efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang menimbulkan
kenaikan tekanan vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan
aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem reninangiotensinaldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk
mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal
perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan
menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal
jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung
(efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah
misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi
akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah
kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan
meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin
bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja
ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan
menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.
11

2.

Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron :


Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan
air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun
mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa
berikut:
-

Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus

Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus

Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensinI

Konversi angotensin I menjadi angiotensin II

Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.

Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan

tekanan darah.
3.

Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan
kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan
kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan
kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung.
Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat.
Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat
dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil

12

akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium
dan terus berlangsungnya gagal jantung.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya
muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi
terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas
yang lebih ringan. Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu
sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan
adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan
gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain.
Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak
merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk
memenuhi kebutuhan oksigen.
-

Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti vaskular
paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga
menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti
vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea
juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal
jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi
aliran darah dari bagian- bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi
cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paruparu lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema
paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.

- Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.

13

- Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari gagal
jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena pengaruh gaya
gravitasi.
-

Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi
vena.

- Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik.
Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami
bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama
inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan
aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.
- Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.
- Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebabkan
kongesti hati dan usus.
- Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mulamula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat
terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga
berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.
- Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka. Meskipun
gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap
terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari bendungan
sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang
nyata.
- Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat
iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan
merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.

14

F. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis :Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major
dan 2 kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman
untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik,
antara lain:
-

NYHA class I , penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta
tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau
berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
15

NYHA class II , penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak
mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak
napas atau nyeri dada.

NYHA class III , penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
seperti yang tersebut di atas.

NYHA class IV , penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan.

G. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunjang
sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada
atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya
disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi pleura.
Begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak
pada gejala pasien.

16

4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi
LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial
kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic
pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan
EF yang normal.
Echocardiogram 2- D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan
dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan
sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling
berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic
volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah
dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF
memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi
oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada
regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan
rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik
biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non
farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun
kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.

17

Non farmakologi :
a. Anjuran Umum
-

Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan


Aktivasi social dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.

Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu.

Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaanhormone
dosis rendah masih dapat dianjurkan.

b. Tindakan Umum
-

Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada
gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan).

Hentikan rokok.

Hentikan alcohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.

Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).

Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

Farmakologi
-

Diuretic : kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit


diuretic regular dosis rendah dengan tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis
normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretic atau
tiazid. Bila respom tidak cukup baik, dosis dapat dinaikan, berikan diuretic intravena
atau kombinasi loop diuretic dengan tiazid. Diuretic hemat kalium, spironolakton
dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik. Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini
dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga
harus dihindari bila memungkinkan
18

Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.

Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dengan
dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau
metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretic.

Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi


penggunaan penghambat ACE.

Kombinasi hidralazin dengan ISDN memberi hasil yang baik pada pasien yang
intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan.

Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama
diuretic, penghambat ACE, penyekat beta.

Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli


serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, thrombosis dan transient ischemis attack, thrombus intrakardiak dan
aneurisma ventrikel.

Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia


ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindarkan kecuali pada
aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian
mendadak.

Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk


mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah


splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian
5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan
19

meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan


merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan
vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2
3 g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15 g/kg/mnt.
Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih
tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt.
I. Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang,
tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5%
pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan
progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi
ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen
maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin
yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya
merupakan akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian
lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang
mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan
terapi paliatif yang sangat cermat. .

Komplikasi dan Prognosis


IMA dapat memberikan komplikasi seperti aritmia (takiaritmia, bradiaritmia), disfungsi ventrikel
kiri, hipotensi, gagal jantung, syok kardiogenik, perikarditis dan lain-lain.
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA dengan melihat
derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip:

20

Klasifikasi KILLIP
Kelas
I

Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif, tidak ada
tanda dekompensasi cordis

Proporsi pasien

Mortalitas(%)

40-50%

30-40%

17

10-15%

30-40

5-10%

60-80

Ada gagal jantung, + S3 gallop dan/atau ronki basah


II

di basal paru, hipertensi vena pulmonal. Kongesti


paru dengan ronki basah pada setengah lapangan
paru bawah
Gagal jantung yang berat. Edema paru akut/ oedem

III

paru frank dengan ronki yang menyebar diseluruh


lapangan paru
Syok kardiogenik. Tanda meliputi hipotensi

IV

(tekanan darah sistolik 90 mmHg) dan ada


vasokontriksi perifer seperti oliguria, sianosis, dan
diaphoresis.

Skor risiko TIMI merupakan salah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien infark dengan ST elevasi:
Faktor risiko (bobot)

Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)

Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3)

0(0,8) / 1(1,6)

DM/HT/angina (1)

2(2,2)

SBP<100 (3)

3(4,4)

HR >100 (2)

4(7,3)

Klasifikasi killip II-IV (2)

5(12,4)

Berat <67 kg (1)

6(16,1)

ST elevasi anterior atau LBBB (1)

7(23,4)

Waktu ke reperfusi >4jam (1)

8(26,8)

(skor maksimum 14 poin)

>8(35,9)

Prognosis menurut GRACE SCORE


21

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, et al .Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. Jilid III. Edisi IV.
FKUI. Jakarta. 2010
Risalina Myrtha, " Patofisiologi Sindrom Koroner Akut" CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. RS Anak
Astrini, Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia.2012
Robert E. O'Connor, William Brady,et.all, Part 10: Acute Coronary Syndromes: American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care, 2010.
Patrick T. O'Gara, Frederick G. Kushner, Deborah D, et all. ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction:A Report of the American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines,
2013.

22

P R Marantz et al. 2012. The relationship between left ventricular systolic function and
congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. Circulation Journal Of The American
Heart Association. Available from : http://circ.ahajournals.org

23

Anda mungkin juga menyukai