Anda di halaman 1dari 260

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Mempelajari Ketidakmantapan Lereng

Aktivitas manusia yang berhubungan dengan penggalian atau penimbunan akan


selalu menghadapi permasalahan dengan lereng, baik itu berupa lereng kerja (working
slope) maupun lereng akhir (final slope). Lereng-lereng tersebut harus dianalisis
kemantapannya untuk mencegah bahaya longsoran di waktu-waktu yang akan datang,
karena menyangkut keselamatan kerja, keamanan peralatan dan harta benda, serta
kelancaran produksi.

Kemantapan lereng di tambang terbuka sering dievaluasi dengan metoda


keseimbangan batas maupun metode numerik. Ada empat parameter yang perlu
diperhatikan dalam perancangan kemantapan lereng di tambang terbuka, yaitu rencana
penambangan, kondisi struktur geologi, sifat-sifat fisik dan mekanik material pembentuk
lereng dan tekanan air tanah. Dari ke-empat parameter tersebut, struktur geologi
merupakan parameter yang paling dominan dalam mengontrol kemantapan lereng
batuan baik dari bentuk maupun arah longsoran lereng. Tingkat pelapukan dan struktur
geologi yang hadir pada massa batuan, seperti sesar, kekar, lipatan, dan bidang
perlapisan banyak dikaitkan dengan kemantapan lereng batuan/tanah. Struktur-struktur
tersebut, selain lipatan, selanjutnya disebut bidang lemah.

Berdasarkan kehadiran struktur geologi di tubuh lereng, bentuk longoran yang


mungkin terjadi adalah longsoran busur (circular failure), longsoran bidang (plane
failure), longsoran bajih (wedge failure), dan longsoran guling (top failure).

Kemantapan lereng, baik lereng alami maupun lereng buatan (oleh kerja
manusia), dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang dapat dinyatakan secara sederhana
sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang bertanggung jawab terhadap
kemantapan lereng tersebut. Dalam keadaan gaya penahan (terhadap longsoran) lebih
besar dari gaya penggeraknya, maka lereng tersebut akan berada dalam keadaan yang

PENDAHULUAN | 1
mantap (stabil). Tetapi apabila gaya penahan menjadi lebih kecil dari gaya
penggeraknya, maka lereng tersebut menjadi tidak mantap dan longsoran akan terjadi.
Sebenarnya, longsoran tersebut merupakan suatu proses alam untuk mendapatkan
kondisi kemantapan lereng yang baru (keseimbangan baru), di mana gaya penahan lebih
besar dari gaya penggeraknya.

Untuk menyatakan/memberikan bobot (tingkat) kemantapan suatu lereng dikenal


dengan apa yang disebut dengan Faktor Keamanan (safety factor), yang merupakan
perbandingan antara besarnya gaya penahan dengan gaya penggerak longsoran; dan
dinyatakan sebagai berikut :
 Gaya penahan
F
 Gaya penggerak

Apabila harga F untuk suatu lereng > 1,0; yang artinya gaya penahan > gaya
penggerak, maka lereng tersebut berada dalam keadaan mantap/aman. Tetapi apabila
harga F < 1,0; yang artinya gaya penahan < gaya penggerak, maka lereng tersebut
berada dalam kondisi tidak mantap dan mungkin akan terjadi longsoran pada lereng
yang bersangkutan.

Teknik Stereografis banyak digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis


longsoran yang mungkin terjadi. Dengan pengeplotan antara strike (jurus) dan dip
(kemiringan), baik muka lereng maupun bidang lemah, serta besarnya sudut geser dalam
pada suatu stereonet secara bersamaan, kita dapat segera mengetahui jenis dan arah
longsoran. Oleh karena itu, sebelum membahas metode analisis kemantapan lereng,
akan diberikan pula cara-cara pengeplotan bidang lemah dan muka lereng pada
stereonet. Karena klasifikasi massa batuan juga sudah mulai dilakukan digunakan untuk
menganalisis kemantapan lereng secara empirik (Romana, 1985), maka penggunaan
klasifikasi massa batuan dalam analisis kemantapan lereng juga akan dibahas. Di
samping itu daya dukung batuan juga sangat berpengaruh dalam kemantapan suatu
lereng, oleh sebab itu akan diberikan juga pengetahuan mengenai daya dukung pada
batuan. Untuk mendapatkan, mengolah, serta mengatur informasi mengenai kemantapan
lereng, maka diakhir pembahasan akan diberikan penjelasan mengenai pemantauan
lereng.

PENDAHULUAN | 2
Gambar 1.1 Jenis longsoran dan stereoplot

(Hoek & Bray, 1981)

PENDAHULUAN | 3
Gambar 1.2 Informasi struktur geologi dan evaluasi jenis longsoran yang mungkin
terjadi dari suatu rencana open pit

(Hoek & Bray, 1981)

PENDAHULUAN | 4
1.2. Macam - macam Ketidakmantapan

Beberapa hal yang perlu diketahui, dipelajari, dan dimengerti sebelumnya agar
dapat menghayati falsafah rancangan lereng tambang adalah klasifikasi gerakan massa
tanah atau batuan tahap-tahap pertambangan dan sasaran geoteknik, metoda
penambangan terbuka yang diterapkan, rancangan teknik secara umum.

Gerakan tanah atau dapat didefinisikan sebagai berpindahnya massa tanah atau
batuan pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukannya semula (M.M. Purbo
Hadiwidjoyo, 1992). Adapun jenis gerakan tanah atau batuan menurut pendapat beliau
dan telah dilengkapi oleh saya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Longsoran (sliding)

 Dihasilkan pada material yang kurang rapuh.


 Gerakan ini terjadi sepanjang satu atau beberapa bidang luncuran.
 Bisa berupa rotasi atau translasi.

2. Runtuhan (falling)
 Dapat terjadi pada bidang diskontinu suatu lereng yang tegak
 Rayapan lapisan lunak atau gulingan blok.
3. Amblasan (subsidence)
 Gerakan vertikal berupa penurunan relatif muka tanah karena kompaksi atau
hilangnya air tanah.
4. Rayapan (creep)

 Gerakan yang kontinu dan relatif lambat disertai bidang rayapan yang tidak
terlihat jelas.

5. Aliran (flow)

 Gerakan yang berasosiasi dengan transportasi material air atau udara dan
dipicu oleh gerakan longsoran sebelumnya disertai kecepatan yang bisa sangat
tinggi

PENDAHULUAN | 5
6. Nendatan (slump)

 Gerakan dengan bidang gelincir lengkung.


 Unit yang longsor mengalami rotasi di atas bidang gelincirnya.
 Terjadi pada loose material atau batuan yang berlapis.

7. Gerakan kompleks (complex movement)

 Merupakan gabungan dari beberapa pola gerakan tanah.

Gejala umum terjadinya longsoran:

 Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.

 Biasanya terjadi setelah hujan.

 Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.

 Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.

Longsoran Bidang Longsoran Guling

PENDAHULUAN | 6
Longsoran Baji

Gambar 1.3 Macam – macam longsoran


(http://web.mst.edu/%7Erogersda/landslide_hazards/felton/fel1.jpg)

PENDAHULUAN | 7
BAB II

METODE RANCANGAN LERENG

2.1. Masalah Kemantapan Lereng

Di dalam operasi penambangan masalah kemantapan lereng akan


diketemukan pada penggalian tambang terbuka (open pit maupun open cut),
bendungan bendungan untuk cadangan air kerja, di tempat-tempat penimbunan bahan
buangan (tailing disposal) dan di penimbunan bijih (stockyard). Apabila lereng yang
terbentuk sebagai akibat dari proses penambangan (pit slope) maupun yang
merupakan sarana penunjang operasi penambangan (bendungan, jalan, dan lain lain)
itu tidak stabil (tidak mantap) maka kegiatan produksi akan terganggu. Oleh karena
itu suatu analisis kemantapan lereng merupakan suatu bagian yang penting untuk
mencegah terjadinya gangguan gangguan terhadap kelancaran produksi maupun
terjadinya bencana yang fatal.

Dilihat dari jenis material, ada 2 macam lereng, yaitu lereng batuan dan lereng
tanah. Dalam analisis dan penentuan jenis tindakan pengamanannya, lereng batuan
tidak dapat disamakan dengan lereng tanah, karena parameter material dan jenis
penyebab longsor di kedua lereng tersebut sangat jauh berbeda.

Kemantapan lereng terutama disebabkan oleh faktor hidrologi dan faktor


struktur bidang lemah batuan. Selain dua faktor tersebut masalah kemantapan lereng
pada umumnya juga tergantung pada faktor - faktor sebagai berikut :

 Lokasi, arah, frekuensi, kekuatan dan karakteristik dari bidang-bidang lemah.


 Keadaan tegangan alamiah dalam massa batuan/tanah.
 Konsentrasi lokal dari tegangan.
 Karakteristik mekanik dari massa batuan/tanah.
 Iklim terutama jumlah hujan untuk di daerah tropis.
 Hasil kerja manusia
 Geometri lereng

METODE RANCANGAN LERENG | 8


Dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), tanah atau batuan umumnya berada
dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang timbul dari dalam. Kalau misalnya
karena sesuatu sebab tersebut mengalami perubahan keseimbangan akibat
pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau aktivitas lain, maka
tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai keadaan keseimbangan yang
baru secara alamiah. Cara ini biasanya berupa proses degradasi atau pengurangan
beban, terutama dalam bentuk longsoran longsoran atau gerakan-gerakan lain sampai
tercapai keadaan keseimbangan yang baru.

Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah) telah bekerja
tegangan-tegangan vertikal, horisontal dan tekanan air pori. Ketiga hal di atas
mempunyai peranan penting dalam membentuk kestabilan lereng. Sedangkan tanah
atau batuan sendiri mempunyai sifat sifat fisik asli tertentu, seperti sudut geser alam
(angle of internal friction), gaya kohesi dan bobot isi yang juga sangat berperan
dalam menentukan kekuatan tanah dan yang juga mempengaruhi kemantapan lereng.
Oleh karena itu dalam usaha untuk melakukan analisis kemantapan lereng harus
diketahui dengan pasti sistem tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan dan juga
sifat-sifat fisik aslinya. Dengan pengetahuan dan data tersebut kemudian dianalisis
kelakuan tanah atau batuan tersebut jika dilakukan penggalian atau penimbunan. Baru
kemudian bisa ditentukan geometri dari lereng yang diperbolehkan atau cara-cara lain
yang berguna untuk membantu agar lereng tersebut menjadi stabil atau mantap.

Tiga pendekatan utama dari analisis kemantapan lereng adalah pendekatan


mekanika batuan, pendekatan mekanika tanah, dan pendekatan yang memakai
kombinasi keduanya. Beberapa metoda analisis kemantapan yang dapat digunakan
antara lain metoda analitik, metoda grafik (pada bab IX Longsoran Busur), metoda
keseimbangan limit, metoda numerik (metoda elemen hingga, elemen diskret,
elemen batas dan lain lain), teori blok dan sistem pakar.

Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah faktor


keamanan (safety factor) yang merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang

METODE RANCANGAN LERENG | 9


menahan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut. Bila faktor
keamanan lebih tinggi dari satu umumnya lereng tersebut dianggap stabil.

Seperti diketahui, kemantapan suatu lereng mempunyai arti manfaat yang


besar sekali baik dari segi keselamatan kerja maupun segi ekonomi. Oleh karena itu
para tenaga ahli diharapkan sudah mulai terlibat sejak tahap rancangan awal termasuk
penyelidikan geoteknik sampai tahap konstruksi dan diharapkan pula bahwa para
tenaga ahli tersebut tahu permasalahan yang dihadapi dan keputusan apa yang harus
diambil. Adapun tahap tahap suatu studi kemantapan lereng secara umum adalah
tahapan studi struktur massa batuan, studi karakteristik geomekanik, studi kondisi
hidraulik, permodelan perhitungan kemantapan lereng, perbaikan kemantapan lereng
dan pemantauan kemantapan lereng.

2.2. Falsafah Rancangan

Beberapa hal yang perlu diketahui, dipelajari, dan dimengerti sebelumnya


agar dapat menghayati falsafah rancangan lereng tambang adalah klasifikasi gerakan
massa tanah atau batuan tahap-tahap pertambangan dan sasaran geoteknik, metoda
penambangan terbuka yang diterapkan, rancangan teknik secara umum.

Metoda penambangan terbuka tidak dibahas disini sedangkan untuk bab 2.4
dan 2.5 bahannya diambil dari Tim Sulivan “Mining Geotechnics Slope Stability for
Surface Mining” Key Centre for Mines, University of New South Wales, 1992.

2.2.1. Klasifikasi Gerakan Massa Tanah atau Batuan

Gerakan tanah atau dapat didefinisikan sebagai berpindahnya massa tanah


atau batuan pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukannya semula (M.M.
PURBO HADIWIDJOYO, 1992).

METODE RANCANGAN LERENG | 10


Adapun jenis gerakan tanah atau batuan menurut pendapat M.M. PURBO
HADIWIDJOYO dan telah dilengkapi oleh penulis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:

- longsoran (sliding)
- runtuhan (falling)
- nendatan (slump)
- amblasan (subsidence)
- rayapan (creep)
- aliran (flow)
- gerakan kompleks (complex movement)

Disebut longsoran, jika bahan yang bergerak itu seakan akan dengan tiba-tiba
meluncur ke bawah. Runtuhan, jika bahan itu ibaratnya jatuh bebas, seperti massa
batuan pada dinding yang curam (mendekati tegak), yang sekonyong-konyong jatuh.
Kita berhadapan dengan nendatan jika tanah atau batuan yang tersangkut merupakan
massa yang belum terlepas dari ikatannya; jadi seakan akan masih merupakan
gumpalan-gumpalan besar. Amblasan sering dapat kita saksikan pada jalan yang
tadinya rata tiba-tiba menurun, entah karena di bawah ada rongga, entah karena di
bagian lain ada yang terdesak.

Rayapan, yaitu gerakan massa tanah atau batuan secara perlahan lahan.
Sedangkan aliran, yaitu campuran gerakan dan transportasi massa tanah atau batuan.
Istilah yang paling banyak digunakan untuk merancang gerakan tanah atau batuan
yang terjadi pada lereng-lereng alamiah adalah longsoran dalam arti yang luas.

Agar pengertian longsoran dapat diperjelas COATES (1977) membuat daftar


beberapa faktor penting yang telah disetujui di antara 28 penulis yang telah
menyumbangkan pikirannya untuk subyek ini. Daftar ini sangat menarik, bila kita
mencoba memutuskan elemen apa yang menyusun suatu longsoran dan gerakan yang
mana yang dapat atau tidak dapat didefinisikan kedalam kategori longsoran.

METODE RANCANGAN LERENG | 11


 Daftar ini adalah sebagai berikut :

1. Longsoran mewakili satu kategori dan suatu fenomena included under the
general heading of mass movement.

2. Gravitasi adalah gaya utama yang dilibatkan.

3. Gerakan harus cukup cepat, karena rayapan (creep) adalah begitu lambat
sebagai longsoran.

4. Gerakan dapat berupa keruntuhan (falling), longsoran/luncuran (sliding) dan


aliran (flow).

5. Bidang atau daerah gerakan tidak sama dengan patahan.

6. Gerakan akan ke arah bawah dan menghasilkan bidang bebas, jadi


subsidence tidak termasuk.

7. Material yang tetap di tempat mempunyai batas yang jelas dan biasanya
melibatkan hanya bagian terbatas dari punggung lereng.

8. Material yang tetap ditempat dapat meliputi sebagian dari regolith dan/ atau
bedrock.

9. Fenomena frozen ground biasanya tidak termasuk kategori ini.

 Klasifikasi dari longsoran pada umumnya dapat didasarkan pada faktor faktor
sebagai berikut:

- jenis dari material

- morfologi dari material

- karakteristik geomekanik

- kecepatan dan lama dari gerakan

- bentuk dari permukaan longsoran (bidang, baji, busur)

- volume yang dilibatkan

- umur dari longsoran

METODE RANCANGAN LERENG | 12


- penyebab longsoran

- mekanisme longsoran

2.2.2. Longsoran atau Luncuran Dalam Arti Yang Sebenarnya

Dihasilkan pada umumnya pada suatu material yang kurang rapuh. Gerakan
ini terjadi sepanjang satu atau beberapa bidang luncura. Gerakan ini bisa berupa rotasi
atau translasi yang tergantung pada keadaan material serta strukturnya. Kalau
luncurannya merupakan rotasi, maka biasanya akan menghasilkan longsoran busur
atau lingkaran. Tetapi bila gerakan ini merupakan translasi, maka akan menghasilkan
longsoran bidang. Gabungan kedua gerakan ini akan menghasilkan longsoran bidang
dan busur.

Jenis gerakan ini yang paling banyak terjadi, seperti yang dialami desa
Sukasari, Bogor Timur, pada tanggal 22 November 1992 yang lalu dan meminta
korban sembilan orang meninggal. Juga di desa Cikalong, Tasikmalaya yang terjadi
pada tanggal 11 Oktober 1992 dan meminta korban 56 orang meninggal (M.M.
PURBO HADIWIDJOYO, 1992).

2.2.3. Runtuhan (Falling)

Definisi runtuhan dapat dilihat pada awal tulisan ini. Runtuhan ini dapat
terjadi dari bidang-bidang diskontinu pada suatu lereng yang tegak, pada rayapan dari
lapisan lunak (misalnya marl lempung) atau gulingan blok ebagai contoh runtuhan
yang terjadi di Gunung Granier en Savoie pada tahun 1248 (HANTZ, 1988).
Keruntuhan dari jurang batukapur dengan ketinggian sekitar 1.000 m, mengikuti
gelinciran/longsoran dari marl (tanah bahan semen) dan menggerakkan suatu volume
yang sangat besar yaitu sekitar 500.000.000 m3, yang menyebar sepanjang 7 km
dengan luas 20 km, dan membunuh ribuan penduduk.

METODE RANCANGAN LERENG | 13


2.2.4. Rayapan (Creep)

Gerakan yang kontinu dan relatif lambat, kita tidak dapat melihat dengan
jelas bidang rayapan. Contoh daerah pelanggan jenis gerakan ini adalah Pangadegang
di Cianjur Selatan. Di sana daerah yang bergerak mencakup sekitar 100 km. Selain itu
di daerah Ciamis Utara, Banjar negara di Jawa Tengah (M.M. PURBO
HADIWIDJOYO, 1992).

2.2.5. Aliran

Gerakan ini berasosiasi dengan transportasi material oleh air atau udara dan
dipicu oleh gerakan longsoran sebelumnya. Kecepatan gerakan bisa sangat tinggi.

2.3. Pemicu dan Pemacu Gerakan Massa Tanah atau Batuan

Kedua istilah "pemicu" dan "pemacu" ini dipakai oleh M.M. PURBO
HADIWIDJOYO (1992). Pemicu itu misalnya adalah gempa bumi. Salah satu
gerakan tanah besar yang diduga kuat dipicu oleh gempa adalah terjadi di Cianjur
Selatan pada 13 Desember 1924. Gempa itu sendiri tidak bersumber di Jawa Barat.
Tempat yang sama lagi-lagi bergerak pada Desember 1964. Ketika itu sumbernya
kebetulan juga ada di Jawa Barat dan kebesarannya mencapai 6 pada skala Richter.
Getaran yang timbul karena lewatnya kereta api dapat pula memicu terjadinya
gerakan tanah. Hal itu rupanya telah menimbun kereta api Jakarta - Jogyakarta di
dekat Purwokerto waktu zaman revolusi 1947. Selain itu hujan juga dapat disebut
sebagai pemicu gerakan tanah seperti yang terjadi di jalan antara Sibolga dan Medan
bulan Januari 1993.

Selain terkena picu, gerakan massa tanah atau batuan, dapat juga dipacu.
Misalnya saja, lereng yang semula tahan terhadap gerakan, karena kakinya (toe)
dipotong untuk jalan atau untuk perumahan, akhirnya memiliki kecenderungan lebih
besar untuk bergerak.

METODE RANCANGAN LERENG | 14


Selanjutnya TERZAGHI (1950) dan BRUWSDEN (1979) menyatakan bahwa
untuk mengklasifikasikan penyebab sebagai pemicu adalah tidak bijaksana apabila
kejadian perpindahan tergantung pada kondisi dan kejadian tersebut sudah
berlangsung selama beberapa hari atau beberapa minggu. Sebagai gambaran kedua
penulis ini hanya mengklasifikasikan penyebab gerakan massa tanah atau batuan
sebagai penyebab eksternal, internal dan kombinasi keduanya (lihat Tabel 1).

Secara umum di daerah tropis seperti Indonesia, penyebab utama longsoran


lereng adalah air, baik tekanan air dalam rekahan, alterasi mineral maupun erosi dari
lapisan lunak (HANTZ, 1988). Selanjutnya penyebab utama lainnya diperkirakan
oleh adanya kekar yang mengalami pelapukan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
penyebab dari longsoran dapat dikategorikan dalam tiga faktor, yakni: geometrik,
hidraulik, dan mekanik.

Tabel 2.1 Penyebab gerakan massa tanah dan batuan

(Terzaghi, 1950 dan Brunsden, 1979)

Penyebab eksternal
1. Perubahan Geometri Lereng: pemotongan kaki lereng, erosi, perubahan
sudut kemiringan, panjang, dll
2. Pembebasan Beban : erosi, penggalian
3. Pembebanan : penambahan materian, penambahan tinggi
4. Shock dan vibrasi : buatan, pempa bumi, dll.
5. Penurunan permukaan air
6. Perubahan kelakuan air : hujan, tekanan pori, dll.

Penyebab internal
1. Longsoran, progresif : mengikuti ekspansi lateral, fissuring dan erosi
2. Pelapukan
3. Erosi seepage : solution, pemipaan (piping)

METODE RANCANGAN LERENG | 15


2.4. Tahap-tahap Pertambangan dan Sasaran Geoteknik

Tabel 2.2 Tahap-tahap pertambangan dan sasaran geoteknik (Sullivan, 1992)

TAHAP SASARAN DAN KEGIATAN

PENDAHULUAN Geologi yang luas.

Mengetahui geoteknik dan air bawah tanah yang mempengaruhi pertambangan.

Mengetahui model geologi.

Memberi petunjuk pada pemakaian sistem pertambangan yang berbeda dan


perlengkapan pada suatu endapan.

Memberi masukan geoteknik pada program eksplorasi.

Memberi petunjuk perancangan lereng.

Rancangan dan susunan spesifik mengenai geotekniK dan program penelitian air
bawah tanah.

Geoteknik pendahuluan, sampling hidrogeologi, dan uji.

Penyusunan model dasar geoteknik untuk lokasi termasuk penyelidikan


eksplorasi yang didasarkan pada data geoteknik dan hidrogeologi untuk
tiap massa batuan dan perkiraan awal dari parameter perancangan.

Memperkirakan pengaruh air bawah tanah pada perancangan lereng untuk


proses pengeringan pada tambang, skala pengeringan yang potensial,
pelaksanaan, waktu dan biaya dalam batas waktu yang ditentukan.

PRA Memberi perancangan lereng secara detail :


KELAYAKAN Open pit : + 5o - 10o

Srip mine: 10o

Bersama sama dengan perencana tambang memberi petunjuk pemilihan


peralatan dan metoda pertambangan.

Mengetahui faktor-faktor geoteknik dan hidrogeologi yang mempengaruhi


perancangan tambang dan yang belum sesuai.

Rancangan dan biaya dari akhir penyelidikan yang diperlukan untuk


tingkat studi kelayakan.

METODE RANCANGAN LERENG | 16


Penyelidikan geoteknik dan hidro geologi dilakukan lebih rinci dan
spesifik yang disesuaikan dengan alat dan metoda pertambangan.

Memberi penilaian statistik pada semua parameter teknik perancangan


termasuk rata-rata dan distribusi untuk semua unit geoteknik.

Bersama dengan perencana tambang memastikan faktor-faktor geoteknik


yang berhubungan dengan perancangan.

KELAYAKAN Memberi perancangan lereng menurut falsafah yang disetujui oleh


perencana tambang dan pemilik proyek. Sudut perancangan lereng
tergantung pada pengembangan tambang, dengan toleransi sebagai
berikut :

Open pit: sudut overall + 1o - 3o

Strip mine : sudut highwall + 5o

Open Pit (batuan keras) : Memberi perancangan lereng secara detail


termasuk tinggi jenjang, lebar berm, sudut jenjang, interamp dan sudut
overall pit slope maksimum pada tiap bagian perancangan tambang.

Memberi perancangan detail untuk external waste dumps.

Srip Mine (batubara) : Memberi perancangan detail lereng termasuk:


sudut highwall, sudut spoil dump, perancangan pit waste dump, sudut low
wall, perancangan footwall, jarak dengan mesin.

Memperkirakan pengeringan tambang termasuk desain detail, rancangan,


spesifikasi dan biaya.

Bersama dengan perencana tambang dan para ahli geoteknik memastikan


perancangan air bawah tanah sesuai dan tidak akan merugikan operasi
penambangan.

Bersama dengan perencana tambang merancang jalan masuk angkutan


dan resikonya secara ekonomis.

Memberi petunjuk pada teknik peledakan akhir dan peralatan yang sesuai.

Bersama dengan perencana tambang memilih staff untuk masalah


geoteknik atau air bawah tanah.

Laporan yang jelas mengenai kelayakan pertambangan yang


direncanakan.

METODE RANCANGAN LERENG | 17


Menilai bagaimana kondisi geoteknik selama penyelidikan awal apakah
sesuai perancangan parameter kelayakan.

Menyusun dan melaksanakan secara terus menerus pengumpulan data


sebagai bagian dari geologi pertambangan dan geoteknik.

Rancangan dan melaksanakan rencana pada studi kelayakan seperti :

- peledakan akhir dan penggalian


OPERASI
- penyangga lereng

- mengubah geometri lereng

- depressurisation lereng

Melaksanakan pemantauan lereng.

Rancangan dan melaksanakan rencana hidrogeologi, memantau debit


aliran air atau air bawah tanah.

Terus menerus merubah perancangan lereng selama umur tambang seperti


perubahan kondisi geoteknis atau karena alasan ekonomi.

2.5. Rancangan Teknik Secara Umum

Dengan kemampuan teknik geologi dan geoteknik dapat dibuat model


tambang terutama perubahan perancangan. Sebelum perancangan lereng dibuat,
sebaiknya mempertimbangkan proses proses alam yang terjadi. Yang perlu
digarisbawahi dari Bieniawski (1984) : "Di dalam proses merancang (teknik) perlu
diperhatikan metodologi pemecahan masalah."

Tabel 2.3 berikut menunjukkan tahap-tahap penyelesaian masalah dan


pembuatan keputusan. Walaupun demikian hal ini lebih sesuai untuk kasus dimana
lereng tambang tidak stabil dan usaha usaha perbaikan dari lereng, maka ada 3 unsur
yang penting :

a. Penilaian situasi = kategori lokasi.

b. Analisis masalah = identifikasi mekanisme dan analisis.

METODE RANCANGAN LERENG | 18


c. Analisis keputusan = perancangan lereng.

Suatu penggantian analisis masalah untuk tahap 2, dengan membuat contoh


yang lebih relevan tentang perancangan lereng.

Tabel 2.3 Pemecahan masalah dan pembuatan keputusan (Sullivan, 1992)

PENILAIAN SITUASI Identifikasi masalah


(kategori lokasi)
Prioritas

Tahap-tahap perencanaan atau langkah-langkah

Perencanaan

ANALISIS MASALAH Gambar permasalahan


(identifikasi mekanisme
keruntuhan dan analisis) Identifikasi penyebab yang mungkin

Evaluasi penyebab yang mungkin

Penyebab sebenarnya

PEMBUATAN KEPUTUSAN Menjelaskan sasaran


(desain lereng)
Memperkirakan/evaluasi alternatif

Memperkirakan resiko

Membuat keputusan

METODE RANCANGAN LERENG | 19


(menyelesaikan perancangan)

ANALISIS MASALAH YANG Identifikasi masalah yang paling mungkin


PALING MUNGKIN
Identifikasi penyebab yang mungkin

Tindakan pencegahan

Tindakan sesuai rencana

2.6. Rancangan Lereng Tambang

Apakah perancangan lereng tambang itu? Pada prakteknya metoda


perancangan berpatokan pada heuristic's atau rules of thumb ( The Institution of
Engineers Australia, 1990). Tapi pada geoteknik pertambangan yang didasarkan
geologi, konsep perancangan lereng tambang lebih relevan seperti heuristic's. Hal ini
memberi pandangan yang luas mengenai aktivitas alam. Heuristic's didefinisikan
sebagai : "Suatu metoda untuk memecahkan masalah yang sama sekali tidak
tergantung pada algoritma, tapi tergantung pada pertimbangan induktif dari
pengalaman pada masalah yang sama (Macquarie Dictionary)".

Algoritma adalah suatu prosedur untuk memecahkan masalah yang terbatas


dan digunakan untuk proses merancang, tetapi tidak pernah digunakan untuk
merancang lereng tambang. Definisi heuristic yang lainnya adalah pertimbangan
induktif, yaitu : "Proses penjelasan penemuan untuk suatu fakta yang khusus, dengan
memperkirakan besarnya fakta pengamatan dimana penjelasan ini meliputi seluruh
fakta".

Hal ini tidak umum untuk suatu proses deduktif dimana kesimpulan
didasarkan pada fakta yang diketahui atau prinsip yang ada. Merancang lereng
tambang didasarkan pada pengamatan kuantitatif dari sebagian kecil conto tanah atau

METODE RANCANGAN LERENG | 20


massa batuan. Oleh karena itu pertimbangan yang penting adalah : "Hanya keahlian
yang tepat mengelola suatu lingkungan heuristic” (The Institution of Engineers
Australia, 1990).

Pada tambang bawah tanah dengan batuan yang keras masalah teknik
mekanika batuan adalah pengontrolan bawah tanah (BRADY, 1986); pengontrolan
atas deformasi dan displacement untuk memastikan kestabilan secara keseluruhan,
melindungi jalan masuk, memelihara kondisi kerja yang aman dan cadangan bijih
(BRADY & BROWN, 1985). Masalah teknik dalam menrancang lereng tambang
terbuka adalah tidak dapat mengontrol bawah tanah dan dengan asumsi yang implisit
sehingga lereng dapat runtuh. Sasaran pokok dalam perancangan lereng tambang
terbuka adalah : "Tercapainya desain yang optimum adalah kompromi antara lereng
yang ekonomis dan cukup aman" (Hoek and Bray, 1973).

Bagaimanapun dalam prakteknya pemakaian geoteknik untuk rancangan


lereng permukaan tidak ada jawaban yang eksak.

2.7. Rancangan Metoda Pengamatan

Salah satu pelopor mekanika tanah dan geoteknik adalah R.B. PECK. Ia yang
pertama kali merumuskan teori dan praktek mekanika tanah. Ia cenderung tidak
langsung ke masalah persoalan teknisnya tetapi : “ pengetahuan yang ada dapat
diaplikasi lebih efektif.”

Pada akhirnya, ia mengembangakan metoda perancangan observation atau


learn as you go. Singkatnya metoda ini memerlukan :

a. Eksplorasi untuk menentukan keadaan alam, pola dan sifat endapan,


tapi tidak perlu detail.

b. Penilaian kondisi yang mungkin dan mengetahui penyimpangan dari


kondisi ini, terutama penilaian geologi.

c. Menentukan perancangan didasarkan hipotesa keadaan yang dulu.

METODE RANCANGAN LERENG | 21


d. Pemilihan kuantitas yang diamati seperti hasil konstruksi dan
perhitungan nilai terdahulu sebagai dasar hipotesa.

e. Perhitungan nilai pada kuantitas yang sama pada kondisi yang paling
tidak menguntungkan sesuai dengan data yang ada mengenai kondisi
bawah permukaan.

f. Memilih tindakan untuk melanjutkan atau memperbaharui


perancangan untuk setiap penyimpangan yangdiduga dari pengamatan
yang diprediksi pada dasar hipotesa.

g. Pengukuran kuantitas yang diamati dan mengevaluasi kondisi


sebenarnya.

h. Modifikasi perancangan sesuai dengan kondisi.

Metoda ini dikembangkan terutama untuk runtuhan singkat (State of Art,


1969) dan kemampuan memprediksi pelaksanaankonstruksi sipil. Metoda ini
mempunyai kelebihan dalam aplikasi pertambangan. Dalam pertambangan, tidak
hanya pengetahuan secara teori tapi digabungkan dengan penyelidikan.

Metoda yang sama dikembangakan secara terpisah untuk beberapa aplikasi


pertambangan (Sullivan, 1991). Metoda ini dikembangkan untuk memenuhi
permintaan yang meningkat pada tahun 1980-an dimana untuk skala tambang kecil
sampai menengah, dengan umur tambang relatif pendek serta sumberdaya ekonomi
yang tidak terbukti sebelumnya ditambang.

Bagaimanapun juga metoda ini potensial untuk aplikasi yang limited vision,
tidak jelas pengetahuan dan kriteria perancangannya. Tabel 2.3 diatas menunjukkan
perbandingan dari kedua metoda. Bila metoda ini diketahui dan dipakai sebagai
bagian yang penting dalam geoteknik untuk tambang, maka perlu diperhatikan proses
dalam mengintegrasikan pada perencanaan tambang, karena biasanya menghasilkan :

METODE RANCANGAN LERENG | 22


- pengurangan resiko
- pengurangan hasil pengupasan
- perbaikan dalam keseimbangan keamanan dan ongkos

Tabel 2.4 Metoda pengamatan dan penerapannya pada pertambangan (Peck, 1983)

Metoda desain pengamatan Klasifikasi


Tahap-tahap yang sama pada
umum aktivitas
metoda geoteknik pertambangan
desain

1. Eksplorasi untuk karakterisasi Penilaian geologi daerah.


umum. Identifikasi ciri-ciri geoteknik yang
Pengamatan
penting. Klasi-fikasi geoteknik pada
2. Penilaian yang paling jelek.
kondisi geologi.

3. Rancangan kondisi yang paling Rancangan highwall akhir yang


mungkin. paling mungkin
4. Pemilihan dan kuantitatifikasi Analisis dan
parameter yang diamati selama rancangan
penggalian untuk kondisi yang Rancangan sistem pemantauan
paling mungkin. untuk highwall sementara

5. Seperti di atas untuk kondisi Penilaian pengembangan pit, jalan


paling jelek. angkut dan pengurangan pekerjaan,
Perencanaan, jadi kesempatan yang ada untuk
6. Pemilihan dan perbaikan
pengu-kuran dan mengambil penilaian resiko, memperbaiki data sebelumnya untuk
tindakan jika indikasi peringanan resiko akhir perancangan.
pengamatan yang paling
mungkin.

7. Pengamatan dan pengukuran Pemantauan Pemetaan secara detail dimulai dari


selama konstruksi. penggalian pit atau awal penggalian.
(feedback loops)
8. Modifikasi perancangan yang Penilaian kembali perancangan.
diperlukan. Pemantauan.

METODE RANCANGAN LERENG | 23


BAB III

PENYELIDIKAN LAPANGAN

3.1. Peta Geologi

Peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah /
wilayah / kawasan dengan tingkat kualitas yang tergantung pada skala peta yang
digunakan dan menggambarkan informasi sebaran, jenis dan sifat batuan, umur,
stratigrafi, struktur, tektonika, fisiografi dan potensi sumber daya mineral serta energi
yang disajikan dalam bentuk gambar dengan warna, simbol dan corak atau gabungan
ketiganya.

Ada beberapa istilah geologi yang sering digunakan dalam penerapan teknologi
penginderaan jauh untuk studi inventarisasi sumber daya mineral antara lain:

 Skala peta adalah perbandingan jarak yang tercantum pada peta dengan jarak
sebenarnya yang dinyatakan dengan angka atau garis atau gabungan keduanya.
 Peta geologi dapat dibedakan atas peta geologi sistematik dan peta geologi
tematik.
 Peta geologi sistematik adalah peta yang menyajikan data geologi pada peta
dasar topografi atau batimetri dengan nama dan nomor lembar peta yang
mengacu pada SK Ketua Bakosurtanal No. 019.2.2/1/1975 atau SK
penggantinya.
 Peta geologi tematik adalah peta yang menyajikan informasi geologi dan/atau
potensi sumber daya mineral dan/atau energi untuk tujuan tertentu.
 Pemetaan geologi adalah pekerjaan atau kegiatan pengumpulan data geologi,
baik darat maupun laut, dengan berbagai metoda.
 Sumber daya geologi adalah sumber daya alam yang meliputi sumber daya
mineral, energi, air tanah, bentang alam dan kerawanan bencana alam geologi.

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 24
Gambar 3.1 Contoh peta geologi Halmahera
(www.geocities.com)

3.2. Peta Topografi

Berasal dari bahasa yunani, topos yang berarti tempat dan graphi yang berarti
menggambar. Peta topografi memetakan tempat-tempat dipermukaan bumi yang
berketinggian sama dari permukaan laut menjadi bentuk garis-garis kontur, dengan satu
garis kontur mewakili satu ketinggian. Peta topografi mengacu pada semua ciri-ciri
permukaan bumi yang dapat diidentifikasi, apakah alamiah atau buatan, yang dapat
ditentukan pada posisi tertentu. Oleh sebab itu, dua unsur utama topografi adalah ukuran
relief (berdasarkan variasi elevasi axis) dan ukuran planimetrik (ukuran permukaan
bidang datar). Peta topografi menyediakan data yang diperlukan tentang sudut
kemiringan, elevasi, daerah aliran sungai, vegetasi secara umum dan pola urbanisasi.

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 25
Peta topografi juga menggambarkan sebanyak mungkin ciri-ciri permukaan suatu
kawasan tertentu dalam batas-batas skala.

Peta topografi dapat juga diartikan sebagai peta yang menggambarkan


kenampakan alam (asli) dan kenampakan buatan manusia, diperlihatkan pada posisi
yang benar. Selain itu peta topografi dapat diartikan peta yang menyajikan informasi
spasial dari unsur-unsur pada muka bumi dan dibawah bumi meliputi, batas
administrasi, vegetasi dan unsur-unsur buatan manusia.

Secara umum, peta topografi adalah peta ketinggian titik atau kawasan yang
dinyatakan dalam bentuk angka ketinggian atau kontur ketinggian yang diukur terhadap
permukaan laut rata-rata.

Gambar 3.2 Contoh kontur peta topografi


(http://egsc.usgs.gov/isb/pubs/gis_poster/gisgraphics/figure15.jpg)

3.3. Survey Geofisika

Survey geofisika merupakan metode pemantauan yang mempergunakan prinsip-


prinsip geofisika untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan. Teknik Geofisika

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 26
terdiri dari seismik refraksi dan seismic, refleksi, resistivitas elektrik dan gravimetrik
serta pengukuran magnetik.

3.3.1 Gelombang Seismik

 Vs = f {E,r, tingkat ke-masifan)


 Vs di dalam suatu massa batuan dapat menunjukkan tingkat kerusakan massa
batuan tersebut.
 Untuk karakterisasi massa batuan digunakan metoda seismik refraksi dalam
menentukan Vs
 Vs dapat digunakan sebagai ukuran kemampuan suatu bulldozer untuk menggaru
sebuah massa batuan
 Di seismik refraksi hanya Ti first arrival yang masuk masing-masing geofon saja
yang diamati.
 Ti first arrival yang direkam oleh geofon terdekat kepada sumber energi akan
merambat langsung di permukaan tanah dan sebuah plot dari Ti first arrival serta
jarak tempuh atau rambat (X) untuk setiap geofon memberikan hubungan garis
lurus. Slopenya adalah kebalikan V1. Bila massa batuan dibawahnya V1
mempunyai kecepatan yang lebih tinggi, V2, gelombang refraksi kritis akan
selalu ada dan akan merambat sepanjang permukaan lapisan massa batuan ke-
dua dengan kecepatan V2. Gelombang tekan refraksi kritis menjadi gelombang
pertama yang datang di geofon dengan jarak X. Kemiringan atau gradien
hubungan nilai-nilai T-X memberikan kecepatan rambat gelombang dari
refraktor horizontal.

Kedalaman refraktor ini dari permukaan:

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 27
Dengan:

V1 = Kecepatan rambat gelombang pada lapisan permukaan atau


pertama.

V2 = Kecepatan rambat gelombang pada batuan lapisan kedua.

To = Beda waktu kedatangan ke permukaan berkecepatan rendah.

Gambar 3.3 Diagram skematik susunan seismik refraksi

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 28
Gambar 3.4 Contoh uji seismik refraksi di tambang Air Laya hasil perekaman oleh
Bison Seismograph (Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

3.3.2 Indeks Kecepatan

 Gabungan antara sifat dinamik batuan utuh dan sifat dinamik massa batuan akan
memberikan beberapa indeks yang berguna untuk menganalisa kemampugalian.
 Knill (1970): nisbah antara kecepatan gelombang seismic longitudinal (yang
diukur di lapangan VF atau V2) dengan kecepatan gelombang sonik yang diukur
di laboratorium (VLab) sebagai indeks kualitas massa batuan (F = VF/VLab) dan
Fraktur Indeks.
 King & McConnel (Braybrooke, 1988) menggunakan sebuah indeks yang
diturunkan dari Fraktur Indeks dan disebut dengan Indeks Kecepatan (VI) :

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 29
Gambar 3.5 Metode Geoseismik

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

3.4. Pemboran

Metoda-metoda pemboran yang dapat dipakai di dalam proses pengambilan


conto bergantung pada bermacam-macam faktor, antara lain :

- genesa endapan

- kedalaman

- tipe batuan

Untuk endapan alluvial, pengambilan conto dapat dilakukan dengan bor Bangka
(timah alluvial di Bangka, Billiton, dan Singkep). Pemboran dilakukan secara manual
dan sample diambil dengan mempergunakan bailer.

Untuk suatu endapan primer yang terletak jauh di bawah permukaan, sampling
dilakukan dengan memakai pemboran inti (diamond drilling). Conto yang diperoleh

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 30
berupa inti (core) dan sludge. Inti sebagai conto yang tidak terganggu terdapat dalam
core barrel ; sludge ditampung di permukaan di dalam sludge tank.

3.4.1 Core Sampling

Core sampling diperoleh dari pemboran inti. Core biasanya dibelah dua; 1
bagian untuk assay dan 1 bagian untuk dokumentasi geologi. Cutting biasanya
dikumpulkan melalui pembilasan lubang dengan fluida bor menghasilkan sludge.
Tingkat ketelitian drill core tergantung pada core recovery. Tingkat ketelitian cutting
pemboran relatif lebih rendah, baik kadar akibat salting maupun posisi kedalaman akibat
lifting capacity.

Beberapa kesalahan yang berhubungan dengan pemboran :

 Inklinasi lubang bor yang tidak sesuai dengan kemiringan lapisan


 Core recovery yang kurang baik
 Pemilihan interval pengambilan sampel yang kurang sesuai
 Kesalahan dalam preparasi sampel
 Penanganan core yang kurang baik

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 31
Gambar berikut memperlihatkan contoh pemboran dan contoh Drill Core.

Gambar 3.6 Contoh pemboran

(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/1/1a/Drilling_machine.jpg)

Gambar 3.7 Drill core dan cutting samples

(Notosiswoyo, 2000)

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 32
Gambar 3.8. Drill core

(http://www.maaamet.ee/docs/geoloogia/kast_th.jpg)

3.5 Metode Scanline

3.5.1 Jarak Antar Kekar

Jarak pisah antar diskontinuiti atau kekar adalah jarak tegak lurus antara dua
bidang diskontinuiti yang berurutan sepanjang sebuah garis pengamatan yang disebut
scan-line, dan dinyatakan sebagai intact length. Panjang scan-line minimum untuk
pengukuran jarak diskontinuiti sekitar 50 kali jarak rata-rata diskontinuiti yang hendak
diukur. Sedangkan menurut ISRM (1981) panjang ini cukup sekitar 10 kali, tergantung
kepada tujuan pengukuruan scan-line-nya.

Tabel 3.1 Klasikasi Jarak Kekar (Attewell, 1993)

Deskripsi Struktur Bidang Diskontinu Jarak (mm)

Very wide spaced Very thickly bedded > 2000

Widely spaced Thickly bedded 600 – 2000

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 33
Moderately widely spaced Medium bedded 200 - 600

Closely spaced Thinly bedded 60 - 200

Very closely spaced Very thinly bedded 20 -60

Thicklylaminated (sedimentary) 60- 200

Narrow (metamorphic & igneous) 60- 200

Foliated, cleaved, flow-banded, 60- 200


metamorphic, etc

Exteremely closely spaced Thinly laminated (sedimentary) < 20

Very closely foliated, cleaved flow- banded <6


(metamorphic and igneous), etc <6

3.5.2 Prosedur Normal untuk Garis Pengukuran Kekar

11 Gambar 3.9 Prosedur normal untuk garis pengukuran kekar

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 34
Keterangan gambar :

 Garis bentangan
 Membentuk dip
 Setinggi mata pengamat
 Panjang minimum garis pengukuran yang tersedia
 10 kali jarak rata-rata kekar/panjang minimum 30 m
 Variasi orientasi keluarga kekar
 Kerataan permukaan singkapan massa batuan
 Ketersedian muka singkapan massa batuan lain yang saling tegak lurus
 Diukur 2 kali, maju-mundur
 Variasi jenis batuan
 Keadaan air tanah
 Cuaca
 Ketersedian peralatan

Gambar 3.10 Pengukuran kekar

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 35
3.6. Uji Mekanika Batuan In-Situ

Uji mekanika batuan in-situ dilakukan untuk mendapatkan karakteristik massa


batuan di tempat asalna beserta pengaruh-pengaruh dari cacat geologi baik yang
melewatinya atau berada di dekat lokasi proyek.

3.6.1. Block Shear Test

Uji mekanika batuan in-situ untuk analisis kemantapan lereng adalah uji geser
atau dikenal dengan blok shear test terutama disepanjang permukaan diskontinuitas
untuk mendapatkan kuat geser dari bidang-bidang diskontinuitas. (Gambar 1
memperlihatkan peralatan untuk “blok shear test” yang dilakukan di dalam galian
bawah tanah) uni in-situ ini diperlukan pada saat rancangan rinci (detailed design)
lereng batuan alamiah atau artificial, penggalian batuan di pertambangan.

Gambar 1 memperlihatkan peralatan dan tata letaknya di dalam sebuah lubang


bukaan. Setelah persiapan selesai, beban tangensial dan beban normal dilakukan keada
blok batuan dengan jack hidrolik. Untuk pengujian di dalam lubang bukaan, jack
hidrolik menyangga atap dan dinding lubang tersebut. Jack vertical memberikan beban
normal pada blok dan jack miring atau horisontal memberikan beban tangensial (geser).
Pengukuran deformasi dilakukan selama pembebanan dan pelepasan beban dengan
menggunakan dial gauge. Pengujian ini juga akan membrikan besaran sudut ketahanan
geser dari batuan.

τ = n . tan  + C

dimana :

τ = kuat geser (shear strength)

n = tegangan normal di atas bidang geser

 = sudut ketahan geser dari batuan

C = kohesi batuan

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 36
Gambar 3.11 Block shear test
(http://tecservices.com/Portals/0/TileBondShearTest800.jpg)

3.6.2. Rock Loading Test (Jacking Test)

Analisis kemantapan lereng dengan menggunakan metode numerik (FEM,


Distinct Element) memerlukan parameter deformasi batuan yang berupa modulus
deformasi batuan dan parameter kekuatan batuan.

Untuk mendapatkan modulus deformasi massa batuan dilakukan uji in-situ yang disebut
rock loading test dan untuk mendapatkan kekuatan massa batuan dilakukan In-situ
Triaxial Compression Test.

Kemampurubahan (deformability) suatu massa batuan in-situ biasanya


ditentukan dengan cara mendongkrak batuan tersebut (jacing test). Peralatan yang
digunakan untuk jacking test seperti yang ditujukkan oleh Gambar 2. Pengujian ini
dilakukan di bawah tanah di dalam sebuah lubang bukaan batuan atau lebih dikenal
dengan istilah test adit. Jack menekan atap dan lantai lubang bukaan atau menekan
dinding yang pada bagian kontaknya merupakan permukaan plat yang rata. Hasil dari
pengujiaan ini adalah deformasi atap dan lantai atau dinding akibat pembebanan oleh
jack tersebut. Deformasi ini diukur dengan dial gauge dan extensometer.

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 37
Gambar 3.12 Jacking test

(http://www.jirizar.com/Imagens_Website/Jack%20Test.png)

Modulus deformasi atau modulus elastisitas dapat dihitung dengan persamaan :


E  2a 1   2  WF
dimana :

E = modulus deformasi/elastisitas.

 = poisson’s ratio.

a = jari-jari plat distribusi.

F = penambahan perpindahan (increment of displacement), jika


pengukuran dilakukan di tengah-tengah plat.

Gambar 3 memperlihatkan contoh kurva tekanan dan perpindahan dari jacking test dan
Gambar 4 memperlihatkan contoh diagram regangan pada kedalaman tertentu dari
jacking test.

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 38
3.6.3. Insitu Triaxial Compression Test

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik deformasi dan kekuatan


batuan pada kondisi pembebanan triaxial. Tempat pengujian adalah di dalam lubang
bukaan bawah tanah. Kontak permukaan lantai, atap dan dinding yang akan dikenakan
beban berukuran sekitar 1,0 m x 1,0 m. Peralatan dan tata letaknya dapat dilihat pada
Gambar 5.

Pembebanan ke arah vertikal dilakukan oleh jack hidrolik, sedangkan untuk arah
horisontal oleh flat jack. Dudukan flat jack dibuat dengan cara menggali bagian lantai.
Ruang antara flat jack dengan dinding batuan yang akan ditekan diisi oleh semen. Agar
dapat diperoleh nilai deformasi, maka dipasang tiga buah bore hole extensometer
sepanjang masing-masing  1,0 m dan dan electric displacement transducer untuk
mengukur perpindahan (displacement) vertikal. Sedangkan untuk arah horisontalnya,
perpindahan diukur dengan deflectometer dan electric displacement transducer.

Gambar 3.13 Alat uji Insitu Triaksial

(http://www.groundscience.com.au/library/content/triaxial.jpg)

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 39
Gambar 3.14 Diagram pressure - displacement dari jacking test

(From Peck, R.B., Proceedings of ASCE, Stability and Performances of Slopes


Embankments, Berkeley, CA, 1969, PP.437-451. With permission)

Pada sebuah terowongan dilakukan pengujian in-situ triaxial compression.


Pembebanan maksimum ke arah vertikal adalah 60 kgf/cm2 dan ke arah horisontal
sampai mencapai 880 kgf/cm2. Kadang-kadang tekanan ke arah horisontal sampai
menacapai 200 kgf/cm2. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 2.

Ev adalah modulus untuk pembebanan statik yang menaik.

EA adalah modulus untuk pembebanan statik yang menurun.

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 40
Tabel 3.2 Pengujian In-situ Triaxial Compression

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

Siklus No. Interval tegangan Interval EV Modulus EA Modulus


regangan mm kgf/cm2
vertikal, kgf/cm2 kgf/m2

1. 5,0 - 30,0 0,00 - 0,22 113.000

30,0 - 5,0 0,22 - 0,07 160.000

2. 5,0 - 10,0 0,07 - 0,31 145.000

40,0 - 0,5 0,31 - 0,06 140.000

3. 5,0 - 40,0 0,06 - 0,30 145.000

40,0 - 5,0 0,30 - 0,06 145.000

4. 5,0 - 40,0 0,06 - 0,27 166.000

40,0 - 5,0 0,27 - 0,04 152.000

5. 5.0 - 60,0 0,04 - 0,64 144.000

60,0 - 5,0 0,64 - 0,24 137.000

6. 5,0 - 60,0 0,24 - 0,72 144.000

60,0 - 5,0 0,72 - 0,34 144.000

7. 5,0 - 60,0 0,34 - 0,68 161.000

60,0 - 0,0 0,68 - 0,52 375.000

PENYELIDIKAN LAPANGAN | 41
BAB IV

UJI LABORATORIUM

Penyelidikan di laboratorium dilakukan untuk mendapatkan :

1. Sifat fisik batuan seperti bobot isi, spesific garvity, porositas, absorpsi,
void ratio.

2. Sifat mekanik batuan seperti kuat tekan, kuat tarik, modulus elastisitas,
Poisson’s ratio.

Uji di laboratorium pada umumnya dilakukan terhadap contoh (sample) yang


diambil dilapangan. Satu contoh dapat digunakan untuk menentukan kedua sifat
batuan. Pertama-tama adalah penentuan sifat fisik batuan yang merupakan pengujian
tanpa merusak (non-destructive test), kemudian dilanjutkan dengan penentuan sifat
mekanik batuan yang merupakan pengujian merusak (destructive test) sehingga
percontoh batu hancur.

Gambar 4.1 Irregular sample (kiri) dan block sample (kanan)

(Laboratorium Geomekanika Teknik Pertambangan ITB)

UJI LABORATORIUM | 42
4.1. Penentuan Sifat Fisik Batuan di Laboratorium

4.1.1 Pembuatan Contoh

1. Di laboratorium

Pembuatan contoh di laboratorium dilakukan dari blok batu yang diambil di


lapangan yang di bor dengan penginti laboratorium. Percontoh yang di
dapat berbentuk silinder dengan diameter pada umumnya antara 50 - 70 mm
dan tingginya dua kali diameter tersebut. Ukuran contoh dapat lebih kecil
maupun lebih besar dari ukuran yang disebut di atas tergantung dari maksud
pengujian.

2. Di lapangan

Dari hasil pemboran inti (core drilling) langsung ke dalam batuan yang
akan diselidiki di lapangan di dapat inti yang berbentuk silinder. Inti
tersebut langsung dapat digunakan untuk engujian di laboratorium dengan
syarat tinggi contoh dua kali diameternya.

Setiap contoh yang diperoleh kemudian di ukur diameter dan tinggginya,


dihitung luas permukaan dan volumenya.

Gambar 4. 2 Alat coring lab, blok batuan setelah di-coring, dan sampel hasil coring.

(Laboratorium Geomekanika Teknik Pertambangan ITB)

UJI LABORATORIUM | 43
4.1.2 Penimbangan Berat Contoh

1. Berat contoh asli (natural) : Wn.

2. Berat contoh jenuh (sesudah dijenuhkan dengan air selama 24 jam) : Ww.

3. Berat contoh jenuh di dalam air : Ws.

4. Berat contoh kering (sesudah dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam


dengan temperatur kurang lebih 90 C) : Wo.

5. Volume contoh tanpa pori-pori : Wo - Ws.

6. Volume contoh total : Ww - Ws.

4.1.3 Sifat Fisik Batuan

Wn
1. Bobot isi asli (natural density) =
Ww  Ws

Wo
2. Bobot isi kering (dry desity) =
Ww  Ws

Ws
3. Bobot isi jenuh (saturated density) =
Ww  Ws

Wo
4. Apparent specific gravity = / bobot isi air
Ww  Ws

Wo
5. True specific gravity = / bobot isi air
Wo  Ws

Wn  Wo
6. Kadar air asli (natural water content) = x100%
Wo

Ww  Wo
7. Saturated water content (absorption) = x100%
Wo

Wn  Wo
8. Derajat kejenuhan = x100%
Ww  Wo

Ww  Wo
9. Porositas ( n ) = x100%
Ww  Ws

n
10. Void ratio ( e ) =
1 n

UJI LABORATORIUM | 44
Gambar 4.3 Neraca (kiri), desikator & pompa vakum (tengah) dan oven (kanan)

(Laboratorium Geomekanika Teknik Pertambangan ITB)

4.2. Penentuan Sifat Mekanik Batuan di Laboratorium

4.2.1 Pengujian Kuat Tekan (Unconfined Compressive Strength Test)

Pengujian ini menggunakan mesin tekan (compression machine) untuk


menekan contoh batu yang berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu arah
(uniaxial). Penyebaran tegangan di dalam contoh batu secara teoritis adalah searah
dengan gaya yang dikenakan pada contoh tersebut. Tetapi dalam kenyataannya arah
tegangan tidak searah dengan gaya yang dikenakan pada contoh tersebut karena ada
pengaruh dari plat penekan mesin tekan yang beebentuk bidang pecah yang searah
dengan gaya melainkan berbentuk “cone”.

 
Perbandingan antara tinggi dan diameter contoh   mempengaruhi nilai
 D


kuat tekan batuan. Untuk perbandingan = 1 kondisi tegangan triaxial saling
D
bertemu (Gambar 4.3) sehingga akan memperbesar nilai kuat tekan batuan. Untuk

pengujian kuat tekan digunakan 2 < < 2,5.
D

Makin besar maka kuat tekannya akan bertambah kecil seperti ditunjukkan
oleh persamaan di bawah ini :

 menurut ASTM

UJI LABORATORIUM | 45
 c
c  1
D 0,222
0,778 +

D

 menurut PROTODIAKONOV

 8 c dimana :  c = kuat tekan batuan


c 2
D 2
7

D

Gambar 4.3 Distribusi gaya yang terjadi pada uji UCS

Gambar 4.4 Kurva tegangan-regangan hasil pengujian kuat tekan

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

UJI LABORATORIUM | 46
Displacement dari contoh batu baik axial (1) maupun lateral (D) selama
pengujian berlangsung dapat diukur dengan menggunakan dial gauge / electric
strain gauge.

Gambar 4.5 Penyebaran tegangan di dalam contoh batu dan bentuk pecahannya pada
pengujian kuat tekan (Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

Gambar 4.6 Kurva tegangan-regangan pada uji UCS

UJI LABORATORIUM | 47
Dari hasil pengujian kuat tekan, dapat digambarkan kurva tegangan-regangan
(stress-strain) untuk tiap contoh batu. Kemudian dari kurva ini dapat ditentukan sifat
mekanik batuan (Gambar 4.6) :

1. Kuat tekan = 

2. Batas elastik = E


3. Modulus Young : E =
 a

 1
4. Poisson’s ratio :   pada tegangan 1.
 a1

Gambar 4.7 Pengujian kuat tekan dengan menggunakan dial gauge

(http://www.biggles.net/images/cam/TDC_DG.JPG)

Gambar 4.8 Pengujian kuat tekan dengan menggunakan electric strain gauge

(http://www.biggles.net/images/cam/)

UJI LABORATORIUM | 48
Gambar 4.9 Kurva tegangan - regangan

(after Meyers & Priest : 1992)

Beberapa definisi modulus Young

1. Tangent Young’s Modulus Et.

Diukur pada tingkat tegangan = 50% c.


Et 
 a

2. Average Young’s Modulus Eav.

Di ukur dari rata-rata kemiringan kurva atau bagian linier yang terbesar dari
kurva.


Eav 
 a

3. “Secant Young’s Modulus”.

Di ukur dari tegangan = 0 sampai nilai tegangan tertentu, yang biasanya = 50%
c.


Es 
 a

UJI LABORATORIUM | 49
Gambar 4.10 Kurva modulus untuk berbagai kriteria

4.2.2 Pengujian Kuat Tarik (Indirect Tensile Strength Test)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tarik (tensile strength) dari
contoh batu berbentuk silinder secara tidak langsung. Alat yang digunakan adalah
mesin tekan seperti pada pengujian kuat tekan.

4.2.3 Point Load Test (Test Franklin)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan (strength) dari contoh


batu secara tidak langsung dilapangan. Percontoh batu dapat berbentuk silinder atau
bentuknya tidak beraturan. Peralatan yang digunakan mudah dibawa-bawa, tidak
begitu besar dan cukup ringan. Pengujian cepat, sehingga dengan cepat dapat
diketahui kekuatan batuan di lapangan, sebelum pengujian di laboratorium di
lakukan. Percontoh yang disarankan untuk pengujian ini adalah yang berbentuk
silinder dengan diameter = 50 mm (NX = 54 mm).

Gambar 4.11 Alat PLI untuk Lab

(Laboratorium Geomekanika Teknik Pertambangan ITB)

UJI LABORATORIUM | 50
Gambar 4.12 Kurva tegangan-regangan contoh batu kapur

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

Gambar 4.13 Bentuk contoh posisi batu untuk PLI

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

Gambar 4.14 Bentuk contoh batu sebelum dan sesudah point load test

(Astawa Rai, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

UJI LABORATORIUM | 51
Gambar 4.15 Peralatan untuk point load test

(http://www.ibf.uni-karlsruhe.de/felslabor/images/punktlast.jpg)

Dari pengujian ini di dapat :

P
IS =
D2

Dimana :

IS = point load strength index (index Franklin)

P = beban maksimum sampai contoh pecah

D = jarak antara dua konus penekan

Hubungan antara “index Franklin” (IS) dengan kuat tekan (c) menurut
BIENIAWSKI adalah sebagai berikut : c = 23 IS untuk diameter contoh = 50
mm. Jika IS = 1 Mpa maka index tersebut tidak lagi mempunyai arti sehingga
disarankan untuk menggunakan pengujian lain dalam penentuan kekuatan (strength)
batuan.

UJI LABORATORIUM | 52
Gambar 4.16 Kriteria Indeks Kekakuan Batuan (Franklin Index)

4.2.4 Pengujian Triaxial

Pengujian ini adalah salah satu pengujian yang terpenting di dalam mekanika
batuan untuk menentukan kekuatan batuan di bawah tekanan trixial. Percontoh yang
digunakan berbentuk silinder dengan syarat-syarat sama pada pengujian kuat tekan.

Dari hasil pengujian triaxial dapat ditentukan :

 strength envelope (kurva intrinsic)

 kuat geser (shear strength)

 sudut geser dalam ()

 kohesi (C)

UJI LABORATORIUM | 53
Gambar 4.17 Pengujian triaxial

(Simangunsong, Kramadibrata, & Wattimena, 1998)

Gambar 4.18 Lingkaran Mohr dan kurva Intrinsic dari hasil pengujian Triaxial

(Hoek & Brown, 1980)

UJI LABORATORIUM | 54
Gambar 4.19 Lima tipe pecahnya sampel pada uji Triaxial

(Griggs & Handin, 1960)

4.2.4.1 Tegangan Dalam Dua Dimensi

UJI LABORATORIUM | 55
Memungkinkan kita untuk menentukan tegangan normal σ dan tegangan
geser τ pada setiap bidang yang didefenisikan oleh θ untuk setiap kombinasi nilai σ x,
σy, dan τxy.

4.2.4.2 Kriteria Hoek and Brown :

UJI LABORATORIUM | 56
& adalah tegangan efektif maksimum & minimum saat batuan runtuh, adalah

nilai konstanta Hoek & Brown m untuk massa batuan S & a adalah konstanta

yg bergantung pada karakteristik massa batuan adalah UCS batuan utuh.

Hubungan antara tegangan prinsipal saat suatu batuan runtuh diberikan oleh &

 Selang nilai sangat kritikal.

Hoek & Brown (1980) gunakan 0 < < 0.5

 Setidaknya perlu 5 titik data untuk dimasukan dalam analisis.

4.2.4.3 Penentuan dan

4.2.5 Punch Shear Test

Pengujian ini untuk mengetahui kuat geser (shear strength) dari contoh batu
secara langsung. Percontoh berbentuk silinder tipis yang ukurannya sesuai dengan

UJI LABORATORIUM | 57
alat punch test dengan tebal t cm dan diameter d cm (Gambar 20). Sesudah contoh
dimasukkan ke dalam alat punch test kemudian ditekan dengan mesin tekan sampai
contoh pecah (P kg).

P
Kuat geser (shear strength) = ( kg / cm2 )
 d.t

4.2.6 Direct Box Shear Strength Test

Pengujian ini untuk mengethai kuat geser batuan pada tegangan normal
tertentu. Dari hasil pengujian dapat ditentukan (Gambar) :

 garis Coulomb’s sher strength

 kuat geser (shear strength).

 sudut geser dalam ()

 kohesi (C)

Gambar 4.20 Alat pengujian kuat geser (shear strenght test)

(Laboratorium Geomekanika Teknik Pertambangan ITB)

UJI LABORATORIUM | 58
Gambar 4.21 Grafik hasil pengujian kuat geser (shear strenght test)

4.2.7. Ultrasonic Velocity Test

Modulus Young (E) dan Poisson’s ratio () dapat juga ditentukan secara
tidak langsung (dinamis) dengan ultrasonic velocity test yaitu mengukur cepat
rambat gelombang ultrasonic pada contoh batu.

Dari hasil pengujian ini akan didapat nilai-nilai cepat rambat gelombang
primer (Vp) dan cepat rambat gelombang sekunder (VS). Kemudian dapat dihitung
modulus Young dan Poisson’s ratio dari batuan yang diuji.

Perhitungan hasil ultrasonic velocity test :

a. Cepat rambat gelombang primer (Vp)

L
Vp  m / det ik
tp

dimana :
L = panjang contoh (m)

UJI LABORATORIUM | 59
tp = waktu yang dibutuhkan gelombang primer merambat
sepanjang percontoh (detik)

b. Cepat rambat gelombang sekunder (VS)

L
VS  m / det ik
ts

dimana :

ts = waktu yang dibutuhkan gelombang sekunder merambat

sepanjang percontoh (detik).

c. “Dynamic modulus of rigidity” (modulus geser) G

G =  . VS 2

dimana :

 = massa persatuan volume (kg/m3).

d. Poisson’s ratio ()

  V 2 
  S 
12  
  V p  
 
  V 2 
 
21 S  
V 
  p  

e. “Dynamic Young’s modulus of elasticity”

E = 2 ( 1 +  ) G (kg/cm2)

UJI LABORATORIUM | 60
f. Konstanta LAME


   V p 2  2 VS 2 

g. “Bulk modulus”

K

3
3V p
2

 4VS (kg / cm 2 )
2

UJI LABORATORIUM | 61
BAB V

STEREONET

5.1 Beberapa Definisi

Teknik Stereografis merupakan metoda grafis yang digunakan untuk


menunjukkan stike dan dip dari suatu bidang. Sebelum melakukan pengeplotan pada
struktur, perlu dipahami dahulu beberapa istilah yang harus diketahui dalam
pengukuran bidang lemah. (Gambar 5.1)

Gambar 5.1 Istilah yang dipakai dalam pengukuran bidang lemah

(http://en.wikipedia.org/wiki/File:StrikeDipPlungeRake.jpg)

Keterangan gambar :

 Strike : Arah garis horizontal yang terletak pada suatu bidang lemah yang
miring.

 Dip : Kecondongan dengan sudut kemiringan terbesar, dibentuk oleh


bidang lemah miring dengan bidang horizontal.

STEREONET | 57
 Dip Direction : Arah Kemiringan bidang lemah miring, diukur pada bidang
horisontal dan tegak lurus strike.

 Plunge : Kemiringan suatu garis miring, diukur dari bidang horisontal.

 Trend : Arah dan garis pada bidang horisontal yang terbentuk dari proyeksi
suatu garis miring.

5.2. Cara Penggambaran Struktur Batuan pada Jaring Schmidt

Dalam penggambaran struktur batuan, digunakan jaring Schmidt (Schmidt's


net) sebagai pola, dan kertas transparan untuk menggambarkannya.

A. Penggambaran Struktur Bidang

Sebagai contoh akan digambarkan sebuah bidang dengan orientasi N 40 oE / 50oS.


tahap-tahap penggambarannya adalah sebagai berikut (lihat Gambar 1).

Tahap I : Kertas transparan dihimpitkan pada jaring Schmidt, kemudian titik


Utara (N) ditandai. Dari arah N diukur 40o kearah E, kemudian
ditandai.

Tahap II : Arah yang ditandai di atas (40o) diputar ke arah N (dihimpitkan


pada N), kemudian digambar busur pada lingkaran besar, 50o dari
luar lingkaran. Kutub bidang tersebut diperoleh dengan
menggambarkan sebuah titik, 50o dari pusat jaring (90o dari busur
tadi).

Tahap III : Titik utama (N) yang sudah ditandai pada tahap I, kemudian
dikembalikan pada arah semula sehingga bidang dengan orientasi
N 40o E / 50o sudah tergambar.

Dengan cara yang sama, bidang-bidang (struktur batuan) dengan orientasi yang
lain dapat digambarkan.

STEREONET | 58
Gambar 5.2 Penggambaran struktur bidang pada jaring Schmidt

(Hoek & Bray, 1981)

B. Arah dan Penujaman Perpotongan Dua Bidang

Sebagai contoh digambarkan dua bidang A dan B yang saling berpotongan


dengan orientasi N 40o E / 40o S dan 165o E / 30o S (lihat Gambar 2) :

Tahap I : penggambaran kedua bidang di atas dilakukan pada jaring Schmidt


(lihat bagian A).

Tahap II : arah perpotongan kedua bidang tersebut diperoleh dengan menarik


garis dari pusat jaring ke perpotongan kedua bidang (200,5o).

Tahap III : memutar titik perpotongan kedua bidang di atas sampai berhimpit
sumbu W-E, kemudian mengukur sudutnya dari luar lingkaran.
Sudut tersebut merupakan sudut penujaman perpotongan dua
bidang (20,5o).

STEREONET | 59
C. Sudut Perpotongan Dua Bidang

Sebagai contoh, akan digambarkan dua bidang A dan D, dengan orientasi N 300o
E / 50o N dan N 230o E / 36o N (lihat Gambar 3) :

Tahap I : penggambaran kedua bidang tersebut pada jaring Schmidt,


sehingga diperoleh kutub kedua bidang (lihat bagian A).

Tahap II : memutar kedua bidang tersebut sehingga berhimpit pada satu busur
lingkaran besar. Sudut antara kedua kutub tersebut merupakan
sudut perpotongan kedua bidang di atas (64o).

D. Penggambaran Sudut Geser Dalam (f)

Sudut geser dalam digmbrkan sebagai sebuah lingkaran pada jaring Schmidt
dengan pusatnya berhimpit dengan pusat jaring. Besar sudut tersebut diukur
(digambarkan) dari luar jaring ke arah pusat jaring. Sebagai contoh akan
digambarkan sudut geser dalam (f) sebesar 30o (lihat Gambar 4).

Gambar 5.3 Penggambaran arah dan penujaman perpotongan dua bidang

(Hoek & Bray, 1981)

STEREONET | 60
Gambar 5.4 Sudut perpotongan dua bidang (Hoek & Bray, 1981)

Gambar 5.5 Penggambaran sudut geser dalam

(Hoek & Bray, 1981)

STEREONET | 61
BAB VI

LONGSORAN BIDANG

Longsoran bidang ini, bila dibandingkan dengan longsoran baji (dibahas


dalam bab VII) relatif jarang terjadi. Namun bila kondisi yang menunjang terjadinya
longsoran bidang ada, maka longsoran yang terjadi mungkin akan lebih besar (secara
volume) daripada longsoran baji, Oleh karena itu pengetahuan akan analisis
longsoran bidang sangat diperlukan. Dalam pembahasan berikut ini akan dibatasi
pada persoalan dua dimensi saja.

6.1. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Bidang

Untuk kasus longsoran bidang dengan bidang gelincir tunggal, persyaratan


berikut ini harus terpenuhi.

- bidang gelincir mempunyai strike sejajar atau hampir sejajar (maksimal 20 0)


dengan strike lereng

- jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang gelincir harus muncul
di muka lereng, dengan kata lain kemiringan bidang gelincir lebih kecil
daripada kemiringan lereng

- kemiringan bidang gelincir lebih kecil adripada kemiringan lereng

- kemiringan bidang gelincir lebih besa daripada sudut geser dalamnya

- harus ada bidang release yang menjadi pembatas di kanan kiri blok yang
menggelincir

Seperti biasanya, analisis dua dimensi selalu mempertimbangkan unit


ketebalan yan garahnya tegak lurus dengan garis muka lereng. Oleh karena itu
bidang gelincir dapat direpresentasikan sebagai garis kemiringan tertentu dan blok
yang menggelincir dapat direpresentasikan dengan suatu luasan pada penampang
vertical tegak lurus dengan strik lereng.

LONGSORAN BIDANG | 62
Gambar 6.1 Kondisi umum longsoran bidang (Hoek and Bray, 1981)

6.2. Analisis Longsoran Pada Bidang

Posisi rekahan tarik perlu diperhatikan dalam analisis ini, yaitu di belakang
crest lereng atau di muka lereng (gambar 6.2) sedangkan asumsi-asumsi yang
digunakan dalam analsis ini adalah sebagai berikut:

LONGSORAN BIDANG | 63
Gambar 6.2 Posisi rekahan tarik (tension crack) pada lereng batuan

(Hoek and Bray, 1981)

a. bidang gelincir dan rekahan tarik memiliki strke yang sejajar dengan strike
lereng

b. rekahan air pada bidang adalah vertical dan terisi air sedalam Z w

c. air membasahi bidang gelincir lewat bagian bawah bidang rekahan tarik dan
merembes sampai di jejaknya di permukaan lereng

LONGSORAN BIDANG | 64
d. gaya W (berat blok yang menggelincir), U (gaya angkat oleh air), dan V
(gaya tekan air di dalam rekahan tarik) bekerja di titik pusat blok. Sehingga
diasumsikan tidak ada momen akibat rotasi

e. kuat geser (τ) dari bidang gelincir adalah τ = c + σ.tanø, dimana c = kohesi,

ø = sudut geser dalam, serta σ = tekanan normal

f. terdapat bidang release di kanan-kiri blok sehingga tak ada hambatan di


kanan-kiri blok yang menggelincir

Persamaan yang digunakan untuk menentukan factor keamanan adalah


sebagai berikut:

cA  (W cos p  U  V sin p ) tan 


F …………………….(6-1)
W sin p  V cos p

Dimana :

A  ( H  z ) cos ec p

U 1
2  w Z w ( H  Z ) cos ec p

V 1
2  wZ w2

W 1
2 H 2 {(1  ( z / H 2 ) cot p  cot f (rekahan tarik di belakang crest)

W 1
2 H 2 {(1  ( z / H 2 ) cot p (cot p tan f  1)} (rekhan tarik di muka lereng)

Bila diinginkan adanya perbandingan antara geometri lereng , kedalamanan


air daam rekahan tarik dan pengaruh dari kuat geser yang berbeda, maka persamaan
(3-1) dapat dimodifikasi menjadi berikut :

(2C / H ) P  (Q cot  p  R( P  S )} tan 


F .……………..(6-2)
Q  RS cot  p

Dimana :

P  (1  z / H ) cos ec p

LONGSORAN BIDANG | 65
Q  {(1  ( z / H ) 2 ) cot p  cot f }sin p (rekahan tarik di belakang crest)

Q  {(1  ( z / H ) 2 ) cos p (cot p tan f  1)} (rekhan tarik di muka lereng)

 wZwZ
R
ZH

ZwZ
S sin p
ZH

Untuk keperluan prakti, nilai P dan S dapat dicari dengan menggunakan


grafik pada gambar 3.3, sedangkan nilai Q dicari dengan menggunakan grafik pada
gambar 3.4

Gambar 6.3 Nilai perbandingan P dan S untuk bermacam-macam geometri

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN BIDANG | 66
Gambar 6.4 Nilai perbandingan Q untuk bermacam-macam geometri lereng

(Hoek and Bray, 1981)

Bila lereng batuan tersebut berada di daerah rawan gempa dan percepatan
yang ditimbulkan gempa dapat dimodelkan menjadi statis αW, maka peritungan
factor keamaan dapat dilakukan dengan memesaukkan pengaruh gempa dengan cara
memodifikasi persamaan (3-1) menjadi sebagai berikut :

cA  {W (cos p   sin p )  U  V sin p } tan 


F
W (sin p   cos p )  V cos p

LONGSORAN BIDANG | 67
6.3. Soal Latihan

Diketahui sebuah lereng batuan dengan posisi muka lereng N0450E/500S dan
tinggi (h) 60 m. Pada lereng tersebut dijumpai bidang lemah yang bisa menyebabkan
terjadinya longsoran bidang. Posisi bidang tersebut terukur dengan kompas adalah
N0450E/350S. Di belakang crest lereng ternyata berkembang rekahan tarik sedalam
14 m. Dari data laboratorium diperoleh bahwa γbatuan = 2.6 t/m3, sedangkan
parameter kuat geser bidang lemah adalah ø = 300 dan c = 11 t/m2. Bila terjadi hujan
lebat sehingga rekahan tarik penuih terisi oleh air (γ w = 1 t/m3 ) dan di daerah
tersebut sering terjadi gempa dengan α = 0.08g, mantapkah lereng tersebut ?

LONGSORAN BIDANG | 68
BAB VII

LONGSORAN BAJI (WEDGE FAILURE)

7.1. Persyaratan Umum Terjadinya Longsoran Baji

Berbeda dengan longsoran bidang, longsoran baji akan terjadi bila ada 2
bidang lemah atau lebih berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji
terhadap lereng (gambar 4.1). persyaratan lain yang harus terpenuhi untuk terjadinya
longsoran baji adalah bila sudut lereng lebih besar dari pada sudut garis potong
kedua bidang lemah tersebut (Ψfi > Ψi), dan sudut garis potong kedua bidang lemah
lebih besar daripada sudut geser dalamnya.

7.2. Analisis Longsoran Baji

Bila tahanan bidang gelincir (permukaan bidang lemah yang berpotongan)


hanya tergantung pada friksi saja (tanpa kohesi), maka penentuan faktor keamanan
dapat menggunakan persamaaan berikut ini :

( R A  RB ) tan 
F ……………………………………………(7-1)
W sin i

Dimana RA dan RB adalah reaksi ke arah normal bidang A dan B (gambar


4.2) dengan membuat penampang tegak lurus garis potong kedua bidang lemah
tersebut, maka akan diperoleh persamaan sebagai berikut :

RA sin(  1 2  )  RB sin(  1 2  ) …………………………….(7-2)

RA cos(  1 2  )  RB cos(  1 2  )  W cos i …………….(7-3)

Bila kedua persamaan di atas diselesaikan, maka akan diperoleh :

W cos i sin 
R A  RB  …………………………………….(7-4)
sin 12 

Dengan mensubstitusikan persamaan (7-4) ke persamaan (7-1) maka akan


diperoleh persamaan sebagai berikut :

LONGSORAN BAJI | 69
sin  tan 
F ……………………………………………..(7-5)
sin 12  tan i

Sudut β, ξ, Ψi ini akan sangat mudah ditentukan dengan bantuan stereonet.

Gambar 7.1 Geometri longsoran baji

(Hoek & Bray, 1981)

LONGSORAN BAJI | 70
Gambar 7.2 Gaya-gaya pada longsoran baji

(Hoek & Bray, 1981)

Apabila ternyata ketahanan geser bidang gelincir juga dipengaruhi oleh


kohesi dan dijumpai pula adanya adanya rembesan air di bidang-bidang lemah
tersebut , maka penentuan faktor keamanan harus mempertimbangkan kedua faktor
tersebut. Dengan membuat asumsi untuk air bahwa air hanya masuk di sepanjang
garis potong bidang lemah dengan muka atas lereng (garis 3 dan 4 pada gambar 7.3)
dan merembes keluar di sepanjang garis potong bidang lemah dengan muka lereng
(garis 1 dan 2 pada gambar 7.3) serta baji bersifat impermeable, maka persamaan
yang digunakan untuk menentukan faktor keamanan adalah sebagai berikut :

3  
F (c A X  c BY )  ( A  W X ) tan  A  ( B  W Y ) tan  B …(7-6)
H 2 2

LONGSORAN BAJI | 71
Dimana :
CA, CB = kohesi bidang lemah A dan B

øA, øB = sudut geser dalam bidang lemah A dan B

γ = bobot isi batuan

γw = bobot isi air

H = tinggi keseluruhan dari baji yang terbentuk (gambar 4.3)

X = sin  24 /(sin  45 sin 2.na)

Y = sin 13 /(sin  35 sin 1.nb)

A = (cos a cos b cos  na.nb ) /(sin  5 cos 2  na.nb )

B = (cos b cos a cos  na.nb ) /(sin  5 cos 2  na.nb )

Ψ a , Ψb = dip bidang lemah A dan B

Ψ5 = plunge dari garis potong kedua bidang lemah (garis no 5)

Θ24, dll = sudut-sudut yang diperoleh dengan menggunakan stereonet seperti


terlihat pada gambar 4.4

7.3. Soal Latihan

Bidang C pada soal latihan sub-bab 2.3 adalah muka lereng dimana lereng
tersebut mempunyai tinggi 70 m. Baji yang terbentuk dari perpotongan bidang A dan
B serta muka lereng memiliki 50 m. Hitung faktor keamanan lereng tersebut bila γ
batuan = 2.6 t/m3, γw = 1 t/m3 cjoint = 11 t/m2 dan øjoint = 300 .

LONGSORAN BAJI | 72
Gambar 7.3 Geometri baji untuk analisis kemantapan dengan memperhitungkan
kohesi air

(Hoek & Bray, 1981)

Keterangan:

 1 = perpotongan antara bidang A dengan muka lereng.

 2 = perpotongan antara bidang B dengan muka lereng.

 3 = perpotongan antara bidang A dengan bagian atas permukaan lereng.

 4 = perpotongan antara bidang B dengan bagian atas permukaan lereng.

 5 = perpotongan antara bidang A dan B.

LONGSORAN BAJI | 73
Gambar 7.4 Stereoplot geometri baji dari gambar 7.3 untuk keperluan analisis

(Hoek & Bray, 1981)

LONGSORAN BAJI | 74
BAB VIII

LONGSORAN GULING

8.1. Kondisi Umum

Longsoran guling ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang hadir di


lereng mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng. Sebagai
perbandingan dengan jenis longsoran teradahulu, Hoek dan Bray, 1981, telah
membuat grafik yang dapat memberikan gambaran kapan terjadinya ketiga jenis
longsoran tersebut (gambar 8.1) adapun longsoran guling dapat dilihat pada gambar
8.2.

8.2. Analisis Longsoran Guling

Analisis ini mengambil asumsi bahwa longsoran guling yang terjadi


mempunyai n buah blok yang berbentuk teratur dengan lebar Δx dan tinggi yn
(gambar 8.3). untuk keperluan analisis, penomoran blok dimulai dari bawah (toe) ke
atas. Sudut kemiringan lereng adalah θ dan kemiringan muka atas lereng θu,
sedangkan dip dari bidang-bidan lemah adalah 90-α. Undak-undakan yang terjadi
(akibat longsoran) berbentuk teratur dan mempunyai kemiringan β. Constant a 1, a2,
dan b (gambar 8.3) selanjutnya dapat dihitung dengan persaman berikut

a1  x. tan(   )

a 2  x. tan(  u)

b1  x. tan(   ) ………………………………………………(8-1)

Tinggi blok ke-n (yn) dihitung dengan persamaan berikut ini

y n  n(a1  b) ………(untuk blok dari crest ke bawah)

y n  y n1 a2  b) ……(untuk blok di atas crest) ………………(8-2)

LONGSORAN GULING | 75
Gambar 8.1 Kondisi untuk tergelincir atau tergulirnya sebuah blok diatas bidang
miring

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN GULING | 76
Gambar 8.2 Bentuk longsoran guling (sesudah Goodman)

(Hoek and Bray, 1981)

Gambar 8.3 Model longsoran guling untuk model kesetimbangan batas

(Hoek and Bray, 1981)

Berdasarkan model pada gambar 8.3, terlihat ada tida grup blok yang
mempunyai tingkat kemantapan yang berbeda yaitu:

- satu set blok yang akan tergelincir (di daerah toe)

- satu set blok yang matap (di bagian atas)

LONGSORAN GULING | 77
- satu set blok yang aan terguling (di bagian tengah)

Dengan geometri yang berbeda mungkin saja set blok yang mantap dan yang
akan tergelincir berubah menjadi terguling semua.

Gambar 8.4 Kondisi kesetimbangan batas blok ke-n yang akan terguling dan
tergelincir

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN GULING | 78
Selanjutnya, kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja di setiap blok
ditunjukkan pada gambar 8.4. dari gambar tersebut terlihat bahwa gaya-gaya yang
bekerja di dasar blok ke-n adalah Rn dan Sn, sedangkan gaya-gaya yang berkerja di
interface (dengan blok terdekat) adalah P n, Qn, Pn-1, Qn-1. konsatanta Mn, Ln, dan Kn,
yang terdapat pada gambar tersebut dihitung sebagai berikut:

- untuk blok di bawah crest lereng: Mn = Yn ; Ln = Yn-a1 ; Kn =0

- untuk blok tepat di crest lereng : Mn = Yn-a2; Ln = Yn-a1 ; Kn =0

- untuk blok di atas crest lereng : Mn = Yn-a2; Ln = Yn ; Kn =0

sementara untuk gaya-gaya Qn, Qn-1, Rn, dan Sn dihitung dengan persamaan berikut
ini :

Qn = Pn tanø

Qn-1 = Pn-1 tanø

Rn = Wn cosα + (Pn-Pn-1)tanø

Sn = Wn sinα + (Pn-Pn-1) …………………………………………(8-3)

Dimana :

Wn = yn.Δx

Sedangkan untuk gaya-gaya Pn dan Pn-1, perhitungannya dibedakan untuk blok yang
terguling dan blok yang tergelincir.

 untuk blok ke-n yang terguling , dicirikan dengan yn/Δx > cotα bila ø>α, maka :

Pn1,t  {Pn (M n  x. tan  )  (Wn / 2)( y n sin   x cos  )} / Ln ………....(8-4)

Pn = 0 (untuk blok teratas dari set yang terguling)

= Pn-1 (untuk blok terguling di bawahnya)

Untuk kontrol lebih lanjut dapat dilihat bahwa pada blok ini harga

R n > 0 dan |S n | < R n tanø

 untuk blok ke-n yang tergelincir, dicirikan dengan S n = R n tanø, maka

Pn1,s  Pn  {Wn (tan  cos   sin  )} /{1  tan 2 }

LONGSORAN GULING | 79
Pn = Pn-1,t (untuk blok teratas dari set blok yang tergelincir)

= Pn-1,s (untuk blok terguling di bawahnya, disini akan terihat P n,t > Pn,s)

Perhitungan di atas dilakukan dengan mengambil ø > α, namun dengan


memperhatikan blok no.1 (toe) :

- jika Po>0, maka lereng berada pada kondisi tidak mantap untuk nilai ø yang
diasumsikan. Oleh karena itu disarankan untuk mengulang perhitungan
dengan meningkatkan nilai ø

- jika Po<0, maka disarankan untuk mengulang perhitungan dengan


menurunkan nilai ø

- jika Po>0 tetapi cukup kecil, maka lereng dalam kondisi setimbang untuk
nilai ø yang diasumsikan

8.3. Soal Latihan

Analisis model longsoran blok pada gambar 8.5, apabila Δx =10m, γ =


2.5t/m3 dan tanø = 0.7855

Gambar 8.5 Model longsoran guling untuk latihan

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN GULING | 80
BAB IX
LONGSORAN BUSUR (CIRCULAR FAILURE)

9.1. Kondisi Umum


Longsoran jenis ini banyak terjadi pada lereng batuan lapuk atau sangat
terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Seperti ditunjukkan pada bab
sebelumnya, bentuk bidang gelincir pada longsoran jenis ini akan menyerupai busur
bila digambarkan pada penampang melintang.

9.2. Analisis Longsoran Busur


Metoda yang paling banyak untuk menganalisa longsran jenis ini adalah
metoda Fellenius atau Swedia dan metoda Bishop. Namun untuk keperluan praktis,
Hoek dan Bray, 1983, telah menuangkan dalam bentuk diagram. Cara ini merupakan
cara yang sangat mudah, cepat, dan hasilnya masih dapat dipertanggung jawabkan.

Cara ini terutama tergantung pada :


1. jenis tanah/batuan, dalam hal ini tabah/batuan dianggap homogen dan
kontinyu
2. longsoran yang terjadi menghasilkan bidang luncur berupa busur lingkaran
3. tinggi permukaan air tanah pada lereng
Hoek dan Bray membuat 5 buah diagram untuk tiap-tiap kondisi air tanah tertentu
mulai dari sangat kering hingga jenuh.
Cara perhitungannya adalah sebagi berikut (untuk lebih jelasnya lihat gambar 9.1):
- langkah 1 : tentukan kondisi air tanah yang ada dan sesuaikan dengan gambar 9.2.
pilih yang paling tepat atau paling mendekati
- langkah 2 : hitung angka c/(γHtanø), kemudian cocokkan angka tersebut pada
lingkaran terluar dair diagram (chart) yang dipilih
- langkah 3 : ikuti jari-jari mulai dari angka yang diperoleh pada langkah 2 sampai
memotong kurva yang menunjukkan kemiringan
- langkah 4 : dari titik pada langkah 3, kemudian ditarik ke kiri dan kebawah untuk
mencari angka-angka tanø/F dan c/(γHF)
- langkah 5 : hitung faktor keamanan (F) dari kedua angka yang diperoleh dari
langkah 4 dan pilih yang paling tepat

LONGSORAN BUSUR | 81
Gambar 9.1 Langkah perhitungan faktor keamanan untuk longsoran busur dengan
menggunakan diagram Hoek dan Bray
(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN BUSUR | 82
Gambar 9.2 Keadaan atau pola aliran air tanah utuk diagram 1 sampai 5

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN BUSUR | 83
Gambar 9.3 Circular filure chart no.1

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN BUSUR | 84
Gambar 9.4 Circular filure chart no.2

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN BUSUR | 85
Gambar 9.5 Circular filure chart no.3

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN BUSUR | 86
Gambar 9.6 Circular filure chart no.4

(Hoek and Bray, 1981)

LONGSORAN BUSUR | 87
Gambar 9.7 Circular filure chart no.5

(Hoek and Bray, 1981)

9.3 Metode Bishop


Metode Bishop ini menggunakan kesetimbangan gaya dalam arah vertikal
dan kesetimbangan momen pada pusat lingkaran bidang gelincir. Dalam metode ini
gaya geser antar irisan diasumsikan nol. Faktor keamanan untuk metoe ini
dirumuskan sebagai berikut :

( X /(1  Y / F ))
F
( Z  Q )

LONGSORAN BUSUR | 88
Dimana :

X  (c'(h   w hw ) tan  ' )x / cos 

Y  tan  tan  '


Z  hx sin 

Q 1
2  w Z 2 / R

Gambar 9.8 Metoda Bishop


(Hoek & Bray.1981)

9.4. Soal Latihan


Hitunglah faktor keamanan suatu lereng timbunan dengan tinggi 40m dan
sudut kemiringan lerengnya 300, bila γbatuan = 1.8 t/m3 dan ø = 260

9.5. Longsoran Non-Sirkular Cara Janbu


Analisis kelongsoran untuk model non-sirkular yang banyak digunakan
adalah analisis cara Janbu. Agar pengaruh adanya beban dinamis (getaran) ikut
diperhitungkan dalam analisis, maka dilakukan sedikit modifikasi terhadap rumus
faktor kemanan (FK) Janbu, yaitu dengan menambahkan faktor gempa (FG) (lihat
gambar 8 dan 9) yang didefinisikan sebagai :

LONGSORAN BUSUR | 89
a
Fg = ................................................................................... (9.1)
g
dimana :
a = percepatan yang timbul sehubungan dengan adanya beban
dinamis/gempa, dapat berupa a h yang arah kerjanya mendatar atau
av yang arah kerjanya vertikal.
g = percepatan gravitasi.

Rumus faktor keamanan (FK) Janbu tetap berbentuk :

x

[1 + (y / FK)]
FK = fo x ............................................................ (9.2)
 (z) + Q
dengan y, Q dan fo seperti semula, sebesar :
y = tan (a) tan (f’) .......................................................................... (9.3)
Q = (1/2) gw zw2 ............................................................................... (9.4)


d  d 
2

Faktor koreksi : fo = 1 + K  - 1.4    .................................... (9.5)
 L  
L 
 
Jika c’ = 0 ; K = 0,31
c’ > 0 dan f’ > 0 ; K = 0,50

adapun x dan z berubah dari :


x = {c’ + (g h – gwhw) tan f’} (1 + tan2 a) Dx .......................... (9.6)
z = g h (tan a) Dx ....................................................................... (9.7)

LONGSORAN BUSUR | 90
BAB X

LONGSORAN BUCKLING

Contoh kasus Investigasi Geoteknik Buckling Failure Blok 49 Low-wall Pit


Gaharu Tambang Sambarata PT Berau Coal.

 Dimensi longsoran :

- Tinggi crest ke toe ± 30 meter, lebar ± 15 meter meter, tebal ± puluhan cm


s/d 1.5 meter

- Volume longsoran ± 250 BCM

 Jenis failure : buckling failure

Gambar 10.1 Longsor di Low-wall Pit Gaharu Blok 49 (Berau Coal 2007)

LONGSORAN BUCKLING | 91
10.1 Identifikasi Penyebab Failure

10.1.1 Faktor Internal ( Karakteristik Massa Batuan )

Karakteristik massa batuan pada laminasi sandstone, mudstone dan shale


dapat dilihat pada Tabel 10.1.

Tabel 10.1. Karakteristik batuan di Low-wall Pit Gaharu Blok 49 (Berau Coal 2007)

o Urutan berdasarkan stratigrafi di bawah lapisan bottom seam H


o Orientasi Umum Lereng N 1630 E – N 167 0E / 43 0 – 50

Hasil pemetaan perlapisan batuan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 10.2 Log bor pengeboran identifikasi Litologi bottom Seam H

(Berau Coal 2007)

LONGSORAN BUCKLING | 92
10.1.2 Faktor Eksternal
1. Karakteristik batuan highly weathered yang mudah teroksidasi terutama
pada litologi mudstone dan shale sehingga menyebabkan berkurangnya
kekuatan massa batuan
2. Infiltrasi air permukaan pada batas laminasi (bidang diskontinu) serta
karakteristik material sandstone, shale dan mudstone yang tergolong ke
dalam kelas permeable dan semi-permeabel. Hal ini berperan sebagai
tambahan gaya penggerak terjadinya failure
3. Gangguan yang cukup tinggi dan kontinyu pada struktur massa batuan
karena aktivitas penambangan (vibrasi pada lereng karena peledakan,
penggalian, dsb).

10.2 Analisa Geoteknik

10.2.1 Analisa Buckling Failure

Gambar 10.3 Buckling failure

(Berau Coal 2007)

LONGSORAN BUCKLING | 93
• Slab (lapisan tipis) dengan panjang l dan tebal d akan terjadi pada suatu
lereng low-wall dengan tinggi H dan kemiringan J
• Bagian yang akan mengalami penekukan (buckling) adalah dengan panjang
lbu, dimana lbu = 0,5l
• lbu akan mengalami buckling atau tertekuk apabila ada gaya per unit tebal
(tegak lurus bidang kertas) yang melewati kuat tekuknya.

Tabel 10.2. Hasil analisa geoteknik buckling failure (Berau Coal 2007)

Catatan : Litologi sandstone interlaminated, kemiringan lereng s/d


500 pada zone laminasi

10.2.2. Analisa Resiko

1. Indikasi potensi bahaya dan kondisi tidak aman terjadi karena faktor internal
dan eksternal pada lereng low-wall yang dapat menyebabkan kondisi kritis
dan tidak aman. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya terjadi failure secara
tiba-tiba dengan ukuran failure s/d 1.5 meter.
2. Failure yang terjadi sesuai dengan hasil kajian geoteknik yang telah
dilakukan sebelumnya.
3. Failure akan terus terjadi dan menerus pada blok-blok selanjutnya ke arah
utara selama pada permukaan lereng low-wall masih terdapat material
laminasi dan belum dilakukan pekerjaan penanganan dengan melakukan
penggalian pada material laminasi di bawah bottom seam H (sampai dengan
saat ini penggalian hanya dilakukan sampai dengan floor batubara seam H).
Hal ini teramati pada permukaan lereng low-wall pada kondisi aktual.

LONGSORAN BUCKLING | 94
10.3. Kajian Dan Rekomendasi

10.3.1 Rekomendasi

Beberapa hal yang direkomendasikan untuk antisipasi terhadap efek buckling


failure low-wall Pit Gaharu, sebagai berikut :

a. Pada setiap pekerjaan pengambilan batubara seam H dan penjenjangan


undercut, material laminasi penyebab buckling failure segera digali.
Penggalian tidak berhenti hanya sampai roof batubara seam H, seperti yang
telah dilakukan selama ini.
b. Apabila penggalian material laminasi di bawah seam H belum dilakukan
maka direkomendasikan untuk mempertahankan beda tinggi maksimal 20
meter pada setiap rencana pengambilan batubara seam H. Hal ini untuk
mengantisipasi terjadinya buckling failure pada ketebalan laminasi yang
memiliki interval ketebalan hingga 1 meter.

Gambar 10.4 Pekerjaan penanganan untuk Low-wall Pit Gaharu tambang Sambarata
(Berau Coal 2007)

LONGSORAN BUCKLING | 95
Mengacu kepada Instruksi dan Pedoman Kerja untuk low-wall Pit Gaharu
yang terkait dengan operasional di low-wall Pit Gaharu, direkomendasikan hal-hal
sbb :

a. Setiap personal yang berada di lokasi pengambilan batubara seam H (low-


wall), harus dilengkapi dengan alat komunikasi dan dipastikan bahwa alat
komunikasi tersebut berfungsi dengan baik.
b. Pengawas lapangan yang ditempatkan di lokasi tersebut (dalam hal ini
pengawas PT SIS), harus benar-benar fokus dalam memberikan pengawasan
dan memberikan arahan terhadap operasional kerja di lokasi tersebut. Hal ini
sangat penting dilakukan mengingat potensi longsoran yang dapat terjadi
sewaktu-waktu.
c. PT SIS harus memastikan bahwa rekomendasi geoteknik untuk operasional
pengerjaan, telah terdistribusi dan tersosialisasi dengan baik kepada seluruh
pengawas dan personal yang bekerja di lokasi tersebut.
d. PT SIS harus melakukan refreshing Pedoman Kerja di Low-wall Pit Gaharu,
secara berkala kepada seluruh pengawas dan personal yang terkait dengan
operasional di lokasi tersebut.

10.3.2 Kajian Teknis Untuk Mengurangi Tingkat Resiko

1. Intruksi kerja dan pedoman kerja low-wall Pit Gaharu


2. Cek list low-wall Pit Gaharu
3. Cek list inspeksi pekerjaan di daerah lereng

LONGSORAN BUCKLING | 96
BAB XI

MODEL NUMERIK

Sebelum menjelaskan model-model numerik yang digunakan di dalam


mekanika batuan akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian sistem dan model. Dan
pada bagian terakhir, akan diberikan fungsi-fungsi utama permodelan di dalam
mekanika batuan.

11.1 Sistem dan Model didalam Mekanika Batuan

Istilah “sistem” dapat diartikan sebagai suatu kumpulan dari beberapa elemen
yang beroperasi secara bersama untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan
(FORRESTER J. W., 1968).

Pendekatan sistem adalah suatu cara berpikir dari suatu sistem global dan
seluruh komponen-komponennya. Pendekatan sistem untuk modelisasi dalam bidang
mekanika batuan adalah suatu cara mengorganisasikan elemen-elemen yang diamati
(seringkali terpisah-pisah) di bawah suatu bentuk yang mengintegrasikannya ke
dalam suatu konsepsi umum dari obyek-obyek, fenomena dan mekanisme yang
dipelajari (PIGUET J. P., 1990).

Sangat banyak penulis yang telah mendefinisikan “model” dalam arti umum,
sebagai contoh :

- Suatu substitusi untuk suatu obyek atau suatu sistem (FORRESTER, 1968)

- Suatu simplifikasi atau lebih mengarah ke suatu imitasi dari suatu kenyataan
(STARFIELD A.M. dan CUNDALL P. A., 1988)

Di dalam bidang mekanika batuan, definisi dari model dapat diartikan antara
lain, sebagai berikut (PIGUET J. P., 1983) :

- Suatu representasi skematik, lebih kurang abstrak dari obyek-obyek riil yang
dipelajari.

MODEL NUMERIK | 97
- Suatu refleksi (sering difromulasikan secara matematik) dari suatu mekanisme
karakteristik dari perilaku suatu batuan/tanah.

- Suatu formulasi dari perilaku yang sama (atau dari beberapa bagian dari aspek
ini) dengan suatu hubungan matematik, sering difromulasikan secara statistik.

Istilah model didefinisikan, pertama, sebagai representasi skematik dari


perilaku intristik dari batuan pada ”tingkat” makroskopik dari perconto. Permodelan
ini akan dinyatakan oleh suatu hukum perilaku atau suatu kriteria perubahan perilaku
yang berbentuk suatu persamaan matematik yang menghubungkan, misalnya,
tegangan, regangan dan turunannya terhadap waktu (untuk suatu hukum perilaku
atau suatu hukum rheologik dalam suatu media kontinu) atau antara tegangan
prinsipal (untuk suatu kriteria pecahnya batuan), atau antara gaya dan perpindahan
pada bidang diskontinu. Kedua, penggunaannya pada studi dari massa batuan pada
“tingkat” lubang bukaan, atau pada skala dari obyek geologi yang lebih luas.

Penggunaan model di dalam suatu struktur alamiah (pemakaian kata “sturktur


alamiah” yang diterapkan disini, untuk membedakan dengan struktur buatan) telah
menjadi suatu bagian penting untuk meramalkan perilaku struktur tersebut. Suatu
interaksi antara pengukuran laboratorium dan pengukuran di lapangan serta
perhitungan diperlukan untuk membangun suatu model. Permodelan ini dapat
dilakukan dengan dua pendekatan : Pendekatan percobaan (laboratorium dan insitu)
dan pendekatan teoritis yang didasarkan pada perhitungan analitik dan numerik.

11.2. Model Numerik

Model numerik yang digunakan dalam bidang mekanika batuan dapat


dibedakan menjadi : model kontinu, model diskontinu dan model “hybrid”. Model
kontinu berdasarkan pada prinsip dasar dari dua metoda diferensial dan integral.

MODEL NUMERIK | 98
Model Numerik

Model Kontinu Model Diskontinu Model “Hybrid”

Metoda Pasangan antara


Metoda Metoda Metoda Elemen Model Kontinu &
Elemen Beda Elemen Deskrit Diskontinu
Hingga Hingga Batas

Gambar 11.1 Model Numerik (Irwandy Arif)

Pada metoda diferensial, daerah nyata yang dipelajari (suatu massa kontinu,
misalnya) digantikan oleh suatu representasi skematik pada ukuran yang sama,
dengan kondisi batas yang sama, dan dibentuk oleh suatu gabungan elemen-elemen
dari ukuran terbatas.

Persamaan dasar, seperti persamaan (diferensial) keseimbangan, hubungan


regangan (deformasi) – perpindahan (displacement), persamaan kesesuaian
(compatibility) untuk regangan, persamaan konstitutif dan kondisi batas, dipecahkan
dengan cara pendekatan numerik untuk setiap elemen.

Metoda integral atau metoda elemen batas (boundary element) menentukan


medan perpindahan dan keadaan tegangan dalam suatu media dengan menyimpulkan
pengetahuan gaya yang tersebar pada suatu permukaan yang merupakan bagian dari
daerah yang diteliti. Permukaan ini dapat berupa suatu batas intern yang diketahui
dalam metoda elemen batas. Gaya yang teralokasi pada permukaan batas ini diatur
dengan cara seperti keadaan ditemukan kembali, pada semua titik, vektor tegangan
yang diketahui, sesuai integrasi gaya-gaya yang teralokasi pada semua batas.

Pengintegralan ini dibuat dengan pengdiskretasian dari batas elemen yang


berisi titik-titik simpul (noeud) dan mengembalikan persoalan pada pengetahuan

MODEL NUMERIK | 99
gaya-gaya yang diaplikasikan pada titik simpul, semua ini dilakukan oleh suatu
pendekatan numerik.

Pendekatan ini, seperti halnya pada elemen hingga (finite element), adalah
satu butir kunci di dalam metoda. Butir kedua adalah penggunaan hubungan klasik
yang mengizinkan menentukan tegangan dan perpindahan pada suatu media tak
terhingga, isotrop dan elastik yang dikenai suatu gaya ponktuel (solusi Kelvin) atau
gaya yang teralokasi.

Untuk kedua metoda yang diaplikasikan pada model kontinu, adalah sangat
penting, pada suatu tahap tertentu, menyelesaikan sistem linier dari tipe F = K U
(gambar 11.2) untuk suatu elemen batas. Modifikasi suatu koefisien mempunyai
refleksi terhadap hasil secara keseluruhan.

Metoda elemen hingga dan metoda elemen batas kadang-kadang disebut


metoda implisit, sebagai lawan dari metoda eksplisit dimana pemecahan masalah
dibuat secara lokal untuk suatu persamaan independen sehubungan dengan satu
elemen dan elemen tetangga yang terdekat. Metoda beda hingga (finite difference)
dan metoda elemen distinct (distinct element) adalah 2 contoh metoda dari metoda
eksplisit.

Perhitungan dilakukan tahap per tahap, langkah waktu dipilih sedemikian


rupa sehingga konsekuensi dari sutau hasil merambat ke suatu kecepatan yang lebih
lambat dari perhitungan.

Model diskontinu menekankan pada “kepentingan” khusus dari bidang


diskontinu yang terdapat dalam batuan. Bidang-bidang diskontinu ini didefinisikan
oleh arah, jarak, bukaan, deformabilitas dan efek regangan dan kinematiknya
terhadap batuan.

Model diskontinu dibagi menjadi 2 grup. Pertama yang disebut sebagai


model kinematik, model ini hanya mengevaluasi kemungkinan gerakan dari blok
terhadap dua atau lebih bidang diskontinu. Teori blok kunci (key block : SHI G. H.
dan GOODMAN R. E., 1988) merupakan model tipik dari kategori ini. Grup kedua,
memandang massa batuan sebagai suatu gabungan dari elemen yang saling
berinteraksi secara mekanik. Metoda elemen “distinct” (CUNDALL et. Al., 1989)
adalah contoh dari kategori kedua ini.

MODEL NUMERIK |100


Gambar 11.2 Metoda Differensial – Metoda Elemen Hingga

(J. P. Piguet, 1990)

MODEL NUMERIK |101


Gambar 11.3 Metoda Integral – Metoda Elemen Hingga

(J. P. Piguet, 1990)

Banyak masalah geomekanik menerapkan masalah penggalian atau struktur


permukaan dimana batas persoalan harus dipandang tak terhingga. Untuk
memodelkan dengan teliti dari batas tak terhingga, kebanyakan program elemen
hingga atau beda hingga menekankan bahwa batas dari model harus ditempatkan
pada suatu jarak yang cukup dari daerah penggalian atau pada titik dimana
diaplikasikan beban untuk mengeliminir efek dari kondisi batas. Sayangnya,
representasi dari batas tak terhingga mengakibatkan terciptanya jumlah elemen yang
berarti, yang tentunya memerlukan waktu perhitungan yang panjang. Untuk

MODEL NUMERIK |102


mengatasi persoalan ini, penggunaan suatu pasangan antara metoda elemen batas dan
elemen hingga, atau beda hingga atau elemen distinct. Hal ini dapat mengurangi
waktu perhitungan.

Terdapat beberapa kemungkinan metoda pasangan ini :

 Metoda elemen batas dengan metoda elemen distinct.

 Metoda elemen hingga dengan metoda elemen distinct.

 Metoda elemen batas dengan metoda elemen hingga.

(lihat Gambar 11.4).

Satu model pasangan (hybrid) antara metoda elemen batas dan elemen distinct telah
dikembangkan oleh LORIG (1984) dan direalisasikan ke dalam program UDEC.

11.3. Fungsi Utama dari Permodelan

Ada empat fungsi prinsipal dari modelisasi dalam bidang mekanika batuan
(PIGUET J. P., 1990) :

1. Fungsi deskriptif

Penggunaan model diperlukan untuk menjembatani aksesbilitas ke objek


nyata, jadi diperlukan model yang merefleksikan sedekat mungkin dengan
kenyataan. Model ini antara lain adalah model figuratif atau maket.

2. Fungsi eksplikatif

Untuk memperjelas pengertian dari fenomena suatu objek. Model ini tidak
hanya membidik ke suatu refleksi dari kenyataan, tetapi juga
memperhitungkan secara teliti proses atau mekanisme yang mengenai
batuan dan lubang bukaan dalam keadaan yang berbeda.

Model “mekanistis” yang berdasar pada prinsip, konsep dan perhitungan


mekanik rasional sangat beradaptasi pada fungsi ini.

MODEL NUMERIK |103


Gambar 11.4 Model “Hybrides” (J. P. Piguet, 1990)

Tabel 11.1 Perbandingan beberapa metoda di dalam permodelan (Irwandy Arif)

Metoda Keuntungan Kerugian

1. Elemen  Dapat menganalisis kondisi  Memerlukan proses dan


Hingga bawah tanah yang kompleks waktu perhitungan yang
panjang
 Dapat mengsimulasikan
hukum konstitutif kompleks  Formulasinya dibatasi untuk

MODEL NUMERIK |104


dan non-homogen suatu perpindahan yang kecil

 Formulasinya tidak dapat


mengatasi ada bidang
diskontinu yang berpotongan

2. Beda  Metoda eksplisit yang  Memerlukan waktu


Hingga memungkinkan analisis perhitungan yang lebih lama
perilaku dari suatu persoalan untuk persoalan statik
yang merupakan fungsi dari dibandingkan dnegan metoda
waktu numerik yang lain

 Tidak memerlukan
pemecahan secara matriks,
jadi tidak memerlukan tempat
yang banyak di “memory”

 Dapat menghitung
perpindahan yang besar

 Lebih efektif untuk


perhitungan dinamik

3. Elemen  Sistem persamaan yang akan  Sampai sekarang, kapasitas


Batas dipecahkan lebih sedikit dari kebanyakan program
dibandingkan dengan metoda dibatasi pada perilaku linier
elemen hingga, sehingga tidak
 Persoalan yang kompleks,
memerlukan banyak tempat di
terutama yang merupakan
“memory”
fungsi dari waktu tidak dapat
 Data dan hasil melalui suatu dimodelkan dengan mudah
proses yang mudah dan dapat
dibandingkan dengan
gampang

 Lebih efektif dan lebih


ekonomis untuk masalah dua

MODEL NUMERIK |105


dan tiga dimensi jika batas
daerah yang didefinisikan
adalah daerah yang diteliti
lebih dalam

4. Elemen  Metoda ini terutama  Waktu perhitungan cukup


“Distinct” digunakan untuk studi panjang
“kinematik” dan dinamik dari
 Ada persoalan yang
suatu media dengan bidang-
berhubungan dengan masalah
bidang diskontinu
“per” (Amortizement)

3. Fungsi peramalan

Modelisasi memainkan peranan peranan penting dalam peramalan.


Peramalan “dini” dengan kata lain belum adanya pengalaman sejenis
terdahulu, hanya memberi sedikit peluang untuk berhasil, hal ini sering
dihubungkan dengan peramalan yang menggunakan ekstrapolasi (biasanya
diproses dengan teknik statistik).

Model mekanistik dapat juga menjalankan fungsi ini. Jadi menjadi


keharusan bahwa harga-harga dari parameter yang dimasukkan ke dalam
model haruslah dapat divalidasi, misalnya dengan cara membandingkan
dengan hasil pengukuran yang dilakukan pada lapangan yang dilakukan
dengan alat-alat yang cukup dan berkualitas.

4. Fungsi operasional

Mempresentasikan suatu tahap pencapaian dari tiga fungsi terdahulu. Model


ini dapat dijadikan inspirasi untuk menentukan aksi yang akan dilakukan.

MODEL NUMERIK |106


BAB XII

ANALISIS NUMERIK

Salah satu bentuk penyelesaian dengan cara numerik adalah dengan


menggunakan metoda elemen hingga (finite elemen method).

12.1. Konsep Dasar

Konsep dasar pada metoda elemen hingga adalah membagi suatu sistem
struktur menjadi elemen-elemen kecil yang disebut finite element dalam bentuk
geometri tertentu dimana masing-masing elemen dianalisis secara terpisah
selanjutnya diadakan penggabungan (summation) berdasarkan prinsip Continuity,
Compatibility, Equilibrium, Boundary Condition dan Convergence. Sasaran pokok
perhitungan adalah menentukan perpindahan dan tegangan yang terjadi pada
setiap titik dalam struktur.

Prosedur perhitungan dengan metoda elemen hingga dilaksanakan dalam 8


langkah dasar, yaitu :

a. Langkah 1 : Disretisasi dan memilih tipe elemen.

Yaitu membagi kontinum menjadi sejumlah elemen yang berhingga dengan


bentuk geometri yang sederhana (segi tiga, segi empat dan sebagainya).
Pertemuan antara lemen-elemen disebut garis nodal (nodal lines) atau
bidang nodal (nodal planes), sedangkan titik potong antara sisi-sisi elemen
disebut titik nodal.

b. Langkah 2 : Memilih model atau fungsi perpindahan

Yaitu memilih sebuah pola atau bentuk fungsi untuk distribusi perpindahan
setiap titik sembarang yang berlaku pada setiap elemen, dipengaruhi oleh
nilai titik nodalnya.

c. Langkah 3 : Menentukan hubungan regangan-peralihan dan hubungan


tegangan-regangan.

ANALISIS NUMERIK |107


Pada setiap elemen harus dipenuhi persyaratan hubungan regangan-
peralihan dan hubungan tegangan-regangan sesuai dengan kasusnya.

d. Langkah 4 : Menentukan persamaan elemen dan matrik kekakuan elemen.

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menurunkan persamaan


elemen yaitu dengan prinsip usaha virtual, yang akan menghasilkan bentuk
persamaan :

r = k q ............................................................................................ (12.1)

dimana :

r = vektor gaya titik nodal

k = matrik kekakuan elemen

q = vektor peralihan titik nodal.

e. Langkah 5 : Menentukan persamaan global dan memasukkan syarat-syarat


batas.

Persamaan-persamaan elemen yang diperoleh dari langkah 4 diadakan


penggabungan, dan dengan memasukkan syarat-syarat batas maka didapat
persamaan global dalam bentuk :

R = K Q ......................................................................................... (12.2)

dimana :

R = vektor penggabungan gaya titik nodal global

K = matrik kekakuan struktur

Q = vektor peralihan titik nodal global

f. Langkah 6 : Selesaikan persamaan global.

Persamaan (12.2) merupakan suatu sistem persamaan linier dimana hasil


yang diperoleh adalah peralihan titik nodal sebagai besaran pertama
(primary unknown)

g. Langkah 7 : Selesaikan besaran kedua.

Pada langkah ini dilakukan perhitungan regangan dan tegangan serta reaksi
perletakan.

ANALISIS NUMERIK |108


h. Langkah 8 : Interpretasi hasil.

Hasil perhitungan berupa output dari komputer yang segera dapat


dipergunakan untuk analisis desain. Interpretasi yang dilakukan antara lain :

 memilih penampang kritis dari sistem

 menggambarkan besaran peralihan dan tegangan yang terjadi dalam


sistem

12.2. Formulasi Analisis Dinamis

Pada sembarang kontinum elastis linier akan terdapat frekuensi alami dan
ragam getar yang dapat dicari dengan menggunakan massa benda tersebut beserta
kekakuannya. Sebuah elemen sangat kecil yang dinyatakan dalam koordinat
Cartesius. Pada elemen ini bekerja gaya tubuh bx(t)dV, by(t)dV, dan bx(t)dV yang
besarnya bergantung pada waktu t.

Gaya tubuh inersia ru dV, rv dV, dan rw dV; dua titik di atas notasi
menunjukkan turunan kedua u, v, dan w terhadap waktu. Lambang r dalam rumus ini
adalah kerapatan massa (mass density) yang didefinisikan sebagai gaya inersia per
satuan percepatan per satuan volume.

Apabila pada analisis statik persamaan keseimbangan struktur diperlihatkan


dengan persamaan (12.2), R = K Q, maka pada analisis dinamis hubungan tersebut
tidak dapat lagi digunakan, karena bertambahnya variabel-variabel yang harus
diperhitungkan. Untuk hal tersebut dikembangkan tiga model dinamisa, yaitu model
steady state, model nilai Eigen dan model respons spectrum atau seismik.

ANALISIS NUMERIK |109


BAB XIII

PERMODELAN LERENG

13.1 Pendahuluan

Massa batuan pada umumnya mempunyai rekahan yang ditimbulkan oleh


pembebanan yang mengenainya sejak pembentukannya. Rekahan yang diakibatkan
oleh kegiatan tektonik (rekahan alamiah) maupun oleh manusia (rekahan non alamiah)
misalnya akibat penggalian, memiliki suatu pengaruh yang besar terhadap perilaku dari
massa batuan. Hal ini dikarenakan oleh perpindahan terjadi pada umumnya
terkonsentrasi pada rekahan ini.

Suatu media diskontinu dibebankan dari media kontinu oleh adanya rekahan
ini atau disebut suatu kontrak (bisa berupa 2 atau dimensi) antara blok diskret yang
ada di dalam sistem (gambar 13.1). Kontak ini mempunyai karakteristik mekanik yang
lemah. Metode diskontinu dapat dikategorikan oleh presentasi bidang kontak dan blok
diskret dalam formulasi numerik.

Metode elemen distinct adalah suatu prosedur numerik yang mengijinkan


suatu simulasi komplit dari perilaku dari suatu media diskontinu. Jenis permodelan ini
berdasarkan pada 4 faktor yang penting :

1. Representasi material padat (matriks batuan).

2. Representasi kontak antara blok.

3. Prosedur untuk melokalisasi dan memperbaharui posisi kontak.

4. Prosedur perhitungannya sendiri.

Penggunaan kalimat metode elemen distinct digunakan pada program-program


apabila dalam prosedurnya melibatkan perpindahan relatif, rotasi dan pelepasan dari
blok-blok serta langkah-langkah otomatik untuk mengenali kembali kontak yang baru.

PERMODELAN LERENG | 110


a. Blok Elemen Distinct b. Zoning di dalam Blok
Gambar 13.1 Model dari terowongan bulat di dalam batuan terkekarkan
(Minepolis, Minnesota 55415 USA 1993)

Dalam formulasi numerik, gaya-gaya kontak dan perpindahan pada kontak


dari suatu tegangan keseluruhan dari blok-blok didapatkan memalui suatu seri
perhitungan yang menelusuri pergerakan dari blok-blok tersebut. Pergerakan
dihasilkan dari perambatan melalui gangguan sistem blok yang disebabkan oleh
pembebanan dan gaya-gaya blok. Ini adalah proses dinamik dimana kecepatan
propagasi bergantung pada sifat-sifat fisik dari sistem diskret.

Perilaku dinamik direpresentasikan secara numerik oleh suatu algoritma


langkah waktu (time step) dimana ukuran dari langkah waktu dibatasi oleh asumsi
kecepatan dan percepatan yang konstan di dalam setiap langkah waktu dibatasi oleh
asumsi kecepatan dan percepatan yang konstan di dalam setiap langkah waktu.
Metode elemen distinct didasarkan pada konsep dimana langkah waktu cukup kecil,
selama suatu langkah tunggal, gangguan tidak dapat merambat antara satu elemen dan
elemen tetangganya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa ada suatu limit
kecepatan batas dimana informasi dapat dikirim di dalam suatu media fisik. Skema
solusi adalah sama dengan yang digunakan oleh metode eksplisit beda hingga (explisit
finite difference method) untuk analisis kontinu.

PERMODELAN LERENG | 111


Batasan langkah waktu diapplikasikan baik untuk blok maupun untuk kontak.
Untuk blok kaku, massa blok dan kekakuan kontak antar blok mendefinisikan batasan
langkah waktu; untuk blok yang teregangkan, digunakan ukuran zona dan kekakuan
dari sistem termasuk kontribusinya dari modulus batuan dan kekakuan dari bidang
kontak. Perhitungan yang ditunjukkan di dalam metode elemen distinct berganti-ganti
antara aplikasi suatu hukum gaya-perpindahan pada semua bidang kontak dan hukum
kedua dari Newton pada semua blok. Hukum gaya-perpindahan digunakan untuk
mendapatkan gaya bidang kontak dari perpindahan yang diketahui (atau ditetapkan).
Hukum kedua dari Newton memberikan gerakan dari blok yang dihasilkan oleh gaya
yang bereaksi terhadap blok tersebut yang diketahui (atau ditetapkan). Jika blok
teregangkan, gerakan dihitung pada titik-titik simpul dari elemen segitiga dengan
regangan hingga di dalam blok, kemudian aplikasi dari hubungan konstitutif material
blok memberikan tegangan baru di dalam elemen. gambar 13.2 menunjukkan secara
skematik siklus perhitungan untuk metode elemen distinct. Persamaan di dalam
gambar dijelaskan pada tulisan berikut.

Gambar 13.2 Siklus perhitungan untuk metode elemen distinct


(Minepolis, Minnesota 55415 USA 1993)

PERMODELAN LERENG | 112


13.2 Latar Belakang Permodelan Suatu Sistem Diskontinu

Suatu media diskontinu dibedakan dari media kontinu oleh adanya bidang
kontak interface antara blok diskret yang ada dalam sistem. Metoda diskontinu dapat
dikategorikan oleh presentasi blok diskret dalam formulasi numerik.

13.2.1 Aspek Permodelan Suatu Sistem Diskontinu

Model numerik harus mempresentasikan 2 tipe dari perilaku mekanik di dalam


suatu sistem diskontinu :

1. Perilaku dari bidang-bidang diskontinu.


2. Perilaku dari material padat.

Pertama, model harus mengenali keberadaan bidang kontak atau interface


diantara blok diskret yang terdapat dalam sistem. Metoda numerik dibagi dalam 2
grup atas dasar cara pemrosesan perilaku di dalam arah normal dari gerakan bidang
kontak. Pada grup pertama (yang menggunakan pendekatan bidang kontak lunak),
suatu kekakuan normal hingga diambil untuk merepresentasikan kekakuan terukur
yang ada pada suatu bidang kontak atau rekahan (joint). Pada grup kedua (yang
menggunakan pendekatan bidang kontak keras), interpenetrasi dipandang sebagai non
fisik, dan algoritma digunakan untuk mencegah setiap interpenetrasi dari dua blok
yang membentuk suatu bidang kontak.

Pemilihan asumsi bidang kontak akan lebih ditekankan berdasarkan fisik


daripada kenyamanan numerik atau keanggunan matematik. Tergantung pada
lingkungan yang ada, adalah memungkinkan untuk suatu sistem fisik yang sama
menunjukkan perilaku yang berbeda. Sebagai contoh, suatu gabungan bola
direpresentasikan sangat baik dengan bidang kontak kaku jika koefisien geser adalah
nol dan tingkat tegangan yang sangat rendah (Papadopoulus, 1986). Walaupun
demikian, jika propagasi gelombang dimodelkan melalui media yang sama pada
tegangan dan geseran yang tinggi, kekakuan bidang kontak harus diperhitungkan agar
supaya dapat memperoleh kecepatan gelombang yang benar.

Komentar di atas berhubungan dengan besaran dari gaya bidang kontak.


Sebagai tambahan, lokasi bidang kontak harus diidentifikasi di dalam model. Untuk

PERMODELAN LERENG | 113


titik kontak (atau kontak selalu pada suatu titik), lokasi vektor gaya resultan sudah
pasti pada titik kontak, tapi jika kondisi kontak yang terjadi melalui suatu daerah
dengan luas terhingga pada kedua blok, lokasi gaya tidak begitu jelas. Satu assumsi
dapat dikatakan bahwa gaya resultan bereaksi pada titik pusat (centroid) dari volume
interpenetrasi.

CUNDALL (1988) mengusulkan bahwa lokasi tersebut akan dipandang


sebagai suatu sifat konstitutif independen, tergantung pada rotasi relatif pada dua
permukaan bidang kontak. Meskipun demikian suatu program komputer dapat
menghubungkan lokasi gaya terhadap variabel geometrik, namun pada saat ini, data
yang sangat terbatas dari test fisik, sehingga sulit melakukan pembenaran terhadap
suatu assumsi fisik.

Tipe kedua dari perilaku mekanik adalah model harus menggambarkan


perilaku dari material padat yang membentuk partikel-partikel atau blok di dalam
sistem diskontinu.Ada 2 jenis material yang berbeda yaitu : material kaku (rigid) dan
material yang terenggangkan (deformable).

Assumsi material kaku adalah tepat bila kebanyakan dari regangan di dalam
sistem fisik disebabkan oleh gerakan dari bidang diskontinu. Kondisi yang
diapliaksikan, sebagai contoh, di dalam suatu gabungan blok-blok batuan tanpa
tekanan (unconfined) pada tegangan yang rendah, seperti suatu lereng dangkal pada
suatu batuan yang terkekarkan. Gerakan umumnya adalah glinciran dan rotasi dari
blok, dan terbuka atau tertutupnya bidang diskontinu.

Regangan pada material padat tidak dapat diabaikan, dua metoda utama dapat
digunakan untuk memperhitungkan regangan. Pada metoda langsung dari pengalaman
regangan, material dapat dibagi menjadi elemen internal atau elemen batas agar supaya
menambah derajat kebebasan. Kemungkinan kompleksan dari regangan tergantung
pada jumlah elemen di dalam model. Sebagai contoh program UDEC secara otomatis
mendiskretisasi setiap blok menjadi segitiga, zona regangan konstan. Dalam hal
elastik, formulasi dari zona ini identik dengan regangan elemen hingga konstan. Zona
dapat juga mengikuti suatu keputusan, hukum konstitutif non-linier. Kerugian dari

PERMODELAN LERENG | 114


metoda ini adalah suatu blok dari bentuk yang kompleks harus dibagi menjadi
beberapa zona, meskipun hanya dibutuhkan suatu pola regangan yang sederhana.

Suatu pola regangan kompleks dapat dicapai dalam suatu blok dengan
superposisi dari beberapa bentuk untuk keseluruhan dari blok. Sebagai contoh,
WILLIAMS dan MUSTOE (1987) menulis kembali persamaan matriks dari gerakan
untuk satu elemen yang berkenan satu set dari jenis ortogonal yang dapat atau tidak
menjadi eigen-mode. Setiap jumlah dari jenis ini dapat ditambahkan agar dapat
menemukan pola regangan untuk suatu masalah dalam bentuk yang rumit yang
teregangkan secara sederhana karena hanya sedikit jenis yang diperlukan. Walaupun
demikian, adalah tidak mudah untuk memasukkan material non-linier karena
kebutuhan superposisi.

13.2.2 Program Komputer untuk Permodelan Sistem Diskontinu

Banyak program komputer di dasarkan pada formulasi mekanika kontinu


(misalnya program elmen hingga dan beda hingga lagrangian) dapat mensimulasi
variabilitas dari jenis material dan perilaku konstitutif non-linier yang berasosiasi
dengan massa batuan, tetapi representasi dari bidang diskontinu memerlukan formulasi
dasar diskontinu. Ada beberapa program elemen hingga, elemen batas, beda hingga
yang tersedia yang telah mempunyai elemen antar permukaan atau slide lines yang
mampu memodelkan material diskontinu sampai batas pengembangan tertentu.
Namun demikian masih mempunyai beberapa keterbatasan. Pertama, perhitungan akan
berhenti apabila ada bidang diskontinu yang bersilangan. Kedua, tidak ada skema
otomatis untuk mengenali bidang kontak yang baru. Ketiga, formulasi dibatasi pada
perpindahan/rotasi yang kecil. Untuk sebab-sebab inilah, program yang berdasarkan
sistem kontinu dengan elemen antar permukaan sangat terbatasi penggunaannya untuk
analisis dari penggalian bawah tanah untuk batuan terkekarkan.

Suatu kelas program komputer yang dinamakan elemen diskret membuktikan


kemampuannya untuk merepresentasikan gerakan persilangan banyak bidang
diskontinu secara eksplisit. CUNDALL dan HART (1989) memberikan definisi
metode lemen diskret; nama diskret hanya diberikan bila :

PERMODELAN LERENG | 115


(a) Menginginkan perpindahan dan rotasi hingga dari benda diskret, termasuk
pelepasan secara sempurna.

(b) Mampu megenali secara otomatis bidang kontak yang baru, sesuai
kemajuan perhitungan.

Program elemen diskret secara tipik mewujudkan sifat-sifat penting suatu


algoritma yang effisien, untuk mendeteksi dan mengklasifikasikan bidang kontak.
Program ini akan menjaga suatu struktur data dan skema alokasi memori yang dapat
memproses ratusan atau ribuan bidang diskontinu.

CUNDALL dan HART (1989) mengidentifikasikan 4 kelas dari program yang


sesuai dengan definisi elemen diskret :

1. Program elemen distinct, menggunakan suatu skema perjalanan waktu yang


eksplisit untuk memecahkan persamaan gerak secara langsung. benda dapat
bersifat kaku atau teregangkan (deformable) dengan membagi benda tersebut
menjadi elmen-elemen; bidang kontak yang teregangkan Relaksasi statik
adalah bervariasi. Program yang ada adalah : TRUBAL (CUNDALL dan
STRACK, 1979); UDEC (CUNDALL, 1980, CUNDALL dan HART, 1985);
TRIDEC (CUNDALL, 1988, HART et.al, 1988); DIBS (WALTON, 1980)
dan 3DSHEAR (WALTON et.al, 1988).

2. Metoda modal adalah sama seperti metoda elemen distinct di dalam hal blok
kaku, tetapi untuk benda yang teregangkan, superposisi model digunakan
(mis. : WILLIAMS dan MUSTOE, 1987), metoda ini tampaknya lebih cocok
untuk kumpulan diskontinu yang jarang (loosely-packed discontinua); pada
simulasi dinamik dari kumpulan yang padat eigen mode nampaknya tidak
direvisi untuk emnghitung kendala dari bidang kontak tambahan, contoh
program adalah CICE (HOCKING, et.al., 1985).

3. Analisis regangan diskontinu mengasumsi bidang kontak sebagai benda kaku,


sedangkan bendanya (blok) sendiri dapat sebagai benda kaku atau
teregangkan. Kondisi dari tidak penetrasi dicapai oleh satu skema iteratif;
deformabilitas datang dari superposisi dari cara regangan (strain modes).
Program yang termasuk kategori ini adalah DDA (SHI, 1989).

PERMODELAN LERENG | 116


4. Metoda pertukaran momentum mengasumsikan blok dan bidang kontak
adalah kaku : momentum ditukar antara 2 blok selama suatu tabrakan sesaat.
Glinciran geser (friction sliding) dapat direpresentasikan (sebagai contoh lihat
HANN, 1988).

Kelas program yang lain, didefinisikan sebagai metoda keseimbangan batas,


dapat juga memodelkan bidang diskontinu yang bersilangan, tetapi tidak dapat
memenuhi persyaratan dari program elemen distinct. Program ini menggunakan
analisis vektor untuk menetapkan kemungkinan kinematik dari setiap blok di dalam
sisitem untuk bergerak dan kemudian terpisah dari sistem tersebut.

Pendekatan ini tidak diuji perilaku berikutnya dari sistem blok atau
pendistribusian dari beban. Semua blok iasumsikan kaku. Blok kunsi (key block) oleh
GOODMAN dan SHI (1980) dan analisis stabilitas vektor oleh WARBURTON
(1981) adalah contoh dari metoda ini.

CUNDALL dan HART (1989) menyimpulkan atribusi dari berbagai metoda


elemen diskret dan metoda keseimbangan limit (gambar 13.3). Kelas dari metoda
elemen hingga dan metoda hingga dengan slide lines tidak dimasukkan disini karena
perbedaan yang besar diantara program-program ini. Ada beberapa program di dalam
kelas ini yang menunjukkan kemampuan seperti dalam gambar 13.3 ini, tetapi
program-program tersebut tidak mempunyai pendeteksi bidang kontak otomatis dan
logika interaksi umum, termasuk rotasi hingga dan keterkaitan (inter locking) blok.

PERMODELAN LERENG | 117


Gambar 13.3 Keterhubungan dari 4 kelas metoda elemen diskret dan metoda
keseimbangan batas (CUNDALL dan HART, 1989)

13.3 Presentasi Matriks Batuan (Blok)

Blok-blok terdiri dari elemen dasar dari model dinamik untuk tiap blok. Blok
ini dalam program UDEC dapat berupa blok kaku dan blok yang dapat terdeformasi.

13.3.1 Blok Kaku

Semua perpindahan dalam massa batuan terkonsentrasi pada tingkat kontak


(interface) dari blok, pergerakan dari blok dibatasi pada gerakan rotasi, geser dan
translasi tegak lurus pada permukaan kontak.

Jenis permodelan ini mempunyai suatu keuntungan nyata pada tingkat


perhitungan dari perpindahan dan dibenarkan sampai deformasi dari matriks batuan

PERMODELAN LERENG | 118


benar-benar tidak dihiraukan lagi. Pada suatu lereng dan suatu penggalian dengan
kedalaman yang rendah, tegangan dari penekanan adalah rendah.

13.3.2 Blok Yang Dapat Terdeformasi

Pada beberapa contoh aplikasi, adalah sukar untuk tidak memperhitungkan


deformasi elastik dari blok, terutama pada kedalaman yang besar atau untuk studi
fenomena dinamik.

Sementara itu tiap blok diproses secara sendiri-sendiri seperti suatu media
kontinu dengan hipotesa dapat terdeformasi. Dalam program UDEC, blok dibagi ke
dalam elemen-elemen kontinu intern untuk memperbesar derajat kebebasan dari blok,
kekompleksan dari deformasi tergantung pada jumlah elemen yang terdapat dalam
blok (gambar 13.4). Blok secara otomatis didiskretisasi menjadi elemen-elemen
segitiga (zone) dimana deformasi adalah konstan. Suatu repartisi dari perpindahan
linier dari elemen akan dijamin dalam hal ini.

Aplikasi dari elemen beda hingga pada tingkat dari tiap blok mengijinkan
penentuan dari tegangan, regangan, dan perpindahan pada tingkat dari titik-titik
simpul dari mes. Rotasi dan deformasi dihubungkan dengan perpindahan titik simpul
sebagai berikut :

1
 Ui,j + Uj,i 
1 
Ui, j - Uj,i 
   
 ij  ij 
2  2 

Tegangan dan regangan pada tingkat titik simpul dihitung dari hubungan linier
ζ = K ε atau non linier.

Δηije =λ. Δεv.δij + 2μ.Δεij

dimana :

λ = konstanta Lame

Δηije = pertambangan tensor tegangan regangan

Δεij = pertambangan deformasi non isotrop

Δεv = pertambangan deformasi volumetrik isotrop

δij = simbol Kronecker

PERMODELAN LERENG | 119


13.4 Representasi Dari Kontak

Representasi dari kontak terdiri dari permodelan interaksi antara blok-blok


dari massa batuan.Diusulkan oleh TROLLOPE (1968) kemudian diadaptasi oleh
CUNDALL (1971), interaksi direpresentasikan oleh pegas dalam dua arah tegak lurus
dan sejajar dengan permukaan kontak, gaya-gaya yang temobilisasi pada level kontak
adalah proporsional pada perpindahan relatif antar blok :

Δ Fn = Kn Δ Un …………………………………….. (13.1)

Δ Fs = Ks Δ Us }
dimana Kn dan Ks adalah kekakuan normal dan tangensial pada level kontak : Un dan

Us adalah pertambangan perpindahan normal dan tangensial pada level kontak.

Pada permodelan dua dimensi, kontak antara dua blok pada umumnya berupa garis
lurus, hubungan antara gaya dan tegangan dapat dinyatakan :

f fs
ζn = n ζn =
1 1
Sistem persamaan menjadi :
Δ ζn = Kn Δ Un …………………………………….. (13.2)

Δ ζs = Ks Δ Us }
Kn dan Ks dinyatakan dalam satuan tegangan per satuan panjang (misalnya MPa/m).

Meskipun blok-blok adalah blok yang secara total terdeformasi, titik-titik simpul yang
terletak pada permukaan dari kontak disimulasikan pada titik-titik ujungnya. Setiap
ujung dipengaruhi oleh suatu panjang dari kontak dan gaya dari kontak. Setiap ujung
dihitung dengan persamaan (2) (gambar 13.4).

 Setiap interval waktu (Δt) akan ditutup pertambahan perpindahan dan


pertambahan tegangan dari kontak yang berhubungan dengan pembebanan yang
diaplikasikan pada blok. Pertambangan gaya ΔFn dan ΔFs ditambahkan pada

keadaan gaya awal untuk menghitung keadaan tegangan yang baru pada waktu (t0
+ Δt).

PERMODELAN LERENG | 120


 Suatu kriteria failure yang dikenakan pada kekar sesuai dengan arah jika
dibandingkan dengan permukaan kontak :
+ Sesuai dengan arah tegak lurus, kriteria terlepas nya 2 blok :
ζn < Rt

+ Sesuai dengan arah sejajar :


ζs < c + ζn tan ø

dimana c dan ø adalah kohesi dan sudut geser dalam dari kekar (kriteria yang lebih
kompleks dapat diaplikasikan).

Dalam hal dimana kontak tidak linier (sisi-puncak), presentasi dari kontak di
bawah bentuk interpenetrasi memunculkan suatu problem yang mendasar. Disatu
pihak ketidakstabilan lokal diintroduksikan oleh sudut dari kontak (permukaan dari
kontak didefinisikan secara tidak benar), dilain pihak perubahan minimum dari
geometri kontak. Persoalan ini diselesaikan oleh CUNDALL 91980) dengan
membulatkan secara sistematis dari titik-titik puncak blok. Dalam aspek praktisnya,
pembulatan ini berhubungan dengan penghapusan sistematik dari titik-titik puncak
blok.

Gambar 13.4 Kontak dan daerah diantara dua blok yang dapat terdeformasi

(Minepolis, Minnesota 55415 USA 1993)

PERMODELAN LERENG | 121


13.5 Prosedur Perhitungan

13.5.1 Perhitungan Dari Gaya Resultan Pada Perjalanan Waktu Δt

Setiap titik simpul i yang terletak pada kontur dari blok dikenal suatu gaya
resultan Fi, ditulis dalam bentuk :

Fi = Fie + Fic + Fiz (i = 1, 2, 3, …)

dimana :

Fie = gaya-gaya luar hasil pembebanan.

Fic = gaya kontak hasil interaksi antarblok.

Fiz = adalah gaya ekivalen dengan keadaan tegangan/regangan di dalam zone

(elemen kontinu) yang paling dekat dengan titik simpul.

Fiz dihitung dari formula berikut :

Fiz =  ζij nij ds

dimana :

ζij = tegangan/regangan pada zone

nij = satuan normal pada kontur S (Gambar 5).

PERMODELAN LERENG | 122


Gambar 13.5 Representasi dari permukaan yang dipengaruhi oleh titik simpul

(Minepolis, Minnesota 55415 USA 1993)

13.5.2 Penentuan Perpindahan Pada Perjalanan Waktu ∆t

Persamaan pergerakan dari titik simpul berdasarkan dari Hukum Newton II :


 Ui F
+  Ui = i + gi …………………………………. (13.3)
t m

dimana :


Ui = komponen dari vektor kecepatan dari titik simpul i.

 = konstanta dari pegas

m = massa dari daerah yang berhubungan dengan titik simpul i.

gi = percepatan gaya gravitasi dari titik simpul I

PERMODELAN LERENG | 123


Pendekatan dengan beda hingga (finite difference) dari bagian kiri persamaan
di atas memberikan percepatan dari titik simpul :


  U  t + t / 2  Ui  t - t / 2
U (t) = ....................... (13.4)
t t

Kecepatan pada waktu t dari titik simpul adalah sebagai berikut :


 Ui  t + t / 2  Ui  t - t / 2
Ui (t) = ............................ (13.5)
2

Jika persamaan (13.4) dan (13.5) dimasukkan ke dalam persamaan (13.3),


dihasilkan persamaan (13.6) :


 Ui t - t / 21 -  t / 2  Fi / m + gi t
U  t + t / 2  (13.6)
1 +  t / 2

Persamaan (6) menunjukkan bahwa jika kita mengetahui vektor kecepatan dari
titik simpul pada waktu (t - Δt/2), maka kecepatan pada waktu (t + Δt/2) akan dengan
mudah dihitung dengan mengetahui gaya resultan yang beragitasi pada titik simpul I.

Penentuan kecepatan pada waktu (t - Δt/2) dan (t + Δt/2) mengijinkan kita


menghitung pertambahan dari perpindahan yang diprovokasi oleh gaya Fi selama

suatu langkah waktu Δt :


ΔUi = U i t

Dengan suatu rangkaian pemikiran yang sama dapat dihitung pertambahan


rotasi dari blok :


Δθi = i t

dimana :

Δθ = pertambahan rotasi yang diakibatkan oleh resultan dari momen


momen selama waktu Δt (dengan memperhitungkan momen inersia).

PERMODELAN LERENG | 124


13.5.3 Penentuan Keadaan Tegangan/Regangan Yang Baru Sesudah Waktu Δt

Dari dua besaran ΔUi dan Δθi ini dapat diperoleh posisi yang baru dari titik

simpul i, koordinat yang baru dari titik simpul i menjadi :


Xi (t + Δt/2) = Xi (t) + U (t + Δt/2) Δt

θi (t + Δt/2) = θi (t) +  (t + Δt/2) Δt

Dari persamaan pertambahan perpindahan ΔUi, kita dapat menghitung gaya

dari kontak yang baru berdasarkan persamaan (1) dan (2).

Pertambahan dari deformasi yang berhubungan dengan waktu Δt dihitung berdasarkan


persamaan berikut :

   
1   Ui  Uj 
 ij =  t
2  xj xi 
 

Dengan mengetahui pertambahan deformasi Δεij tersebut, dapat dihitung

keadaan tegangan-regangan yang baru dari persamaan tegangan-regangan/deforasi,


untuk titik simpul i.

Posisi yang baru dari blok dan keadaan tegangan-regangan dari kontak dan
dari blok, mengijinkan untuk kita menghitung gaya-gaya resultan dan momen yang
beragitasi dari siklus perhitungan berikutnya (Δt). Prosedur ini diulangi beberapa
siklus sampai tercapai keadaan keseimbangan atau failure dari sistem blok (gambar
13.6).

PERMODELAN LERENG | 125


Gambar 13.6 Sifat keterjalinan dari siklus perhitungan yang digunakan dalam
formulasi elemen distinct (Minepolis, Minnesota 55415 USA 1993)

13.5.4 Penentuan Langkah Waktu Δt

Langkah waktu yang paling kecil menjamin konvergensi atau langkah waktu
kritik berhubungan dengan frekuensi maksimal (atau perioda minimal) dari sistem
yang diamati.

1. Dalam hal blok kaku, langkah waktu adalah fungsi dari kekakuan antara blok
dan massa batuan (untuk masalah sederhana dari satu massa saja yang
dihubungkan dengan suatu pegas K, Δtc = M/K); karena kekompleksan dari

sistem blok dan dari perbedaan dari massa antara blok, penentuan dari langkah
waktu menjadi cukup sulit. Dalam program UDEC, solusinya adalah :

1
tbc = Frac x 2 Mmin / 
Kmax 2

PERMODELAN LERENG | 126


dimana :

Mmin = massa blok yang paling kecil

Mmax = kekakuan maksimal kontak

Frac = satu parameter kontak antar blok; pada umumnya bernilai antara
0,05 dan 0,1.

2. Dalam hal blok yang dapat terdeformasi persoalannya agak berbeda, langkah
waktu berhubungan erat dengan frekuensi maksimal dari mes terdiskretasi yang
diamati.

Langkah waktu kritik haruslah lebih kecil dari waktu gelombang P untuk
menjalani suatu jarak antara 2 titik simpul. Aturan ini berhubungan dengan
kondisi dari arus Frieidrich-Levy yang mengatakan bahwa Δt hanya dapat lebih
besar dari waktu yang membawa informasi untuk menyeberangi satu elemen dari
sistem.

Δtcz = min (hmin / Cp)

dimana :

hmin = jarak minimal antara 2 titik simpul

Cp = kecepatan dari gelombang p.

Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk mencegah blok yang berdimensi kecil
dan membuat mes yang sehomogen mungkin.

13.5.5 Peredaman (Amortizement) Dari Gerakan

Pada persoalan statik, koefisien peredaman α yang dimasukkan ke dalam


persamaan pergerakan (3) ditujukan untuk menyerap kelebihan energi kinetik dari
sistem untuk mencegah sistem ini berosilasi tanpa terdefinisi. Dua bentuk peredaman
viskos digunakan dalam metoda elemen distinct :

PERMODELAN LERENG | 127


 Peredaman yang proporsional dengan massa dari blok, termasuk di
dalamnya hal yang sama dengan yang bereaksi terhadap satu blok
terendam dalam suatu cairan viskos.

 Peredaman yang proporsional dengan kekakuan dari kontak yang ekivalen


dengan viskositas kekar yang menggetarkan pergerakan relatif dari blok.

Pada persoalan dinamik, istilah peredaman yang digunakan pada persamaan


dari gerakan ditujukan pada suatu pergerakan secara fisik; suatu bagian berhubungan
ke suatu komponen viskos dan bagian yang lain ke suatu komponen geseran; kita bisa
mencatat secara khusus bahwa keberadaan material seperti clay pada kekar
mempunyai kontribusi terhadap perilaku viskos dari kekar ini.

Pada program UDEC, matriks yang berhubungan dengan peredaman ditulis


dalam suatu bentuk linier sebagai fungsi dari mattriks massa batuan dan fungsi dari
kekakuan (hipotesa dari RAYLEIGH).

C = α.M+β.K

Jika sistem adalah elastis, kita dapat menerima bahwa hubungan kritik dari
peredaman Vi dari suatu getaran dengan frekuensi alamiah ωi adalah :

  /  i   i 
υi =  
 2 

yang berarti, peredaman proporsional terhadap massa berkurang dengan frekuensi,


sedangkan peredaman proporsional terhadap kekakuan bertambah dengan frekuensi.

Hubungan peredaman minimum dihubungkan dengan frekuensi minimum,


diberikan oleh persamaan :

V2min = α β

ω2min = α / β

PERMODELAN LERENG | 128


Parameter Vmin dan ωmin dapat didefinisikan pada pilihan dari pengguna

UDEC dan berawal dari hal tersebut akan dihitung koefisien α dan β.

 Peredaman proporsional terhadap massa α dimasukkan kedalam


persamaan dari gerakan.

 Peredaman proporsional terhadap kekakuan dimasukkan dalam bentuk


gaya dari peredaman (viskos) FiV yang berupa tegangan-regangan yang

saling menambahkan baik kepada gaya kontak maupun kepada tegangan-


regangan dari zone (elemen kontinu).

 Fi
FiV = 
t

  ij
ζijV = 
t

13.5.6 Analisis Dinamik

Metoda elemen distincts mendasari banyak perhitungannya pada stusi dari


propagasi gelombang dalam suatu media yang terkekarkan. Hal ini disebabkan oleh
karena dalam metoda ini faktor waktu dimasukkan secara eksplisit.

Pada analisis dinamik, dua masalah penting akan dihadapi :

- Pertama, berhubungan dengan mes dan dimensi dari daerah-daerah (zone) dan

- Kedua, berhubungan dengan kondisi batas dari model :

a. Kondisi pada mes.

Untuk mendapatkan hasil yang baik dari permodelan, pengalaman menunjukkan


bahwa panjang gelombang, yang mempunyai frekuensi yang lebih tinggi, yang
dimasukkanke dalam model haruslah dengan besaran 8 x panjang daerah (zone =
elemen) yang paling besar di dalam model.

PERMODELAN LERENG | 129


Contoh :

Jika suatu gelombang dengan frekuensi maksimum 100 Hz yang merambat dalam
suatu media dengan modulus Young 1 GPa, modulus geser 0,15 GPa dan berat

jenis 2610 Kg/m3, kecepatan gelombang tekan adalah 664 m/detik, panjang
gelombang yang berhubungan dengan satu frekuensi 100 Hz adalah 6,64 m. Pada
kondisi ini dimensi maksimum dari daerah (zone) dari mes haruslah sama dengan
0,83 m. Untuk problem dinamik dimana kita menggarap kecepatan yang
mempunyai pics yang sangat tinggi dalam suatu interval waktu yang pendek
sekali, sangatlah penting untuk membuat mes yang sangat halus dan mengadopsi
langkah waktu yang sangat kecil. Kadang-kadang diperlukan suatu saringan
spektra (metoda transformasi Fourrier) untuk mengeliminasi frekuensi yang tinggi
dan memudahkan interpretasi (gambar 13.7a dan b).

b. Kondisi batas.

Permodelan dinamik dari suatu perilaku dari satu model semi-tak terhingga oleh
suatu model hingga mempunyai dua problem khusus pada batas :

- Pertama, berhubungan dengan refleksi gelombang pada batas model; hal ini
diselesaikan dengan memasukkan elemen viskos (batas tak terrefleksikan pada
tingkat dari elemen batas.

Elemen viskos ini, a\pada tingkat titik simpul yang terletak pada kontur, satu
gaya normal dan satu gaya tangensial ditulis sebagai berikut :

tn = - ρCp Vn

ts = - ρCs Vs

dimana :

Vn dan Vs = komponen normal dan tangensial dari vektor kecepatan pada

kontur model.

ρ = berat jenis dari media

Cp dan Cs = kecepatan gelombang p (tekan) dan gelombang s (geser).

PERMODELAN LERENG | 130


Gaya-gaya ini dihitung pada setiap langkah waktu dan dimasukkan pada
perhitungan seperti satu pembebanan luar dari model.
- Kedua, berhubungan dengan kemungkinan penyalinan satu pembebanan dalam
bentuk eksitasi dinamik (tegangan luar oscilatoire), suatu problem dari seismik
(gambar 13.7c).

Jika eksitasi dinamik diaplikasikan pada dasar model, pengembangan lateral


dari model memainkan suatu peran yang besar dalam mentransmisikan eksitasi
pada sisi AB dan CD.

Jawaban yang ditemukan dalam program UDEC adalah dengan memasukkan


suatu daerah bebas pada sisi-sisi batas yang menghasilkan kembali kekontinuan
(media ekivalen) lateral. Daerah bebas dimodelisasi oleh suatu kolom satu dimensi
yang mensimulasikan pengembangan media terkekarkan pada daerah yang
bersebelahan pada batas lateral dari model. Satu analisa dengan beda hingga, yang
didasarkan pada satu variasi linier pada elemen-elemen dari kolom,
memungkinkan kita menghitung gaya-gaya yang ditransmisikan oleh kolom pada
tingkat titik-titik simpul dari model.

Perhitungan ini dapat menghitung kecepatan Vfx dan Vfy pada titik-titik

simpul yang terletak pada batas dan tegangan ζfxx dan ζfxy pada tingkat daerah

(zone) di kontur.

a. Sinyal kecepatan b. Sinyal kecepatan dengan

tanpa saringan saringan f < 15 Hz

PERMODELAN LERENG | 131


c. Permodelan suatu struktur alamiah di bawah suatu beban gelombang seismik

Gambar 13.7 Analisis dinamik (Minepolis, Minnesota 55415 USA 1993)

Pada tingkat di sisi AB :

ζxx = ζfxx + ρ Cp (Vx - Vfx)

ζxy = ζfxy + ρ Cs (Vy - Vfy)

Vfx dan Vfy adalah komponen dari kecepatan dari titik-titik simpul yang terletak

pada kontur AB.

Tegangan ini dihitung pada tiap langkah waktu dan dipandang sebagai satu
pembebanan luar pada mode.

13.5.7 Catatan

Pada presentasi ringkas inim yaitu metoda elemen distinct yang diaplikasikan
pada program UDEC, belum disentuh permodelan yang melibatkan hidrodinamik dari
air tanah, demikian juga efek panas pada suatu media terkekarkan. Namun harus
diingat bahwa kedua aspek tersebut dapat dimodelkan dalam program UDEC di
bawah bentuk tegangan panas/termik dan tegangan hidrolik yang diprovokasi oleh
aliran.

PERMODELAN LERENG | 132


13.6 Pemograman dengan Program Komputer UDEC

Paket program yang digunakan untuk pelatihan ini adalah paket program
“UDEC” (Universal Distinct Elemen Code) yang dibuat oleh ITASCA Consulting
Group, Inc., 1992.

Penggunaan paket program “UDEC” tersebut, perilaku batuan yang dapat


dihitung adalah : elastik isotrop dan elasto-plastik (Mohr-Coulomb, Drucker-Prager,
Strain Hardening/Softening, Double Yiled (cap), Ubiquitous Joint). Sedangkan
perilaku kekar (joint) dapat dilakukan dengan berbagai model : point contact; joint
area contact, Coulomb slip; joint area contact-Coulomb slip with displacement-
weakening; continously yielding, dan Barton-Bandis joint.

13.6.1 Pendekatan Umum

Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pendekatan ini adalah :

- Mendefinisikan tujuan spesifik untuk membangun suatu model “UDEC”.

- Menciptakan suatu model konseptual dari sistem fisik dan perilaku yang
diharapkan di bawah suatu kondisi tertentu.

- Menyatukan seluruh data untuk membangun model yaitu data geometri


dan geomekanika serta kondisi awal.

- Membangun suatu model sederhana.

- Mendefinisikan lokasi pemantauan di dalam model.

- Melakukan perhitungan dengan program “UDEC”.

- Mempresentasikan hasil untuk diinterpretasi.

13.6.2 Penyiapan Model

 Blok tunggal dibuat pertama kali.

 Blok tersebut kemudian dibagi-bagi menjadi blok-blok kecil yang mewakili


struktur geologi dan struktur teknik yang sesuai (joint generation)

 Kekar (joint) tersebut dapat berupa kekar yang sebenarnya dan kekar fiktif.

PERMODELAN LERENG | 133


Dalam pembuatan model ini, ukuran geometrinya harus memenuhi persyaratan
dimana batas ukuran model tersebut tidak mempengaruhi hasil tegangan dan
perpindahan.

13.6.3 Pemilihan Bentuk Batas Dalam

Batas dalam yang dimaksud adalah bentuk lubang bukaan atau batas luar
seperti untuk bendungan atau lereng.

13.6.4 Pemilihan Blok Kaku Atau Blok Yang Dapat Terdeformasi

Untuk analisis kemantapan lereng dan lubang bukaan, kemampurubahan


batuan harus selalu diperhitungkan.

13.6.5 Kondisi Batas

Kondisi batas di dalam suatu model numerik dapat berupa tegangan dan
perpindahan, dimana tegangan dapat bervariasi secara linier (gradient).

Apabila metode elemen distinct digabungkan dengan metode elemen batas, khusus
untuk material elastik linier dan isotropik, maka kondisi batas elemen batas adalah
suatu batas buatan yang mensimulasikan efek dari suatu batas tak hingga atau semi-
hingga (LORIG dan BRADY, 1983). Kondisi batas viscous-non reflecting digunakan
untuk analisis dinamik.

13.6.6 Kondisi Awal

Pada semua sipil dan pertambangan, akan selalu ada suatu keadaan tegangan
awal, sebelum penggalian suatu lubang bukaan dilakukan. Tegangan awal ini dapat
berupa tegangan vertikal maupun tegangan horizontal.

13.6.7 Pembebanan Dan Tahapan Permodelan

Dengan aplikasi dari bermacam-camam model pembebanan pada tahap yang


berada dari suatu analisis, adalah memungkinkan mensimulasikan perubahan
pembebanan secara fisik, menurut tahapan dari penggalian dan konstruksi. Perubahan
di dalam pembebanan dapat dilakukan dengan berbagai cara : penerapan tegangan

PERMODELAN LERENG | 134


atau batas perpindahan, perubahan model material dalam blok atau perubahan sifat-
sifat material.

Adalah penting untuk mengenali tahapan permodelan yang sesuai dengan


tahapan dalam pekerjaan rekayasa. Program UDEC dapat melakukan perhitungan
untuk trancient flow through joints, heat transfer dan analisis mekanik dinamis.
Dalam hal ini, suatu solusi statik untuk suatu keadaan tegangan yang seimbang dapat
diikuti, misalnya oleh suatu perhitungan dinamik.

13.6.8 Pemilihan Model Konstitutif

Ada 7 model konstitutif material blok dalam program UDEC :

- Null

- Elastik, isotrop

- Plastik Drucker - Prager

- Plastik Mohr-Coulomb

- Ubiquitous joint

- Strain hardening/softening

- Double yield

Sedangkan untuk kekar (joint) ada 5 model konstitutif, yaitu :

- Point contact, Coulomb slip

- Joint area contact, Coulomb slip

- Joint area contact, Coulomb slip with displacement weakening

- Continously-yielding

- Barton-Bandis joint (optional)

PERMODELAN LERENG | 135


13.6.9 Karaketeristik Material Blok, Kekar Dan Material Penguat

Karakteristik geomekanik, thermik dan hidrolik material blok yang diperlukan


adalah :

- Bobot isi massa, tidak termasuk percepatan gravitasi. Pada banyak kasus,
bobot isi dari suatu material yang diberikan adalah (gaya/volume), maka
nilai ini harus dibagi dengan percepatan gravitasi sebelum dimasukkan
sebagai masukan dalam program UDEC.

- Modulus elastisitas.

- Modulus ruah.

- Modulus geser.

- Koefisien Poisson.

- Kuat tarik.

- Kohesi.

- Sudut geser dalam.

- Panas spesifik.

- Konduktivitas panas dalam arah x.

- Konduktivitas panas dalam arah y.

- Koefisien ekspansi panas linier.

Karakteristik geomekanik dan hidrolik dari rekahan yang diperlukan adalah :

- Kekakuan normal (joint normal stiffness).

- Kekakuan tangensial (joint tangensial stiffness).

- Sudut geser dalam kekar.

- Kohesi kekar.

- Sudut dilatasi (dilation angle).

- Permeabilitas (permeability).

PERMODELAN LERENG | 136


- Kuat tarik kekar.

- Bukaan residual kekar pada tekanan tinggi.

- Eksponen dari bukaan hidrolik kekar.

- Perpindahan geser untuk dilatasi = 0.

- Eksponen dari kekakuan elastik normal dari kekar.

- Eksponen dari kekakuan elastik geser dan kekar.

- Parameter kekasaran dari kekar.

Karakteristik geomekanik dari material penguat yang diperlukan :

I) Material reinforce

- eksponen kekakuan aksial

- kekakuan aksial

- 1/2 panjang aktif

- faktor reversal

- eksponen kekakuan geser (tangensial)

- kekakuan tangensial

- regangan failure aksial

- kapasitas aksial ultimat

- kapasitas geser ultimat

II) Material cable

- bobot isi massa dari kabel

- regangan failure extensional

- gaya tekan yield

- gaya tarik yield

- kuat geser grout

PERMODELAN LERENG | 137


- kekakuan geser grout

III) Material structure

- modulus ruah elastik

- bobot isi massa

- modulus geser elastik

- kohesi interface

- sudut dilatasi interface

- sudut geser interface

- kuat tarik interface

- kekakuan normal interface

- kekakuan tangensial interface

-
13.6.10 Keluaran Dari Program
Selain dalam bentuk file hasil berupa tegangan, perpindahan, dan lain-lain,
seluruh hasil dapat dilihat dalam bentuk gambar dan grafik yang sangat representatif
misalnya:

- Geometri model yang telah dibangun.

- Perpindahan di sekitar lubang bukaan.

- Keadaan tegangan prinsipal.

- Gerakan dari kekar.

- Iso-tegangan.

- dan lain-lain.

PERMODELAN LERENG | 138


BAB XIV
KLASIFIKASI MASSA BATUAN

14.1. Pendahuluan

Kemantapan lereng di tambang terbuka seringnya dievaluasi dengan metoda


keseimbangan batas. Ada empat parameter yang perlu diperhatikan dalam
perancangan kemantapan lereng di tambang terbuka, yaitu rencana penambangan,
kondisi struktur geologi, sifat-sifat fisik dan mekanik material pembentuk lereng dan
tekanan air tanah. Dari ke-empat parameter tersebut, struktur geologi merupakan
parameter yang paling dominan dalam mengontrol kemantapan lereng batuan baik
dari bentuk maupun arah longsoran lereng.

Dengan menggunakan metoda keseimbangan batas, kemantapan lereng dapat


dievaluasi dengan metoda analitik dan empirik. Walaupun metoda analitik sudah
banyak diterima oleh kalangan akademik dan praktisi, metoda ini masih mempunyai
suatu kekurangan, karena analitik biasanya menggunakan beberapa asumsi seperti;

• massa batuan dianggap homogen,


• isotropik
• elastik
• brittle
• patahan dianggap sebagai bidang geser ideal
• beban yang bekerja hanya beban gravitasi, setelah material runtuh segmen
bidang longsor dianggap sebagai kekar baru.

Maka jelas disini bahwa metoda analitik tidak memperhatikan parameter


massa batuan yang sebetulnya berubah secara vertika dan horizontal. Dalam upaya
memperhitungkan faktor-faktor tersebut dan pengaruh peledakan saat penggalian
massa batuan, klasifikasi massa batuan yang sudah banyak dipakai dalam peracangan
kestabilan lubang bukaan bawah juga sudah mulai diadopsi pada perancangan
kemantapan lereng baik untuk pekerjaan sipil maupun tambang.

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 139


Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok
untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau
kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini sudah banyak usulan atau
modifikasi klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan untuk merancang
kemantapan lereng. Pada umumnya klasifikasi tersebut mencoba menghubungkan
parameter sudut kemantapan lereng dengan bobot klasifikasi massa batuan untuk
berbagai tinggi lereng. Romana (1985 & 1991) menekankan deskripsi detil dari kekar
untuk melihat potensi kelongsorannya dan pengaruh cara penggalian terhadap
kemantapan lereng.
Pembuatan klasifikasi massa batuan untuk kemantapan lereng didasarkan atas
studi kasus di Afrika Selatan, Selandia Baru, Antartika, Scotlandia dan Spanyol dan
hanya beberapa saja yang melibatkan data dari Australia.

14.2. Karakteristik Umum Klasifikasi Massa Batuan


Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan;
• Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi
perilaku massa batuan.
• Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku
sama menjadi kelas massa batuan.
• Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas
massa batuan.
• Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi
dengan lokasi lainnya.
• Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa
(engineering)
• Memberikan dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para
insinyur dan geologiwan.

Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan
harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut;

• Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 140


• Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan

• Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah

• Pembobotan dilakukan secara relatif

• Menyediakan data-data kuantitatif

Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak


tiga keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng yaitu;

• Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan


minimum sebagai parameter klasifikasi.

• Memberikan informasi/data kuantitatif untuk tujuan rancangan

• Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada
suatu prooyek.

Beberapa klasifikasi massa batuan yang banyak dipakai atau modifikasi untuk
kepentingan kemantapan lereng antara lain;

• Rock Mass Rating (RMR, Bieniawski, 1973 & 1989)

• Rock Mass Strength (RMS, Selby, 1980)

• Slope Mass Rating (SMR, Romana, 1985 & 1991)

14.3. Rock Mass Rating - Bieniawski

Rock Mass Rating (RMR) disebut juga Geomechanics Classification dibuat


oleh Bieniawski (1973). Klasifikasi ini sudah dimodifikasi beberapa kali sesuai dengan
adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan sesuai dengan
standard Internasional. RMR terdiri dari enam parameter untuk mengklasifikasi massa
batuan (lihat Tabel 14.1) yaitu, UCS, RQD, jarak kekar (discontinuity), kondisi
kekar, kondisi air tanah dan orientasi kekar

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 141


Tabel 14.1 Rock Mass Rating (Bieniawski, 1989)

A. Parameter klasifikasi dan bobot

Parameter Selang pembobotan

1 Kuat PLI (MPa) > 10 4 - 10 2-4 1-2 Gunakan


tekan nilai UCS

batuan UCS (MPa) > 250 100 - 250 50 - 100 25 - 50 5-25 1-5 <1
utuh

Bobot 15 12 7 4 2 1 0

2 RQD (%) 90 - 100 75 - 90 50 - 75 25 - 50 < 25

Bobot 20 17 13 8 3

3 Jarak kekar >2m 0.6-2 m 0.2-0.6 m 0.06-0.2 m < 0.06 m

Bobot 20 15 10 8 5

4 Kondisi kekar muka sgt muka agak muka agak muka gouge lunak
kasar, tak kasar kasar slikensided > 5 mm
menerus, tak pemisahan< 1 pemisahan< 1 gouge < 5 mm, pemisahan >
terpisah, mm, dinding mm, dinding pemisahan 1-5 5 mm,
dinding tak agak lapuk sangat lapuk mm, menerus menerus
lapuk

Bobot 30 25 20 10 0

Aliran per 10 kosong < 10 10 - 25 25 - 125 > 125


m panjang
singkapan
(Lt/men)

5 Air Tekanan 0 < 0.1 0.1 - 0.2 0.2 - 0.5 > 0.5
tanah air/tegangan
utama major

Kondisi Kering Lembab Basah Netes Mengalir


umum

Bobot 15 10 7 4 0

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 142


B. Penyesuaian bobot untuk orientasi kekar

Strike & dip Sangat Menguntungkan Sedang Tak Sangat tak


menguntungkan menguntungkan menguntungkan

Tunnel 0 -2 -5 - 10 - 12

Bobot Fondasi 0 -2 -7 - 15 - 25

Lereng 0 -5 - 25 - 50 - 60

C. Kelas massa batuan menurut bobot total

Bobot 100 – 81 80 - 61 60 - 41 40 - 21 < 20

No. Kelas. I II III IV V

Deskripsi Batu Batu Batu Batu Batu


buruk
sangat baik baik sedang sangat buruk

D. Arti kelas massa batuan

No. Kelas I II III IV V

Stand up time rata-rata & 20 th, 15 1 th, 10 1 minggu, 5 10 jam, 2.5 30 menit, 1 m
span m m m m span

Kohesi massa batuan (kPa) > 400 300 - 400 200 - 300 100 - 200 < 100

Sudut gesek dalam massa > 450 35 0- 450 25 0- 350 150 - 250 < 15
batuan

Parameter-parameter ini selanjutnya disatukan menjadi lima grup, dan karena


beberapa parameter tidak mempunyai kepentingan yang sama terhadap bobot total
dari RMR, maka pembobotan untuk setiap parameter berbeda. Bobot tinggi
menunjukkan kualitas massa batuan yang lebih baik.

Karena isian kekar bisa terdiri dari kuarsa, lempung, karbonat, kaolin, khlorit
atau sedimen dan kekasarannya juga berbeda maka evaluasi kondisi kekar harus

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 143


mengikuti standard yang sudah ada, yang diberikan oleh ISRM (1981) seperti
ditunjukkan pada Gambar 14.1.

Gambar 14.1 Tipikal profil kekasaran kekar dan rekomendasi penamaannya (ISRM,
1981). Panjang profil antara 1 hingga 10 m; skala vertikal dan horizontal sama

Kondisi air tanah yang ditemukan pada survey kekar harus diidentifikasi sesuai
dengan penjelasan pada Tabel 14.1 yaitu, kering (completely dry), lembab (damp),
basah (wet), menetes (dripping) dan mengalir (flowing). Pengaruh orientasi kekar
terhadap arah penggalian dievaluasi dengan cara mencari arahan umum kekar pada
proyeksi stereonet dan pembobotannya disesuaikan dengan penjelasan pada Tabel
14.1.

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 144


14.4. Klasifikasi Massa Batuan Untuk Kemantapan Lereng

Agar mendapatkan persamaan pendapat mengenai parameter-parameter yang


sering digunakan untuk persoalan kemantapan lereng Gambar 14.2 memperlihatkan
bagian dari parameter tersebut.

Dip lereng
Kekar

Arah dip kekar

Arah dip lereng


Dip kekar

Gambar 14.2 Parameter lereng

Steffen (1976) menggunakan nilai rata-rata kohesi dan sudut gesek dalam
yang diberikan dari RMR untuk mengevaluasi kemantapan dari 35 lereng yang diduga
mengikuti longsoran busur. Menurut hasil penelitiannya ternyata bahwa lereng yang
mempunyai Faktor Keamanan (FK) hingga 1.2 longsor, sedangkan lereng yang
mempunyai nilai FK 0.7, yang dihasilkan dari perhitungan metoda keseimbangan
batas, tetap mantap (lihat Gambar 14.3). Jelas disini bahwa metoda statistik
diperlukan untuk menduga kemantapan suatu lereng saat menggunakan cara
klasifikasi massa batuan sebagai masukan data.

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 145


Bieniawski pada saat membuat RMR tidak bermaksud untuk digunakan pada
evaluasi kemantapan lereng. Alasannya mungkin karena tingginya bobot pengatur
orientasi kekar, yaitu bervariasi dari 60 hingga 100.

Gambar 14.3 Distribusi frekuensi kemantapan lereng longsoran busur menurut grafik
Hoek (Steffen, 1976)

Untuk menggunakan RMR penentuan bobot pengatur orientasi kekar


memerlukan pengertian sifat-sifat kekar yang ada pada massa batuan dimana lereng
dibentuk. Maka dalam menggunakan klasifikasi massa batuan untuk evaluasi
kemantapan lereng harus memperhatikan berbagai model longsoran yang tentunya
diatur oleh karakteristik kekar. Dasar kelongsoran lereng akibat kekar dapat
dijelaskan sebagai (lihat Gambar 14.4) :

a. Longsorang busur (tipikal longsoran tanah) : kekar menerus sepanjang


sebagian lereng menyebabkan longsoran geser permukaan, massa batuan
sangat terkekarkan atau tanah

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 146


b. Longsoran bidang : kemiringan bidang kekar rata-rata hampir atau searah
dengan kemiringan lereng, fenomena ini tak berlaku untuk massa batuan
skistos

c. Longsoran baji : garis perpotongan dua bidang kekar mempunyai


kemiringan ke arah kemiringan lereng (lihat Gambar 14.5)

d. Longsoran topling : massa batuan terdiri dari kekar-kekar kolum agak


tegak dan bila terjadi pada massa batuan kuat, rekahan tarik akan
melendut terus dan miring ke arah kemiringan lereng

Gambar 14.4 Tipe-tipe utama longsoran pada massa batuan menurut kriteria geologi
struktur dan stereonet (Hoek & Bray, 1981)

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 147


Garis putus-putus dari lingkaran utama mewakili bidang kekar rata-rata yang
tersingkap pada muka lereng; garis menerus lingkaran utama mewakili bidang muka
lereng.

Maka untuk menyertakan bobot pengatur orientasi kekar Romana (1980)


memodifikasi RMR yang disebut Slope Mass Rating (SMR). Berdasarkan
pengamatan Romana pada 28 lereng dengan berbagai derajat potensi kelongsoran,
ditemukan bahwa 6 lereng longsor. SMR pada dasarnya tidak memperhatikan
kelongsoran tanah dan longsoran baji secara langsung, dan didefiniskan sebagai,

SMR = RMR - (F1 x F2 x F3) + F4

Nilai SMR diperoleh dari perhitungan bobot menurut klasifikasi RMR dan
pengertian serta besarnya bobot F1, F2, F3 dan F4 diberikan berikut ini pada Tabel
14.2.

 f

 i

B idang A

A rah longsoran

B idang B A rah dip kemiringan lereng

M uka lereng

 f

 i



Lereng berpotensi untuk tak


mantap bila perpotongan
lingkaran besar yang, wakil
bidang-bidang berada di
dalam daerah berarsir

Gambar 14.5 Kriteria longsoran baji (Hoek & Bray, 1981)

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 148


1. Longsoran sepanjang perpotongan bidang A dan B bisa terjadi bila kemiringan
garis potong ini lebih kecil daripada dip muka lereng, yang diukur sesuai dengan
arah longsoran, yf >yi

2. Longsoran diasumsikan terjadi bila kemiringan garis perpotongan melebihi sudut


gesek dalam, yf > yi > f

F1 tergantung pada paralelisme antara kekar dan kemiringan muka lereng (strike)

F2 berhubungan dengan sudut dip kekar pada longsoran bidang

F3 menunjukkan hubungan antara kemiringan lereng dan kemiringan kekar

F4 tergantung pada kondisi apakah lereng alamiah, digali dengan peledakan presplit,
peledakan smooth, penggalian mekanis atau peledakan buruk

Tabel 14.2 Bobot pengatur untuk kekar, F1, F2 dan F3 (Romana, 1980)

Kasus Kriteria faktor Sangat Menguntungkan Sedang Tak Sangat tak


koreksi menguntungkan menguntungkan menguntungkan

P |aj - as| > 30 30 – 20 20 - 10 10 – 5 <5

T |aj - as - 180|

P/T F1 0.15 0.40 0.70 0.85 1.00

P |bj| < 20 20 – 30 30 - 35 35 - 45 > 45

P F2 0.15 0.40 0.70 0.85 1.00

T F2 1 1 1 1 1

kuat tak mudah Lemah mudah


longsor longsor

P bj – bs > 10 10 – 0 0 0 - (-10) < -10

T bj + bs < 100 110 – 120 > 120

P/T F3 0 -6 -25 -50 -60

aj = Arah dip kekar as = Kemiringan lereng bj = Dip kekar

bs = Dip lereng P = Longsoran bidang T = Longsoran topling

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 149


Bobot pengatur untuk metoda penggalian, F4 :

Lereng alamiah = 15

Peledakan presplitting = 10

Peledakan smooth =8

Peledakan normal =0

Peledakan buruk = -8

Penggalian mekanis =0

Swindells (1985) melakukan penelitian mengenai pengaruh peledakan pada


kemantapan 16 lereng di Scotlandia. Hasil penyelidikannya menunjukkan bahwa
tingkat tebal atau kedalaman kerusakan lereng dipengaruhi oleh metoda penggalian
yang dipakai (lihat Tabel 14.3).

Tabel 14.3 Bobot pengatur Swindells SMR (Swindells, 1985)

Metoda penggalian No Tebal/kedalaman kerusakan SMR

Selang (m) Rata (m) F4

Lereng alamiah 4 0 0 15

Peledakan presplitting 3 0 - 0.6 0.5 10

Peledakan smooth 2 2-4 3 8

Peledakan masal 3 3-6 4 0

Hasil penyelidikan Swindell menunjukkan kesamaan umum antara


tebal/kedalaman zone kerusakan dengan faktor koreksi F4 menurut Romana.

Dari penjelasan di atas tampak bahwa tidak ada faktor khusus untuk
penentuan kemantapan lereng menurut longsoran baji. Maka untuk menganalisis
longsoran baji adalah dengan cara menghitung RMR untuk masing-masing sistem
kekar. Cara langsung penentuan kemantapan lereng menurut longsoran baji dapat
menggunakan metoda Hoek & Bray (1981). Cara ini menggunakan analisis stereonet.

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 150


Pada tahun 1980 Selby melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara
kekuatan massa batuan profil singkapan dan kemiringan lereng di Antartika dan
Selandia Baru. Dia menekankan pada derajat pelapukan dan orientasi kekar untuk
membuat Klasifikasi Kekuatan Massa Geomorfik yang tujuannya untuk meramalkan
kemantapan lereng dan disebut sebagai Rock Mass Strength (RMS). Dari 300 macam
massa batuan penelitiannya menghasilkan bobot numerik maksimum untuk parameter-
parameter yang berpengaruh pada kemantapan lereng yang ditunjukkan pada Tabel
14.4 dan 14.5, sebagai alternatif dari RMR.

Tabel 14.4 Bobot numerik maksimum untuk parameter klasifikasi RMS

(Selby, 1980)

Batuan utuh 20 18 14 10 5

Pelapukan 10 9 7 5 3

Jarak kekar 30 28 21 15 8

Orientasi kekar 20 18 14 9 5

Lebar kekar 7 6 5 4 2

Kemenerusan kekar 7 6 5 4 1

Aliran air tanah 6 5 4 3 1

Sangat kuat Kuat Sedang Lemah Sangat lemah

Bobot total 100-91 90-71 70-51 50-26 <26

Tabel 14.5 Bobot dan klasifikasi Geomorphic rock mass strength (Selby, 1980)

Kelas 1 2 3 4 5

Parameter Sangat kuat Kuat Sedang Lemah Sangat lemah

Kekuatan batu 100 - 60 60 - 50 50 - 40 40 - 35 35 - 10


utuh

Schmidt r : 20 r : 18 r : 14 r : 10 r:5
hammer

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 151


Pelapukan tak lapuk agak lapuk lapuk sangat lapuk total lapuk

r : 10 r:9 r:7 r:5 r:3

Jarak kekar >3m 3-1m 1 - 0.3 m 300 - 500 mm < 50 mm

r : 30 r : 28 r : 21 r : 15 r:8

Orientasi kekar sangat menguntung- sedang. tak sangat tak


menguntung- kan miring horizontal, menguntung- menguntung-
Kan. curam sedang searah hampir tegak kan. sedang, kan. curam tak
searah leereng, lereng (batu keras) miring tak searah lereng
kekar saling searah lereng
kunci

r : 20 r : 18 r : 14 r:9 r:5

Lebar kekar < 0.1 mm 0.1 - 1 mm 1 - 5 mm 5 - 20 mm > 20 mm

r:7 r:6 r:5 r:4 r:2

Kemenerusan tak ada, beberapa menerus tak menerus, isian menerus, isian
kekar menerus menerus ada isian tipis tebal

r:7 r:6 r:5 r:4 r:1

Aliran air kering sangat kecil kecil < 25 sedang 25 - 125 besar > 125
Lt/men/m2 Lt/men/m2 Lt/men/m2

r:6 r:5 r:4 r:3 r:1

Bobot total 100 - 91 90 - 71 70 - 51 50 - 26 < 26

Dengan menggunakan data Selby, Moon (1984) memasukkan garis Batas


Kepercayaan Statistik 90% pada garis regresi yang menghubungkan antara parameter
sudut lereng dan kekuatan massa batuan yang ditunjukkan pada gambar 14.6.

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 152


Gambar 14.6 Hubungan antara sudut lereng dengan RMS (Moon, 1984)

Dengan menggunakan batasan bahwa RMR lebih besar dari 20 dan tinggi
lereng lebih dari 20 m, Hall (1985) memberikan persamaan untuk menduga sudut
lereng mantap yang digali bagi jalur kereta api di Afrika Selatan,

Sudut lereng = 0.65 RMR + 25

Tabel 14.6 Deskripsi RMR (Bieniawski, 1989)

RMR Kelas Deskrpsi

< 20 V Batuan sangat buruk

21 - 40 IV Batuan buruk

41 - 60 III Batuan sedang

61 - 80 II Batuan baik

> 80 I Batuan sangat baik

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 153


Menurut Robertson (1988) bila RMR lebih besar dari pada 40, kemantapan
lereng dikontrol oleh orientasi dan kekuatan bidang kontak kekar. Sedangkan bila
RMR lebih kecil daripada 30 kelongsoran lereng dapat terjadi pada sembarang
orientasi kekar.

Orr (1992) menggunakan hubungan RMR dan RMS untuk membuat grafik
RMR dengan sudut lereng mantap (lihat Gambar 14.7). Selanjutnya dia juga membuat
persamaan sudut lereng mantap yang merupakan fungsi dari RMR, pada kondisi RMR
diantara 20 dan 80.

Sudut lereng = 35 ln (RMR) - 71

Untuk 20 < RMR < 80.

Gambar 14.7 Hubungan antara RMR dengan sudut lereng (Orr, 1992)

KLASIFIKASI MASSA BATUAN | 154


BAB XV

PERKUATAN LERENG

15.1. Pendahuluan

Pada pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian maupun penimbunan,


baik itu pada pekerjaan teknik sipil maupun pada industri pertambangan, akan selalu
berhadapan dengan persoalan lereng. Persoalan itu timbul karena adanya tuntutan
berproduksi semaksimal mungkin dan terjaminnya keselamatan kerja serta
kelestarian lingkungan. Dengan membuat/meninggalkan lereng setinggi-tingginya
serta curam atau bahkan tegak lurus, tuntutan produksi maksimal akan tercapai,
tetapi apakah tuntutan akan kelestarian lingkungan serta keselamatan kerja
terpenuhi?

Berbagai bentuk keruntuhan/kelongsoran lereng telah banyak terjadi dan


sebagian besar disebabkan oleh kesalahan manusia. Jenis keruntuhan lereng yang
sering dijumpai adalah :

- Longsoran busur (circular failure)


- Longsoran bidang (plane failure)
- Longsoran baji (wedge failure)
- Longsoran guling (toppling failure)
- Jatuhan (rock fall)

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan keruntuhan tersebut antara lain:

- Kesalahan dimensi lereng (tinggi dan sudut lereng)


- Hadirnya struktur geologi
- Hadirnya air tanah dan air permukaan
- Adanya pengikisan oleh angin
- Adanya proses pelapukan
- Adanya beban dinamis

PERKUATAN LERENG | 155


Langkah yang harus ditempuh dalam upaya menstabilkan lereng adalah
melakukan perkuatan (reinforcement) dan proteksi (protection) pada lereng-lereng
tersebut.

Berdasarkan jenis material yang dihadapi, ada dua jenis lereng, yaitu lereng
tanah dan lereng batu. Tindakan perkuatan dan proteksi harus memperhatikan jenis
material yang dihadapi, jenis keruntuhan yang mungkin timbul dan faktor-faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya keruntuhan lereng.

Perkuatan lereng merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk


memperbesar kekuatan (strength) tanah/batuan, sehingga lereng lebih mantap.
Adapun maksud dari perkuatan lereng adalah :

1. Membantu massa batuan untuk menyangga dirinya sendiri.

2. Memasang struktur luar (lain) yang nantinya tidak merupakan bagian


lain dari massa batuan, tetapi akan menyangga dari sisi luar.

Sedangkan tindakan proteksi lebih ditujukan untuk melindungi lereng dari


pengaruh yang dapat menyebabkan keruntuhan dan sekaligus meningkatkan
kekuatan tanah/batuan sehingga memperbesar kemantapan lereng. Macam-macam
tindakan perkuatan lereng, baik tanah maupun batuan, serta tindakan proteksi lereng
akan diuraikan pada berikut dalam diktat ini.

15.2. Perkuatan Lereng Tanah

Tindakan perkuatan untuk menanggulangi longsoran tanah dapat dilakukan


dengan menggunakan bangunan penguat antara lain bronjong, tembok penahan,
sumuran, tiang, teknik penguatan tanah dan dinding penopang isian batu.

15.2.1. Bronjong

Bronjong merupakan bangunan penguat tanah yang mempunyai struktur


bangunannya berupa anyaman kawat yang diisi batu belah. Struktur bangunan
berbentuk persegi dan disusun secara bertangga yang umumnya berukuran 2 x 1 x
0,5 cm .

PERKUATAN LERENG | 156


Bangunan bronjong adalah struktur yang tidak kaku sehingga dapat menahan
gerakan baik vertikal maupun horisontal dan bila runtuh masih bisa dimanfaatkan
lagi. Di samping itu bronjong mempunyai sifat lulus air, sehingga tidak akan
menyebabkan terbendungnya air permukaan.

Bronjong umumnya dipasang pada kaki lereng yang di samping berfungsi


sebagai penahan longsoran, juga berfungsi untuk mencegah
penggerusan.Keberhasilan penggunaan bronjong sangat tergantung dari kemampuan
bangunan ini untuk menahan geseran pada tanah di bawah alasnya.Oleh karena itu
bronjong harus diletakkan pada lapisan yang mantap di bawah bidang longsoran.
Bronjong akan efektif untuk longsoran yang relatif dangkal tetapi tidak efektif untuk
longsoran berantai.

Bronjong banyak digunakan karena material yang digunakan tidak sulit


diperoleh, pelaksanaannya mudah dan biayanya relatif murah.

Gambar 15.1 Bronjong


(http://wb5.itrademarket.com/pdimage/93/832593_george5.jpg)

PERKUATAN LERENG | 157


Gambar 15.2 Perkuatan tanah dengan bronjong
(http://distanak.donggala.go.id/album/ruparupa/Investasi%20Desa%202005/images/
Bronjong%20Bersusun%20penahan%20air3.jpg)

15.2.2. Tembok Penahan

Tembok penahan merupakan banguan penguat tanah dari pasangan batu,


beton atau beton bertulang. Tipe tembok penahan terdiri dari dinding gaya berat,
semi gaya berat dan dinding pertebalan. Sama halnya dengan bronjong keberhasilan
tembok penahan tergantung dari kemampuan menahan geseran, tetapi perlu pula
ditinjau stabilitas terhadap guling.

Tembok penahan ini di samping digunakan untuk menahan gerakan tanah


digunakan juga untuk melindungi bangunan dari runtuhan. Tembok penahan harus
diberi fasilitas drainase seperti lubang penetes dan pipa salir yang diberi bahan filter
supaya tidak tersumbat, sehingga tidak menimbulkan tekanan hidrostatis yang besar.

PERKUATAN LERENG | 158


Gambar 15.3 Perkuatan tanah dengan tembok penahan

(www.water.gov.my)

PERKUATAN LERENG | 159


15.2.3. Sumuran

Sumuran (0,1 - 2 m) dapat digunakan untuk menahan gerakan tanah dari tipe
longsoran yang relatif tidak aktif, sumuran ini terdiri dari cincin-cincin beton
pracetak dan dimasukkan pada sumuran yang digali sampai mencapai kedalaman di
bawah bidang longsorannya. Cincin ini kemudian diisi dengan beton tumbuk, beton
cyclop atau material berbutir tergantung dari kuat geser yang dikehendaki.

Pelaksanaan cara penanggulangan ini sebaiknya dilakukan dalam musim


kemarau pada waktu tidak terjadi gerakan. Cara ini cocok untuk longsoran dalam,
karena dapat dibuat sampai kedalaman 15 meter.

Gambar 15.4 Perkuatan tanah dengan sumuran

(Geotechnical Control Office, 1979)

15.2.4. Tiang

Tiang dapat digunakan baik untuk pencegahan maupun penanggulangan


longsoran. Cara ini cocok untuk longsoran yang tidak terlalu dalam, tetapi
penggunaan tiang ini terbatas oleh kemampuan tiang untuk menembus lapisan yang
keras atau material yang mengandung bongkah-bongkah. Cara ini tidak cocok
untuk gerakan tipe aliran, karena sifat tanahnya sangat lembek yang dapat lolos
melalui sela tiang. Penanggulangan longsoran dapat menggunakan tiang pancang,
tiang bor, turap baja. Untuk lapisan keras disarankan menggunakan tiang baja
terbuka pada ujungnya atau tiang bor, walaupun demikian tiang bor mempunyai

PERKUATAN LERENG | 160


keterbatasan yang hanya dapat diterapkan pada longsoran yang relatif diam.Tiang
pipa baja dapat pula diisi beton atau komposit beton dengan baja profil untuk
memperbesar modulus perlawanannya.

Tiang pancang tidak disarankan untuk jenis tanah yang sensitif, karena dapat
menimbulkan pencairan massa tanah sebagai akibat getaran pada saat pemancangan.

Turap baja tidak efektif untuk menahan massa longsoran yang besar, karena
mempunyai modulus perlawanan yang kecil. Walaupun demikian turap baja dapat
diperbesar modulus perlawanannya dengan dipasang ganda.

Gambar 15.5 Perkuatan dengan tiang

(Mitcel and Villet, 1987)

15.2.5. Tanah Bertulang

Tanah bertulang mempunyai fungsi untuk menambah tahanan geser yang


prinsipnya hampir serupa dengan dinding penopang isian batu atau bronjong.
Konstruksi ini terdiri dari timbunan tanah berbutir yang diberi tulangan berupa pelat-
pelat baja strip dan panel untuk menahan material berbutir. Bangunan ini umumnya
ditempatkan pada bagian ujung kaki lereng dan dipasang pada dasar yang kuat di
bawah bidang longsoran.

PERKUATAN LERENG | 161


Gambar 15.6 Perkuatan dengan tanah bertulang (Lizzi, 1985)

15.2.6. Dinding Penopang Isian Batu

Cara penanggulangan ini adalah dengan penimbunan pada bagian kaki


longsoran dengan material berbutir kasar yang dipadatkan dan yang berfungsi
menahan tahanan geser. Penanggulangan ini dapat digunakan untuk longsoran rotasi
dan translasi.

Gambar 15.7 Perkuatan dengan penopang isian batu (Mitcel and Villet, 1987)

PERKUATAN LERENG | 162


Dalam pemilihan metoda ini harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

- Tidak mengganggu kemantapan lereng di bawahnya.

- Alas isian batu diletakkan di bawah bidang longsoran sedalam 1,5 - 3,0 m.

15.3. Perkuatan Lereng Batuan

Penguatan untuk menanggulangi gerakan batuan dapat dilakukan dengan


menggunakan bangunan perkuat, antara lain tumpuan beton, jangkar kabel, jala
kawat, tembok penahan batu, beton tembak dan dinding tipis.

15.3.1. Tumpuan Beton

Batuan yang menggantung akibat tererosi atau pelapukan dapat ditanggulangi


dengan dua cara, yaitu meruntuhkan batuan yang menggantung atau menyangga
dengan tumpuan beton. Apabila penanggulangan dengan meruntuhkan batuan yang
menggantung dapat membahayakan daerah pemukiman atau lalu lintas, maka untuk
menghindari bahaya runtuhan dilakukan penanggulangan dengan tumpuan beton.

Gambar 15.8 Tumpuan beton

(Hausmann 1992, reproduced by commission of ASCE )

PERKUATAN LERENG | 163


15.3.2. Pemasangan Jangkar Batuan (Rock Anchor)

Jangkar batuan terutama berfungsi sebagai penguat (armature) dan pengikat


(confining) batuan. Hal-hal yang perlu diperhatikan (dipertimbangkan) dalam
pemakaian jangkar batuan adalah :

a. Jenis jangkar

Berdasarkan jenisnya, jangkar batuan dibedakan menjadi dua, yaitu :

- Punctual anchor

- Distributed anchor

Untuk menahan gerakan (deformasi) yang besar dipilih distributed anchor, karena
jenis jangkar ini mempunyai kemampuan mengikat batuan lebih besar
dibandingkan dengan punctual anchor. Distributed anchor juga baik digunakan
pada batuan yang banyak mengandung air, karena bahan pengikatnya (grouting)
sekaligus sebagai pelindung jangkar terhadap korosi.

Jenis jangkar juga dapat dibedakan dalam bentuk kabel dan batang baja (rock
bolt). Jika pada penguatan lereng diperlukan jangkar yang panjang (lebih dari 15
m), maka dipilih yang berbentuk kabel, karena lebih luwes (flexible) dalam
pemasangannya.

b. Panjang jangkar

Panjang jangkar tergantung pada struktur batuan, terutama bidang-bidang


lemahnya. Pemasangan jangkar batuan selalu diusahakan agar dapat mengikat
batuan yang lemah (lepas) pada batuan induknya yang kuat (mantap).

c. Kerapatan jangkar

Pada prinsipnya jangkar batuan harus dapat mengikat (menahan) setiap beban
(massa batuan) yang akan longsor. Kerapatan jangkar tergantung pada kuat tarik
(tensile strength) jangkar, struktur bidang lemah dan massa batuan yang akan
longsor.

d. Kuat tarik (tensile strength) jangkar

Kuat tarik jangkar merupakan kemampuan (kekuatan) suatu jangkar untuk


menahan beban tarikan yang diakibatkan oleh batuan yang akan longsor. Pada

PERKUATAN LERENG | 164


prinsipnya kuat tarik jangkar harus lebih besar dari pada beban (massa batuan
yang akan longsor).

e. Diameter jangkar

Diameter jangkar ditentukan oleh besar beban yang akan longsor. Semakin besar
beban yang akan longsor, maka diperlukan jangkar dengan diameter yang lebih
besar pula.

f. Orientasi jangkar

Orientasi jangkar ditentukan berdasarkan struktur batuan, terutama bidang-bidang


lemahnya. Pada prinsipnya jangkar harus dapat mengikat batuan yang lepas
(lemah) pada batuan induknya yang kuat.

Gambar 15.9 Jangkar kabel (Lizzi, 1985)

g. Tarikan mula-mula (prestressed)

Tarikan mula-mula pada jangkar bertujuan untuk mengikat batuan yang lepas
sebelum mengalami gerakan (deformasi) lebih lanjut. Dengan demikian, batuan
tersebut masih dapat menyangga dirinya sendiri.

PERKUATAN LERENG | 165


15.3.3. Pemasangan Beton Tembak (Shotcrete)

Beton tembak digunakan untuk memperkuat permukaan batu yang berkekar


(lihat Gambar 15.10a) dan batuan lapuk atau batu yang bersifat meluruh (lihat
Gambar 15.10b). Beton tembak biasanya dipasang bersama-sama dengan anyaman
kawat baja (wire mesh). Selain berfungsi sebagai penguat, beton tembak juga
berfungsi sebagai pelindung batuan terhadap proses pelapukan dan rembesan air.

Gambar 15.10 Beton tembak (From Leonard et al., 1988)

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemakaian beton tembak adalah :

a. Kekuatan

Kekuatan beton tembak dinyatakan dalam kuat tekan dan kuat geser. Kekuatan
tersebut merupakan fungsi campuran bahan pembentuk beton tembak, yaitu : air,
semen, pasir dan 'aggregat'. Pada prinsipnya beton tembak harus dapat menahan
beban (massa batuan yang akan longsor).

b. Ketebalan

Ketebalan suatu beton tembak untuk menahan longsoran pada suatu lereng
batuan belum dapat dihitung (ditentukan) secara matematis. Ketebalan beton
tembak terutama ditentukan oleh struktur batuannya, kemudian berdasarkan
pengalaman dipilih ketebalan yang sesuai (di proyek PLTA Cirata dipilih setebal
10 cm).

PERKUATAN LERENG | 166


15.3.4. Baut Batuan

Baut batuan dipasang untuk memperkuat massa batu yang terbentuk oleh
adanya diskontinuitas antara lain : kekar, retakan, agar lereng menjadi mantap
(Gambar 15.11).

Gambar 15.11 Baut batuan

(Slope Stability and Stabilization Methods, 2001)

PERKUATAN LERENG | 167


15.3.5. Pengikat Beton

Cara ini ditempuh untuk mengurangi jumlah baut batuan (Gambar 15.11).

Gambar 15.12 Pengikat beton

(Slope Stability and Stabilization Methods, 2001)

15.3.6. Jala Kawat

Jala kawat dipasang pada lereng untuk menjaga agar agar tidak terjadi
runtuhan batu atau bongkah-bongkah batu yang berpotensial runtuh/jatuh dapat
ditahan (Gambar 15.13).

Gambar 15.13 Jala kawat (Hausmann 1992, reproduced by commission of ASCE )

PERKUATAN LERENG | 168


15.3.7. Tembok Penahan Batu

Tembok penahan batu dipasang pada bagian kaki lereng untuk menahan
fragmen batuan yang runtuh dari atas, agar tidak menimbulkan bahaya (Gambar
15.14).

Gambar 15.14 Tembok penahan batu (E.Hoek & J.W.Bray, 1981)

15.3.8. Pemasangan Dinding Penahan (Retaining Wall)

Dinding penahan biasanya dibuat dari tembok pasangan batu biasa atau beton
bertulang yang dipasang pada muka lereng sebagai penahan lereng. Penguatan
dengan cara ini hanya cocok diterapkan pada batuan yang sangat lapuk atau batuan
yang bersifat seperti tanah. Gambar bentuknya dapat dilihat pada tembok penahan
pada lereng tanah.

15.4. Proteksi Lereng

Tindakan proteksi lereng yang bertujuan untuk melindungi lereng dari faktor-
faktor yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya keruntuhan serta menjamin
kelestarian lingkungan antara lain : kontrol pada saat penggalian, penanaman
rumput, pemasangan dinding tipis (shotcrete), penirisan lereng.Sebetulnya masih ada

PERKUATAN LERENG | 169


satu lagi bentuk proteksi tetapi lebih ditujukan pada keselamatan manusia secara
langsung, yaitu proteksi terhadap jatuhnya batu.

15.4.1. Kontrol Pada Saat Penggalian/Penimbunan

Kegiatan proteksi lereng yang dapat dilakukan pada saat melakukan


penggalian atau penimbunan adalah :

1. Mengurangi atau mengatur tinggi lereng.

2. Mengurangi atau mengatur sudut lereng.

3. Membuang material yang tidak stabil atau yang berpotensial untuk runtuh.

4. Mengatur adanya jenjang-jenjang pada lereng.

5. Menggunakan teknik penggalian yang tidak merusak massa batuan atau


menggunakan teknik pemadatan yang baik pada saat penimbunan.

15.4.2. Penanaman Rumput Atau Tumbuhan

Tumbuh-tumbuhan hampir pasti menjadi bentuk terbaik untuk proteksi


lereng, khususnya menahan erosi pada lereng tersebut. Rumput-rumputan yang
menutupi lereng tidak hanya akan menambah daya ikat antar material tetapi juga
akan menghambat lajunya air yang menuju/masuk ke lereng tersebut. Demikian juga
akar tumbuhan yang kuat, menghunjam masuk ke dalam tanah/batuan lapuk, akan
merupakan struktur perkuatan terhadap lereng itu sendiri.

Mempertahankan rumput/tumbuhan yang baru ditanam juga merupakan


problem yang serius selama musin hujan, apalagi pada lereng batu. Memang di datu
sisi, hadirnya hujan akan mendorong untuk tumbuh tetapi di sisi lain merupakan
kekuatan untuk menghanyutkannya. Dalam beberapa kasus biji-biji rumput dan
pupuk yang dibentuk pelet (kapsul) dengan pembungkus latex disebarkan pada
lereng sehingga akan menempel cukup lama dan memungkinkan untuk tumbuhnya
akar-akar dari rumput tersebut.

PERKUATAN LERENG | 170


15.4.3. Pemasangan Dinding Tipis

Dengan adanya dinding (beton tipis) yang melapisi muka lereng tersebut
maka lereng akan terhindar dari erosi baik oleh air maupun udara serta terhindar dari
pengaruh perubahan cuaca yang dapat menyebabkan terjadinya pelapukan.

Gambar 15.15 Dinding tipis (Geotechnical Control Office, 1979)

Selain perlindungan, tujuan utama dari pemasangan dinding tipis (biasanya


beton tembok atau shotcrete) adalah untuk perkuatan, karena tekanan yang kuat dari
beton tebok ini akan menyebabkan cairan semen mampu mengisi rekahan pada
lereng sehingga meningkatkan daya ikat antar blok material. Keterangan
selengkapnya dapat dilihat pada sub bab 3.

15.4.4. Pemasangan Bronjong

Bronjong dapat juga dijadikan proteksi lereng, khususnya lereng di tepi


sungai atau lereng yang pada jalur tersebut dijadikan jalur air atau tempat curahan
air.

Bronjong (gabion) adalah isian batu dalam keranjang baja yang sangat kuat,
berat, fleksibel dan permeabel.

PERKUATAN LERENG | 171


Gambar 15.16 Pemasangan bronjong (E.Hoek & J.W.Bray, 1981)

15.4.5. Penirisan Lereng

Kehadiran air akan mempertinggi tekanan air pori sehingga mengurangi


kekuatan batuan. Selain itu tinggi kolom air juga merupakan beban terhadap lereng
itu sendiri, apalagi kalau kehadiran air tersebut mengisi kekar-kekar tarik pada muka
lereng. Untuk itu kegiatan yang harus dilakukan untuk melindungi lereng dari
pengaruh air ini adalah :

- Meniris kolam air yang ada di atas lereng.

- Mencegah masuknya air ke dalam kekar-kekar tarik atau mengisolasi daerah


yang tidak stabil terhadap air.

- Memperlandai atau memperkasar permukaan untuk memperlambat aliran


atau mengontrol "run off".

- Membuat bagian atas lereng "impermeable" sehingga mencegah infiltrasi.

- Menyediakan jalan air agar air mengalir ke daerah yang tidak berbahaya atau
keluar dari tubuh lereng.

- Mengurangi penebangan tanaman dan kalau bisa sebaiknya mempertahankan


atau menambah jumlah pohon-pohonan atau tanaman.

PERKUATAN LERENG | 172


Pada Gambar 15.17 dapat dilihat suatu bentuk penirisan lereng, baik di
permukaan maupun bawah tanah, yang berupaya untuk meminimasi air yang masuk
ke lereng atau menurunkan muka air tanah.

Gambar 15.17 Penirisan lereng (E.Hoek & J.W.Bray, 1981)

15.4.6. Proteksi Terhadap Jatuhan Batu

Salah satu bahaya yang berhubungan dengan lereng batuan adalah jatuhan
batu atau bongkah yang lepas dari lereng. Jatuhan batu ini bisa berbentuk
gelindingan (roll), pentalan (bounce) dan jatuh bebas (fall) seperti terlihat pada
Gambar 15.17a. Energi yang dilepaskan oleh jatuhan batu (boulder) tadi tentunya
dapat menimbulkan kerusakan atau kecelakaan, khususnya bila lereng tadi di tepi
jalan umum.

PERKUATAN LERENG | 173


Gambar 15.18a Model jatuhan batu dan proteksinya dari Ritchie

(E.Hoek & J.W.Bray, 1981)

Bentuk proteksi yang dapat dilakukan adalah :

- Pembuatan selokan (ditch) dengan ditambah pengaman berupa patok yang


dilengkapi rantai atau tembok pasangan batu biasa seperti terlihat pada Gambar
15.18a.

Hoek dan Bray memberikan patokan untuk lebar dan kedalaman saluran ini
supaya aman adalah lebar 25 ft, dalam 6 ft untuk lereng dengan tinggi 100 ft.

PERKUATAN LERENG | 174


Selain itu di dasar saluran perlu diletakkan lapisan kerikil untuk memecahkan atau
meredam energi yang dilepaskan oleh jatuhan boulder tadi.

- Pemasangan jaring kawat (wire mesh), seperti terlihat pada Gambar 15.18b juga
bisa digunakan untuk melokalisasi jatuhan batu tadi, atau justru dapat mencegah
terjadinya jatuhan batu, seperti yang sudah disebutkan dalam perkuatan tadi.

Gambar 15.18b Proteksi lereng batu dengan wire mesh

(E.Hoek & J.W.Bray, 1981)

PERKUATAN LERENG | 175


BAB XVI

PEMANTAUAN

16.1. Pendahuluan

Walaupun telah berusaha untuk merancang suatu lereng yang stabil atau untuk
memperbaiki kestabilan dari suatu lereng yang berpotensial runtuh, tetapi ketika
insinyur tersebut harus menerima kenyataan bahwa keruntuhan itu tidak terelakkan
lagi, apakah tindakan tertentu, selain menyerah (bagaimana nanti), masih terbuka
untuknya ?

Sepertinya insinyur harus melihat kenyataan bahwa lereng itu jarang yang
langsung runtuh tanpa memberikan tanda-tanda yang luas mengenai
keakanruntuhannya sebelum benar-benar runtuh, oleh karena itu tanda-tanda ini
sebaiknya diperhatikan benar-benar, karena sebelum benar-benar runtuh tentunya
lereng tersebut masih berfungsi sepenuhnya (Hoek dan Bray, 1974).

Munculnya kekar-kekar tarik pada muka lereng adalah tanda-tanda yang


mudah dikenali. Dengan mengamati perubahan dimensi kekar-kekar tersebut atau
dengan kata lain mengamati pergerakan/perpindahan (displacement) muka lereng,
maka kestabilan lereng tersebut bisa terpantau sehingga tindakan pencegahan dapat
dilakukan dan kalaupun harus runtuh maka dapat diperkirakan waktunya sehingga
tindakan penyelamatan dapat dilakukan.

Sebagai alat kontrol dari proses desain adalah pemantauan. Seperti diketahui,
karena terbatasnya sarana-prasarana dan dana, maka penyediaan data guna proses
desain menjadi terbatas pula, sehingga berbagai asumsi terpaksa digunakan untuk
menutupi kekurangan data. Dalam hal ini, pengalaman seorang Insinyur perancang
sangat mempengaruhi proses desain. Oleh karena itu, proses penyelidikan lapangan,
uji laboratorium, desain, konstruksi atau pelaksanaan dan pemantauan sebaiknya
merupakan suatu kesatuan proses rekayasa.

PEMANTAUAN | 176
Dalam tambang terbuka, pemantauan selalu digunakan dalam hal gerakan
yang disebabkan oleh keruntuhan dinding skala besar, tetapi meskipun demikian,
pemantauan dapat pula digunakan untuk rentang yang lebih luas dari beberapa
masalah, termasuk :

- Kestabilan lereng

- Peledakan

- Air tanah

- Lingkungan

- Penyanggaan batuan

Pada subbab-subbab berikut dalam diktat ini dapat diikuti uraian mengenai
Peranan Pemantauan, Instrumen Pemantauan Lereng, Pergerakan Lereng, Kunci
Suksesnya Program Instrumentasi Pemantauan dan Studi Kasus.

16.2. Peranan Pemantauan

16.2.1. Umum

Pemantauan lereng dalam pengertian yang luas secara murni merupakan alat
untuk mendapatkan, mengolah dan mengatur informasi. Tujuannya adalah untuk
memperoleh data yang konkrit dari perilaku lereng dalam skala yang luas akibat dari
kegiatan penambangan dan kondisi lingkungan. LAROQUE (1977) menyatakan :

"Pada dasarnya pemantauan adalah untuk memeriksa kemungkinan dinding


pit dari ketidakstabilan kemudian mengambil suatu tindakan perbaikan. Tujuannya
adalah untuk melindungi manusia dan peralatan".

Tetapi hal ini dirasa terlalu berdiri sendiri sebagai suatu definisi, karena
pertambangan erat kaitannya dengan pertimbangan ekonomi, dimana seseorang yang

PEMANTAUAN | 177
tidak ahli akan berfikir sebagai sesuatu yang "beresiko tinggi" dan lingkungan yang
"berbahaya".

Suatu survey yang baru dilakukan terhadap 54 open pit yang sedang
beroperasi di Australia Barat menunjukkan bahwa sekitar 44% dari semua
pertambangan itu mengalami keruntuhan dinding yang besar. Contoh ini kebanyakan
disebabkan oleh kelainan geologi lokal, pelapukan dan pada beberapa kasus karena
kegiatan penambangan yang tidak hati-hati, tapi meskipun demikian sebuah studi
yang matang menunjukkan bahwa kerusakan-kerusakan dalam skala besar maupun
sedang merupakan hal yang umum dan banyak terjadi.

Interpretasi yang detail serta pendugaan dari data pemantauan yang jelas dan
pasti memerlukan ahli yang trampil dan beberapa konsultan. Tetapi, pada akhirnya
kenyataan dari beberapa pemantauan ditujukan untuk tindakan pengaturan tambang
dengan suatu pendugaan dari :

- Luas / besar
- Skala
- Waktu
- Potensial hancuran dari beberapa kelainan, seperti pergerakan yang non-
elastik

Ini membolehkan pengaturan untuk memperkirakan resiko yang akan terjadi


dan dasar untuk pemilihan kelayakan ekonomi. Salah satu contoh yang terkenal dalam
hal pemantauan yang berhasil adalah pada longsoran Chuquicamata. Pada kasus ini
saat hancur dapat diperkirakan satu bulan sebelumnya dengan menggunakan data
pemantauan. Dalam membahas hal ini HOEK & BRAY menyatakan :

"Pelajaran dari contoh ini adalah bahwa dengan mengetahui apa yang
dilihat dan menggunakan data dengan sepenuhnya, suatu perangkat dari keputusan
rekayasa dapat dibuat dan akibat yang fatal yang dihasilkan dari kerusakan yang
serius dapat dihindari".

PEMANTAUAN | 178
Pada tambang terbuka, masalah yang penting adalah yang berhubungan
dengan perancangan lereng dan kestabilan dimana akan dipantau selama tahap
operasi adalah:

- Displacement
- Vibrasi (getaran)
- Tekanan air tanah (level)
- Aliran air tanah

16.2.2. Metodologi Pemantauan Lereng

Keperluan untuk memantau lereng dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pemantauan untuk pekerjaan perbaikan untuk memantapkan lereng yang aktif dan
pemantauan pencegahan yang mana lereng kritis menjadi tidak mantap karena
pekerjaan-pekerjaan rekayasa.

16.2.2.1. Pekerjaan Perbaikan Untuk Memantapkan Longsoran Aktif

Urutan operasi untuk pekerjaan ini adalah sebagai berikut :

- Pengamatan awal terhadap longsoran dan sekitarnya dalam upaya


menggambarkan jangkauan dan sifat-sifat dari pergerakan tanah. Foto udara
yang diambil tiap periode tertentu tiap tahun untuk mengijinkan studi dari
evolusi pergerakan tanah sistem dari rekahan-rekahan permukaan dipetakan,
aliran lumpur, kerusakan struktural, arah dan jangkauan pergeseran.

- Eksplorasi bawah tanah tujuannya untuk menentukan dasar dari massa yang
bergerak dan lokasi dari satu atau beberapa bidang luncur. Pada saat yang
sama penyelidikan ini bertujuan untuk mengambil contoh tanah dan material
batuan untuk pengukuran kekuatan di laboratorium. Lubang bor biasanya juga
digunakan untuk mamantau air tanah dan untuk memasang peralatan
pemantauan pergeseran.

PEMANTAUAN | 179
- Informasi permukaan dan bawah tanah digabung untuk membentuk gambaran
tiga dimensi geometri dari longsoran yang kemudian disederhanakan untuk
keperluan analisis. Kekuatan geser dan tekanan air tanah digunakan untuk
mengatakan bahwa faktor keamanan terhadap bidang longsor, benar-benar
mendekati 1,0 atau kurang, sebagai cek untuk ketepatan asumsi dan data.

- Sejumlah pilihan untuk memantapkan lereng lalu diperhatikan, contohnya :


penirisan, mengubah kontur lereng, memasang jangkar kawat, dan sebagainya.
Pilihan-pilihan tersebut dioptimumkan terhadap biaya dan kelayakan.

16.2.2.2. Pemantauan Pencegahan Dimana Lereng Kritis Bisa Menjadi Tidak


Stabil.

Berikut adalah metodologi untuk pekerjaan ini :

- Kestabilan (kemantapan) konstruksi dan lereng-lereng asli yang berdekatan


dianalisa dan sistem penyanggaan dirancang tergantung pada perkiraan
faktor keamanan. Analisis-analisis terpisah dilakukan untuk sejumlah pilihan
tindakan memantapkan yang bisa meliputi : penirisan, jangkar, dinding
penahan, atau 'sheet pile'. Penelitian bawah tanah dan pemboran umumnya
dibutuhkan untuk memperoleh informasi yang cukup dari tanah, batuan, air
tanah untuk keperluan analisis.

- Berdasarkan analisis, keputusan dibuat terhadap seberapa besar pergeseran


yang bisa ditoleransi untuk konstruksi tersebut, dan pada tingkat peringatan
'bahaya' jika terlampaui, diperlukan pemasangan (penerapan) prosedur
pemantapan tambahan. Umumnya disarankan untuk membuat rencana untuk
kemungkinan-kemungkinan yang sesuai dengan tingkat dari sejumlah
peringatan bahaya-bahaya. Rencana-rencana kemungkinan ini umumnya
bertingkat sesuai dengan tingkat bahaya, bervariasi dari pemasangan jangkar
tambahan sampai pengungsian menyeluruh, dari lokasi tergantung pada
pembacaan yang diperoleh dari peralatan.

PEMANTAUAN | 180
- Kemudian memungkinkan untuk mendasari sistem pemantauan, pemilihan
lokasi, kedalaman dan jumlah peralatan dalam hubungan dengan perilaku
tanah yang diperkirakan. Kepekaan peralatan tergantung sekali pada tingkat
peringatan bahaya yang dianggap sesuai untuk pekerjaan/proyek tersebut.

16.3. Peranan Pemantauan Dalam Proses Perancangan

Pemantauan merupakan bagian yang penting dalam proses perancangan.


Dapat pula memperkirakan umur tambang, tidak peduli apakah merupakan observasi
yang sederhana ataukah detail dari perilaku lereng. Yang harus diperhatikan adalah :

- Material (tanah, air, dan batuan) adalah komplek.

- Sifat-sifatnya kadangkala sangat sulit diperiksa dan mungkin biayanya mahal.

- Model-model analitik yang digunakan untuk menduga perilaku yang potensial


harus sesuai dan sederhana.

Hal ini adalah dasar dimana perilaku lereng dipantau sebagai suatu bagian
integral dari filosofi perancangan. Gambar 16.1 menunjukkan komponen utama dari
program mekanika batuan (BRADY & BROWN, 1984). Meskipun pada prinsipnya
dirumuskan untuk tambang dalam, namun konsep dan logikanya dapat digunakan
dimana saja dalam rekayasa geoteknik.

Jika rancangan lereng berbeda dengan cara konservatif, maka dibutuhkan lebih
dari sekedar pemantauan observasi sederhana dari perilaku lereng. Bagaimanapun
dalam kasus ini, pengambilan waktu yang tepat dapat membuat penghematan yang
berarti terhadap biaya penggalian. Pemantauan sebagai bagian dari proses
perancangan merupakan tindakan yang tepat untuk membuat keseimbangan antara
ekonomi dan resiko untuk memperoleh keuntungan yang besar.

Dalam tambang dalam dan terowongan, filosofi perancangannya selalu


didasarkan pada pemantauan, contohnya adalah NATM (New Australian Tunneling
Method). Ini merupakan metoda observasi yang penting dari perancangan dimana

PEMANTAUAN | 181
adanya kepercayaan terhadap interpretasi data pemantauan selama penggalian untuk
merampungkan perancangan.

Gambar 16.1 Komponen dan logika dari program mekanika batuan

(BRADY & BROWN, 1984).

Pit percobaan, penggalian atau lereng merupakan contoh yang nyata dimana
pemantauan merupakan tahapan kunci dalam proses perancangan. Keputusan untuk
melakukan suatu penggalian percobaan dari berbagai kemungkinan selalu dibuat
karena tidak mungkin untuk mencapai hasil yang memuaskan dalam perancangan dan
perilaku peralatan tanpa pemantauan dalam skala yag luas.

Yang utama dalam pemantauan adalah observasi, pemeriksaan dan pencatatan,


hal ini selalu dapat membantu memberikan peringatan. Pemikiran yang timbul
cenderung menyatakan bahwa pemantauan hanya dalam kontek peralatan yang

PEMANTAUAN | 182
khusus, padahal pemantauan meliputi spektrum yang lengkap dari peralatan elektronik
sampai pemeriksaan sederhana secara visual.

Dalam banyak penggunaan teknik observasi sederhana biaya dapat serendah-


rendahnya serta sangat membantu. Hal ini terutama dalam kasus dimana pemeriksaan
untuk pendugaan keruntuhan hanya sekali mereka kembangkan.

Dalam tambang terbuka suatu pemeriksa yang berpengalaman biasanya dapat


mengambil gambaran yang tepat dari dua atau tiga dimensi masalah dari beberapa
ketidakmantapan dengan observasi yang sederhana dan pencatatan. Berbeda dengan
di tambang dalam, cara ini sangat sulit karena pemeriksa kadangkala berada dalam
ruangan dan sudut pandang yang terbatas.Pemantauan dapat dipergunakan dalam
beberapa masalah seperti ditunjukkan pada Tabel 16.1.

Tabel 16.1 Pemantauan yang digunakan dalam beberapa masalah

(John Dunicliff, 1988)

Masalah atau Komponen fisik atau Peralatan atau Maksud/tujuan


aktivitas pengukuran teknik yang
digunakan

Kestabilan lereng Displacement - Surface prism Pengukuran dalam tiga arah untuk
- permukaan - Tension crack memperkira-kan besar, kecepatan,
- bawah permukaan - Monitor kedalaman dan arah pergerakan.
- Wire extensometer
- Inclinometer
- Slip indicator
Rekahan dislocation Visual Awal keruntuhan dan kondisi
yang tidak stabil
Settlementdan heave Surface prism Pengukuran pergerakan di dalam
exten-someteran dan sekitar tambang dengan
pengeringan, depressureisation
Tegangan Stress cell Untuk memperkirakan besar dan
arah tegangan insitu
Tekanan atau levels Piezometer - Depressurisation lereng
- Pengeringan akuifer

PEMANTAUAN | 183
Air tanah Rembesan atau jumlah V-notch weir - Pergerakan lereng
aliran - Depressurisation lereng
- Pengeringan akuifer
Sifat kimia air (eh, pH, Multimeter - Aspek lingkungan dari pem-
konduktivitas) buangan
- Korosi peralatan
Peledakan Vibrasi Seismograf - Pergerakan longsoran yang
ada
- Awal longsoran
Tekanan gas Rekahan dari tusaknya massa
batuan sampai ujung dinding pit.
Lingkungan Curah hujan - Rain gauge Pengaruh curah hujan, buang-an,
- intensitas - Pluviograph lereng pit, dan pengisian akuifer
- durasi
Limpasan curah hujan Visual
- intensitas
Penyanggaan Kabel/bolt load Load cell Memeriksa sistem penyangga-an.
batuan Memperkirakan kerusakan karena
korosi pada kabel.
Cable grout dan rock Pull out test with Meemriksa kapasitas desain
grout bonde jack
Pekerjaan Gerakan bawah tanah atauGeofisik, seismic Keselamatan manusia dan
Bawah Tanah keruntuhan stope yangray trancing, peralatan
lama dan pekerjaan lain. sonar

16.4. Instrumen Pemantauan Lereng

16.4.1. Alat Pemantauan Pergeseran

Pemantauan dari pergeseran tanah memberikan pemeriksaan langsung pada


kemantapan lereng tanah/batuan. Ketidakmantapan dan longsoran dalam pergeseran,
dan pergeseran yang lebih besar biasanya selalu didahului oleh pergeseran kecil dan
percepatan yang bisa dipantau dengan peralatan yang cukup peka.

PEMANTAUAN | 184
Gambar 16.2

Contoh peralatan untuk pengukuran (1) pemetaan dengan edm, (2) pengukuran line
of site, (3) pemantauan kekar arik, (4) pengukuran penurunan, (5)
inclinometer, (6) ekstensometer, (7) piezometer, (8) sel beban jangkar
(John Dunicliff, 1988)

16.4.1.1. Metoda Pemetaan Konvensional

Teknik pemetaan konvensional memiliki keuntungan karena tidak mahal dan


memadai, walaupun biasanya resolusi dan kepekaannya terbatas. Namun 'levelling'
yang presisi, cepat dan akurat, dapat meliput daerah yang luas dalam waktu yang
singkat.

Metoda ini sering digunakan untuk memantau penurunan pada puncak lereng,
atau sekitar pertengahan dari muka lereng. Kontrol pergeseran horisontal umumnya
kurang presisi, dan lebih lama dibandingkan dengan kontrol vertikal dengan levelling.
Mungkin yang paling memadai dari metoda ini adalah dengan kordinasi sebuah

PEMANTAUAN | 185
jaringan dari monumen pemetaan. Dulu dikerjakan dengan sistem triangulasi
menggunakan theodolit. Sekarang diperbaharui dengan metoda trilaterasi
menggunakan pengukuran optik-listrik.

16.4.1.2. Peralatan Pengukuran Jarak Optik-Listrik

Alat ini menggunakan sinar yang dimodulasi atau pancaran laser dijatuhkan
pada terget pemantul yang dipasang pada muka lereng. Waktu yang dibutuhkan
berkas cahaya bergerak dari peralatan ke target bisa dihitung jarak antara peralatan
yang tetap dan stabil dengan target pada muka lereng bisa digunakan langsung
sebagai ukuran pergeseran lereng atau koordinat target bisa ditentukan dengan
perhitungan trilaterasi. Akurasi peralatan ini umumnya antara 1 - 10 mm, ketelitian
yag lebih tinggi bisa menggunakan peralatan EDM tipe Mekometer, dengan
ketelitian 0,1 mm walaupun memang jauh lebih mahal.

Gambar 16.3 Theodolit model wild T3

(www.gmat.unsw.edu.au/.../f_pall/jpeg/0207.jpg)

PEMANTAUAN | 186
Gambar 16.4 Theodolit model wild T4

(www.scg.ulaval.ca/.../Artefacts/T4bmini.JPG)

PEMANTAUAN | 187
Gambar 16.5 Edm, topcon model gts-2b

(www.scg.ulaval.ca/.../Artefacts/T4bmini.JPG)

16.4.1.3. Photogrametry

Metoda photogrametry untuk membuat kontur permukaan umumnya kurang


akurat dibandingkan dengan metoda konvensional dan EDM tapi mempunyai
keuntungan besar karena bisa meliput lokasi secara menyeluruh bukan hanya
sejumlah target yang terlokasi. Akurasinya berbanding terbalik dengan jarak karena
terhadap permukaan tanah. Jadi photogrametry lapangan lebih banyak digunakan dari
pada photogrametri udara.

PEMANTAUAN | 188
Gambar 16.6 Rangkaian photometri, menggunakan pasangan stereo

(after Seanne, 1980)

16.4.1.4. Pengukuran Rekahan, Joint dan Sesar

Pola dari rekahan tarik, yang terbentuk pada bagian atas lereng, yang
berpotensi tidak mantap, dapat memberikan informasi berguna tentang mekanisme
dan arah pergeseran. Beberapa rancangan dari 'gage portable' tersedia untuk
pengukuran perubahan dalam bukaan rekahan. Klinometer yang portable bisa
digunakan untuk mengukur perubahan elevasi kedua sisi rekahan.

PEMANTAUAN | 189
16.4.1.5. Surface-Mounted Extensometer

Ekstensometer pengukuran konvergen umumnya dilakukan untuk pekerjaan


bawah tanah, bisa digunakan juga untuk mengukur pergeseran di permukaan.
Mungkin yang paling umum adalah tipe yang terdiri dari pita baja, dengan tursound
sprag dan pengukur mekanik. Meter-konvergen biasanya portable dan mengukur
antara sejumlah pasangan target tetap.

Gambar 16.7 Gage rekahan mekanik menggunakan pins dan kawat tarik

(Hoek & Bray, 1981)

PEMANTAUAN | 190
Gambar 16.8 Gage rekahan elektrik (contery of had. gage a division of klem ass)

(courtesy of Irad Gage, a Division of Klein Assiciates, Inc., Salem, NH)

Gambar 16.9 Gage rekahan mekanik menggunakan pins dan ekstensometer mekanik

(after Yu, 1983; courtesy of Canadian Mining Journal and Kidd Creek Mines Ltd.).

PEMANTAUAN | 191
Gambar 16.10 Ekstensometer pita (Wartery of Slegre Ind.Comp, Seattle, USA)

PEMANTAUAN | 192
Gambar 16.11 Contoh klinometer dan ekstensometer yang didesain untuk mengukur
pergerakan pada joint dan sesar (John Dunicliff, 1988)

16.4.1.6. Settlement Gauges (Gage Penurunan)

Gage penurunan hanya mengukur pergeseran vertikal, biasanya dalam prinsip


tabung-U. Permukaan cairan pada tabung plastik satu dibandingkan dengan tinggi
muka cairan pada tabung sebelahnya, satu tabung dipasang pada tempat yang mantap,
tabung lain dipasang pada crest lereng yang berpotensi tidak mantap.

PEMANTAUAN | 193
16.4.1.7. Ekstensometer Lubang Bor

Ekstensometer mengukur pegerakan dalam arah sumbu lubang bor (misalnya


penurunan saat lubang bor vertikal), sementara klinometer mengukur pergeseran
tegak lurus sumbu lubang bor.

Gambar 16.12 Ekstensometer tangkai tunggal dan ganda

(John Dunicliff, 1988)

Ekstensometer lubang bor biasanya mengukur pergerakan diferensial dari titik


jangkar yang dipasang pada sejumlah kedalaman, yang mana kawat-tarik, dipasang ke
alat pengukur puncak lubang bor.

PEMANTAUAN | 194
16.4.1.8. Inklinometer Lubang Bor

Inklinometer atau 'melokator lereng' dirancang untuk pemasangan permanen,


dalam lubang bor luar dari rangkaian, prioted rod. Rotasi diukur pada privot antara
tiap pasang rod (tangkai) dengan gage-regangan tahanan, dipasang pada antilevers.

Gambar 16.13 Skema pemasangan ekstensometer lubang bor tetap untuk memantau,
kenaikan pada dasar penggalian (John Dunnicliff, 1988)

PEMANTAUAN | 195
Gambar 16.14 Rangkaian ekstensometer lubang bor tetap dengan magnetostrictive

(courtesy of Irad Gage, a Division of Klein Associates, Inc., Salem,NH )

Pergerakan horisontal bisa juga diukur dengan pendulum tergantung ataupun


inverted pendulum. Pada pendulum tergantung, kawat dipasang pada bagian atas
struktur dengan pemberat pada ujung bawahnya. Pemberat ini biasanya ditaruh pada
tangkai minyak. Inverted pendulum lebih banyak dipakai untuk pemantauan
kemantapan lereng. Alat ini memiliki kawat yang dijangkarkan pada tanah stabil di
bagian bawah ujung lubang bor, sedangkan bagian atasnya terapung pada tangki air.

Gambar 16.15 Prinsip operasi inclinometer (John Dunnicliff , 1988)

PEMANTAUAN | 196
16.4.2. Alat Pemantauan Beban Dan Regangan

Pengukuran beban atau regangan sering diperlukan pada struktur perkuatan


lereng, seperti tembok penahan, baut batuan atau kabel jangkar batuan. Instrumen
untuk beban dan regangan yang biasa digunakan adalah load cells dan strain gages.
Load cells ditanam di dalam struktur sedemikian hingga gaya yang dialami struktur
terdeteksi atau dapat diukur oleh cell tersebut.

Sedangkan strain gages dipasang pada permukaan atau ditanam di dalam


struktur untuk mendeteksi tarikan dan tekanan yang dialami oleh struktur tersebut.

Gambar 16.16 Contoh pendulum tergantung dan terbalik

(courtesy of Soil Instruments Ltd.,Uckfield, England)

PEMANTAUAN | 197
16.4.2.1. Load Cells

Jenis load cells yang umum digunakan adalah :

1. Mechanical load cells

Alat ini terdiri dari torsion lever system atau elastic cup spring yang akan
terdeformasi selama dikenai beban. Deformasi akan dideteksi oleh dial indikator
dan dikalibrasi menjadi beban. Kelebihan dari jenis ini adalah tahan dan handal,
sedangkan kekurangannya adalah pembacaan harus langsung pada cell.

Pada Gambar 16.17a dapat dilihat contoh mechanical load cells yang dibuat oleh
Proceq SA.

2. Hydraulic load cells

Alat ini terdiri dari ruangan yang terisi fluida yang dihubungkan ke pressure
transducer. Kelebihan dari jenis ini adalah sederhana dan memungkinkan
pembacaan dari jarak jauh. Sedangkan keterbatasannya adalah memerlukan
bearing plates yang kaku dan luas.

Pada Gambar 16.17b dapat dilihat contoh hydraulic load cells yang dibuat oleh
Gl”tzl GmbH.

3. Electrical resistance load cells

Alat ini terdiri dari tabung yang terbuat dari paduan baja atau aluminium yang
dilengkapi dengan electrical resistance strain gages pada sisi luar tabung tepat di
setengah tingginya. Kelebihan dari jenis ini adalah pembacaan dapat dilakukan
jarak jauh dan dapat diotomatisasi. Sedangkan kekurangannya adalah keluaran
(output) listrik yang kecil, pengaruh lead wire, error akibat kelembaban dan
kemungkinan terjadinya hubungan singkat dan harus terlindung dari petir.

Pada Gambar 16.17c dapat dilihat contoh dari electrical resistance load cells
buatan Geokon.

PEMANTAUAN | 198
4. Cable tension meter

Pada Gambar 16.17d dapat dilihat contoh dari cable tension meter yang dibuat
Fulmer.

Seperti terlihat pada Gambar, gaya yang dialami kabel akan diterima oleh
Eccentric wheel, sehingga frame mengalami pelendutan (bending) yang diukur
oleh dial indikator dan dikalibrasikan menjadi tarikan di dalam kabel. Kelebihan
dari jenis ini adalah dapat dilepas-lepas sehingga satu alat dapat dipakai diberbagai
tempat. Sedangkan kekurangannya harus selalu dikalibrasi untuk setiap jenis dan
ukuran kabel.

Gambar 16.17 Load cells (courtesy of Proceq SA, Zurich, Switzerland),(courtesy og


Glotzl GmbH, Kalsrruhe, West Germany, and Geo Group, Inc,Wheaton, MD).

PEMANTAUAN | 199
16.4.2.2. Strain Gages

Jenis strain gages yang umum dipakai adalah :

1. Portable dial indicator strain gages

Contoh portable dial indicator strain gages yang dibuat oleh Cement and
Concrete Association dapat dilihat pada Gambar 16.18a. Kelebihan dari jenis ini
adalah sederhana, tidak mahal, tidak harus tahan air, kalibrasi dapat dilakukan
kapan saja. Sedangkan kekurangannya adalah pengukuran harus menyentuh
struktur tersebut dan pembacaannya perlu cara-cara yang ekstrim.

2. Electrical resistance strain gages

Ada 5 jenis, yaitu bonded wire, unbonded wire, bondid foil, semiconductor, dan
weldable. Yang paling sering digunakan dalam pekerjaan-pekerjaan geoteknik
adalah bonded foil (Gambar 16.18b) dan weldable (Gambar 16.18c). Kelebihan
jenis ini adalah pembacaan bisa dilakukan dari jarak jauh dan dapat
diotomatisasikan serta cocok untuk memantau regangan dinamik. Sedangkan
kerugiannya adalah keluaran (output) listrik yang kecil, efek lead wire, terpengaruh
kelembaban dan temperatur, pemasangannya memerlukan keahlian khusus, dan
membutuhkan perlindungan dari petir.

PEMANTAUAN | 200
Gambar 16.18 Strain gages (Courtesy of W. H. Mayes & Son, Windsor Ltd.,
Windsor England), (Courtesy of Measurements Group, Inc., Raleigh, NC), (Courtsey
of Eaton Corporation, Los Angeles, CA)

16.4.3. Pemantau Air Tanah

16.4.3.1. Sumur Observasi

Ini adalah suatu istilah yang diberikan kepada suatu lubang bor yang telah
dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga air tanah pada level-level tertentu atau
keseluruhan dapat masuk kedalamnya sehingga fluktuasinya dapat teramati. Dari

PEMANTAUAN | 201
sumur observasi ini dapat juga dilakukan uji pumping test sehingga parameter
hidrolika seperti k (koefisien permeabilitas), Qmax dan Qopt (debit maksimum dan
debit optimum), T (transmibilitas) akifer setempat dapat terukur. Kebanyakan sumur
observasi ini digunakan pada saat investigasi lapangan.

16.4.3.2. Piezometer

Piezometer ini sama dengan sumur observasi tetapi ukurannya lebih kecil dan
hanya cenderung untuk memantau air di level-level tertentu dan selanjutnya digunakan
sebagai sumur pengamat. Contoh piezometer dapat dilihat pada Gambar 16.17.
Piezometer ini juga dapat dikembangkan untuk mengukur tekanan air pori bila
dilengkapi instrumen tertentu.

16.4.3.3. Dip Meter

Yang sering digunakan adalah jenis electrical dip meter (Gambar 16.18).
Instrumen ini terdiri dari 2 kabel konduktor yang dilengkapi ukuran satuan panjang
dan pada ujung bawahnya terdapat tabung baja yang bertindak sebagai probe dan
sekaligus pemberat. Sirkuit yang terpasang di dalam gulungan kabel tadi akan aktif
bila probe menyentuh air.

16.5. Pergerakan Lereng

16.5.1. Kriteria Runtuhan Lereng Pit

Runtuhan lereng dapat terbentang dari bidang lereng yang terdiri dari satu
blok joint sampai runtuhan yang berskala besar dari keseluruhan lereng. Hal ini
seharusnya dilihat sebelum dilanjutkan dengan diskusi untuk memperkirakan
kejelasan dari runtuhan dan keruntuhan lereng secara umum dalam rangka
perekayasaan. Seperti disoroti oleh yang lain (CALL, 1981), untuk material yang

PEMANTAUAN | 202
elastik, beberapa displacement dapat diperbaiki dengan kaidah runtuhan regangan.
Meskipun demikian definisi yang "kaku" ini tidak memuaskan karena banyak
pertambangan yang berhasil beroperasi dengan lereng yang "rusak". CALL (1981)
membedakan antara teori runtuhan dengan kenyataannya, yaitu :

"Laju dari displacement lebih besar dari pada laju dimana material yang
longsor dapat ditambang secara ekonomis, atau gerakan menghasilkan kerusakan
yang tidak dapat diterima untuk suatu fasilitas yang permanen (atau peralatan), ini
suatu kenyataan dari runtuhan".

Suatu kriteria yang sama juga digunakan untuk membedakan antara rayapan
dan gerakan yang besar dari longsoran tanah dimana batas atas dari gerakan rayapan
diberikan sebagai suatu laju dengan pengukuran yang baik (VARNES, 1958).

Berdasarkan beberapa faktor, perpindahan yang besar mau tidak mau


disebabkan oleh tingkat kesulitan tambang. Faktor-faktor kuncinya adalah :

1. Keaslian dari material dimana terjadi ketidakmantapan.


2. Jenis dari ketidakmantapan.
3. Laju gerakan.
4. Jenis dari sistem pertambangan yang dipakai.
5. Hubungan antara ketidakstabilan dengan operasi pertambangan.

Tindakan pengamanan untuk pekerja tidak dapat ditawar lagi, kriteria


ekonomi dirasa akan dipilih menjadi dasar untuk memperkirakan runtuhan lereng pit
dalam pekerjaan pertambangan 'open cut' karena hal ini didasari oleh kenyataan
bahwa keputusan mengenai kesinambungan tambang, penyanggaan, penggalian dan
sebagainya adalah berdasarkan pertimbangan ekonomi. Dalam kontek ini sekali lagi
pemantauan adalah alat untuk mendapatkan dan mengolah informasi.

PEMANTAUAN | 203
16.5.2. Gerakan Runtuhnya Lereng Skala Besar

Seperti dikutip didepan "...lereng jarang runtuh tanpa memberikan tanda-tanda


yang luas" dan runtuhan lereng senantiasa didahului oleh perpindahan yang dapat
diukur serta indikasi lain dari ketidakstabilan seperti rekahan, scraps, dan perubahan
tekanan pori.

Studi empiris oleh BROADBENT & ZAVODNI (1982) menunjukkan


bahwa gerakan dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis utama tergantung dari
kecenderungan dari longsoran akan stabil atau tidak (Gambar 16.19).

Gambar 16.19 Ciri-ciri perilaku waktu displacement untuk keruntuhan lereng pit

(BROADBENT & ZAVODNI, 1982)

PEMANTAUAN | 204
Tipe 1 (kurva A) Tipe regresif dicirikan dengan suatu seri dari gerakan yang
lambat untuk mencapai kemantapan yang optimal.

Tipe 2 (kurva B) Tipe progresif dicirikan oleh percepatan gerakan runtuhan yang
menyeluruh.

Tipe 3 (kurva C) Tipe transisi dimana permulaannya seperti tipe regresif dan
diakhiri seperti tipe progresif. Hal ini biasanya terjadi akibat dari
perubahan kondisi eksternal dari air tanah atau hujan yang lebat,
atau perubahan kuat geser.

Meskipun demikian, pemantauan lain oleh SULLIVAN (1986) dan STACEY


(1990) menunjukkan ada empat tipe utama dari gerakan yang terciri (Gambar 16.20).

Tipe 4 (kurva D) Tipe Stick-slip dari gerakan yang dicirikan oleh gerakan yang
tiba-tiba kemudian diikuti oleh gerakan yang kecil atau tidak ada
sama sekali. Tahap gerakan ini biasanya berhubungan dengan
hujan yang lebat, salju yang mencair atau peledakan.

16.5.3. Klasifikasi dari Gerakan Lereng Tambang

Secara operasional gerakan dinding pit diklasifikasikan menjadi empat tahap:

1. Elastik
2. Rayapan
3. Rekahan dan dislocation
4. Collapse

Gerakan yang elastik berhubungan dengan tegangan insitu dan penyesuaian


dari massa batuan (rock mass moduli) dan pada dasarnya merupakan reaksi dari
massa batuan yang digali. Sebagai contoh adalah gerakan yang hanya beberapa
milimeter untuk tinggi lereng lebih dari 300 m pada batuan keras (FRANKLIN, 1990)
sampai gerakan sebesar 1 - 2 m pada tambang yang dalam di tanah tertier atau batuan

PEMANTAUAN | 205
lunak (LEARMONTH, 1985). Gerakan elatik tidak umum terjadi pada operasi
pertambangan.

Rayapan biasanya merupakan gerakan yang relatif kecil dan bergantung pada
waktu dimana terjadi pada beberapa massa batuan. Di belahan bumi yang lain rayapan
merupakan rheology dan pengertiannya kadang-kadang dihubungkan dengan gerakan
yang berhubungan dengan pegunungan yang tinggi. Yang penting pegunungan ini
dapat dibandingkan dengan penggalian lereng di pertambangan. Di Australia banyak
contoh dari pegunungan yang tinggi yang menunjukkan adanya gerakan rayapan yang
diyakini dimulai pada jaman es. Gerakan ini biasanya tidak menpengaruhi seluruh
operasi Pertambangan.

Secara tradisional keduanya (tahap 3 dan 4), yaitu rekahan/'dislocation' serta


collapse diartikan sebagai keruntuhan, dan secara umum tidak ada bedanya.
Meskipun demikian untuk alasan operasional disini perlu dibedakan antara kedua tipe
gerakan ini. Dalam tambang terbuka, disarankan bahwa collapse yang ada hanya
terjadi pada kasus dimana keruntuhan telah lengkap terjadi dari lereng yang runtuh.
Hal ini karena banyak sekali contoh dimana gerakannya sangat kuat/terasa, dengan
rekahan dan scrap terlihat pada lereng dimana :

1. Gerakan berikutnya terhenti karena ini merupakan sistem tipe regresif.

2. Pengukuran yang baik dapat menstabilkan gerakan.

3. Laju gerakan yang besar akan mengakibatkan lengkapnya kejadian tanpa


adanya penghentian.

Gambar 16.20 merupakan kesimpulan dari 'displacement' horisontal yang


dicatat untuk rentang dari lereng pit yang ada di dunia. Displacement horisontal di
plot dengan kedalaman dan semua kasus gerakan pada permulaan tahap ketiga
sebagai contoh, sebelum lereng seluruhnya collapse. Gerakan diklasifikasikan sebagai
elastik, rayapan (bergantung waktu), rekahan dan dislocation dan pada akhirnya
apakah gerakan itu stabil.

PEMANTAUAN | 206
Berdasarkan plot ini, dapat diamati bahwa gerakan secara normal dapat
dihubungkan dengan empat tahap dari gerakan dinding pit, yaitu :

- Elastik - dangkal atau batuan keras (mm)


- dalam dan/atau tanah/batu lunak (mm-m)
- Rayapan - kelajuannya lebih dari 1 cm/th
- Rekahan dan dislocation - 0,2 m sampai beberapa meter
- Collapse - lebih dari 0,5 m

Gambar 16.20 Displacement horisontal yang terjadi pada lerengpit yang ada di dunia

(SULLIVAN, 1986) dan (STACEY, 1990)

PEMANTAUAN | 207
Dari data displacement horisontal menunjukkan bahwa gerakan runtuh
tersebut dibagi menjadi dua zona, yaitu :

1. Tipe gerakan elastik dan/atau rayapan.

2. Rekahan atau collapse.

Salah satu cara konseptualisasi dari empat tahap potensial dari gerakan ini
disebut "kurva reaksi tanah" (ground reaction curve). Konsep dari kurva reaksi ini
dikembangkan untuk tambang dalam untuk memperkirakan beban, penyanggaan dan
timing.

Dalam situasi bawah tanah, sumbu-sumbu adalah deformasi radial


(displacement horisontal) dan beban (kedalaman pit). Meskipun secara pasti tidak
sama (non-analogous), namun konsep tersebut dapat digunakan untuk perbandingan
dan pemahaman (Gambar 16.21). Tiga tipe kurva reaksi untuk tipe gerakan pit yang
bervariasi dari lereng pit.

PEMANTAUAN | 208
Gambar 16.21 Kurva reaksi tanah (SULLIVAN, 1986) dan (STACEY, 1990)

16.5.4. Prediksi Saat Hancur

Salah satu kunci jawaban yang ditanyakan kapan lereng akan mulai bergerak
adalah ketika runtuhan terjadi. Salah satu dari prediksi yang berhasil dilakukan oleh
KENNEDY dan NIERMEYER (1970) yang memperkirakan dengan tepat saat
hancur 36 hari sebelumnya (Gambar 16.22).

PEMANTAUAN | 209
Gambar 16.22 Plot antara displacement kumulatif dengan waktu untuk lereng pit
sebelum runtuh di Chuquicamata (Kennedy dan Niermeyer, 1970)

BROADBENT dan ZAVODNI (1982) menemukan bahwa hasil pengeplotan


dari laju displacement (dalam skala logaritma) dengan waktu pada skala linier
memungkinkan untuk memprediksi saat collapse. Cara kerja teknik ini cocok untuk
tipe runtuhan transisi, sebagai contoh lereng yang berubah fase regresif menjadi
progresif dan Gambar 16.23 menunjukkan hasil dari prediksi runtuhan tersebut.
Hancuran ini berbentuk baji dengan skala besar yang dibentuk oleh dua sesar yang
saling memotong. Didasari pada pendugaan dari sembilan bentuk runtuhan transisi,
BROADBENT dan ZAVODNI (1982) menunjukkan bahwa suatu hubungan semi
kuantitatif secara empirik dapat dikembangkan,dimana :

Vmp
 K , ........................................................................ (1)
Vo

dimana :

PEMANTAUAN | 210
Vmp = kecepatan pada titik tengah pada tahap runtuhan progresif
(Gambar 16.25).

Vo = kecepatan pada titik permulaan hancur.

K = konstanta (rata-rata = 7,21, σ - 2,11, rentang 4,6-10,4).

Gambar 16.23 Kurva laju displacement sistem transisi liberty pit dan prediksi
kehancuran collapse (Broadbent & Zavodni, 1984)

PEMANTAUAN | 211
Persamaan umum untuk garis lurus semi-log berbentuk :

V = C est ........................................................................... (2)

dimana :

V = kecepatan (ft/hari)

S = kemiringan garis (per hari)

C = konstan

t = waktu (hari)

e = konstanta

Dimisalkan t = 0 pada saat awal collapse, persamaan (2) memberikan bentuk


berikut untuk tahap runtuhan progresif :

V = Vo est ......................................................................... (3)

Dari persamaan ini dan persamaan hubungan empiris persamaan (1),


kecepatan pada titik collapse (Vcol) ditentukan sebagai :

Vcol = K2 Vo...................................................................... (4)

Persamaan (4) dan Gambar 16.23 dapat digunakan untuk memperkirakan


jumlah hari sampai collapse. Meskipun demikian, hal ini hanya mungkin dicapai untuk
satu titik awal hancur saja dan pola laju gerakan tingkat runtuhan progresif,
ditentukan dari catatan pemantauan.

GOLDBERG dan FRIZZEL (1989) mencoba untuk menggunakan sistem ini


untuk runtuhan yang beruntun pada pit Barkeley dengan sukses. Gambar 16.24
menunjukkan hasil dari dua prediksi ini. Begitu pula dengan REID dan STEWARD,
pada pendugaan runtuhan yang besar pada pit Aston juga ditemukan kesulitan untuk
menggunakan rumus matematik biasa untuk memprediksi saat hancur.

PEMANTAUAN | 212
Gambar 16.24 Plot laju displacement semilog untuk sektor tenggara

(Goldberg and Frizzell, 1989)

Yang menjadi masalah dengan prediksi ini adalah bahwa untuk memantau
runtuhan yang besar diperlukan banyak stasiun pemantau. Jika mekanisma runtuhan
dan geologi sangat komplek maka lereng juga akan bergerak secara tidak seragam.
Perbedaan bagian dari lereng ditunjukkan, secara terpisah (per bagian) dihubungkan
dengan mekanisme yang berbeda. Hal ini tidak praktis, karena kadang-kadang terjadi
dalam kasus bahwa pemantauan tidak diletakkan pada lokasi dimana gerakan akan
dimulai. Lebih dari itu, salah satu dari gerakan yang penting, pendugaan kadang-
kadang sangat sulit atau terlalu berbahaya. Sebagai akibatnya stasiun pemantau yang
seragam tidak dapat tercapai, hal ini menjadi pengecualian dari kaidah di atas. Dengan
demikian, tidak sulit untuk melihat bagaimana saat hancur yang diprediksi dengan
menggunakan grafik semi-log atau rumus empiris yang salah. Dengan adanya

PEMANTAUAN | 213
pemahaman di atas, jika mekanisme runtuhan adalah relatif maju dan tahap percepatan
gerakan dari runtuhan terlihat jelas maka teknik sederhana dapat digunakan dengan
catatan untuk memprediki saat hancur umumnya antara 2 sampai 50 hari sebelum
hancur.

16.5.5. Saat Runtuh

Suatu pendugaan menunjukkan bahwa laju gerakan lebih dari 10 cm/detik


(Gambar 16.25), akan hancur. Pada laju ini dapat dikatakan bahwa 3 m dari
'displacement' total sebelum 'collapse', maka waktu maksimum yang dapat terjadi
dalam memprediksi saat runtuh mendekati tiga sampai empat bulan.

Meski demikian jika laju dari gerakan pada saat awal runtuh lebih besar,
katakanlah 10 cm/detik, maka waktu maksimum yang dapat terjadi kemungkinan lebih
kecil dari 30 hari. Gambar 16.26 adalah kesimpulan dari frekuensi histogram dari
suatu jumlah dinding pit skala besar yang runtuh. Data ini menunjukkan bahwa ada
satu gerakan yang tidak biasa (aneh) terjadi, maka setengahnya dari runtuhan total
akan terjadi dalam tiga bulan. Setelah itu lebih dari 75% dari runtuhan terjadi. Pada
'collapse' yang lengkap, terjadi dalam dua bulan.

PEMANTAUAN | 214
Gambar 16.25 Laju dari gerakan (Sullivan, 1987)

PEMANTAUAN | 215
Gambar 16.26 Runtuhan dinding pit pada skala sedang sampai besar

(Sullivan, 1987)

Bagaimanapun, beberapa lereng tambang yang berada pada tahap lanjut dari
gerakan (tahap 3), rekahan dan dislocation, untuk sepuluh tahunan. Demikian pula
beberapa lereng alami (pegunungan) pada daerah batuan keras dimana gerakannya
adalah rayapan (tahap 2) serta rekahan dan dislocation (tahap 3) mulai mengikuti
pada jaman es yang lampau.

16.5.6. Laju Gerakan

Pengalaman menunjukkan bahwa laju gerakan adalah metoda terbaik untuk


menduga gerakan lereng tambang yang potensial ataupun yang dialami. Gambar 16.27
menunjukkan kesimpulan dari laju gerakan yang berhubungan dengan rentang dari
mekanisme runtuhan lereng; toppling, longsoran, baji atau runtuhan yang komplek
dan penurunan tanah. Juga menunjukkan perbandingan penggunaan dari hasil

PEMANTAUAN | 216
pemantauan beberapa kabel penyangga lereng dan beberepa kejadian alam yang
umum.

Kemungkinan salah satu dari banyaknya penerangan tentang fenomena alam


ini adalah yang berhubungan dengan gerakan palung benua (continental drift).
Lempeng benua begerak dengan laju sekitar 10 cm/det. Laju ini sebanding dengan laju
yang diukur pada banyak runtuhan yang besar dan gerakan rayapan yang
berhubungan dengan deformasi dari pegunungan besar.

Secara garis besar kesimpulannya dapat digambarkan dari data di bawah ini:

- Kelajuan lebih dari 10 cm/detik (1 m/hari) secara wajar akan collapse (tahap 4).

- Pada umumnya laju gerakan untuk memulai 'collapse' (tahap 4) adalah:

- toppling 10 - 10 cm/detik

- longsoran 10 - 10 cm/detik

- baji / komplek 10 - 10 cm/detik

- soil slump 10 - 10 cm/detik

- Kabel penyangga lereng dapat memperlambat laju gerakan lereng dari pada
tidak disangga, umumnya lebih kecil dari 10 cm/detik.

- Lereng belum stabil dengan baik dengan laju gerakan lebih dari 10 cm/detik.

16.6. Kunci Suksesnya Program Instrumentasi Geoteknik

Keuntungan penuh dapat diraih dari program instrumentasi geoteknik hanya


jika setiap tahap dalam perencanaan (planning) dan proses eksekusi dilaksanakan
dengan seksama. Analoginya dapat digambarkan dengan suatu rantai yang tersusun
dari banyak mata rantai yang mempunyai kelemahan, rantai ini patah dengan fasilitas
dan frekuensi yang lebih besar daripada kebanyakan usaha-usaha rekayasa geoteknik
lainnya. Kelemahan-kelemahan pada program instrumentasi biasanya dapat

PEMANTAUAN | 217
dihubungkan dengan satu atau lebih dari mata rantai tersebut. Disini, mata rantai
utama didefinisikan sebagai urut-urutan kronologi dan petunjuk yang diberikan untuk
memaksimalkan kekuatan dari masing-masing kelemahan, dan jumlahnya ada 25 buah.
17 mata rantai ditekankan pada saat tahap perencanaan dan 8 mata rantai lagi
ditekankan pada saat tahap eksekusi (pelaksanaan).

16.6.1. Mata Rantai Pada Tahap Perencanaan

1. Perkirakan mekanisme yang mengontrol perilaku.

Satu atau lebih hipotesa harus dikembangkan untuk mekanisme yang sepertinya
mengontrol perilaku.

2. Definisikan pertanyaan-pertanyaan geoteknik yang harus dijawab.

Setiap instrumen pada pekerjaan tersebut harus diseleksi dan ditempatkan untuk
membantu menjawab pertanyaan khusus. Jika tidak ada, disitu tidak usah dipasang
instrumentasi. Sebelum meletakkan suatu metode pengukuran itu sendiri,
seseorang harus membuat daftar pertanyaan-pertanyaan geoteknik yang timbul
selama tahap rancangan, tahap konstruksi atau operasi.

3. Definisikan maksud dari instrumentasi.

Instrumentasi dapat memberikan keuntungan tetapi harus digunakan dengan alasan


yang tidak sia-sia.

4. Pilih parameter-parameter yang akan dipantau.

Pertanyaan "parameter mana yang paling perlu ?" harus dijawab. Sering ditemukan
bahwa pengukuran deformasi adalah yang paling sederhana (simple), paling handal,
dan sedikit kesalahan.

5. Perkirakan arah perubahan.

PEMANTAUAN | 218
Perkiraan atau penaksiran dibuat untuk memantapkan rentang dan akurasi yang
diperlukan dari tiap instrumen. Bilamana pengukuran digunakan untuk mengontrol
selama konstruksi atau tujuan keselamatan, penentuan awal dari "tingkat tanda
bahaya yang diinginkan" harus dibuat.

6. Pikirkan tindakan perbaikan.

Terkandung di dalam penggunaan instrumentasi untuk tujuan konstruksi adalah


kebutuhan mutlak untuk memutuskan (langkah berikutnya) hal-hal positif untuk
memecahkan permasalahan yang mungkin tersingkap dari hasil observasi. Jika
observasi menunjukkan hal-hal atau tindakan perbaikan apa yang diperlukan, maka
langkah-langkah yang diambil berikutnya tidak akan kelabakan, karena sudah
sesuai atau terpikirkan sebelumnya.

7. Tetapkan tugas-tugas untuk tahap rancangan, tahap konstruksi, dan tahap operasi.

Pada saat tugas-tugas pemantauan ditetapkan, sebuah regu yang memiliki


kepentingan yang tinggi akan data harus segera dijelaskan secara langsung akan
tanggung jawab yang harus dipikul untuk menghasilkan data secara akurat.
Kehandalan dan kesabaran, ketekunan, yang dilatarbelakangi dasar rekayasa
geoteknik, kemampuan mekanik dan elektrik, perhatian rinci, dan derajat motivasi
yang tinggi adalah persyaratan dasar dari personil instrumentasi untuk kualitas
yang dikehendaki.

8. Pilih instrumen.

Pada saat instrumen dipilih, hal yang tidak boleh dikesampingkan adalah
kehandalan. Terkandung dalam kehandalan adalah segampang (sesederhana)
mungkin dan selanjutnya bila nanti terjadi penurunan kehandalan maka suatu
penyelaras (transducers) dapat dipasang, baik itu dalam hal optik, mekanik,
hidraulik, pneumatik, elektrik atau yang lainnya. Instrumen dengan harga murah
jangan digunakan sebagai acuan dalam pemilihan alat, sebaiknya agak sedikit
mahal tetapi menghasilkan biaya total termurah itulah yang dipilih.

PEMANTAUAN | 219
Pengetahuan dalam merancang hardware sebaiknya disesuaikan dengan
pengetahuan pemakai teknologi itu. Hal ini menjadi tanggung jawab dari pemakai
untuk mengembangkan pengetahuannya akan instrumen yang dipilihnya. Pemakai
(users) akan sering diuntungkan jika pada saat akan memilih instrumen telah
melakukan diskusi terlebih dahulu dengan Sarjana-Sarjana Geoteknik atau
Geologis dari staf pembuat alat, tentang pemakaian, keterbatasan serta jalan
keluarnya.

9. Pilih lokasi instrumen.

Pemilihan lokasi instrumen harus berdasarkan perilaku yang sudah di perkirakan


dan harus sesuai (compatible) dengan metoda analisis yang nantinya digunakan
untuk menginterpretasi data. Pendekatan praktis untuk pemilihan lokasi instrumen
meliputi tiga tahap :

a. Daerah yang perlu perhatian khusus ditentukan dan tentunya instrumen yang
tepat pula yang nantinya ditempatkan disini.

b. Pemilihan dibuat pada daerah (biasanya dibuat penampang) dimana dugaan


perilakunya dapat mewakili keseluruhan daerah.

c. Karena kemungkinan ada ketidak-tepatan pada tahap 2, maka satu instrumen


lagi dipasang pada suatu penampang lainnya dengan tujuan sebagai
pembanding.

Selain itu harap diperhatikan juga faktor-faktor yang dapat mengganggu


ketahanan dan unjuk laku alat.

10. Perencanaan pencatatan dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi data


pengukuran.

Pengukuran dengan instrumen tersebut jarang yang cukup bisa memberikan


kesimpulan yang bagus.

PEMANTAUAN | 220
Penggunaan instrumen pada umumnya meliputi pengukuran yang dihubungkan
dengan penyebab, oleh karena itu pencatatan yang lengkap dan catatan harian
harus dijaga dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran.

11. Tetapkan cara-cara untuk meyakinkan pembacaan yang benar.

Tanggung jawab personil pada instrumentasi haruslah bisa menjawab pertanyaan-


pertanyaan

"Apakah instrumen berfungsi dengan baik ?".

Masukan untuk menjawab pertanyaan tadi dapat diperoleh dengan cara:

- Pengamatan visual.

- Mencocokkan dengan instrumen yang sama.

- Mempelajari kekonsistenan dan kemenerusan data.

12. Siapkan anggaran.

Anggaran harus disiapkan untuk meyakinkan bahwa dana yang cukup sudah
tersedia untuk tugas-tugas pemantauan.

13. Tulis spesifikasi pengadaan instrumen.

Permintaan lain, selain sesederhana mungkin, pengadaan instrumen geoteknik


seharusnya tidak dianggap sebagai pengadaan barang konstruksi biasa, karena
untuk suatu pengukuran yang valid perhatian khusus itu harus dibayar demi
kualitas dan kerincian.

Metoda "tawaran terendah" sebaiknya jangan diambil kecuali kalau ada aturan-
aturan yang mengijinkannya selama tidak ada alternatif lain, dan metoda yang
disarankan adalah sebagai berikut (silahkan dipilih) :

- Pemilik (owner) atau Konsultan

PEMANTAUAN | 221
Perancang mengadakan instrumen secara langsung bernegosiasi sendiri dengan
supplier.

- Pemilik memberikan perkiraan biaya pengadaan dalam daftar rencana penawaran


kontrak konstruksi dan selanjutnya memilih instrumen yang cocok untuk
pengadaan yang akan dilakukan oleh Kontraktor. Harga tetap dinegosiasi oleh
pemilik (owner) dengan supplier, dan selanjutnya Kontraktor konstruksi nantinya
mengganti harga tersebut ditambah biaya angkut dan lain-lain.

Jika kedua metoda tersebut tidak ada yang dapat dipilih dan metoda "penawaran
terendah" dengan atau yang sudah memenuhi persyaratan terpaksa dipilih, maka
mengenai kejelasan, kekonsistenan, kelengkapan dan spesifikasi yang benar harus
ditulis. Spesifikasi harus menunjukkan seluruh gambaran yang menonjol/penting
untuk menjamin terhindarnya kesalahan substitusi barang. Pada saat menulis
spesifikasi pengadaan barang, seseorang harus menentukan permintaan akan
kalibrasi pabrik dan uji coba pada saat diterima untuk meyakinkan berfungsi dan
tidaknya instrumen tersebut pada saat diterima.

14. Perencanaan instalasi.

Prosedur instalasi dan jadwal harus direncanakan dengan baik. Tulisan mengenai
prosedur instalasi, langkah demi langkah sebaiknya dipersiapkan, termasuk daftar
material dan perkakas yang diperlukan serta form (lembar catatan) instalasi.

Jika pemilik atau konsultan perancang benar-benar bertanggung jawab pada


instalasi instrumen, maka usaha khusus harus dilakukan selama tahap
perencanaan, yaitu memantapkan hubungan kerjasama dengan kontraktor yang
akan menanganinya.

15. Perencanaan kalibrasi dan perawatan rutin.

Kalibrasi dan perawatan yang teratur dari unit baca dan terminal-terminal
dilapangan sangat diperlukan selama umur instrumen tersebut.

Rencana yang dibuat sebaiknya meliputi prosedur dan jadwal yang teratur.

PEMANTAUAN | 222
16. Perencanaan pengumpulan data, pemrosesan, tampilan, interpretasi, pelaporan
dan pelaksanaan.

Penulisan prosedur untuk pengumpulan data, pemrosesan data, tampilan dan


interpretasi harus disiapkan sebelum pekerjaan instrumentasi dilapangan dimulai.
Verifikasi harus dibuat untuk memberi keyakinan bahwa personil yang
bertanggung jawab atas interpretasi dari data telah berhak secara kontraktual,
sehingga dapat menginisiasi tindakan perbaikan, dan rencana-rencana ini
merupakan peringatan awal untuk semua regu akan tindakan
perbaikan/penyelamatan yang sudah dirancang. Hal ini menunjukkan bahwa
saluran komunikasi antara tim perancang dan tim konstruksi terbuka.

17. Penulisan rencana-rencana secara kontrak untuk tugas lapangan.

Tugas lapangan meliputi : instalasi instrumen; kalibrasi dan perawatan reguler;


dan pengumpulan data, pemrosesan, tampilan, interpretasi dan pelaporan.
Persiapan-persiapan secara kontrak untuk menseleksi personil yang akan
berkecimpung di dalam tugas lapangan ini sangat menentukan sukses atau
tidaknya Program Pemantauan.

Metoda yang disarankan dalam hal ini adalah :

- Pemilik (owner) atau konsultan perancang menyelenggarakan sendiri


pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus tersebut atau jika perlu
dibebankan pada badan-badan usaha/konsultan yang bergerak di bidang
instrumentasi. Sedangkan pekerjaan penunjang tetap diselenggarakan oleh
Kontraktor.

- Pemilik memasukkan estimasi biaya pekerjaan lapangan yang khusus tersebut


di dalam daftar penawaran kontrak konstruksi.

Selanjutnya, pemilik dan kontraktor konstruksi menseleksi badan


usaha/konsultan yang cocok yang mana nantinya dijadikan sub kontraktor oleh
kontraktor konstruksi untuk menyelenggarakan pekerjaan lapangan dari
instrumentasi tersebut.

PEMANTAUAN | 223
Negosiasi gaji atau biaya untuk pekerjaan tersebut tetap dilakukan oleh pemilik
dan konsultan tersebut, selanjutnya kontraktor nantinya yang melaksanakan
pembayaran. Pekerjaan pendukung tetap diselenggarakan oleh kontraktor.

Bila kedua metoda tersebut tidak dapat dilaksanakan dan metoda dengan
"penawaran terendah" untuk pekerjaan lapangan tersebut terpaksa diambil, maka
kejelasan, kekonsistenan, kelengkapan dan spesifikasi yang benar harus ditulis untuk
memaksimalkan kualitas dari tugas lapangan tersebut.

16.6.2. Mata Rantai Pada Tahap Eksekusi (Pelaksanaan)

1. Pengadaan instrumen.

Instrumen harus dikalibrasi, diperiksa dan di tes sebelum dikirim ke pamakai. Pada
saat diterima oleh si pemakai, maka uji unjuk laku sebaiknya dilakukan untuk
meyakinkan berfungsi atau tidaknya instrument tersebut.

2. Instalasi instrumen.

Sebelum pekerjaan pemasangan, personil lapangan harus mempelajari dan mengerti


langkah demi langkah dari prosedur instalasi yang telah tertulis. Mereka harus
sadar bahwa instrumen itu tidak akan dapat berjalan sesuai dengan maksud/tujuan
jika ada sesuatu yang mendasar meskipun kehadirannya merupakan bagian kecil,
tetapi terlupakan pada saat instalasi.

3. Kalibrasi dan perawatan dengan jadwal yang teratur.

Unit baca (read out) dan terminal-terminal harus dikalibrasi dan di "rawat" sesuai
dengan yang sudah dijadwalkan, khususnya pada terminal-terminal, tidak hanya
yang terlihat, tetapi sebaiknya yang tertanam padanya juga diberlakukan demikian.

4. Pengumpulan data.

Perhatian khusus harus diberikan pada saat menentukan bacaan awal, karena data
selanjutnya akan mengacu padanya, dan pertimbangan-pertimbangan rekayasa yang

PEMANTAUAN | 224
diambil nantinya akan lebih banyak didasarkan pada "perubahan relatif"
terhadapnya daripada nilai-nilai absolut.

Personil pengumpul data, pertama kali yang dilakukan adalah mendeteksi apakah
instrumen tersebut berfungsi dengan baik atau tidak, dengan cara
membandingkannya dengan pengukuran sebelum-sebelumnya. Bila sudah diyakini
valid, langkah selanjutnya adalah segera mengidentifikasi beberapa perubahan
penting, dan jika "tingkat tanda bahaya yang diinginkan" tercapai, maka hal
tersebut segera diinformasikan pada pengawas.

Personil pengumpul data ini juga harus mencatat hal-hal yang mungkin
mempengaruhi data pengukuran dan harus berhati-hati dengan kemungkinan
terjadinya perusakan, penurunan kualitas pengukuran atau perubahan fungsi dari
alat tersebut.

5. Pemrosesan dan penyajian data.

Maksud utama dari pemrosesan dan penyajian data adalah :

a. Mendeteksi perubahan yang barangkali memerlukan penanganan yang sesegera


mungkin.

b. Mengumpulkan dan menyajikan data guna menunjukkan kecenderungan dan


guna memperbandingkan pengamatan dengan perilaku yang telah diperkirakan,
untuk menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil.

Form khusus untuk preparasi data sebaiknya ada, dan data harus di plot, biasanya
vs waktu, agar memudahkan proses analisa.

6. Interpretasi data.

Data pemantauan harus di-file-kan dengan baik karena data-data yang sudah
diperoleh akan sangat bermanfaat. Jika tujuan program pemantauan ini sudah
dijabarkan secara rinci, misal dalam suatu proposal yang rinci, maka interpretasi
data akan sangat mudah sekali karena sudah di "guide" dengan proposal tadi.
Tanpa tujuan yang jelas, maka interpretasi akan sukar sekali.

PEMANTAUAN | 225
Jalur komunikasi antara perancang dan personil lapangan harus terjaga baik,
sehingga diskusi antara personil perancang (yang sudah dipenuhi dengan berbagai
pertanyaan/persoalan yang harus dijawab) dengan personil lapangan (yang
memberikan data) dapat terselenggara dengan baik.

Tahap awal dari interpretasi data adalah evaluasi data untuk menentukan betul
tidaknya pembacaan dan juga mendeteksi perubahan yang memerlukan penanganan
segera. Tahap interpretasi data yang mendasar selanjutnya adalah mengkorelasi
hasil pembacaan alat dengan faktor lain (penyebab dan pengaruh) dan mempelajari
deviasi pembacaan dengan taksiran yang sudah dibuat. Bila janggal, maka data
tersebut dapat di reject dan dianggap salah.

7. Pelaporan.

Setelah dilakukan interpretasi data, maka kesimpulan atau konklusi harus


dilaporkan dalam bentuk interim monitoring report dan dikirimkan kepada
personil pelaksana. Lebih lengkap lagi, pelaporan dilaksanakan dengan
pembicaraan (pada awalnya) dan selanjutnya dikonfirmasikan dalam bentuk tulisan.
Isi pelaporan meliputi plot-plot data yang sudah di-update, komentar-komentar
penting tentang perubahan-perubahan penting yang terjadi di dalam pengukuran
parameter, hal-hal yang mungkin menyebabkan perubahan tersebut dan
rekomendasi tentang langkah-langkah yang harus diambil.

Final report adalah dukumen kunci dari program pemantauan dan merupakan
bank pengalaman dan seharusnya didistribusikan pada owner dan konsultan
perancang, karena dari sini akan banyak ditarik berbagai pelajaran untuk proses
rancangan berikutnya.

8. Penggunaan data.

Jika instrumentasi digunakan untuk memberi masukan pada tahap rancangan, baik
fasilitas ataupun perbaikan, data akan digunakan langsung selama tahap rancangan.
Jika instrumentasi digunakan selama tahap konstruksi, dan dengan adanya
bermacam-macam tindakan perbaikan yang sudah direncanakan, maka
pelaksanaannya harus mengikuti rencana tersebut.

PEMANTAUAN | 226
16.7. Studi Kasus

16.7.1. Tambang Emas Haveluck Meekatharra, Australia Barat

16.7.1.1. Geologi

Studi kasus yang pertama adalah tambang emas Haveluck di Meekatharra,


Australia Barat. Pada saat ketidakstabilan mulai terjadi, kedalaman pit hampir
mencapai 50 m dari 90 m yang direncanakan sebelumnya. Pit relatif panjang (600 m)
dan sempit (100 m) serta diikuti oleh daerah bijih. Kondisi geologinya merupakan
schist purba yang berlapis-lapis serta berkelanjutan dimana lipatan dan sesarnya lebar
serta luas. Ciri-ciri batuannya bervariasi dan membentang mulai dari lapisan schist
yang relatif 'massive ferruginous' sampai schist yang kadar sheared schist-nya tinggi.
Batuan-batuan ini saling bertumpuk di sebelah utara dengan lapisan batupasir yang
masif secara horisontal dan konglomerat dari jaman yang lebih muda.

Strike dari 'schist' adalah dalam arah utara selatan yang paralel sampai sumbu
pit yang panjang dan dip-nya ke arah timur pada sudut rata-rata 70. Meskipun
demikian lapisan yang berada pada arah selatan sejajar dengan sesar yang besar
dimana arah dip-nya 70 ke arah timur dan strike-nya berada pada arah utara timur,
miring sampai sumbu pit yang panjang (Gambar 16.27).

PEMANTAUAN | 227
Gambar 16.27 Geologi secara umum (haveluck gold mine, Meekatharra)

Batuan sangat lapuk serta kekuatan batuan intact mulai dari yang rendah
sampai yang sedang untuk ferruginous schist dan sangat rendah sampai rendah untuk
sheared schist. Batupasir yang bertumpuk dan konglomerat berkekuatan sedang. Air
tanah berada di bawah dasar pit dan mulai dari sini tidak ada bagian dalam highwall
atau kemantapan jenjang.

PEMANTAUAN | 228
16.7.1.2. Awal Dari Ketidakmantapan

Secara umum

Ketika pit mendekati kedalaman 5 m, staf pertambangan untuk sementara


telah mengidentifikasi suatu daerah highwall di sebelah timur adanya rekahan yang
meluas sampai lebih dari 20 m di belakang puncak highwall.

Selanjutnya beberapa tension crack pada berm dan runtuhan jenjang yang
kecil adalah sebagai berikut :

1. Toppling pada kebanyakan schist yang masive ferruginous.

2. Toppling yang hancur tidak beraturan dan komplek pada sheared schist.

Seluruhnya terindikasi pada lereng yang berada pada ambang batas


kemantapan dan kerusakan yang besar akan terjadi pada suatu ketika. Peta geologi
mengindikasikan adanya daerah tidak stabil yang berbentuk segitiga dan dibentuk
oleh tumpukan batupasir yang lebih muda di sebelah utara serta oleh sesar yang besar
di sebelah selatan (Gambar 16.27). Suatu seksi dari daerah pada ambang batas stabil
ditunjukkan dalam Gambar 16.28.

Didasari pada pemikiran bahwa rekahan berada di belakang puncak lereng, dip
mengarah ke timur, struktur geologi serta tanda-tanda ketidakmantapan jenjang, maka
seluruh keruntuhan yang potensial tampaknya akan berbentuk toppling. Semua lereng
bersudut antara 48 sampai 51 dengan tinggi individual jenjang lebih dari 15 m dengan
sudut 70 .

Pemantauan Schedule pertambangan memperlihatkan bahwa penggalian bijih


yang berawal dari bawah seksi ini sampai membentuk 'highwall' membutuhkan waktu
kurang lebih satu sampai dua bulan dan kemudian diputuskan untuk melakukan sistem
pemantauan dan dilanjutkan oleh penambangan. Hal ini diperkirakan bahwa ekstraksi
bijih kemungkinan akan diselesaikan sebelum semua keruntuhan terjadi.

PEMANTAUAN | 229
Gambar 16.28 Awal ketidakmantapan seksi (Sullivan, 1987)

Sistem pemantauannya terdiri dari :

1. Suatu kawat dengan trip swatch dan suara bahaya (warning horns) sepanjang
major tension crack.

2. Pasak pemantau sepanjang semua rekahan yang sama. Kejadian dari


ketidakmantapan diperlihatkan pada Gambar 16.29, beserta hasil pemantauannya.

Gambar 16.29 Pemantauan dari awal ketidakmantapan (Sullivan, 1987)

PEMANTAUAN | 230
Pemantauan memperkirakan akan terjadi ketidakmantapan bertipe progresif
dengan kecepatan semua gerakan didapati di atasnya dalam suatu seri dari lingkaran
yang lebih kecil. Penambangan bijih pada kaki lereng dilanjutkan dan seluruh
kerusakan tejadi pada saat 2,5 bulan setelah rekahan pertama kali diketahui.

16.7.1.3. Penambangan Selanjutnya

Secara umum

Berdasarkan akhir dari tahap penambangan secara lengkap, maka perlu


diperhatikan kejadian-kejadian sebelumnya. Hal ini karena perluasan keruntuhan
terjadi sepanjang 'highwall' sampai posisi akhir 35 m ke arah utara dan kedalaman pit
mendekati 40 m.

Analisa kembali dari bagian/seksi yang rusak dari lerengmengindikasikan


bahwa sudut seluruh lereng yang mantap adalah antara 40 sampai 50. Tetapi didasari
oleh keberhasilan peggunaan pemantauan untuk sepanjang highwall dan umur
tambang yang relatif pendek (hanya kurang lebih 1,5 tahun) pertimbangan manajemen
diambil dari kebijaksanaan pemeliharaan sudut lereng yang securam mungkin.

Ketidakmantapan selanjutnya

Karena sesar mayor berlanjut sampai ke belakang dari highwall terakhir,


daerah ketidakmantapan selanjutnya dapat terjadi, juga dibentuk oleh sesar yang ada
di sebelah selatan dan tumpukan batupasir di sebelah utara (Gambar 25). Dengan
demikian, akibat dari ketidakmantapan yang potensial adalah lebih besar karena jalan
untuk pengangkutan akan melewati lereng ini.

Hal ini telah terpikirkan, berdasarkan hasil pemantauan sepanjang highwall' bahwa
untuk highwall terakhir :

PEMANTAUAN | 231
1. Kerusakan menyeluruh akan terjadi dalam waktu beberapa bulan.

2. Displacement pada puncak yang terdahulu akan rusak kemungkinan lebih


besar dari 0,3 m.

3. Pemantauan yang efektif berarti suatu tindakan untuk mengetahui peningkatan


dari major failure.

4. Jalan untuk pengangkutan dapat digunakan dan penggalian bijih dapat


dilanjutkan.

Rencana pengembangan tambang diperluas 35 m ke belakang dari sebelah


selatan ke ujung utara dari pit. Pushback ini diperkirakan akan selesai dalam waktu
satu tahun. Penggunaan sistem rencana pengembangan ini diubah agar penambangan
bijih yang cepat di bawah bagian highwall yang tidak mantap dapat berlangsung.
Berdasarkan adanya buangan overburden ini dari arah ujung utara pit digunakan
untuk backfilling pada daerah yang tidak mantap dan penjadwalan kembali dari
pengupasan akan menghasilkan penghematan pada ongkos pengangkutan.

Pemantauan

Pemantauan terhadap individual tension crack di atas crest (Gambar 28)


diperkirakan adanya suatu gerakan tiperegresif yang di atasnya ada suatu seri
lingkaran kecil. Tetapi beberapa gerakan yang terlihat akan dipercepat lebih dahulu
untuk backfilling setelah September 1984. Dihubungkan dengan adanya bentuk
toppling, hal ini diperkirakan bahwa gerakan progresif seluruhnya selalu terjadi pada
displacement selanjutnya.

Tetapi hasil dari backfilling cukup menakjubkan, gerakan individual tension


crack pada garis normal ke highwall bertambah dan ditunjukkan pada Gambar 29
sebagai gerakan kumulatif total terhadap waktu. Sebagai penjelasan pada Gambar 29
backfilling akan dihasilkan pada penutupan rekahan.

PEMANTAUAN | 232
Gambar 16.30 Hasil pemantauan dari individual tension cracks dari daerah
ketidakmantapan pada final highwall (Sullivan, 1987)

Gambar 16.31 Gerakan kumulatif total pada garis normal di dinding pit

(Sullivan, 1987)

PEMANTAUAN | 233
16.7.1.4. Kesimpulan

Sebagai kesimpulannya, studi ini diharapkan dapat menunjukkan contoh yang


baik bagaimana menerapkan metoda dan cara-cara sederhana, bersama dengan
pemahaman terhadap dasar-dasar dari masalah, dapat menangani masalah
ketidakstabilan lereng pit dengan efektif. Kunci dari studi ini adalah :

1. Tentukan suatu model geologi yang baik.

2. Pahami bentuk/jenis keruntuhan yang mungkin terjadi.

3. Gunakan cara-cara pemantauan sederhana.

4. Pengakuan dan penggunaan pengalaman yang khusus terhadap lokasi


tambang sebagai bagian dari proses perancangan secara observasi.

16.7.2. Program Pemantauan Pada Lereng Galian Dan Lereng Alamiah

Analisis kemantapan lereng adalah tugas utama dalam rancangan geoteknik


untuk lereng galian, baik yang bersifat temporer (sementara) maupun permanen.
Faktor yang mempengaruhi kemantapan lereng meliputi stratigrafi, muka air tanah,
gradien rembesan, kekuatan tanah atau massa batuan, geometri dan beban dinamis.
Instrumentasi pemantauan disini akan berperan dalam penentuan karakteristik
ketidakmantapan, baik selama penggalian maupun sesudah penggalian sehingga
mengijinkan untuk dapat memilih tindakan atau penanganan yang sesuai.

16.7.2.1. Pertanyaan Geoteknik yang Terpenting

Berikut ini akan disajikan beberapa pertanyaan yang seharusnya muncul


dalam pekerjaan lereng. Urut-urutan pertanyaan di bawah ini tidak mencerminkan
tingkat kepentingannya.

PEMANTAUAN | 234
1. Bagaimana kondisi awal lapangan ?

Kondisi awal lapangan dapat diketahui dengan cara penyelidikan lapangan


konvensional, kadang-kadang dilengkapi dengan uji insitu. Perhatian khusus harus
diberikan pada penentuan faktor-faktor yang mungkin menyebabkan keruntuhan
sehingga metoda penanganannya dapat diperkirakan.

2. Apakah selama penggalian, lereng akan mantap ?

Program pemantauan pada masalah kemantapan lereng selama penggalian biasanya


jarang yang melakukan, apalagi para perancangnya sudah berpengalaman.

Kebanyakan program pemantauan diterapkan pada hasil akhir dari konstruksi.


Tetapi untuk kondisi-kondisi tertentu, program pemantauan sebaiknya dilakukan
untuk menunjukkan bahwa lereng mantap selama penggalian dan tidak ada
pengaruh yang merugikan terhadap struktur (bangunan) terdekat.

Program pemantauan yang biasa dilakukan selama penggalian lereng adalah


pemantauan deformasi dan pemantauan air tanah (baik tekanan maupun fluktuasi
muka air tanah). Instrumen atau metoda yang biasanya digunakan pada program
pemantauan selama penggalian dapat dilihat pada Tabel 16.2.

3. Seberapa jauh tanah bergerak.

Jika fakta telah menunjukkan tentang adanya ketidakmantapan, baik selama


penggalian atau sesudahnya, karakteristik ketidakmantapan tersebut harus segera
diketahui. Pertanyaan "seberapa jauh tanah bergerak ?" bisa dijawab dengan
instrumentasi pemantauan seperti telah disebutkan pada Tabel 16.2. Tetapi
pertanyaan "mengapa tanah bergerak ?" tidak akan bisa dijawab hanya dengan
instrumentasi tetapi harus dibarengi dengan penyelidikan geoteknik lengkap dan
analisanya.

Pada Gambar 16.32 dan Gambar 16.33 diberikan layout dari pemasangan
instrumentasi pemantauan.

PEMANTAUAN | 235
Tabel 16.2 Instrumentasi/metoda pemantauan kemantapan lereng selama penggalian

(John Dunicliff, 1988)

Pengukuran Instrumen / metoda

Deformasi permukaan - Metoda surveying

- Crack gages

- Tiltmeters

- Multi point liquid level gages

Deformasi bawah permukaan - Inclinometers

- Fixid borehole extensometers

- Slope extensometers

- Shear plane indicators

- Multiple deflectometers

- In-place inclinometers

- Combined piezometer - inclinometer system

- Acoustic emission monitoring

Tekanan air tanah - Single piezometers

- Multipoint piezometers

- Combined piezometer - inclinometer system

PEMANTAUAN | 236
Gambar 16.32 Layout pemasangan instrumen pemantauan pada lereng tanah yang
sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakmantapan (Dibiagio and Myrvoll, 1981)

PEMANTAUAN | 237
Gambar 16.33 Layout pemasangan instrumen pemantauan pada lereng batu yang
sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakmantapan (Dibiagio and Myrvoll, 1981)

4. Apakah untuk jangka panjang lereng tetap mantap ?

Pertanyaan ini terutama ditujukan pada lereng yang mengalami ketidakmantapan


selama penggalian.

Tetapi ada kasus yang menerapkan pertanyaan ini pada lereng yang tidak
mengalami masalah ketidakmantapan selama penggalian hanya karena
merencanakan suatu konstruksi dikaki lereng.

PEMANTAUAN | 238
Secara umum, pilihan langkah-langkah yang dapat diambil adalah :

- Tidak melakukan apa-apa; dengan resiko dapat menerima hal yang diakibatkan
keruntuhan lereng (bila terjadi).

- Pemantauan; untuk mendapatkan data karakteristik ketidakmantapan sehingga


tindakan pencegahan/ perbaikan dapat dilakukan.

- Perkuatan dan proteksi lereng, mungkin dilengkapi pemantauan guna


memverifikasi penanganan yang sudah dilakukan. Pemilihan langkah-langkah
tersebut dilandasi banyak faktor termasuk konsekuensinya bila terjadi keruntuhan
dan pertimbangan ekonomi bila diambil langkah langkah perkuatan atau proteksi.

PEMANTAUAN | 239
GEOTEKNIK TAMBANG
(TA 3222)

Oleh:
Prof. Dr. Irwandy Arif

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011
DAFTAR GAMBAR

1.1. Jenis longsoran dan stereoplot ....................................................................... 3

1.2. Informasi struktur geologi dan evaluasi jenis longsoran yang mungkin

terjadi dari suatu rencana open pit ................................................................. 4

1.3. Macam – macam longsoran ........................................................................... 7

3.1. Contoh peta geologi Halmahera .................................................................. 25

3.2. Contoh kontur peta topografi ....................................................................... 26

3.3. Diagram skematik susunan seismik refraksi ................................................ 28

3.4. Contoh uji seismik refraksi di tambang Air Laya hasil perekaman oleh

Bison Seismograph ...................................................................................... 30

3.5. Metode geoseismik ..................................................................................... 31

3.6. Contoh pemboran ........................................................................................ 32

3.7. Drill core dan cutting samples ..................................................................... 32

3.8. Drill core .................................................................................................... 33

3.9. Prosedur normal untuk garis pengukuran kekar ........................................... 34

3.10. Pengukuran kekar ...................................................................................... 35

3.11. Block shear test ......................................................................................... 37

3.12. Jacking test ............................................................................................... 38

3.13. Alat uji Insitu Triaksial .............................................................................. 39

3.14. Diagram pressure - displacement dari jacking test ..................................... 40

DAFTAR GAMBAR | viii


4.1. Kurva tegangan-regangan hasil pengujian kuat tekan .................................. 45

4.2. Penyebaran tegangan di dalam contoh batu dan bentuk pecahannya

pada pengujian kuat tekan ........................................................................... 45

4.3. Pengujian kuat tekan dengan menggunakan dial gauge ............................... 46

4.4. Pengujian kuat tekan dengan menggunakan electric strain gauge ................ 46

4.5. Kurva tegangan-regangan ............................................................................ 47

4.6. Kurva tegangan-regangan contoh batu kapur ............................................... 48

4.7. Bentuk contoh posisi batu untuk PLI ........................................................... 48

4.8. Bentuk contoh batu sebelum dan sesudah point load test ............................ 49

4.9. Peralatan untuk point load test..................................................................... 49

4.10. Pengujian Triaxial ..................................................................................... 51

4.11. Lingkaran Mohr dan kurva Intrinsic dari hasil pengujian Triaxial .............. 51

5.1. Istilah yang dipakai dalam pengukuran bidang lemah .................................. 57

5.2. Penggambaran struktur bidang pada jaring Schmidt. ................................... 59

5.3. Penggambaran arah dan penujaman perpotongan dua bidang ....................... 60

5.4. Sudut perpotongan dua bidang .................................................................... 61

5.5. Penggambaran sudut geser dalam ................................................................ 61

6.1. Kondisi umum longsoran bidang ................................................................. 63

6.2. Posisi rekahan tarik (tension crack) pada lereng batuan. .............................. 64

6.3. Nilai perbandingan P dan S untuk bermacam-macam geometri ................... 66

6.4. Nilai perbandingan Q untuk bermacam-macam geometri lereng .................. 67

DAFTAR GAMBAR | ix
7.1. Geometri longsoran baji .............................................................................. 70

7.2. Gaya-gaya pada longsoran baji. ................................................................... 71

7.3. Geometri baji untuk analisis kemantapan dengan memperhitungkan

kohesi air .................................................................................................... 73

7.4. Stereoplot geometri baji dari gambar 7.3 untuk keperluan analisis ............... 74

8.1. Kondisi untuk tergelincir atau tergulirnya sebuah blok diatas

bidang miring ............................................................................................. 76

8.2. Bentuk longsoran guling.............................................................................. 77

8.3. Model longsoran guling untuk model kesetimbangan batas ......................... 77

8.4. Kondisi kesetimbangan batas blok ke-n yang akan terguling dan

tergelincir .................................................................................................... 78

8.5. Model longsoran guling untuk latihan ......................................................... 80

9.1. Langkah perhitungan faktor keamanan untuk longsoran busur

dengan menggunakan diagram Hoek dan Bray ............................................ 82

9.2. Keadaan atau pola aliran air tanah utuk diagram 1 sampai 5 ....................... 83

9.3. Circular filure chart no.1 ............................................................................. 84

9.4. Circular filure chart no.2 ............................................................................. 85

9.5. Circular filure chart no.3 ............................................................................. 86

9.6. Circular filure chart no.4 ............................................................................. 87

9.7. Circular filure chart no.5 ............................................................................. 88

9.8. Metoda Bishop ............................................................................................ 89

DAFTAR GAMBAR | x
10.1. Longsor di Low Wall Pit Gaharu Blok 49 .................................................. 91

10.2. Log bor pengeboran identifikasi Litologi bottom Seam H. ......................... 92

10.3. Buckling failure ......................................................................................... 93

10.4. Pekerjaan penanganan untuk Low Wall Pit Gaharu tambang Sambarata .... 95

11.1. Model Numerik. ........................................................................................ 99

11.2. Metoda Differensial – Metoda Elemen Hingga. ....................................... 101

11.3. Metoda Integral – Metoda Elemen Hingga .............................................. 102

11.4. Model “Hybrides” ................................................................................... 104

13.1. Model dari terowongan bulat di dalam batuan terkekarkan ...................... 111

13.2. Siklus perhitungan untuk metode elemen distinct .................................... 113

13.3. Keterhubungan dari 4 kelas metoda elemen diskret dan metoda

keseimbangan batas ................................................................................ 119

13.4. Kontak dan daerah diantara dua blok yang dapat terdeformasi ................. 123

13.5. Representasi dari permukaan yang dipengaruhi oleh titik simpul ............. 124

13.6. Sifat keterjalinan dari siklus perhitungan yang digunakan dalam

formulasi elemen distinct ........................................................................ 126

13.7. Analisis dinamik ..................................................................................... 132

14.1. Tipikal profil kekasaran kekar dan rekomendasi penamaannya ................ 144

14.2. Parameter lereng ..................................................................................... 145

14.3. Distribusi frekuensi kemantapan lereng longsoran busur menurut

grafik Hoek ............................................................................................. 146

14.4. Tipe-tipe utama longsoran pada massa batuan menurut kriteria

geologi struktur dan stereonet ................................................................ 147

DAFTAR GAMBAR | xi
14.5. Kriteria longsoran baji ............................................................................. 148

14.6. Hubungan antara sudut lereng dengan RMS ............................................ 153

14.7. Hubungan antara RMR dengan sudut lereng ............................................ 154

15.1. Bronjong. ................................................................................................ 157

15.2. Perkuatan tanah dengan bronjong. ........................................................... 158

15.3. Perkuatan tanah dengan tembok penahan ................................................. 159

15.4. Perkuatan tanah dengan sumuran ............................................................. 160

15.5. Perkuatan dengan tiang ........................................................................... 161

15.6. Perkuatan dengan tanah bertulang ........................................................... 162

15.7. Perkuatan dengan penopang isian batu .................................................... 162

15.8. Tumpuan beton ....................................................................................... 163

15.9. Jangkar kabel .......................................................................................... 165

15.10. Beton tembak ........................................................................................ 166

15.11. Baut batuan ........................................................................................... 167

15.12. Pengikat beton ....................................................................................... 168

15.13. Jala kawat.............................................................................................. 168

15.14. Tembok penahan batu ........................................................................... 169

15.15. Dinding tipis ......................................................................................... 171

15.16. Pemasangan bronjong ............................................................................ 172

15.17. Penirisan lereng ..................................................................................... 173

15.18a. Model jatuhan batu dan proteksinya dari Ritchie .................................. 174

15.18b. Proteksi lereng batu dengan wire mesh ................................................ 175

16.1. Komponen dan logika dari program mekanika batuan ............................. 182

16.2. Contoh peralatan untuk pengukuran. ....................................................... 185

DAFTAR GAMBAR | xii


16.3. Theodolit model wild T3 ......................................................................... 186

16.4. Theodolit model wild T4 ......................................................................... 187

16.5. Edm, topcon model gts-2b ....................................................................... 188

16.6. Rangkaian photometri, menggunakan pasangan stereo ............................ 189

16.7. Gage rekahan mekanik menggunakan pins dan kawat tarik...................... 190

16.8. Gage rekahan elektrik .............................................................................. 191

16.9. Gage rekahan mekanik menggunakan pins dan ekstensometer mekanik... 191

16.10. Ekstensometer pita ................................................................................ 192

16.11. Contoh klinometer dan ekstensometer yang didesain untuk mengukur


pergerakan pada joint dan sesar ............................................................ 193

16.12. Ekstensometer tangkai tunggal dan ganda .............................................. 194

16.13. Skema pemasangan ekstensometer lubang bor tetap untuk memantau,


kenaikan pada dasar penggalian ............................................................ 195

16.14. Rangkaian ekstensometer lubang bor tetap dengan magnetostrictive ...... 196

16.15. Prinsip operasi inclinometer .................................................................. 196

16.16. Contoh pendulum tergantung dan terbalik ............................................. 197

16.17. Load cells .............................................................................................. 199

16.18. Strain gages .......................................................................................... 201

16.19. Ciri-ciri perilaku waktu displacement untuk keruntuhan lereng pit......... 204

16.20. Displacement horisontal yang terjadi pada lerengpit yang ada di dunia .. 207

16.21. Kurva reaksi tanah................................................................................. 209

16.22. Plot antara displacement kumulatif dengan waktu untuk lereng pit

sebelum runtuh di Chuquicamata.. ........................................................ 210

16.23. Kurva laju displacement sistem transisi liberty pit dan prediksi

kehancuran collapse ............................................................................. 211

16.24. Plot laju displacement semilog untuk sektor tenggara ............................ 213

DAFTAR GAMBAR | xiii


16.25. Laju dari gerakan................................................................................... 215

16.26. Runtuhan dinding pit pada skala sedang sampai besar ........................... 216

16.27. Geologi secara umum, haveluck gold mine, Meekatharra ....................... 227

16.28. Awal ketidakmantapan seksi. ................................................................ 230

16.29. Pemantauan dari awal ketidakmantapan ................................................ 230

16.30 . Hasil pemantauan dari individual tension cracks dari daerah

ketidakmantapan pada final highwall. ................................................... 233

16.31. Gerakan kumulatif total pada garis normal di dinding pit ....................... 233

16.32 . Layout pemasangan instrumen pemantauan pada lereng tanah yang

sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakmantapan ............................... 237

16.33. Layout pemasangan instrumen pemantauan pada lereng batu yang

sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakmantapan. ............................... 238

DAFTAR GAMBAR | xiv


DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... iii

Daftar Isi............................................................................................................. iv

Daftar Gambar .................................................................................................. viii

Daftar Tabel....................................................................................................... xv

1 PENDAHULUAN

1.1. Tujuan mempelajari ketidakmantapan lereng ................................... 1

1.2. Macam-macam ketidakmantapan ..................................................... 5

2 METODE RANCANGAN LERENG

2.1. Masalah Kemantapan Lereng ........................................................... 8

2.2. Falsafah Rancangan ....................................................................... 10

2.3. Pemicu dan Pemacu Gerakan Massa Tanah atau Batuan ................ 14

2.4. Tahap-tahap Pertambangan dan Sasaran Geoteknik ....................... 16

2.5. Rancangan Teknik Secara Umum .................................................. 18

2.6. Rancangan Lereng Tambang ......................................................... 20

2.7. Rancangan Metoda Pengamatan .................................................... 21

3 PENYELIDIKAN LAPANGAN

3.1. Peta Geologi .................................................................................. 24

3.2. Peta Topografi ............................................................................... 25

3.3. Survey Geofisika ........................................................................... 26

3.4. Pemboran ...................................................................................... 30

DAFTAR ISI | iv
3.5 Metode Scanline ............................................................................. 33

3.6. Uji Mekanika Batuan In-Situ ......................................................... 36

4 UJI LABORATORIUM

4.1. Penentuan Sifat Fisik Batuan di Laboratorium ............................... 42

4.2. Penentuan Sifat Mekanik Batuan di Laboratorium ......................... 44

5 STEREONET

5.1. Beberapa Definisi .......................................................................... 57

5.2. Cara Penggambaran Struktur Batuan pada Jaring Schmidt ............. 58

6 LONGSORAN BIDANG

6.1. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Bidang ............................... 62

6.2. Analisis Longsoran Pada Bidang ................................................... 63

6.3 Soal Latihan ................................................................................... 68

7 LONGSORAN BAJI

7.1. Persyaratan Umum Terjadinya Longsoran Baji .............................. 69

7.2. Analisis Longsoran Baji................................................................. 69

7.3. Soal Latihan .................................................................................. 72

8 LONGSORAN GULING

8.1. Kondisi Umum .............................................................................. 75

8.2. Analisis Longsoran Guling ............................................................ 75

8.3. Soal Latihan .................................................................................. 80

DAFTAR ISI | v
9 LONGSORAN BUSUR

9.1. Kondisi Umum .............................................................................. 81

9.2. Analisis Longsoran Busur .............................................................. 81

9.3. Metode Bishop .............................................................................. 88

9.4. Soal Latihan .................................................................................. 89

9.5. Longsoran Non-Sirkular Cara Janbu .............................................. 89

10 LONGSORAN BUCKLING

10.1. Identifikasi Penyebab Failure ....................................................... 92

10.2. Analisa Geoteknik ....................................................................... 93

10.3. Kajian Dan Rekomendasi ............................................................ 95

11 MODEL NUMERIK

11.1. Sistem dan Model di dalam Mekanika Batuan ............................. 97

11.2. Model Numerik ........................................................................... 98

11.3. Fungsi Utama dari Permodelan .................................................. 103

12 ANALISIS NUMERIK

12.1. Konsep Dasar ............................................................................ 107

12.2. Formulasi Analisis Dinamis ....................................................... 109

13 PERMODELAN LERENG

13.1. Pendahuluan .............................................................................. 110

13.2. Latar Belakang Permodelan Suatu Sistem Diskontinu ................ 113

13.3. Presentasi Matriks Batuan (Blok) ............................................... 119

DAFTAR ISI | vi
13.4. Representasi dari Kontak ........................................................... 121

13.5. Prosedur Perhitungan ................................................................. 123

13.6. Pemograman dengan Program Komputer UDEC ....................... 133

14 KLASIFIKASI MASSA BATUAN

14.1. Pendahuluan .............................................................................. 139

14.2. Karakteristik Umum Klasifikasi Massa Batuan .......................... 140

14.3. Rock Mass Rating – Bieniawski ................................................ 141

14.4. Klasifikasi Massa Batuan Untuk Kemantapan Lereng ................ 145

15 PERKUATAN LERENG

15.1. Pendahuluan ............................................................................. 155

15.2. Perkuatan Lereng Tanah ........................................................... 156

15.3. Perkuatan Lereng Batuan .......................................................... 163

15.4. Proteksi Lereng..............................................................................169

16 PEMANTAUAN

16.1. Pendahuluan .............................................................................. 176

16.2. Peranan Pemantauan .................................................................. 177

16.3. Peranan Pemantauan Dalam Proses Perancangan ....................... 181

16.4. Instrumen Pemantauan Lereng ................................................... 184

16.5. Pergerakan Lereng ..................................................................... 202

16.6. Kunci Suksesnya Program Instrumentasi Geoteknik .................. 217

16.7. Studi Kasus ............................................................................... 227

DAFTAR ISI | vii


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Irwandy. ”Metode Kesetimbangan Limit”. Kursus Kemantapan Lereng PT


Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO). Tanjung Enim, 22 Februari – 3 Maret
1999.

Arif, Irwandy. “Pemodelan Struktur Alamiah”.Institut Teknologi Bandung.

Arif, Irwandy dan Budi Sulistianto. “Perkuatan Lereng”. Kursus Kemantapan


Lereng PT Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO). Tanjung Enim, 22 Februari
– 3 Maret 1999.

Arif, Irwandy dan Budi Sulistianto. “Pemantauan Lereng”. Kursus Kemantapan


Lereng PT Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO). Tanjung Enim, 22 Februari
– 3 Maret 1999.

Astawa, Rai, Suseno Kramadibrata dan Ridho Kresna Wattimena. “Slide Kuliah
Mekanika Batuan”. Institut Teknologi Bandung. 1998.

Brown, E. T. “Rock Characterization, Testing, dan Monitoring : ISRM Suggested


Methods”. Perganon Press, New York. 1981.

Brunsden, Denys and David B. Prior (ED). Slope Instability, A-Willey-Interscience


Publication, Jhon Wiley & Sons. 1984.

Dunnicliff, John. “Geotechnical Instrumentation for Monitoring Field


Performance”. John Willey & Sons. New York. 1988.

Fredlund, D. G and Krahn. J. “Comparison of Slope Stability Methods of Analysis”.


Canadian Geotech, Vol.14, 1997.

Giani, G. P. “Rock Slope Stability Analysis”. A. A. Balkena, Rotterdam, 1992.

Goodman, R. E. “Introduction to Rock Mechanics”. 2nd ed., Wiley, 1989, pp 414 –


434.

Hantz .D .”Bounlonnage et Reinforcement des Terrains – Nation Elementaries pour


le Calcul de la Stabilite des Talus”. Laboratoire de Macanique des Terrains, Ecole
des Mines de Nancy, France. 1988.

Hoek, E. And Bray, J. W. “Rock Slope engineering”. Institution of Mining and


Metallurgy, London. 1988.
Notosiswoyo, Sudarto dan Prodjosumarto, Partanto. “Pengantar Analisis
Kemantapan Lereng”. Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung.
1984.

Piguet, J. P. “La Modelasisation Numerique en Mechaniquedes Roches – Etat de


l’art, Laboratoire de Mechanique des Terrains”. CERCHAR, Modelasisation des
Massifs Rocheux Fractures en Bloccs, 26 -30 Mars 1990.

Priest, S. D. “Hemispherical Projection Methods in Rock Mechanics”. George Allen


& Unwin. 1985.

Sulistianto, Budi. “Analisis Kemantapan Lereng”. Pelatihan Perencanaan Tambang (


Bagi Pekerja Tambang non-Sarjana Teknik) di Pit Tambang Batubara Bukit Asam
(PERSERO). Tanjung Enim, 02 Desember 2001.

Tambang Batubara Berau Coal. 2007.

(http://egsc.usgs.gov/isb/pubs/gis_poster/gisgraphics/figure15.jpg)

(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/1/1a/Drilling_machine.jpg)

(http://web.mst.edu/%7Erogersda/landslide_hazards/felton/fel1.jpg)

(http://www.enviroment.uwe.ac.uk/geocal/SLOPES?GIFS/ROCKPLANE.GIF)

(http://www.biggles.net/images/cam/TDC_DG.JPG)

(http://www.geocities.com)

(http://www.groundscience.com.au/library/content/triaxial.jpg)

(http://www.ibf.uni-karlsruhe.de/felslabor/images/punktlast.jpg)

(http://www.jirizar.com/Imagens_Website/Jack%20Test.png)

(http://www.maaamet.ee/docs/geoloogia/kast_th.jpg)

(http://www.tecservices.com/Portals/0/TileBondShearTest800.jpg)
DAFTAR TABEL

2.1 Penyebab gerakan massa tanah dan batuan.....................................................15

2.2 Tahap-tahap pertambangan dan sasaran geoteknik.........................................16

2.3 Pemecahan masalah dan pembuatan keputusan..............................................19

2.4 Metoda pengamatan dan penerapannya pada pertambangan..........................23

3.1 Klasikasi Jarak Kekar.....................................................................................33

3.2 Pengujian In-situ Triaxial Compression……………………………………...41

10.1. Karakteristik batuan di Low Wall Pit Gaharu Blok 49...................................92

10.2. Hasil analisa geoteknik buckling failure.........................................................94

11.1 Perbandingan Beberapa Metoda di Dalam Permodelan ...............................104

14.1 Rock Mass Rating ……………………………………………….……........142

14.2 Bobot pengatur untuk kekar, F1, F2 dan F3.................................................149

14.3 Bobot pengatur Swindells SMR...................................................................150

14.4 Bobot numerik maksimum untuk parameter klasifikasi RMS…….......…...151

14.5 Bobot dan klasifikasi Geomorphic rock mass strength….....................…...151

14.6 Deskripsi RMR.............................................................................................153

16.1 Pemantauan yang digunakan dalam beberapa masalah.................................183

16.2 Instrumentasi/metoda pemantauan kemantapan lereng selama

penggalian......................................................................................................236

DAFTAR TABEL | xv
Kata Pengantar

Pertama-tama puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan bimbingannya maka diktat ini dapat terselesaikan. Ucapan terimakasih
saya sampaikan kepada Sdr. Andik Mirta, Iqbal Nurman, Rizky Ayub Ginting,
Holfreend Siallagan, dan Maria Dewi Silalahi yang telah menyusun kembali bahan-
bahan sehingga menjadi diktat kuliah ini.

Diktat kuliah ini disusun untuk mahasiswa jurusan teknik pertambangan


Institut Teknologi Bandung sebagai salah satu buku yang dapat dijadikan referensi
dalam ilmu geoteknik tambang. Diktat ini berisi tentang pendahuluan, metode
rancangan lereng, penyelidikan lapangan, uji laboratorium, macam-macam
longsoran, model numerik, analisis numerik, permodelan lereng, klasifikasi massa
batuan, perkuatan lerang, dan pemantauan lereng.

Penyempurnaan diktat ini akan dilakukan secara berkesinambungan, oleh


karena itu penyusun meminta maaf bila ada kesalahan yang dijumpai dalam diktat
ini. Penyusun menerima masukan dan koreksi serta saran untuk penyempurnaan
diktat kuliah ini.

Bandung, Juni 2011


Penyusun,

Prof. Dr. Ir. Irwandy Arif, M.sc

KATA PENGANTAR | iii

Anda mungkin juga menyukai