Anda di halaman 1dari 22

ASTROFISIKA

METODE PENGUKURAN DALAM ASTRONOMI (1)

Disusun Oleh:

Nama : Rossa Aulia Rizky


NIM : 06111381621038
Dosen Pengampu : Sudirman, S.Pd., M.Si.

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di malam hari yang gelap, kita dapat melihat taburan ratusan bintang di langit.
Bintang-bintang tersebut hanya tampak sebagai titik-titik terang dan redup yang sama
ukurannya di lihat mata kita. Namun lebih jauh, seberapa terang suatu bintang tidak
menentukan jaraknya terhadap kita.

Jarak antar benda angkasa dalam sistem Tata Surya kita masih tergolong kecil. Kita
masih dapat menggunakan satuan kilometer (km) untuk mengukur jarak antar benda -
benda dalam sistem ini. Pengukuran jarak tersebut dapat menggunakan metode radar
dan juga Hukum Kepler.

Namun semua itu tidak dapat diterapkan untuk pengukuran jarak antar bintang -
bintang, hal ini dikarenakan bintang - bintang memiliki jarak yang sangat jauh satu
sama lainnya.

Untuk itu, kemudian para ilmuwan menciptakan satuan baru untuk melakukan
pengukuran jarak bintang - bintang, yaitu dengan satuan tahun cahaya (ly = light
year). Cahaya merambat dengan kecepatan 300.000 km/s. Sehingga dalam waktu satu
tahun, cahaya telah merambat sejauh sekitar 9,46 triliun km. Metode yang digunakan
dalam pengukuran jarak bintang adalah metode yang dinamakan paralaks
trigonometri. Dalam paralaks trigonometri, kita dapat menentukan paralaks sebuah
bintang yang nantinya akan dapat menentukan jarak bintang tersebut. Paralaks
bintang ditentukan dengan membagi jarak Matahari-planet dengan jarak Matahari-
bintang.Oleh karena itu penulis membuat makalah ini sebagai pengetahuan bagi
pembaca mengenai cara menentukan jarak bintang dengan metode paralaks dan
bintang chipheid.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan sistem magnitudo ?


2. Bagaimanakah cara pengukuran sistem magnitudo
3. Apakah yang dimaksud dengan magnitudo mutlak ?
4. Bagaimanakah cara pengukuran magnitudo mutlak ?
5. Apakah yang dimaksud dengan iradiasi, fluks dan daya bintang ?
6. Bagaimanakah cara pengukuran iradiasi, fluks dan daya bintang ?
7. Apakah yang dimaksud dengan magnitudo biru ?
8. Bagaimanakah cara pengukuran magnitudo biru ?
9. Apakah yang dimaksud dengan magnitudo bolometrik ?
10. Bagaimanakah cara pengukuran magnitudo bolometrik ?

1.3 Tujuan

1. Mahasiswa dapat memahami metode paralaks


2. Mahasiswa dapat memahami cara mengukur jarak bintang dengan metode
paralaks
3. Mahasiswa dapat memahami cara mengukur jarak bintang dengan bintang
chipeid
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Magnitudo

Magnitudo atau kadang disebut skala kecerahan, skala magnitudo bermakna


semakin besar angka magnitudo maka kecerahan bintang tersebut akan semakin besar.
Semakin kecil nilai magnitudo maka tingkat energi yang diterima kita di Bumi akan
semakin besar. Tingkat magnitudo ini berhubungan dengan logaritma. Rumus Pogson
tentang magnitudo adalah perbedaan magnitudo sama dengan -2,5 log perbandingan
fluks yang diterima di permukaan bumi.

Ketika kita melihat langit malam, akan kita dapati bermacam benda langit yang
terangnya berbeda-beda. Bagaimana caranya agar kita dapat mengetahui
perbandingan terang antara objek yang satu dengan yang lain? Di astronomi,
kecerlangan benda langit dinyatakan dengan skala magnitudo. Dengan sistem ini juga,
kita dapat menghitung perbandingan kecerlangan dua benda langit yang berbeda.
Lalu bagaimana sistem magnitudo ini bekerja?

Jaman dahulu ketika belum ada listrik dan lampu, penduduk/perumahan belum
banyak, lingkungan sekitar tidaklah seterang sekarang. Malam hari menjadi sangat
gelap sehingga langit malam tampak lebih indah karena tidak ada polusi cahaya.
Ketika cuaca cerah, orang dapat menikmati hiburan yang menakjubkan di layar lebar
langit malam. Ribuan bintang, nebula dan gugus bintang yang terlihat sebagai awan
kabut kecil, dan pita putih Bima Sakti, menghiasi angkasa. Sejarah ditemukannya
sistem magnitudo untuk menentukan kecerlangan bintang dimulai dari kondisi seperti
itu. Banyak yang bisa dilakukan dengan langit pada saat itu.

Sekitar tahun 150 SM, seorang astronom Yunani bernama Hipparchus membuat
sistem klasifikasi kecerlangan bintang yang pertama. Saat itu, ia mengelompokkan
kecerlangan bintang menjadi enam kategori dalam bentuk yang kurang lebih seperti
ini: paling terang, terang, tidak begitu terang, tidak begitu redup, redup dan paling
redup. Hal tersebut dilakukannya dengan membuat katalog bintang yang pertama.
Sistem tersebut kemudian berkembang dengan penambahan angka sebagai penentu
kecerlangan. Yang paling terang memiliki nilai 1, berikutnya 2, 3, hingga yang paling
redup bernilai 6. Klasifikasi inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem magnitudo.
Skala dalam sistem magnitudo ini terbalik sejak pertama kali dibuat. Semakin terang
sebuah bintang, magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup bintang,
magnitudonya semakin besar.
Sistem tersebut kemudian semakin berkembang setelah Galileo dengan teleskopnya
menemukan bahwa ternyata terdapat lebih banyak bintang lagi yang lebih redup
daripada yang bermagnitudo 6. Skalanya pun berubah hingga muncul magnitudo 7, 8
dan seterusnya. Namun penilaian kecerlangan bintang ini belumlah dilakukan secara
kuantitatif. Semuanya hanya berdasarkan penilaian visual dengan mata telanjang saja.

Pada tahun 1856 berkembanglah perhitungan matematis untuk sistem magnitudo.


Norman Robert Pogson, seorang astronom Inggris, memberikan rumusan berbentuk
logaritmis yang masih digunakan hingga sekarang dengan aturan seperti berikut.
Secara umum, perbedaan sebesar 5 magnitudo menunjukkan perbandingan
kecerlangan sebesar 100 kali. Jadi, bintang dengan magnitudo 1 lebih terang 100 kali
daripada bintang dengan magnitudo 6, dan lebih terang 10000 kali daripada bintang
bermagnitudo 11, begitu seterusnya. Dengan rumusan Pogson ini, perhitungan
magnitudo bintang pun menjadi lebih teliti dan lebih dapat dipercaya.

Magnitudo semu beberapa objek (Sumber: physics.uoregon.edu)

Seiring dengan semakin majunya teknologi teleskop, magnitudo untuk bintang paling
redup yang dapat kita amati semakin besar. Contohnya, Hubble Space Telescope
memiliki kemampuan untuk mengamati objek dengan magnitudo 31! Tetapi
walaupun bukan lagi nilai terbesar, magnitudo 6 tetap menjadi nilai penting hingga
kini karena inilah batas magnitudo bintang yang paling redup yang dapat diamati
dengan mata telanjang. Tentunya dengan syarat langit, lingkungan, dan mata yang
masih bagus.

Sama seperti perkembangan yang terjadi pada magnitudo besar, magnitudo kecil juga
mengalami ekspansi seiring dengan semakin majunya teknologi detektor. Dalam
kelompok magnitudo 1 kemudian diketahui terdapat beberapa bintang tampak lebih
terang dari yang lainnya sehingga muncullah magnitudo 0. Bahkan magnitudo negatif
juga diperlukan untuk objek langit yang lebih terang lagi. Kini diketahui bahwa
bintang paling terang di langit malam adalah Sirius, dengan magnitudo -1,47.
Magnitudo Venus dapat mencapai -4,89, Bulan purnama -12,92, dan magnitudo
Matahari mencapai -26,74! Untuk melihat daftar bintang-bintang terang, silakan lihat
di halaman ini.

Magnitudo yang kita bicarakan di atas disebut juga dengan magnitudo semu, karena
menunjukkan kecerlangan bintang yang dilihat dari Bumi, tidak peduli seberapa jauh
jaraknya. Jadi, sebuah bintang bisa terlihat terang karena jaraknya dekat atau jaraknya
jauh tapi berukuran besar. Sebaliknya, sebuah bintang bisa terlihat redup karena
jaraknya jauh atau jaraknya dekat tapi berukuran kecil. Sistem ini membuat
kecerlangan bintang yang kita lihat bukan kecerlangan bintang yang sesungguhnya.
Untuk mengoreksinya, faktor jarak itu harus dihilangkan. Maka muncullah sistem
magnitudo mutlak.

Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang jika bintang tersebut berada pada jarak
10 parsek. Nilainya dapat ditentukan apabila magnitudo semu dan jarak bintang
diketahui. Dengan “menempatkan” bintang-bintang pada jarak yang sama, kita bisa
tahu bintang mana yang benar-benar terang. Sebagai perbandingan, Matahari, yang
memiliki magnitudo semu -26,74, hanya memiliki magnitudo mutlak 4,75. Jauh lebih
redup daripada Betelgeuse yang memiliki magnitudo semu 0,58 tetapi memiliki
magnitudo mutlak -6,05 (135.000 kali lebih terang dari Matahari).

2.2 Sistem Magnitudo

Magnitudo adalah tingkat kecemerlangan suatu bintang. Skala magnitudo berbanding


terbalik dengan kecemerlangan bintang, artinya makin terang suatu bintang makin
kecil skala magnitudonya. Pada zaman dulu, bintang yang paling terang diberikan
magnitudo 1 dan yang cahayanya paling lemah yang masih dapat dilihat oleh mata
diberi magnitudo 6. Sekarang diberikan ketentuan bintang dengan beda magnitudo
satu memiliki beda kecerlangan 2,512 kali (selisih lima magnitudo berarti perbedaan
kecerlangan seratus kali), jadi jika bintang A memiliki magnitudo 1 dan bintang B
memiliki magnitudo 3 berarti bintang A 6,25 kali tampak lebih terang dari bintang B.
Perbandingan magnitudo semu bintang dapat menggunakan rumus Pogson berikut:

Pengukuran magnitudo berdasarkan keadaan yang tampak dari Bumi seperti di atas
disebut magnitudo semu, m. Magnitudo mutlak (M) adalah perbandingan nilai terang
bintang yang sesungguhnya. Seperti yang Anda ketahui, jarak antara bintang yang
satu dan bintang yang lain dengan Bumi tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang
sekalipun akan nampak redup bila jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah
perhitungan magnitudo mutlak, yaitu tingkat kecerlangan bintang apabila bintang itu
diletakkan hingga berjarak 10 parsec dari Bumi. Dengan mengingat persamaan
radiasi E = L /4πr2, dengan E energi radiasi, L luminositas (daya) dan r jarak, maka
perhitungan jarak bintang, magnitudo semu dan magnitudo mutlak (absolut) adalah:

Perlu diingat jarak dalam persamaan modulus di atas (d) harus dinyatakan dalam
satuan parsec. Satu parsec ialah jarak suatu bintang yang mempunyai sudut paralaks
satu detik busur, yang sebanding dengan 3,26 tahun cahaya (ly) atau 206265 satuan
astronomi (AU). Jika yang ditanyakan ialah jarak, maka rumus
diatas dapat dibalik menjadi:
Jika magnitudo absolut dan magnitudo semunya diketahui, jaraknya dapat dihitung.
Kuantitas m – M dikenal sebagai modulus jarak. Adapun hubungan antara magnitudo
mutlak dan luminositas (daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus Pogson.

Misalkan magnitudo semu matahari tampak dari Bumi, m = -26,83, maka magnitudo
mutlak matahari, M ialah:
M = m + 5 - 5 log d.

mengingat jarak Bumi-Matahari = 1 AU = 1/206265 parsec, maka


M = -26,83 + 5 - 5 log (1/206265)
M = 4,74

Ilustrasi untuk magnitudo semu (Sumber: astronomy.swin.edu.au)

Sekitar tahun 150 SM, seorang astronom Yunani bernama Hipparchus membuat
sistem klasifikasi kecerlangan bintang yang pertama. Saat itu, ia mengelompokkan
kecerlangan bintang menjadi enam kategori dalam bentuk yang kurang lebih seperti
ini: paling terang, terang, tidak begitu terang, tidak begitu redup, redup dan paling
redup. Hal tersebut dilakukannya dengan membuat katalog bintang yang pertama.
Sistem tersebut kemudian berkembang dengan penambahan angka sebagai penentu
kecerlangan. Yang paling terang memiliki nilai 1, berikutnya 2, 3, hingga yang paling
redup bernilai 6. Klasifikasi inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem magnitudo.
Skala dalam sistem magnitudo ini terbalik sejak pertama kali dibuat. Semakin terang
sebuah bintang, magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup bintang,
magnitudonya semakin besar.

Sistem tersebut kemudian semakin berkembang setelah Galileo dengan teleskopnya


menemukan bahwa ternyata terdapat lebih banyak bintang lagi yang lebih redup
daripada yang bermagnitudo 6. Skalanya pun berubah hingga muncul magnitudo 7, 8
dan seterusnya. Namun penilaian kecerlangan bintang ini belumlah dilakukan secara
kuantitatif. Semuanya hanya berdasarkan penilaian visual dengan mata telanjang saja.

Pada tahun 1856 berkembanglah perhitungan matematis untuk sistem magnitudo.


Norman Robert Pogson, seorang astronom Inggris, memberikan rumusan berbentuk
logaritmis yang masih digunakan hingga sekarang dengan aturan seperti berikut.
Secara umum, perbedaan sebesar 5 magnitudo menunjukkan perbandingan
kecerlangan sebesar 100 kali. Jadi, bintang dengan magnitudo 1 lebih terang 100 kali
daripada bintang dengan magnitudo 6, dan lebih terang 10000 kali daripada bintang
bermagnitudo 11, begitu seterusnya. Dengan rumusan Pogson ini, perhitungan
magnitudo bintang pun menjadi lebih teliti dan lebih dapat dipercaya.

2.3 Magnitudo Mutlak

Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang jika bintang tersebut berada pada jarak
10 parsek. Nilainya dapat ditentukan apabila magnitudo semu dan jarak bintang
diketahui. Dengan “menempatkan” bintang-bintang pada jarak yang sama, kita bisa
tahu bintang mana yang benar-benar terang. Sebagai perbandingan, Matahari, yang
memiliki magnitudo semu -26,74, hanya memiliki magnitudo mutlak 4,75. Jauh lebih
redup daripada Betelgeuse yang memiliki magnitudo semu 0,58 tetapi memiliki
magnitudo mutlak -6,05 (135.000 kali lebih terang dari Matahari).
Untuk menyatakan kecerlangan sesungguhnya suatu bintang (atau objek astronomis
lainnya) — yaitu skala dari daya intrinsik bintang itu — diperkenalkanlah kuantitas
magnitudo mutlak (M). Magnitudo mutlak suatu bintang didefinisikan sebagai
magnitudo bintang itu apabila diletakkan pada jarak 10 parsec dari pengamat. Dengan
demikian, magnitudo semu dan absolut suatu bintang memenuhi jalinan,

Perlu diingat bahwa jarak dalam persamaan modulus di atas (d) harus dinyatakan
dalam satuan parsec. Satu parsec ialah jarak suatu bintang yang mempunyai sudut
paralaks satu detik busur, yang sebanding dengan 3,26 tahun cahaya (ly) atau 206.265
satuan astronomi (au). Jika yang ditanyakan ialah jarak, maka rumus diatas dapat
dibalik menjadi:

2.4 Iradiasi, Fluks dan Daya Bintang

Iradiansi atau energi radiasi adalah jumlah energi yang dipancarkan bintang
per detik yang melewati satuan luas permukaan

L
E 2
4 d

E = iradiansi (W m-2 s-1)


L = luminositas bintang
d = jarak Bumi – bintang
Fluks adalah jumlah energi yang dipancarkan suatu bintang yang diterima
oleh suatu daerah luas. Fluks dari suatu daerah berbentuk lingkaran
dinyatakan dalam:

L
F  E A  4 R 2
4 d 2

Dengan R radius daerah yang menerima pancaran. Satuan dari Fluks adalah
Watt per detik.

Adapun luminositas bintang (L atau P[daya]), umur bintang(t) dan


massa bintang(m) memiliki perbandingan :

2.5 Magnitudo Biru

Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata.


Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata
terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo
yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis.

Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara


fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-
ungu pada panjang gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah
ini disebut magnitudo fotografi atau mfot .

Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut,
yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color
Index – CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.

Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka
terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan
inframerah.

Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo
yang disebut sistem UBV, yaitu :

U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)


B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu
bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya.

Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi menggunakan pelat film, tetapi dilakukan
dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam sistem
magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.

2.6 Magnitudo bolometrik

Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang
gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut
dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat
memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan
informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang
dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo
bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh
panjang gelombang.

Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk
mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan
permukaan bintang per detik) dengan membandingkannya dengan magnitudo mutlak
bolometrik Matahari.

Dengan Mbol = magnitudo mutlak bolometrik bintang


Mbol¤ = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)

Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):

mbol - Mbol = -5 + 5log d

dengan d dalam parsec.

Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat
ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang
merupakan parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya,
magnitudo mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang
gelombang tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas,
sebagian energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin,
sebagian energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu,
pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.

Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan


pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan
memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik
(Bolometric Correction - BC).

mv – mbol = BC

Mv – Mbol = BC

Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.

Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah
ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya
dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual).
Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang
bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual,
sehingga harga BC-nya kecil.

Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan
antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo
bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk
BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.
Hubungan antara nilai BC dengan indeks warna (CI) ditunjukkan dalam grafik di
bawah ini:

Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol ) = -26,83, magnitudo mutlak


bolometriknya adalah Mbol = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08.
Berikut disajikan tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-
bintang deret utama dan bintang maharaksasa.

Bintang deret utama Bintang maharaksasa


B-V
Tef BC Tef BC
- 0,25 24500 2,30 26000 2,20
- 0,23 21000 2,15 23500 2,05
- 0,20 17700 1,80 19100 1,72
- 0,15 14000 1,20 14500 1,12
- 0,10 11800 0,61 12700 0,53
- 0,01 10500 0,33 11000 0,14
0,00 9480 0,15 9800 - 0,01
0,10 8530 0,04 8500 - 0,09
0,20 7910 0 7440 - 0,10
0,30 7450 0 6800 - 0,10
0,40 6800 0 6370 - 0,09
0,50 6310 0,03 6020 - 0,07
0,60 5910 0,07 5800 - 0,003
0,70 5540 0,12 546 0,003
0,80 5330 0,19 5200 0,10
0,90 5090 0,28 4980 0,19
1,00 4840 0,40 4770 0,30
1,20 4350 0,75 4400 0,59
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Magnitudo adalah tingkat kecemerlangan suatu bintang. Skala magnitudo berbanding
terbalik dengan kecemerlangan bintang, artinya makin terang suatu bintang makin
kecil skala magnitudonya.

Magnitudo mutlak (M) adalah perbandingan nilai terang bintang yang


sesungguhnya. Seperti yang Anda ketahui, jarak antara bintang yang satu dan
bintang yang lain dengan Bumi tidaklah sama.

Iradiansi atau energi radiasi adalah jumlah energi yang dipancarkan bintang
per detik yang melewati satuan luas permukaan
L
E 2
4 d
Fluks adalah jumlah energi yang dipancarkan suatu bintang yang
diterima oleh suatu daerah luas. Fluks dari suatu daerah berbentuk
lingkaran dinyatakan dalam:

L
F  E A  4 R 2
4 d 2
Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :

U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)


B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)

Sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang


diukur dalam seluruh panjang gelombang.

17
Daftar Pustaka

https://dokumen.tips/documents/makalah-astrofisika.html

https://www.scribd.com/doc/128782425/Makalah-Astrofisika

https://www.slideshare.net/jojabal/astronomi-dan-astrofisika-rev31

http://geografi-geografi.blogspot.com/2014/03/sistem-magnitudo-bintang.html

https://www.scribd.com/document/155179709/Sistem-Magnitudo

https://s3.amazonaws.com/ppt-download/astronomidanastrofisikarev

https://langitselatan.com/2007/04/10/magnitudo-bintang/

https://humblehunny.wordpress.com/2010/10/30/fotometri-bintang/

https://www.academia.edu/35593848/MAKALAH_IPBA_-
_BINTANG_DAN_DINAMIKANYA
http://imprez07.blogspot.com/2011/02/fluks-pancaran-luminositas-dan.html

https://www.scribd.com/document/371388289/Materi-2-Pengukuran-Jarak-

Dalam-Astronomi

18
Soal dan Pembahasan :
1. Sistem Magnitudo
Jika magnitudo semu bintang B 1.000 kali lebih besar daripada bintang A,
tentukanlah beda magnitudo kedua bintang !

Penyelesaian :
mA – mB = -2,5 log
(EA/EB) mA – mB = -2,5 log
(0,001) mA – mB = -2,5 (-3)
mA – mB = 7,5 magnitudo

TABEL MAGNITUDO SEMU (m)


-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
0.0064 0,16 0,4 1 2,5 6,3 16 40 100 250 630 1600 4000 104 25000

2. Magnitudo Mutlak
Magnitudo semu Sirius -1,46 dan magnitude absolutnya +1,42. Tentukan berapa
tahun cahaya jarak Sirius ke Bumi!

Penyelessaian : d = 100.2(m-M+5)
d = 100.2(-1.46-1.42+5)
= 10 0.2(2.12)
= 100.424
= 2,654 parsec = 8,64 tahun cahaya

3. Iradiasi, Fluks dan Daya Bintang

19
4. Magnitudo Biru
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B)
seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.
No. B V
1 8,52 8,82
2 7,45 7,25
3 7,45 6,35

1. Tentukan bintang nomor berapakah yang paling terang ? Jelaskanlah


alasannya
2. Bintang yang anda pilih sebagai bintang yang paling terang itu dalam
kenyataannya apakah benar-benar merupakan bintang yang paling terang ?
Jelaskanlah jawaban anda.
3. Tentukanlah bintang mana yang paling panas dan mana yang paling dingin.
Jelaskanlah alasannya.

Penyelesaian :

1. Bintang paling terang adalah bintang yang magnitudo visualnya paling


kecil. Dari tabel tampak bahwa bintang yang magnitudo visualnya paling
kecil adalah bintang no. 3, jadi bintang yang paling terang adalah bintang
no. 3
2. Belum tentu karena terang suatu bintang bergantung pada jaraknya ke
pengamat seperti terlihat pada rumus yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa tampak sangat lemah
cahayanya karena jaraknya yang jauh.

20
3. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita tentukan dahulu indeks
warna ketiga bintang tersebut, karena makin panas atau makin biru sebuah
bintang maka semakin kecil indeks warnanya.

Nomor bintang B V B-V


1. 8,52 8,82 -0,30
2. 7,45 7,25 0,20
3. 7,45 6,35 1,10

Dari tabel di atas tampak bahwa bintang yang mempunyai indeks warna terkecil
adalah bintang no. 1. Jadi bintang terpanas adalah bintang no. 1.

21
22

Anda mungkin juga menyukai