Anda di halaman 1dari 7

ABSTRAK

Jarak ekstragalaksi menjadi penting dalam kosmologi karena unit terkecil


dalam studi ini adalah galaksi dan oleh karena itu harus ada sebuah cara
untuk

menentukan

menetapkan

jarak

standard

ekstragalaksi.

candle

atau

Usaha
lilin

ini

dimulai

penentu

jarak

dengan
yang

mengasumsikan bahwa sebuah objek yang dijadikan acuan pengukuran


akan memiliki keberlakuan yang sama di bagian mana pun di alam
semesta. Lilin standar dibagi ke dalam beberapa kelas menurut tingkat
reliabilitasnya dan bintang variabel Cepheid menempati posisi teratas
sebagai indikator utama. Cepheid adalah bintang yang berdenyut dengan
teratur sehingga ia dapat diamati kembali pada waktu yang lain. Periode
denyutan Cepheid terkait secara linear dengan kecerlangan intrinsiknya
melalui hubungan M = logP + (disebut sebagai Hubungan PeiodeLuminositas),

sehingga

dapat

digunakan

sebagai

sarana

untuk

menentukan jarak sebuah objek. Luminositas Cepheid sangat tinggi (2>MV>-6) sehingga dapat diamati pada galaksi-galaksi yang jauh dan
variabilitasnya sangat tinggi sehingga ia mudah dikenali dan diisolasi.
Freedman et.al (2001) menekankan pentingnya Cepheid sebagai indikator
utama adalah karena Cepheid adalah objek muda yang banyak berada
pada piringan galaksi spiral. Dalam makalah ini akan dibahas langkahlangkah penentuan jarak dengan menggunakan Cepheid. Aspek fotometri
dan proses kalibrasi akan ditekankan dalam pembahasan, antara lain
pilihan panjang gelombang dan prosedur penentuan titik nol dan
kemiringan Hubungan Periode-Luminositas. Peran metode ini dalam
kosmologi juga akan dibahas, yaitu peran Cepheid sebagai indikator jarak
dan penentuan Konstanta Hubble.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Problem Penentuan Jarak Ekstragalaksi
Memasuki abad ke-20, salah satu problem terpenting dalam astronomi
adalah penentuan skala Bima Sakti kita dan apakah galaksi-galaksi lain

(saat itu masih disebut nebula dan disamakan dengan awan-awan gas
lain) merupakan bagian dari Bima Sakti kita atau merupakan sebuah
aglomerasi bintang-bintang yang identik dengan Bima Sakti. Pertanyaan
kedua akan mudah dijawab apabila kita dapat mengetahui besarnya
Galaksi Bima Sakti dan juga jarak menuju nebula-nebula tersebut.
Problem penentuan jarak menuju nebula-nebula inilah yang kemudian
menjadi studi sendiri yang disebut problem penentuan jarak ekstragalaksi.
Setelah disadari bahwa Bima Sakti adalah sebuah kumpulan bintang yang
membentuk sebuah sistem bernama galaksi dan bahwa nebula-nebula
lain yang jaraknya luar biasa jauh itu juga merupakan sebuah galaksi
tersendiri.

Selanjutnya,

pada

tahun

1929,

Edwin

Powell

Hubble

menunjukkan, melalui observasi pergeseran merah (redshift) galaksigalaksi yang jauh, bahwa galaksi-galaksi bergerak menjauhi kita dan
memberikan bukti tak terbantahkan bahwa alam semesta mengembang.
Laju pengembangan alam semesta ini berhubungan secara proporsional
terhadap radius alam semesta dan konstanta yang kemudian disebut
Konstanta Hubble. Konstanta ini memegang peranan penting dalam
kosmologi karena tidak hanya memberitahu kita laju pengembangan alam
semesta tetapi juga kerapatan alam semesta, besarnya percepatan (atau
perlambatan) pengembangan alam semesta, usia alam semesta, dan
radius alam semesta teramati. Penentuan Konstanta Hubble yang akurat
membawa permasalahan tersendiri. Kecepatan resesi galaksi dapat
diperoleh dengan mudah, namun penentuan jarak menjadi problem
tersendiri karena semakin jauh objek semakin sulit jaraknya dapat
ditentukan dengan akurat. Problem penentuan jarak ekstragalaksi menjadi
penting dalam studi fisika galaksi karena informasi jarak yang akurat
terhadap objek-objek ekstragalaksi tidak hanya memungkinkan kita, pada
hal yang paling dasar, menghitung kecerlangan sejati atau luminositas
dari objek tersebut dan mencoba memperoleh properti mendasar dari
objek-objek jauh tersebut: bagaimana mekanisme produksi energinya,
tetapi juga dapat menentukan besarnya Konstanta Hubble dengan lebih
akurat. Berbagai cara pun dikembangkan untuk menentukan jarak
ekstragalaksi yang lebih teliti. Prinsip penentuan jarak ekstragalaksi sama

sekali berbeda dengan penentuan objek-objekdi dalam galaksi kita.


Metode tradisional dalam astronomi, paralaks trigonometri, tidak dapat
digunakan karena sudut paralaks yang dihasilkan dari objek-objek
tersebut sangat kecil dan tak terukur. Metode paralaks spektroskopi atau
metode main sequence fitting, yang mengasumsikan bahwa bintang
dengan kelas spektrum dan kelas luminositas yang sama akan memiliki
magnitudo mutlak yang sama, tak dapat dilakukan karena bintang pada
galaksi luar terlalu jauh sehingga tidak dapat diresolusikan menjadi
bintang individual yang dapat ditentukan kelas spektrumnya. Masalah ini
didekati dengan menggunakan lilin standar (standard candle), yaitu
dengan mengasumsikan bahwa sebuah objek atau properti objek yang
digunakan

sebagai

standar

pengukuran

akan

memiliki

sifat

dan

keberlakuan yang sama di manapun di jagat raya ini (Liddle, 2003).


Dengan kata lain, alam semesta bersifat isotropis dan homogen, sehingga
hukum-hukum fisika di manapun berlaku serba sama dan dengan
demikian dapat dibandingkan satu sama lain dengan gejala fisika di
Galaksi kita (Srsic, 1982). Lilin standar yang sudah dipahami dengan baik
dapat menjadi indikator utama yang didefinisikan oleh Srsic (1982)
sebagai metode penentuan jarak yang dapat dikalibrasi di dalam Galaksi
kita melalui metode-metode geometri. Dengan indikator utama ini, jarak
menuju galaksi di sekitar Bima Sakti (Local Group) dan beberapa dari
group terdekat dapat ditentukan. Kelemahan dari indikator utama adalah
terbatasnya rentang jarak yang masih ditentukan dengan akurasi tinggi,
sehingga dibutuhkan indikator sekunder dan tersier yang dikalibrasi
dengan galaksi lokal yang jaraknya ditentukan melalui indikator utama.
Indikator sekunder dan tersier dapat menjangkau jarak yang lebih jauh
namun akurasinya lebih rendah daripada indikator utama (Gambar 1-1).
Bintang Variabel Cepheid Sebagai Indikator Utama
Indikator utama yang paling banyak digunakan dalam menentukan jarak
galaksi lokal adalah dengan menggunakan bintang variabel Cepheid.
Cepheid
berdenyut

adalah
dalam

bintang
arah

variabel
radial.

dengan

Henrietta

kecerlangan
Swan

Leavitt,

tinggi

dan

astronom

perempuan dari Observatorium Harvard, pada 1908 mengamati plat-plat

foto pada Awan Magellan Kecil yang diamati dari tahun 1893 hingga 1906
dan menghasilkan katalog 1777 bintang variabel di Awan Magellan Kecil
(Leavitt, 1908). Melalui katalog ini ia menemukan adanya korelasi antara
periode denyutan Cepheid dengan Luminositasnya dan empat tahun
kemudian ia memberikan sebuah formulasi yang kemudian dinamakan
Hubungan

Periode-Luminositas

(Pickering,

1912).

Hubungan

ini

memungkinkan kita menentukan Magnitudo Absolut Cepheid dari periode


denyutannya,

dan

menghitung

jarak

bintang

tersebut

dengan

menggunakan rumus modulus jarak. Eijnar Hertszsprung yang kemudian


pertama kali melakukan kalibrasi dengan melakukan analisis paralaks
statistik terhadap 13 buah Cepheid galaktik yang gerak dirinya diketahui
dan memperoleh Hubungan Periode-Luminositas
MV = 0.6 2.1log . (1.1)
Madore dan Freedman (1991) menunjukkan bahwa Cepheid menjadi satusatunya indikator utama karena kecerlangan intrinsiknya yang tinggi (-2 >
MV

>

-6)

sehingga

mudah

ditemukan

pada

galaksi

yang

jauh.

Variabilitasnya juga membuat mereka lebih mudah diisolasi, diidentifikasi,


dan diklasifikasi. Terlebih lagi, pengetahuan kita tentang model denyutan
bintang memungkinkan kita memahami proses fisika yang mendasari
luminositas, warna, dan periode denyutan Cepheid. Freedman et.al (2001)
menambahkan lagi bahwa Cepheid adalah bintang muda yang banyak
terdapat pada galaksi spiral, hubungan Periode-Luminositas (PL) dari
Cepheid memiliki dispersi yang kecil, dan masa hidupnya sangat tinggi
sehingga dapat diamati kembali pada saat dan panjang gelombang yang
lain. Walaupun demikian, Cepheid juga memiliki kelemahan. Yang pertama
adalah keterbatasan jarak yang dapat dicakup oleh metode ini. Ketika
jarak

terhadap

pengerumunan

galaksi

meningkat

(crowding)

membuat

(dan

resolusi

bintang

menurun),

Cepheid

makin

efek
sulit

diidentifikasi. Dengan Teleskop Ruang Angkasa Hubble, Cepheid hanya


bisa diidentifikasi pada galaksi spiral dalam jarak kurang dari 30 Mpc
(Freedman et.al 2001). Dengan demikian, Cepheid saja tidak dapat
diamati pada jarak yang cukup untuk menentukan Ho secara langsung
sehingga dibutuhkan indikator lain yang dapat menjangkau jarak yang

lebih jauh agar Ho dapat ditentukan secara lebih akurat. Kedua, Cepheid
adalah bintang muda sehingga banyak ditemukan pada region-region
yang berdebu dan oleh karena itu harus ada koreksi terhadap efek
absorpsi dan pemerahan dengan didasarkan pada asumsi universalitas
hukum ekstingsi galaksi. Ketiga, kebergantungan Hubungan PL terhadap
metalisitas belum sepenuhnya dimengerti dan keempat, belum ada
kalibrasi geometris dari Hubungan PL pada berbagai metalisitas. Secara
umum, jalan untuk menentukan jarak Cepheid (Cepheid distance) menuju
sebuah galaksi melibatkan langkah-langkah berikut ini (Jacoby et.al 1992):
(1) Pengamatan objek pada berbagai epoch; (2) identifikasi bintangbintang variabel; (3) perkiraan magnitudo; (4) perkiraan periode; (5)
perkiraan magnitudo rata-rata dan warna pada sistem standar; dan (6)
koreksi ekstingsi dan perkiraan jarak. Kebergantungan hubungan PeriodeLuminositas (PL) terhadap metalisitas telah lama menjadi perdebatan,
setelah Walter Baade membedakan bintang menjadi Populasi I dan
Populasi II. Cepheid dibagi menjadi dua tipe berdasarkan populasinya.
Cepheid Populasi I (disebut juga Cepheid klasik) adalah bintang muda
pada piringan galaksi sehingga hanya ditemukan pada galaksi yang baru
saja membentuk bintang, terutama galaksi spiral atau iregular (Jacoby
et.al 1992). Di satu sisi Cepheid Populasi II adalah bintang-bintang tua
yang berada pada gugus bola dan memiliki magnitudo absolut yang lebih
redup daripada Cepheid Populasi I dengan periode yang sama. Kemudian
diketahui bahwa bintang Populasi I memiliki kelimpahan metal yang tinggi
sementara Populasi II memiliki metalisitas rendah. Hampir semua ahli kini
sepakat bahwa metalisitas Cepheid berperan dalam mengubah gradien
Hubungan PL, namun seberapa besar hingga kini belum ada kesepakatan
Penentuan Konstanta Hubble
Konstanta Hubble ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan jarak
galaksigalaksi yang bergerak menjauh dengan kecepatan resesi lebih
besar dari ~4000 km s-1, dimana pada kecepatan ini dipercaya galaksi
bergerak menjauh mengikuti Hubble Flow yang merupakan murni gerakan
ekspansi alam semesta (Sandage & Tammann, 1974). Pada kecepatan
yang kurang dari 4000 km s-1 gerakan galaksi masih dipengaruhi oleh

interaksi antar galaksi dan tarikan oleh gugus-gugus galaksi sehingga


gerak karena ekspansi alam semesta tidak dominan. Ada banyak
pendekatan untuk dapat mencapai jarak ini. Pendekatan Edwin Hubble
pada umumnya terdiri atas proses 3 langkah (Hubble, 1929): (1) Hitung
jarak menuju galaksi-galaksi lokal dengan bantuan Cepheid, (2) Gunakan
kriteria bintang paling terang yang dikalibrasi dengan galaksi-galaksi lokal
sehingga skala jarak dapat diperjauh, dan (3) gunakan magnitudo total
galaksi dan fungsi luminositas yang sudah dikalibrasikan pada langkah (2)
untuk menurunkan jarak secara statistik. Langkah akhir yang diperoleh
Hubble (1929) adalah Konstanta Hubble sebesar 526 km s-1 Mpc-1
(Gambar 1-2).
1.2. Tujuan
Singkatnya, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Menjelaskan prinsip dasar penggunaan Cepheid sebagai indikator jarak,
mencakup:
(a) Penjelasan fisis yang mencakup teori denyutan bintang.
(b) Hubungan Periode-Luminositas-Warna.
(c) Pertimbangan pilihan panjang gelombang.
(d) Kebergantungan Hubungan Periode-Luminositas terhadap kelimpahan
metal.
(e) Efek pemerahan.
(f) Proses kalibrasi absolut.
(g) Estimasi galat
2. Mengaplikasikan pengetahuan di atas untuk melakukan proses kalibrasi
Cepheid
dengan metode matematika yang diketahui penulis.
3. Menentukan Konstanta Hubble Ho lokal dengan menggunakan data
galaksi yang
jaraknya ditentukan melalui Hubungan Periode-Luminositas dan jarak
maksimal
sebuah galaksi yang masih dapat ditentukan dengan akurat.
BAB II

LANDASAN TEORI

Anda mungkin juga menyukai