Anda di halaman 1dari 7

TTIIN

NJJA
AU
UA
AN
N PPU
USSTTA
AK
KA
A

GIZI, IMUNITAS, DAN PENYAKIT INFEKSI


Albiner Siagian
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM USU
Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, 20155
ABSTRACT
Nutrition is a critical determinant of immune responses and malnutrition is the
most common cause of infectious disease. The relationship between nutritional
status and the immune system has been a topic of study for much of the 20th
century. Dramatic increases in our understanding of the organization of the
immune system an the factors that regulate immune function has been
demonstrated a remarkable and close concordance between host nutritional
status and immunity. Nowdays, the research was focussed on the role of
nutrition (macro- and micronutrients) in prevention of infectioud diseases. This
paper reviews the the studies regarding the relationships among nutritional
status, immunity, and the immunodeficiency.
Keywords: Nutritional status, Immunity, Infectious diseases
PENDAHULUAN
Secara umum diterima bahwa gizi
merupakan salah satu determinan penting
respons imunitas. Penelitian epidemiologis
dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan
gizi menghambat respons imunitas dan
meningkatkan risiko penyakit infeksi. Sanitasi
dan higiene perorangan yang buruk, kepadatan
penduduk yang tinggi, kontaminasi pangan dan
air, dan pengetahuan gizi yang tidak memadai
berkontribusi terhadap kerentanan terhadap
penyakit infeksi. Berbagai penelitian yang
dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang
lalu membuktikan bahwa gangguan imunitas
adalah suatu faktor antara (intermediate
factor) kaitan gizi dengan penyakit infeksi
(Chandra, 1997).
Sebagai contoh, kekurangan energiprotein (KEP) berkaitan dengan gangguan
imunitas berperantara sel (cell-mediated
immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen,
sekresi antibodi imunoglobulin A, dan produksi
sitokin (cytokines). Kekurangan zat gizi tunggal,
seperti seng, selenium, besi, tembaga, vitamin
A, vitamin C, vitamin E, vitamin B6, dan asam
folat juga dapat memperburuk respons imunitas.
Selain itu, kelebihan zat gizi atau obesitas
juga menurunkan imunitas (Chandra, 1997).

Berbagai penelitian pada bayi di Asia


dan Amerika Latin telah secara meyakinkan
membuktikan
intervensi
gizi
dapat
menurunkan angka kematian bayi dan anakanak akibat penyakit infeksi. Pada kurun
waktu April 1968 Mei 1973, para peneliti
dari Departemen Kesehatan Internasional,
The John Hopkins University melakukan
penelitian di negara bagian Punjab India (The
Narangwal Nutrition Study), yang meneliti
kaitan antara kekurangan gizi dan infeksi dan
dampaknya pada morbiditas, mortalitas, dan
pertumbuhan anak prasekolah. Melalui
penelitian tersebut, Kielmann dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa mortalitas menurun
dengan suplementasi gizi. Penurunan ini
berkaitan dengan meningkatnya daya tahan
tubuh terhadap penyakit infeksi (Kielmann et
al., 1978).
Scrimshaw, selama bertugas di Gorgas
Hospital, Panama pada kurun waktu 19451946, mengamati bahwa tuberkulosa adalah
penyakit yang lebih banyak diderita anakanak atau dewasa yang menderita kurang gizi
daripada anak-anak atau dewasa yang status
gizinya lebih baik. Scrimshaw dan koleganya
juga mengamati bahwa cacar air lebih parah
pada anak-anak yang menderita kekurangan
gizi yang buruk dibandingkan dengan

188
Universitas Sumatera Utara

rekannya yang berstatus gizi lebih baik.


Sementara itu, terdapat kaitan antara
kekurangan gizi tingkat sedang dan buruk
pada awal episode penyakit infeksi
(Scrimshaw, 2003).
Pada tahun 1968, World Health
Organization (WHO) menerbitkan WHO
Monograph on Nutrition-infection Interactions.
Publikasi ini merupakan hasil kerjasama
Nevin S. Scrimshaw, Carl Taylor, dan John
Gordon (Scrimshaw et al. 1968). Pada
publikasi ini, Scrimshaw dan koleganya
untuk pertama kali mengemukakan bahwa
kaitan antara malagizi dan infeksi adalah
sinergistis. Artinya, malagizi memperparah
penyakit infeksi, demikian juga halnya
infeksi memperburuk malagizi. Sebaliknya,
status gizi yang makin baik akan
meringankan diare, dan selanjutnya, diare
yang makin ringan akan memperbaiki status
gizi. Contoh klasik untuk ini adalah kaitan
antara malagizi dengan diare (Gambar 1).

Malagizi

Diare

Gambar 1. Kaitan sinergistis antara malagizi


dan diare

Mekanisme yang melaluinya zat gizi


mencegah atau mengurangi beban penyakit
infeksi adalah peningkatan daya tahan tubuh.
Peningkatan daya tahan tubuh ini tidak hanya
melalui produksi antibodi humoral dan
kapasitas fagosit terhadap bakteri, tetapi
juga, antara lain, melalui sekresi antibodi

mukosal,
imunitas
berperantara
sel,
pembentukan komplemen, T-lymphocytes,
dan T-cells (Scrimshaw and SanGiovanni,
1997).
Tulisan ini membahas kaitan giziimunitas-penyakit infeksi. Pembahasan dimulai
dengan pendahuluan yang mengenalkan kaitan
antara zat gizi dan penyakit infeksi secara
umum. Topik selanjutnya adalah sejarah
penelitian mengenai kaitan gizi dan penyakit
infeksi. Selanjutnya dilakukan kajian literatur
kaitan antara gizi dan penyakit infeski.
Pandangan tradisional (Gambar 2a)
mengenai kaitan gizi dan infeksi mulai
berubah. Ada bukti bahwa status gizi inang
memiliki efek langsung pada patogen
(Gambar 2b). Sebagai contoh, ketika strain
coxsackievirus B3 yang tidak berbahaya
diinokulasikan ke dalam tikus yang
mengalami kekurangan baik selenium
maupun vitamin E, ditemukan bahwa virus
berubah menjadi strain yang sangat
berbahaya
yang
memiliki
komposisi
nukleotida yang berbeda (pada berbagai sisi)
dari komposisi nukleotida tikus asal
(Levander, 1997).
GIZI DAN IMUNITAS
Gangguan pada berbagai aspek
imunitas, termasuk fagositosis, respons
proliferasi sel ke mitogen, serta produksi Tlymphocyte dan sitokin telah ditemukan pada
kondisi kekurangan gizi (Chandra and
Kumari, 1994; Chandra, 1990; Kulkarni et
al. 1994). Sampai saat ini, mekanisme yang
melaluinya kekurangan gizi mengakibatkan
gangguan fungsi imunitas masih terus
mendapat perhatian serius para ahli gizi,
imunolog, ahli biologi, dan ahli di bidang
lain yang terkait.

DIET

AGEN

DIET

INANG
(a)

AGEN

INANG
(b)

Gambar 2. Interkasi gizi-infeksi: (a) paradigma lama (b) paradigma baru


(Sumber: Beck et al. 1995)

Gizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi (188 194)


Albiner Siagian

189
Universitas Sumatera Utara

Karena begitu eratnya kaitan antara


status gizi dan fungsi imunitas, Chandra dan
Scrimshaw (1980) menawarkan indeks
imunitas sebagai ukuran status gizi. Fungsi
imunitas yang dinilai adalah komponen
komplemen, delayed-hypersensitivity, thymusdependent lymphocytes, secretory IgA,
microbicidal capacity of neutrophils, dan
leukocyte terminal transferase.
Beberapa penelitian baik pada tikus
maupun manusia telah menghasilkan
informasi penting berkenan hubungan antara
susu
terfermentasi
dengan
imunitas.
Pemberian
susu
terfermentasi
dapat
mendorong pembentukan antiobodi dan
respons imunitas seluler pada orang sehat.
Fungsi imunitas yang paling dipengaruhi
adalah imunitas berperantara sel dan aktivitas
sitokin (Solis-Pereira et al., 1997).
Walaupun ada bukti bahwa kekurangan
gizi dapat mempengaruhi patogen (Levander,
1997), akan tetapi, pada umumnya dampak
kekurangan gizi pada penyakit infeksi
dikaitkan dengan menurunnya fungsi
imunitas tubuh. Kekurangan energi-protein,
misalnya,
antara
lain,
menyebabkan
penurunan pada proliferasi limposit, produksi
sitokin, dan respons antibodi terhadap vaksin
(Lesourd, 1997).
ENERGI DAN PROTEIN
Dampak KEP (zat gizi makro) pada
timbulnya penyakit infeksi, terutama pada
bayi dan anak-anak telah diteliti secara luas.
Intervensi gizi (energi dan protein) pada bayi
dan anak-anak dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian di Asia dan Amerika
Latin. Berbagai penelitian juga telah secara
meyakinkan menunjukkan bahwa peranan
gizi pada penurunan angka kematian dan
kematian ini adalah melalui perbaikan pada
fungsi imunitas.
Kekurangan energi-protein, misalnya,
berkaitan dengan gangguan imunitas
berperantara sel (cell-mediated immunity),
fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi
antibodi imunoglobulin A, dan produksi
sitokin (Chandra, 1997).
Penelitian pada orang usia lanjut juga
menunjukkan
fenomena
yang
sama.
Kekurangan energi-protein dapat mengarah
pada imunodefisiensi yang parah pada orang
usia lanjut, yang mempengaruhi tidak hanya
imunitas spesifik (B- dan T-lymphocytes)

190

tetapi
juga
imunitas
nonspesifik
(polymorphonuclear dan monosit). Orang
usia lanjut penderita KEP melepaskan lebih
sedikit
monokin
yang
menyebabkan
menurunnya rangsangan limposit (Lesourd,
1997). Sebagai konsekuensinya, untuk
merangsang respons imunitas spesifik pada
taraf yang memadai, tubuh mengekspresikan
respons fase-akut jangka panjang. Efek ini
lebih berat pada orang usia lanjut karena
mobilisasi simpanan zat gizi dalam tubuh
kurang efektif pada usia ini (Klasing, 1988).
VITAMIN
Vitamin A
Dalam kaitannya dengan fungsi
imunitas vitamin yang menarik perhatian dan
yang sering menjadi fokus penelitian adalah
vitamin A, vitamin E, vitamin C, dan
kelompok vitamin B. Di antara vitamin
tersebut, vitamin A adalah yang paling luas
diteliti.
Pengamatan yang mengaitkan vitamin
A dengan imunitas sudah dilakukan bahkan
sebelum struktur vitamin A diketahui dengan
tepat pada tahun 1931 (Karrer et al., 1931
dalam Villamor and Fawzi, 2005). Beberapa
fakta ilmiah yang mengawali pemahaman
mengenai kaitan vitamin A dan penyakit
infeksi antara lain adalah temuan Green dan
Mellanby yang menunjukkan bahwa tikus
yang kekurangan vitamin A lebih rentan
terhadap infeksi (Green and Mellanby, 1928
dalam Semba, 1999).
Setelah antibodi ditemukan, penelitian
mengenai mekanisme yang melaluinya vitamin
A memperbaiki fungsi imunitas telah digiatkan
kembali pada tahun 1960-an (Scrimshaw et al.,
1968), dan kemudian pada tahun 1980-an
dengan ditemukannya efek pelindungan dari
suplementasi vitamin A pada kematian anak
di Indonesia (Sommer et al., 1986). Penelitian
mutakhir juga menunjukkan bahwa metabolit
aktif vitamin A (asam retionat) berperan pada
pengaturan transkripsi gen. Informasi ini
menyediakan fakta mendasar pada pemahaman
mekanisme
bagaimana
vitamin
A
mempengaruhi imunitas.
Vitamin A secara luas beperan pada
fungsi imunitas. Vitamin A sangat penting
untuk memelihara integritas epitel, termasuk
epitel usus. Hal ini berkaitan dengan
hambatan fisik terhadap patogen dan
imunitas mukosal.

Gizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi (188 194)


Albiner Siagian
Universitas Sumatera Utara

Penelitian in vitro dan pada hewan


coba
menunjukkan
bahwa
retinoid
merupakan
pengatur
penting
pada
diferensiasi dan fungsi monosit, serta
mempengaruhi sekresi sitokin, termasuk
TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-12 (Breitman et.
al., 1980 dalam Villamor and Fawzi, 2005).
Natural killer-cells sangat penting pada
pertahanan awal terhadap tumor dan infeksi
virus.
Penelitian
pada
hewan
coba
menunjukkan bahwa jumlah NK-cell yang
bersirkulasi menurun pada hewan yang
kekurangan vitamin A (Zhao et al., 1994).
Senada dengan itu, pada penelitian efek status
zat gizimikro pada fungsi imunitas NK-cell,
Ravaglia dan kawan-kawan menujukkan
bahwa status zat gizi mikro individual
(termasuk vitamin A) dapat mempengaruhi
jumlah dan fungsi NK cell pada subyek usia
lanjut (Ravaglia et al., 2000). Selain itu,
imunokompeten T cell dapat dipengaruhi oleh
kekurangan vitamin A pada berbagai tingkatan,
termasuk limpopoiesis, distribusi, ekspresi, dan
produksi sitokin (Villamor and Fawzi, 2005).
Penelitian suplementasi vitamin pada anakanak di Indonesia menunjukkan terjadi
peningkatan proporsi CD4 setelah 5 minggu
dibandingkan
dengan
kontrol
(tidak
mendapatkan suplemen vitamin A) (Semba,
et al., 1992). Penelitian pada anak-anak di
Afrika yang positif terinfeksi HIV
menujukkan bahwa pemberian vitamin A
meningkatkan jumlah limposit total dan juga
jumlah subpopulasi T-cell setelah 4 minggu
pasca-pemberian vitamin A (Hussey et al.,
1996). Sementara itu, suplemetasi vitamin A
dosis tinggi (75.000RE/kg diet) menunjukkan
bahwa vitamin A dapat meningkatkan produksi
T-helper type 2 cytokine dan respons IgA
terhadap infeksi virus influensa A pada tikus
coba (Cui et al., 2000).
Pemberian vitamin A juga dapat
menurunkan episode dan kejadian diare pada
anak-anak ketika dikombinasikan dengan
mineral seng (Rahman et al., 2001). Efek
suplementasi vitamin A pada morbiditas
anak meliputi penurunan keparahan cacar air
yang dapat berkorelasi dengan peningkatan
produksi
antibodi
T-cell-dependent
(Coutsoudis et al., 1991). Oleh karena itu,
suplementasi vitamin A dianjurkan untuk
penanganan infeksi cacar air (Beck, 2001).
Vitamin E
Vitamin E sering disebut sebagai
vitamin antioksidan. Hal ini dikarenakan

Gizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi (188 194)


Albiner Siagian

perannya untuk menangkal radikal bebas.


Karena kemampuannya menahan tekanan
radikal oksidatif ini pula vitamin E disebut
sebagai vitamin antipenuaan.
Selain sebagai antioksidan, vitamin E
juga dikenal sebagai zat gizi penting untuk
pencegahan penyakit infeksi. Penelitian pada
berbagai jenis hewan coba mengindikasikan
bahwa vitamin antioksidan berkaitan dengan
peningkatan fungsi imunitas (Bendich, 1990
dalam Pallast et al., 1999). Lebih spesifik
lagi, suplementasi vitamin E megadosis
(melebihi angka kecukupan gizi) memiliki
efek perangsangan pada imunitas humoral
dan berperantara sel (Tangerdy et al., 1989
dalam Pallast et al., 1999).
Mekanisme peningkatan fungsi imunitas
oleh vitamin E masih belum seluruhnya
dipahami. Dugaan mekanisme tersebut
diduga melalui efek langsung dan tidak
langsung (melalui makrofag) vitamin E pada
fungsi T-cell. Efek langsung vitamin E
mungkin diperantarai oleh perubahan
molekul reseptor membran T-cell yang
diinduksi oleh vitamin E.
Melalui perannya sebagai antioksidan,
vitamin E juga dapat menurunkan produksi
faktor penekan imunitas (immunosuppressive
factors) seperti prostaglandin E2 dan hidrogen
peroksida dengan mengaktifkan makrofag
(Beharka et al., 1997 dalam Pallast et al., 1999).
Pada penelitian efek suplementasi
vitamin E pada orang dewasa Amerika,
Meydani et al. (1990) memperoleh efek
perangsangan pada variabel yang berkaitan
dengan kepekaan imunitas T-cell-dependent
4,5 minggu setelah pemberian vitamin E
sebanyak 800 mg. Sementara itu, Pallast et
al. (1999), menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin E sebanyak 100 mg pada orang usia
lanjut meningkatkan produksi IL-4. Atas
dasar temuan tersebut, Pallast dan kawankawan menyimpulkan bahwa suplementasi
vitamin E sebanyak 100 mg dapat
bermanfaat pada fungsi imunitas seluler pada
orang usia lanjut.
Vitamin C
Seperti halnya vitamin E, vitamin C
juga temasuk vitamin antioksidan. Sebagai
antioksidan, efek vitamin C pada respons
imunitas juga sudah banyak diteliti. Vitamin
C berakumulasi (dengan konsentrasi
milimol/l) dalam neutrofil, limposit, dan
monosit (Evans et al., 1982), yang
mengindikasikan bahwa vitamin C berperan
penting pada fungsi imunitas. Penelitian
191
Universitas Sumatera Utara

menunjukkan fungsi pagosit, proliferasi Tcell, dan produksi sitokin dipengaruhi oleh
status vitamin C.
Pada masa infeksi, pagosit teraktivasi
menghasilkan agen pengoksidasi yang
memiliki efek antimikrobial. Akan tetapi, itu
dilepaskan ke media ektraselular sehingga
membahayakan inang. Untuk menetralisir
efek peningkatan oksigen radikal ini, sel
memanfaatkan
berbagai
mekanisme
antikoksidatif, termasuk vitamin antioksidan
seperti vitamin C (Li et al., 2006).
MINERAL
Berbagai penelitian telah mengungkapkan
peran mineral dalam kehidupan manusia.
Berapa mineral yang sebelumnya belum
diketahui manfaatnya, sekarang diketahui
berperan dalam proses metabolisme tubuh,
termasuk dalam fungsi imunitas. Ada tujuh
mineral mikro yang secara jelas diketahui
memiliki peran gizi. Juga, kekurangannya
berdampak merugikan kesehatan, yaitu besi,
iodium, seng, tembaga, selenium, molibdenum,
kromium (Diplock, 1987). Sementara itu,
mineral mikro yang banyak dikaitkan dengan
fungsi imunitas, antara lain adalah selenium
dan seng.
Selenium
Selenium (Se) adalah suatu zat gizi
mikro (trace element) yang sangat esensial
pada sejumlah protein yang berkaitan dengan
fungsi enzim, termasuk glutation peroksidase,
glutation
reduktase,
dan
tioredoksin
reduktase. Selenoprotein (ikatan antara Se
dan protein) dipercaya memainkan peran
penting
sebagai
enzim
antioksidan
(selenosistein) (Beck, 2001). Lebih dari 20
jenis selenoprotein telah cirikan melalui
pemurnian, kloning, ekspresi rekombinan,
dan perkiraan fungsinya menggunakan teknik
bioinformatika (Arthur et al., 2003).
Selenium berperan penting dalam
fungsi imunitas. Selenium mempengaruhi
baik sistem imunitas bawaan (innate),
nonadaptif, dan buatan (aquired). Selain itu,
Se mempengaruhi fungsi neutrofil (Arthur,
2003).
Selain peran Se dalam fungsi imunitas,
kekurangan Se diketahui mempengaruhi virus
patogen. Salah satu contohnya adalah efek
kekurangan Se pada patogenitas coxsackievirus,
suatu jenis virus mRNA (Levander, 1997; Beck,
2001, Beck et al., 2003).

192

Penelitian pada Keshan disesae


penyakit cardiomyophaty di Cina
menunjukkan bahwa penyakit ini disebabkan
oleh infeksi coxsackievirus dan kekurangan
Se. Karena peradangan adalah ciri dari
myocarditis yang diinduksi coxsackievirus,
para ahli meneliti ekspresi mRNA untuk
beberapa peradangan chemokine (Beck,
2001), untuk mengetahui bagaimana
kekurangan Se berkaitan dengan Keshan
disease. Monocyte chemotactic protein-1
mRNA (MCP-1 mRNA) diekspresiskan secara
jelas pada hari kesepuluh pada tikus yang
kekurangan Se dibandingkan dengan yang
cukup Se. Peningkatan ekspresi MCP-1
mRNA ini bertanggung jawab pada
peradangan yang terjadi pada tikus yang
kekurangan Se.
Selain perubahan pada ekspresi MCP-1
mRNA, ekspresi mRNA untuk -interferon
(-IFN) juga menurun pada tikus yang
keurangan
Se.
-interferon
berperan
melindungi sel dari infeksi virus, dan
menurunnya -IFN berkaitan dengan
meningkatnya infeksi virus pada tikus yang
kekurangan Se (Beck, 2001). Para peneliti
juga menemukan terjadi mutasi virus pada
inang yang kekurangan Se (Beck, 2001).
Mutasi virus influenza juga terjadi
pada keadaan kekurangan Se. Ketika terjadi
perubahan genom virus, inang yang tidak
kekurangan Se pun akan rentan terhadap
strain baru virus ini (Beck, 2001). Strain
virus influenza, influenza A/Bangkok/1/79,
yang memiliki patogenitas menengah,
berubah menjadi virus yang lebih patogen
pada tikus yang kekurangan Se (Beck et al.,
2003).
Seng
Mikromineral lain yang tak kalah
pentingnya pada fungsi imunitas adalah seng
(Zn). Asupan seng merupakan faktor penting
pada modulasi respons imunitas berperantara
sel. Kekurangan seng berdampak pada
penurunan respons pembentukan antibodi
dalam limfa (Chandra and Au, 1980).
Kekurangan seng juga berkaitan dengan
respons imunitas yang diindikasikan oleh
kuantitas limposit dalam darah perifer,
proliferasi T-lymphocyte, pelepasan IL-2,
atau citotoksik limposit (Keen and Gerswhin,
1990).

Gizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi (188 194)


Albiner Siagian
Universitas Sumatera Utara

Suplemetasi seng pada orang usia


lanjut yang kekurangan seng dapat
memperbaiki respons imunitas (Lesourd,
1997). Suplementasi seng bersama-sama
dengan mikromineral lain (selenium dan
kuprum)
juga
menurunkan
infeksi
bronchopneumonia dan mempersingkat
waktu rawat pasien yang menderita luka
bakar (Berger et al., 1998).
PENUTUP
Status gizi merupakan determinan
penting bagi respons imunitas. Perbaikan
pada fungsi imunitas merupakan faktor
antara peran gizi pada pencegahan penyakit
infeksi. Gizi dan penyakti infeksi berkaitan
secara sinergistis. Penelitian mutakhir
menghasilkan paradigma baru kaitan antara
gizi (diet) dan patogen (agen), yaitu diet
diketahui mempengaruhi agen (misalnya
terjadi mutasi virus).
DAFTAR PUSTAKA
Arthur JR, McKenzie RC, and Beckett GJ.
2003. Selenium in the immune system.
J Nutr 133: 1457S-1459S.
Beck MA. 2001. Antioxidants and viral
infections: host immune response and
viral pathogenicity. J Am Coll Nutr 20:
384S-388S.
Beck MA, Levande OA, and Handy J. 2003.
Selenium
deficiency
and
viral
infection. J Nutr 133: 1463S-1467S.
Berger MM, Spertini F, Shenkin A, Wardle
C, Wiesner L, Schindler C, and
Chiolerp L. 1998. Trace element
supplementation modulates pulmonary
infection rates after major burns: a
doubble-blind, placebo-controlled trial.
Am J Clin Nutr 68: 365-371.
Chandra RK and Scrimshaw NS. 1980.
Immunocompetence in nutritional
assessment. Am J Clin Nutr 33: 26942697.
Chandra RK and Au B. 1980. Single nutrient
deficiency and cell-mediated immune
responses. Am J Clin Nutr 33: 736-738.
Chandra RK. 1990. McCollum Award
Lecture. Nutrition and immunity:
lesson from the past and new insight
into the future. Am J Clin Nutr 53:
1087-1101.

Gizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi (188 194)


Albiner Siagian

Chandra RK and Kumari S. 1994. Nutrition


and immunity: An overview. J Nutr
124: 1433S-1435S.
Chandra RK. 1997. Nutrition and immune
system: An introduction. Am J Clin
Nutr 66: 460S-463S.
Coutsoudis A, Broughton M, and Coovadia
HM. 1991. Vitamin A supplementation
reduces measles morbidity in young
African children: a randomized,
placebo-controlled, doubble-blind trial.
Am J Clin Nutr 54: 890-895.
Cu D, Moldoveanu Z, and Stepehensen CB.
2000. High level dietary vitamin A
enhances T-helper type 2 cytokine
production and secretory immunoglobulin
A response to influenza A virus
infection in BALB/c mice. J Nutr 130:
1132-1139.
Diplock AT. 1987. Trace element in human
health with special reference to
selenium. Am J Clin Nutr 45: 13131322.
Evans RM, Currie L, Campbell A. 1982. The
distribution of ascorbic acid between
various cellular component of blood, in
normal individual, and its relation to
the plasma concentration. Br J Nutr 47:
473-482.
Green HN and Mellanby E. 1928. Vitamin A
as an anti-infective agent. Br Med J 2:
691-696.
Hussey G, Hughes J, Potgieter S, Kossew G,
Burgess J, Beatty D, Keraan M, and
Carelse. 1996. Vitamin A status and
supplementation and its effect on
immunity in children with AIDS. Report
of the XVII International Vitamin A
Consultative Group Meeting, Guatemala
City, Guatemala. International Life
Science Institute, Washington DC.
Keen CL and Gerswhin ME. 1990. Zinc
deficiency and immune function. Annu
Rev Nutr 10: 415-431.
Kielmann AA, Taylor CE, and Parker RL.
1978. The Narangwal nutrition study:
A summary review. Am J Clin Nutr 31:
2040-2052.
Klasing KC. 1988. Nutritional aspect of
leukocytic cytokines: Critical review. J
Nutr 118: 1436-1446.
Kulkarni, AD, Rudolph FB, and van Buren
CHT. 1994. The role of dietary sources
of nucleotides in immune function: A
review. J Nutr 124:1442S-1446S.

193
Universitas Sumatera Utara

Lesourd BM. 1997. Nutrition and immunity


in elderly: modification of immune
responses with nutritional treatments.
Am J Clin Nutr 66: 478S-484S.
Levander OA. 1997. Nutrition and newly
emerging viral diseases: An overview.
J Nutr 127: 948S-950S.
Li W, Maeda N, and Beck MA. 2006.
Vitamin C deficiency increases the
lung pathology of influenza virusinfected gulo-/- mice. J Nutr 136:
2611-2616.
Meydani, M. 2000. Effect of functional
ingredients: Vitamin E modulation of
cardiovascular diseases and immune
status in elderly. Am J. Clin Nutr,
2000; Vol 71, No 6: 1665S-1668S.
Pallast EG, Schouten EG, de Waart FG, Fonk
HC, Doekes G, von Blomberg BM,
and Kok FJ. 1999. Effect of 50- and
100-mg vitamin E supplements on
cellular
immune
function
in
noninstituionalized elderly persons. Am
J Clin Nutr 69: 1273-1281.
Rahman MM, Vermund SH, Wahed MA,
Fuchs GJ, Baqui AH, and Alvarez JO.
2001. Simultaneous zinc and vitamin A
supplementation
in
Bangladeshi
children: randomized doubble-blind
controlled trial. Br Med J 323:314-318.
Ravaglia G, Forti P, Maioli F, Bastagli L,
Facchini A, Savarion L, Sassi S,
Cucinotta, D, and Lenaz G. 2000.
Effect of micronutrient status on
natural killer cell immune function in
healthy free-living subjects aged 90 y.
Am J Clin Nutr 71: 590-598.

Scrimshaw NS, Taylor CE, and Gordon JE.


1968. Interaction of Nutrition and
Infection. Monograph. Geneva: WHO.
Scrimshaw NS and SanGiovanni JP. 1997.
Synergism of nutrition, infection, and
immunity: An overview. Am J Clin
Nutr 66: 464S-477S.
Scrimshaw NS. 2003. Historical concepts of
interactions, synergism and antagonism
between nutrition and infection. J Nutr
133: 316S-321S.
Semba RD, Muhilal, Ward BJ, Griffin DE,
Scott AL, Natadisastra G, West, Jr KP,
and Sommer A. 1993. Abnormal T-cell
subset proportion in vitamin-Adeficient children. Lancet 341: 5-8.
Semba RD. 1999. Vitamin A as antiinfective therapy, 1920-1940. J Nutr
129: 783-791.
Solis-Pereyra B, Attouri N, and Lemonnier
D. 1997. Role of food in stimulation of
cytokine production. Am J Clin Nutr
66: 521S-525S.
Villamor E and Fawzy WW. 2005. Effects of
vitamin A supplementation on immune
responses and correlation with clinical
outcomes. Clin Microbiol Rev 18: 446464.
Zhao Z, Murasko DM, and Ross AC. 1994.
The role of vitamin A in natural killer
cell
cytotoxicity,
number
and
activation in the rat. Nat Immun 13: 2941.

194

Gizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi (188 194)


Albiner Siagian
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai