Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH GIZI DAN PENYAKIT

“ HUBUNGAN GIZI DAN PENYAKIT “

Disusun Oleh :
Lisa Mona Angelia
10121001003

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
A. Definisi Gizi

Gizi merupakan dialek bahsa Mesir yang berarti ’’makanan”. Gizi merupakan hasil
terjemahan dari bahasa Inggris nutrition, sementara nutrition juga bisa diterjemahkan menjadi
nutrisi.

Ilmu gizi adalah ilmu yang mempelajari zat gizi dalam makanan dan penggunaannya
dalam tubuh, meliputi pemasukan, pencernaan, penyerapan, pengangkutan (transpor),
metabolisme, interaksi, penyimpanan, dan pengeluaran, semuanya termasuk proses
pengolahan zat gizi dalam tubuh.

Zat gizi atau nutrient merupakan substansi yang diperoleh dari makanan dan digunakan
untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan perbaikan jaringan tubuh. Ada enam zat gizi, yaitu :
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, air.

Zat gizi tersebut dapat dibagi lagi menjadi zat gizi organik dan anorganik, zat gizi organik
termasuk didalamnya adalah karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Adapun zat gizi
anorganik termasuk didalamnya adalah mineral dan air.

Tubuh kita juga terdiri dari zat gizi yang sama dengan makanan. Seseorang dengan berat
70 kilogram terdiri dari 42 kilogram air, 14 kilogram lemak, dan 14 kilogram terdiri dari
protein, karbohidrat, komponen organik serta mineral mayor pada tulang (kalsium dan
fosfor). Lainnya sebanyak 0,45 kilogram terdiri dari vitamin, mineral lain, dan
ekstrainsidental.

B. Definisi Penyakit

Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan
ketidaknyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya serta dapat
mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari, bahkan pada tingkat yang lebih parah
dapat mengakibatkan kematian.

C. Hubungan Gizi dan Penyakit

Secara umum diterima bahwa gizi merupakan salah satu determinan penting respons
imunitas. Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan gizi
menghambat respons imunitas dan meningkatkan risiko penyakit. Sanitasi dan higiene
perorangan yang buruk, kepadatan penduduk yang tinggi, kontaminasi pangan dan air, dan
pengetahuan gizi yang tidak memadai berkontribusi terhadap kerentanan terhadap suatu
penyakit. Berbagai penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang lalu
membuktikan bahwa gangguan imunitas adalah suatu faktor antara (intermediate factor)
kaitan gizi dengan penyakit infeksi (Chandra, 1997).

Sebagai contoh, kekurangan energiprotein (KEP) berkaitan dengan gangguan imunitas


berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi antibodi
imunoglobulin A, dan produksi sitokin (cytokines). Kekurangan zat gizi tunggal, seperti seng,
selenium, besi, tembaga, vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B6, dan asam folat juga
dapat memperburuk respons imunitas. Selain itu, kelebihan zat gizi atau obesitas juga
menurunkan imunitas (Chandra, 1997).

Berbagai penelitian pada bayi di Asia dan Amerika Latin telah secara meyakinkan
membuktikan intervensi gizi dapat menurunkan angka kematian bayi dan anakanak akibat
penyakit infeksi. Pada kurun waktu April 1968 – Mei 1973, para peneliti dari Departemen
Kesehatan Internasional, The John Hopkins University melakukan penelitianm di negara
bagian Punjab India (The Narangwal Nutrition Study), yang meneliti kaitan antara
kekurangan gizi dan infeksi dan dampaknya pada morbiditas, mortalitas, dan pertumbuhan
anak prasekolah. Melalui penelitian tersebut, Kielmann dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa mortalitas menurun dengan suplementasi gizi. Penurunan ini berkaitan dengan
meningkatnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Kielmann et al., 1978).

Scrimshaw, selama bertugas di Gorgas Hospital, Panama pada kurun waktu 19451946,
mengamati bahwa tuberkulosa adalah penyakit yang lebih banyak diderita anakanak atau
dewasa yang menderita kurang gizi daripada anak-anak atau dewasa yang status gizinya lebih
baik. Scrimshaw dan koleganya juga mengamati bahwa cacar air lebih parah pada anak-anak
yang menderita kekurangan gizi yang buruk dibandingkan dengan rekannya yang berstatus
gizi lebih baik. Sementara itu, terdapat kaitan antara kekurangan gizi tingkat sedang dan
buruk pada awal episode penyakit (Scrimshaw, 2003).

Pada tahun 1968, World Health Organization (WHO) menerbitkan WHO Monograph on
Nutrition-infection Interactions. Publikasi ini merupakan hasil kerjasama Nevin S.
Scrimshaw, Carl Taylor, dan John Gordon (Scrimshaw et al. 1968). Pada publikasi ini,
Scrimshaw dan koleganya untuk pertama kali mengemukakan bahwa kaitan antara malagizi
dan infeksi adalah sinergistis. Artinya, malagizi memperparah penyakit infeksi, demikian
juga halnya infeksi memperburuk malagizi. Sebaliknya, status gizi yang makin baik akan
meringankan diare, dan selanjutnya, diare yang makin ringan akan memperbaiki status gizi.
Contoh klasik untuk ini adalah kaitan antara malagizi dengan diare (Gambar 1).

Mekanisme yang melaluinya zat gizi mencegah atau mengurangi beban penyakit
infeksi adalah peningkatan daya tahan tubuh. Peningkatan daya tahan tubuh ini tidak hanya
melalui produksi antibodi humoral dan kapasitas fagosit terhadap bakteri, tetapi juga, antara
lain, melalui sekresi antibodi mukosal, imunitas berperantara sel, pembentukan komplemen,
T-lymphocytes, dan T-cells (Scrimshaw and SanGiovanni, 1997).

1. Gizi dan Imunitas


Gangguan pada berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis, respons proliferasi sel
ke mitogen, serta produksi Tlymphocyte dan sitokin telah ditemukan pada kondisi
kekurangan gizi (Chandra and Kumari, 1994; Chandra, 1990; Kulkarni et al. 1994).
Sampai saat ini, mekanisme yang melaluinya kekurangan gizi mengakibatkan gangguan
fungsi imunitas masih terus mendapat perhatian serius para ahli gizi, imunolog, ahli
biologi, dan ahli di bidang lain yang terkait.
Karena begitu eratnya kaitan antara status gizi dan fungsi imunitas, Chandra dan
Scrimshaw (1980) menawarkan indeks imunitas sebagai ukuran status gizi. Fungsi
imunitas yang dinilai adalah komponen komplemen, delayed-hypersensitivity,
thymusdependent lymphocytes, secretory IgA, microbicidal capacity of neutrophils, dan
leukocyte terminal transferase.
Beberapa penelitian baik pada tikus maupun manusia telah menghasilkan informasi
penting berkenan hubungan antara susu terfermentasi dengan imunitas. Pemberian susu
terfermentasi dapat mendorong pembentukan antiobodi dan respons imunitas seluler
pada orang sehat. Fungsi imunitas yang paling dipengaruhi adalah imunitas berperantara
sel dan aktivitas sitokin (Solis-Pereira et al., 1997).
Walaupun ada bukti bahwa kekurangan gizi dapat mempengaruhi patogen
(Levander, 1997), akan tetapi, pada umumnya dampak kekurangan gizi pada penyakit
infeksi dikaitkan dengan menurunnya fungsi imunitas tubuh. Kekurangan energi-protein,
misalnya, antara lain, menyebabkan penurunan pada proliferasi limposit, produksi
sitokin, dan respons antibodi terhadap vaksin (Lesourd, 1997).

2. Energi dan Protein


Dampak KEP (zat gizi makro) pada timbulnya penyakit infeksi, terutama pada bayi
dan anak-anak telah diteliti secara luas. Intervensi gizi (energi dan protein) pada bayi dan
anak-anak dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian di Asia dan Amerika Latin.
Berbagai penelitian juga telah secara meyakinkan menunjukkan bahwa peranan gizi pada
penurunan angka kematian dan kematian ini adalah melalui perbaikan pada fungsi
imunitas.
Kekurangan energi-protein, misalnya, berkaitan dengan gangguan imunitas
berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi
antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin (Chandra, 1997).

3. Vitamin
a. Vitamin A
Dalam kaitannya dengan fungsi imunitas vitamin yang menarik perhatian dan yang
sering menjadi fokus penelitian adalah vitamin A, vitamin E, vitamin C, dan
kelompok vitamin B. Di antara vitamin tersebut, vitamin A adalah yang paling luas
diteliti.
Pengamatan yang mengaitkan vitamin A dengan imunitas sudah dilakukan bahkan
sebelum struktur vitamin A diketahui dengan tepat pada tahun 1931 (Karrer et al.,
1931 dalam Villamor and Fawzi, 2005). Beberapa fakta ilmiah yang mengawali
pemahaman
mengenai kaitan vitamin A dan penyakit antara lain adalah temuan Green dan
Mellanby yang menunjukkan bahwa tikus yang kekurangan vitamin A lebih rentan
terhadap infeksi (Green and Mellanby, 1928 dalam Semba, 1999).
Vitamin A secara luas beperan pada fungsi imunitas. Vitamin A sangat penting
untuk memelihara integritas epitel, termasuk epitel usus. Hal ini berkaitan dengan
hambatan fisik terhadap patogen dan imunitas mukosal.
Pemberian vitamin A juga dapat menurunkan episode dan kejadian diare pada
anak-anak ketika dikombinasikan dengan mineral seng (Rahman et al., 2001). Efek
suplementasi vitamin A pada morbiditas anak meliputi penurunan keparahan cacar air
yang dapat berkorelasi dengan peningkatan produksi antibodi T-cell-dependent
(Coutsoudis et al., 1991). Oleh karena itu, suplementasi vitamin A dianjurkan untuk
penanganan infeksi cacar air (Beck, 2001).

b. Vitamin E
Vitamin E sering disebut sebagai vitamin antioksidan. Hal ini dikarenakan
perannya untuk menangkal radikal bebas. Karena kemampuannya menahan tekanan
radikal oksidatif ini pula vitamin E disebut sebagai vitamin antipenuaan.
Selain sebagai antioksidan, vitamin E juga dikenal sebagai zat gizi penting untuk
pencegahan penyakit infeksi. Penelitian pada berbagai jenis hewan coba
mengindikasikan bahwa vitamin antioksidan berkaitan dengan peningkatan fungsi
imunitas (Bendich, 1990 dalam Pallast et al., 1999). Lebih spesifik lagi, suplementasi
vitamin E megadosis (melebihi angka kecukupan gizi) memiliki efek perangsangan
pada imunitas humoral dan berperantara sel (Tangerdy et al., 1989 dalam Pallast et
al., 1999).
Mekanisme peningkatan fungsi imunitas oleh vitamin E masih belum seluruhnya
dipahami. Dugaan mekanisme tersebut diduga melalui efek langsung dan tidak
langsung (melalui makrofag) vitamin E pada fungsi T-cell. Efek langsung vitamin E
mungkin diperantarai oleh perubahan molekul reseptor membran T-cell yang
diinduksi oleh vitamin E.
Melalui perannya sebagai antioksidan, vitamin E juga dapat menurunkan produksi
faktor penekan imunitas (immunosuppressive factors) seperti prostaglandin E dan
hidrogen peroksida dengan mengaktifkan makrofag (Beharka et al., 1997 dalam
Pallast et al., 1999).

c. Vitamin C
Seperti halnya vitamin E, vitamin C juga temasuk vitamin antioksidan. Sebagai
antioksidan, efek vitamin C pada respons imunitas juga sudah banyak diteliti. Vitamin
C berakumulasi (dengan konsentrasi milimol/l) dalam neutrofil, limposit, dan
monosit (Evans et al., 1982), yang mengindikasikan bahwa vitamin C berperan
penting pada fungsi imunitas. Penelitian menunjukkan fungsi pagosit, proliferasi
Tcell, dan produksi sitokin dipengaruhi oleh status vitamin C.
Pada masa infeksi, pagosit teraktivasi menghasilkan agen pengoksidasi yang
memiliki efek antimikrobial. Akan tetapi, itu dilepaskan ke media ektraselular
sehingga membahayakan inang. Untuk menetralisir efek peningkatan oksigen radikal
ini, sel memanfaatkan berbagai mekanisme antikoksidatif, termasuk vitamin
antioksidan seperti vitamin C (Li et al., 2006).

4. Mineral
a. Selenium
Selenium berperan penting dalam fungsi imunitas. Selenium mempengaruhi baik
sistem imunitas bawaan (innate), nonadaptif, dan buatan (aquired). Selain itu, Se
mempengaruhi fungsi neutrofil (Arthur, 2003).
Selain peran Se dalam fungsi imunitas, kekurangan Se diketahui mempengaruhi
virus patogen. Salah satu contohnya adalah efek kekurangan Se pada patogenitas
coxsackievirus, suatu jenis virus mRNA (Levander, 1997; Beck, 2001, Beck et al.,
2003).
Mutasi virus influenza juga terjadi pada keadaan kekurangan Se. Ketika terjadi
perubahan genom virus, inang yang tidak kekurangan Se pun akan rentan terhadap
strain baru virus ini (Beck, 2001). Strain virus influenza, influenza A/Bangkok/1/79,
yang memiliki patogenitas menengah, berubah menjadi virus yang lebih patogen pada
tikus yang kekurangan Se (Beck et al., 2003).

b. Seng
Mikromineral lain yang tak kalah pentingnya pada fungsi imunitas adalah seng
(Zn). Asupan seng merupakan faktor penting pada modulasi respons imunitas
berperantara sel. Kekurangan seng berdampak pada penurunan respons pembentukan
antibodi dalam limfa (Chandra and Au, 1980).
Kekurangan seng juga berkaitan dengan respons imunitas yang diindikasikan oleh
kuantitas limposit dalam darah perifer, proliferasi T-lymphocyte, pelepasan IL-2, atau
citotoksik limposit (Keen and Gerswhin, 1990).
Suplemetasi seng pada orang usia lanjut yang kekurangan seng dapat memperbaiki
respons imunitas (Lesourd, 1997). Suplementasi seng bersama-sama dengan
mikromineral lain (selenium dan kuprum) juga menurunkan infeksi
bronchopneumonia dan mempersingkat waktu rawat pasien yang menderita luka bakar
(Berger et al., 1998).
Penutup

Status gizi merupakan determinan penting bagi respons imunitas. Perbaikan pada fungsi
imunitas merupakan faktor antara peran gizi pada pencegahan penyakit infeksi. Gizi dan
penyakti infeksi berkaitan secara sinergistis. Penelitian mutakhir menghasilkan paradigma
baru kaitan antara gizi (diet) dan patogen (agen), yaitu diet diketahui mempengaruhi agen
(misalnya terjadi mutasi virus).
Daftar Pustaka

1. Siagian, Albiner. 2012. Gizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi. FKM USU.
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18924/1/ikm-des2006-10%20(2).pdf>
2. Devi, Nirmala. (2010) Gizi untuk keluarga. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, hal
1-37.
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit

Anda mungkin juga menyukai