Angklung berasal dari daerah Jawa Barat alat musik yang terbuat dari bambu
sebagai resonator, dan dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan.
Cara membuat Angklung yaitu: seruas bambu dikupas dan ukuran panjang pendek
serta diameter diselaraskan dengan ukuran yang ditentukan. Untuk meninggikan
nada biasanya dengan cara memperkecil Volume yaitu memotong ujung daun,
sedangkan untuk merendahkan nada dengan cara memperbesar volume tabung.
Memperbesar volume tabung dilakukan dengan cara menipiskan bibir tabung atau
bibir angklung dilapisi lilin. Dapat pula dengan cara menipiskan tangkai angklung
sebagai daunnya.
Bambu yang dibuat angklung diolah dengan cara khusus. Waktu penebangan
dilakukan pada saar kemarau. Setelah ditebang bambu dibiarkan hingga daundaunnya rontok dengan sendirinya, kemudian dipotong-potong menurut ukuran
yang dibutuhkan. Setelah itu diikat lalu direndam selama satu minggu. Fungsi
perendaman adalah untuk melepaskan kotoran yang melekat pada tabung dan ruas
bambu. Proses selanjutnya bambu dikeringkan (digarang dina para seuneu) selama
40 hari. Bambu yang terbelah tidak memenuhi syarat mutu untuk angklung. Bambu
yang utuhlah yang memenuhi syarat standar mutu dibuat angklung.
Arti angklung menurut mitologi Bali berasal dari kata angka artinya nada, lung
artinya patah hilang, sehingga dapat pula diartikan sebagai nada/laras yang tidak
lengkap, dan sesuai dengan istilah cuman kirang di Bali yang berarti kesurupan
empat nada. Angklung di Bali terdiri dari 4 ancak, seperti yang terdapat pada namanama angklung Ciusul Banten di antaranya :
1. Angklung kecil bernama kingking
2. Angklung no. 2 bernama panempas