Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN TUTORIAL BLOK THT

SKENARIO 1

KELOMPOK B15
MUHAMMAD HILMY L

G0012136

ROSI DWI MULYONO

G0012194

PURNOMO ANDIMAS E

G0012166

ARIYADI BUDI SETYOAJI

G0012028

FARIS BUDIYANTO

G0012074

RISNA ANNISA M

G0012188

ITSNA ULIN NUHA

G0012098

DENALIA AURIKA

G0012054

RADEN RORO ANINDYA P

G0012170

KHILYAT ULIN NUR Z.

G0012108

EMILLYA SARI

G0012070

SHINTA RETNO W.

G0012210

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Systema auditiva memiliki peran penting pada tubuh manusia. Fungsi
utama adalah sebagai indera pendengar. Fungsi lain yang tidak kalah penting
adalah sebagai organ pengatur keseimbangan posisi tubuh. Apabila System
auditiva terganggu, maka fungsi-fungsi tersebut akan terganggu pula. System
auditiva berhubungan dengan organ-organ lain, yaitu hidung dan tenggorokan.
Ketiganya saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika ada kelainan
pada salah satunya, maka akan mempengaruhi fungsi yang lain.
Salah satu kelainan pada System Auditiva adalah otitis media. Otitis
media adalah peradangan pada Auris media. Peradangan terjadi pada sebagian
atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, sentrum mastoid dan selsel mastoid.
Otitis media terbagi menjadi otitis media supuratif dan non supuratif.
Otitis media supuratif dibagi menjadi otitis media supuratif akut dan otitis
media supuratif kronis. Begitu pula otitis media nun supuratif akut dan kronis.
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengetahui dasar-dasar ilmu THT
2. Menjelaskan klasifikasi penyakit pada organ THT
3. Menjelaskan penyebab penyakit pada organ THT
4. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada organ THT
5. Menjelaskan mekanisme terjadi penyakit pada organ THT
6. Menjelaskan komplikasi pada penyakit organ THT
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit pada organ THT
8. Menjelaskan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
9. Menjelaskan tindakan pengobatan, pencegahan, dan edukasi
C. SKENARIO
Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek
dokter umum dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan
kuning kental dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging
sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja

sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika
terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan kental, jernih
yang sebelumnya didahului demam, batuk dan pilek. Riwayat kambuhkambuhan terutama jika batuk dan pilek.
Pada pemeriksaan otoskop telinga kanan didapatkan : perforasi sup
total dengan sekret mukopurulen dan granuloma. Rinoskopi anterior terdapat :
sekret seromukous, konka hipertrofi livide. Pemeriksaan haring didapatkan :
mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.
D. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa telinga pasien bisa mengeluarkan cairan kental dan bau?
2. Apakah ada hubungan antara RPD pasien dengan keluhan saat ini?
3. Bagaimana intepretasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan?
4. Mengapa pasien mengeluhkan telinga berdenging dan pendengaran
terganggu ?
5. Mengapa cairan hanya keluar dari telinga kanan?
6. Mengapa kepala pusing?
7. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi telinga, hidung, dan
tenggorokan?
8. Mengapa hidung tersumbat bergantian?
9. Mengapa sering kambuh saat pilek?
10. Mengapa cairan kental bening berubah menjadi kental kuning?
11. Mengapa keluhan didahului demam?
12. Bagaimana terapi dan edukasi untuk pasien?
13. Bagaimana komplikasi dan prognosis penyakit?
E. HIPOTESIS
Berdasarkan skenario, dapat ditarik sebuah hipotesis, yaitu pasien mengalami
otitis media supuratif kronis.

BAB II
JUMP 1 : Klarifikasi Istilah
1. Otoskopi : Pemeriksaan telinga menggunakan otoskop, terutama pada saluran
eksternal dan gendang telinga untuk melihat ada tidaknya sumbatan.
2. Perforasi Subtotal : hilangnya sebagian besar besar jaringan pada membran
timpani yang menyebabkan terbentuknya lubang (seperti bentuk ginjal)
3. Sekret Mukopurulen : Cairan kental yang mengandung mukus (lendir) dan
purulen (nanah). Khas berasal dari telinga bagian tengah karena terdapat sel
goblet penghasil mukus. Sekret yang keluar dari lubang telinga disebut
OTORE.
4. Granuloma : istiah histopatologi, kumpulan sel-sel makrofag epiteloid
berbentuk suatu benjolan pada sel yang mengalami granulasi.
5. Rinoskopi Anterior : pemeriksaan rongga hidung bagian dalam dari depan
menggunakan spekulum hidung.
6. Seromukus : Cairan bening dan kental
7. Konka hipertrofi : Pembesaran pada konka hidung (terutama bagian inferior)
menyebabkan hidung tersumbat.
8. Livide : Hitam kebiru-biruan / ungu

9. Hiperemi faring : warna kemerahan disebabkan oleh pelebaran pembuluh


darah disekitar faring sebagai respon terhadap inflamasi akibat infeksi lokal
faring/penyebaran infeksi di daerah sekitar.
JUMP 2 : Menentukan Masalah
1. Mengapa telinga pasien bisa mengeluarkan cairan kental dan berbau ?
2. Apakah riwayat penyakit dahulu pasien berhubungan dengan keluhan pasien?
3. Mengapa pasien mengeluh telinganya berdenging, pendengaran terganggu dan
kepala pusing ?
4. Intepretasi pemeriksaan fisik !
5. Mengapa hidung tersumbat bergantian ?
6. Pemeriksaan penunjang apakah yang dibutuhkan ?
7. Mengapa cairan kental bening berubah menjadi kental kuning dan berbau ?
8. Mengapa keluhan sering kambuh saat pilek?
9. Anatomi, fisiologi, histologi THT
10. Terapi yang sesuai dengan keluhan pasien?
11. Mengapa hanya telinga kanan saja yang mengeluarkan cairan kuning kental
dan berbau busuk?
12. Diagnosis pasien ?
13. Mengapa keluhan didahului demam ?
14. Edukasi untuk pasien ?
15. Komplikasi dan prognosis ?
16. Oral hygiene

BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario diperoleh beberapa keluhan, diantaranya :
Telinga kanan pasien meneluarkan cairan kuning kental dan berbau busuk,
dimana pada satu tahun yang lalu telinga kanan pasien tersebut pernah mengeluarkan
cairan kental, jernih, yang didahului oleh demam, batuk dan pilek. Pada saat remaja,
pasien sering pilek disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika
terpapar debu. Peranan debu terhadap kondisi pasien menunjukkan bahwa pasien
menderita rhinitis alergi, dimana debu sebagai alergennya. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction, yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction, yang berlangsung
2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Secara
fisiologis, mukosa hidung (pars respiratori), yang terdiri dari sel epitel torak berlapis
semu bersilia dan sel goblet, menghasilkan mukus (palut lendir) sebagai proteksi
terhadap partikel-partikel asing yang masuk ke dalam hidung. Pada risnitis alergi,
histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring.

Tanda hidung berupa garis hitam melintang pada tengah punggung hidung
akibat sering menggosok hidung ke atas (allergic salute), pucat dan edema

mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan (livide), hipertrofi konka disertai

dengan sekret seromukous.


Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar

hitam dibawah mata (allergic shiner).


Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media

serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.


Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah

penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) membuat klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan lama dan seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang dialami
pasien. Klasifikasi baru membagi rinitis alergi menjadi 2 kategori, yaitu intermiten
dan persisten. Kategori intermiten adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per
minggu atau kurang dari 4 minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila
gejala timbul lebih dari 4 hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.
Rinitis alergi yang tidak memperoleh penanganan adekuat dan terjadi
berulang kali dapat menjadi faktor pencetus otitis media baik akut maupun kronis.
Pada 1 tahun yang lalu pasien mengelukan telinga kanan mengeluarkan cairan kental,
jernih, yang didahului oleh demam, batuk dan pilek. Hal ini menunjukan bahwa
pasien mengalami otitis media akut (OMA), karena cairan yang keluar berwarna
jernih, menandakan belum adanya infeksi dari bakteri serta adanya demam
merupakan tanda khas dari fase akut. Otitis media akut stadium prforasi dapat
berubah menjadi otitis media supuratif kronis bila perforasi menetap dengan sekret
yang keluar terus menerus atau hilang timbul (berlangsung lebih dari dua bulan). Saat
ini telinga kanan pasien telah mengeluarkan cairan kuning kental berbau busuk. Hal
ini menandakan bahwa telah terjadi perjalanan penyakit dari otitis media akut (OMA)
menjadi otitis media supuratif kronis (OMSK). Perubahan cairan yang pada awalnya

berwarna jernih kental menjadi kuning kental berbau busuk menandakan adanya
infeksi pada telinga tengah yang merupakan invasi dari bakteri anaerob nasofaring
melalui tuba auditiva eustachii. Bau busuk yang timbul disebabkan oleh karena
bakteri anaerob memfermentasikan lemak pada sekret yang menumpuk di cavum
tympani. Mengapa hanya terjadi di telinga kanan ? Hal tersebut bergantung pada di
bagian telinga manakah terjadi sumbatan pada tuba auditiva eustachii yang
menyebabkan tekanan negatif pada auris media diikuti retraksi membran tympani
penyebab otitis media. Sumbatan dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral.
Namun karena pada skenario hanya telinga kanan saja yang mengeluarkan cairan,
dapat disimpulkan bahwa yang mengalami sumbatan (occlusi) adalah tuba auditiva
eustachii bagian kanan.
Telinga berdenging yang dirasakan pasien ialah tinitus. Pada tinitus terjadi
aktivitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya bunyi,
namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang ditransfor-masikan,
melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam tubuh pasien sendiri.
Impuls. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah,
seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus
atau hilang timbul terdengar. Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural
dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Pada kasus ini, kemungkinan
terjadi keduanya. Dilihat dari pekerjaan pasien sebagai buruh bangunan, yang pada
umumnya terpapar alat-alat beruara bisning, tinitus dapat merupakan gejala gangguan
pendengaran akibat bising yang bersifat tuli sensorineural (Sensory Neural Hearing
Lost / SNHL). Sedangkan adanya otitis media merupakan penyebab gangguan
konduksi yang menyebabkan tinitus. Sedangkan untuk kepala pusing yang dirasakan
pasien, dihubungkan dengan adanya otitis media. Vertigo merupakan gejala yang
serius pada penderita otitis media supuratif kronis (OMSK). Keluhan ini sering
merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh
kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang
mendadak. Keluhan ini juga dapat timbul karena perforasi besar yang ada pada

membrana tympani dan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan
suhu. Komplikasi berupa penyebaran infeksi ke dalam labirin (labirinitis) juga dapat
menyebabkan keluhan vertigo.
Untuk menegakkan diagnosis pada kasus ini harus dilakukan beberapa
pemeriksaan penunjang tambaham, diantaranya ialah
1. Tes pendengaran sederhana, terdiri dari tes Rinne, tes Weber, dan tes
2.
3.
4.
5.

Schwabach
Tes audiometri : audiometri nada murni, audiometri tutur (speech audiometry)
Pemeriksaan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry)
Foto rontgen mastoid
Kultur uji resistensi kuman dari sekret telinga

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan sebagai dokter umum pada pasien ini
meliputi konseling mengenai keluarnya cairan dari telinga kanan membutuhkan
waktu untuk sembuh, sehingga perlu pemeriksaan dan perawatan telinga secara
berkala. Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi,
dimana pengobatan dapat dibagi atas :
1. Konservatif
2. Operasi
Pada pasien dalam skenario tersebut, pasien termasuk dalam klasifikasi otitis
media akut supurative kronis tipe benigna aktif sehingga prlu dilakukan pembersihan
liang telinga dan kavum timpani serta peberian antibiotika topikal dan sistemik.. Bila
sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik
dan kortikosteroid.
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah,
maka dari itu tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan
lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistesni.

Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif
yang dikombinasi dengan pembersihan telinga. Antibiotika topikal yang dapat
digunakan untuk OMSK adalah :
1. Polimiksin B atau polimiksin E : Obat ini bersifat bakterisid terhadap
kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla, Enterobakter, tetapi resisten
terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis Toksik terhadap ginjal dan susunan saraf.
2. Neomisin: Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya :
Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas.
Toksik terhadap ginjal dan telinga.
3. Kloramfenikol : obat ini bersifat bakterisid.
Antibiotik sistemik yang dapat digunaka untuk penatalaksanaan OMSK :
Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu diperhatikan
faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut. Antimikroba dapat
dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya.
Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan
aminoglikosida dengan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang pada
konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik.
Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini,
misalnya golongan beta laktam. Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada
Otitis media kronik adalah:
Pseudomonas : Aminoglikosida karbenisilin
P. mirabilis : Ampisilin atau sefalosforin
P. morganii, P. vulgaris : Aminoglikosida Karbenisilin
Klebsiella : Sefalosforin atau aminoglikosida
E. coli : Ampisilin atau sefalosforin
S. Aureus Anti-stafilikokus : penisilin, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
Streptokokus : Penisilin, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
B. fragilis : Klindamisin

10

Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat


derivat asam nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat
diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun.
Golongan sefalosforin generasi III ( sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson) juga
aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral. Terapi ini
sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti cukup, meskipun dapat
mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob.
Menurut Browsing dkk metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik
(sefaleksin dan kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2
minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.
Karena didapatkan dignosis otitis media krons et causa riniti alergi, dokter
harus menjelaskan edukasi untuk upaya preventif timbulnya lagi peyakit pada pasien,
edukasi yang dapat diberikan :
1. Jangan terlalu sering mengorek telinga baik menggunakan jari tangan
maupun menggunakan benda asing seperti cotton bud.
2. Diusahakan agar jangan sampai air masuk telinga pada saat mandi
3. Menghindari aktivitas yang memerlukan telinga kontak dengan air seperti
berenang.
4. Menhindari paparan debu yang dapat menyebabkan rinitis alergi.
5. Segera berobat apabila menderita infeksia salurn nafas atas seperti batu
pilek.
OMSK yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan mastoiditis
kronik melalui penyebaran perkontonuitatum. Erosi dinding auris media dan rongga
mastoid, menyebabkan terpaparnya nervus fascialis, bulbus jugularis, sinus lateralis,
labyrinthus membranaceous dan lobus temporalis. Hal ini akhirnya akan
menyebabkan komplikasi seperti paralysis nervus fascialis, thrombosis sinus lateralis,
labyrinthitis, meningitis dan abses otak. Penyebaran perkontinuitatum atau
hematogen ke otak, menghasilkan efek yang hampir sama, komplikasi yang fatal atau

11

kelumpuhan beberapa fungsi secara permanen. Selain itu, pasien juga sering
mengalami tuli konduktif berat atau sedang. Gangguan pendengaran berada di 30 dB
sampai 60dB, jika lebih dari itu menandakan proses infeksi sampai pada cochlea atau
nervus.
Komplikasi OMSK dibagi menjadi 2 grup: intratemporal dan intrakranial.
Intratemporal berupa: petrsitis, paralysis fascialis dan labyrinthitis. Komplikasi
intrakrania berupa:

thrombophlebitis

sinus

lateralis, meningitis

dan abses

intrakranial.yang lainnnya berupa: hilangnya pendengaran, choleasteatoma dan


tympanosclerosis.
Petrositis. Terjadi ketika infeksi melebar dari auris media dan os mastoid
sampai ke apex pertis petrosae. Pasien memiliki syndrom Gradenigo (nyeri retro
orbital, otorhea, abducens palsy).
Paralysis nervus fascialis. Bisa terjadi pada OMSK dengan atau tanpa
cholesteatoma.
Labyrinthitis. Terjadi ketika infeksi mencapai auris interna.
Labyrinthitis, terbagi 4 kategori: serous akut dengan gejala vertigo
dan tuli, supurativ akut dengan gejala tinitus, vertigo dengan mual
dan muntah, kronik dengan gejala tinitus, vertigo dan tuli secara
bertahap dan sklerosis labyrinthine menyebabkan adanya pegganti
jaringan fibrous dan tulang baru
Lateral

sinus

thrombophlebitis.

Terjadi

ketika

infeksi

menyebar melalui os mastoidea ke sinus sigmoidea. Trombus infeksi


mungkin menyebabkan sepsis emboli dan menyebabkan infark
distal..
Meningitis, berkembang akibat penyebaran infeksi secra
langsung atau secara hematogen.

12

Abses intrakranial dapat terjadi ekstradural, subdural dan parenkimal. Ekstradural


abses terjadi dengan tanda gejala meningitis atau asymptomatic. Subdural abses
sangat menyakitkan deng tanda meningeal, hemiplegia.
Prognosis OMSK baik dengan kontrol dari infeksinya. Untuk penyembuhan
dari gangguan pendengaran tergantung pada penyebabnya. Tuli kondukif sering bisa
disembuhkan dengan operasi. Mortalitas dari OMSK berhubungan dengan
komplikasi intrakranial.
JUMP 3 : Menganalisis Permasalahan dan membuat penyataan sementara
mengenai permasalahan
1. Mengapa pasien mengeluhkan telinga berdenging?
Gejala yang dirasakan pasien adalah tinnitus. Pada tinitus terjadi
aktivitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya
bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang
ditransfor-masikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di
dalam tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh
berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas.
Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti
berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar.
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga
terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan
konduksi, biasanya berupa .bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan

inflamasi,

bunyi

dengung

ini

terasa

ber-denyut

(tinitus

pulsasi).Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi,


biasanya terjadi pada sum-batan liang telinga karena serumen atau tumor,
tuba katar, otitis media, otosklerosis dan Iain-lain. (Djaafar, 2012)
Tinnitus
Tinnitus adalah keadaan dimana terdengar suara di telinga atau di
kepala tanpa adanya stimulus akustik. Suara yang terdengar dapat berupa

13

nada murni atau nada multiple dan dapat pula berupa nada tinggi, nada
rendah, berdenging, bergemuruh, bunyi klik, bunyi mendesis, kasar,
berdenyut, atau menetap.
Tinnitus merupakan hasil aktifitas abnormal di perjalanan saraf yang
diterima sebagai sensasi suara dalam pendengaran. Hal ini merupakan
suatu sistem yang kompleks dan bukan merupakan suatu penyakit. Secara
epidemiologi sekitar 10% penduduk pernah mengalami tinnitus, 1%
mengalami tinnitus berat. Kebanyakan pasien berusia 50-71 tahun.
Penyebab tinnitus
Penyebab umum:
a. Kotoran telinga berlebihan
b. Infeksi telinga
c. Cedera kepala
d. Penyakit kardiovaskuler
e. Penyakit Meniere
f. Degenerasi ossiculae auditivae
g. Paparan bising
Penyebab lain:
a. Idiopatik
b. Hearing loss
c. Presbyacusis
d. Neuroma akustik
e. Obat-obatan
f. Lesi pembuluh darah intra cranial
Tinnitus dapat dibedakan menjadi tinnitus subyektif dan obyektif.
Seseorang dikatakan tinnitus obyektif bila tinnitusnya dapat didengar
pemeriksa. Bila mempunyai karakter berdenyut atau timbul pada keadaan
tertentu, ada kemungkinan karena pembuluh darah yang abnormal, tuba
eustachii abnormal atau masalah otot tympani.

14

Tinnitus yang berasal dari pembuluh darah yang abnormal biasanya


berbunyi halus, berdesir, berdenyut sesuai irama jantung. Keadaan yang
dapat menyebabkan tinnitus objektif adalah arterio venosus shunt, arterial
bruit, venosus hum, dan patulous tuba eustachii.
Tinnitus yang berasal dari neurosensoral belum dapat dijelaskan
fisiologinya, dapat disebabkan oleh kelainan cochlea, n. cochlearis, dan
hiperaktifitas sel rambut. Tinnitus berhubungan kuat dengan depresi dan
anxietas karena dapat mempengaruhi tidur dan konsentrasi.
Evaluasi pasien dengan tinnitus
a. Bagaimana karakteristik suara dan kualitas hidup pasien
b. Riwayat hilang pendengaran
c. Ada tidaknya paparan bising
d. Pemakaian obat-obatan ototoksik
e. Pemeriksaan saraf telinga
f. Diagnose banding
g. Tinnitus subyektif / obyektif
Pemeriksaan yang dilakukan
a. Inspeksi cavum auditorius, auris eksterna, membrana tympanica, n. V,
VI, VII, articulation temporomandibularis, auskultasi jantung, arteri
karotis, region periaural
b. Pemeriksaan otoskopi melihat adanya penyakit auris eksterna dan
auris media, kotoran telinga, mobilitas abnormal membrane tympanica
dan ossicula auditiva, kontraksi musculi auris media.
c. Evaluasi vestibulokoklearis, test audiologi, evaluasi vestibuler,
pemeriksaan radiologi
d. Evaluasi cochlear, pure-tone audiometri, ABR (Auditory Brainstem
Response),

speech

audiometric,

test

tone

audiometric, reflex akustik, test reflex decay.


Penatalaksanaan tinnitus

15

decay,

impedance

Beberapa tinnitus dapat dieliminasi dengan obat-obatan atau


pembedahan. Vasodilator, zat anestesi, Xanax, lidocain, antidepresan
dapat mensupresi tinnitus. Terkadang beberapa kasus tinnitus dapat
mengalami resolusi spontan, tetapi banyak juga yang menetap.
Pengobatan didasarkan pada kelainan yang didapat seperti bila ada
kotoran telinga maka telinga dibersihkan, bila ada infeksi telinga maka
diberi pengobatan.
Pada tinnitus subyektif karena penyebabnya sering tidak
diketahui maka pengobatan pun menjadi sulit. Bila dengan obat-obatan
tidak ada perbaikan maka diberikan TRT (Tinnitus Retraining
Therapy), yaitu suatu cara dimana pasien diberikan suara lain sehingga
keluhan suara berdenging tidak dirasakan lagi. Hal ini bisa dilakukan
dengan mendengar radio FM yang tidak sedang melakukan siaran
terutama pada saat tidur. Bila tinnitus disertai gangguan pendengaran
dapat diberikan alat bantu dengar yang disertai masking.
2. Mengapa pasien mengeluhkan pendengaran terganggu ?
Terganggunya pendengaran yang dialami pasien dapat disebabkan oleh
kerusakan yang terjadi di telinga luar, telinga tengah, telinga dalam, atau
dapat juga terjadi di ketiga bagian dari telinga tersebut. Berdasarkan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien, gangguan pendengaran pada
telinga pasien dapat terjadi karena adanya suara berdenging yang pasien
dengar atau dapat juga disebabkan oleh karena adanya cairan pada bagian
tengah telinga pasien dan sumbatan yang terjadi di tuba auditiva
eustachius.
Gangguan Fisiologi Telinga
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli
konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli
sensoneural, yang terbagi atas tuli cochlea dan tuli retrocochlea.

16

Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh


kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli
sensoneural (perseptif) kelainan terdapat pada cochlea (telinga dalam),
nervus VII atau di pusat pendengaran, sedangkan tuli campur, disebabkan
oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensoneural. Tuli campur dapat
merupakan suatu penyakit seperti radang telinga tengah dengan
komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit berlainan,
misalnya tumor nervus VII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli
konduktif).
3. Mengapa cairan hanya keluar dari telinga kanan?
Cairan yang keluar dari telinga kanan merupakan tanda bahwa telah
terjadi ruptur pada membran timpani telinga kanan. Ruptur yang terjadi
disebabkan oleh tekanan negatif karena adanya sekret pada telinga tengah
tidak berkurang sehingga terjadi iskemia, akibat tekanan pada vena-vena
kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Bila tidak dilakukan insisi,
sedangkan tekanan negatif masih berada dalam telinga tengah, maka
nekrosis membran timpani dapat ruptur sehingga sekret dalam telinga
tengah keluar.
Cairan tersebut hanya keluar dari telinga tengah karena perforasi
membran timpani hanya terjadi di telinga kanan atau hanya terjadi
penimbunan sekret pada telinga tengah kanan sehingga hanya membran
timpani telinga kanan yang mengalami perforasi.
4. Mengapa keluhan didahului demam?
Demam terjadi karena adanya pirogen (baik pirogen eksogen maupun
pirogen endogen)yang akan merangsang endotelium hipotalamus untuk
membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan
meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus.
Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu
patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk

17

meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan


mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada
akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru
tersebut.
Pada skenario 1 ini, pasien mengalami demam sebelum telinga kanan
mengeluarkan cairan kental, jernih. Kemungkinan cairan yang keluar
tersebut berasal dari timbunan sekret di cavum timpani yang kemudian
keluar dikarenakan terjadinya perforasi pada membran tympani. Sekret
yang berada dalam membran tympani sebelum membran tympani
mengalami perforasi kemungkinan mengandung mikroorganisme maupun
virus

yang

biasanya

mengakibatkan

infeksi

berasal

dari

nasopharing

hingga

di

cavum

tympani.

Dengan

akhirnya
adanya

mikroorganisme maupun virus ini mengakibatkan tubuh mengaktifkan


mekanisme pertahanan oleh sel-sel darah putih yang kemudian
menghasilkan pirogen endogen hingga akhirnya mengakibatkan kenaikan
suhu tubuh. Apabila sekret dalam cavum tympani dikeluarkan maka
mikroorganisme maupun virus yang terkandung dalam sekret juga akan
dikeluarkan, akibatnya sel-sel darah putih yang aktif menjadi sedikit
begitu pula pirogen yang dihasilkan sehingga suhu tubuh pun menjadi
turun dan normal kembali..
5. Mengapa kepala pusing ?
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di
sekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di
labirin (auris interna), organ visual, dan proprioseptik. Gabungan
informasi dari ketiga reseptor itu akan diolah di SSP, sehingga
menggambarkan keadaan posisi tubuh saat itu.
Perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan cairan
endolimfa di labirin yang selanjutnya membuat silia di hair cell akan
menekuk dan menimbulkan depolarisasi yang akan merangsang lepasnya

18

neurotransmitter yang selanjutnya meneruskan impuls sensorik melalui


saraf aferen ke pusat keseimbangan di otak.
Dalam bahasa Indonesia, istilah kepala pusing membingungkan. Tapi
dapat disimpulkan bahwa pusing yang dimaksud adalah vertigo atau
kepala berputar.
Vertigo merupakan gejala yang serius pada penderita otitis media
supuratif kronis (OMSK). Keluhan ini sering merupakan tanda telah
terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom.
Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang
mendadak. Keluhan ini juga dapat timbul karena perforasi besar yang ada
pada membrana tympani dan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Komplikasi berupa penyebaran infeksi ke
dalam labirin (labirinitis) juga dapat menyebabkan keluhan vertigo.
6. ANATOMI, FISIOLOGI DAN HISTOLOGI THT
Auris (telinga) memiliki fungsi ganda dan kompleks, yaitu sebagai
organon auditus (organ pendengaran) dan organon equilibrium (organ
keseimbangan). Berdasarkan struktur anatomisnya, auris dibagi menjadi 3
bagian:
1. Auris externa (telinga luar)
a. Auricula
b. Meatus acusticus externus
2. Auris media (telingah tengah
a. Membrana tympanica
b. Cavitas tympanica/cavum tympani
c. Ossicula auditiva
3. Auris interna (telinga dalam)
a. Labyrinthus osseus (vestibulum, canalis semicircularis, cochlea)
b. Labyrinthus membranaceus (labyrinthus vestibularis, labyrinthus
cochlearis)

19

1. Auris externa
Adalah bagian dari telinga yang terdapat di sebelah luar dari membrana
tympanica. Auris externa terdiri dari:
a. Auricula
Dibentuk oleh cartilago fibroelastis yang dilapisi dengan kulit, kecuali
pada bagian inferior, yaitu lobulus yang tersusun dari jaringan fibroelastis
dan adiposa.
Cartilago auriculae dilekatkan pada os temporale oleh ligamenta auriculae
yang terdiri atas: ligamenta auriculae anterius, ligamenta auriculae
posterius, dan ligameta auriculae superius.
Musculi yang terdapat pada auriculae terdiri dari:

Musculi extrinsik (musculus auricularis anterior, musculus


auricularis posterior, dan musculus auricularis superior)

Musculi intrinsik (m. Helicis major, m. Helicis minor, m. Tragicus,


m. Antitragicus, m. Obliquus auriculae, m. Transversus auriculae)

Fungsi auricula:

Menangkap, mengumpulkan, dan meneruskan gelombang bunyi ke


meatus acusticus externus

Melindungi porus acusticus externus

Innervasi:
Innervasi sensorik dari auricula berasal dari:

Bagian superficial permukaan luar auricula diinnervasi oleh


n.auricularis magnus et n.occipitalis minor yang berasal dari
plexus

cervicalis

dan

n.auriculotemporalis

cabang

dari

n.mandibularis.

Bagian lebih profunda diinnervasi oleh cabang-cabang n.facialis et


n.vagus.

Vascularisasi:

20

A.auricularis posterior cabang dari a.carotis externa

R.auricularis anterior cabang dari a.temporalis superficialis cabang


dari a.carotis externa

Cabang-cabang dari a.occipitalis

Vasa lympathica:

Cairan limfe auricula bagian anterior nodus lymphaticus


parotideus

Cairan limfe auricula bagian posterior nodus lymphatica


mastoideus

b. Meatus acusticus externus


Merupakan saluran pendek berkelok seperti huruf S yang menghubungkan
auricula dengan membrana tympanica. Rangka dari meatus acusticus
externus terdiri dari:

Pars cartilaginea: terletak 1/3 lateral meatus acusticus extenus,


tersusun dari cartilago elastis yang merupakan lanjutan cartilago
auriculae, dilengkapi glandula sebacea dan glandula ceruminosa.

Pars ossea: terletak 2/3 medial dari meatus acusticus externus,


terdiri atas jaringan tulang yang dibentuk oleh lempeng tympani.

Innervasi:

N.auriculotemporalis cabang dari n.mandibularis

R. Auricularis N. Vagi

Cabang-cabang N. Facialis

Vascularisasi:

A.auricularis posterior cabang dari a.carotis externa

R.auricularis anterior cabang dari a.temporalis superficialis


cabang dari a.carotis externa

A.auricularis profunda cabang dari a.maxillaris interna

21

2. Auris media
Merupakan ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis yang
dilapisi membrana mukosa. Struktur di dalam auris media antara lain:
a. Membrana tympanica
Adalah membrana fibrosa tipis berbentuk oval/bulat yang berwarna kelabu
mutiara. Membrana tympanica menempati sulcus tympanica. Membrana
tympanica dibagi menjadi 2 bagian; pars flaccida dan pars tensa.
Membrana tympanica dibagi menjadi 4 kuadran:

Kuadran superior anterior

Kuadran inferior anterior

Kuadran superior posterior

Kuadran inferior posterior

Innervasi: n.auriculotemporalis cabang dari N. Mandibularis dan


r.auricularis N. Vagi
b. Cavum tympani
Dibayangkan seperti sebuah kubus mempunyai batas-batas:
Batas luar: memmbran tympani
Batas depan: tuba eustachius
Batas bawah: v.jugularis
Batas belakang: aditus ad antrum
Batas atas: tegmen tympani
Batas dalam: canalis semicircularishorizontal, oval window
c. Ossicula auditiva
Terletak di dalam cavum tympani dan recessus epitymphanicus
membentuk rangkaian tulang (malleus, incus, dan stapes). Fungsi:
menghantarkan getaran suara ,emuju auris interna.
d. Tuba auditiva eustachii

22

Merupakan saluran kecil panjang yang menghubungkan auris media


dengan nasopharynx. Selain itu, tuba auditiva eustachii juga berhubungan
langsung dengan antrum mastoideum.
Innervasi auris media:

N. tympanicus cabang N.IX

Nn. Caroticotympanici cabang plexus caroticus internus

N. auriculotemporalis cabangN. V

R.auricularis N. Vagi

Vascularisasi:

A.tympanica superior

A.tympanica inferior

A.tympanica anterior

A.tympanica posterior

3. Auris interna
Auris interna terdiri dari cochlea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 canalis semicircularis. Ujung cochlea disebut
helicotrema. Pada irisan melintang cochlea tampak skala vestibuli sebelah
atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media di antaranya. skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,sedangkan skala media berisi
endolimfa. Pada dasar skala media terdapat organ corti.
Innervasi:

N.VII dan n.VIII

Vascularisasi:

A.labyrinthi cabang a.cerebelli anterior inferior cabang a.basilaris

A.vestibulocochlearis cabang a.labyrinthi

A.spiralis modiolaris

Fisiologi Pendengaran

23

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke cochlea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui angkaian tulang pendengaran yangakan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong.energi getar yang telah diamplifikasi akan diteruskan ke stapes
yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses tersebut merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis.
Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1. Pangkal hidung
2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, processus
frontalis os maxilla dan processus nasalis os frontalis; kerangka tulang rawan terdiri
dari sepasang cartilago nasalis lateralis superior, sepasang cartilago nasalis lateralis
inferior, tepi anterior cartilago septum.

24

Lubang masuk cavumnasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (choana) yang menghubungkan cavum nasi dengan
nasopharynx. Dindingmedialhidung ialah septum nasi. Septum ddibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah:

Lamina perpendicularis os ethmoidale

Vomer

Crista nasalis os maxilla

Crista nasalis os palatina

Bagian tulanng rawan adalah cartilago septum dan kolumela. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah concha; concha inferior, concha media, concha superior dan concha
suprema yang biasanya rudimenter. Di antara concha-concha dan dinding lateral
hidung terdapat meatus. Meatus inferior terletak di antara concha inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
ductus nasolacrimalis. Meatus medius terletak di antara concha media dan dinding
lateral rongga hidung, terdapat muara sinus frontal, sinus maksilla dan sinus ethmoid
anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus
sphenoid.
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi
oleh chonca media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting pembentuk KOM
adalah processus unsinatus, infundibulum ethmoid, hiatus semilunaris, bula ethmoid,
agger nasi, dan recessus frontal. KOM merupakan unit fungsional tempat ventilasi
dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya anterior, yaitu sinus maksila, sinus
ethmoid anterior dan sinus frontal.
Vascularisasi:

A.ethmoid anterior et posterior cabang dari a.ophtalmica cabang a.carotis


interna

A.maxillaris interna

Pleksus Kiesselbach

25

Innervasi:

Saraf sensorik dari n.ethmoidalis anterior cabang dari n.nasosiliaris cabang


dari n.ophtalmicus

N.maxillaris

Fisiologi hidung
Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,


penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme immunologik lokal.
Udara inspirasi masuk ke hidung melalui sistem respirasi melalui nares
anterior . udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidunng oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, dan
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikelpartikel besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

Fungsi penghidu
Hidup bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidiung, konka superior, dan sepertiga bagian
atas septum. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam baan seperti rasa
manis strawberi, jeruk, pisang, atau coklat.

Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan

26

menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.
HISTOLOGI
a. Hidung
Hidung adalah bagian yang paling menonjol di wajah, yang
berfungsi

menghirup

udara

pernafasan,

menyaring

udara,

menghangatkan udara pernafasan, juga berperan dalam resonansi


suara.
Rongga hidung (cavum nasi) memiliki sepasang lubang di
depan untuk masuk udara, disebut nares; dan sepasang lubang di
belakang untuk menyalurkan udara yang dihirup masuk ke
tenggorokan, disebut choanae. Rongga hidung sepasang kiri kanan,
dibatasi di tengan oleh sekat yang dibina atas tulang rawan dan tulang.
Dinding rongga ditunjang oleh tulang rawan dan tulang. Dasar
cavum nasi, di depan terdiri dari tulang langit-langit, di belakang
berupa langit-langit lunak. Atap juga ditunjang oleh tulang rawan
sebagian dan sebagian lagi oleh tulang. Dari tiap dinding ada tiga
tonjolan tulang ke rongga hidung, disebut conchae.
Rongga hidung dibagi atas 4 daerah :
1. Vestibulum nasi.
2. Atrium.
3. Daerah pembauan.
4. Daerah pernapasan.
Vestibulum adalah bagian depan rongga, atrium adalah bagian tengah. Daerah
pembauan berada pada conchae yang atas, sedangkan daerah pernapasan terletak
pada dua conchae yang bawah.
Rongga hidung dilapisi oleh tunica mukosa. Kecuali di bagian depan vestibula
sampai ke nares. Di sini dilapisi oleh kulit yang strukturnya sama dengan kulit wajah.
Epidermis terdiri atas jaringan epitel skuamous kompleks dengan kornifikasi. Pada
vestibulum itu ada bulu yang keras, disebut vibrissae.

27

Tunica mukosa sendiri terdiri atas jaringan epitel pseudokompleks kolumner


dengan silia. Di daerah pembauan epitel bersilia itu memiliki struktur dan fungsi
khusus, yaitu sabagai indera bau. Diantara sel epitel ini, tersebar banyak sel goblet.
Pada lamina propria banyak terdapat simpul vena, simpul limfa dan kelenjar lendir.
Tidak ditemukan adanya vibrisae. Tunica mukosa melekat ketat ke periosteum atau
perichondrium di bawahnya.
Sekeliling rongga hidung ada empat rongga berisi udara yang berhubungan
dengannya, disebut sinus paranasal. Keempat sinus itu berada pada tulang-tulang
berikut : 1). Frontal; 2). Maxilla; 3). Ethmoid; 4) sphenoid. Sinus dilapisi oleh tunica
mucosa juga, seperti yang melapisi rongga hidung. Hanya saja lebih tipis dan selselnya lebih kecil-kecil serta sedikit mengandung kelenjar lendir. Lamina propria
tidak terlihat dengan jelas.
b. Pharynx
Dibedakan atas tiga daerah:
Daerah hidung (naso-pharynx)
Merupakan bagian pertama pharynx kebawah, dilanjutkan dengan bagian oral
organ ini yaitu oro-pharynx.
Daerah mulut (oro-pharynx)
Daerah jakun (laryngo-pharynx)
Di daerah mulut, lapisan muscularis-mucosa dari tunica mucosa digantikan oleh
serat elastis yang rapat dan tebal. Tunica submucosa hanya ada di dinding daerah
hidung dan dekat ke larynx. Di tempat lain tunica mukosa melekat langsung ke otot
lurik sekitar leher. Lapisan serat elastis yang ada pada bagian bawah tunica mucosa
itu berpaut rapat dan berjalin dengan jaringan interstisial otot.
Lamina propria tunica mucosa terdiri dari jaringan ikat rapat yang berisi jala serat
elastis yang halus. Di daerah mulut dan jakun tunica mukosa dilapisi oleh jaringan
epitel skuamous kompleks non kornifikasi, sedang atapnya dibina atas jaringan epitel
kolumner kompleks bersilia, dengan banyak sel goblet. Pada lamina propria, dibawah
lapisan serat elastis, banyak terdapat kelenjar mukus.
c. Telinga
a. Auris externa
1. Auricula
- Tersusun atas kartilago elastis, kecuali di bagian lobulus

28

- Tidak didapatkan adanya subcutis


- Terdapat lanugo dan glandula sebasea
2. Meatus acusticus externus
- Tersusun atas kartilago elastis pada pars cartilaginea dan os temporale
pada pars ossea
- Tidak didapatkan adanya subcutis dan dermis
- Terdapat glandula sebasea dan glandula serominosa (kelenjar apokrin)
yang menghasilkan serumen
b. Auris media
1.
2.
-

Membrana tympani
Membran tipis semi transparan batas auris externa dan media
Kerangkanya merupakan fibrocartilagineus
Epidermis tipis di permukaan luar
Epitel kuboid simpleks pada permukaan dalam
Cavum tympani
Dilapisi epitel skuamous simpleks
Epitel kuboid atau kolumner simpleks dengan silia terdapat pada muara tuba
auditiva Eustachii dan sudut membrana tympani
- Lamina propria tipis melekat pada periosteum
3. Tuba auditiva Eustachii
- Merupakan kanal penghubung antara auris media dengan nasopharynx.
- Terdiri atas pars ossea dan pars cartilaginea
- Pars cartilaginea berupa pengait yang menutup bagian posterior superior
- Terdiri atas berbagai macam epitel: epitel kolumner simpleks bersilia, epitel
pseudokompleks kolumner dengan sel goblet
c. Auris interna
1. Labyrinthus osseus
Terdiri atas canalis semicircularis, cochlea, dan vestibulum
2. Labyrinthus membranaceus
- Terdiri atas jaringan ikat padat dan epitel skuamous simpleks
- Melayang pada perilimfe dan digantung oleh trabekula yang melekat pada
periosteum
- Neuroepitel membentuk modifikasi berupa makula utriculi, makula sacculi,
organon cortii, dan crista ampularis
JUMP 4 : Menginventarisasikan permasalahan-permasalahan
secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai
permasalahan-permasalahan pada langkah 3.

29

Keluhan :
-telinga kanan mengeluarkan cairan kuning
kental berbau busuk
- telinga berdenging dan pendengaran
terganggu
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
dahulu :
:
- saat remaja sering
- Otoskopi :
pilek, hidung
perforasi subtotal
tersumbat,
Buruh
+ sekret
bergantian kanan-kiri,
banguna
mukopurulen dan
terutama jika
granuloma.
terpapar debu
n laki- Rhinoskopi
laki 25
- satu tahun lalu,
Anterior : sekret
telinga
kanan keluar
tahun
seromukus, konka
cairan kental, jernih
hipertrofi, livide.
didahului demam,
batuk dan pilek
- Pharing :
mukosa hiperemi
-riwayat
kambuhPemeriksaan
kambuhan
jika batuk
penunjang ?
dan pilek
DDx?
Terapi + Edukasi ?
Prognosis ?
Komplikasi?

JUMP 5 : Merumuskan tujuan pembelajaran


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Apakah riwayat penyakit dahulu pasien berhubungan dengan keluhan pasien?


Pemeriksaan penunjang apakah yang dibutuhkan ?
Mengapa cairan kental bening berubah menjadi kental kuning dan berbau ?
Mengapa keluhan sering kambuh saat pilek?
Terapi yang sesuai dengan keluhan pasien?
Diagnosis pasien ?
Edukasi untuk pasien ?
Komplikasi dan prognosis ?
Oral hygiene

30

JUMP 6 : Mengumpulkan informasi baru (Belajar mandiri di rumah )

JUMP 7 : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang


diperoleh
1. Bagaimanakah hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan
riwayat penyakit sekarang?
Pada saat remaja pasien sering pilek saat terpapar debu dikarenakan
pasien memiliki alergi terhadap debu sehingga memicu adanya rhinitis
alergika. Karena tidak diobati hingga tuntas dan timbul berkali-kali hal ini
berlanjut sebagai pencetus otitis media akut pada 1 tahun yang lalu. Otitis
media bisa terjadi karena pada rhinitis alergika dapat terjadi penyumbatan
tuba Eustachius. Hal ini menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah
sehingga membran timpani retraksi dan menyebabkan pasien merasa
nyeri, tahap ini disebut stadium oklusi. Berlanjut pada tahap hiperemis
dimana membran timpani tampak pembuluh darahnya melebar serta
edema. Sekret telah terbentuk namun masih sukar dilihat. Pada saat
stadium supurasi membran timpani menonjol ke arah telinga luar akibat
edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial, serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Apabila
tidak ditangani dan tekanan di telinga tengah tidak berkurang terjadilah
iskemia, tromboflebitis dan nekrosis mukosa serta submukosa. Di tempat
ini akan terjadi ruptur dan cairan yang tertumpuk pada kavum timpani
akan mengalir ke telinga luar. Tidak menutupnya membran timpani pada
stadium resolusi berlanjut pada penyakit otitis media supuratif kronis
(OMSK) bila sudah lebih dari 2 bulan atau 8 minggu. Cairan kental,
kuning, dan berbau busuk menandakan adanya infeksi pada telinga tengah
yang merupakan invasi dari nasofaring melalui tuba auditiva. Lamanya
pasien sejak mengeluhkan cairan keluar dari telinga 1 tahun yang lalu

31

dapat menandakan pasien menderita otitis media supuratif kronis.


(Mansjoer,2007)
2. PEMERIKSAAN KLINIS THT
1. Pemeriksaan pendengaran sederhana
Pemeriksaan ini terdiri dari tes Rinne, tes Weber, dan tes
Schwabach. Pada tes Rinne, pemeriksa memegang garpu tala, di mana
pangkal garpu tala ditempelkan pada mastoid dan kemudian
dipindahkan ke depan liang telinga luar. Pasien lalu menentukan, pada
posisi mana ia mendengar bunyi yang lebih keras. Normalnya,
hantaran udara melalui liang telinga dan telinga tengah terdengar lebih
keras (rinne positif), pada tuli konduktif sedikitnya 25 dB, hantaran
tulang terdengar lebih keras (Rinne negatif).
Pada tes Weber, garpu tala diletakkan pada tengah-tengah dahi
pasien. Pada keadaan normal dan gangguan pendengaran bilateral,
bunyi garpu tala terdengar sama kuat di kedua sisi. Pada tuli konduktif
telinga tengah, pasien merasakan bunyi yang lebih keras di telinga
yang sakit, sedangkan pada tuli sensorineural, terjadi lateralisasi bunyi
ke arah yang normal.
Pada tes Schwabach, garpu tala ditempatkan pada mastoid
penderita, bila ia sudah tidak mendengar suara garpu tala, garpu tala
dipindahkan ke mastoid pemeriksa. Nilai schwabach akan normal, jika
pemeriksa tidak akan mendengar suara mendenging lagi, artinya
hantaran tulang penderita baik. Jika hantaran tulang buruk, nilai
Schwabach akan memendek/tidak normal.
2. Pemeriksaan otoskopi
Otoskopi merupakan pemeriksaan spesifik yang dikerjakan di
meatus acusticus externus dan gendang telinga dengan mikroskop atau
endoskop telinga. Lengkungan liang telinga pertama kali perlu
dibandingkan kanan-kiri dengan menggerakkan alat pemeriksa di luar
daun telinga ke arah postero-superior (pada anak-anak telinga ditarik
ke arah posterior atau postero-inferior). Setelah alat pemeriksa
dimasukkan benar-benar, liang telinga harus diinspeksi. Sebelumnya
liang telinga dibersihkan terlebih dahulu oleh pemeriksa dengan
mempertimbangkan adanya perforasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan

32

oleh pemeriksa antara lain: pembentukan secret (serumen), keadaan


kulit, dan penyempitan patologis. Normalnya, gendang telinga
berwarna abu-abu muda dan tampak transparan. Selain umbo, refleks
cahaya dapat terlihat di kuadran antero-inferior dengan bantuan lampu
pemeriksa. Perubahan patologis tergambar dari retraksi, benjolan,
pembentukan vesikel, perforasi, dan perubahan warna.
Pada pemeriksaan ini pula dapat dibedakan jenis otitis media
berdasarkan perforasi pada membran timpani, yang terdiri dari
perforasi sentral, marginal, dan atik. Gambaran yang terlihat pada
perforasi sentral adalah: tampak perforasi yang letaknya sentral pada
pars tensa, dapat berbentuk bundar, oval, bentuk ginjal, atau hati.
Perforasinya dapat subtotal atau total, masih terlihat pinggir membran
timpani (anulus tympanicus) melalui perforasi tampak mukosa cavum
tympani tampak pucat, bila disertai eksaserbasi akut, maka warnanya
berubah menjadi merah dan jarang terdapat granulasi atau polip.
Gambaran otoskopi pada perforasi marginal adalah tampak perforasi
yang letaknya marginal, pada pars tensa belakang atas biasanya besar,
atau pada pars flaccida depan atau belakang (kecil), prosesnya bukan
hanya mukosa cavum tympani dan tulang-tulang pendengaran ikut
rusak, tetapi juga terdapat granulasi dan polip, anulus tympanicus
tidak tampak lagi, dan terdapat nekrosis tulang pendengaran,
sedangkan pada perforasi atik, perforasinya hanya terjadi di pars
flaccida. (Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz, 2006).
3. Pemeriksaan audiometri
Pemeriksaan audiometri dibedakan menjadi pemeriksaan
subjektif dan pemeriksaan objektif. Pada pemeriksaan audiometri
ambang nada, dokter memeriksa secara terpisah ambang pendengaran
untuk hantaran udara (dengan earphone) maupun hantaran tulang
(dengan pemasangan probe ultrasonik yang bergetar pada mastoid)
untuk kedua telinga. Pada pemeriksaan tersebut, masing-masing

33

ambang pendengaran spesifik untuk setiap frekuensi dicatat dalam


suatu grafik. Dengan menghubungkan setiap titik ambang, pada
pendengaran normal akan diperoleh suatu garis horizontal yang
kongruen untuk hantaran udara dan tulang. Pada penyakit telinga, akan
menimbulkan gangguan pendengaran yang khas di daerah berfrekuensi
tinggi atau rendah dan menimbulkan perubahan grafik yang khas.
Pada audiometri bicara, pasien melakukan permainan kata dan
berhitung dengan kata yang mempunyai banyak suku kata dan kata
yang mempunyai satu kata melalui alat pendengar. Pemeriksa, setiap
kali meninggikan intensitas bunyi di setiap urutan tes. Dengan
menentukan persentase kata-kata dan jumlah yang dipahami, rasio
pemahaman bahasa dalam keadaan normal tetap dinilai. Oleh karena
itu, jumlah yang mempunyai dua karakter memberikan informasi
mengenai area nada rendah dan kata-kata yang mempunyai satu suku
kata dan banyak konsonan menunjukkan area nada tinggi. Bila tidak
semua kata dengan satu suku kata dapat dipahami meski intensitas
audiometri maksimal, pasien mengalami gangguan diskriminasi.
Pada pemeriksaan impedansi, dokter menutup liang telinga
terlebih

dahulu,

selanjutnya

pemeriksa

mengukur

perubahan

impedansi melalui suatu timpanogram. Compliance (kebalikan dari


impedansi) akan optimal bila rasio tekanan di liang telinga luar sama
dengan rasio tekanan di telinga tengah, dan akan memburuk pada
peningkatan atau penurunan tekanan di liang telinga luar. Jika
terbentuk suatu tekanan negatif pada gangguan ventilasi tuba di telinga
tengah, compliance maksimal baru tercapai pada pemberian tekanan
negatif yang setara. Pada otitis media serosa, compliance melalui
cairan di cavitas tympani menurun, meskipun tekanan diberikan pada
telinga luar.
Audiometri reaksi elektrik. Melalui stimulasi cochlea dengan
rangsang akustik, perubahan potensial aksi akan tercetus di sepanjang

34

jaras auditorik, yang dapat dideteksi dengan elektroda. Elektroda dapat


dipasang secara invasif pada promontorium dengan elektroda jarum
atau non-invasif pada batang otak dan area korteks dengan elektroda
permukaan. Masa laten antar-potensial akan memberikan petunjuk
mengenai lokasi suatu kelainan, misal neurinoma akustikus pada
pemanjangan masa laten antara cochlea dan batang otak. Pemeriksaan
ini dilakukan pula pada pasien narkosis, pemeriksaan diagnostik bayi
dan anak-anak untuk menentukan ambang pendengaran, hidrops
endolimfe pada penyakit Meniere melalui promontorium.
Emisi otoakustik. Sel-sel rambut luar organ Corti terstimulasi
untuk berkontraksi oleh rangsang suara sehingga memperkuat
rangsangan sel-sel rambut dalam melalui membrane tectoria. Energi
kontraksi ini akan diteruskan melalui telinga tengah sampai meatus
acusticus externus, dan di tempat tersebut dapat terdeteksi sebagai
sinyal suara dengan bantuan mikrofon yang sangat sensitif. Pada
sepertiga pasien, suatu kontraksi spontan sel-sel rambut luar dapat
terdeteksi tanpa rangsang dari luar (emisi otoakustik spontan). Jika
tidak terdapat emisi otoakustik, dinyatakan ada gangguan pendengaran
di telinga dengan intensitas di atas 30 dB karena adanya kerusakan selsel rambut luar.
Pada pemeriksaan audiometri, penderita otitis media biasanya
didapatkan tuli konduktif, tetapi dapat juga tuli sensorineural, beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pendengarannya. Perubahan grafik
juga terlihat nyata pada otitis media. (Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna
dan Latz, 2006).
4. Pemeriksaan vestibular
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa pusing (vertigo)
yang dirasakan pasien secara objektif, menentukan lokasi lesi, serta
kemampuan fungsi organ vestibular. Pada pemeriksaan Romberg,

35

pasien berdiri dengan mata tertutup dan kedua lengan ke depan, dan
kemudian dengan kepala yang dimiringkan, dan kemudian berdiri
dengan satu kaki. Pemeriksa memperhatikan arah kecenderungan
jatuhnya pasien.
Pada pemeriksaan Unterberger, pasien berbaris dan berjalan di
tempat dengan mata tertutup pada satu posisi. Pada defisit vestibular
perifer, pasien akan berbelok ke sisi yang sakit.
Pemeriksaan nistagmus. Untuk menyingkirkan fiksasi optic
(yang menimbulkan supresi nistagmus), pasien memakai kacamata
pembesar bayangan (kacamata Frenzel). Pemeriksaan alternative
adalah elektronistagmografi (ENG),yang merekam suatu elektroda
pada nistagmus dengan mata tertutup. Pada pemeriksaan ini, ENG
menggunakan sifat dipol kornea (muatan positif) dan retina (muatan
negatif). Nistagmus yang terjadi hanya ke satu arah menunjukkan
suatu lesi perifer. Bila arah nistagmus berubah-ubah menurut tatapan,
biasanya ada gangguan vestibuler sentral. Nistagmus provokasi
tercetuskan

dengan

mengangguk-anggukkan

kepala.

Dengan

pemeriksaan nistagmus kalori, setiap labirin di setiap sisi diperiksa.


Masing-masing telinga diisi dengan air dingin atau air hangat pada
pasien yang terlentang dengan kepala yang dimiringkan. Pada keadaan
fisiologis, air dingin mencetuskan suatu nistagmus pada sisi yang
berlawanan dan air hangat pada sisi yang sama. Penurunan atau tidak
adanya eksitabilitas yang bersifat patologis biasanya menunjukkan
suatu gangguan perifer.
5. Pemeriksaan radiologi telinga
Untuk memperlihatkan

os

petrosa

secara

jelas

pada

pemeriksaan rontgen, perlu teknik pengambilan gambar khusus.


Teknik pengambilan gambar menurut Schuller terutama bertujuan
untuk menilai processus mastoideus, liang telinga luar dan dalam, serta
articulation tempromandibularis. Pada teknik pengambilan gambar

36

menurut Stenvers, karakteristik terletak pada penggambaran susunan


labirin dan liang telinga dalam. CT scan digunakan untuk
memperlihatkan fraktur petrosa dan malformasi telinga tengah. Selain
itu, MRI digunakan untuk pemeriksaan tumor (neurinoma akustik) dan
penilaian keadaan telinga dalam. Dengan pemberian zat kontras,
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) pada tumor dapat
terlihat, demikian pula gambaran vaskulernya.
Pemeriksaan radiologi daerah mastoid pada otitis media, nilai
diagnostiknya terbatas dibandingkan audiometri dan otoskopi.
Pemeriksaan radiografi menunjukkan mastoid yang tampak sklerotik,
lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit, dibandingkan dengan
mastoid kontralateral yang berisi udara (gambaran hitam pada
radiografi). Erosi tulang, terutama atik memberikan kesan pada
kolesteatom. (Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz, 2006).
6. Pemeriksaan rhinoskopi
Rhinoskopi anterior merupakan alat dasar untuk pemeriksaan
paling spesifik yang berkaitan dengan patologi pada daerah sinonasal.
Pada pemeriksaan tersebut, pemeriksan menggunakan suatu speculum,
yang dimasukkan ke dalam hidung, dalam keadaan tertutup dan dibuka
secara hati-hati di dalam hidung. Dengan sedikit menekuk kepala ke
depan, dasar hidung dan bagian bawah hidung dapat terlihat dengan
jelas. Sebelum dekongesti, pemeriksa hanya mengevaluasi permukaan
nasus anterior. Setelah pemakaian dekongesti, middle turbinate dapat
dievaluasi dengan jelas.
Endoskopi mampu menilai conchae nasales dan bagian
posterior hidung yang secara klinis. Pemeriksaan ini menggantikan
rhinoskopi posterior yang tidak nyaman bagi pasien. Endoskopi
hidung terutama digunakan untuk inspeksi nasofaring, termasuk muara
tuba auditiva dan choanae serta menilai kompleks osteomeatal
bersama dengan lubang-lubang muara. Akan tetapi, pemeriksaan

37

langsung non-invasif tidak mungkin dilakukan karena yang dapat


dicapai hanya sinus sphenoidalis dengan serat optik yang kecil melalui
ostium di hidung bagian atas.
Skin prick test. Tes cukit kulit merupakan salah satu jenis tes
kulit sebagai alat diagnosis untuk membuktikan adanya IgE spesifik
yang terdapat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada sel mast
menyebabkan terlepasnya histamine dan mediator lainnya yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah sehingga timbul kemerahan dan benjolan pada kulit. Tes ini juga
sekaigus menyingkirkan dugaan rhinitis alergika. (Parwati, 2004)
Tes ini sangat popular, cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif
aman, jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi
sistemik, dapat dilakukan banyak dalam satu sisi, mempunyai korelasi
baik dengan IgE spesifik. Tes kulit dilakukan dengan meneteskan
antigen pada kulit kemudian ditusukkan jarum nomor 26,5 dengan
sudut 45 dan epidermis diangkat sehingga dengan tusukan yang
kecil beberapa mikroliter cairan akan masuk ke epidermis bagian luar.
Reaksi dibaca dalam 15-20 menit, dan hasilnya ditulis dengan gradasi
dari negatif (-) sampai positif empat (+4).
Metode yang dilakukan untuk interpretasi skin prick test
dikenal dengan metode Pepys, yaitu membandingkan bentol yang
terjadi pada masing-masing ekstrak alergen dengan menggunakan
kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline).
Penilaian
:
+1
: benjolan lebih besar daripada kontrol negatif dan atau
terdapat eritema
+2
: benjolan lebih kecil dari kontrol positif, tetapi 2 mm lebih
besar dari
kontrol negatif
+3
: benjolan sama besar dengan kontrol positif
+4
: benjolan lebih besar dari kontrol positif
7. Pemeriksaan faringoskopi

38

Faringoskopi adalah pemeriksaan faring dengan menggunakan


endoskop. pada pemeriksaan faring ditemukan mukosa hiperemi yang
menandaskan bahwa daerah faring berwarna, disebabkan kumpulan
nanah atau pus yang menyebar melalui tuba auditiva sebagaimana
penyebaran kuman penyebab otitis media.
3. Mengapa cairan kental bening berubah menjadi kental kuning dan
berbau ?
Seperti yang telah dijelaskan, pasien setahun yang lalu kemungkinan
besar menderita otitis media. Akan tetapi, karena mungkin pasien tidak
melakukan pengobatan atau pengobatan setahun yang lalu tidak adekuat,
telinga tengah pasien tetap mengeluarkan cairan, ditambah daya tahan
tubuh pasien yang lemah dikarenakan pasien mempunyai alergi terhadap
debu dan terpajan setiap hari. Karena penyakit yang dideritanya sudah
mencapai kronis, maka keadaan sekret yang keluar pun berbeda
dibandingkan setahun yang lalu, yakni kuning, kental dan berbau busuk
yang juga dapat menandakan adanya infeksi pada telinga tengah yang
merupakan invasi dari nasofaring melalui tuba auditiva (Balqis, 2011)
4. Penyakit yang menimbulkan keluhan hidung tersumbat
Ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan keluhan berupa hidung
tersumbat, yaitu :
a. polip hidung
massa lunak berwarna putih keabu-abuan yang mengandung banyak
cairan, terjadi karena inflamasi pada mukosa hidung.
b. kelainan septum
kelainan septum dapat berupa deviasi septum (salah satu rongga
hidung menyempit), hematoma septum ( akibat terjadi pecah
pembuluh darah submukosa di rongga hidung), abses septum (terjadi
karena adanya infeksi pada hematoma septum)
c. rhinitis alergi
terjadinya inflamasi yang disebabkan karena proses alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi.

39

d. rhinitis vasomotor
kelainan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi alergi,
eosinifilia, perubahan hormonal atau pajanan obat.
e. rhinitis medikamentosa
kelainan hidung yang disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan
Dari penjelasan sedikit diatas, dapat diketahui bahwa pasien
tidak menunjukan adanya penyakit polip hidung, kelainan septum dan
rhinitis medikamento, karena pada pemeriksaan rinoskopi tidak
ditemukan adanya polip tetapi hanya ditemukan sekret dan konka yang
mengalami hipertrofi. Pada kelainan septum, keluhan hidung
tersumbat akan terjadi unilateral atau bilateral tetapi bersifat menetap
atau tidak bergantian antara kanan kiri. Sedangkan tidak di sebutkan
bahwa pasien sebelumnya menggunakan secara berlebihan obat untuk
rongga hidung.
Untuk menegakkan diagnosis antara rhinitis alergi atau
vasomotor damat dilakukakn pemerikaan tambahan. Pada skenario
disebutkan bahwa pasien sering pilek disertai dengan hidung
tersumbat bergantian antara kanan dan kiri jika terpapar debu. keluhan
yang dipicu adanya paparan tersebut dapat di indikasikan dilakukan uji
sensitvitas untuk mengetahui apakah pasien memiliki alergi pada debu.
Proses terjadinya sumbatan karena alergi dapat disebabkan karena saat
terjadi rangsangan oleh alergen akan mengaktifkan respon imun
sehingga terlepas mediator kimia, salah satunya adalah histamin.
Histamin dapat menyebabkan efek gatal pada hidung dan hipersekresi
sel goblet dan kelenjar mukosa. Selain itu, terjadi vasodilatasi
pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan konka membesar
(hipertrofi) dan livid. Perubahan antara kanan dan kiri dapat
dipengaruhi oleh posisi tubuh, dimana akan berpengaruh pada

40

meningkatnya aliran darah pada konka yang lebih rendah sehingga


akan menyebabkan sumbatan pada rongga hidung.
5. TERAPI DAN EDUKASI PADA PASIEN Otitis Media Supuratif
Kronis et causa rinitis alergi rhinosinusitis maxillaris
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan sebagai dokter umum pada
pasien ini meliputi konseling mengenai keluarnya cairan dari telinga
kanan membutuhkan waktu untuk sembuh, sehingga perlu pemeriksaan
dan perawatan telinga secara berkala, konseling oral hygiene yang buruk
dapat menyebabkan infeksi kuman dan penjalaran kuman ke telinga
sehingga diajarkan cara oral hygiene yang benar.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi,
dimana pengobatan dapat dibagi atas :
a. Konservatif
b. Operasi
Pada pasien dalam skenario tersebut, pasien termasuk dalam
klasifikasi otitis media akut supurative kronis tipe benigna aktif sehingga
prlu dilakukan pembersihan liang telinga dan kavum timpani serta
peberian antibiotika topikal dan sistemik.
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang
banyak tanpa dibersihkan dulu, merupakan penatalaksaan yang tidak
efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid.
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai
telinga tengah, maka dari itu tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik
misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan
antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur kuman penyebab
dan uji resistesni.

41

Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk


OMSK aktif yang dikombinasi dengan pembersihan telinga. Antibiotika
topikal yang dapat digunakan untuk OMSK adalah :
a. Polimiksin B atau polimiksin E : Obat ini bersifat bakterisid terhadap
kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla, Enterobakter,
tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis Toksik
terhadap ginjal dan susunan saraf.
b. Neomisin:

Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif,

misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua


anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.
c. Kloramfenikol : obat ini bersifat bakterisid.
Antibiotik sistemik yang dapat digunaka untuk penatalaksanaan OMSK :
Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu
diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya
bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak
kuman terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dengan kuinolon.
Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya
bunuhnya paling baik.
Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan
ini, misalnya golongan beta laktam. Terapi antibiotik sistemik yang
dianjurkan pada Otitis media kronik adalah:
Pseudomonas : Aminoglikosida karbenisilin
P. mirabilis : Ampisilin atau sefalosforin
P. morganii, P. vulgaris : Aminoglikosida Karbenisilin
Klebsiella : Sefalosforin atau aminoglikosida
E. coli : Ampisilin atau sefalosforin

42

S. Aureus Anti-stafilikokus : penisilin, sefalosforin, eritromisin,


aminoglikosida
Streptokokus : Penisilin, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
B. fragilis : Klindamisin
Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin, dan ofloksasin)
yaitu dapat derivat asam nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti
pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan
untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan sefalosforin
generasi III ( sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson) juga aktif
terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral. Terapi
ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti
cukup, meskipun dapat mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai
efek bakterisid untuk kuman anaerob. Menurut Browsing dkk
metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik (sefaleksin
dan kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama
2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.

6. EDUKASI PASIEN DALAM SKENARIO :


Karena didapatkan dignosis otitis media krons et causa riniti alergi
rhinosinusitis maxillaris, dokter harus menjelaskan edukasi untuk upaya
preventif timbulnya lagi peyakit pada pasien, edukasi yang dapat
diberikan :
6. Jangan terlalu sering mengorek telinga baik menggunakan jari tangan
maupun menggunakan benda asing seperti cotton bud.
7. Diusahakan agar jangan sampai air masuk telinga pada saat mandi
8. Menghindari aktivitas yang memerlukan telinga kontak dengan air
seperti berenang.
9. Menhindari paparan debu yang dapat menyebabkan rinitis alergi.

43

10. Melakukan perbaikan oral hygiene seperti rajin menggosok gigi,


melakukan pemeriksan ke dokter gigi sebulan sekali.
11. Segera berobat apabila menderita infeksia salurn nafas atas seperti
batu pilek.
7. Komplikasi
OMSk mampu menyebabkan mastoiditis kronik melalui penyebaran
perkontonuitatum. Erosi dinding auris media dan rongga mastoid,
menyebabkan terpaparnya nervus fascialis, bulbus jugularis, sinus
lateralis, labyrinthus membranaceous dan lobus temporalis. Hal ini
akhirnya akan menyebabkan komplikasi seperti paralysis nervus fascialis,
thrombosis sinus lateralis, labyrinthitis, meningitis dan abses otak.
Penyebaran perkontinuitatum atau hematogen ke otak, menghasilkan efek
yang hampir sama, komplikasi yang fatal atau kelumpuhan beberapa
fungsi secara permanen. Selain itu, pasien juga sering mengalami tuli
konduktif berat atau sedang. Gangguan pendengaran berada di 30 dB
sampai 60dB, jika lebih dari itu menandakan proses infeksi sampai pada
cochlea atau nervus.
Komplikasi OMSK dibagi menjadi 2 grup: intratemporal dan
intrakranial. Intratemporal berupa: petrsitis, paralysis fascialis dan
labyrinthitis. Komplikasi intrakrania berupa: thrombophlebitis sinus
lateralis, meningitis dan abses intrakranial.yang lainnnya berupa:
hilangnya pendengaran, choleasteatoma dan tympanosclerosis.
Petrositis. Terjadi ketika infeksi melebar dari auris media dan os
mastoid sampai ke apex pertis petrosae. Pasien memiliki syndrom
Gradenigo (nyeri retro orbital, otorhea, abducens palsy).
Paralysis nervus fascialis. Bisa terjadi pada OMSK dengan atau
tanpa cholesteatoma.
Labyrinthitis. Terjadi ketika infeksi mencapai auris interna.
Labyrinthitis, terbagi 4 kategori: serous akut dengan gejala vertigo dan
tuli, supurativ akut dengan gejala tinitus, vertigo dengan mual dan

44

muntah, kronik dengan gejala tinitus, vertigo dan tuli secara bertahap dan
sklerosis labyrinthine menyebabkan adanya pegganti jaringan fibrous dan
tulang baru
Lateral sinus thrombophlebitis. Terjadi

ketika infeksi menyebar

melalui os mastoidea ke sinus sigmoidea. Trombus infeksi mungkin


menyebabkan sepsis emboli dan menyebabkan infark distal. Pasien
mengalami perubahan status mental, sakit kepala, nyeri retroaurikular,
oedema postaurikular dan demam.
Meningitis, berkembang akibat penyebaran infeksi secra langsung
atau secara hematogen.
Abses intrakranial

dapat

terjadi

ekstradural,

subdural

dan

parenkimal. Ekstradural abses terjadi dengan tanda gejala meningitis atau


asymptomatic. Subdural abses sangat menyakitkan deng tanda meningeal,
hemiplegia. Abses parenkimal terjadi dengan penyebaran melalui tegmen
tympani atau tegmen mastoideum ke lobus temporalis atau cerebellum.
Perjalanna penyakit adalah indolen, yang artinya penyakit ini secara diamdiam tumbuh di area otak.
Prognosis OMSK baik dengan kontrol dari infeksinya. Untuk
penyembuhan dari gangguan pendengaran tergantung pada penyebabnya.
Tuli kondukif sering bisa disembuhkan dengan operasi. Mortalitas dari
OMSK berhubungan dengan komplikasi intrakranial.
8. Hubungan oral hygine dengan keluhan
Oral hygiene adalah tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan
mulut, gigi dan gusi (Clark, dalam Shocker, 2008). Dan menurut Taylor, et
al (dalam Shocker, 2008), oral hygiene adalah tindakan yang ditujukan
untuk menjaga kontinuitas bibir, lidah dan mukosa mulut, mencegah
infeksi dan melembabkan membran mulut dan bibir. Sedangkan menurut
Hidayat dan Uliyah (2005), oral hygiene merupakan tindakan keperawatan
yang dilakukan pada pasien yang dihospitalisasi. Tindakan ini dapat
dilakukan oleh pasien yang sadar secara mandiri atau dengan bantuan
perawat. Untuk pasien yang tidak mampu mempertahankan kebersihan

45

mulut dan gigi secara mandiri harus dipantau sepenuhnya oleh perawat.
Menurut Perry, ddk (2005), pemberian asuhan keperawatan untuk
membersihkan mulut pasien sedikitnya dua kali sehari.
Tujuan utama dari kesehatan rongga mulut adalah untuk mencegah
penumpukan plak dan mencegah lengketnya bakteri yang terbentuk pada
gigi. Akumulasi plak bakteri pada gigi karena hygiene mulut yang buruk
adalah faktor penyebab dari masalah utama kesehatan rongga mulut,
terutama gigi. Kebersihan mulut yang buruk memungkinkan akumulasi
bakteri penghasil asam pada permukaan gigi. Asam demineralizes email
gigi menyebabkan kerusakan gigi (gigi berlubang). Plak gigi juga dapat
menyerang dan menginfeksi gusi menyebabkan penyakit gusi dan
periodontitis. Banyak masalah kesehatan mulut, seperti sariawan, mulut
luka, bau mulut dan lain-lain dianggap sebagai efek dari kesehatan rongga
mulut yang buruk. Sebagian besar masalah gigi dan mulut dapat dihindari
hanya dengan menjaga kebersihan mulut yang baik (Forthnet, 2010).
Hubungan dengan gangguan pada telinga adalah apabila oral hygine
pada pasien buruk dan terjadi infeksi pada daerah mulut maka bakteri akan
mudah masuk melalui saluran tuba eustachius maupun lewat infeksi
hematogen, bakteri masuk ke auris media sehingga menimbulkan
manifestasi klinis pada telinga

46

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan skenario dan hasil diskusi, dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami otitis media supuratif kronis.
Pasien mengeluhkan keluarnya cairan kental, kuning, bau dari telinga.
Cairan terdebut mengindikasikan adanya infeksi (supuratif). Pasien telah
mengalami ini sejak setahun yang lalu, sehingga infeksi yang diderita
merupakan infeksi kronis.
B. SARAN
Pasien segera melakukan terapi untuk mengobati otitis media kronik
supuratif kronik dengan miringoplasti, timpanoplasti, atau terapi lainnya agar
pneykit tidak semakin parah.

47

Pasien harus mendeteksi gangguan lain diluar dari gangguan pada


telinga tengahnya, karena telinga, hidung, dan tenggorokan saling
berhubungan dan mempengaruhi.

DAFTAR PUSTAKA
Zainul A.D., Helmi, Ratna D.R. (2012) Kelainan telinga tengah. Efiaty A.R.,
Nurbaiti I.,
Jenny B., Ratna D.R (Ed). Buku ajar ilmu kesehatan: Telinga hidung
tenggorok kepala & leher. (pp. 57-69). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Indro S., Hendarto H., Jenny B. (2012) Gangguan pendengaran (tuli). Efiaty
A.R., Nurbaiti I., Jenny B., Ratna D.R (Ed). Buku ajar ilmu kesehatan:
Telinga hidung tenggorok kepala & leher. (pp. 10-22). Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-62
Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of
ototopical antibiotics for chronic suppurative otitis media in Aboriginal

48

children:

community-based,

multicentre,

double-blind

randomised

controlled trial. Medical Journal of Australia. 2003


Balqis, Nora. 2011. Gambaran otitis media supuratif kronik di RSUP. H.Adam
Malik tahun 2008. http://www.repository.usu.ac.id (Diakses tanggal 28
Agustus 2013)
Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar Ilmu THT. edisi 2. Jakarta: EGC. 2011
Mirawati DK, Widjojo S, Suroto, Sudomo A, Hartanto OS, Risono, Wulandari
S, dkk. Neurologi. Dalam Buku Pedoman Keterampilan Klinis Semester 3.
Surakarta : FK UNS. 2013
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31597/4/Chapter%20II.pdf
(diakses tanggal 7 September 2014 jam 13.47 WIB).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33916/4/Chapter%20II.pdf
(diakses tanggal 7 September 2014 jam 13.46 WIB ).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31726/4/Chapter%20II.pdf
(diakses tanggal 7 September 2014 jam 12.20 WIB)
Isdaryanto (2014). Slide kuliah histologi telinga. Solo: FK UNS
Isdaryanto (2014). Slide kuliah histologi hidung. Solo: FK UNS
FMIPA UNM (2008). Makalah histologi sistem pernafasan manusia. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (eds) (2014). Buku ajar
ilmu kesehatan: telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
VEDA (2014). Causes of dizziness: Dizziness, vertigo, disequilibrium.
Vestibular

Disorder

Association.

http://vestibular.org/node/2

Diakses

September 2014.
WHO. 2004. Chronic Suppurative Otitis Media: Burden of Illness and
Management

Option.

http://www.who.int/pbd/publications/Chronicsuppurativeotitis_media.pdf
diakses September 2014

49

Medscape. 2013. Chronic Suppurative Otitis Media Clinical Presentation.


http://emedicine.medscape.com/article/859501-clinical#a0256 diakses pada
September 2014

50

Anda mungkin juga menyukai