1 Kegiatan Belajar 3
DHARMA SIDDHYARTHA
Ditinjau dari segi hukum yang dikaitkan dengan peredaran alam semesta
beserta segala isinya maka kata Dharma berarti kodrat, sedangkan untuk
kehidupna umat manusia Dharma berarti ajaran suci, kewajiban suci, kebajikan,
peraturan-peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia guna mencapai
kesempurnaan hidup yang tercermin dalam tingkah laku dan budi pekerti luhur,
yang dapat menimbulkan kebahagiaan hidup dan kesejahteraan masyarakat
(Jagadhita), serta ketentraman/kebahagiaan batiniah/rohaniah yang tidak
didasarkan atas kebendaan/keduniawian sehingga Roh/Atman bebas dari
penjelmaan, mencapai kebahagiaan hakiki dan sejati (Moksa). Dengan demikian
secara singkat dapat diterjemahkan bahwa Dharma itu berarti “Kebenaran yang
hakiki” sebagai dasar dan sekaligus sebagai tujuan hidup.
Untuk dapat mencapai kebenaran atau Dharma sebagai dasar dan tujuan
hidup itu maka manusia harus berbuat berdasarkan Dharma karena Dharma itulah
yang mengatur peri-kehidupan manusia, alam semesta, beserta segala isinya.
Setiap langkah atau tindakan yang akan dilakukan, setiap keputusan yang akan
diambil harus dilandasi oleh Dharma atau hukum kebenaran, sehingga tujuan
hidup beragam dapat dicapai.
Dalam kenyataan hidup ini kita menyadari tingkah laku manusia, cita-cita
dan cara melihat lingkungan di mana manusia itu hidup akan sangat dipengaruhi
1
oleh cara pandang kelompok masyarakat atau lingkungannya itu, yang di dalam
agama Hindu kita mengenal istilah “Tattwa” (filsafat hidup beragama). Maju
mundurnya, tinggi rendahnya peradaban atau sifat dan sikap manusia dalam
mengatasi lingkungannya akan dipengaruhi oleh Tattwa itu yang pada umumnya
mempunyai sifat dan nilai dinamik, selalu berubah menurut perkembangan akal
dan kemampuan pikirannya (Budhi dan Manah).
Demikian pula cara mereka dalam mengamalkan ajaran akan beraneka cara,
berbeda secara fisik antar satu masyarakat dengan masyarakat lain, namun tidak
terlepas dari prinsip cita-cita agamis atau itu, maka di dalam kehidupan
masyarakat Hindu dikenal istilah “”mawa cara” yang artinya setiap desa
(kelompok masyarakat) membawa adat istiadat atau tradisinya masing-masing
yang disebabkan oleh sepenuh waktu, tempat dan keadaan pada masa itu (menurut
Kala, Desa dan Patra). Misalnya suatu kelompok masyarakat Hindu di India akan
berbeda cara pengamalan agamanya ataupun tradisinya dengan kelompok
masyarakat Hindu di Malaysia maupun di Indonesia. Begitu pula kelompok
masyarakat Hindu di Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatra Utara, Maluku dan lain-
lain tampaknya berbeda tetapi sungguhnya tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip agama itu.
Jadi untuk mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa
ataupun tujuan hidup manusia (Catur Purusartha) akan sangat tergantung dari
pelaksanaan ajaran agama (Dharma) dengan baik dan tepat. Pengamalan Dharma
itu harus disesuaikan dengan kondisi yang ada, waktu ataupun tempat
melaksanakan sesuatu menurut Dharma itu sehingga tercapai keharmonisan antara
kemampuan. Lingkungan dan cita-cita yang diharapkan, serta keharmonisan
jasmani dan rohani dalam hidup ini.
2
sebagai dasar pendekatan penuangan konsepsi agar dapat terwujud rasa
kebersamaan, bbaik dalam kehidupan beragama maupun bernegara.
Dalam pada itu agama Hindu memberi landasan kuat mengenai aplikasi
metode pendekatan yang merupakan sistem pikir dalam memilih alternatif yang
tepat, baik dan benar (Wiweka) untuk mencapai keharmonisan dan tujuan hidup
beragama (Jagadhita dan Moksa maupun catur Warga). Landasan sistem pikir itu
disebut (Dharma Siddhyarta” tercantum dalam kitab wera Smerti VII.10 yang
berbunyi sebagai berikut :
Artinya :
Jadi ada lima aspek yang harus diperhatikan bila hendak mewujudkan sesuatu
atau melakukan kegiatan (amal perbuatan) untuk mencapai suatu tujuan
berdasarkan Dharma, yaitu aspek Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa.
4.1.1.1 Iksa
Iksa berarti maksud dan tujuan, merupakan aspek utama yang menjadi
kompas/ukuran/garis sasaran/cita-cita yang harus direalisasikan. Misalnya dalam
berorganisasi maka yang pertama harus ditentukan adalah hakikat tujuan dari
organisasi itu, supaya jelas arahnya supaya dapat ditentukan langkah-langkah
kegiatannya. Organisasi “Subak” umpamanya dibentuk dengan tujuan
3
terwujudnya suatu tertib pelaksanaan irigasi pertanian (di Bali) guna mencapai
tingkat kemajuuan produksi pangan yang akhirnya akan dapat menciptakan
kesejahteraan anggota subak pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
(tercapainya Jagadhita). Hakikat tujuan itu tidak boleh bertentangan dengan
norma yang hidup dan berkembang di masyarakat, baik itu norma agama maupun
norma hukum.
4.1.1.2 Sakti
Kalau kita adakan penelitian secara dalam dengan melihat aspek Jnana dan
Kriya di atas maka kesan negatif itu akan hilang, karena sesungguhnya setiap
pelaksanaan upacara keagamaan Hindu didasarkan atas Sakti yaitu kesadaran akan
kemampuan yang dimiliki.
Bagi orang yang mampu akan melaksanakan upacara yang lebih besar,
sedangkan bagi orang yang kurang mampu akan melaksanakan upacara yang
sederhana saja atau melaksanakan upacara yang cukup (Madya) dengan dibiayai
4
secara bersama-sama (bergotong-royong). Hal ini merupakan realisasi dari ajaran
Catur Purusartha dimana penggunaan Artha (harta kekayaan) dibagi atas tiga
pemanfaatan yaitu untuk kepentingan agama, kepentingan pemenuhan keinginan
dan menambah harta kekayaan/berekonomi. Jadi aspek Sakti adalah merupakan
landasan berpikir untuk menentukan alternatif pilihan/tindakan yang tepat guna.
4.1.1.3 Desa
4.1.1.4 Kala
5
selalu mendasari setiap langkah-tindak dan cara umatnya dalam berpikir
berbicara, dan berbuat menuju kebenaran Dharma.
4.1.1.5 Tattwa
Aspek terakhir dari Dharma Siddhyartha adalah Tattwa yaitu filsafat atau
pengetahuan tentang kebenaran yang menjadi landasan dari ajaran agama yang
dianut/ diterapkan.
6
agar memasyarakatkan uraian tentang Sad Darsana secara lebih luas akan dibahas
pada modul 3. Aspek Tattwa merupakan asas universal yang dianut dan tidak
bertentangan dengan norma agama, norma hukum, termasuk di dalamnya hukum
negara, dengan pengertian bahwa hukum negara yang dimaksud ialah hukum
yang berlaku pada negara yang mengakui kebenaran agama. Jadi di dalam aspek
Tattwa terkandung pula pengertian ideologi karena Tattwa itu sendiri merupakan
landasan filsafah yang diyakini kebenarannya.
Sehubungan dengan itulah aspek Tattwa selalu dipakai dasar atau landasan sistem
berpikir dalam memilih alternatif yang terbaik dari suatu tindakan atau langkah
yang akan dilaksanakan agar tujuan yang dicita-citakan dapat terwujud. Begitu
pula dalam upaya mencapai tujuan hidup beragama maka aspek Tattwa tidak
boleh ditinggalkan. Misalkan dalam setiap pelaksanaan ibadah agam Hindu, baik
yang menggunakan sarana upacara atau tanpa sarana selalu berpedoman pada
Tattwa (Widhi Tattwa, Atma Tattwa, Karmaphala Tattwa, dan sebagainya).
DARSANA HINDU
1. Pengantar
7
Modul Darsana Hindu ini berisi pokok bahasan tentang filsafat
(darsana) Hindu yang melatarbelakangi ajaran dan mendasari pola berpikir
Hindu beserta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
8
Dengan mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu memahami
ajaran filsafat Hindu, sebagai filsafat yang mendasari ajaran Agama Hindu
dan pola berpikir umat Hindu, di dalam mencapai tujuan agamanya.
4. Kegiatan Belajar
ASTIKA
9
Menurut klasifikasi ini ada enam aliran yang disebut Sad Darsana (Sad =
enam, Darsana = pandangan, filsafat) yang termasuk Astika yaitu Samkhya,
Yoga Niaya, Waisasika, Mimamsa dan Wedanta.
Filsafat Samkhya
Perkataan Samkhya terjadi dari dua kata yaitu sam dan khya, sam
artinya bersama-sama dan khya berarti bilangan. Samkhya, berarti bilangan
bersama-sama, atau susunan berukuran bilangan. Dalam Samkhya bilangan
mempunyai fungsi-fungsi penting, sebagaimana pula peranan bilangan pada
filsafat Yunani. Walaupun ada juga bilangan yang tidak termasuk ukuran
bilangan dalam Samkhya. Inti pembahasan filsafat Samkhya adalah
penciptaan alam semesta dengan segala isinya 25 satwa.
Fungsi Bilangan
1) Bilangan satu : adalah simbul dari Yang Maha Ada yaitu Tunggal (Parama
Siwa Sanghyang Widhi). Dalam agama Hindu Yang Maha Ada itu tunggal
(Satu) digambarkan dengan satu huruf disebut Omkara yang pada
dasarnya adalah sepuluh aksara (dasaksara), setelah disarikan menjadi
lima aksara (pancaksara), disarikan lagi menjadi tiga aksara (tryaksara),
akhirnya kembali pada intinya semula pada angka satu yaitu Omkara
(aksara tunggal).
10
3) Bilangan tiga : adalah bilangan untuk api, sifat api adalah menerangi dan
dharmanya api adalah membayar 3 x 7 = 21. Merupakan bilangan api
terbesar yaitu matahari. Angka 21 sama nilainya dengan 2 + 1 = 3,
kembali bilangan api. Dalam hubungan upacara agama Hindu terutama di
Bali bilangan 3 hampir tidak pernah ketinggalan, sejak bayi lahir sampai
tua dan meninggal, yang jelas maksudnya untuk mensucikan (memari
sudha) mala (kotoran jasmaniah rohaniah) membakar segala noda dan
dukha (penderitaan).
11
Bilangan-bilangan selanjutnya adalah pengadaan dari bilangan satu
sampai dengan sembilan atau kelipatan dari bilangan-bilangan itu, dan
nilainya adalah jumlah dari masing-masing bilangan.
Contoh :
a) Paramasiwa
b) Sadasiwa
c) Siwa
a) Paramasiwa-Tattwa
Yang pertama ini disebut Parama – Siwa yaitu yang masih suci
nirguna, adalah yang kekal selama-lamanya, tidak tunduk oleh ruang tempat
12
dan waktu, hidup tak mengenal mati, ingat tak mengenal lupa, ialah yang
disebut dengan Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
b) Sadasiwa-Tattwa
1) Jnana sakti
2) Wibhu sakti
3) Prabhu sakti
4) Kriya sakti
1) Jnana Sakti
a. Duradarsana : melihat segala sesuatu yang tak mungkin dilihat oleh orang.
2) Wibhu Sakti
13
Berarti sifat Maha Ada meresap memenuhi bhuwana, tiada tempat
yang tiada dipenuhi oleh-Nya di mana-mana Dia selalu ada (wyapi-wyapaka).
Kekosongan ruang angkasa dipenuhi oleh wujudnya yang Maha Sukma itu.
3) Prabhu Sakti
4) Krya Sakti
14
h) Yatrakamawasayitwa : kekuatan untuk menentukan, tidak ada yang dapat
menentang kehendak dan kodrat-Nya, segala yang telah ditakdirkan
berlaku, dengan tak ada sesuatu kekuatan apa pun yang mungkin
menghalangi-Nya.
15
Citta dan Triguna
Telah disebut bahwa Purusa adalah Jnana swabhawa wruh tan keneng
lupa atau dengan kata lain. purusa adalah Maha Tahu (sadar). Dalam bentuk
kejiwaan ia adalah spiritual dan segala gejal psikis yang termasuk benda
pengalaman ilmu jiwa. Jadi organ-organ atau alat-alat materi (prakrti)
mendapatkan gejala-gejala psikis ini dari dalam dan mengadakan citta.
Maka yang terlahir dari spiritual dan material membawa pula sifat-
sifatnya yaitu kebendaan dan kejiwaan yang menurut Samkhya sudah ada
pada sebab (satkaryavada) yaitu kenyataan-peristiwa dan anggapan. Tiga
faktor sifat-sifat itu adalah :
2) Yang menjadi sebab adanya peristiwa itu misalnya keluarga itu karena
lengah menaruh pelita di dalam rumah.
16
Hal ini mungkin dapat dibandingkan dengan pita tape rekorder yang
jika hendak merekam suara baru, maka suara yang lama hilang saja dengan
sendirinya. Sebagaimana di atas telah diuraikan, bahwa citta terlahir dari
Samyoganya purusan dan prakrti yang bagaikan hubungan positif dengan
negatif mempunyai kekuatan daya tahan menarik. Pertemuannya inilah yang
disebut Samyoga.
1) Sattwam (Satwika) : berasal dari kata sat dengan twa. Sat berarti benar dan
twa berarti mempunyai sifat. Sattwa berarti sifat benar. Disini berarti sifat
ringan bagi benda dan sifat baik bagi makluk hidup.
2) Rajas (Rajasika) : berasal dari kata Raj yang berarti mengendalikan (kata
raja bahasa Indonesia berasal dari kata Raj tersebut, di atas berarti yang
mengendalikan.
Disini Rajas berarti sifat yang menjadi penggerak dari segala benda yang
ada dalam alam semesta, dan bagi makhluk hidup berarti sifat yang
memberi kekuatan untuk mengerjakan sesuatu atau kekuatan yang
menyebabkan makhluk atif dalam hidupnya. Sifat-sifat Rajas bergerak,
bekerja sangat dibutuhkan dewasa ini bagi kepentingan pembangunan
negara, karena dengan banyak omong dan hanya teori di atas meja tak
akan dapat menyelesaikan cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur
(no great work can be sachieved by humbug).
3) Tamas (Tamasika) : berasal dari kata Sanskerta Tam yang berarti susah
atau gelap. Tamas, artinya sifat yang menyebabkan segala makhluk di
17
dalam kegelapan atau kemalasan, bagi benda mati Thamas berarti sifat,
yang menyebabkan benda itu lamban (statis atau tak bergerak). Jadi
jelaslah bahwa Tamas bersifat amerih sukaning awak tan ton laraning len
(menghendaki kesenangan diri sendiri tanpa melihat kesusahan orang
lain).
Mahat Buddhi
Hasil dari gerak pertama yang kita sebut evolusi, karena rwabhineda
tadi menimbulkan suatu benih maha besar (mahat) yang membawa suatu
unsur kesadaran. Setelah mahat (buddhi) mendapatkan sifat-sifatnya saling
mempengaruhi satu dengan yang lain bagaikan kabel, bohlam, dan aliran
listrik yang ketiga-tiganya adalah memegang peranan penting, baik, bohlam,
kabel, maupun aliran listirk, jika satu di antaranya rusak maka ia tak dapat
menyala. Demikianlah Buddhi mempunyai sifat wikerta, rejasa, dan butadi
yang kegunaannya sama dengan Sattwam, Rajas dan Tamas tersebut di atas.
Karena ia memberi kesadaran, maka ia disebut : Buddhi di mana Satwam
menduduki tempat yang terbesar. Mahat (Buddhi), dapat diumpamakan air
laut yang ditiup angin bergelombang. Matahari di atas kelihatan bayangannya
berombak juga pada hal matahari itu tetap tidak bergoyang sebagai
bayangannya di air.
18
2. Mudha : (bodoH0 di mana segala sesuatu tak dapat ditangkap oleh
pikiran, sering linglung, bagaikan seorang yang amat bodoh karena
alamnya dikuasai sendiri oleh Tamas.
1) Dasa Indria
19
Setelah timbul indria-indria kemudian timbul : Panca Tan Matra yaitu
lima benih alam :
a. Akasa = Ether
Filsafat Yoga
Yoga berasal dari kata Yuj artinya menghubungkan diri. Yoga berarti
jalan atau proses, cara manusia menghubungkan jiwa atau atmannya yang suci
dengan Parama atma (Tuhan). Sehingga bersatu kepada-Nya. Filsafat Yoga
20
disponsori oleh Patanjali. Dalam hal ini methafisika dan evolusi kejadian
dunia ini Yoga sama dengan ajaran Samkhya, dengan menambah kepercayaan
bahwa ada Tuhan yang menciptakan Purusa dan Prakrti. Hal penting dalam
sistem filsafat Yoga adalah tentang praktek yoga dilakukan untuk mencapai
Wiweka Jnyana yaitu pengetahuan untuk membedakan jiwa dengan bukan
jiwa. Yoga mempunyai praktek tingkat-tingkat pelaksanaan mental (citta urtti
niroddha), untuk mencapai keadaan moksa ada lima tingkat mental disebut
Citta Bhumi yaitu :
1) Ksipta
2) Mudha
3) Viksipta
4) Ekagra
5) Nirudha
1. Yama (larangan)
Yaitu suatu disiplin penahanan diri terhadap keinginan atas nafsu, Yama
terdiri dari :
21
d. Aparigraha : jangan loba, batasi diri, pada kebaikanlah selalu
menempatkan diri, makanlah makanan yang sewajarnya dan jangan
sekali-kali minum yang memabukan.
a. Sukla brahmacari : tidak kawin sama sekali sampai tua dan mati.
c. Trsna brahmacarya : kawin lebih dari satu kali yaitu poligami. Karena
memerlukan keturunan dan seizin istri pertama.
2. Niyama
22
3. Asana
Cara duduk yang baik dengan maksud, Prana dapat mengontrol semua
bagian badan termasuk urat syaraf, karena penyakit-penyakit berasal dari
urat syaraf.
4. Pranayama
5. Pratyahara
6. Dharana
Yaitu usaha untuk menyatukan pikiran untuk ditujukan ke satu arah yaitu
kepada Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Kalau lima faktor
yang tersebut di atas adalah bantuan luar dari Yoga maka tiga yang
tersebut belakangan yaitu : Dharana, Dhyana, dan Semadhi adalah bantuan
dalam dari Yoga.
7. Dhyana
23
Yaitu usaha untuk menyatukan pikiran yang lebih tinggi tarafnya daripada
Dharana.
8. Samadhi
Penyatuan pikiran pada benda yang diciptakan sehingga pikiran itu bersatu
dengan benda itu. Setelah menjauhkan pikiran-pikiran yang tak benar yaitu
dalam keadaan benar-benar tentang tenteram ia lupa akan badannya tetapi
ingat akan apa yang diciptakannya saja.
2) Betul ada Purusa dan Prakrti yang diumpamakan sebagai orang buta dan
orang lumpuh. Pertemuan di antara keduanya memerlukan perantara
(penghubung). Penghubung inilah Tuhan.
24
tepat dan masuk akal, diajarkan oleh Rsi Gautama dengan mengemukakan
empat sumber cara berpikir (catur pramana) yaitu :
1) Pratyaksa : praty yang berarti langsung dan ksa berarti pengamatan. Jadi
pratyaksa berarti pengamatan langsung dari panca Indria, yaitu dengan
melihat sendiri sesuatu kejadian, melanggar, mencium langsung dari alat-
alat indria sehingga itu semuanya menjadi pengetahuan yang dapat
dirasakan.
Contoh :
Jauh di sana kelihatan ada asap (merupakan tanda bagi kita bahwa di
sana tentu ada benda yang mengeluarkan asap). Benda yang
mengeluarkan asap tak lain ialah api (sandhya). Dengan melihat itu
maka kita lalu menarik kesimpulan : mungkin ada kebakaran di sana
(paksa).
25
molekul-molekul hidrogen dan oksigen yaitu dengan persenyawaan H2O.
Kita pun percaya saja meskipun kita sendiri tak pernah membuktikan
kebenarannya.
Atman merupakan unsur lain yang sangat berbeda dengan Manas dan
jasmaniah (Sarira). Atman itu ada, ia dapat dibuktikan melalui Sarira dan
Manas.
Contoh perbandingan :
Aliran listrik dapat diketahui melalui kawat atau kabel dengan alat tes,
atau dicoba dengan memegangnya. Adanya aliran listrik dapat dirasakan
walaupun tidak dapat dilihat.
Atman adalah bagian dari Brahman oleh karena itu pada dasarnya
hakikat Atman adalah sama dengan hakikat Brahman (Aham Brahman Asmi
artinya saya (Atman) adalah bagian daripada Brahman). Jiwa (roh) itu suci.
Yang mengalami serbaneka penderitaan, kebahagiaan, kegembiraan
pendeknya suka dan duka itu adalah ditimbulkan oleh Manas melalui panca
indrianya serta derita dan dirasakan oleh sarira (body). Dari manaslah timbul
26
Mithya Jnana yaitu kebodohan terhadap kebenaran, raga, dwasa, dan moha
yang memaksa badan bekerja dengan segala konsekuen. Apawarga berarti
terlepas sama sekali dari kesengsaraan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh
apa yang disebut Tattwa-Jnana.
Waisasika
Filsafat Waisasika ini diajarkan oleh Rsi Kanada yang juga dinamai
Rsi Ulaka. Filsafat ini banyak hubungannya dengan sistem filsafat Niaya dan
mempunyai pandangan yang sama misalnya dalam memberi pendapat tentang
kebesaran jiwa individu (perorangan) atau The Liberation of the individual
selg. Waisasika memberi kupasan ilmiah terhadap semua objek di dunia ini
yang menurut pendapatnya dibagi menjadi tujuh kategori yang merupakan :
1) Substansi (grawya)
2) Perbuatan (karma)
3) Kualitas (guna)
4) Kesatuan (Samanya)
5) Keistimewaan (Wisesa)
7) Ketiaaan (Abhana)
27
1) Substansi (graywa)
Sesuatu substansi bersumber pada sifat-sifat dan gaya, tetapi baik sifat
maupun gaya itu berbeda satu sama lain, ada sembilan macam substansi,
yaitu : tanah, air, api, udara, ether (akasa), ruang, waktu, jiwa dan pikiran
(manas). Tanah, air, api, udara, ether disebut Panca Mahabhuta yaitu
mempunyai sifatnya masing-masing seperti : bau, rasa, warna, rabaan dan
suara. Akasa, ruang, dan waktu adalah substansi yang tak dapat dilihat yang
pada hakikatnya masing-masing adalah kekal, tetapi ”mana” adalah juga suatu
substansi yang tak terbatas kecilnya.
Manas itu adalah suatu perasaan yang dalam (internal sence) yang
langsung atau tidak langsung merasakan segala perasaan dan keinginan.
Manas juga adalah suatu yang hanya dapat dirasakan. Jiwa (atman) adalah
kekal, meresap ke dalam substansi yang menjadi lapis segala kesadaran, Jiwa
(atman) itu dapat dirasakan di dalam oleh ”Manas” orang itu sendiri, ini
terbukti bahwa setiap orang dapat merasakan ”senang, susah” dan lain
sebagainya.
2. Hukum Karma
28
sebab-sebabnya. Apabila kita melakukan sesuatu perbuatan, baik dengan
bertujuan menolong maupun bertujuan membuat keonaran, maka perbuatan
tersebut menghasilkan suatu tenaga. Dalam ilmu pengetahuan telah
dibuktikan, bahwa tenaga itu adalah sama dengan benda nyata (material
object) yang tak bisa habis hanya bisa berganti bentuk apabila dipengaruhi
oleh unsur-unsur kimia. Listrik bukan berasal dari dinamo, tetapi berasal dari
tenaga yang ditimbulkan air terjun, umpamanya : dinamo merubah bentuk
tenaga itu.
Teori daya atom menunjukkan bahwa tenaga itu adalah suatu benda
yang nyata, bahwa atom itu dibuat oleh kumpulan-kumpulan tenaga adalah
teori yang telah lama ada sejak zaman dahulu, dan terdapat dalam buku-buku
Hindu Kuno dann Yunani Purba serta rontal di Bali.
3. Guna (kualitas)
29
Semua substansi yang terjadi dari atom-atom mempunyai sifat (guna)
yang banyaknya adalah dua puluh empat sifat yaitu : warna, rasa, perabaan,
bunyi, bilangan, batasnya (magnitude). Hal yang dapat membedakan
(prthaktwa), pertemuan (samyoga), kerusakan (wibhaga), karena terpencil
(paratwa), berdekatan (aparatwa), kecairan (drawatta), kepekaan (sucha),
pengamatan (buddhi), senang, sakit, keinginan, kesenangan, bercita-cita
(prayatna), kebahagiaan (gurutwa), samsara, dharma dan adharma.
1) Utksewana – gerakan
5) Gamana-gerakan maju.
4. Samanya (kesatuan)
30
5. Wisesa (keistimewaan)
Biasanya kita membedakan dua buah benda yaitu yang satu dengan
yang lainnya dengan melihat bagian keistimewaannya berbeda pada sifat-sifat
yang ada pada kedua benda itu. Tetapi bagaimana kita dapat membedakan
substansi yang kekal yang paling sederhana yang tak dapat dipecah lagi di
dunia ini yaitu sebagai 2 atom tanah. Tentu harus ada sesuatu perbedaan
pokok (wisesa) pada tiap-tiap atom-atom itu namun tidak mungkin dapat
dibedakan satu sama lain tetapi ia adalah atom-atom dari tanah wisesa
(particularity) itu adalah dimaksudkan keistimewaan daripada wujud kesatuan
yang kekal yang membentuk dunia ini.
Contoh :
31
Mawar itu bukan merah
Hal yang semacam ini dimaksudkan dalam golongan abhawa yang terjadi dari
empat :
a. Ragabhawa : Sesuatu benda tidak ada sebelum dibuat. (pot bunga tak akan
ada sebelum dibuat oleh tukang pot).
c. Atyantabhawa : tidak ada sesuatu benda (sifat sesuatu benda) pada benda-
benda lain, baik dahulu, sekarang, maupun yang akan datang yaitu : attita-
nagata-wartamana yakni tak akan ada warna di dalam udara sejak dahulu
sampai sekarang dan terus sampai masa akan datang.
32
Mimamsa
Filsafat mimamsa terdiri dari dua bagian filsafat di mana yang satu
berbeda dengan yang lainnya. Yang pertama disebut Purwa mimamsa atau
karma mimasa yaitu menekankan kepada karma. Dengan pendek disebut
mimamsa saja. Yang kedua ialah uttara mimmasa atau jnana mimamsa
menekankan kepada jnana, ya pula disebut Wedanta.
1) Bahwa Jiwa itu abadi dan tidak akan mati meskipun benda – benda itu sudah
hancur
33
2) Percaya akan kebenaran segala benda – benda yang ada di dunia ini diterima
oleh panca indrya
Mereka berpendapat dan percaya segala yang ada di dunia ini adalah
komposisi dari benda – benda itu saja dengan disesuaikan dengan Karma daripada
tiap – tiap jiwa itu sendiri. Mereka menganggap bahwa Karma adalah sesuatu
moral yang berkuasa untuk menentukan kebebasan tiap – tiap jiwa manusia
daripada kelahiran kembali, karena itu tiap – tiap orang yang melakukan upacara
dengan sasaran yang benar, maka pada jiwanya akan timbul suatu benih yang
akan menumbuhkan karma pada waktu – waktu yang sudah tertentu sehingga
kepadanya akan memetik hasilnya di kemudian hari.
Dua aliran di dalam mimamsa yaitu yang pertama terdapat dalam prabhakara
yang mengemukakan lima sumber pramanas (panca pramana):
Contoh: seseorang yang pergi ke hutan lalu melihat “serigala” dan membuktikan
sendiri bahwa serigala seperti anjing. Kemudian orang itu lalu melihat anjing lalu
berkata “serigala” yang saya lihat dahulu seperti anjing ini.
Jalan lainnya didapat dan dikemukakan oleh Kumarila Bhatta terjadi dari
enam pokok, diantaranya lima sama dengan yang tersebut diatas ditambah dengan
yang keenam yaitu anupalabdhi (non cognition), yaitu tak dapat diamati karena
bedanya memang tidak ada. Umpama: di kamar ini tidak ada kipas, ketiadaan
benda yang bernama kipas di kamar itu tidak bisa diamati, inilah yang disebut
anupalabdhi.
34
Fisafat Wedanta
Kata Wedanta berarti akhir daripada Weda. Mula – mula kata Wedanta ini
dimaksudkan upanishad karena upanishad dianggap akhir daripada Weda. Tetapi
kemudian yang dimaksud dengan Wedanta adalah filsafat yang berdasar pada
upanishad. Di dalam sementara upanishad dikatakan bahwa dunia ini diciptakan
oleh Brahman dan dari Brahman. Tetapi dalam upanishad lainnya dunia ini
dinyatakan tiada lain kepalsuan belaka. Perbedaan pendapat ini tentu saja
menimbulkan suatu teka- teki apakah dunia ini benar – benar diciptakan oleh
Tuhan, kalau Tuhan itu benar – benar ada berarti dunia ini pun benar – benar ada,
ataukah dunia ini sesungguhnya tidak ada. Semua pendapat ini dikumpulkan dan
disusun secara sistematis oleh Badarayana dalam bukunya Brahma Sutra. Kitab
ini berusaha menganalisis tentang adanya Brahman dan ditulis dengan bentuk
sutra (kalimat – kalimat pendek) hingga masih memerlukan komentar – komentar
untuk mengartikannya. Dengan sendirinya komentar yang satu tidak sama dengan
komentar yang lain bahkan kadang – kadang bertentangan. Kemudian timbullah
beberapa aliran filsafat Wedanta di antaranya:
Sankara ragu – ragu akan pernyataan dari upanishad yang menyatakan dunia
ini diciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan keanekaragaman di
dunia ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuja. Kalau dunia ini ada dengan
nyata maka tak mungkin keanekaragaman itu tak ada. Dengan pemikiran ini ia
berusaha menemukan pendapat – pendapat yang bertentangan itu dengan
berdasarkan pada upacara – upacara dalam Sweta Upanishad yang menyatakan
bahwa prakreti daripada dunia ini terletak pada kekuatan maya dari Tuhan. Maya
pada Tuhan tak akan dapat dipisahkan dengan Tuhan sebagaimana halnya tenaga
35
membakarnya api tak dapat dipisahkan dari api itu sendiri. Semua
keanekaragaman di dunia ini dianggap benar ada oleh orang yang bodoh, tetapi
orang yang benar – benar bijaksana yang dapat melihat yang ada di balik ini
semua hanya melihat adanya Brahman. Dengan demikian Brahman dengan
mayanya memperlihatkan segala yang kita lihat ini sesungguhnya mengelabuhi
pengetahuan kita tentang yang sebenarnya tentang Brahman. Pengaruh maya
terhadapa manusia itu ada dua:
Menurut Upanishad bahwa isi dunia ini adalah merupakan evolusi dari
Brahma karena kekuatan maya. Evolusi itu jalannya demikian, dari Brahman
timbul panca tan matra sebagai asal benih alam. Terjadinya suatu benda,
misalnya, akasa adalah merupakan gabungan dari lima unsur panca tan matra tadi.
Misalnya: ½ akasa, 1/8 air, 1/8 api, 1/8 tanah, 1/8 angin.
Sankara setuju dengan evolusi ini tetapi tetap pada jalur teori wiwarta, yaitu teori
perubahan yang berdasar pada pandangan seperti melihat ular seperti tali atau
melihat tali seperti ular. Sedangkan sesungguhnya tali tidak berubah menjadi ular,
ular tidak berubah menjadi tali. Sankara mengajukan argumen, jika Tuhan
menciptakan dunia ini dan menciptakan segalanya dari benda lain tentu harus
diakui bahwa ada sesuatu di samping Tuhan itu sendiri, hingga ciri Tuhan tak
terbatas tidaklah benar. Dan jika Tuhan menciptakan dunia memakai benda lain
yang ada di dalamnya tentu Tuhan itu terbagi – bagi dan karena terbagi – bagi
tentu menandakan ketidakabadiannya, jikalau sesuatu atau bahan tidak dapat
merupakan bagian dari Tuhan, tetapi Tuhan sendiri manjadi dunia ini. Dengan
alasan ini sankara tidak setuju bahwa Tuhan menciptakan dunia ini, tetapi
menyatakan diproyeksikan pada Tuhan (Wiwarta Wada). Seolah – olah dunia ini
36
hanyalah bayangan Tuhan, Tuhan ada dunia ini ada, Tuhan tidak ada dunia ini
tidak ada.
Wasista adwaita
Acit adalah sumber dari segala benda yang ada di dunia dan oleh karena itu
dinamai mula prakreti. Dan prakreti acit ini tidak diciptakan oleh Tuhan oleh
karena itu tidak bisa mati. Ramanuja menganggap bahwa prakreti adalah juga
bagian dari Tuhan sebagaimana jiwa mengontrol badan ini. Ketika Pralaya (pada
saat belum ada apa – apa) prakreti ini sudah ada pada Tuhan, tetapi tak bisa
dibedakan dengannya, dan kemudian Tuhan menciptakan dunia ini dari prakreti
itu. Karena kemauan Tuhan prakreti yang tidak terpisahkan itu mula – mula
menjadi api, air, tanah yang masing – masing membawa gunanya yaitu satwam
rajas dan tamas. Kemudian ketiga elemen ini bercampur satu dengan lainnya
sesuai dengan kualitasnya, sehingga menimbulkan segala yang ada di dunia
ini.Ramanuja juga menegaskan bahwa penciptaan ini memang benar ada sebagai
kebenaran adanya Tuhan. Upanishad menegaskan bahwa benda – benda di dunia
ini hanya satu, menurut Ramanuja yang dimaksud ialah memang benda itu
banyak, tetapi di masing – masing benda itu ada satu yang sama ialah Brahman,
sebagai halnya berbagai perhiasan ada satu yang tetap sama yaitu emasnya. Maya
menurut Ramanuja ialah kekuatan Tuhan yang maha besar sebagai alat untuk
menciptakan dunia ini. Dan maya dengan Tuhan ini bukanlah dua hal yang
berbeda karena ditegaskan di samping Tuhan tidak ada hal apa – apa lagi. Tetapi
di dalamnya terdapatlah apa yang kita dapati di dunia ini. Jadi di dalam Brahman
37
yang absolut tunggal ini ada terdapat banyak hal. Oleh karena itulah filsafat
Ramanuja ini dinamai qualivaid monisme. Jadi monisme yang mempunyai bagian
– bagian di dalamnya baik Acit ataupun Cit dan bukan dinamai absolut monisme
(tak ada apa – apa, nirguna Brahman). Di dalam filsafat Wedanta ada tiga macam
perbedaan:
2) Satya bheda: perbedaan dalam satu warga, seperti perbedaan sapi betina
dengan sapi jantan.
3) Swajatiya bheda: perbedaan antara bagian dari satu benda seperti beda kaki
dengan ekor.
Perbedeaan antara Tuhan dengan Cit dan Acit tadi menurut Ramanuja
bukanlah perbedaan wijatiya atau satyabedha karena selain Tuhan tak ada apa –
apa lagi. Perbedaan itu adalah Swajatiya bheda. Di samping itu Ramanuja percaya
bahwa Tuhan mempunyai segala sifat yang bagus atau Saguna Brahman. Cit dan
Acit itu tetap abadi sedangkan Cit dan Acit itu mempunyai tiga kualitas yaitu:
1) Berubah,
2) Tumbuh, dan
3) Mati.
Di saat pralaya dimana benda – benda yang kelihatan ini sirna Brahman
tinggal bersama Cit dan Acit. Keadaan Brahman dalam hal demikian dinamai
Karana Brahman, Tuhan dalam bentuk penyebab, dan dalam hal penciptaan
dinamai Karya Brahman. Jadi konsep Ramanuja tentang Tuhan adalah Theisme
yang berarti Tuhan ada di dunia ini merupakan sesuatu yang mempunyai kemauan
dan yang merupakan sasaran dari tujuan Sembahyang dan dengan menyembah
Tuhanlah kita akan bisa melepaskan diri dari ikatan dunia.
38
Upanishad mengajarkan bahwa Tuhan dan Jiwa itu sama, yang oleh
Ramanuja diartikan bukanlah persamaan yang absolut. Karena ia yakin bahwa
mustahil manusia yang punya kemauan terbatas ini bisa disamakan dengan Tuhan
yang abadi bahkan tanpa batas, jadi yang dimaksud adalah persamaan hakikat
Brahman dengan jiwa (atman). Menurut Ramanuja manusia itu mempunyai:
badan dan jiwa.
Badan ini terdiri dari benda – benda yang merupakan bagian dari Tuhan
hanya tidak kekal, sedang jiwa itu adalah bagian dari Tuhan jadi kekal. Moksa
dapat dicapai dengan jalan kerja dan laksana dan pengetahuan. Yang dimaksud
dengan kerja adalah pelaksanaan semua upacara menurut warna asrama tetapi
pelaksanaan ini hendaknya tanpa pamrih apapun juga. Dengam moksa tidak
berarti jiwa berubah menjadi Brahman, melainkan hanya bersatu dengan-Nya.
39
NASTIKA
Filsafat Buddha
40
4) Magga = jalan menuju terhentinya dukkha.
41
c. Kehausan akan tidak kelangsungan (wibhawa tanha).
3) Dukkha Nirodha.
Kesunyatan mulia ketiga adalah tentang pembebasan diri dari pada derita
atau terhentinya dukkha. Untuk menghilangkan dukkha secara total harus
dihilangkan akar dari dukkha yaitu tanha (kehausan, keinginan, hawa nafsu).
Hilangnya penderitaan berarti Nirwana. Nirwana dikenal juga dengan istilah
tanha khaya. Atau juga dikatakan padamnya hawa nafsu (raga khaya)
padamnya kebencian (dosa khaya) dan padamnya kebodohan (maha khaya).
4) Magga (marga).
42
e. Samma Ajiwa = mata pencaharian yang benar
Manusia adalah gabungan nama (bathin) dan rupa (lahir). Nama dan rupa
terdiri atas lima kelompok kegemaran (Pancakhanda):
Filsafat Jaina
Aliran ini mempunyai Nabi yang terakhir bernama Mahavira yang hidup
abad-6 sebelum Masehi yaitu sezaman dengan Sidharta Gautama. Mabi I bernama
Babhadewa dan disamping kedua Nabi ini ada guru – guru lain yang berjumlah 22
yang hidup pada zaman prehistory. Arti kata “Jaina” ialah “yang menang” dan
nama guru yang terakhir ialah Mahavira sedangkan nama aslinya Vardhaman.
Mereka tidak percaya akan adanya Tuhan mendewa – dewakan guru – gurunya
43
sebagai jiwa yang dahulunya terikat dengan usahanya sendiri, kini menjadi bebas.
Walaupun mereka itu Atheis mereka adalah optimis juga karena mereka
mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, bahwa akhirnya mereka bisa sama
dengan guru – gurunya itu bukan hanya merupakan spekulasi tetapi merupakan
harapan yang pasti akan tercapai.
Jaina terjadi dari dua golongan yaitu: pertama Digambara dan kedua
Swethambara. Golongan Digambara sangat fanatik dan mengajarkan bahwa
manusia itu tidak boleh mempunyai apapun juga sehingga golongan ini telanjang
bulat (dig = langit: ambara = udara; pikiran berpakaian udara). Pengikut
Swetambara berpakaian putih – putih, tidaklah begitu fanatik dan mengakui akan
kelemahan – kelemahan manusia. Digambara melarang wanita – wanita mengikuti
sektenya karena mereka percaya bahwa wanita itu tidak bisa dibebaskan sebelum
ia lahir lagi menjadi laki – laki, Swetambara tak setuju dengan teori ini. Yang
menjadi pokok pegangan bagi aliran ini ialah “ahimsa” sehingga bila mereka itu
berjalan atau berbuat apa saja, mereka membersihkan terlebih dahulu tempat –
tempat itu dengan sapu, sehingga jangan sampai mereka membunuh serangga atau
lain – lainnya yang mereka tak sengaja perbuat. Tanda – tanda lain dari kaum
Jaina ini ialah bahwa mulutnya ditutup dengan kain putih dan membawa sapu.
Dalam lapangan filsafat, cara berpikir orang Jaina ini dinamai Syadwada yaitu
bahwa semua itu adalah mungkin, dengan kepercayaannya bahwa apa yang nyata
di dunia ini bisa ditelaah dari bermacam – macam sudut dengan membawa
kebenarannya masing – masing. (Syat = artinya benar). Umpama: ada seekor
gajah, gajah itu jika dilihat hanya kakinya ialah sama dengan “pilar”, maka orang
yang hanya melihat kaki gajah itu mengatakan bahwa gajah itu ialah pilar; hal itu
benar. Jika dilihat dari sudut telinganya, gajah itu seperti kipas, itu pun betul;
semuanya betul dari sudutnya masing – masing. Contoh ini untuk membedakan
Syadwada dengan seepticisme yang ada pada filsafat barat yang menganggap
bahwa tak ada sesuatu yang benar. Berhubung dengan Syadwada ini mereka
mempunyai 7 prinsip dalam cara mereka berpikir:
44
2) Syatnasti: Dalam beberapa hal periuk tidak ada di luar kamar.
3) Syatesti canas ti ca: Periuk dalam beberapa hal ada di luar dan di dalam
beberapa hal tidak ada di luar.
5) Syatasti avaktavyam ca: Dalam beberapa hal ada di luar kamar dan beberapa
hal tak bisa digambar.
6) Syatnasti ca avaktavyam ca: Dalam beberap hal periuk tidak ada di luar dan
tidak bisa digambar.
Yang terpenting dalam ajaran Jaina ialah Ethica-nya sedangkan yang lain
– lainnya adalah sebagai jalan, untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang baik
dan benar yang merupakan juga jalan untuk mencapai “moksha”. Moksha dalam
filsafat India (Hindu) ialah penuntutan dari seseorang untuk tidak lahir kembali ke
45
dunia, karena lahir ke dunia adalah menderita. Menurut Jaina, yang lahir serta
menderita ialah “Jiwa yang sebenarnya Jiwa ini adalah maha sempurna, maha
tahu, suksma dan sempurna. Karena “kelahiran” maka jiwa itu dengan sendirinya
mengadakan hubungan dengan kebendaan yang selanjutnya melakukan “karma”
sehingga semua ini menyebabkan jiwa yang maha sempurna itu diselubunginya
sebagaimana halnya matahari diselubungi oleh mendung. Diselubunginya jiwa itu
oleh benda karena ditarik oleh nafsu, keinginan dan keinginan ini ditentukan oleh
karma dari orang tua yang kita warisi. Lahirnya manusia ke dunia ini pada
keluarga tertentu, sifat tertentu dan keadaan badan tertentu, semuanya disebabkan
oleh karma yang kita warisi.
Bhuta Karma: karma yang menentukan di keluarga mana kita dilahirkan. Ayu
Karma: karma yang menentukan panjang/ pendek umur seseorang. Ada pula
karma yang meliputi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang disebut Jnana
Warania Karma. Darsana Warania Karma adalah karma yang meliputi
kepercayaan seseorang. Warania berasal dari urut kata (wr) artinya yang meliputi.
Wara artinya memiliki, dan warna = kasta pilihan. Nafsu yang menyebabkan
terikatnya jiwa pada keduniawian ialah: kroda (kemarahan); moha
(kesombongan); maya (kepalsuan); dan lobha (tamak atau serakah). Menurut
Jaina kita bisa mencapai moksha setelah kita bisa memutuskan diri dari nafsu –
nafsu keduniawian yang ditimbulkan oleh kebodohan, baik tentang sesuatu yang
bersifat harta benda maupun yang lain – lainnya. Kebodohan ini bisa dihapuskan
dengan pengetahuan yang sejati dan menurut Jaina pengetahuan itu dapat diterima
dari ajaran – ajaran dari tirthankara (guru – guru yang sudah mencapai moksha).
Tetapi untuk meresapkan ajaran – ajaran ini haruslah kita mencapai serta
mempunyai kepercayaan akan kebenaran ajaran – ajaran itu. Selanjutnya
pengetahuan itu tidak akan ada gunanya jika salah pelaksanaannya dan oleh
karena itu kita harus mempunyai laksana yang baik dan benar. Dan kepercayaan
yang baik itu akan timbul karena kita sudah tahu apa yang kita percayai (bukan
sembarang percaya saja).
46
Dalam perbuatan harus melakukan Panca Maha Vrata (5 janji besar) yaitu:
Adapun dasar – dasar dari keatheisan Jaina ialah bahwa ia tidak percaya
dunia ini ciptaan dari Tuhan, karena untuk menciptakan sesuatu Tuhan harus
mempunyai alat beserta bahan ciptaannya. Tetapi kita belum pernah melihat
Tuhan mempergunakan alatnya dan bahannya menciptakan dunia. Jaina juga tidak
percaya jika kita berikan atributes bahwa Tuhan itu maha sempurna. Jika
demikian tentu yang dihasilkan dunia ini adalah buatan Tuhan; tetapi nyatanya
tidak. Periuk umpamanya, dihasilkan oleh tukang periuk, sedangkan sakit bukan
buatan Tuhan tetapi disebabkan karena penyakit. Karenanya kita harus percaya
pada orang yang terlepas dari hukum karma.
47
sering menyesatkan. Oleh karena itu tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Mereka
hanya percaya kepada apa yang dilihat pada waktu dan tempat itu juga.
Menurutnya pendapatnya, material yang dilihat itu terdiri dari Catur Maha Bhuta
(4 unsur alam) yaitu: hawa, api, air, tanah. Aliran filsafat lain menganggap dunia
ini terjadi dari Panca Maha Bhuta yaitu: hawa, api, air, tanah dan ether. Tetapi
karena Carwaka tidak percaya akan apa yang tidak dilihat dan dirasa sendiri dan
ternyata bahwa ether itu tidak bisa dillihat dan dirasakan maka mereka
meniadakan unsur ether itu. Dengan pemikiran demikian sudah sewajarnya
mereka tidak percaya akan adanya roh/ jiwa, karena mereka tak melihat dan
merasakan adanya roh/ jiwa. Jika seseorang menyatakan “saya gemuk” atau “saya
berani” semuanya ini bertalian dengan badan yang terbuat dan terjadi dari
material. Ketika ada pertanyaan mungkinkah kumpulan dari benda – benda materi
itu menjelmakan sesuatu yang hidup? Mereka menjawab bahwa itu mungkin.
Buktinya: kalau kita makan sirih, kapur, gambir, pinang semuanya dipersatukan
(dikunyah) maka akan menimbulkan warna merah, sedangkan sebelumnya
tidaklah demikian. Berhubung adanya kemungkinan demikian, bukanlah sesuatu
kemustahilan jika persenyawaan diantara benda – benda mati memungkinkan
akan menimbulkan sesuatu benda hidup. Karena ketidakpercayaan mereka akan
adanya roh/ jiwa maka sudah sewajarnya mereka tidak percaya akan adanya
kehidupan di dunia baka. Dan oleh karena itu pula mereka tidak berusaha untuk
hidup secara baik, bertuha dan bermoral tinggi, karena mereka tidak percaya akan
adanya phala (hukuman) setelah mereka mati.
48
agar rakyat melakukan upacara – upacara. Pendapat Mimamsa itu tidak diakui
kebenarannya oleh aliran – aliran filsafat lainnya; karena mereka percaya bahwa
tujuan hidup tertinggi adalah Moksa yaitu mendapat tempat dimana semua
penderitaan – penderitaan menjadi sirna (hilang). Tetapi golongan Carwaka
menentang pendapat ini; karena Moksa berarti terlepasnya jiwa dari belenggu
lingkaran lahir mati (incarnasi). Sedangkan Carwaka tidak percaya akan adanya
jiwa itu sendiri. Sehingga tidak percaya juga akan adanya Moksa. Surga dan
Neraka itu dicapai semasa hidup sekarang ini. Orang – orang Carwaka itu percaya
bahwa badan manusia itu sudah terikat oleh perasaan senang ataupun sedih, tidak
bisa dilepaskan tidak bisa dilepaskan lagi yang mengakibatkan bertemunya
dengan Surga atau Neraka. Yang dapat diusahakan oleh manusia yaitu
mempersedikit perasaan sedih/ sakit, karena menghabiskan sama sekali sedih/
sakit sama dengan kematian. Mereka yang mengatakan bahwa Moksa itu bisa
dicapai semasih hidup dengan jalan mematikan (menghabiskan) perasaan senang
itu adalah manusia tolol. Carwaka percaya bahwa sedih dan senang itu tiada dapat
dipisahkan. Tetapi adalah ketololan belaka bila kita membuang semua itu karena
takut akan kesedihan. Mereka percaya bahwa hidup mereka adalah untuk hari ini
belaka. Maka dengan demikian mereka mencemoohkan orang yang mau dengan
harapan untuk mendapatkan kebahagiaan untuk hari depan. Mereka menyatakan
lebih baik menjadi burung kecil sekarang daripada menjadi burung merak besok
(itupun kalau ada penjelmaan hari esok). Menurut tanggapan Carwaka, tujuan
hidup utama/ tujuan tertinggi dari hidup kita ini ialah: Kesenangan.
Oleh karena itu, pendapat Carwaka ini di dunia barat dinamai Hedonisme
(teori bahwa kesenangan adalah tujuan hidup tertinggi). Hal ini dengan sendirinya
bertentangan dengan ideal hidup filsafat lainnya di India, yang percaya bahwa
tujuan hidup manusia ada 4 macam:
49
Menurut ini tujuan hidup kaum Carwaka hanyalah Kama belaka
sedangkan artha hanya merupakan suatu alat untuk kama atau kekayaan hanyalah
alat untuk mencapai kesenangan. Golongan kaum Carwaka ini ada dua yaitu:
Di dalam filsafat barat yang pertama dinamai Crude Hedonist dan yang
kedua dinamai Cultured Hedonist. Kedua – duanya menganggap bahwa
kesenangan memang menjadi tujuan hidup, tetapi pengikut – pengikut Suchiksita,
Carwaka mencapai kesenangan itu dengan mempelajari kesenian – kesenian dan
lain – lain sebagainya yang 64 macam cabangnya, salah seorang pengikut
Suchiksita Carwaka ini ialah Vatsyayana yang mengarang “Kama Sutra”, yaitu
ilmu percintaan, yang mengajarkan di samping rasa dan tingkah laku cinta juga
filsafat cinta.
50