Ruf-Nov2007-2 (1) Multidimensional Nyeri
Ruf-Nov2007-2 (1) Multidimensional Nyeri
MULTIDIMENSIONAL NYERI
Dedi Ardinata*
ABSTRAK
The International Association for the Study of Pain (IASP) Sub-committee on
Taxonomy (1986) memformulasikan definisi nyeri sebagai an unpleasant sensory and
emotional experience associated with actual or potential tissue damage or is described in terms
of such damage. Mengacu kepada definisi ini, jelaslah terlihat bahwa pengalaman nyeri
melibatkan fenomena sensori, emosional dan juga kognitif.
Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Dimensi-dimensi ini meliputi:
dimensi fisiologi, sensori, afektif, kognitif, dan behavior (perilaku). Ditambah dengan dimensi
social-kultural sebagai dimensi keenam dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam
dimensi dari fenomena nyeri ini saling berhubungan, berinteraksi dan dinamis.
Kata kunci: care, gambaran diri, kolostomi
PENDAHULUAN
Nyeri (pain) adalah suatu konsep
yang komplek untuk didefenisikan dan
dipahami. Nyeri barangkali adalah suatu
fenomena yang sering dihadapi oleh
petugas
kesehatan
(Montes-Sandoval,
1999). Melzack dan Casey (1968)
mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya
suatu pengalaman sensori belaka tetapi
juga berkaitan dengan motivasi dan
komponen affektif individunya.
The International Association for
the Study of Pain (IASP) Sub-committee on
Taxonomy
(1986)
memformulasikan
definisi nyeri sebagai an unpleasant sensory
and emotional experience associated with
actual or potential tissue damage or is
described in terms of such damage.
Mengacu kepada definisi ini, jelaslah
terlihat
bahwa
pengalaman
nyeri
Penulis adalah
* Staf Pengajar Departemen Fisiologi FK USU
77
Transduksi/Transduction
Transduksi adalah adalah proses
dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk
yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor,
1999). Proses transduksi dimulai ketika
nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.
Aktivasi
reseptor
ini
(nociceptors)
merupakan sebagai bentuk respon terhadap
stimulus yang datang seperti kerusakan
jaringan.
Transmisi/Transmission
Transmisi
adalah
serangkaian
kejadian-kejadian neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area
otak. Proses transmisi melibatkan saraf
aferen yang terbentuk dari serat saraf
berdiameter kecil ke sedang serta yang
berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf
aferen akan ber-axon pada dorsal horn di
spinalis.
Selanjutnya
transmisi
ini
dilanjutkan melalui sistem contralateral
spinalthalamic melalui ventral lateral dari
thalamus menuju cortex serebral.
Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada
aktivitas neural dalam upaya mengontrol
jalur transmisi nociceptor tersebut (Turk &
Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan
system neural yang komplek. Ketika impuls
nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system
saraf pusat dan mentransmisikan impuls
nyeri ini kebagian lain dari system saraf
seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls
nyeri ini akan ditransmisikan melalui sarafsaraf descend ke tulang belakang untuk
memodulasi efektor.
Persepsi/Perception
Persepsi
adalah
proses
yang
subjective (Turk & Flor, 1999). Proses
persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan
proses fisiologis atau proses anatomis saja
(McGuire & Sheildler, 1993), akan tetapi
juga meliputi cognition (pengenalan) dan
79
yang
berhubungan
yang
dapat
mempengaruhi persepsi dan respon
seseorang terhadap nyerinya (McGuire &
Sheidler, 1993). Kultur atau budaya
memiliki
peran
yang
kuat
untuk
menentukan faktor sikap individu dalam
mempersepsikan dan merespon nyerinya.
Sementara itu sikap individu ini juga
berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin
dan ras. McGuire (1984 dalam McGuire &
Sheilder, 1993) menemukan bahwa wanita
berkulit non-putih dan yang berkulit putih
memiliki perbedaan yang signifikan dalam
melaporkan nyerinya. Wanita berkulit
bukan putih melaporkan nyeri yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan wanita
berkulit putih ketika mengalami nyeri. Suku
asal juga berperan penting dalam hal ini, di
Indonesia Suza (2003) menemukan bahwa
nyeri yang dialami oleh pasien yang berasal
dari suku Batak dan Jawa ternyata berbeda.
Berbeda dalam laporan nyerinya serta
respon terhadap nyeri itu sendiri.
Dimensi Sensori
Dimensi
sensori
pada
nyeri
berhubungan dengan lokasi dimana nyeri
itu timbul dan bagaimanan rasanya. Ahles
dan koleganya (1983) menyatakan bahwa
terdapat tiga komponen spesifik dalam
dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan
kualitas nyeri.
Lokasi dari nyeri memberikan
petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari
segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri
dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau
lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993).
Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada
beberapa
lokasi
yang
berbeda
mengimplikasikan keterlibatan dimensi
sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang
dirasakan oleh pasien, maka akan semakin
sulit bagi pasien untuk melokalisasi area
nyerinya.
Intensitas nyeri, intensitas nyeri
adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh
individu dan sering kali digambarkan
dengan kata-kata seperti ringan, sedang
dan berat. Intensitas nyeri juga dapat
dilaporkan
dengan
angka
yang
menggambarkan skor dari nyeri yang
dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993).
Sedangkan kualitas nyeri adalah
berkaitan dengan bagaimana nyeri itu
sebenarnya dirasakan individu. Kualitas
nyeri seringkali digambarkan dengan
berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar
dan gatal. Pada kasus nyeri kanker, pasien
sering melaporkan kualitas nyerinya seperti
nyeri tajam, berdenyut, pedih, menusuk,
tertekan berat, atau juga bertambah
(McGuire, 1984 dalam McGuire &
Sheidler, 1993).
Dimensi Kognitif
Dimensi
kognitif
dari
nyeri
menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan
oleh individu terhadap proses berpikirnya
atau pandangan individu terhadap dirinya
sendiri (Ahles et al, 1983). Respon pikiran
individu terhadap nyeri yang dirasakan
dapat diasosiasikan dengan kemmapuan
koping individu mengahadapi nyerinya.
Barkwell (2005) melaporkan bahwa pasien
yang berpendapat nyerinya sebagai suatu
tantangan melaporkan nyeri lebih rendah
dengan tingkat depresi yang rendah juga
dan disertai dengan mekanisme koping
yang lebih baik jika dibandingkan dengan
pasien yang menganggap nyerinya adalah
sebagai hukuman atau sebagai musuh.
Pengetahuan adalah aspek yang
penting
dalam
dimensi
kognitif.
Pengetahuan
tentang
nyeri
dan
penanganannya
dapat
mempengaruhi
response seseorang terhadap nyeri dan
penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat
dimodifikasi oleh bagaimana seseorang
berpikir tentang nyeri yang dirasakannya,
apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan
apa
makna
nyeri
tersebut
dalam
kehidupannya.
Dimensi Perilaku (Behavioral)
Seseorang yang mengalami nyeri
akan memperlihatkan perilaku tertentu
(Fordyce, 1976; 1978). Dimensi perilaku
PENUTUP
Mekanisme
timbulnya
nyeri
melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/
transduction, transmisi/transmission, modulasi/
modulation,
dan
persepsi/perception
sedangkan dimensi nyeri meliputi: dimensi
fisiologi, sensori, afektif, cognitive, dan
behavior (perilaku) serta dimensi socialkultural sebagai dimensi keenam dalam
multidimensional dari fenomena nyeri.
Pemahaman yang baik tentang
mekanisme timbulnya nyeri dan dimensidimensi nyeri secara holistik akan
mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam memilih tindakan pengobatan dan
perawatan yang tepat dalam mengatasi
nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Ahles,
81