Anda di halaman 1dari 41

3

BAB II
PERENCANAAN PERKERASAN BETON

2.1 Dasar-dasar Perencanaan

Dalam perencanaan perkerasan beton semen, tebal pelat beton dihitung agar
supaya mampu memikul tegangan yang ditimbulkan oleh :
 Beban roda kendaraan.
 Perubahan suhu dan kadar air.
 Perubahan volume pada lapisan dibawahnya.
Untuk mengatasi repetisi pembebanan lalu-lintas sesuai dengan konfigurasi
dan beban sumbunya, dalam perencanaan tebal pelat diterapkan prinsip
kelelahan (fatigue) dari pelat beton dan erosi pada lapisan dibawah pelat.
Perencanaan tebal perkerasan beton yang diuraikan dalam pedoman ini,
didasarkan pada:
 Kekuatan tanah dasar yang dinyatakan oleh Modulus Reaksi Tanah Dasar
(k).
 Tebal dan jenis lapis pondasi bawah yang diperlukan untuk melayani lalu-
lintas pelaksanaan, mengendalikan pemompaan (pumping) dan perubahan
volume tanah dasar, serta untuk mendapatkan keseragaman daya dukung
dibawah pelat.
 Kekuatan beton yang dinyatakan oleh kuat tarik lenturnya (MR).
 Tipe bahu jalan, apakah berupa pelat beton yang bersatu dengan perkerasan
atau tidak.
 Beban lalu-lintas yang dinyatakan oleh beban sumbu dan tipenya.

2.2 Standar Geometrik


Sebagai acuan untuk perencanaan geometrik jalan dapat digunakan pedoman
teknik yang berupa Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan No.
031/T/BM/1999.
Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu-lintas pada alinemen jalan
yang lurus memerlukan kemiringan 2% - 3%. Untuk lajur jalan di tikungan,
kemiringan melintang ditetapkan sesuai kebutuhan superelevasi.
Untuk jalan utama, kemiringan saluran samping minimum 0,50% (1: 200) dan
untuk jalan lainnya minimum 0,40% (1:250).
Lebar lajur parkir antara 2,10 m dan 2,40 m. Lebar lajur 2,10 m digunakan
jika jenis kendaraan umumnya kendaraan penumpang dan lebar 2,40 m
digunakan jika diperuntukkan pula untuk kendaraan truck. Untuk jalan utama,
lebar lajur parkir antara 3,0 m – 3,50 m.
4
2.2 Tanah Dasar

2.3.1 Keseragaman tanah dasar


Parameter yang paling umum digunakan untuk menyatakan daya
dukung tanah dasar pada perkerasan beton semen adalah Modulus
Reaksi Tanah Dasar (k). Modulus reaksi tanah dasar ditetapkan di
lapangan dengan pengujian “plate bearing”. Dalam keadaan tertentu,
nilai k dapat juga ditentukan berdasarkan nilai CBR.
Walaupun sebagian besar beban pada perkerasan beton semen dipikul
oleh pelat beton, namun keawetan dan kekuatan pelat tersebut sangat
dipengaruhi oleh sifat dan daya dukung dan keseragaman tanah dasar.

2.3.2 Tanah dasar dengan kondisi khusus


Persoalan khusus yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
 Sifat kembang susut akibat perubahan kadar air.
 Rembesan dan pamping pada sambungan, retakan dan tepi pelat
sebagai akibat pembebanan lalu-lintas.
 Daya dukung yang tidak merata pada daerah dengan jenis tanah yang
berbeda sifatnya, atau akibat pelaksanaan.
 Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas.
 Adanya larutan garam yang merembes ke atas dan menyebabkan
disintegrasi dari lapis pondasi yang distabilisasi semen serta
mengurangi kepadatan pada lapis pondasi yang tidak distabilisasi.
 Hilangnya daya dukung karena adanya lubang dan lereng yang tidak
stabil.

2.3.3 Pencapaian keseragaman tanah dasar


Untuk mendapatkan keseragaman daya dukung tanah dasar, tanah dasar
perlu dipersiapkan secara baik, antara lain dengan memadatkan,
membentuk, serta melengkapinya dengan fasilitas drainase.
Pada bagian pengisian kembali harus diupayakan untuk memulihkan
keseragaman daya dukungnya.
Penggantian material yang dilakukan lapis demi lapis pada kadar air
optimum dengan tebal maksimum 15 cm.
Material yang tidak baik sampai kedalaman 45 cm di bawah elevasi
harus dibuang.

2.4 Lapis Pondasi

2.4.1 Fungsi
Pada perkerasan beton semen lapis pondasi berfungsi sebagai berikut :
 Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
5
 Mencegah rembesan dan pamping pada sambungan, retakan dan tepi
pelat.
 Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.
 Sebagai lantai kerja selama pelaksanaan.

2.4.2 Lapisan pondasi untuk mencegah pamping


Persyaratan material berbutir untuk mencegah pamping (AASHTO M
155) adalah sebagai berikut :
 Ukuran butir maksimum tidak lebih dari 1/3 tebal lapis pondasi.
 Material lolos saringan 0,075 mm maksimum 15%.
 Plasticity Index (PI) maksimum 6%
 Liquid Limit (LL) maksimum 25%.
Memungkinkan memberikan pilihan material dengan prosentase lolos
saringan 0,075 mm yang lebih dari 15% atau PI lebih besar dari 6% atau
LL lebih besar dari 25% dapat digunakan apabila dilakukan dengan
metoda stabilisasi.

2.4.3 Bahan pondasi agregat


2.4.3.1 Material berbutir tanpa pengikat
Material berbutir tanpa pengikat hendaknya memenuhi persyaratan
tertentu sesuai SNI-03-6388-2000 dan AASHTO M155. Kelas lapis
pondasi agregat dibagi dua yaitu kelas A dan kelas B. Umumnya lapis
pondasi agregat kelas B ialah mutu untuk lapis pondasi bawah di atas
tanah dasar, dan lapis pondasi gregat kelas A umumnya mutu lapis
pondasi diatas lapis pondasi bawah. Sebelum pekerjaan dimulai agar
gradasi tertentu yang memenuhi spesifikasi dipilih terlebih dahulu
dengan penyimpangan yang diijinkan antara 3% - 5%
2.4.3.2 Pondasi berbutir tanpa pengikat bergradasi terbuka
Lapis pondasi tanpa pengikat bergradasi terbuka tidak dapat digunakan
diatas tanah ekspansif. Drainase melintang bahu jalan agar dibuat
menerus melewati bahu jalan hingga ke saluran tepi. Bila jalan datar
atau saluran relatif dangkal dapat dipasang pipa-pipa drainase bawah
(underdrain) yang ditempatkan dibawah atau di kedua ujung tepi jalan
beton. Bila pipa-pipa tersebut ditempatkan di kedua ujung tepi
perkerasan beton semen, maka lapis pondasi harus dipasang lebih lebar
minimum 30 cm sepanjang perkerasan tersebut.
Lapisan filter di bawah lapis pondasi hendaknya dipasang apabila lapis
pondasi bergradasi terbuka memiliki susunan butir yang memungkinkan
masuknya butir-butir tanah menyusup kedalam celah-celah material
lapis pondasi. Kriteria material untuk lapisan filter adalah sebagai
berikut :
6

D15 (filter) D15 (filter)


(a) --------------< 5 (b) 4< ------------- < 20
D85 (tanah) D15 (tanah)

D50 (filter)
(c) --------------- < 25
D50 (tanah)

Dimana : D15, D50, dan D85 adalah ukuran partikel dari kurva gradasi
masing-masing pada 15%, 50% dan 85% yang lolos saringan dalam
berat.
2.4.3.3 Pondasi tanpa pengikat bergradasi rapat
Lapis pondasi tanpa pengikat bergradasi rapat (dense graded) bila
dipadatkan dengan sempurna memiliki permeabilitas yang rendah
sehingga lapis pondasi perlu diperlebar cukup sampai 30 cm diluar tepi
jalan beton. Lapis pondasi dengan lebar penuh berguna untuk
mengisolasi tanah yang sangat ekspansif.
Ketebalan minimum lapis pondasi untuk mencegah pamping antara 10
cm – 15 cm. Agar dapat mendukung beban lalu-lintas berat, kepadatan
yang disyaratkan tidak boleh kurang dari 100 %, kepadatan menurut
SNI 03-1743-1989.

2.4.4 Lapis pondasi dengan stabilisasi semen


2.4.4.1 Keuntungan penggunaan lapis pondasi dengan stabilisasi
semen
Keuntungan penggunaan lapis pondasi dengan stabilisasi semen
dibanding pondasi berbutir tanpa pengikat adalah :
 Apabila material standar sulit didapat, maka material sub-standar
dapat digunakan dengan metode stabilisasi.
 Bisa digunakan sebagai lantai kerja, terutama di musim hujan.
 Tidak terjadi konsolidasi akibat lalu-lintas.
 Meningkatkan kemampuan penyaluran beban pada sambungan
kontraksi melintang.
 Mengurangi pengaruh negatif tanah ekspansif.

2.4.4.2 Material berbutir yang sesuai untuk stabilisasi semen


Material berbutir yang sesuai untuk lapis pondasi dengan stabilisasi
semen adalah :
 Jenis tanah yang termasuk dalam grup A-1, A-2-4, A-2-5 dan A-3
menurut klasifikasi tanah Pd T-03-1998-03.
7
 Material yang lolos saringan 0,075 mm maksimum 35%.
 Indeks Plastisitas maksimum 10%.
 Material dapat berupa bahan alam maupun buatan.
Lapis pondasi dengan stabilisasi semen harus dipasang 60 cm lebih
lebar dari tepi perkerasan beton semen, hal ini dimaksudkan untuk :
 Memberikan landasan yang kuat untuk peralatan mekanis pada waktu
pelaksanaan.
 Mengendalikan pengaruh tanah ekspansif.
Ketebalan lapis pondasi dengan stabilisasi semen umumnya 10 cm – 15
cm dan harus dipadatkan sampai minimum 100 % kepadatan menurut
metode SNI 03-1742-1998 atau 97% kepadatan menurut metode SNI
03-1743-1998.

2.5 Beton Semen


2.5.1 Bahan beton semen
Bahan beton semen terdiri dari agregat, semen, air dan bahan tambah
jika diperlukan.
2.5.1.1 Agregat
Agregat yang akan digunakan untuk perkerasan beton semen harus
sesuai AASHTO M6-87 untuk agregat halus dan AASHTO M80-87
untuk agregat kasar.
Jenis-jenis pengujian pada agregat antara lain : setara pasir, lolos
saringan no. 200, kandungan organik, partikel lunak, partikel ringan,
berat jenis, penyerapan, berat isi, keausan, soundness, tahan bentur
(impact), tahan pecah (crushing), bentuk partikel, tekstur, ukuran
maksimum dan gradasi.
Ukuran maksimum nominal agregat kasar harus dibatasi hingga
seperempat dari tebal perkerasan beton semen. Ukuran nominal agregat
kasar yang didasarkan pada ketebalan perkerasan diperlihatkan pada
Tabel. 2.1.
Tabel 2.1 Ukuran nominal agregat kasar terhadap tebal
perkerasan

Ukuran Agregat Kasar Tebal Perkerasan


No.
(mm) (cm)

1 19,0 10,0 – 15,0


2 26,5 15,0 – 17,5
3 37,5 > 17,5
8
Ukuran maksimum nominal agregat kasar harus dikombinasikan dengan
ukuran yang lebih kecil sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan.

2.5.1.2 Semen
Semen yang digunakan untuk pekerjaan beton umumnya tipe I yang
harus sesuai dengan SNI 15-2049-1994. Semen harus dipilih dan sesuai
dengan lingkungan dimana perkerasan akan digunakan serta kekuatan
awalnya harus cukup untuk pemotongan sambungan.
Jenis pengujian pada semen antara lain : sifat fisik seperti kehalusan,
waktu ikat dan kuat tekan mortar.

2.5.1.3 Air
Air harus bersih terbebas dari segala hal yang dapat merugikan dan
dapat merusak kekuatan, waktu seting, atau keawetan beton serta
kekuatan dan keawetan tulangan. Air harus diuji sesuai dengan metoda
AASHTO T26. Jenis pengujian air antara lain : pH, bahan padat, bahan
tersuspensi, bahan organik, minyak, Ion Sulfat (Na 2SO4) dan Chlor
(NaCl).

2.5.1.4 Bahan tambah


Dalam keadaan tertentu campuran beton semen dapat diperbaiki dengan
menggunakan bahan tambah kimia, seperti bahan tambah water
reducing dan air-entraining. Penggunaannya harus didasarkan pada
hasil uji dalam masa 24 jam pertama setelah pengecoran beton. Hal ini
dikarenakan bahan tambah tertentu dapat memperlambat setting dan
perkembangan kekuatan campuran beton semen, sehingga menunda
waktu pemotongan sambungan dan menambah resiko terjadinya retakan
acak.
Bahan tambah harus sesuai dengan persyaratan ASTM C 494 untuk
water reducing dan SNI 03-2496-1991 untuk air-entraining. Bahan
tambah yang mengandung chloride tidak diijinkan penggunaannya.
Kandungan udara yang diperlukan 3% - 5% untuk campuran dengan
ukuran nominal agregat kasar 37,5 mm, dan 5% -7% untuk ukuran
nominal agregat kasar 19,0 mm atau 26,5 mm.

2.5.2 Konsistensi beton segar


Konsistensi (kelecakan) dapat diukur dengan cara uji sesuai SNI 03-
1972-1990. Nilai kelecakan 70 mm - 120 mm digunakan untuk beton
dengan pemadat cara manual, dan 30 mm - 70 mm untuk beton dengan
pemadat penggetar.
9
2.5.3 Sifat-sifat beton semen
Beton semen harus mempunyai kekuatan yang cukup untuk kekerasan,
keawetan, kekesatan permukaan dan kuat menampung tegangan tarik
sebagai hasil dari penyusutan, lenting (warping) dan pembebanan.
Untuk menjamin persyaratan tersebut maka kuat tarik lentur atau
Modulus of Rupture (MR) tidak kurang dari 38 kg/cm2 (3,8 MPa) pada
umur 28 hari. Penentuan modulus of rupture dilakukan dengan
pengujian Third Point Loading sesuai ASTM C78. Secara umum, kuat
tekan karakteristik umur 28 hari sebesar 300 kg/cm 2 (30 MPa), akan
memenuhi persyaratan kuat lentur.
Peningkatan kuat tekan karakteristik campuran beton diatas 300 kg/cm 2
(30 MPa) menghasilkan peningkatan kuat lentur yang tidak terlalu
tinggi.
Untuk menjamin keawetan, air semen (w/c ratio) maksimum 0,52 dan
kadar semen mimimum 310 kg/m3.
Jika uji kuat tekan beton digunakan untuk mengevaluasi mutu beton,
hubungan antara kuat lentur dan kuat tekan dapat ditentukan pada saat
desain campuran beton. Hubungan antara kuat tarik lentur dan kuat
tekan dapat diperkirakan dengan rumus sebagai berikut:

MR = k fc’

dimana :
MR = nilai kuat lentur dari third point loading (kg/cm2).
k = konstanta, biasanya 0,7 untuk agregat batu koral dan 0,8 untuk
agregat batu pecah.
fc’ = nilai kuat tekan (kg/cm2) yang didapat dari silinder berukuran
15 cm. dan tinggi 30 cm.

2.5.4 Perencanaan campuran


Untuk perencanaan campuran beton sesuai dengan SNI 03-2834-1992
atau cara lainnya.

2.6 Bahu Jalan


Bahu jalan harus direncanakan sesuai dengan fungsi jalan dan lapis
pondasinya. Bahu jalan harus mampu terhadap kemungkinan jenis kendaraan
yang melewatinya.
Untuk perkerasan dengan lalu-lintas ringan, bahu jalan bisa dibuat dari bahan
yang kualitasnya sama dengan lapis pondasi kecuali nilai PI minimum 6 dan
maksimumnya 10.
Alternatif lain, stabilisasi tanah dengan semen bisa digunakan.
10
2.7 Drainase
Drainase yang efektif sangat penting untuk mendapatkan kinerja perkerasan
yang baik.
Dua hal yang harus dipertimbangkan ialah aliran air permukaan dan di bawah
permukaan.
Di lingkungan perkotaan aliran air permukaan bisa dikontrol dengan
menggunakann kerb dan sistem aliran yang disalurkan ke sistem jaringan
pembuangan. Material setempat yang sangat permeable, seperti pasir atau
material berbutir, adalah bahan yang bisa mengalirkan air dengan baik
sehingga drainase bawah permukaan yang diperlukan sedikit. Material yang
sulit mengalirkan air bisa menyebabkan lapisan perkerasan menjadi jenuh dan
kemudian kekuatannya menjadi hilang atau berkurang, sehingga memerlukan
aliran bawah permukaan yang cukup dalam. Perhatian khusus harus diberikan
pada daerah galian atau daerah dimana permukaan air tanah cukup tinggi.

2.8 Perlengkapan Fasilitas Umum di Sekitar Perkerasan


Jalan perkotaan dan permukiman seringkali mempunyai fasilitas umum di
sekitar perkerasan seperti kabel listrik dan pipa air yang mempengaruhi
perencanaan proyek. Hendaknya perlengkapan fasilitas umum tersebut
diletakan di luar perkerasan agar memudahkan dalam pemeliharaan dan
penambahan jaringan, serta mencegah pemotongan perkerasan ataupun
terjadinya amblas setelah penimbunan kembali. Keperluan saat ini dan masa
mendatang dari fasilitas umum harus dievaluasi untuk mencegah atau
mengurangi galian pada perkerasan beton semen.

2.9 Kerb

2.9.1 Kerb yang menyatu dengan perkerasan


Pada kerb yang menyatu dengan perkerasan, sambungan seharusnya
terletak pada lokasi yang sama dan mempunyai tipe yang sama seperti
sambungan pada perkerasan. Kedalaman sambungan susut (contraction
joint) seharusnya paling sedikit sepertiga dari tinggi gabungan kerb dan
perkerasan beton.

2.9.2 Kerb yang terpisah dengan perkerasan


Pada kerb yang terpisah, perkerasan beton semen dibangun terlebih
dahulu kemudian diikuti dengan pembuatan kerb manual atau kerb
pracetak dengan pemasangan manual atau masinal yang diletakan
mengikuti perkerasan beton semen.
11
2.10 Perencanaan Tebal Perkerasan
Perencanaan tebal perkerasan didasarkan pada empat faktor berikut:
1) Kuat tarik lentur beton (Modulus of Rupture) pada umur 28 hari.
2) Kekuatan tanah dasar, atau kombinasi dengan lapis pondasi.
3) Berat, frekwensi dan jenis truk pada lajur rencana.
4) Umur rencana, dalam prosedur PCA diberikan 20 tahun, namun dapat
lebih atau kurang.
Proses perencanaan didasarkan pada kategori lalu-lintas yang dinyatakan
dalam ADTT (Average Daily Truck Traffic), tipe penyaluran beban, ada dan
tidaknya bahu jalan, modulus reaksi tanah dasar dan kuat tarik lentur beton
yang diperlihatkan pada Tabel 2.6, 2.7 dan 2.8
Tabel. 2.6, 2.7 dan 2.8 didasarkan pada umur rencana 20 tahun, untuk umur
rencana tidak sama dengan 20 tahun, ADTT rencana harus dikalikan dengan
umur rencana dibagi 20.
Kategori beban lalu-lintas yang meliputi ADTT dan beban sumbu
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel. 2.5

2.10.1 Lalu-lintas
Lalu-lintas selama umur rencana merupakan faktor kritis pada
perencanaan perkerasan beton semen, oleh karena itu perlu
dipertimbangkan antara lain hal-hal sebagai berikut :
 Data lalu lintas saat sekarang.
 Lokasi proyek.
 Kemungkinan pengalihan rute lalu lintas karena pekerjaan.
 Kemungkinan pengembangan industri.
 Kemungkinan perubahan kegiatan bisnis.

2.10.2 Kekuatan beton semen


Dalam perencanan kuat tarik lentur atau kuat tekan beton semen yang
harus digunakan adalah nilai aktual dari hasil pengujian sesuai dengan
persyaratan yang tertulis pada Butir 2.5.3

2.10.3 Daya dukung tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi
Daya dukung tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi, dinyatakan
dalam modulus reaksi tanah (k). Hal ini didapat dari pengujian plate
bearing dengan diameter pelat 76 cm yang dinyatakan dalam kg/cm 3
(MPa/m). Karena pengujian “plate bearing” memerlukan waktu yang
lama dan biaya mahal, maka “k” dapat diperkirakan dari nilai CBR.
Hubungan nilai CBR dengan k diperlihatkan pada Gambar 2.1
Bilamana lapis pondasi digunakan dalam perencanaan tebal
perkerasan, akan terdapat kenaikan nilai k gabungan. Jika lapis
12
pondasi terdiri dari bahan berbutir atau stabilisasi semen, sebagai
pendekatan kenaikan nilai k gabungan diambil dari Tabel 2.2 dan 2.3.
Nilai modulus reaksi untuk beberapa tipe tanah dasar diperlihatkan
pada Tabel 2.4

Tabel. 2.2 Pengaruh tebal lapis pondasi berbutir tanpa pengikat


terhadap nilai k
k dari Tanah
k gabungan, kg/cm3 (MPa/m)
dasar
kg/cm3 (MPa/m) 10 cm 15 cm 25 cm 30 cm
2,0 (20) 2,3 (23) 2,5 (25) 3,2 (32) 3,8 (38)
4,0 (40) 4,5 (45) 4,9 (49) 5,7 (57) 6,6 (66)
6,0 (60) 6,4 (64) 6,6 (66) 7,6 (76) 9,0 (90)
8,0 (80) 8,7 (87) 9,0 (90) 10,0 (100) 11,7 (117)

Tabel. 2.3 Pengaruh tebal lapis pondasi dengan stabilisasi semen


terhadap nilai k

k dari
k gabungan, kg/cm3 (MPa/m)
Tanah dasar
kg/cm3
10 cm 15 cm 25 cm 30 cm
(MPa/m)
2,0 (20) 6,0 (60) 8,0 (80) 10,5 (105) 13,5 (135)
4,0 (40) 10,0 (100) 13,0 (130) 18,5 (185) 23,0 (230)
6,0 (60) 14,0 (140) 19,0 (190) 24,5 (245) -

Tabel 2.4 Nilai k untuk beberapa tipe tanah dasar

Nilai k
Tipe tanah dasar Kekuatan
(MPa/m)
Tanah berbutir halus sebagian besar
Rendah 20 – 30
terdiri dari partikel tanah liat dan silt
Pasir atau campuran pasir kerikil yang
Sedang 35 – 40
mengandung tanah liat atau silt
Pasir atau campuran pasir dan kerikil
yang sedikit sekali mengandung butiran Tinggi 50 – 60
tanah liat halus
Sangat
Cement Treated Base 70 - 110
Tinggi
13
2.10.4 Penggunaan kerb
Untuk jalan dengan pemasangan kerb yang menyatu dengan
perkerasan, mempunyai keuntungan sebagai berikut :
 Menambah kemampuan struktur perkerasan.
 Menambah faktor keselamatan.
 Lebih praktis dan ekonomis untuk jalan di perkotaan dan
lingkungan permukiman.

2.10.5 Prosedur perencanaan tebal lapis perkerasan


Langkah-langkah perencanaan adalah sebagai berikut:
1) Perkirakan ADTT (Average Daily Truck Traffic), 2 arah, tidak
termasuk truk dua gandar empat roda.
2) Pilih katagori beban gandar (1 atau 2) dari Tabel 2.5.
3) Peroleh tebal pelat yang dibutuhkan dari Tabel 2.6, 2.7 , dan atau
2.8.
Untuk menyederhanakan prosedur perencanaan, dapat digunakan
pedoman berikut:
Tabel 2.6, 2.7 dan 2.8 menyusun ADTT untuk umur rencana 20
tahun. Untuk umur rencana lainnya ADTT harus dikalikan dengan
suatu nilai tertentu sehingga memperoleh suatu nilai yang di
kehendaki. Sebagai contoh, bila dibutuhkan umur rencana 30 tahun,
dari umur rencana 20 tahun diestimasikan nilai ADTT dikalikan
dengan 30/20.
14

Gambar 2.1 Hubungan klasifikasi tanah dengan daya dukung


(Cement & Concrete Institute)

Contoh :
Perencanaan tebal perkerasan untuk daerah permukiman :
Jalan permukiman, 2 lajur, ADT = 500, ADTT = 5, tanah dasar
lempung, tanpa lapis pondasi, daya dukung tanah dasar (k) adalah
rendah, kuat tarik lentur (MR) beton = 41 kg/cm 2 (4,1 MPa),
sambungan tanpa ruji (dowel), kerb menyatu dengan perkerasan.
Penyelesaian :
Dengan ADTT = 5, pada Tabel 2.5. termasuk kategori beban sumbu
1.
Karena termasuk kategori 1 dan tanpa ruji (dowel), maka gunakan
Tabel 2.6.
Dari Tabel 2.6, dengan daya dukung tanah dasar rendah dan MR = 41
kg/cm2 (4,1 MPa) didapat :

Tebal pelat (cm) ADTT


15
12 0,8
13 9,0
Oleh karena itu tebal pelat dipilih 13 cm untuk ADTT = 5.

Tabel 2.5 Kategori beban sumbu

Lalu-lintas Beban Sumbu


Kategori Maksimum
ADTT
Beban (ton)
ADT
Sumbu Sumbu
Sumbu % Per Hari
Tunggal Tandem
1 200-800 1-3  25 9,8 16,0
2 700-5000 5-18 40-1000 11,5 19,5

Tabel 2.6 ADTT yang diijinkan untuk beban sumbu gandar katagori 1
sambungan tanpa ruji (undoweled)

Tanpa bahu atau kerb Dengan bahu atau kerb


Daya dukung tanah dasar – Daya dukung tanah dasar –
Tebal lapis pondasi, kg/cm3 (MPa/m) Tebal lapis pondasi, kg/cm3 (MPa/m)
pelat Rendah Sedang Tinggi, pelat Rendah Sedang Tinggi,
(cm) 2,0 – 3,4 3,5 - 4,9 5,0 - 6,0 (cm) 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 5,0 - 6,0
(20 – 34) (35 - 49) (50 - 60) (20 – 34) (35 - 49) (50 - 60)
MR = 44 kg/cm2 (4,4 MPa)
12 0,1 0,3 10 0,1 0,4
13 0,2 1 4 11 0,3 2 6
14 2 11 33 12 4 21 60
15 18 77 210 13 38 160 410
16 110 407 14 240
17 500
MR = 41 kg/cm2 (4,1 MPa)
13 0,2 0,7 11 0,3 1
14 0,4 2 8 12 0,8 5 15
15 4 19 54 13 9 41 110
16 27 110 290 14 65 260 650
17 140 530 15 360
18 600
MR = 38 kg/cm2 (3,8 MPa)
14 0,1 0,4 1 11 0,2
15 0,7 4 12 12 0,1 0,8 3
16 5 26 72 13 2 9 26
17 32 130 350 14 14 63 170
18 150 570 15 90 340
16 430

Tabel 2.7 ADTT yang diijinkan untuk beban sumbu gandar kategori 2
sambungan dengan ruji (doweled)
16

Tanpa bahu atau kerb Dengan bahu atau kerb


Daya dukung tanah dasar – lapis Daya dukung tanah dasar – lapis
Tebal pondasi, kg/cm3 (MPa/m) Tebal pondasi, kg/cm3 (MPa/m)
pelat Rendah Sedang Tinggi, Sangat pelat Rendah Sedang Tinggi, Sangat
(cm) 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 5,0 - 6,0 Tinggi 7+ (cm) 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 5,0 - 6,0 Tinggi 7+
(20 - 34) (35 - 49) (50 - 60) (70 +) (20 - 34) (35 - 49) (50 - 60) (70 +)
MR = 44 kg/cm2 (4,4 MPa)
14 3 12 6
15 5 26 13 4 12 53
16 2 12 35 150 14 6 30 86 330
17 15 68 190 740 15 44 180 470 1700
18 77 320 820 3100 16 240 890 2200
19 330 1300 3200 17 1000 3700
20 1200 4500 18 4100
21 4100
MR = 41 kg/cm2 (4,1 MPa)
15 5 13 12
16 2 8 38 14 7 20 87
17 3 16 47 200 15 10 46 130 470
18 18 82 220 870 16 60 240 620 2100
19 85 350 900 3300 17 290 1100 2600
20 330 1300 3300 18 1200 4100
21 1200 4400 19 4200
22 3700
MR = 38 kg/cm2 (3,8 MPa)
16 8 14 4 18
17 3 9 46 15 9 28 110
18 3 17 51 220 16 12 56 150 550
19 18 82 220 870 17 67 270 670 2300
20 78 320 840 3100 18 290 1100 2600
21 290 1100 2900 19 1100 3900
22 940 3600 20 3700
23 2900

Tabel 2.8 ADTT yang diijinkan beban gandar kategori 2 sambungan tanpa
ruji (undoweled)
17

Tanpa bahu atau kerb Dengan bahu atau kerb


Daya dukung tanah dasar – lapis Daya dukung tanah dasar – lapis
Tebal pondasi, kg/cm3 (MPa/m) Tebal pondasi, kg/cm3 (MPa/m)
pelat Rendah Sedang Tinggi, Sangat pelat Rendah Sedang Tinggi, Sangat
(cm) 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 5,0 - 6,0 Tinggi 7+ (cm) 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 5,0 - 6,0 Tinggi 7+
(20 - 34) (35 - 49) (50 - 60) (70 +) (20 - 34) (35 - 49) (50 - 60) (70 +)
MR = 44 kg/cm2 (4,4 MPa)
14 5 12 6
15 5 26 13 4 12 53
16 2 12 190 150 14 6 30 86 840
17 15 68 820 740 15 44 180 470 1500
18 77 320 1500 1300 16 240 800 1100 2800
19 330 1200 1700 2000 17 800 1300 1800
20 1200 1700 2100 3000 18 1200 2100 3100
21 1600 2300 3100 19 1900 3500
22 2100 3200 20 2900
23 2900
MR = 41 kg/cm2 (4,1 MPa)
15 5 13 2 12
16 2 8 38 14 7 20 87
17 3 16 47 200 15 10 46 130 470
18 18 82 220 870 16 60 240 620 1500
19 85 350 900 2000 17 290 1100 1800 2800
20 330 1300 2100 3000 18 1200 2100 3100
21 1200 2300 3100 19 1900 3500
22 2100 3200 20 2900
23 2900
MR = 38 kg/cm2 (3,8 MPa)
16 8 14 4 18
17 3 9 46 15 9 28 110
18 3 17 51 220 16 12 56 150 550
19 18 82 220 870 17 67 270 670 2300
20 78 320 840 3000 18 290 1100 2600
21 290 1100 2900 19 1100 3500
22 940 3200 20 2900
23 2900

2.11 Perencanaan Sambungan


Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
 Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh
penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.
 Memudahkan pelaksanaan.
 Mengakomodasi gerakan pelat.
Sambungan pada perkerasan beton semen harus mampu menyalurkan beban
untuk menjamin kinerja perkerasan.
Pada perkerasan beton semen ada empat tipe sambungan yaitu :
 Sambungan memanjang.
 Sambungan susut melintang.
 Sambungan pelaksanaan melintang.
18
 Sambungan isolasi.

2.11.1 Sambungan memanjang


Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan
terjadinya retak memanjang. Pada perkerasan dua lajur dan perkerasan
multi lajur, pemasangan sambungan memanjang dengan jarak sekitar
3 m - 4 m disamping ditujukan untuk mengendalikan retak juga untuk
memberikan batasan lajur. Pada jalan arteri, sambungan memanjang
harus diberi jarak untuk lajur lalu-lintas dan lajur parkir. Jarak
sambungan memanjang tidak boleh lebih dari 4 meter.
Gambar 2.2 memperlihatkan dua jenis sambungan memanjang
berdasarkan lajur yang dikerjakan. Sambungan pelaksanaan
memanjang yang diperlihatkan pada bagian atas digunakan saat
pelaksanaan pelapisan per lajur perkerasan dan pada bagian bawah
memperlihatkan jenis sambungan pelaksanaan memanjang yang
dilaksanakan saat dua lajur atau lebih dilaksanakan secara bersamaan.
Sambungan ini tergantung pada tulangan pengikat agar kapasitas dan
daya layan struktur tetap terjaga.
Pada perkerasan beton semen yang berbatasan langsung dengan kerb
dan ditahan oleh timbunan di belakangnya tidak memerlukan
pemasangan batang pengikat. Akan tetapi pada perkerasan beton
semen yang tidak ditahan dari pergerakan lateral memerlukan
pemasangan batang pengikat yang dipasang pada bagian tengah tebal
pelat.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

At = 204 x b x d
dan
L = (38,3 x) + 75

dimana:
At = Luas penampang besi per meter panjang sambungan
(mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan
dengan tepi perkerasan (m).
d = Tebal perkerasan (m).
L = Panjang batang pengikat (mm).
 = Diameter tie bar yang dipilih (mm).

Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 60 cm atau 75 cm.


Untuk perkerasan dengan lebar lebih dari 15 meter, sambungan tanpa
batang pengikat harus digunakan.
19

Gambar 2.2 Sambungan memanjang

2.11.1.1 Sambungan pelaksanaan memanjang


Sambungan pelaksanaan memanjang umumnya dilakukan dengan cara
penguncian. Bentuk dan ukuran penguncian dapat berbentuk
trapesium atau setengah lingkaran sebagaimana diperlihatkan pada
Gambar 2.3.
Pada saat pelaksanaan, kedua ujung dari sambungan harus dibentuk
berupa lengkungan dengan jari-jari 3 mm, guna mencegah terjadinya
gompal (spalling).
20

Gambar 2.3 Ukuran standar penguncian sambungan memanjang

Sebelum penghamparan pelat di sebelahnya, permukaan sambungan


pelaksanaan harus dicat dengan aspal atau kapur tembok untuk
mencegah terjadinya ikatan beton lama dengan yang baru.

2.11.1.2 Sambungan susut memanjang


Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari
dua cara ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton
masih plastis dengan kedalaman sepertiga dan seperempat dari tebal
pelat untuk lapis pondasi stabilisasi semen dan lapis pondasi agregat.

2.11.2 Sambungan susut dan sambungan pelaksanaan melintang


Ujung sambungan ini tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan
dan tepi perkerasaan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan
melintang harus dipasang dengan kemiringan 1 : 10 searah jarum jam.
Tapi hal ini menyebabkan pola sambungan yang rumit terutama
diperkotaan.
21

Gambar 2.4 Sambungan susut melintang tanpa ruji

Gambar 2.5 Sambungan susut melintang dengan ruji

2.11.2.1 Sambungan susut melintang


Sambungan susut melintang sebagaimana diperlihatkan pada Gambar
2.4 dan 2.5 dapat dibuat dengan cara menggergaji sesegera mungkin
sebelum terjadi retak susut atau dengan menyisipkan lempengan
plastik yang sudah terbentuk ke dalam beton yang masih plastis.
Pemilihan metoda yang akan digunakan didasarkan pada beberapa
faktor, yaitu cuaca selama pelaksanaan, karakteristik dari agregat,
pertimbangan ekonomi pada pelaksanaan dan hasil yang dicapai.
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal
perkerasan atau sepertiga dari tebal perkerasan untuk perkerasan
dengan lapis pondasi stabilisasi semen sebagai mana diperlihatkan
pada Gambar 2.4 dan 2.5.
Jarak sambungan susut melintang antara 4,5 m – 5,0 m.
22
2.11.2.2 Sambungan pelaksanaan melintang
Sambungan pelaksanaan melintang sebagaimana diperlihatkan pada
Gambar 2.6 dan 2.7 menunjukkan pada saat pelaksanaan perkerasan
dihentikan sementara, akibat gangguan yang mendadak lebih dari 30
menit atau pada akhir pelaksanaan harian.
Dalam hal pengecoran sambungan pelaksanaan melintang yang tidak
direncanakan, sambungan harus berada pada sepertiga interval sebagai
mana diperlihatkan pada Gambar 2.7 dan 2.8.
Sambungan pelaksanaan tersebut di atas harus dilengkapi dengan
batang pengikat berdiameter 16 mm, panjang 69 cm dan jarak 60 cm,
untuk ketebalan pelat sampai 17 cm. Untuk ketebalan lebih dari 17
cm, ukuran batang pengikat berdiameter 20 mm, panjang 84 cm dan
jarak 60 cm.
Pemasangan ruji harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak
berkurangnya fungsi sambungan. Ukuran dan jarak ruji yang
disarankan diperlihatkan pada Tabel. 2.9.
23

Gambar 2.6 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak


direncanakan untuk pengecoran per lajur
24

Gambar 2.7 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak


direncanakan untuk pengecoran seluruh lebar perkerasan

Tabel 2.9 Ukuran dan jarak ruji

Tebal pelat Diameter ruji Panjang total ruji


(cm) (mm) (cm)
15,0 20 36
16,5 22 36
18,0 25 40
19,0 28 40
20,0 32 43
Catatan:
- Jarak antar ruji adalah 30 cm dari sumbu ke sumbu.
- Ruji tertanam pada setengah panjang ruji.
25
2.11.3 Sambungan isolasi
Sambungan isolasi memisahkan perkerasan dengan bangunan yang
lain, misalnya manhole, jembatan, tiang listrik, jalan lama,
persimpangan dan lain sebagainya. Contoh persimpangan yang
membutuhkan sambungan isolasi diperlihatkan pada Gambar 2.8.
Sambungan isolasi harus dilengkapi dengan bahan penutup (joint
sealer) setebal 5 mm – 7 mm dan sisanya diisi dengan bahan pengisi
(joint filler) sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.9.
Sambungan isolasi yang digunakan pada bangunan lain, seperti
jembatan perlu pemasangan ruji sebagai transfer beban. Pada ujung
ruji harus dipasang pelindung muai agar ruji dapat bergerak dengan
bebas. Pelindung muai harus cukup panjang sehingga menutup ruji 50
mm dan masih mempunyai ruang bebas yang cukup dengan panjang
minimum lebar sambungan isolasi ditambah 6 mm seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.9a. Ukuran ruji dapat dilihat pada Tabel
2.9.
Sambungan isolasi pada persimpangan dan ram tidak diberi ruji tetapi
dilaksanakan dengan cara menebalkan tepi untuk mereduksi tegangan.
Masing-masing tepi sambungan ditebalkan 20% dari tebal perkerasan
sepanjang 1,5 meter seperti diperlihatkan pada Gambar 2.9b.
Sambungan isolasi yang digunakan pada lubang masuk ke saluran,
manhole, tiang listrik dan bangunan lain yang tidak memerlukan
penebalan tepi dan ruji, ditempatkan di sekeliling bangunan tersebut
sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.9c, 2.10, dan 2.11.
26

Gambar 2.8 Contoh persimpangan yang membutuhkan sambungan


isolasi
27

Gambar 2.9 Sambungan isolasi


28

Gambar 2.10 Tampak atas penempatan sambungan isolasi pada manhole


29

Gambar 2.11 Tampak atas penempatan sambungan isolasi pada lubang


masuk saluran
30
2.11.4 Pola sambungan
Perencanaan pola sambungan pada perkerasan beton semen harus
mengikuti batasan-batasan sebagai berikut :
 Hindari bentuk panel yang tidak teratur.
 Jarak maksimum sambungan memanjang 4,0 meter.
 Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali tebal perkerasan,
maksimum 5,0 meter.
 Usahakan bentuk panel sepersegi mungkin. Perbandingan
maksimum panjang panel terhadap lebar adalah 1,25 kali
 Semua sambungan susut harus menerus sampai kerb dan
mempunyai kedalaman seperempat untuk lapis pondasi agregat atau
sepertiga tebal perkerasan untuk lapis pondasi agregat dan lapis
stabilisasi semen dari tebal perkerasan.
 Antara sambungan harus bertemu pada satu titik untuk menghindari
terjadinya retak refleksi pada lajur yang bersebelahan.
 Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus
dihindari dengan mengatur 0,5 m panjang terakhir dibuat tegak
lurus terhadap tepi perkerasan.
 Apabila sambungan berada dalam area 1,5 meter dengan manhole
atau bangunan yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian
rupa sehingga antara sambungan dengan manhole atau bangunan
yang lain tersebut membentuk sudut tegak lurus. Hal tersebut
berlaku untuk bangunan yang berbentuk bundar, untuk bangunan
yang berbentuk segi empat sambungan harus berada pada sudutnya
atau di antara dua sudut.
 Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari
perkerasan dengan sambungan muai 12 mm meliputi keseluruhan
tebal pelat.
 Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole
harus ditebalkan 20% dari ketebalan normal dan berangsur-angsur
berkurang sampai ketebalan normal sepanjang 1,5 meter seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.9.
 Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole
harus diberi tulangan berbentuk anyaman 0,15% terhadap
penampang beton semen dan dipasang 5 cm di bawah permukaan
atas. Tulangan harus dihentikan 7,5 cm dari sambungan.
31
Tipikal pola sambungan diperlihatkan pada Gambar 2.12, 2.13 dan
2.14.

Gambar 2.12 Potongan melintang perkerasan dan lokasi sambungan

2.11.5 Penutup sambungan


Penutup sambungan dimaksudkan untuk mencegah masuknya air dan
atau benda lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda-benda lain
yang masuk ke dalam sambungan dapat menyebabkan kerusakan
berupa gompal dan atau pelat beton yang saling menekan ke atas
(blow up).
32

Gambar 2.13 Detail Potongan melintang sambungan perkerasan


33

Gambar 2.14 Rencana lokasi sambungan untuk cul de sac atau lingkaran

Keterangan Gambar 2.12, 2.13 dan 2.14


A = Sambungan isolasi.
B = Sambungan pelaksanaan memanjang.
C = Sambungan susut memanjang.
D = Sambungan susut melintang.
E = Sambungan susut melintang yang direncanakan.
F = Sambungan pelaksanaan melintang yang tidak direncanakan.
34
2.12 Kemiringan Arah Memanjang Yang Curam
Untuk jalan dengan kemiringan memanjang yang lebih besar dari 3%,
perencanaan serta prosedur yang mengacu pada Butir 2.10 dan 2.11, namun
harus ditambah dengan angker panel (panel anchor) dan angker blok (block
anchor). Jalan dengan kondisi ini harus dilengkapi dengan angker yang
melintang untuk keseluruhan lebar pelat sebagaimana diuraikan pada Tabel
2.10 dan diperlihatkan pada Gambar 2.15 dan 2.16.

Gambar 2.15 Angker panel

Gambar 2.16 Angker blok

Tabel 2.10 Penggunaan angker panel dan angker blok pada jalan
dengan kemiringan memanjang yang curam

Kemiringan (%) Angker panel Angker blok


3–6 Setiap panel ketiga Pada bagian awal kemiringan
6 – 10 Setiap panel ke dua Pada bagian awal kemiringan
Pada bagian awal kemiringan
> 10 Setiap panel dan pada setiap interval 30
meter berikutnya
Panjang panel adalah jarak antara sambungan melintang
35

2.13 Pemberhentian Bus (Bus Bay)


Pemberhentian bus adalah lajur yang terletak di luar jalur lalu-lintas yang
dimaksudkan guna memberikan kesempatan untuk menurunkan dan
menaikkan penumpang, tanpa mengganggu arus lalu-lintas lainnya.

2.13.1 Lokasi penempatan pemberhentian bus


Bila diperlukan tempat pemberhentian bus dekat persimpangan pada
jalan dua lajur dua arah, harus ditempatkan setelah persimpangan.
Pada jalan satu arah dengan dua lajur atau lebih, pemberhentian bus
harus disediakan apabila volume dan kecepatan lalu-lintas cukup
tinggi. Bila pemberhentian bus dekat persimpangan, maka
penempatannya harus setelah persimpangan. Pada jalan bebas
hambatan pemberhentian bus boleh ditempatkan pada ram atau di luar
ram.

2.13.2 Perencanaan geometrik


Tipikal pemberhentian bus diperlihatkan pada Gambar 2.17, 2.18 dan
2.19. Perencanaan ini memungkinkan bus bergerak lambat dari jalur
lalu-lintas dan parkir di daerah sejajar jalur lalu-lintas dengan tidak
menghalangi laju kendaraan lainnya.

Gambar 2.17 Denah pemberhentian bus satu lajur dengan menggunakan


saluran cekung dicor di tempat
36

Gambar 2.18 Denah pemberhentian bus satu lajur dengan menggunakan


kerb beton dicor di tempat

Gambar 2.19 Denah pemberhentian bus satu lajur dengan menggunakan


beton semen bersambung dengan perkerasan yang ada
37
Untuk pemberhentian bus dan minibus, lajur pemberhentian bus harus
diperpanjang 6 meter. Lebar pemberhentian bus antara 3 m - 3,5 m,
diukur dari kerb pemberhentian bus bagian dalam ke tepi luar saluran
beton seperti terlihat pada Gambar 2.17, atau ke kerb miring seperti
pada Gambar 2.18 atau tepi perkerasan lama seperti diperlihatkan
pada Gambar 2.19.
Kemiringan melintang perkerasan dan pemberhentian bus antara 2% -
2,5%, dengan arah yang berlawanan. Bagian di belakang kerb
pemberhentian bus harus diperkeras untuk para penumpang yang
menunggu.

2.13.3 Tanah dasar


Bahan setempat harus diambil contohnya sampai kedalaman 80 cm
dibawah permukaan perkerasan rencana. Bila terdapat material yang
jenuh, drainase bawah permukaan harus dipasang. Pengujian CBR
laboratorium harus dilakukan pada contoh yang diambil dan bila CBR
nya lebih kecil dari 15%, material pilihan harus dihampar dan
dipadatkan sesuai dengan Tabel 2.11.
Hamparan lapis pondasi dan lapisan di bawahnya harus dihampar dan
diperlebar paling sedikit 30 cm di luar tepi kerb pembatas, seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.19.

Tabel 2.11 Persyaratan tebal dan pemadatan pada lapisan dibawah


lapis pondasi
Jenis
Item < 3% 3% – 7% 7% - 15% 15%
Lapisan
Sesuai CBR
Ketebalan
perbaikan
minimum
tanah dasar 2 x15 cm 15 cm
Lapisan
Potongan -Tanah pilihan 15 Material
di Stabilisasi
tebal cm pilihan 15
bawah semen
lapisan -Stabilisasi 15 cm cm
pondasi
-Material pilihan 15 cm ;
-Material 100% AASTO. T-99 atau
Pemadatan pilihan 95% SNI 03-1743-1989
-Stabilisasi -Stabilisasi 15 cm
100% SNI 03-1743-1989
Tanah Kupas lap. tanah dasar asli
dasar Perbaikan tanah dasar Stabilisasi15 cm dan padatkan kembali
asli sampai 90% SNI 03-1743-1989
38

Gambar 2.20 Penampang melintang pada pemberhentian bus

2.13.4 Lapis pondasi


Lapisan pondasi harus terdiri dari bahan sesuai Butir 2.4

2.13.5 Perencanaan tebal perkerasan


Bilamana perkerasan beton bersambung dengan perkerasan yang ada,
tebal pelat yang berdekatan dengan perkerasan yang ada harus 1,25
kali dari tebal normal perkerasan rencana pemberhentian bus, guna
mengantisipasi beban tepi. Untuk memudahkan pelaksanaan
disarankan bahwa pelat mempunyai bentuk trapesium seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.21 (dengan d 2 > d1). Bilamana
perkerasan yang ada adalah beton semen atau apabila pemberhentian
bus dilaksanakan pada saat yang bersamaan dengan perkerasan beton
semen, keberadaan ruji akan menghilangkan keperluan penebalan tepi.
Lapis pondasi dan lapisan terpilih harus masing-masing dibuat dengan
ketebalan yang tetap.
Acuan tebal rencana untuk perkerasan beton dan lapisan pondasi
diberikan sesuai pada Table 2.12.

Tabel 2.12 Perencanaan tebal perkerasan beton dan lapis


pondasi
39
Beban lalu lintas
SST (E80s)  3 x 10 6
Bus/ hari  400 *
Tebal lapisan d1 = 17,5 cm
Pelat beton d2 = 22,0 cm
Lapis pondasi 10 cm
Catatan:
1. Lapis pondasi untuk semua beban lalu-lintas dapat menggunakan
beton kurus dengan kuat tekan umur 28 hari 100 kg/cm 2 – 150
kg/cm2 (10 MPa – 15MPa).
2. Apabila pelat beton di tempatkan di atas tanah dasar dengan CBR
minimum 15%, maka tebal d1 dan d2 harus ditambah 25% nya
3. *Jumlah bus yang lewat pada satu arah tidak tergantung pada
banyaknya lajur.

Gambar 2.21 Potongan melintang meliputi perkerasan bersambung

2.13.6 Kerb dan saluran pada pemberhentian bus


Semua kerb dan gutter yang ada dibongkar dan diganti dengan
bangunan saluran cekung yang sesuai dengan tipe kerb tersebut.
Kerb perlu dipasang kembali pada daerah bagian luar pemberhentian
bus.

2.13.6.1 Saluran cekung


40
Bila ada kerb dan gutter, kerb yang ada dihubungkan langsung dengan
kerb pemberhentian bus, tetapi gutter harus dibongkar sepanjang
pemberhentian bus dan diganti dengan saluran cekung beton yang
dicor di tempat dengan lebar 55 cm seperti diperlihatkan pada Gambar
2.22.

Gambar 2.22 Saluran cekung beton yang dicor di tempat

Sambungan pelaksanaan yang diperlukan pada Gambar 2.22 harus


sesuai dengan ketentuan yang diperlihatkan pada Gambar 2.3.
Tulangan anyaman (steel mesh fabric) harus dipasang pada saluran
pada kedalaman minimum 5 cm, di bawah permukaan lapisan beton
dan harus dihentikan 5 cm sebelum sambungan.
Tulangan harus dipasang di daerah “A” seperti diperlihatkan pada
Gambar 2.17.
Sambungan susut pada saluran cekung harus segaris dengan
sambungan susut pada perkerasan pemberhentian bus. Tambahan
sambungan susut pada saluran cekung harus dibuat di tengah-tengah
antara sambungan melintang saluran cekung.
Batang pengikat berulir dengan diameter 12 mm harus dipasang
dengan jarak 50 cm yang mengikat saluran cekung dengan perkerasan
pemberhentian bus.

2.13.6.2 Saluran miring


Bila sudah ada kerb miring yang bersatu dengan perkerasan dan akan
dibangun kerb miring yang dicor di tempat, ujung kerb pembatas dari
pemberhentian bus dibuat sejajar dengan kerb miring tersebut. Ujung
dari kerb pembatas bagian atasnya dimiringkan dengan perbedaan
ketinggian 12 mm seperti diperlihatkan pada Gambar 2.18 dan
penampang melintangnya seperti diperlihatkan pada Gambar 2.23.
41
Disamping itu saluran miring dapat juga digunakan pada perkerasan
pemberhentian bus yang bersambung dengan pengecoran beton secara
langsung seperti diperlihatkan pada Gambar 2.19.
Kerb tersebut harus dipasang di atas landasan beton dan ditahan arah
lateral seperti diperlihatkan pada Gambar 2.20.

Gambar 2.23 Saluran miring beton dengan dicor ditempat

2.13.7 Pola sambungan dan penulangan


Sambungan melintang, baik sambungan susut atau sambungan
pelaksanaan, harus dibuat dengan jarak tidak lebih dari 3,6 meter
seperti diperlihatkan pada Gambar 2.24. Tulangan anyaman harus
dipasang pada panel yang berbentuk trapesium.
42

Gambar 2.24 Denah sambungan untuk pemberhentian bus

2.14 Pelapisan Jalan Aspal dengan Beton Semen


Tebal lapis tambahan perkerasan beton semen di atas perkerasan lentur
dihitung dengan cara yang sama seperti perhitungan tebal pelat beton semen
pada perencanaan baru yang telah diuraikan sebelumnya.
Modulus reaksi perkerasan lama (k) diperoleh dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
 Nilai modulus reaksi tanah dasar dengan melihat jenis tanahnya.
 Tebal lapisan aspal dan lapis pondasi di bawahnya.
Selanjutnya nilai modulus reaksi perkerasan lama (k gabungan) didapat
dengan menggunakan grafik yang diperlihatkan pada Gambar 2.25
43

Gambar 2.25 Nilai k gabungan di atas lapisan beraspal dengan pondasi


material berbutir

2.15 Jalan Dengan Beban Sangat Ringan


Untuk jalan beton semen yang dibangun menyatu dengan saluran samping
atau kerb dan hanya dilewati kendaraan pribadi dengan beban gandar
maksimum 1 ton dan nilai k tanah dasarnya  4 kg/cm3 dengan lapis pondasi
material berbutir 20 cm, cukup diberi lapisan beton semen setebal 10 cm
dengan mutu beton minimum K 350.
Hal yang sama berlaku apabila jalan lama merupakan jalan aspal yang rusak,
tetapi memiliki lapisan tanah dasar dan lapis pondasi yang memenuhi
persyaratan.
Jarak sambungan pada pelapisan beton adalah 20 kali tebal pelat beton semen.

Anda mungkin juga menyukai