oleh :
Nurhadi Bagus J
123 99 007
HALAMAN PENGESAHAN
Nurhadi Bagus J
NIM. 12399007
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dosen Pembimbing I,
ABSTRAK
ABSTRACT
The survey was done at sasaksaat train tunnel, Padalarang, West Java using
Ground Penetrating Radar (GPR) method. The purpose of survey is to recognizing
tunnel building all at once to mapping geological condition surroundings,
futhermore the data compared with result of forward modelling in order to give
better interpretation.
This GPR tool used for the survey is the Zond system. The center frequency
antenna 75 MHz and 150 MHz is used for measured profile. Antenna configuration
is using radar reflection profiling and PR-BD antenna orientation. The survey
profile which have 30 m distance is perpendicular to the tunnel.
The result of the survey and result forward modelling shows hyperbolic
diffraction from the tunnel detected at time 40 ns for antenna 150 MHz and at 45 ns
for antenna 75 MHz, where diffraction from the tunnel can be migrated optimumly
by velocity 0.3 m/ ns.
From field data and compare with model, fault structure is recognizing
surroundings the tunnel.
KATA PENGANTAR
Bandung,
Juni 2006
Penyusun
Nurhadi Bagus J
DAFTAR ISI
Hal
Abstrak
iii
Abstract
iv
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB 1
BAB 2
BAB 3
PENDAHULUAN
GEOLOGI
DASAR TEORI
10
11
11
11
12
12
15
15
BAB 4
16
18
18
3.10 Resolusi
19
3.11 Noise
20
21
21
25
27
3.12.4 Diskritisasi
27
28
28
PENGOLAHAN DATA
29
30
31
4.1.2 Editing
31
4.1.3 Gain
31
4.1.4 Dewow
32
4.1.5 DC-Shift
33
33
34
34
4.1.9 Dekonvolusi
34
35
35
4.1.12 Migrasi
35
36
38
39
BAB 5
BAB 6
42
42
49
60
6.2. Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
63
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1.1
Peta Indeks ..
2.1
2.2
Geologi Penelitian.
3.1
17
3.2
Resolusi GPR
19
3.3
22
22
3.5
Wilayah Analisa.....................................................................................
25
3.6
25
4.1
29
4.2
Konsep gain
32
33
37
38
39
40
44
45
47
48
50
51
53
5.8 Perambatan gelombang radar f = 150 MHz dari 70 ns s.d 100 ns.
54
56
57
58
59
10
DAFTAR TABEL
Tabel
3.1
Halaman
Konstanta dielektrik, konduktivitas listrik, kecepatan,
dan atenuasi dalam berbagai medium untuk frekuensi
Tengah 100 MHz .
13
4.1
30
4.2
11
40
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
12
Halaman
64
65
66
4. Data Bor....
67
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
menggunakan
gelombang
elektromagnet
yang
bersifat
non-destruktif
dan
mempunyai resolusi yang tinggi dari kontras dielektrik material dan formasi geologi.
Penggunaan GPR antara lain untuk eksplorasi mineral, eksplorasi air tanah,
penyelidikan geologi, geoteknik dan arkeologi. Aplikasi yang lebih khusus lagi yaitu
untuk pemetaan kedalaman batuan dasar, rekahan pada batuan, memetakan fitur
dibawah timbunan seperti pipa dan terowongan, serta untuk pemetaan struktur dan
stratigrafi (Annan dan Davis, 1989).
Pada penelitian ini metode GPR diterapkan untuk melihat kenampakan
bangunan terowongan dengan cara melakukan pemodelan kedepan. Pemodelan
kedepan dapat memberikan suatu respon GPR berdasarkan parameter lapangan dan
objek geologi yang diberikan. Dengan pemodelan kedepan dapat dilakukan suatu
analisa karakteristik respon GPR yang bersusunan antara data real pengukuran
dengan data sintetik model yang diyakini. Hal ini tentunya akan membantu dalam
proses interpretasi lebih lanjut.
1.2
13
1.3
Batasan Masalah
Peneliti hanya membatasi masalah pada profil yang memotong bangunan
terowongan. Data diambil menggunakan frekuensi tengah 75 MHz dan 150 MHz,
dengan panjang lintasan pengukuran sejauh 30 meter. Sedangkan model sintetik
dibuat dengan pendekatan Finite Difference Time Domain (FDTD) 2 Dimensi
melalui modul modeling pada paket perangkat lunak GPRMax-2D.
1.4
Januari s.d. Juni 2006. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data
pengukuran GPR di Terowongan Sasaksaat, Padalarang, Jawa Barat yang diambil
pada bulan Juni - Agustus 2004.
Terowongan Sasaksaat berada pada kilometer ke-142,939 dari arah Kota
Bandung. Secara geografis berada pada koordinat 6o47 LS dan 107o26 BT.
14
1.5
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir ini
adalah studi literatur, pemrosesan data, pemodelan kedepan dan interpretasi data.
Pemrosesan data dilakukan pada data pengukuran GPR di Terowongan Kereta Api
Sasaksaat, Padalarang, JawaBarat yang diambil pada bulan Juni Agustus 2004.
Pemrosesan data dilakukan dengan menggunakan software ReflexwTM versi 1.0.2
serta untuk pemodelan kedepan menggunakan software GPRMax-2D versi 1.5 dan
Matlab versi 6.5.1 untuk visualisasi.
1.6
Sistematika Pembahasan
Tugas akhir ini terdiri dari Enam bab, yaitu Bab 1 Pendahuluan, Bab 2
Geologi, Bab 3 Teori Dasar , Bab 4 Data dan Pengolahan Data, Bab 5 Hasil dan
Pembahasan, Bab 6 Kesimpulan dan Saran.
Bab 1 berisi latar belakang penelitian, masud dan tujuan penelitian, waktu
dan tempat penelitian, pembatasan masalah, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab 2
Sasaksaat yang meliputi fisiografi dan geomorfologi serta geologi lokal daerah
penelitian.
Bab 3 berisi pemaparan GPR secara teoritis, terutama hal-hal yang menjadi
landasan berfikir, pengolahan data maupun interpretasi data.
Bab 4 berisi pemaparan dari data dan tahapan pengolahan data,
Bab 5 berisi hasil dan pembahasan dari kenampakan karakter refleksi yang
terlihat pada radargram yang telah diproses, pemodelan kedepan, dan perbandingan
forward modeling dengan data lapangan yang telah di proses.
Bab 6 berisi kesimpulan yang diambil dari penulisan tugas akhir ini dan
saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut.
15
BAB 2
GEOLOGI
2.1
Barat, serta terletak diantara Stasiun Maswati dan Stasiun Sasaksaat pada jarak lintas
Jakarta - Cikampek Purwakarta - Bandung. Dari arah Bandung, terowongan ini
terletak pada kilometer ke-142, 939. Secara geografis, terowongan ini terletak pada
6o47 LS dan 107o26 BT.
Konstruksi dinding terowongan ini memiliki panjang 950 meter dan
ketebalan antara 1 sampai 1,5 meter, dimana bahan dinding terowongan terbuat dari
campuran batuan yaitu batuan andesit, batuan lempung, tufa breksi dan tufa dengan
tingkat pelapukan dari sedang sampai tinggi.
Pada bagian dalam terowongan secara kasat mata terlihat banyak terdapat
rembesan air melalui dinding atas terowongan, serta terdapat kristalisasi kalsitkarbonatan, kristal ini berasal dari air yang mengalir melalui batuan yang
mengandung karbonat, dimana air tersebut melarutkan karbonat yang terdapat di
dalam batuan, kristalisasi ini juga terjadi pada bagian bawah ( dasar terowongan).
Lapisan tanah umumnya cukup tebal, karena berhubungan erat dengan sifat
batuan penyusunnya yang mudah mengalami disintegrasi sehingga berubah menjadi
tanah. Vegetasi dibagian utara terdiri dari pohon jati, karet, teh dan perkebunan jati
ini dimiliki oleh Perhutani, perkebunan karet bernama Maswati dan perkebunan teh
Ciledu, dibagian Barat Daya terdapat perkebunan teh Cigandrong.
Terowongan Sasaksaat berada pada ketinggian antara 400-700 m dari muka
laut pada daerah perbukitan dengan posisi terowongan yang menembus hampir
tegaklurus dengan arah memanjangnya bukit (Gambar 2.1). Bukit ini memiliki
punggungan yang memanjang arah Timur Laut - Barat Daya - Tenggara dan
beberapa puncak bukitnya antara lain Pasir Gadung, Pasir Lembang, Pasir Gombong
dan Pasir Kopi.
Erosi yang terjadi di daerah penelitian cukup intensif terutama didaerah yang
vegetasinya sedikit serta pada lereng yang miring karena sudut kemiringan lereng
bervariasi antara 50-200o.
16
2.2
berukuran butir halus sampai kasar, fragmen pembentuk silika, mineral batuan beku,
pemilahan sedang sampai baik, bentuk butir agak menyudut sampai agak membulat,
semen karbonat, batu pasir yang cukup tebal dengan sisipan tipis dari lempung dan
serpih, porositas kecil sampai sedang, permeabilitas air cukup baik, sehingga
diperkirakan bahwa batu pasir ini merupakan suatu lapisan pembawa air, batupasir
ini cukup resisten terhadap proses disintegrasi, namun jika ada kekar maka proses
disintegrasi dapat berlangsung yang akhirnya dapat membentuk relief yang cukup
tinggi.
Lempung berwarna hijau kehitaman, kompak, karbonatan, mempunyai sifat
mudah hancur, mudah menyerap air tapi sukar meloloskan air, akibatnya satuan ini
bisa menjadi bidang gelincir yang dapat membuat longsoran. Satuan batuan
tersingkap dengan jelas di hulu S. Cipicung bagian utara, S. Cisuma, S. Cimenteng
dan S. Ciburial
17
agak kompak, semen karbonat, batuan ini memliki porositas yang cukup tinggi,
permeabilitas rendah, lapisan ini bersifat dapat mengandung air tetapi lambat sekali
untuk meluluskan air (aquitard).
Pada satuan ini terdapat sisipan batupasir, berwarna putih keabu-abuan,
kompak berukuran butir sedang sampai kasar, fragmen pembentuk silika, mineral
batuan beku, bentuk butir agak menyudut sampai agak membulat, karbonatan
pemilahan sedang, porositas kecil samapai sedang, sisipan batupasir ini memiliki
ketebalan antara 2 - 46 cm. Batupasir ini lebih tahan terhadap pelapukan
dibandingkan dengan napal.
memiliki ketebalan yang bervariasi dari beberapa meter hingga puluhan meter.
Berdasarkan material pembentuknya dapat dibedakan menjadi breksi vulkanik,
endapan lahar, dan tuf litik. Satuan ini besifat non-karbonatan. Endapan lahar
memiliki fragmen andesitan. Tuf litik berfragmen kursa dan pumice dengan ukuran
pasir kasar dan terlihat adanya perlapisan yang menunjukkan bahwa lapisan ini
terbentuk oleh perulangan pengendapan yang terjadi. Endapan lahar dan tuf litik
mempunyai porositas yang cukup tinggi dengan permeabilitas yang cukup tinggi
pula, sehingga satuan ini dapat menjadi media peresapan (infiltrasi) air.
Kontak antara endapan volkanik dengan batuan serpih lempungan merupakan
suatu zona yang lemah. Hal ini disebabkan banyaknya air yang terdapat pada kontak
ini. Air ini berasal dari lapisan pembawa air (akifer) yaitu pada lapisan batupasir dan
18
air peresapan (infiltrasi) dari endapan vulkanik. Banyaknya air yang terdapat
menyebabkan tekanan pori begitu besar sehingga seakan-akan masa dasar dari
batuan yang ada pada zona ini mengembang.
Struktur
Berdasarkan literatur terdapat tiga unsur struktur yang dapat dikenali
dilapangan yaitu: perlapisan, antiklin dan kekar. Struktur perlapisan terdapat pada
semua batuan yang ada pada daerah penelitian, termasuk pada endapan vulkanik
yang menutupi sebagian besar daerah penelitian. Antiklinal dapat dikenali dengan
adanya perlawanan arah kemiringan lapisan pada batuan yang sama, sehingga dapat
direkonstruksikan kedudukan sumbu antiklinalnya.
Kekar dapat mudah dikenali pada batuan yang relatif kompak dan keras,
joint dapat kita temukan pada lapisan batupasir, sedangkan pada nafal, serpih
ataupun lempung pada struktur kekar ini memperlihatkan bidang belah yang tidak
beraturan, pembentukan joint ini dapat terjadi pada waktu deformasi berlangsung
pada saat pembentukan antilklin dan dapat juga terjadi sesudah proses deformasi
tersebut berhenti dimana gaya-gaya penyebab deformasi terhenti.
19
Ukuran intensitas kekar termasuk dalam mayor dan minor joint dimana mayor joint
dapat memotong beberapa lapisan dan panjangnya mencapai beberapa meter.
Sedangkan minor joint berukuran lebih kecil dari mayor joint.
20
BAB 3
DASAR TEORI
3.1
antena transmiter
21
3.2
Persamaan Maxwell
Untuk memahami pemanfaatan geombang elektromagnetik dalam apikasinya
terhadap struktur bumi serta menentukan sifat listrik dan magnetik, biasanya diawali
dengan persamaan Maxwel.
Persamaan Maxwell terdiri atas empat persamaan medan, masing masing
dapat dipandang sebagai hubungan antara medan dengan distribusi sumber (muatan
atau arus) yang bersangkutan.
Untuk menyederhanakan masalah, sifat fisik medium diasumsikan tidak
bervariasi terhadap waktu dan posisi (homogen isotropis).
Maka persamaan
XE =
(2 1)
B
,
t
X H = J +
D
,
t
(2 - 2)
D = q,
(2 3)
B = 0.
22
(2 4 )
Dimana:
3.3
Persamaan Material
3.3.1
Permitivitas Listrik
Permitivitas
listrik
relatif
berkaitan
dengan
kemampuan
untuk
(2 5)
Konduktivitas Listrik
Persamaan
Maxwell
dapat
menunjukkan
karakteristik
dan
sifat
23
J =E.
(2 6 )
Permeabilitas Magnetik
B = H ,
(2 7)
( ) = ' ( ) j " ( )
(2 8 )
( ) = ' ( ) + j " ( )
(2 9 )
24
= *'+ j *" = + j
(2 10)
= '+ j " = + j /
(2 11)
( ) = ' ( ) +
" ( )
+
' ( )
j
+ " ( )
(2 12)
Material
(mS/m)
(m/ns)
(dB/m)
Udara
0.3
Air distilasi
80
0.01
0.033
2 x 10-3
Air Murni
80
0.5
0.033
0.1
Air laut
80
3 x 103
0.01
103
Pasir Kering
3-5
0.01
0.15
0.01
Pasir Tersaturasi
20-30
0.1-1
0.06
0.03-0.3
Gamping
4-8
0.5-2
0.12
0.4-1
Serpih
5-15
1-100
0.09
1-100
Lanau
5-30
1-100
0.07
1-100
Lempung
5-40
2-1000
0.06
1-300
Granit
4-6
0.01-1
0.13
0.01-1
Garam Kering
5-6
0.01-1
0.13
0.01-1
Es
3-4
0.01
0.16
0.01
3.5
25
2 E
2 E
=0
t 2
(2 13 )
(2 - 14)
Dengan k adalah parameter perambatan atau bilangan gelombang. Bagian riil dari k
berkaitan dengan faktor fasa (, rad/m) dan bagian imajiner berkaitan dengan
konstanta atenuasi (, db/m). Bagian riil dan imajiner bilangan gelombang k dapat
dituliskan kembali yang diungkapkan dalam bentuk faktor fasa dan konstanta
atenuasi :
k = + i
(2 15)
= 2 =
2
2
1 + 2 2
1/ 2
1/ 2
+ 1
(2 16)
dan
2
= = 1 + 2 2
2
1
1/ 2
1/ 2
( 2 17)
dituliskan :
2
=
1/ 2
26
(2 18)
5.31 r
(2 19)
(2 20)
( )1 / 2
75
d = =
4 f r
(2 21)
dengan f = frekuensi maksimum (Hz). Untuk kondisi ideal resolusi sama dengan ,
tetapi pada kenyataannya adalah sekitar sepertiga sampai setengah panjang
gelombang.
3.6
r r
2
(meter/ nanosekon)
(2 22 )
1 + tan 2 D + 1
dimana c adalah kecepatan cahaya di udara, r adalah konstanta dielektrik relatif dan
r adalah permeabilitas magnetik relatif. Tan2 D merupakan loss factor dengan Tan2
D=
Sebagian besar medium bawah permukaan kurang bersifat magnet (r=1) dan
merupakan material dengan kondukivitas yang kecil ( 0), maka kecepatan
gelombang dapat dituliskan seperti dibawah ini (Reynolds, 1997):
27
Vm =
0.3
(meter/ nanosekon)
(2 23 )
(2 24)
dan
E
2 2 n1 cos i
.
T = t =
2
2
2
Ei 2 n1 cos i + 1 n2 n1 sin i
28
(2 25)
Ei
Hi
Hr
(keluar )
ki
kr
Er
(masuk )
1 , 1 , 1
2 , 2 , 2
i r
t
Et(keluar )
Ht
kt
(2 26)
dan
E
2 2 n1n2 cos i
TII = t =
.
2
2
2
2
Ei II 1n2 cos i + 2 n1 n2 n1 sin i
29
(2 27)
Skin Depth ()
3.8
Skin depth adalah kedalaman dimana sinyal yang telah berkurang menjadi 1/e
(37%) dari nilai awal dan berbanding terbalik dengan faktor atenuasi (=1/).
Definisi matematik dari faktor atenuasi dan skin depth diperlihatkan pada
persamaan-persamaan berikut:
r r
2
(meter)
(2 28)
1 + tan D 1
2
Untuk material non magnet berlaku (r = 1) dan jika tan D = / <<1 atau untuk
konduktivitas sangat kecil ( 0) sedangkan frekuensi yang digunakan sangat besar
( ~), maka persamaan (2 28) dapat dituliskan seperti pada persamaan dibawah
ini:
2
= r
2
,
= 5,31 r / ,
3.9
(2 29)
(meter).
(2 30)
30
energi tersebut terjadi secara eksponensial. Secara matematis faktor damping dapat
ditulis seperti berikut :
1
d (w ) = e ( w ) r
r
(2 31)
Resolusi
31
r =
(2 32)
dimana:
r = resolusi vertikal (meter)
c = panjang gelombang dari frekuensi tengah antena (meter).
L =
c d
2
(2 33)
dimana:
L = resolusi lateral (meter)
d = kedalaman (meter).
3.11
Noise
Noise pada sistem GPR lebih sering disebabkan oleh faktor kelistrikan seperti
32
dengan ground (Radzevicius, dkk, 2000). Noise ini biasanya berupa garis lurus, dan
kadang bisa salah diinterpretasikan sebagai reflektor lapisan atau multipel.
3.12
Dasar dari penurunana rumus ini adalah algoritma Yee. Metoda FDTD seperti
ditunjukkan pada gambar 3.3, pertama-tama ditentukan wilayah analisa yang
membungkus sumber gelombang, benda hambur. Lalu wilayah analisa ini dicacah
menjadi banyak sel (cell) kecil. Setelah itu ditentukan persamaan turunan Maxwell :
(2 34)
(2 35)
33
(n-1)
(n-1/2)
(n)
(n+1)
(n+1/2)
34
(2 44a)
(2 44b)
(2 44c)
persamaan (2 44a) adalah cara penggantian pada grid interval waktu setengah step
di depan, kelemahannya berupa konvergensi yang lambat dan sering divergen,
35
selain E0=0, hanya bergetar saja seiring dengan pertambahan waktu dan tidak
konvergen ke 0. terhadap hal ini persamaan (2 - 48) menjadi :
36
dimana berkonvergen terhadap waktu menuju nilai nol. Inilah alasan menggunakan
persamaan (2 - 48). Ditambah lagi, pada saat tidak ada peluruhan kedua persamaan
tersebut mempunyai nilai hasil hitungan yang sama.
Disamping itu, medan magnet akan menjadi :
(2 49)
3.12.2 Metoda TM-FDTD 2 Dimensi
Ez (i, j+1)
Ez (i+1, j+1)
Hx (i,j+1/2)
Hy (i-1/2,j)
Ez (i,j)
Ez (i+1,j)
Hx (i,j-1/2)
x
Gambar 3.5 Wilayah Analisa (J.Tetuko, 1998)
37
Seperti ditunjukkan pada gambar 3.6, Ez diletakkan pada (i, j), oleh karena
itu penurunan bagian kanan persamaan (2 - 50) perlu dilakukan pula pada titik (i, j).
Brdasarkan gambar 3.6 maka akan diperoleh persamaan-persamaan berikut :
(2 51)
Selanjutnya unsur sumbu x dan y dari medan magnet adalah Hx dan Hy, berdasarkan
persamaan (2 - 49) maka akan diperoleh persamaan:
(2 53a)
(2 53b)
Letak Hx dan Hy adalah titik yang paling dekat dengan (i, j) dalam sel, oleh karena
itu masing-masing medan magnet adalah Hx(i, j+) dan Hy(i+, j), lalu penurunan
medan listrik di bagian kanan persamaan (2 - 53a, b) adalah :
(2 54a)
(2 54b)
38
(2 56)
satu
sepersepuluh
dari
panjang
gelombang
terkecil
gelombang
39
dimana :
fm= frekuensi tertinggi (Hz)
f = frekuensi tengah (Hz)
l =x=y = step diskritisasi
= panjang gelombang (m)
40
BAB 4
PENGOLAHAN DATA
Data yang diolah adalah data lapangan yang diambil pada bulan Juli
Agustus 2004
Orientasi antena
8m
6m
41
Parameter pengambilan data GPR untuk kedua antena tersebut, disajikan pada tabel
dibawah ini:
Tabel 4.1 Parameter pengambilan data
Parameter lapangan
Frekuensi 75 MHz
500
200
0.1
0.04
0.390
0.976
Sampling number
512
512
Antena orientation
PR-BD
PR-BD
42
4.1.1
Input Data
Input data merupakan proses pemasukan data dari raw data hasil perekaman
(recording). Program Reflexw dapat menerima input file dalam format : pulse
EKKO (.dt1 file), RAMAC (.rd3 file), GSSI (.dzt file), SEG-Y, SEG2, RADAN,
EMR ataupum userdefined format. Instrumen yang digunakan dalam perekaman
data di dalam penelitian ini adalah GPR sistem Zond sehingga file inputnya dalam
format segy. Input data dilakukan dengan cara mengimport file segy dengan input
format SEGY dan output format 16-bit integer. Setelah itu secara otomatis raw data
dikonversi ke dalam Reflexw mengahasilkan penampang GPR.
4.1.2
Editing
Gain
Akibat adanya pelemahan energi sinyal pada batuan atau lapisan tanah,
dimana frekuensi tinggi diserap lebih cepat dibandingkan dengan frekuensi rendah.
Pada saat yang sama terjadi peyebaran bola (spherical divergence), yaitu energi
gelombang yang menjalar meluruh berbanding terbalik dengan kuadrat dari sumber.
Dari dua faktor di atas energi/ amplitudo gelombang yang terefleksikan akan
meluruh terhadap jarak dan waktu. Untuk menghilangkan pengaruh ini maka
dilakukan suatu penguatan kembali amplitudo yang hilang sedemikian rupa sehingga
seolah-olah pada setiap titik mempunyai energi yang sama. Penguatan (gain)
dilakukan sesuai dengan fungsi persamaan peluruhan energi.
43
Dimana:
t = waktu
A = faktor atenuasi
B = faktor spherical divergence
C = faktor konstanta gain
Data asli
Gain vs waktu
Data setelah gain
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda Automatic Gain
Control (AGC). AGC bertujuan untuk penyamaan amplitudo karena efek pelemahan
amplitudo yang disebabkan penyebaran bola dan gesekan antar partikel.
Fungsi gain AGC dihitung dengan menggunakan metode RMS (Root Mean
Square). Amplitudo dari masing masing sampel dikuadratkan, kemudian dihitung
nilai RMS-nya pada suatu jendela waktu tertentu.
Pada penelitian ini nilai AGC yang dimasukan untuk ferkuensi tengah 75
MHz dan 150 MHz yaitu dengan operator window 25 ns karena menghasilkan
display yang terbaik.
4.1.4
Dewow
Wow adalah salah satu noise frekuensi rendah yang dapat terekam oleh
sistem radar. Terjadi akibat instrumen elektronik tersaturasi oleh nilai amplitudo
besar dari gelombang langsung dan gelombang udara. Wow merupakan fenomena
44
induksi atau akibat keterbatasan dari kisaran dinamis instrumen, adanya input energi
yang besar dari gelombang udara dan gelombang permukaan menyebabkan sinyal
yang tertangkap pada receiver mengalami saturasi dan receiver tidak mampu
mengatur perubahan yang besar pada saat stacking. Hal inilah yang menimbulkan
induksi frekuensi rendah yang kemudian mengalami peluruhan pada frekuensi tinggi
dari trace sinyal yang datang.
Filter dewow merupakan filter yang digunakan untuk memulihkan kembali
sinyal yang tersaturasi atau mengembalikan fenomena wow.
Operator window yang dimasukkan dalam proses dewow yaitu input time
window 200 ns untuk frekuensi tengah 150 MHz, dan input time window 450 ns
untuk frekuensi tengah 75 MHz, hasil ini didapatkan dari trial and error.
4.1.5
DC-Sihft
Gambar 4.3 Gambaran proses dewow dan dc-shift pada suatu trace
(Fisher . et al., 1994)
4.1.6
Move Starttime
Move start time dipakai untuk mengetahui titik awal dari sinyal pertama yang
masuk. Proses ini berkaitan dengan konversi kedalaman (depth conversion) yang
selanjutnya akan menentukan posisi atau kedalaman dari target/ objek. Input yang
dimasukan yaitu move time = -1 ns.
45
4.1.7
Koreksi Statik
Koreksi statik dilakukan dengan tujuan agar radargram yang kita lihat sesuai
dengan topografi daerah survey, sehingga radargram yang kita lihat mendekati
keadaan sebenarnya.
4.1.8
Dekonvolusi
46
Konsep dari filter ini merupakan 2 D filter yang berkerja dalam domain
jarak dan waktu. Background removal sangat berguna dalam menghilangkan
ringing dari antena, efektif untuk memunculkan sinyal yang lemah serta
meningkatkan energi koheren secara horizontal sehingga memperbesar energi sinyal
secara lateral. Input yang dimasukkan yaitu: start time = 0 , end time =500, start
distance =0 dan end distance = 723 untuk frekuensi tengah 75 Hz. Start time=0 end
time=200, strat distance=0 dan end distance=723 untuk frekuensi tengah 150 Hz.
4.1.11 F-K Filter
Proses pemisahan sinyal refleksi dari noise sangat sulit, sehingga diperlukan
suatu proses untuk mempermudah, dimana data yang kita olah tidak pada domain
jarak-waktu, tapi kita transformasikan pada domain yang lain.
F-K filter adalah filter dua dimensi yang akan memfilter frekuensi temporal
dan spasial. Filter ini didesain dalam fungsi bilangan gelombang. F-K filter
umumnya digunakan untuk menghilangkan noise koheren, yaitu noise yang terjadi
secara teratur dari trace ke trace sepanjang profil. Filter ini efektif untuk
menghilangkan noise koherent seperti ringing, multipel, gelombang udara, dan tanah
langsung (Young dan Sun, 1994 ).
Pada penelitian ini parameter yang dimasukan adalah input kecepatan 0.3
m/ns dan 0.3 m/ns.
4.1.12 Migrasi
47
48
Raw data
Editing
Gain
Dewow
DC-Shift
Move Starttime
Koreksi Statik
Bandpass Butterworth
Dekonvolusi
Background Removal
F-k Filter
Migrasi
49
Model GPR
Sebagai
Pembanding
Data lapangan
Data litologi
Lapangan
Asumsi
Permitivitas
Batuan
Tidak
Pemodelan
Litologi dengan
Menggunakan
asumsi
Permitivitas relatif
Prosesing
Data
50
Membandingkan
Profil GPR
pemodelan
Dengan
profil GPR
Ya
Diskritisasi model
51
Dalam pemodelan ini digunakan 4 jenis medium yaitu: udara, beton, batupasir dan
batupasir tersaturasi air, harga sifat fisik keempat medium tersebut disajikan pada
tabel 4.2. Harga r, r dan kelima medium tersebut diambil dari hasil trial and error
yang menghasilkan model terbaik yang
Tabel 4.2 Harga Permitivitas relatif, permeabilitas relatif dan konduktivitas material
yang digunakan dalam pemodelan.
r
(S/m)
Udara
1.0
1.0
Beton
1.0
0.01
Batupasir
1.0
0.01
30
1.0
1.0
Material
30 m
10 m
8m
Beton tebal 1 m
20 m
6m
Batupasir
55 m
Batupasir tersaturasi air tebal 3 m
= 520
52
Pemodelan struktur
8 m.
Sedangkan struktur sesar dengan tebal 3 m dan kemiringan sebesar 52o . (Gambar
4.7)
Jendela Waktu
Kondisi batas serap digunakan agar tidak terjadi fenomena difraksi pada batas
dinding khayal. Pada pemodelan ini digunakan kondisi batas serap tipe Higdon orde3 karena jenis batas serap ini paling sering digunakan, memiliki tingkat akurasi yang
baik serta relatif lebih stabil
Parameter pengukuran
53
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
pola
refleksi
miring
yang
terlihat
pada
radargram
diinterpretasikan sebagai zona lemah dari sesar, hal ini didasarkan pada karakter
refleksi yang kuat dan terlihat memiliki kontinuitas yang tinggi dimana secara fisis
refleksi yang kuat ini dihasilkan oleh adanya kontras permitivitas yang tinggi antara
dua medium. Zona lemah dari sesar ini diduga merupakan lapisan batupasir yang
telah tersaturasi air, dimana lapisan batupasir yang tersaturasi air ini memiliki
permitivitas reatif yang tinggi menurut literatur harga permitivitas relatifnya berkisar
antara 20-30. Sedangkan harga permitivitas relatif untuk batupasir berkisar antara 35, dimana lapisan batupasir ini merupakan struktur perlapisan di daerah penelitian.
Kontras permitivitas antara batupasir dengan batupasir tersaturasi air ini sangat besar
sehingga menghasilkan amplitudo negatif yang tercerminkan sebagai refleksi miring
yang terlihat pada radargram dimana kemiringan dari sesar ini sekitar 52o
54
Gambar 5.2 merupakan profil 150 MHz yang telah dimigrasi dengan metoda
migrasi diffraction stack. Proses migrasi ini menggunakan kecepatan yang bervariasi
yaitu dengan kecepatan 0.1 m/ ns, 0.15 m/ ns, 0.2 m/ ns, 0.25 m/ ns dan 0.3 m/ ns.
Tujuan dari migrasi dengan kecepatan yang bervariasi ini untuk mengetahui migrasi
dengan kecepatan berapa yang paling optimum untuk mengembalikan even difraksi
terowongan pada posisi sebenarnya.
Gambar 5.2 (a) merupakan hasil migrasi dengan kecepatan 0.1 m/ ns dimana
dengan kecepatan ini ekor diraksi terowongan masih sangat lebar dan kecepatan
difraksinya masih 0.3 m/ ns. Gambar 5.2 (b) merupakan migrasi dengan kecepatan
0.15 m/ ns dimana dengan kecepatan ini kecepatan dari difraksi lebih rendah menjadi
0.29 m/ ns. Ekor dari difraksinya sendiri masih lebar dan masih memiliki sudutyang
lebar pula. Gambar 5.2 (c) migrasi dengan kecepatan 0.2 m/ ns, kecepatan dari
difraksinya masih sama yaitu sebsesar 0.29 m/ ns akan tetapi ekor difraksinya
berubah lebih pendek daripada sebelumnya. Gambar 5.2 (d) merupakan migrasi
dengan kecepatan 0.25 m/ ns, terlihat sudut difraksi terowongan lebih rendah
daripada sebelumnya dan kecepatan difraksinya sebesar 0. 27 m/ ns. Gambar 5.2 (d)
adalah hasil migrasi dengan kecepatan 0.3 m/ ns, terlihat ekor difraksi dari
terowongan lebih pendek dibandingkan dengan gambar 5.2(d) dan harga kecepatan
difraksinya lebih rendah menjadi 0.19 m/ ns.
Dari tes kecepatan pada proses migrasi diffraction stack terlihat bahwa
semakin tinggi kecepatan migrasi maka semakin rendah kecepatan difraksinya dan
semakin pendek juga ekor difraksi hiperbolanya. Dapat disimpulkan bahwa migrasi
yang paling optimum untuk mengembalikan difraksi dari terowongan yaitu dengan
kecepatan sebesar 0. 3 m/ ns.
55
v=
v=
m/ ns
m/ ns
Terowongan
Sesa
LapisanPasir
Sesar
Gambar 5.1 Radargram profil 150 MHz yang telah diproses sampai tahap background removal. Difraksi terowongan teridentifikasi
pada twt 40 ns dengan kecepatan 0.3 m/ ns sedangkan, pola refleksi miring diinterpretasikan sebagai sesar.
56
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
Gambar 5.2 Radargram profil 150 MHz yang telah dimigrasi (a) v = 0.1 m/ns (b) v = 0.15 m/ns (c) v =0.2 m/ns (d) v = 0.25 m/ns (e) v = 0.3
m/ns. Terlihat proses migrasi yang paling optimum utuk mengembalikan difraksi pada posisi sebenarnya yaitu dengan kecepatan 0.3 m/ns.
57
terlihat
58
v=
m/ ns
Terowongan
LapisanPasir
Sesar
Sesar
Gambar 5.3 Radargram profil 75 MHz yang telah diproses sampai tahap background removal. Difraksi terowongan teridentifikasi pada
twt 45 ns dengan kecepatan 0.25 m/ ns, pola refleksi miring diinterpretasikan sebagai sesar.
59
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
Gambar 5.4 Radargram profil 75 MHz yang telah dimigrasi (a) v = 0.1 m/ns (b) v = 0.15 m/ns (c) v =0.2 m/ns (d) v = 0.25 m/ns (e) v = 0.3
m/ns. Terlihat proses migrasi yang paling optimum utuk mengembalikan difraksi pada posisi sebenarnya yaitu dengan kecepatan 0.3
60
5.2
61
Gambar 5.7 dan 5.8 merupakan gambar yang memperlihatkan penjalaran gelombang
radar dalam model mulai waktu 10 ns sampai dengan 100 ns. Pada waktu 10 dan 20
ns gelombang radar mulai tertransmisikan kebawah, pada waktu 30 ns sinyal
transmisi tersebut mencapai terowongan dan sebagian energi sinyalnya terefleksikan
keatas, pada waktu 40 ns sinyal refleksi tersebut mencapai receiver sedangkan
sinyal transmisi semakin kebawah pada waktu 50, 60 dan 70 ns, kemudian pada
waktu 80, 90 dan 100 ns sinyal transmisi mencapai sesar dan sebagian sinyalnya
terefleksikan keatas
62
(a)
(b)
Gambar 5.5 (a) Raw data model sintetik 150 MHz, difraksi terowongan lemah dan tidak
terlihat refleksi dari sesar (b) Model sintetik 150 Mhz yang telah diproses sampai tahap
background removal, energi difraksi dari terowongan menguat dan refleksi dari struktur
sesar terlihat jelas.
63
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
Gambar 5.6 Model sintetik 75 MHz yang telah dimigrasi (a) v = 0.1 m/ns (b) v = 0.15 m/ns (c) v =0.2 m/ns (d) v = 0.25 m/ns (e) v = 0.3 m/ns.
Terlihat proses migrasi yang paling optimum yaitu dengan kecepatan 0.3 m/ ns.
64
t= 10 ns
t= 40 ns
t= 20 ns
t= 50 ns
t= 30 ns
t= 60 ns
Gambar 5.7 Perambatan gelombang radar dalam model untuk f = 150 MHzdari waktu 10 ns sampai dengan 60 ns.
65
t= 70 ns
t= 90 ns
t= 80 ns
t= 100 ns
Gambar 5.8 Perambatan gelombang radar dalam model untuk f = 150 MHz dari waktu 70 ns sampai dengan 100 ns.
66
67
terowongan dan sebagian energi sinyalnya terefleksikan keatas, pada waktu 50 ns sinyal
refleksi tersebut mencapai receiver sedangkan sinyal transmisi semakin kebawah pada
waktu 60 dan 70 ns dan 80, kemudian pada waktu 90 dan 100 ns sinyal transmisi
mencapai sesar dan sebagian sinyalnya terefleksikan kembali keatas.
68
(a)
(b)
Gambar 5.9 (a) Raw data model sintetik 75 MHz, difraksi terowongan lemah dan tidak
terlihat refleksi dari sesar (b) Model sintetik 75 Mhz yang telah diproses sampai tahap
background removal, difraksi dari terowongan menguat dan refleksi dari struktur sesar
terlihat jelas.
69
(a)
(b)
(a)
(c)
(b)
Gambar 5.10 Model sintetik 75 MHz yang telah dimigrasi (a) v = 0.1 m/ns (b) v = 0.15 m/ns (c) v =0.2 m/ns (d) v = 0.25 m/ns (e) v = 0.3
m/ns. Terlihat proses migrasi yang paling optimum yaitu dengan kecepatan 0.25 - 0.3 m/ns.
70
t= 10 ns
t= 40 ns
t= 20 ns
t= 50 ns
t= 30 ns
t= 60 ns
Gambar 5.11 Perambatan gelombang radar dalam model dengan f =75 MHz dari waktu 10 ns sampai dengan 60 ns.
71
t= 70 ns
t= 80 ns
t= 90ns
t= 100ns
Gambar 5.12 Perambatan gelombang radar dalam model dengan f = 75 MHz dari waktu 70 ns sampai dengan 100 ns.
72
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
6.2
Saran
Daftar Pustaka
Annan, A.P.; 2001: Ground - Penetrating Radar Workshop Notes, Sensors &
Software.
; 1999: Practical Processing of Ground - Penetrating Radar Data.
Annan, A.P; Davis, J. L. ; 1989 : Ground - Penetrating Radar for High Resolution
Mapping of Soil and Rock Stratigraphy, Geophysical Prospeting, Vol 37,
Hal 531-551.
Cagnoli, B.; Ulrych, T.; 2003: GPR Studies of Piroclastic Deposits, The Leading
Edge, Vol 20, Hal 242-248.
Erwin, Y.; 2004: Simulasi Perambatan Gelombang Elektromagnetik dengan Metoda
FDTD, Skripsi Departemen Fisika, Institut Teknologi Bandung.
Fagin, W. S.; 1996: Seismic Modelling of Geologic Structures. Society of
Exploration Geophysicists.
Fisher, S.C ; R.R Stewart ; H. M. Jol.; 1994 : Processing Ground - Penetrating
Radar Data, Waterloo, Canada., Hal 661 675.
Giannopoulos, A.; 2003: GPR Max 2D/ 3D Users Manual, University of
Edinburgh.
Indragiri, N.M.; 2004: Identifikasi Retakan di Terowongan Sasaksaat dengan
Metoda Ground Penetrating Radar, Skripsi Departemen Teknik Geofisika,
Intitut Teknologi Bandung.
Jol, M.; Bristow, H.; Charlie, S.; 2003: Stratigraphic Imaging of The Navajo
Sandstone Using Ground Penetrating Radar, The Leading Edge, Vol 22, Hal
882-887.
Marshall, S.V., Skitek, G.G.; 1990: Electromagnetic Concepts and Applications,
Prentice-Hall International, Inc.
Nabighian M.N.; 1996: Electromagnetic Methods in Applied Geophysics, Vol 2,
Society Of Exploration Geophysicist.
Radzevicius, J. S ; Erich D. Guy ; Jeffrey J. Daniels. ; 2000 : Pittfalls in GPR Data
Interpretation, Differentiating Stratigraphy and Buried Objects from Periodic
74
Antenna and Target Effect. Geophysical Research Letters., Vol 27, Hal
3393-3396.
Reynolds, J. M. ; 1997 : An Introduction to Applied and Environmental Geophysics.
John Willey And Sons. Chicester, England., Chapter 12, Hal 682-749.
Roberts, L.R; Daniels, I. J; 1997: Modelling near-field GPR in three dimensions
using the FDTD method, Geophysics, Vol 62, Hal 1114-1126.
Ruchimat, A.; 2004: Studi Struktur Perlapisan Pada Daerah Batas Kontak Formasi
Panosogan Waturanda DenganMenggunakan Metoda GPR, Skripsi
Departemen Teknik Geofisika, Institut Teknologi Bandung.
Sadiva, M.; 1999: Time Domain Electromagnetik, Finite-Difference Time Domain
Method, Academic Press, 151-234.
Sandmeier, K. J. ; 1998 : Reflexwtm 1.4 Reference Manual., www.ka.shuttle
de/software.
Schn, J. H., 1996, Physical properties of rock: Fundamentals and Principles of
Petrophysics: Vol. 18: England, Pergamon.
Sun, J.; R.A. Young. ; 1995 : Recognizing Surface Scattering in Ground-Penetrating
Radar Data. Geophysics, Vol 60, Hal 1378-1385.
Tetuko, J.; 1998: Analisa Hantaran Gelombang Listrik Magnet dengan Menggunakan
Metoda Finite Difference Time Domain (FDTD), Tutorial Unggulan Riset
Terpadu (RUT) IV, BPPT.
Tsili, W.; Alan, C.T; 1996: FDTD simulation of EM wave propagation in 3-D media,
Geophysics, Vol 61, Hal 110-120.
75
LAMPIRAN
76
LAMPIRAN 1
FUNGSI SUMBER SINYAL
Fungsi Gaussian
I = e ( t )
Fungsi Ricker
I = 2 e1 /( 2 ) e ( t ) (t )
diamana :
= 2 2 f 2 = amplitudo (m)
=
1
= perioda (s)
f
f = frekuensi (Hz)
t = waktu (s)
I = arus listrik (A)
77
LAMPIRAN 2
SINYAL RICKER 75 MHz
Waktu (ns)
Ricker Waveform 75 MHz
78
LAMPIRAN 3
SINYAL RICKER 150 MHz
Waktu (ns)
Ricker Waveform 150 MHz
79
LAMPIRAN 4
DATA BOR
80