Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Sebagai salah satu bentuk aktifitas ekonomi, kafalah atau jaminan


menjadi hal yang amat sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai transaksi
ekonomi demi memenuhi kebutuhan. Dalam Islam, kafalah, selain dilakukan oleh
masyarakat secara urf, juga dapat ditemukan dasar-dasarnya secara syariyah
sebagaimana ditemukan aktifitas kafalah yang direkam dan dijustifikasi oleh alQuran, al-Hadis, dan juga telah menjadi ijma ulama.
Seiring perkembangan zaman, kafalah pun mengalami perkembangan
dan modifikasi sebagaimana terlihat dalam aktifitas ekonomi modern bersangkut
paut dengan penerapannya dalam masyarakat secara langsung maupun melalui
dunia perbankan dalam rangka memenuhi kebutuhan dengan tetap berada dalam
bingkai syariah.
Ibnu Rusyd sebagai tokoh yang menguasai berbagai macam ilmu
pengetahuan, merasa prihatin dengan adanya berbagai macam bentuk perselisihan
mengenai hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, ia menulis kitab Bidayatul
Mujatahid dengan membandingkan beberapa pemikiran tokoh-tokoh tertentu.
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai kafalah. Pembahsan
mengenai kafalah dikemas oleh Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat
beberapa tokoh lengkan dengan argumentasi untuk menguatkan pendapat tersebut.
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Ibnu Rusyd?
2. Bagaimana karakteristik kitab Bidayatul Mujtahid?
3. Bagaimana pandangan tentang kafalah?

PEMBAHASAN
I. Biografi Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd lahir pada tahun 1226 M di Cordova (Spanyol). Nama


lengkapnya adalah Abul Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
1 | Bidayatul mujtahid

Rusydi. Di barat, ia dikenal sebagai Averrous. Ibnu Rusyd mempunyai keluarga


yang terkenal memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan dan
tergolong keluarga masyhur di kota Cordova. Oleh karena itu, Rusyd kecil tidak
seperti anak-anak seusianya. Ia menghabiskan waktu kecilnya untuk mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan, seperti al-Quran, tafsir, hadits, fiqh, dan beberapa
ilmu eksak seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Hal
inilah yang menyebabkan ia dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan.
Pada usia remaja, Ibnu Rusyd menuntut ilmu dengan berbagai ulama,
diantaranya Abu Bakar bin Samhun, Abu JAfar bin Abdul Aziz, dan Abdullah alMaziri. Para ulama tersebut, pada masa itu adalah termasuk fuqaha yang
menonjol untuk kawasan Andalusia. Kecerdasan Ibnu Rusyd yang tidak dimiliki
oleh orang lain, membuat dirinya tidak ingin hanya terkukung dalam bidang fiqh
dan kalam, seperti tradisi keluarganya. Namun, ia ingin memperluas ilmu
pengetahuan dengan mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karyakarya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892)
karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5
judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4
judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan
sastra.1
II. Karakateristik Kitab Bidayatul Mujtahid
1. Gambaran umum kitab bidayatul Mujtahid

Ushul yang diintegrasikan dengan fiqih dalam kitab Bidayatul Mujtahid


mempunyai keistimewaan dibanding dengan karya ushul fiqh dan fiqh yang
ditulis oleh ulama, baik sebelum maupun sesudah Ibnu Rusyd. Dalam kitab
tersebut, Ibnu Rusyd menerapkan teori ushul fiqh sekaligus produk hukum
(istinbath) dari masing-masing mazhab secara singkat dan integral. Oleh karena
itu, Thaha Abdurrauf Saad dalam pengantar tahqiqnya berani menyatakan bahwa
mutu dalam kitab Bidayatul Mujathid, secara metodologis maupun jangkauan
kelengkapan pembahasan tidak tertandingi oleh karya lain dalam disiplin ilmu
yang sama.2
1 http://
2 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 1 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) hlm: xlviii

2 | Bidayatul mujtahid

Ibnu Rusyd yang sangat populer di Barat dan di Timur, mengutip pendapat
imam empat secara jeli dengan studi banding, bahkan melampaui mahzab lain di
luar mahzab empat. Ia tidak hanya mengutip, tetapi juga memberikan opini
terhadap aneka pendapat tersebut dengan berdasarkan pada ayat-ayat al-Quran,
al-Hadits, ijma dan qiyas, bahkan sampai pada Mashalih al-mursalah, istihsan
dan urf. Tujuan penulisan kitab tersebut adalah untuk menganalisa kebenaran
masalah berdasarkan pengertian syariat yang disepakati dan yang diperdebatkan.
Selain itu juga mengungkap masalah-masalah yang terlupakan.3
2. Cakupan analisis kitab

Ibnu Rusyd dalam setiap pembahasan selalu mengemukakan obyek masalah


dengan statemen biasa atau dengan gaya pertanyaan. Kemudian ia menjawab
dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama lengkap dengan argumentasinya.
Untuk memperkuat pendapat yang paling banyak diterima oleh masyarakat Ibnu
Rusyd menggunakan istilah menurut kesepakatan umumya orang (ittafaqa annas), kesepakatan kelompok (ittafaqa qaum), kesepakatan mayoritas ulama, dan
kesepakatan fuqaha.4
Langkah berikutnya, Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat imam empat.
Pendapat-pendapat tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi singkat,
lengkap dengan argumentasi masing-masing. Untuk memperkuat masing-masing
pendapat, Ibnu Rusyd mencari legitimasi dari pendapat para sahabat dan tabiin.
Tetapi, patron dasar setiap awal mengemukakan pendapat tetap mengacu pada
pendapat para tokoh mahzab empat.
Jika ada suatu pendapat yang agak aneh, Ibnu Rusyd juga memasukkan
dalam kitab ini, dengan komentar pendapat ini saya tidak tahu cenderung ke
pendapat mahzab siapa? Jika ada pendapat yang tidak dilengkap dalil, ia
berkomentar, dalil pendapat ini saya tidak tahu. Jika ada suatu pendapat yang
dalilnya dan orang yang berpendapat tidak diketahui, ia berkomentar saya tidak
punya sikap terhadap pendapat ini. Tiga ungkapan tersebut merupakan cerminan
obyektifitas dan kejujuran Ibnu Rusyd.5 Selain itu, menurut penulis kitab
3 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 1 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) Xlix
4 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 1 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) liv
5 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 1 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) lv

3 | Bidayatul mujtahid

Bidayatul Mujtahid sudah mengikuti penulisan ilmiah, sebab sudah disetai


footnote.
III. Kafalah (Tanggungan/ jaminan)

Kafalah adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama
menanggung beban dan tanggung jawab pihak kedua untuk menyelesaikan utang,
atau menuntut harta atau menghadirkan orang yang bermasalah dengan pihak
kedua.6
1. Macam tanggungan
Tanggungan ada dua macam, yaitu tanggungan dengan jaminan diri (annafs) dan tanggungan dengan jaminan harta. Tanggungan dengan jaminan harta
ditetapkan berdasarkan sunnah dan disepakati oleh fuqaha Amshar. Sunnah yang
menjadi pegangan jumhur fuqaha dalam masalah tanggungan adalah sabda Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan Tirmidzi, yang artinya
penanggung itu menanggung kerugian.
Mengenai tanggungan dengan jaminan diri (an-nafs), yakni yang terkenal
dengan sebutan tanggungan muka, jumhur fuqaha Amshar membolehkan itu
terjadi, secara hukum syara, apabila disebabkan oleh harta benda. Fuqaha yang
membolehkan tanggungan dengan jaminan diri, selain berpedoman pada sabda
Nabi juga berpegangan bahwa tanggungan itu mengandung kebaikan, dan
penetapannya diriwayatkan pula dari masa pertama.7
Sedangkan Syafii dan Dawud mengemukakan pendapat bahwa tanggungan
itu tidak boleh. Hal ini berdasrkan firman Allah dalam QS. Yusuf: 79.
Berdasarkan beberapa argumen tersebut, Ibnu Rusyd lebih condong kepada
pendapat yang memperbolehkan adanya tanggungan. Meskipun dalam kitab tidak
disebutkan secara jelas kalimat yang menyatakan bahwa ia sependapat dengan
adanya tanggungan, namun dalam pendahuluan telah dijelaskan bagaimana cara
Ibnu Rusyd mengemukakan pendapatnya. Ia mengugkapkan argumentasinya
dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama beserta argumentasinya. Untuk
mengatakan pendapatnya, Ibnu Rusyd menggunakan kata menurut kesepakatan
fuqaha Amshar.
2. Tanggungan harta

6 Ahmad Wardi, Fiqh Muammalat (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 434


7 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002).hlm: 251-252

4 | Bidayatul mujtahid

Mengenai tanggungan dengan tanggungan harta, fuqaha sependapat bahwa


apabila orang yang ditanggung itu meninggal atau bepergian, maka penanggung
harus membayar denda. Kemudian mereka berselisih pendapat bahwa apabila
penanggung dan orang yang ditanggung sama-sama ada tempat dan sama-sama
kaya. Menurut Syafii, Abu Hanifah dan para pengikut keduanya, penuntut
mempunyai hak untuk meminta denda pada penanggung atau pada yang
ditanggung.
Sedangkan menurut Malik, dalam salah satu pendapatnya, penuntut tidak
boleh mengambil denda dari penanggung jika orang yang ditanggung ada.
Diantara argumen fuqaha yang menyatakan bahwa penuntut penanggung, baik
orang yang ditanggung bepergian atau tidak, kaya atau miskin, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud, yang artinya:
aku membawa satu tanggungan, maka aku mendatangi Nabi Saw,
kemudian aku bertanya kepada beliau mengenai tanggungan itu. Beliau
bersabda, kami akan mengeluarkan tanggungan tersebut atas namamu dari unta
sedekah. Ya Qubaishah, sesungguhnya perkara ini tidak halal kecuali pada tiga
hal. Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang lelaki yang membawa satu
tanggungan dari lelaki lain hingga ia melunasinya.
Segi pengambilan dalil dari hadits ini adalah, bahwa Nabi SAW
membolehkan penuntutan terhadap orang yang menanggung tanpa
mempertimbangkan kondisi orang yang dintanggung.8
3. Tempat (obyek tanggungan)
Mengenai obyek tanggungan, menurut pendapat kebanyakan ulama, adalah
harta. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW: pertanggungan itu
menanggung kerugian. Yakni tanggungan harta dan tanggungan diri, baik harta
tersebut bertalian dari segi harta atau dari segi hudud (kejahatan-kejahatan yang
dikenai hadd). Seperti harta yang wajib dibayarkan karena pembunuhan tidak
sengaja, pencurian yang tidak mengharuskan potong tangan, yakni dalam kadar
yang kurang dari satu nisab, ataupun disebabkan oleh perbuatan-perbuatan lain. 9
4. Masa wajibnya tanggungan

8 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) hlm: 257
9 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) hlm: 257

5 | Bidayatul mujtahid

Mengenai masa wajib tanggungan dengan jaminan harta, yakni masa


tuntutan kepada penanggung, ulama sependapat bahwa masa tersebut adalah
sesudah tetapnya hak atas orang yang ditanggung, baik berdasarkan pengakuan
atau saksi.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang masa wajibnya tanggungan
dengan jaminan diri, apakah tanggungan tersebut wajib sebelum tetapnya hak atau
tidak?
Segolongan fuqaha berpendapat bahwa tanggungan tersebut tidak wajib
sebelum tetapnya hak, berdasarkan salah satu cara tertentu. Pendapat ini
dikemukakan oleh Syuraih al-Qadhi dan asy-Syabi.
Segolongan fuqaha lagi menyatakan, berdasarkan penetapan hak, maka
penuntut harus menahan penanggung yang menjamin dirinya itu. Menurut
fuqaha Irak, sebelum penetapan hak, penjamin tidak perlu ditahan, kecuali
penuntut mengaku mempunyai bukti yang ada di kota tempat terjadinya perkara.
Silang pendapat ini disebabkan adanya pertentangan dari sisi keadilan
antara dua orang yang bersengketa. Sebab, jika hanya pengakuan hak saja tanpa
ada penanggung atau penjamin, dikhawatirkan dia akan menghilang, sehingga
merepotkan penuntutnya. Sementara jika penanggung atau penjamin itu ditahan
dikhawatirkan pengakuan hak itu tidak benar, maka hal itu akan merugikan orang
yang dituntut. Oleh karena itu, ada fuqaha yang membedakan atau memisahkan
antara saksi atau bukti yang ada dengan saksi atau bukti yang tidak ada.10
5. Macam-macam orang yang ditanggung

Tidak ditemukan perselisihan fuqaha berkenaan dengan tanggungan


terhadap mayat, apabila ia mempunyai utang tanpa meninggalkan sesuatupun
untuk melunasinya.
Malik dan Syafii memperbolehkan demikian (yakni ada orang yang
menanggung utang), sedang Abu Hanafiah tidak membolehkan. Alasannya adalah
bahwa tanggungan tidak berkaitan dengan orang yang meninggal.
Sedangkan fuqaha yang berpendapat bahwa tanggungan diharuskan bagi
orang yang meninggal beralasan dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa
pada permulaan Islam, Nabi tidak berkenan menshalati orang meninggal yang

10 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) hlm: 259

6 | Bidayatul mujtahid

masih memunyai hutang, sampai ada orang yang mau menanggung hutang
tersebut.
Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa tanggungan atau jaminan terhadap
orang yang dipenjara atau orang yang bepergian tetap sah. Tetapi menurut Abu
Hanafiah tidak sah.11
6. Syarat-syarat tanggungan
Abu Hanafiah dan Syafii mensyaratkan tanggungan atau jaminan harus
seizin orang yang ditanggung. Jika tanggungan itu dilakukan atas izin orang yang
ditanggung, maka penanggung wajib menagih hak yang telah dibayarkan
kepada orang yang ditanggung. Tetapi, Malik tidak mensyaratkan demikian.
Menurut Syafii tanggungan tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak
dikenal, dan juga boleh menanggung hak-hak yang belum tetap. Sedangkan
menurut Malik dan pengikutnya itu semua boleh dan mengikat.
Mengenai harta yang boleh dijadikan jaminan dan yang tidak boleh,
menurut Malik tanggungan tersebut boleh dengan harta yang tetap dalam
tanggungan (dzimmah). Kecuali kitabah (budak yang dijanjikan untuk merdeka)
dan harta yang tidak boleh mengalami penangguhan. 12

PENUTUP
I.

Simpulan
11 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) hlm: 260
12 Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun. Analisa Fiqh Para Mijtahid jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Amini, 2002) hlm: 260-261

7 | Bidayatul mujtahid

Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh intelektual yang menguasai berbagai


macam ilmu pengetahuan. Beliau menuangkan segala bentuk pemikirannya dalam
berbagai judul buku. Salah satu buku yang merupakan bentuk perbandingan antar
mahzab adalah Bidayatul Mujatahid. Dalam buku ini, Ibnu Rusyd mengupas
berbagai macam masalah dengan cara membandingkan antar mahzab. Salah satu
yang menjadi pokok pembahasan adalah tentang kafalah.
Kafalah adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama
menanggung beban dan tanggungjawab pihak kedua untuk menyelesaikan utang,
atau menuntut harta atau menghadirkan orang yang bermasalah dengan pihak
kedua.
Dalam masalah ini, Ibnu Rusyd memperbolehkan adanya tanggungan.
Meskipun tidak dicantumkan secara jelas, namun dalam pendahuluan telah
dicantumkan bahwa dalam mengemukakan pendapatnya, Ibnu Rusyd
menampilkan beberapa pendapat imam empat dan tokoh-tokoh lainnya beserta
argumen yang menguatkan pendapatnya. Namun, karena kitab Bidayatul
Mujathid ini merupakan analisa para mujtahid, di dalamnya banyak menampilkan
perbedaan para mujtahid. Sehingga, terkesan tidak ada pendapat dari Ibnu Rusyd
selain perbedaan pendapat dari para mujtahid.
II.

Rekomendasi
Demikian paparan materi yang dapat kami tuliskan. Kami yakin makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Sehingga, kritik dan saran
dari kawan-kawan sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk semua pembaca.

8 | Bidayatul mujtahid

Anda mungkin juga menyukai