Bab 6 Lereng Tambang
Bab 6 Lereng Tambang
BAB 6
LERENG TAMBANG
Keselamatan pekerja dan peralatan ; Dengan lereng yang mantap akan mencegah
terjadinya runtuhan lereng terhadap para pekerja dan alat tambang. lereng yang
mantap direncanakan dari perancangan yang baik dari geometri lereng, analisis
struktur geologi dan pengaruh airtanah.
Reklamasi ; Dengan perencanaan yang matang dalam operasioanl penambangan
dengan bentuk dan geometri lereng yang baik, maka pelaksanaan reklamasi
tambang dapat segera dilaksanakan. Sehingga issue tambang merupakan sebagai
perusak lingkungan dapat ditepis menjadi peubah lingkungan.
Pada Bab ini akan diuraikan tentang bagian-bagian dari lereng tambang. Hal ini sangat
terkait dengan perencanaan lereng tambang terbuka. Adapun bagian-bagian yang
akan dibahas adalah ;
1. Dasar-dasar geometri bench
2. Pit slope geometri
3. Slope failure
Gambar 6.1
Bagian-Bagian Bench
Gambar 6.2
Akumulatif Distribusi Sudut Lereng
Gambar 6.3
Penggalian pada Working bench
Catch bench
Gambar 6.4
Fungsi Catch bench
Dalam berbagai tipe bench, working bench merupakan aktivitas penambangan. Lebar
bench pada working bench (Wb) didefenisikan sebagai jarak dari crest ke floor bench
berikutnya. Lebar yang diekstraksi dari working bench disebut cut (Gambar 6.3).
Secara detail harus diperhitungkan dimensi pemotongan (cut) dan working bench.
Setelah aktivitas cut tentunya material akan ditempatkan pada bagian catch bench,
dengan lebar SB (Gambar 6.4) yang berfungsi menahan sementara hasil peledakan,
namun catch bench ini juga akan ditambang atau diledakkan.
Dalam menjaga tingkat keamanan bench (safety benches) lebar bench 2/3 dari tinggi
bench, namun untuk tambang yang memiliki umur tambang yang lama lebar bench
dapat direduksi menjadi 1/3 tinggi bench. Menurut Ritchie (1963) dan Call (1986)
rancangan geometri catch bench seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.5 dan Tabel
6.1 sebagai berikut.
Gambar 6.5
Geometri Catch bench
Tabel 6.1
Tipe Rancangan Dimensi Catch Bench (Call, 1986)
Bench Height
(m)
15
30
45
Impact Zone
(m)
3,5
4,5
5
Berm Height
(m)
1,5
2
3
Berm Width
(m)
4
5,5
8
Minimum Bench
Width (m)
7,5
10
15
Geometri bench tergantung pada produksi yang diinginkan dan alat-alat mekanis yang
digunakan. Berdasarkan alat-alat yang dipakai, maka ukuran alat shovel
mempengaruhi dimensi bench, dimana harus dipertimbangkan gerak dan jangkauan
yang cukup untuk shovel. Disamping itu juga harus diperhitungkan lebar untuk alat
angkut dan ruang untuk pengeboran (Gambar 6.6).
Gambar 6.6
Dimensi Bench dengan Kinerja Shovel dan Truck (Riese, 1993)
Gambar 6.7
Bagian-Bagian Working Bench
B
Ro
L
L1
L2
: Lebar lereng, m
: Digging radius alat muat, m
: Jarak antara sisi lereng dengan rel 3-4 m
: Lebar lori, 1,75 3 m
: Jarak untuk menjaga agar tidak terjadi runtuhan
Gambar 6.8
Face Angle Individual slope (atas) dan Overall Slope (bawah)
Pada Gambar 6.7 (bawah) terdapat 5 bench, dimana masing-masing bench memiliki
lebar bench adalah 35 ft dan tinggi bench adalah 50 ft, maka besar sudut overall slope
adalah :
(Overall) tan 1
5 x 50
50,4o
5 x 50
4 x 35
tan 75o
Bila pada Gambar 6.8 (bawah) di bench ke tiga terdapat akses ramp dengan lebar 100
ft (Gambar 6.9), maka overall slope menjadi :
(Overall) tan 1
5 x 50
39,2o
5 x 50
4 x 35
100
tan 75o
Gambar 6.9
Overall slope Terdapat Ramp
Setelah ramp terbentuk, maka dapat dilihat bahwa sudut overall slope terbagi menjadi
dua bagian. sudut overall slope yang terbentuk disebut dengan sudut interramp
(IR1,2) lihat Gambar 6.10. Besaran sudut ini dapat dihitung sebagai berikut.
5 x 50
50,40
2 x 50
25
2 x 35
Gambar 6.10
Sudut Interramp slope
Bila pada Gambar 6.7 (bawah) di bench ke dua terdapat working bench dengan lebar
125 ft (Gambar 6.11), maka besar sudut overall slope ;
(Overall) tan 1
5 x 50
5 x 50
125 4 x 35
tan 75o
36,980
Gambar 6.11
Sudut Overall Slope Terdapat Working Bench
Dari Gambar 6.11 terdapat pada bench 1 dengan ketinggian bench 50 ft, sehingga face
slope 1R1 adalah 75o, maka sudut overall slope dengan working bench adalah (1R2) ;
IR2 tan 1
4 x 50
4 x 50
125 3 x 35
tan 750
51,60
Gambar 6.12
Sudut Interramp berassosiasi dengan Working Bench
Kondisi tinggi slope dipengaruhi nilai kohesi (Tabel 6.2) dan besar sudut geser dalam
(Tabel 6.3) dari masing-masing jenis tanah dan batuan.
Tabel 6.2
Nilai Kohesi dari tanah dan batuan (Robertson, 1971)
2
2
Material
C (lb/ft )
C (kg/m )
Very soft soil
35
170
Soft soil
70
340
Firm soil
180
880
Stiff soil
450
2,200
Very Stiff soil
1,600
7,800
Very soft rock
3,500
17,000
Soft rock
11,500
56,000
Hard rock
35,000
170,000
Very hard rock
115,000
560,000
Very very hard rock
250,000
1,000,000
Tabel 6.3
Nilai Sudut Geser Dalam (derajat) dari Beberapa Batuan (Hoek, 1970)
Rock
Intack Rock
Joint
Residual
Andesite
45
31 - 35
28 30
Basalt
48 - 50
47
Chalk
35 41
Diorite
53 - 55
Granite
50 - 64
31 33
Graywacke
45 - 50
Limestone
30 - 60
33 37
Monzonite
48 - 65
28 32
Porphyry
40
30 34
Quartzite
64
44
26 35
Sandstone
45 50
27 38
25 34
Schist
26 70
Shale
45 64
37
27 32
Siltstone
50
43
Slate
45 - 60
24 34
Material lainnya
Approximate
Clay gouge (remoulded)
10 - 20
Calcite shear zone material
20 27
Shale fault material
14 22
Hard rock breccia
22 30
Compacted hard rock agregatte
40
Hard rock fill
38
Hubungan tinggi slope dengan fungsi sudut slope dalam kasus planar failure dapat
dilihat pada Gambar 6.13. Sebagai contoh, sudut plane (i) sebesar 70 o, potensi
longsoran/failure plane () sebesar 50o dan sudut geser dalam () sebesar 30o. Dari
Gambar 6.13 diperoleh ;
(
(
)(
)
)(
X = 40o
Bila, Kohesi, C = 1,600 lb/ft2 dan = 160 lb/ft3 pada batas FK = 1, maka tinggi slope
adalah ;
H = 14 ft
Gambar 6.13
Hubungan Tinggi Slope dengan Fungsi Sudut Slope (Planar Failure)
Gambar 6.13
Hubungan Tinggi Slope dengan Fungsi Sudut Slope (Planar Failure) dengan Variasi Faktor Keamanan (FK)
Gambar 6.14
Distribusi Tegangan Horizontal pada Pit
Pada sub bab ini akan diuraikan tentang dasar-dasar mekanika longsoran, longsoran
akibat beban gravitasi, pengaruh tekanan air dan tegangan geser, kestabilan lereng
termasuk didalamnya jenis-jenis longsoran lereng dan pemantauan proteksi lereng.
secara linier membentuk suatu garis yang membentuk sudut sebesar terhadap
horizontal, sudut inilah yang dinamakan sudut geser dalam. Bila tegangan normal
dibuat nol dan batuan diberikan tegangan geser sampai batuan tersebut mulai retak,
maka harga tegangan geser yang dibutuhkan pada saat batuan mulai retak adalah
merupakan harga kohesi (c) dari batuan tersebut.
Hubungan antara tegangan geser () dan tegangan normal () dapat dinyatakan
sebagai berikut6) :
Sudut geser
dalam
Tegangan geser
Tegangan
Tegangan
geser
Kohesi
c
Tegangan normal
Gambar 6.15
Hubungan antara tegangan geser dengan tegangan normal
R
W sin
W cos
W
Gambar 6.16
Kesetimbangan benda diatas bidang miring.
Gaya berat yang mempunyai arah vertikal dapat diuraikan pada arah sejajar dan tegak
lurus bidang miring. Komponen gaya berat yang sejajar bidang miring dan yang
Bab 6. Lereng Tambang, hal. 90
(W cos.
dimana A adalah luas dasar benda...................................................[6-2]
A
Dimana diasumsikan bahwa tegangan geser didefenisikan oleh persamaan 6-1 dan
disubsitusikan tegangan normal dari persamaan 6-2, dihasilkan sebagai berikut :
(W cos.
tan
A
atau
R = cA + (W cos. ) . Tan ................................................................................... [6-3]
dimana R = A adalah gaya geser yang menahan benda tergelincir ke bawah.
Benda dalam kondisi batas kesetimbangan apabila gaya yang menyebabkan benda
tergelincir tepat sama dengan gaya yang menahan benda atau dapat dinyatakan
sebagai berikut :
W sin = cA + W cos .tan ................................................................... [6-4]
Bila harga kohesi c = 0, kondisi batas kesetimbangan dapat dinyatakan dengan :
= ............................................................................................................[6-5]
Gaya normal W cos 2 sekarang dikurangi oleh gaya angkat U, dan besarnya gaya
yang menahan gelinciran adalah :
R = (W cos 2-U) tan ................................................................................ [6-6]
Gambar 6.17
6)
Bejana teisi air di atas bidang miring
Seandainya berat per unit volume dari bejana yang berisi air adalah t, dan berat per
unit volume air adalah w, maka W = t . h . A dan U = w . hw . A, dimana h dan hw
adalah seperti yang tertera pada gambar 6.18.
U
hw
W cos 2
2
h
W sin 2
Gambar 6.18
Tekanan air pada celah antara bejana dan bidang miring.
.............................................. [6-7]
R = W cos 2 (1 - 2 / t) tan
................................................ [6-8]
Dan kondisi batas kesetimbangan yang terdefenisi pada persamaan [6-4] menjadi :
tan 2 = (1 - W / t) tan
................................................. [6-9]
Pada suatu lereng berlaku dua macam gaya yaitu gaya yang membuat massa batuan
atau tanah bergerak atau gaya penggerak dan gaya yang menahan massa batuan
tersebut dari penggerak atau gaya penahan. Lereng akan longsor jika gaya
penggeraknya lebih besar dari gaya penahan. Secara matematis kestabilan/kestabilan
suatu lereng dapat dinyatakan dalam bentuk Faktor Keamanan (FK) sebagai berikut :
FK = Gaya Penahan / Gaya Penggerak .................................................... [6-10]
Hubungan beberapa varisasi nilai faktor keamanan terhadap kemungkinan longsoran
lereng maupun pada perancangan lereng dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 6.1
Hubungan nilai FK dan kemungkinan kelongsoran (Bowles, JE)
Nilai FK
Kemungkinan Longsoran
FK < 1,07
Tabel 6.2
Nilai FK untuk perancang lereng (Sosrodarsono, Suyono)
Nilai FK
FK < 1.0
1,0 < FK < 1.2
1.3 < FK < 1,4
1,5 <FK > 1,7
Kemungkinan longsoran
Tidak stabil
Kestabilan diragukan
Memuaskan untuk pemotongan dan penimbunan
Stabil untuk bendungan
Strike atau jurus adalah arah dari garis perpotongan antara bidang lemah dengan
bidang datar (horizontal) acuan yang diukur dari utara, atau azimuth dari garis
perpotongan tersebut. Dip adalah besarnya sudut kemiringan maksimum sebuah
struktur bidang lemah terhadap bidang datar (horizontal).Dip direction adalah arah
kemiringan yang tegak lurus terhadap arah strike yang diukur dari utara searah
dengan arah jarum jam.
N
STRIKE
DIP DIRECTION
DIP
Gambar 6.19
Defenisi Geometrik Strike dan Dip (Hoek and Bray, 1981)
7. Gaya luar.
Gaya luar sedikit banyak dapat mempengaruhi kestabilan suatu lereng. Gaya ini
berupa getaran-getaran yang berasal dari sumber yang berada didekat lereng
tersebut. Getaran ini misalnya ditimbulkan oleh peledakan, lalu lintas kenderaan
dan lain sebagainya.
8. Pelapukan.
Kondisi massa batuan yang terlapukkan dapat disebabkan oleh adanya rembesan
air, perubahan iklim, ataupun pengaruh perubahan tekanan yang dialami batuan
sebagai akibat adanya besaran gaya-gaya terhadap massa batuan. Batuan yang
terlapukkan dapat dengan mudah untuk longsor dari pada batuan yang massive.
Data utama sebagai analisis kestabilan suatu lereng batuan adalah :
1. Geometri lereng.
Geometri lereng yang perlu diketahui adalah :
a. Orientasi (jurus dan kemiringan lereng ).
b. Tinggi dan kemiringan lereng (tiap jenjang maupun keseluruhannya).
c. Lebar jenjang.
2. Struktur batuan.
Struktur batuan yang mempengaruhi kestabilan suatu lereng adalah adanya
bidang-bidang lemah yaitu sesar, kekar, perlapisan dan rekahan.
3. Sifat fisik dan sifat mekanik batuan.
Sifat fisik dan mekanik batuan yang diperlukan sebagai dasar analisis kestabilan
lereng adalah :
a. Bobot isi batuan.
b. Porositas batuan.
c. Kandungan air dalam batuan.
d. Kuat tekan, kuat tarik dan kuat geser batuan.
e. Sudut geser dalam.
Data utama tersebut diatas dapat diperoleh dari penyelidikan-penyelidikan di
lapangan dan di laboratorium.
1. Penyelidikan lapangan.
Penyelidikan lapangan dapat dilakukan dengan :
a. Pengukuran untuk mendapatkan data geometri lereng.
b. Seismik refraksi/refleksi untuk mendapatkan data litologi.
c. Pemboran ini dan pembuatan terowongan (adit) untuk mendapatkan data
litologi, struktur batuan dan contoh (sampel) batuan untuk dianalisis di
laboratorium.
d. Piziometer untuk mengetahui tinggi muka air tanah.
e.
Uji batuan di lapangan (insitu test) untuk mendapatkan data tentang sifat
mekanik batuan misalnya dengan block shear test.
2. Penyelidikan laboratorium.
Sifat fisik dan mekanik batuan diperoleh dari hasil uji coba di laboratorium
terhadap conto (sampel) batuan yang diambil dari lapangan. Penyelidikan
laboratorium dapat dilakukan dengan :
a. Uniaxial Compressive Test (UCS).
b. Triaxial Test.
c. Direct Shear Test.
d. Penentuan bobot isi batuan, kandungan air dan porositas batuan.
Jenis-jenis Longsoran.
Pada batuan dikenal tiga longsoran yaitu plane failure, wedge failure dan topling
failure. Sedangkan untuk tanah dikenal dengan longsoran circular failure.
Longsoran Bidang (plane failur).
Longsoran bidang terjadi bila seluruh kondisi di bawah ini terpenuhi, yaitu :
1. Jurus bidang luncur sejajar atau mendekati sejajar tehadap jurus bidang
permukaan lereng dengan perbedaan maksimal 20.
2. Kemiringan bidang luncur harus lebih kecil dari kemiringan bidang permukaan
lereng. atau peda gambar adalah > p.
3. Kemiringan bidang luncur lebih besar dari sudut geser dalam atau p > .
4. Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan yang
longsor.
Gambar 6.20
Penampang lereng dan bidang bebas pada longsoran bidang
Longsoran Baji.
Longsoran ini terjadi bila dua buah jurus bidang kontiniu berpotongan dan besar sudut
garis potong kedua bidang tersebut (p) lebih besar dari sudut geser dalam () dan
lebih kecil dari sudut kemiringan lereng (1,). Perhitungan factor keamanan lebih
rumit dibandingkan pada longsoran bidang karena melibatkan dua bidang gelincir
dimana gaya-gaya yang bekerja pada bidang tersebut turut diperhitungkan.
Gambar 6.21
Longsoran Baji.
Longsoran Busur.
Bila longsoran bidang dan longsoran baji tejadi pada batuan keras, maka longsoran
busur lebih sering terjadi pada material tanah atau batuan lunak dengan struktur
kekar yang rapat. Bidang longsorannya berbentuk busur.
Gambar 6.22
Longsoran busur
Gambar 6.23
Longsoran guling
Dalam rancangan pit semua jenis longsoran harus diplotkan pada setiap muka lereng,
sehingga memudahkan aktivitas penambangan.
Gambar 6.24
Kondisi Pit dengan Jenis Longsoran
Bab 6. Lereng Tambang, hal. 99
Metode Swedia
Digunakan dengan asumsi bidang longsor berbentuk busur lingkaran. Harga faktor keamanan
(FK) dihitung dengan persamaan :
FK =
1
W . Sin
W = .h.b
(C .l tan . (W . cos u .l ))
'
'
..........................................[6-11]
......................................................................................................[6-12]
dimana :
W = berat beban total irisan (ton)
l
= panjang ab (meter) (lihat Gambar 6.25)
b
= lebar irisan/segmen (meter)
2
C = kohesi efektif (ton/m )
= sudut geser dalam efektif (derajat)
b
w
Gambar 6.25
Diagram gaya pada analisis metode lapis
Metode Bishop
Metode ini pada dasarnya sama dengan metode Swedia, tetapi dengan
memperhitungkan gaya-gaya antar irisan yang ada. Metode Bishop mengasumsikan
bidang longsor berbentuk busur lingkaran (Gambar 6.25).
Bab 6. Lereng Tambang, hal. 100
Pertama yang harus diketahui adalah geometri dari lereng dan juga titik pusat busur
lingkaran bidang luncur, serta letak rekahan kritisnya (critical tension craks). Cara
menentukan titik pusat busur lingkaran bidang luncur dan letak rekahan pada
longsoran busur tersebut dilakukan dengan bantuan grafik (Gambar 6.26). Titik pusat
bidang luncur tersebut perlu ditentukan apabila :
1. Penampang longsoran membentuk busur lingkaran.
2. Metode analisa kestabilan lereng yang dipakai adalah metode grafis yang disebut
slip circle analysis atau slice analysis (Ifleider, 1972).
Dalam hal ini yang diperlukan untuk menentukan titik pusat busur lingkaran bidang
luncur dan letak rekahan pada longsoran busur adalah harga sudut geser dalam (),
tinggi tebing/lereng (H) dan besarnya sudut lereng. Harga X dan Y diukur dari kaki
lereng (toe) dan dinyatakan dalam H (tinggi tebing/lereng).
Faktor keamanan (FK) untuk metode Bishop dapat dirumuskan sebagai berikut :
sec
1
FK =
C
'
b
W
(
1
B
)
tan
'
...................[6-13]
tan . tan
W . Sin
1
F
B=u.
1
W /b
............................................................................................ [6-14]
dimana :
W = berat beban total irisan (ton)
b
= lebar irisan/segmen (meter)
2
C
= kohesi efektif (ton/m )
= sudut geser dalam efektif
Tahap selanjutnya dalam proses analisis adalah membagi massa material diatas bidang
longsor menjadi beberapa segmen atau potongan. Pada umumnya jumlah potongan
minimum 5 (lima) untuk menganalisis kasus yang sederhana. Untuk profil lereng yang
kompleks atau yang terdiri dari banyak material yang berbeda, jumlah segmen harus
lebih besar. Parameter yang mutlak dimiliki untuk tiap-tiap segmen adalah kemiringan
dari dasar segmen yaitu sebesar , tegangan vertikal yang merupakan perkalian antara
tinggi (h) dan berat jenis tanah atau batuan (), tekanan air yang dihasilkan dari
perkalian antara tinggi muka air tanah dari dasar segmen (hw) dan berat jenis air (w)
dan kemudian lebar elemen (b). Disamping parameter tersebut, kuat geser juga
diperlukan di dalam perhitungan.
Metode Janbu
Digunakan untuk menganalisis lereng yang bidang longsornya tidak berbentuk busur
lingkaran. Bidang longsor pada analisis metode janbu ditentukan berdasarkan zona
lemah yang terdapat pada massa batuan atau tanah. Cara lain yaitu dengan
mengasumsikan suatu faktor keamanan tertentu yang tidak terlalu rendah. Kemudian
melakukan perhitungan beberapa kali untuk mendapatkan bidang longsor yang
memiliki faktor keamanan terendah. Faktor keamanan untuk metode Janbu dapat
dirumuskan sebagai berikut :
FK =
fo . X / (1 Y / F )
Z Q
......................................................................[6-15]
....................................[6-16]
Gambar 6.27
Analisis longsoran non-circular pada metode Janbu
b. Terdapat regangan tarik tegak (vertikal) yang terisi air sampai kedalaman Zw.
Regangan tarik ini dapat terletak pada muka lereng maupun diatas lereng.
c. Tekanan air pada regangan tarik dan sepanjang bidang luncur tersebar secara
linier.
d. Semua gaya yang bekerja pada lereng melalui titik pusat massa batuan yang akan
longsor, sehingga tidak terjadi rotasi.
FK =
FK =
................................... ..........[6-21]
dimana :
FK = faktor kestabilan lereng
2
C
= kohesi pada bidang luncur (ton/m )
A
= panjang bidang luncur (meter)
p = sudut kemiringan bidang luncur
W
U
= . w Z w (H - Z).cosec p
= . w Z w
w
Zw
Z
H
2
3
Jika terjadi getaran yang diakibatkan oleh adanya gempa, peledakan maupun
aktivitas manusia lainnya, maka persamaan [6-21] menjadi :
F=
................................. [6-22]
dimana :
= percepatan getaran pada arah mendatar
Gambar 6.28
Regangan tarik pada longsoran bidang
2. Longsoran baji
Dalam analisis dengan menggunakan metode Hoek dan Bray, longsoran baji
dianggap hanya akan terjadi pada garis perpotongan kedua bidang lemah. Faktor
kestabilan lereng dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : (lihat Gambar
6.29 dan 6.30).
F=
(Ca X Cb Y ) A w X tana B w Y tan b ...........................[6-23]
.H
2
2
dimana :
2
Ca
= kohesi pada bidang lemah I (ton/m )
2
Cb
= kohesi pada bidang lemah II (ton/m )
a
b
sin 24
sin 45 . cos 2 na
sin 13
sin 35 . cos 1nb
........................................................... ..........[6-24]
dimana A dan B adalah suatu faktor tanpa satuan yang besarnya tergantung pada
jurus (strike) dan kemiringan (dip) kedua bidang lemahnya. Bidang lemah yang
mempunyai kemiringan lebih kecil selalu dinamakan bidang lemah I, sedangkan
bidang lemah yang satunya lagi dinamakan bidang lemah II.
tampak samping
Gambar 6.29
Model longsoran baji
Keterangan :
f = kemiringan lereng
Gambar 6.30
Stereoplot data longsoran baji
Keterangan :
na.nb = sudut perpotongan bidang lemah I dan II
1.nb = sudut antara bidang lemah I dengan garis perpotongan bidang lemah I
2. na
24
13
35
45
5
3. Longsoran guling
Dengan metode Hoek dan Bray terjadinya longsoran guling dapat dianalisis dengan
menggunakan suatu model yang sederhana. Model tersebut hanya berlaku untuk
kasus-kasus yang sederhana dan berupa balok-balok yang disusun pada suatu
tangga yang miring (Gambar 6.31).
Gambar 6.31
7)
Model longsoran guling
Dengan model tersebut akan dianalisis kestabilan batas suatu lereng terhadap
longsoran guling. Kestabilan batas adalah suatu keadaan dimana lereng pada saat
akan longsor. Gaya-gaya yang bekerja pada setiap balok dihitung dengan nilai
(angka) sudut geser dalam ( ) tertentu, sampai diperoleh nilai Po positif terkecil.
Nilai Po tersebut merupakan gaya yang menahan balok 1 (lihat Gambar 2.10). Nilai
sudut geser dalam ( ) yang menghasilkan Po positif terkecil kemudian dipakai
sebagai sudut geser dalam pada keadaan kestabilan batas. Faktor kestabilan lereng
terhadap longsoran guling kemudian dapat dinyatakan dengan persamaan :
FK =
tan 1
tan 2
....................................................................... .........[6-25]
dimana :
FK = faktor kestabilan lereng
1 = sudut geser dalam yang sebenarnya di lapangan
Jenis jangkar.
Berdasarkan jenisnya, jangkar batuan dibedakan menjadi dua yaitu :
punctual dan distributed anchor, karena jenis jangkar ini mempunyai
kemampuan mengikat batuan lebih besar dibanding dengan punctual
anchor. Distributed anchor juga baik digunakan pada batuan yang banyak
mengandung air, karena bahan pengikatnya (grouting) sekaligus sebagai
pelindung jangkar terhadap korosi.
Panjang jangkar.
Panjang jangkar tergantung pada struktur batuan, terutama bidang-bidang
lemahnya. Pemasangan jangkar batuan selalu diusahakan agar dapat
mengikat batuan yang lemah 9lepas) pada batuan induknya yang kuat.
Kerapatan jangkar.
Pada prinsipnya jangkar batuan harus dapat mengikat (menahan) setiap
beban (massa batuan) yang akan longsor. Kerapatan jangkar tergantung
pada kuat tarik jangkar. Pada prinsipnya kuat tarik jangkar harus lebih
besar dari pada beban (massa batuan yang akan longsor).
Diameter jangkar.
Diameter jangkar ditentukan oleh besar beban yang akan longsor. Semakin
besar beban yang akan longsor, maka diperlukan diameter jangkar yang
lebih besar pula.
Orientasi jangkar.
Orientasi jangkar ditentukan berdasarkan struktur batuan, terutama
bidangbidang lemahnya. Pada prinsipnya jangkar harus dapat mengikat
batuan yang lepas (lemah) pada bartuan induknya yang kuat.
Tarikan mula-mula.
Tarikan mula-mula pada jangkar bertujuan untuk mengikat batuan yang
(epas sebelum mengalami gerakan (deformasi) lebih lanjut. Dengan
demikian, batuan tersebut masih dapat menyangga dirinya sendiri.