NJJA
AU
UA
AN
N PPU
USSTTA
AK
KA
A
188
Universitas Sumatera Utara
Malagizi
Diare
mukosal,
imunitas
berperantara
sel,
pembentukan komplemen, T-lymphocytes,
dan T-cells (Scrimshaw and SanGiovanni,
1997).
Tulisan ini membahas kaitan giziimunitas-penyakit infeksi. Pembahasan dimulai
dengan pendahuluan yang mengenalkan kaitan
antara zat gizi dan penyakit infeksi secara
umum. Topik selanjutnya adalah sejarah
penelitian mengenai kaitan gizi dan penyakit
infeksi. Selanjutnya dilakukan kajian literatur
kaitan antara gizi dan penyakit infeski.
Pandangan tradisional (Gambar 2a)
mengenai kaitan gizi dan infeksi mulai
berubah. Ada bukti bahwa status gizi inang
memiliki efek langsung pada patogen
(Gambar 2b). Sebagai contoh, ketika strain
coxsackievirus B3 yang tidak berbahaya
diinokulasikan ke dalam tikus yang
mengalami kekurangan baik selenium
maupun vitamin E, ditemukan bahwa virus
berubah menjadi strain yang sangat
berbahaya
yang
memiliki
komposisi
nukleotida yang berbeda (pada berbagai sisi)
dari komposisi nukleotida tikus asal
(Levander, 1997).
GIZI DAN IMUNITAS
Gangguan pada berbagai aspek
imunitas, termasuk fagositosis, respons
proliferasi sel ke mitogen, serta produksi Tlymphocyte dan sitokin telah ditemukan pada
kondisi kekurangan gizi (Chandra and
Kumari, 1994; Chandra, 1990; Kulkarni et
al. 1994). Sampai saat ini, mekanisme yang
melaluinya kekurangan gizi mengakibatkan
gangguan fungsi imunitas masih terus
mendapat perhatian serius para ahli gizi,
imunolog, ahli biologi, dan ahli di bidang
lain yang terkait.
DIET
AGEN
DIET
INANG
(a)
AGEN
INANG
(b)
189
Universitas Sumatera Utara
190
tetapi
juga
imunitas
nonspesifik
(polymorphonuclear dan monosit). Orang
usia lanjut penderita KEP melepaskan lebih
sedikit
monokin
yang
menyebabkan
menurunnya rangsangan limposit (Lesourd,
1997). Sebagai konsekuensinya, untuk
merangsang respons imunitas spesifik pada
taraf yang memadai, tubuh mengekspresikan
respons fase-akut jangka panjang. Efek ini
lebih berat pada orang usia lanjut karena
mobilisasi simpanan zat gizi dalam tubuh
kurang efektif pada usia ini (Klasing, 1988).
VITAMIN
Vitamin A
Dalam kaitannya dengan fungsi
imunitas vitamin yang menarik perhatian dan
yang sering menjadi fokus penelitian adalah
vitamin A, vitamin E, vitamin C, dan
kelompok vitamin B. Di antara vitamin
tersebut, vitamin A adalah yang paling luas
diteliti.
Pengamatan yang mengaitkan vitamin
A dengan imunitas sudah dilakukan bahkan
sebelum struktur vitamin A diketahui dengan
tepat pada tahun 1931 (Karrer et al., 1931
dalam Villamor and Fawzi, 2005). Beberapa
fakta ilmiah yang mengawali pemahaman
mengenai kaitan vitamin A dan penyakit
infeksi antara lain adalah temuan Green dan
Mellanby yang menunjukkan bahwa tikus
yang kekurangan vitamin A lebih rentan
terhadap infeksi (Green and Mellanby, 1928
dalam Semba, 1999).
Setelah antibodi ditemukan, penelitian
mengenai mekanisme yang melaluinya vitamin
A memperbaiki fungsi imunitas telah digiatkan
kembali pada tahun 1960-an (Scrimshaw et al.,
1968), dan kemudian pada tahun 1980-an
dengan ditemukannya efek pelindungan dari
suplementasi vitamin A pada kematian anak
di Indonesia (Sommer et al., 1986). Penelitian
mutakhir juga menunjukkan bahwa metabolit
aktif vitamin A (asam retionat) berperan pada
pengaturan transkripsi gen. Informasi ini
menyediakan fakta mendasar pada pemahaman
mekanisme
bagaimana
vitamin
A
mempengaruhi imunitas.
Vitamin A secara luas beperan pada
fungsi imunitas. Vitamin A sangat penting
untuk memelihara integritas epitel, termasuk
epitel usus. Hal ini berkaitan dengan
hambatan fisik terhadap patogen dan
imunitas mukosal.
menunjukkan fungsi pagosit, proliferasi Tcell, dan produksi sitokin dipengaruhi oleh
status vitamin C.
Pada masa infeksi, pagosit teraktivasi
menghasilkan agen pengoksidasi yang
memiliki efek antimikrobial. Akan tetapi, itu
dilepaskan ke media ektraselular sehingga
membahayakan inang. Untuk menetralisir
efek peningkatan oksigen radikal ini, sel
memanfaatkan
berbagai
mekanisme
antikoksidatif, termasuk vitamin antioksidan
seperti vitamin C (Li et al., 2006).
MINERAL
Berbagai penelitian telah mengungkapkan
peran mineral dalam kehidupan manusia.
Berapa mineral yang sebelumnya belum
diketahui manfaatnya, sekarang diketahui
berperan dalam proses metabolisme tubuh,
termasuk dalam fungsi imunitas. Ada tujuh
mineral mikro yang secara jelas diketahui
memiliki peran gizi. Juga, kekurangannya
berdampak merugikan kesehatan, yaitu besi,
iodium, seng, tembaga, selenium, molibdenum,
kromium (Diplock, 1987). Sementara itu,
mineral mikro yang banyak dikaitkan dengan
fungsi imunitas, antara lain adalah selenium
dan seng.
Selenium
Selenium (Se) adalah suatu zat gizi
mikro (trace element) yang sangat esensial
pada sejumlah protein yang berkaitan dengan
fungsi enzim, termasuk glutation peroksidase,
glutation
reduktase,
dan
tioredoksin
reduktase. Selenoprotein (ikatan antara Se
dan protein) dipercaya memainkan peran
penting
sebagai
enzim
antioksidan
(selenosistein) (Beck, 2001). Lebih dari 20
jenis selenoprotein telah cirikan melalui
pemurnian, kloning, ekspresi rekombinan,
dan perkiraan fungsinya menggunakan teknik
bioinformatika (Arthur et al., 2003).
Selenium berperan penting dalam
fungsi imunitas. Selenium mempengaruhi
baik sistem imunitas bawaan (innate),
nonadaptif, dan buatan (aquired). Selain itu,
Se mempengaruhi fungsi neutrofil (Arthur,
2003).
Selain peran Se dalam fungsi imunitas,
kekurangan Se diketahui mempengaruhi virus
patogen. Salah satu contohnya adalah efek
kekurangan Se pada patogenitas coxsackievirus,
suatu jenis virus mRNA (Levander, 1997; Beck,
2001, Beck et al., 2003).
192
193
Universitas Sumatera Utara
194