Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

MULTIDIMENSIONAL NYERI
Dedi Ardinata*
ABSTRAK
The International Association for the Study of Pain (IASP) Sub-committee on
Taxonomy (1986) memformulasikan definisi nyeri sebagai an unpleasant sensory and
emotional experience associated with actual or potential tissue damage or is described in terms
of such damage. Mengacu kepada definisi ini, jelaslah terlihat bahwa pengalaman nyeri
melibatkan fenomena sensori, emosional dan juga kognitif.
Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Dimensi-dimensi ini meliputi:
dimensi fisiologi, sensori, afektif, kognitif, dan behavior (perilaku). Ditambah dengan dimensi
social-kultural sebagai dimensi keenam dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam
dimensi dari fenomena nyeri ini saling berhubungan, berinteraksi dan dinamis.
Kata kunci: care, gambaran diri, kolostomi
PENDAHULUAN
Nyeri (pain) adalah suatu konsep
yang komplek untuk didefenisikan dan
dipahami. Nyeri barangkali adalah suatu
fenomena yang sering dihadapi oleh
petugas
kesehatan
(Montes-Sandoval,
1999). Melzack dan Casey (1968)
mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya
suatu pengalaman sensori belaka tetapi
juga berkaitan dengan motivasi dan
komponen affektif individunya.
The International Association for
the Study of Pain (IASP) Sub-committee on
Taxonomy
(1986)
memformulasikan
definisi nyeri sebagai an unpleasant sensory
and emotional experience associated with
actual or potential tissue damage or is
described in terms of such damage.
Mengacu kepada definisi ini, jelaslah
terlihat
bahwa
pengalaman
nyeri

melibatkan fenomena sensori, emosional


dan juga kognitif.
Nyeri biasanya sering diasosiasikan
dengan kerusakan jaringan, akan tetapi
nyeri dapat saja timbul tanpa adanya injury
dimana nyeri timbul tanpa berhubungan
dengan sumber yang dapat diidentifikasi.
MEKANISME NYERI
Nyeri berdasarkan mekanismenya
melibatkan persepsi dan respon terhadap
nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri
melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/
transduction,
transmisi/transmission,
modulasi/modulation,
dan
persepsi/
perception (McGuire & Sheilder, 1993;
Turk & Flor, 1999). Keempat proses
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

Penulis adalah
* Staf Pengajar Departemen Fisiologi FK USU

77

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007


Universitas Sumatera Utara

Transduksi/Transduction
Transduksi adalah adalah proses
dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk
yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor,
1999). Proses transduksi dimulai ketika
nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.
Aktivasi
reseptor
ini
(nociceptors)
merupakan sebagai bentuk respon terhadap
stimulus yang datang seperti kerusakan
jaringan.
Transmisi/Transmission
Transmisi
adalah
serangkaian
kejadian-kejadian neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area
otak. Proses transmisi melibatkan saraf
aferen yang terbentuk dari serat saraf
berdiameter kecil ke sedang serta yang
berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf
aferen akan ber-axon pada dorsal horn di
spinalis.
Selanjutnya
transmisi
ini
dilanjutkan melalui sistem contralateral
spinalthalamic melalui ventral lateral dari
thalamus menuju cortex serebral.
Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada
aktivitas neural dalam upaya mengontrol
jalur transmisi nociceptor tersebut (Turk &
Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan
system neural yang komplek. Ketika impuls
nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system
saraf pusat dan mentransmisikan impuls
nyeri ini kebagian lain dari system saraf
seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls
nyeri ini akan ditransmisikan melalui sarafsaraf descend ke tulang belakang untuk
memodulasi efektor.
Persepsi/Perception
Persepsi
adalah
proses
yang
subjective (Turk & Flor, 1999). Proses
persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan
proses fisiologis atau proses anatomis saja
(McGuire & Sheildler, 1993), akan tetapi
juga meliputi cognition (pengenalan) dan

memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh


karena itu, faktor psikologis, emosional,
dan berhavioral (perilaku) juga muncul
sebagai respon dalam mempersepsikan
pengalaman nyeri tersebut.
Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan
nyeri tersebut suatu fenomena yang
melibatkan multidimensional.
Teori Nyeri; Gate Control Theory
Melzack
&
Casey
(1968)
menjelaskan bahwa terdapat tiga sistem
yang berkaitan dengan proses stimulasi
nociceptive, yaitu (1) sensory-discrimination,
(2) motivated-affective, and (3) cognitiveevaluation. Ketiga sistem ini berkontribusi
terhadap subyektivitas nyeri. Teori gate
control ini menjelaskan mekanisme central
nervous system (CNS) serta integrasilasi
faktor psikologis dalam pengalaman nyeri.
MULTIDIMENSIONALITAS
FENOMENA NYERI
Nyeri adalah fenomena yang
multidimensional. Ahles dan koleganya
(1983) mengkategorikan lima dimensi dari
nyeri yang dialami. Identifikasi dimensi
nyeri ini mulanya diperuntukan untuk
nyeri-nyeri pada kasus-kasus kanker.
Kelima dimensi ini meliputi: dimensi
fisiologi, sensori, afektif, cognitive, dan
behavior (perilaku). Sebagai tambahan,
McGuire (1987 dalam McGuire dan
Sheidler, 1993) menambahkan dimensi
social-kultural sebagai dimensi keenam
dalam multidimensional dari fenomena
nyeri. Keenam dimensi dari fenomena nyeri
ini saling berhubungan, berinteraksi serta
dinamis dan dijelaskan sebagai berikut:
Dimensi Fisiologi
Dimensi fisiologis terdiri dari
penyebab organic dari nyeri tersebut seperti
kanker yang telah bermetastase ke tulang
atau mungkin juga telah menginfiltrasi ke
system saraf (Ahles et al., 1983; Davis,

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007


78
Universitas Sumatera Utara

2003). Berdasarkan dimensi fisiologis,


terdapat dua karakteristik yang melekat
dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan
pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada
apakah nyeri yang dialami tersebut akut
atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat
diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap,
atau transient, ritmik, periodik, atau juga
nyeri berlanjut, menetap atau konstan.
Sumber nyeri pada kasus kanker
sangatlah luas. Tumor dapat menimbulkan
nyeri somatik, viseral, dan bahkan nyeri
neurophatic dengan kualitas nyeri yang
berbeda-beda serta mengenai area anatomy
tubuh yang berbeda juga. Sementara itu,
penangan kanker juga berkontribusi dalam
rangsang nyeri yang dialami oleh pasien
kanker seperti prosedur diagnostik dan
standar
modalitas
terapi
seperti
pembedahan, radioterapi dan khemoterapi.
Standar terapi ini menimbulkan nyeri akut
dalam jangka pendek atau juga bahkan
nyeri kronik.
Dimensi Afektif
Dimensi
afektif
dari
nyeri
mempengaruhi respon individu terhadap
nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire
dan Sheilder (1993), dimensi afektif dari
nyeri indentik dengan sifat personal
tertentu dari individu. Pasien-pasien yang
mudah sekali mengalami kondisi depresi
atau gangguan psikologis lainnya akan lebih
mudah mengalami nyeri yang sangat
dibandingkan dengan pasien lainnya.
Buckelew, Parker, dan Keefe beserta
kolega
(1994)
menemukan
bahwa
keparahan nyeri berhubungan signifikan
dengan kondisi depresi individu yang
mengalami nyeri kronik. Mereka juga
menyatakan bahwa semakin berat nyeri
yang dialami, maka semakin tinggi tingkat
depresi individu tersebut.
Dimensi Sosio-kultural
Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri
dari berbagai variasi dari faktor demograpi,
adapt istiadat, agama, dan faktor-faktor lain

79

yang
berhubungan
yang
dapat
mempengaruhi persepsi dan respon
seseorang terhadap nyerinya (McGuire &
Sheidler, 1993). Kultur atau budaya
memiliki
peran
yang
kuat
untuk
menentukan faktor sikap individu dalam
mempersepsikan dan merespon nyerinya.
Sementara itu sikap individu ini juga
berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin
dan ras. McGuire (1984 dalam McGuire &
Sheilder, 1993) menemukan bahwa wanita
berkulit non-putih dan yang berkulit putih
memiliki perbedaan yang signifikan dalam
melaporkan nyerinya. Wanita berkulit
bukan putih melaporkan nyeri yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan wanita
berkulit putih ketika mengalami nyeri. Suku
asal juga berperan penting dalam hal ini, di
Indonesia Suza (2003) menemukan bahwa
nyeri yang dialami oleh pasien yang berasal
dari suku Batak dan Jawa ternyata berbeda.
Berbeda dalam laporan nyerinya serta
respon terhadap nyeri itu sendiri.
Dimensi Sensori
Dimensi
sensori
pada
nyeri
berhubungan dengan lokasi dimana nyeri
itu timbul dan bagaimanan rasanya. Ahles
dan koleganya (1983) menyatakan bahwa
terdapat tiga komponen spesifik dalam
dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan
kualitas nyeri.
Lokasi dari nyeri memberikan
petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari
segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri
dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau
lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993).
Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada
beberapa
lokasi
yang
berbeda
mengimplikasikan keterlibatan dimensi
sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang
dirasakan oleh pasien, maka akan semakin
sulit bagi pasien untuk melokalisasi area
nyerinya.
Intensitas nyeri, intensitas nyeri
adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh
individu dan sering kali digambarkan
dengan kata-kata seperti ringan, sedang
dan berat. Intensitas nyeri juga dapat

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007


Universitas Sumatera Utara

dilaporkan
dengan
angka
yang
menggambarkan skor dari nyeri yang
dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993).
Sedangkan kualitas nyeri adalah
berkaitan dengan bagaimana nyeri itu
sebenarnya dirasakan individu. Kualitas
nyeri seringkali digambarkan dengan
berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar
dan gatal. Pada kasus nyeri kanker, pasien
sering melaporkan kualitas nyerinya seperti
nyeri tajam, berdenyut, pedih, menusuk,
tertekan berat, atau juga bertambah
(McGuire, 1984 dalam McGuire &
Sheidler, 1993).
Dimensi Kognitif
Dimensi
kognitif
dari
nyeri
menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan
oleh individu terhadap proses berpikirnya
atau pandangan individu terhadap dirinya
sendiri (Ahles et al, 1983). Respon pikiran
individu terhadap nyeri yang dirasakan
dapat diasosiasikan dengan kemmapuan
koping individu mengahadapi nyerinya.
Barkwell (2005) melaporkan bahwa pasien
yang berpendapat nyerinya sebagai suatu
tantangan melaporkan nyeri lebih rendah
dengan tingkat depresi yang rendah juga
dan disertai dengan mekanisme koping
yang lebih baik jika dibandingkan dengan
pasien yang menganggap nyerinya adalah
sebagai hukuman atau sebagai musuh.
Pengetahuan adalah aspek yang
penting
dalam
dimensi
kognitif.
Pengetahuan
tentang
nyeri
dan
penanganannya
dapat
mempengaruhi
response seseorang terhadap nyeri dan
penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat
dimodifikasi oleh bagaimana seseorang
berpikir tentang nyeri yang dirasakannya,
apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan
apa
makna
nyeri
tersebut
dalam
kehidupannya.
Dimensi Perilaku (Behavioral)
Seseorang yang mengalami nyeri
akan memperlihatkan perilaku tertentu
(Fordyce, 1976; 1978). Dimensi perilaku

dari nyeri meliputi serangkaian perilaku


yang dapat diobservasi yang berhubungan
dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak
sebagai cara mengkomunikasikan ke
lingkungan bahwa seseorang tersebut
mengalami atau merasakan nyeri (Fordyce,
1976).
Tampilan perilaku nyeri yang
diperlihatkan seseorang dapat berupa
guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal,
dan perilaku mengkonsumsi obat. Keefe
dan koleganya (1985) menemukan bahwa
diantara pasien yang mengalami kanker di
area leher, perilaku menjaga (guarding) dan
meringis (grimacing) adalah perilaku yang
paling sering diperlihatkan pasien ketika
merasakan nyeri. Sementara itu Harahap,
Peptchitchian, dan Krippracha (2007)
menemukan bahwa diantara pasien kanker
di Indonesia perilaku meringis (grimacing)
dan menghela nafas (sighing) merupakan
perilaku nyeri yang paling sering
diperlihatakan pasien sewaktu mengalami
nyeri.
Lebih jauh lagi, Fordyce (1976)
mengajukan bahwa perilaku nyeri dapat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau
dapat juga direinforce oleh perhatian,
suport sosial, atau menghindari kegiatan
yang dapat merangsang nyeri (seperti:
bekerja di kantor, pekerjaan rumah
tangga). Nyeri, jika diikuti oleh faktor
pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih
lama dari waktu penyembuhan normalnya
(Sanders, 1996). Romano, Turner, dan
Jensen dan koleganya (1995) juga Paulsen
dan Altmaier (1995) menemukan bahwa
kehadiran pasangan dapat menjadi prediksi
terhadap perilaku nyeri yang diperlihatkan
pasien. Sementara itu, Schwartz, Slater, dan
Birchler
(1996)
menemukan
bahwa
perilaku nyeri berhubungan dengan
konflik-konflik
perkawinan.
Sebagai
tambahan, mereka juga menyatakan bahwa
perilaku nyeri ini juga dapat dipengaruhi
oleh kondisi hubungan pasien dengan
pasangan hidupnya.

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007


80
Universitas Sumatera Utara

PENUTUP
Mekanisme
timbulnya
nyeri
melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/
transduction, transmisi/transmission, modulasi/
modulation,
dan
persepsi/perception
sedangkan dimensi nyeri meliputi: dimensi
fisiologi, sensori, afektif, cognitive, dan
behavior (perilaku) serta dimensi socialkultural sebagai dimensi keenam dalam
multidimensional dari fenomena nyeri.
Pemahaman yang baik tentang
mekanisme timbulnya nyeri dan dimensidimensi nyeri secara holistik akan
mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam memilih tindakan pengobatan dan
perawatan yang tepat dalam mengatasi
nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Ahles,

T. A., Blanchard, E. B., &


Ruckdeschel, J. C. (1983). The
multidimensional nature of cancerrelated pain, Pain, 17, 272-288.
Barkwell, D. (2005). Cancer pain: Voice of
Ojibway people. Journal of Pain and
Symptom Management, 30, 454-464.
Davis, M. P. (2003). Cancer pain. The
Cleveland
Clinic
Foundation.
Retrieved December 2005, from
http://www.clevelandclinicmeded.co
m
Fordyce, W. E. (1997). On the nature of
illness and disability. Clinical
orthopedics and related research, 336,
47-51.
International Association for the Study of
Pain (IASP) (2002). What causes
cancer pain? Retrieved December
12, 2005, from http://www.iasppain.org/PCU02-2.html
McGuire, D. B & Sheildler, V. R. (1993).
Pain. In S. L. Groen, M. H. Fragge,
M. Goodman, and C. H. Yarbro
(Edt.). Cancer nursing: Principles and
practice (3rd Ed.) (pp. 499-556).
Boston, NA: Jones and Bartlett
Publisher.

81

McGuire, D. B. (1997). Measuring pain. In


M. Frank-Stromborg & S. J. Olsen.
Instruments for clinical health-care
research (2nd edition) (pp. 528-564).
Boston:
Jones
and
Bartlett
Publisher.
Melzack, R., & Casey, K. L. (1968).
Sensory, motivational, and central
control determinants of pain: A new
conceptual model. In D. Kenshalo
(Edt.), The skin sense (pp. 432-443),
Springfield: Thomas,
Montes-Sandoval, L. (1999). An analysis of
the concept of pain. Journal of
Advanced Nursing, 29, 935-941.
Paulsen, J. S. & Altmaier, E. M. (1995).
The effects of perceived versus
enacted social support on the
discriminative cue function of
spouses for pain behaviors. Pain, 60,
103-110.
Romano, J. M., Turner, J. A., Jensen, M.
P., Friedman, L. S., Bulcroft, R. A.,
Hops, H., & Wright, S. F. (1995).
Chronic
pain
patient-spouse
behavioral
interactions
predict
patient disability. Pain, 63, 353-360.
Schwartz, L., Slater, M. A., & Birchler, G.
R. (1996). The role of pain behaviors
in the modulation of marital conflict
in chronic pain couples. Pain, 65,
227-233.
Suza, D. E. (2003). Pain experience
between Javanese and Batak
patients with major surgery in
Medan, Indonesia. Unpublished
Master Thesis, Prince of Songkla
University, Songkla, Thailand.
Turk, D. C. & Flor, H. (1999). Chronic
pain: A biobehavioral perspective. In
R. J. Gatchel & D. C. Turk (Ed.).
Psychosocial factors in pain (pp. 1834). New York: The Guilford Press

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai