Anda di halaman 1dari 39

KETETAPAN

MAJELIS PERMUSAYAWARATAN RAKYAT


SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA NO. XXXIII/MPRS/1967
A. KETETAPAN NO. XXXIII/MPRS/1967 PERISTIWA BESAR
DAN PENTING
Tanggal 11 Desember 2012 tahun lalu diadakan suatu seminar
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, yang
dilihat dari jumlah hadirinnya maupun tema yang diangkatnya,
cukup besar.
Gedung Nusantara V MPR RI yang cukup luas itu dipenuhi oleh
pengunjung, tampaknya dari segala generasi dan segala lapisan
masyarakat. Tidak tahu apa yang menjadi motivasi pokoknya,
apakah karena menyangkut Founding Father Utama Indonesia
Bung Karno, atau karena yang lain. Tetapi yang jelas peserta tak
banyak beranjak sampai seminar usai.
Tema dari seminar tersebut adalah Kedudukan Juridis dan Politis
TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno; suatu tema yang
bisa diucapkan secara enteng dan sepintas saja bagi yang tidak
menghayati dan mendalaminya, dan melihatnya hanya sebagai
suatu peristiwa yang terpisah dan berdiri sendiri.
Tetapi kalau kita mengkajinya lebih sungguh-sungguh, lebih serius,
dan melihatnya dalam rangkaian panjang peristiwa-peristiwa yang
mendahului dan yang menyertainya kemudian (proloog, naloog,
dan epiloognya), sungguh TAP XXXIII/ MPR/1967 itu luar biasa
besar dan penting. Sebab peristiwa itu menyangkut Founding
Father Utama Bangsa, Pemimpin Utama Perjuangan Pergerakan
Pembebasan Bangsa, Proklamator Kemerdekaan Bangsa, Presiden
Pertama Bangsa yang memimpin perjuangan kemerdekaan bangsa
yang sangat berat dan panjang, Tokoh Besar Dunia yang dimiliki
Bangsa ini, dan terutama Nation and Character Builder
Indonesia.
Intisari dari TAP XXXIII/MPR/1967 itu adalah:

Mencabut segala kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan


Presiden Soekarno,
Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik,
Menetapkan Soeharto sebagai Pejabat Presiden yang
mengganti-kannya,
Menetapkan Soekarno sebagai orang yang mempunyai
persoalan hukum yang penyelesaiannya diserahkan kepada
penggantinya itu.
Untuk lengkapnya kami kutipkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967
tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno tersebut.
KETETAPAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
No. XXXIII/MPRS/1967
tentang
PENCABUTAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
DARI PRESIDEN SOEKARNO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa
keseluruhan
Pidato
Presiden/Mandataris
Majelis
Permusyawaran Rakyat Sementara yang disampaikan kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada tanggal 22
Juni 1966 yang berjudul Nawaksara, dan Surat Presiden
Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
tertanggal 10 Januari No. 01/Pres/1967 tentang Pelengkap
Nawaksara tidak memenuhi harapan Rakyat pada umumnya,
Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas
pertanggunganjawab tentang kebijaksanaan Presiden mengenai
pemberontak-an kontra-revolusi G-30-S/PKI beserta epilognya,
kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak;
2

b. bahwa Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat


Sementara telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Negara
kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti
yang dinyatakan dalam Pengumuman Presiden/ Mandataris
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tanggal 20
Pebruari 1967;
c.

bahwa berdasarkan laporan tertulis Panglima Operasi


Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengemban Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966 dalam suratnya No. R-032/67 tanggal
1 Pebruari 1967, yang dilengkapi dengan pidato laporannya di
hadapan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara berpendapat, bahwa ada petunjuk-petunjuk yang
Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara
tidak langsung menguntung-kan G-30-S/ PKI dan melindungi
tokoh-tokoh G-30-S/PKI;

Memperhatikan :
1. Resolusi dan Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong, tanggal 9 dan 23 Pebruari 1967;
2. Pidato Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada
pembukaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaran Rakyat
Sementara;
3. Pidato sambutan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong
pada
pembukaan
Sidang
Istimewa
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara;
4. Keterangan Pemerintah di depan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong pada tanggal 4 Maret 1967;
5. Pidato laporan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban/ Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966
di hadapan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaran Rakyat
Sementara pada tanggal 7 Maret 1967.
Mengingat :
1. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar
1945 beserta Penjelasannya;
3

2. Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967 tentang Penolakan


Pidato Pelengkap Nawaksara.
Mendengar :
Musyawarah Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara tanggal 7 sampai dengan 12 Maret 1967.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KETETAPAN TENTANG PENCABUTAN KEKUASAAN
PEMERINTAHAN NEGARA DARI PRESIDEN SOEKARNO
Bab I
Pasal 1
Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat
memenuhi pertanggungan jawab konstitusional, sebagaimana
layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis
Permusyawaran Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan
mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 2
Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat
menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Sementara),
sebagaimana
layaknya
kewajiban
seorang
Mandataris
terhadap
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
(Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai
dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini
menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945.
Pasal 4
Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal
4

Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai


pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945
hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil Pemilihan Umum.
Pasal 5
Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Sementara).
Bab II
Pasal 6
Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang
menyangkut Dr.
Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuanketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan,
dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.
Bab III
Pasal 7
Ketetapan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan dan mempunyai
daya laku surut mulai pada tanggal 22 Pebruari 1967.
Ditetapkan di
Pada tanggal

: Jakarta
: 12 Maret 1967

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA


REPUBLIK INDONESIA
Ketua,
ttd,
(Dr. A.H. Nasution)
Jenderal TNI
Wakil Ketua,
ttd

Wakil Ketua,
ttd,

(Osa Maliki)

(H.M. Subchan Z.E.)

Wakil Ketua,

Wakil Ketua,
5

ttd,

ttd,

(M. Siregar)

(Mashudi)
Brigjen. TNI

Sesuai dengan yang asli


Pd. Sekretaris Umum MPRS,
ttd,
Abdulkadir Besar, S.H.
Letkol. CKH Nrp. 16315

MEMORI PENJELASAN
Pengertian kekuasaan Pemerintahan Negara yang dimaksudkan di
sini, adalah seperti yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 beserta Penjelasan-nya, sehingga sesuai dengan
ketentuan itu maka Presiden Soekarno dengan ini diganti oleh
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS/1966,
selaku Pejabat Presiden Republik Indonesia.
PERKEMBANGAN PASCA PENGGULINGAN PRESIDEN SOEKARNO
Segera setelah penggulingan Bung Karno lewat TAP XXXIII/
MPRS/1967 itu, Pejabat Presiden yang menggantikannya - yang
pernah dipopulerkan sebagai the smiling general - itu, menahan
dalam isolasi yang keras dan pengawasan yang sangat ketat,
tanpa perlakuan kehidupan pribadi dan perawatan kesehatan yang
memadai, sampai Bapak Bangsa Utama Indonesia itu mati
mengenaskan dengan wajah dan tubuh bengkak-bengkak dalam
tahanan negara Indonesia Merdeka yang diperjuangkannya
sepanjang hidupnya.
Bahkan setelah wafat, nafsu menyemena-mena Bung Karno itu
masih membara dengan menetapkan pemakamannya di kota Blitar
yang jauh dan mahal dijangkau rakyat dari seluruh Indonesia yang
6

mencintainya. Dari Jakarta ke Blitar jenazah diangkut dengan


pesawat Hercules tua, dan dari Malang ke Blitar diangkut dengan
bus butut milik Komando Distrik Militer Malang.
Sampai di Blitar langsung buru-buru dimakamkan, tanpa memberi
kesempatan disemayamkan di rumah Jl. Sultan Agung 53, tempat
kakak perempuannya tinggal dan Bung Karno menginap kalau
sedang ke Blitar.
Menjelang satu windu kemudian, makam Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia itu dipugar dengan diberi nisan batu hitam
sangat besar, konon kabarnya untuk melambangkan raja angkara
murka dari Alengka yaitu Prabu Dosomuko yang sampai
matinyapun, jasad dan arwahnya masih harus ditindih dengan
gunung.
Akibat kudeta itu bagi rakyat dan bangsa Indonesia tidak kalah
hebatnya. Kalau dalam perjuangan merebut kemerdekaan
melawan penjajah Belanda ratusan ribu putera-puteri pertiwi ini
harus rela mengorbankan jiwa raganya demi tanah air dengan
segenap kekayaan alamnya yang berlimpah bagi rakyat Indonesia,
maka rezim Orde Baru yang lahir kemudian itu dengan gesit dan
cekatannya segera pasrah bongkokan kepada penjajah gabungan
negara-negara
barat.
Dibukanya
pintu
lebar-lebar
bagi
konglomerat internasional untuk menjarah dan menguras
kekayaan hutan, laut dan tambang Indonesia. Mereka benar-benar
berhasil membelokkan dan membalikkan sejarah dan arah
perjuangan bangsa ini. Dengan wajah baru, baju baru dan caracara yang baru mereka benar-benar berhasil untuk menguasai
kembali kekayaan alam Indonesia yang berlimpah itu
Secara yuridis formal tampaknya biasa, wajar dan syah-syah saja,
seorang Presiden yang dianggap tak mampu dan bersalah, apalagi
telah menyerahkan kekuasaannya, diganti, dicopot, dan dipereteli
segala kekuasaannya. Dan karena kesalahannya, maka dihukum:
dilarang melakukan kegiatan politik, ditahan dengan isolasi dan
pengawasan sangat ketat, serta dinyatakan punya persoalan
hukum yang perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut.
Namun masalahnya menjadi tidak wajar dan luar biasa kalau
dilihat bahwa TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 itu hanya salah satu
mata rantai dari suatu rangkaian tindak kudeta merangkak dan
7

berselubung yang tujuannya membelokkan dan membalikkan


sejarah, arah perjuangan dan kualitas kehidupan bangsa Indonesia,
untuk menyerahkan kembali kekayaan alam berlimpah Indonesia
kepada
penjajah
gabungan
negara-negara
barat,
maka
masalahnya benar-benar dahsyat. Keluarnya TAP XXXIII/MPRS/1967
hanya kulminasi aspek yuridis formal dari rangkaian tindak kudeta
merangkak dan berselubung, yang berurut secara garis besar sbb:

pembangkangan Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto


terhadap Presiden/ Panglima Tertinggi Soekarno pada tanggal 1
Oktober 1965,
pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran di
sebagian besar wilayah Indonesia,
demonstrasi-demonstrasi dan aksi-aksi liar yang semula
berpusat di Jakarta dan Bandung dan kemudian dikembangkan
ketempat-tempat lain di Indonesia,
keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 tentang kewenangan
untuk meng-ambil segala tindakan yang dianggap perlu atas
nama Presiden Soekarno kepada Panglima Angkatan Darat
Letnan Jenderal Soeharto,
pelumpuhan dan pencengkeraman partai-partai politik, yang
berpuncak pada Kongres Persatuan Kesatuan PNI/Front
Marhaenis di Bandung pada tanggal 18 s/d 24 April 1966,
pemberangusan dan penelikungan DPRGR MPRS, dengan
mengganti semua anggota yang tidak sejalan dan/atau bisa
menghalangi langkah-langkah kudeta Soeharto,
keluarnya TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengukuhan
Surat Perintah 11 Maret 1966,
keluarnya TAP MPRS NO. XIII/MPRS/1966 tentang hak dan
kewenangan menyusun/ membentuk Kabinet/Pemerintahan,
keluarnya Surat Penyerahan Pemerintahan Sehari-hari dari
Presiden Soekarno kepada Soeharto tanggal 20 Februari 1967,
dan
keluarnya TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan
segala kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan dari Presiden
Soekarno, melarang kegiatan politik Presiden Soekarno, yang
implementasinya adalah penahanan dengan isolasi yang
sangat keras dan pengawasan yang sangat ketat, penetapan
8

DR. Ir. Soekarno sebagai orang yang mempunyai persoalan


hukum yang penyelesaiannya diserahkan kepada Soeharto.
Dan masalahnya akan tampak lebih luar biasa lagi, apabila dilihat
bahwa kudeta itu merupakan usaha mengembalikan penjajahan
dalam bentuk baru ke Indonesia; yang berarti membelokkan dan
membalikkan sejarah dan arah perjuangan Bangsa Indonesia.
Kalau sejak timbulnya perlawanan-perlawanan yang bersifat
kedaerahan terhadap penjajahan Belanda, dan terutama sejak
bangkitnya pergerakan perjuangan kemerdekaan melawan
penjajah, yang dilakukan bangsa Indonesia adalah merebut Ibu
Pertiwi nan cantik molek dan kaya raya ini dari tangan penjajah
untuk bangsa Indonesia sendiri, untuk merdeka dan berdaulat
penuh, untuk kekayaan alam berlimpah itu diolah secara
bergotong-royong dan didistribusikan secara adil dan merata,
sehingga Bangsa dan Rakyat Indonesia bisa hidup adil dan
makmur, maka sebaliknya sejak berkuasanya Soeharto/Orde Baru
yang dilakukan adalah menyerahkan kembali segala kekayaan
berlimpah bangsa ini kepada penjajah asing.
Dulu Indonesia dijajah Belanda lewat serikat dagang VOC, dan
dilanjutkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda; dan lewat
perjuangan yang berat dan panjang kita berhasil merebut Ibu
Indonesia itu, berhasil merebut segenap kekayaan alam berlimpah
Indonesia itu; dan berhasil mengusir penjajah Belanda itu.
Tetapi sejak kebangkitan Orde Baru, kembalilah penjajah itu berupa
gabungan negara-negara penjajah barat dengan konglomerat
internasionalnya menguasai, menguras dan mengangkuti segala
kekayaan alam berlimpah Indonesia lewat oknum-oknum
kekuasaan boneka yang dikendalikannya, seperti digambarkan
dengan baik oleh ekonom patriotik Drs. Kwik Kian Gie dalam
tulisannya di Jawa Pos 16 Agustus 2005, dan dikutip oleh
Muhammad Achadi - dari Marshall Green dan John Pilger -,
dalam bukunya Kabut G30S sbb:

Dari tulisan Drs. Kwik Kian Gie:


ANTARA MAFIA BERKELEY,
9

AGEN ASING ( IMF & WORLD BANK ), &


PROYEK PEMELARATAN RAKYAT INDONESIA.
Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang juga ada film
dokumenternya, dengan judul The New Rulers of the World,
antara lain, dikatakan: Dalam dunia ini, yang tidak dilihat
oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara
dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih
dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program
penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang
membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin
menjadi lebar.
Ini terkenal dengan istilah nation building dan good
governance oleh empat serangkai yang mendominasi
World Trade Organisation (Amerika Serikat, Eropa, Canada,
dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF,
dan Departemen Keuangan AS). Mereka mengendalikan
setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negaranegara berkembang. Kekuasaan mereka di-peroleh dari
utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara
termiskin membayar US$ 100 juta per hari kepada para
kreditor Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia yang
elitenya - dengan jumlah lebih sedikit dari satu miliar orang
- menguasai 80 persen kekayaan seluruh umat manusia.

10

Itu ditulis oleh John Pilger, seorang wartawan Australia yang


bermukim di London, yang tidak saya kenal. Antara John Pilger dan
saya, tidak pernah ada komunikasi. Namun, ada beberapa kata
yang saya rasakan berlaku untuk bangsa Indonesia dan yang
relevan dengan yang baru saya kemukakan. Kalimat John Pilger itu
begini: Their power derives largely from an unrepayable debt that
forces the poorest countries dan seterusnya. Dalam hal
Indonesia, keuangan negara sudah bangkrut pada 1967. Paling
tidak, demikianlah yang digambarkan oleh para teknokrat ekonom
Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk
memegang tampuk pimpinan dalam bidang perekonomian. Maka,
dalam buku John Pilger tersebut, antara lain, juga dikemukakan
sebagai berikut:
(Saya kutip halaman 37) Dalam bulan November 1967,
menyusul
tertangkapnya
hadiah
terbesar,
hasil
tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu
tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di
dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua
raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan
minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco,
American Express, Siemens, Goodyear, The International
Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah
orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut
ekonom-ekonom Indonesia yang top.
Pada halaman 39 ditulis:
Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan the
Berkeley Mafia, karena beberapa di antaranya pernah
menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat
untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka
datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal
yang
diinginkan
oleh
para
majikan
yang
hadir.
Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan
bangsanya, mereka menawarkan : buruh murah yang
melimpah cadangan besar dari sumber daya alam pasar
yang besar.
11

Di halaman 41 ditulis:
Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor
demi sektor. Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler
kata Jeffry Winters, guru besar pada Northwestern
University, Chicago, yang dengan mahasiswanya yang
sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson,
telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. Mereka
membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu
kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar
lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah
delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat
diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita
saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari
satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami
inginkan: ini, ini, dan ini, dan mereka pada dasarnya
merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di
Indonesia.
Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu
sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para
wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara
berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya
investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga
di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board).
Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat.
Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit
Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika,
Jepang, dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis di
Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah undangundang tentang penanaman modal asing yang dengan
buru-buru
disodorkan
kepada
Soeharto
membuat
perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya.
Nyata dan secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia pergi
ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang
anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada,
Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter
12

Internasional dan Bank Dunia. Sekali lagi, semuanya itu


tadi kalimat-kalimatnya John Pilger yang tidak saya kenal.
Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson, dan Jeffry
Winters, sejak 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi
(plundered) dengan tuntunan oleh para elite bangsa
Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa.
Sejak itu, Indonesia dikepung oleh kekuatan Barat yang
terorganisasi dengan sangat rapi. Instrumen utamanya
adalah pemberian utang terus-menerus sehingga utang
luar negeri semakin lama semakin besar. Dengan
sendirinya, beban pembayaran cicilan utang pokok dan
bunganya semakin lama semakin berat. Kita menjadi
semakin
tergantung
pada
utang
luar
negeri.
Ketergantungan inilah yang dijadikan leverage atau
kekuatan untuk mendikte semua kebijakan pemerintah
Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi dan keuangan,
tetapi jauh lebih luas dari itu. Utang luar negeri kepada
Indonesia diberikan secara sistematis, berkesinambungan,
dan terorganisasi secara sangat rapi dengan sikap yang
keras serta persyaratan-persyaratan yang berat. Sebagai
negara pemberi utang, mereka tidak sendiri-sendiri, tetapi
menyatukan diri dalam organisasi yang disebut CGI.
Negara-negara yang sama sebagai pemberi penundaan
pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya yang jatuh
tempo menyatukan diri dalam organisasi yang bernama
Paris Club. Pemerintah Indonesia ditekan oleh semua
kreditor yang memberikan pinjaman kepada swasta
Indonesia supaya pemerintah menekan para kreditor
swasta itu membayar tepat waktu dalam satu klub lagi
yang bernama London Club. Secara kolektif, tanpa dapat
dikenali negara per negara, utang diberikan oleh lembaga
multilateral yang bernama Bank Dunia, Bank Pembangunan
Asia. Pengatur dan pemimpin kesemuanya itu adalah IMF.
Jadi, kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan kartel
internasional yang sudah berhasil membuat Indonesia
sebagai pengutang yang terseok-seok.
13

Sejak itu, utang diberikan terus sampai hari ini. Dalam


krisis di tahun 1997, Indonesia sebagai anggota IMF
menggunakan
haknya
untuk
memperoleh
bantuan.
Ternyata, ada aturan ketat untuk bantuan itu. Bantuan
uang tidak ada, hanya dapat dipakai dengan persyaratan
yang dibuat demikian rupa, sehingga praktis tidak akan
pernah terpakai. Dengan dipegangnya pinjaman dari IMF
sebagai show case, IMF mendikte kebijakan-kebijakan
pemerintah Indonesia, yang dengan segala senang hati
dipenuhi oleh para menteri ekonomi Indonesia, karena
mereka orang-orang pilihan yang dijadikan kroni dan
kompradornya.
Maka, dalam ikatan EFF itulah, pemerintah dipaksa
menerbitan surat utang dalam jumlah Rp 430 triliun untuk
mem-bail out para pemilik bank yang menggelapkan uang
masyarakat yang dipercayakan pada bank-bank mereka.
Mereka tidak dihukum, sebaliknya justru dibuatkan
perjanjian perdata bernama MSAA yang harus dapat
meniadakan pelanggaran pidana menurut undang-undang
perbankan.
Dalam
perjanjian
perdata
itu,
asalkan
penggelap uang rakyat yang diganti oleh pemerintah itu
dapat mengembalikan dalam bentuk aset yang nilainya
sekitar 15 persen, dianggap masalahnya sudah selesai,
diberikan release and discharge.
Lima tahun lamanya, yaitu untuk tahun 1999 sampai
dengan tahun 2003, pembayaran utang luar negeri yang
sudah jatuh tempo ditunda. Namun, mulai tahun 2004,
utang yang jatuh tempo beserta bunganya harus dibayar
sepenuh-nya. Pertimbangannya tidak karena keuangan
negara sudah lebih kuat, tetapi karena sudah tidak lagi
menjalankan program IMF dalam bentuk yang paling keras
dan ketat, yaitu EFF atau Letter of Intens (LoI).
Setelah keuangan negara dibuat bangkrut, Indonesia diberi
pinjaman yang tidak boleh dipakai sebelum cadangan
devisanya sendiri habis total. Pinjaman diberikan setiap
pemerintah menyelesaikan program yang didiktekan oleh
IMF dalam bentuk LoI demi LoI. Kalau setiap pelaksanaan
14

LoI dinilai baik, pinjaman sebesar rata-rata US$ 400 juta


diberikan. Pinjaman ini menumpuk sampai jumlah US$ 9
miliar, tiga kali lipat melampaui kuota Indonesia sebesar
US$ 3 miliar. Karena saldo pinjaman dari IMF melampaui
kuota, Indonesia dikenai program pemandoran yang
dinamakan Post Program Monitoring.
Mengapa Indonesia tidak mengembalikan saja yang US$ 6
miliar supaya saldo menjadi US$ 3 miliar sesuai kuota agar
terlepas dari post program monitoring. Berkali-kali saya
mengusulkan dalam sidang kabinet agar seluruh saldo
utang sebesar US$ 9 miliar dikembalikan. Alasannya, kita
harus membayar, sedangkan uang ini tidak boleh dipakai
sebelum cadangan devisa milik sendiri habis total.
Cadangan devisa kita ketika itu sudah mencapai USD 25
miliar, sedangkan selama Orde Baru hanya sekitar US$ 14
miliar. Yang US$ 9 miliar itu harus dicicil sesuai jadwal yang
ditentukan oleh IMF. Skemanya diatur sedemikian rupa
sehingga pada akhir 2007 saldonya tinggal USD 3 miliar.
Ketika
itulah,
baru
program
pemandoran
dilepas.
Alasannya kalau yang US$ 9 miliar dibayarkan sekarang,
cadangan devisa kita akan merosot dari USD 34 miliar
menjadi USD 25 miliar. Saya mengatakan, kalau yang US$ 9
miliar dibayarkan, cadangan devisa kita meningkat dari
USD 14 miliar menjadi USD 25 miliar. Toh pendapat saya
dianggap angin lalu sampai hari ini.
Mari sekarang kita bayangkan, seandainya cadangan
devisa kita habis pada akhir 2007. Ketika itu, utang dari
IMF tinggal USD 3 miliar sesuai kuota. Barulah ketika itu
utang dari IMF boleh dipakai. Olehnya secara implisit
dianggap bahwa ini lebih kredibel, yaitu mengumumkan
bahwa cadangan devisa tinggal USD 3 miliar yang berasal
dari utang IMF. Kalau seluruh utang yang USD 9 miliar
dibayar kembali karena sudah mempunyai cadangan devisa
sendiri sebesar USD 25 miliar dikatakan bahwa Indonesia
tidak akan kredibel karena cadangan devisa merosot dari
USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar.

15

Jelas sekali sangat tidak logisnya kita dipaksa untuk


memegang utang dari IMF dengan pengenaan bunga yang
tinggi, sekitar 4 persen setahun, tanpa boleh dipakai. Jelas
sekali bahwa Indonesia dipaksa berutang yang jumlahnya
melampaui kuota yang sama sekali tidak kita butuhkan.
Tujuannya hanya supaya Indonesia dikenai pemandoran
yang bernama post program monitoring. Jelas ini hanya
mungkin dengan dukungan dan kerja sama dari kronikroninya Kartel IMF.
Mengapa kami dan teman-teman yang sepikiran dan
sepaham dikalahkan terus-menerus? Mengapa pikiran yang
tidak masuk akal seabsurd itu dipertahankan? Sebab, para
menteri ekonomi yang ada dalam kabinet dan otoritas
moneter sedikit pun tidak menanggapinya. Memberikan
komentar pun tidak mau. Mengapa? Sebab, perang modern
yang menggunakan seluruh sektor ekonomi sebagai
senjata, terutama sektor moneternya, membutuhkan kroni
atau komprador bangsa Indonesia sendiri yang mutlak
mengabdi pada kepentingan agresor.
Kalau kita percaya pada Brad Sampson, Jeffrey Winters,
dan John Pilger, dan kita perhatikan serta ikuti terus sikap
satu kelompok tertentu, kiranya jelas bahwa kelompok
pakar ekonomi yang dijuluki the Berkeley Mafia adalah
kelompok kroni dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Lahirnya kelompok tersebut telah dikemukakan dalam studi
Brad Sampson yang tadi saya kutip. Pengamatan saya
sendiri
juga
membenarkan
bahwa
kelompok
itu
menempatkan dan mem-fungsikan diri sebagai kroni
kekuatan asing.
Yang paling akhir menjadi kontroversi adalah sikap
beberapa menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu
terhadap uluran tangan spontan dari beberapa kepala
pemerintahan beberapa negara Eropa penting berkenaan
dengan bencana tsunami. Baru kemarin media massa
penuh dengan komentar minor mengapa tim ekonomi
pemerintah utang lagi dalam jumlah besar sehingga jumlah
stok utang luar negeri keseluruhannya bertambah? Ini
16

sangat bertentangan dengan yang dikatakan selama


kampanye presiden dan juga dikatakan oleh para menteri
ekonomi sendiri bahwa stok utang akan dikurangi.
Berdasar pengalaman, saya yakin bahwa kartel IMF yang
memaksa kita berutang dalam jumlah besar supaya dapat
membayar utang yang jatuh tempo. Buat mereka, yang
terpenting
memperoleh
pendapatan
bunga
dan
mengendalikan Indonesia dengan menggunakan utang luar
negeri yang sulit dibayar kembali
Mafia Berkeley
Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Mereka
mempunyai
atau
menciptakan
keturunanketurunan. Para pendirinya memang sudah sepuh,
yaitu Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim,
Soebroto, Moh. Sadli,
J. B. Soemarlin, Adrianus Mooy,
dan masih sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan
adalah Sri Mulyani, Moh. Ikhsan, Chatib Basri, dan masih
banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh departemen dan
menduduki jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.
Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa
peduli siapa presidennya. Mereka mendesakkan diri
dengan bantuan kekuatan agresor. Kalau kita ingat, sejak
akhir era Orde Lama, Emil Salim sudah anggota penting
dari KOTOE dan Widjojo Nitisastro sudah sekretaris
Perdana Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya menjabat
sebagai ketua Bappenas dan bermarkas di sana. Setelah
itu, presiden berganti beberapa kali. Yang kecolongan
tidak masuk ke dalam kabinet adalah ketika Gus Dur
menjadi presiden. Namun, begitu mereka mengetahui,
mereka tidak terima. Mereka mendesak supaya Gus Dur
membentuk Dewan Ekonomi Nasional. Seperti kita ketahui,
ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya
Sri
Mulyani.
Mereka berhasil mempengaruhi atau memaksa Gus Dur
bahwa mereka diperbolehkan hadir dalam setiap rapat
koordinasi bidang ekuin. Tidak puas lagi, mereka berhasil
17

membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang terdiri


atas dua orang saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri
Mulyani.
Dipaksakan
bahwa
mereka
harus
ikut
mendampingi Menko Ekuin dan menteri keuangan dalam
perundingan Paris Club pada 12 April 2000, walaupun
mereka sama sekali di luar struktur dan sama sekali tidak
dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa
ekonomi akan porak-poranda di bawah kendali tim ekonomi
yang ada. Padahal, kinerja tim ekonomi di tahun 2000 tidak
jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.
Yang mengejutkan adalah Presiden Megawati yang
mengangkat
Boediono
sebagai
menteri
keuangan
dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian. Aliran pikir
dan sikap Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan
Berkeley Mafia, walaupun dia bukan anggotanya. Ada
penjelasan tersendiri tentang hal ini. Presiden SBY sudah
mengetahui
semuanya.
Toh
tidak
dapat
menolak
dimasukkannya ke dalam kabinet tokoh-tokoh Berkeley
Mafia seperti Sri Mulyani, Jusuf Anwar, dan Maria Elka
Pangestu, seperti yang telah disinyalir oleh beberapa
media massa.
(Drs. Kwik Kian Gie; Jawa Pos, 16 Agustus 2005)
Dari tulisan Drs. Muh Achadi dalam bukunya Kabut G30S:
Kutipan dari buku Dari Sukarno ke Suharto Marshall Green.
Konsortium donor (IGGI) terbentuk. Pertemuannya yang
pertama diadakan di Amsterdam dalam bulan Februari 1967,
dihadiri oleh 14 negara donor dan 5 organisasi internasional:
(IMF International Monetary Fund, World Bank,
United Nation Development Program, OECD, dan
Asian Development Bank).
Kutipan dari buku The New Rulers of The World John Pilger
10 November 1967, following the capture of the greatest prize
the booty was handed out. The Life Corporation sponsored an
18

extraordinary conference in Geneva which, in the course of the


three day designed the corporate take over of Indonesia.
The participants included the most powerful capitalists in the
world, the likes of David Rockefell. All the corporate giants of the
west were represented the major oil companies and bank. General
otors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, United State Steel.
Across the table were Soehartos men, whom Rockefeler called
Indonesias top economic team. (halaman 39)

On the second day, the Indonesian economy was carved up,


sector by sector. This was done in the most spectacular way, said
Jeffry Winters, proffesor at Northwestern Univercity, Chicago, who
with doctoral student Brad Simpson has studied the conference
papers.
They devided up into five different sections: mining in one room,
services in another, and what Chase Manhattan did was with a
delegation and hammer out policies that were going to be
acceptable to them and other investors. You had these bog
corporation people going around the table, saying: this is what we
need: this , this , and this, and they basically designed the
legal infrastructure for investment in Indonesia. Ive never heard of
a situation like this, where global capital sits down with the
representative of supposedly souvereign state and hammer out the
conditions of their own entry into that country.

The Freefort Company got a mountain of cooper in West Papua


(Henry Kissinger is currently on the board),
An American and European consortium got West Papuas nickle,
The giant Alcoa company the biggest slice of Indonesias bauxite,
A group of American, Japanese and French companies got the
tropical forest of Sumatra, West Papua and Kalimantan.
(halaman 41)

19

B. SEJAK AWAL PEMBAHASAN PENINJAUAN MATERI DAN


STATUS HUKUM KETETAPAN XXXIII/MPRS/1967 TELAH
MENJADI PERSOALAN
Adanya tugas melakukan peninjauan terhadap materi dan status
hukum ketetapan- ketetapan MPRS MPR yang pernah ada itu,
semua berawal dari serangkaian Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggarakan dari
bulan Oktober 1999 s/d Agustus 2002.
Pasal I ATURAN TAMBAHAN Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan menyatakan: Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan
terhadap
materi
dan
status
hukum
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.
Sebagaimana
diketahui,
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia sejak tahun 1960 s/d 2002 telah menghasilkan 139
Ketetapan, yang dalam tata urutan perundang-undangan waktu itu
diposisikan berada dibawah Undang-Undang Dasar, lain dengan
tata urutan perundangan sesudah perubahan Undang-Undang
Dasar yang meniadakan ketetapan MPR yang bersifat pengaturan,
dari Undang-Undang Dasar langsung Undang-undang. Dan itulah
sebabnya perlu diadakan peninjauan tentang materi dan status
hukum dari ketetapan-ketetapan MPRS-MPR yang jumlahnya 139
buah tersebut.
Menjelang akhir 2002, MPR menugasi Badan Pekerja MPR, dan
selanjutnya Badan Pekerja MPR menugasi Panitia Ad Hoc II, yang
tugasnya memang menyiapkan Rancangan Keputusan dan/atau
Rancangan Ketetapan untuk dibawa dalam Sidang MPR yang akan
diadakan.
Untuk melaksanakan tugasnya, Panitia Ad Hoc II membentuk
Kelompok Kerja A yang bertugas menyiapkan Rancangan
Ketetapannya, dan Kelompok Kerja B yang bertugas melakukan
peninjauan materi dan status hukum 139 Ketetapan MPRS MPR
dari tahun 1960 2002 itu.
20

Setelah terbentuk, Kelompok Kerja B segera bekerja melaksanakan


tugas sebagaimana telah ditentukan. Ternyata tugas itu sungguh
berat, sebab menyangkut hal-hal yang sangat mendasar dan luas
tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dibuat dalam
kurun waktu yang cukup lama, dengan latar belakang situasi dan
politik yang sangat berlainan, atau bahkan dalam banyak hal
bertentangan.
Sesuai
dengan
ketentuan
yang
sudah
standar
dalam
merencanakan putusan yang penting, maka Kelompok Kerja B
Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR, bukan hanya mengumpulkan
pendapat Fraksi-fraksi yang ada di MPR, tetapi juga melibatkan
banyak pihak. Diundang pakar-pakar, tokoh-tokoh, dan lembagalembaga yang relevance. Misalnya dari kalangan pakar, diundang
ahli-ahli dari Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada,
Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin; dari lembaga
relevance diundang Komnas HAM, dsb.
Dalam Kelompok Kerja B Panitia Ad Hoc II inilah penggodogan
berlangsung.
Setiap
fraksi
dalam
MPR
menyampaikan
pandangannya. Ideologi, visi, dan pengalaman politiknya di masa
lalu berperan sangat menonjol. Sebagian besar partai dan tokohtokoh politik yang duduk di MPR kala itu pernah ikut terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan dan
melahirkan ketetapan-ketetapan yang harus ditinjau materi dan
status hukumnya itu. Ada anggota kala itu yang sudah berperan di
MPRS dalam sidang umumnya yang ke IV tahun 1966 yang
melahirkan TAP IX/MPRS/1966 tentang Pengukuhan Surat Perintah
11 Maret, dan TAP-TAP lain yang mulai mempereteli kekuasaan
Presiden Soekarno dan menelikung Bung Karno; ada TAP-TAP yang
mulai mengalihkan kekuasaan atau mempersiapkan pengalihan
kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto; ada TAP
XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI dan
organisasi-organisasi massanya serta pelarangan penyebaran
Marxisme-Leninisme/
Komunisme;
ada
Keputusan
tentang
penolakan
terhadap
pidato
pertanggungjawaban
Presiden
Soekarno berjudul NAWAKSARA, dan lain-lain.
Disamping pengalaman dalam Sidang Umum IV MPRS 1966,
sebagian besar anggota itu juga berperan dalam Sidang Istimewa
21

MPRS tahun 1967, yang mencabut segala kekuasaan pemerintahan


dan kenegaraan dari Presiden Soekarno, melarang Presiden
Soekarno melakukan kegiatan politik, menetapkan DR. Ir. Soekarno
sebagai orang yang mempunyai persoalan hukum yang
penyelesaiannya diserahkan kepada penggantinya, yang tidak lain
adalah orang yang meng-kudetanya, yaitu Soeharto yang diangkat
sebagai Pejabat Presiden.
Sidang Umum MPRS tahun 1966 dan Sidang Istimewa MPRS 1967
mempunyai kedudukan dan peran yang sangat strategis dan
monumental dalam perjalanan perjuangan Bangsa Indonesia,
sebab prestasinya dalam menghabisi Soekarno dan menggagalkan
Revolusi Indonesia dibawah kepeminpinan Bung Karno, serta dalam
menegakkan penguasa baru yang bersifat totaliter-fasistis dan pro
Barat.
Peranan dan pengalaman sangat penting dalam 2 kali sidang MPRS
itu
berlanjut
bersambung-sambung-berkepanjangan
dalam
serangkaian sidang-sidang MPRS MPR yang bersifat menegakkan,
memperkokoh dan melanggengkan Rezim Soeharto/Orde Baru, dan
yang akhirnya sampai dengan mendongkel Soeharto pada tahun
1998, termasuk adanya TAP MPR No.XI/MPR/1998 yang Pasal 4 nya
menyasar kepada Soeharto sbb: Untuk pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara
tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara,
mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun
pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden
Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip
praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Kontek situasi dan pengalaman partai-partai dan tokoh-tokoh
politik semacam itu jelas sangat berpengaruh dan berperan dalam
menyikapi tugas meninjau materi dan status hukum produk-produk
MPRS-MPR yang pernah dibuatnya, berupa 139 TAP itu. Meskipun
banyak kelompok yang tergabung di dalamnya - terutama antara
kelompok yang kemudian
kontra dan yang masih tetap pro
Soeharto -, namun nuansa perbedaan diantara kekuatan-kekuatan
yang cukup lama senasib-sepenanggungan dalam kubu mantan
Orde Baru itu, tampaknya cukup gampang diatasi untuk tetap
terpeliharanya kekompakan.
22

Tetapi dengan tumbangnya Soeharto 20 Mei 1998, keadaan


menjadi terbalik. Kekuatan yang termarginalisasikan sepanjang
kekuasaan Soeharto, muncul dan terwakili dengan menangnya
secara spektakuler PDI Perjuangan dalam pemilu demokratis 1999.
Lebih sepertiga rakyat Indonesia memberikan dukungannya
kepada PDI Perjuangan. Perubahan imbangan kekuatan dan
konstelasi politik di masyarakat itu dengan sendirinya berakibat
pada lembaga-lembaga perwakilannya sebagai hasil Pemilu 1999.
PDI Perjuangan menjadi fraksi terbesar di MPR, meskipun tidak
cukup besar untuk memenangkan semua perjuangan.
Konfigurasi kekuatan-kekuatan fraksi di MPR dengan segala
aspirasi yang dibawakannya itu mengakibatkan sulitnya segera
dicapai kesepakatan-kesepakatan dalam menilai, menyimpulkan,
dan menempatkan materi dan status hukum masing-masing TAP.
Namun berkat peranan dan masukan para pakar dari berbagai
perguruan tinggi yang diundang dengan segala pertimbangan
keilmuannya, akhirnya dicapai kesimpulan, bahwa semua TAP yang
ada dapat diklasifikasikan ke dalam 6 kelompok, sebagai berikut:
a. TAP MPRS/TAP MPR yang telah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi (8 Ketetapan)
b. TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan
ketentuan (3 Ketetapan)
c. TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004
(8 Ketetapan)
d. TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan terbentuknya undang-undang (11 Ketetapan)
e. TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan
ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR
Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan)
f. TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan
tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final
(einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai
dilaksanakan (104 Ketetapan)
Kecuali Fraksi PDI Perjuangan, semua fraksi yang lain sepakat
untuk
menyelesaikan
semua
TAP
yang
ada
dengan
memasukkannya kedalam salah satu dari enam kelompok yang
disediakan, termasuk TAP XXXIII/MPRS/1967.
23

Fraksi PDI Perjuangan berpendirian, bahwa TAP XXXIII/MPRS/1967,


yang Pasal 6 nya berbunyi: Menetapkan penyelesaian persoalan
hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno dilakukan
menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksana-annya kepada
Pejabat Presiden, tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok
manapun dari 6 kelompok yang ada, termasuk kelompok 6.
Oleh karena itu, TAP XXXIII/MPRS/1967, terutama Pasal 6 nya harus
dinyatakan tidak syah dan harus dicabut, sebab apabila tidak
demikian, maka Proklamator, Presiden Pertama Republik Indonesia,
Founding Father Utama Indonesia, dan Bapak Bangsa Indonesia itu
menjadi orang terkutuk sepanjang sejarah,
sebab ditetapkan sebagai orang yang mempunyai persoalan
hukum yang harus diselesaikan, jadi tidak bersifat final
(einmalig);
sebab ditetapkan sebagai orang yang mempunyai persoalan
hukum yang harus diselesaikan, tetapi tidak pernah
diselesaikan, dan belum pernah dicabut;
sebab ditetapkan sebagai orang yang mempunyai persoalan
hukum yang harus diselesaikan, tetapi belum pernah
selesai dilaksanakan;
sebab ditetapkan sebagai orang yang mempunyai persoalan
hukum yang harus diselesaikan, jadi tidak bersifat final
(einmalig), belum pernah dicabut, dan belum pernah selesai
dilaksanakan, berarti ketetapan itu masih tetap berlaku;
sebab ditetapkan sebagai orang yang mempunyai persoalan
hukum yang harus diselesaikan, dan ketetapan itu masih
tetap berlaku, maka tidak bisa dinyatakan tidak perlu
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut.
Sikap prisipiil dan konsisten Fraksi PDI Perjuangan di Kelompok
Kerja B Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR untuk mencabut
sekurang-kurangnya Pasal 6 Ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967, dan
kebulatan sikap fraksi-fraksi lain untuk menyatakannya sebagai:
tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, karena
bersifat final (einmalig), telah dicabut, atau telah selesai
dilaksanakan, menjadikannya debat berkepanjangan, dan tidak
24

bisa diselesaikan di tingkat Kelompok Kerja B, serta terpaksa


dibawa ke Rapat Lengkap Panitia Ad Hoc II.
Perdebatan dilanjutkan di Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR.
Fraksi PDI Perjuangan tetap teguh pada pendiriannya. Namun
imbangan kekuatan memang tidak menguntungkan bagi fraksi PDI
Perjuangan. Sikap konsistennya membuat sikap fraksi-fraksi lain
semakin kompak, dan Fraksi PDI Perjuangan sendiri menjadi kurang
bulat. Akhirnya terpaksa Fraksi PDI Perjuangan menerimanya
sebagai realita politik, dan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967
dinyatakan sebagai: tidak perlu dilakukan tindakan hukum
lebih lanjut, karena bersifat final (einmalig), telah dicabut,
atau telah selesai dilaksanakan.
Kesepakatan itu memang sudah semestinya berlanjut pada Rapat
Lengkap Badan Pekerja MPR, bahkan sampai ke Sidang Paripurna
Sidang Tahunan MPR 2003 yang dilaksanakan pada tanggal 1 s/d 7
Agustus 2003, karena imbangan kekuatan fraksi memang tidak
berubah. Dan jadilah Ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967 itu masuk
dalam Pasal 6 Ketetapan No.I/MPR/2003.
Namun sebenarnya masih banyak anggota MPR, bukan hanya yang
berasal dari kalangan PDI Perjuangan, tetapi juga dari faraksi lain
secara perorangan, yang menerima Pasal 6 Ketetapan
No.I/MPR/2003 itu hanya sebagai realita politik, dan bukan secara
idiil ideologis. Kelompok ini tetap berpendapat, bahwa Pasal 6
Ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967 itu harus dicabut, dan tidak bisa
dinyatakan: tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut,
karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, atau telah selesai
dilaksanakan.
Sebab sikap semacam itu tidak sesuai kenyataan, tidak obyektif,
dan akan menempatkan Bapak Bangsa, Founding Father
Utama, Proklamator, dan Presiden Pertama Negara
Republik Indonesia itu sebagai orang yang terkutuk
sepanjang sejarah, sebab mempunyai persoalan hukum
yang tidak pernah diselesaikan. Dan hal inilah yang menjadi
latar belakang dan mendasari, maka dalam Sidang Paripurna hari
terakhir Sidang Tahunan MPR 2003, pada tanggal 7 Agustus 2003,
salah seorang anggota MPR menyampaikan Mindersheid Nota
25

terhadap Ketetapan MPR No.I/MPR/2003, khususnya Pasal 6, yang


untuk lengkapnya dimuat secara penuh.
Dan dengan adanya Minderheids Nota, dan alotnya proses
pembahasan materi putusan itu, maka adalah tidak benar bahwa
lahirnya Ketetapan MPRS No. XXXIII/ MPRS/1967 berjalan dengan
mulus.

Minderheids Nota Terhadap :


KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
26

PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN STATUS HUKUM


KETETAPAN MPRS MPR RI TAHUN 1960 2002
khusus
yang berkaitan dengan DR. Ir. H. Soekarno
---------------------------------------------------------------Saudara Ketua MPR RI yang kami hormati,
Saudara-saudara Wakil Ketua MPR RI yang kami hormati,
Saudara-saudara anggota MPR RI yang kami hormati,
Hadirin yang kami muliakan.
Dan segenap rakyat Indonesia yang kami cintai.
Assalamualaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Saudara-saudara sekalian,
Baru saja kita mengambil putusan tentang peninjauan terhadap
materi dan status hukum ketetapan MPRS MPR tahun 1960
2002.
Kami tidak ingin mengganggu apa yang telah diputuskan itu.
Namun untuk hal-hal yang menyangkut DR. Ir. H. Soekarno,
perkenankanlah kami menyampaikan catatan dan mohon untuk
dimasukkan
dalam
risalah
persidangan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ini, hal-hal sebagai
berikut :
1. Bahwa DR. Ir. H. Soekarno yang populer dengan sebutan
Bung Karno adalah Bapak Bangsa, Proklamator dan Presiden
Pertama Republik Indonesia yang sangat besar jasanya bagi
bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
2. Bahwa di bawah kepemimpinan Bung Karno, telah tercapai
salah satu tujuan utama perjuangan Bangsa Indonesia yaitu:
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari
Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat
penuh, demokratis, bersatu, aman dan damai, dengan
27

segenap kekayaan alam berlimpah yang terkandung di


dalamnya.
3. Bahwa antara tahun 1966 1968 telah terjadi peralihan
kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto yang
terangkai dalam tindakan-tindakan yang menghasilkan dan
tertuang dalam : Surat Perintah Presiden tanggal 11 Maret
1966, Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, Penyerahan
Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto tanggal 20 Februari 1967, dan
Ketetapan MPRS No. XXXIII/ MPRS/1967.
4. Bahwa dalam peralihan kekuasaan tersebut, banyak fakta
dan data yang diragukan kebenarannya oleh masyarakat
luas, yang bersifat kontroversial dan belum terungkap secara
tuntas.
5. Bahwa Aturan Tambahan Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945
telah menugasi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum Ketetapan-Ketetapan MPRS MPR tahun 1960
2002.
6. Bahwa dalam melakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum Ketetapan-Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966,
No. XXVI/MPRS/1966, No. XXXIII/ MPRS/1967 dan No. XXXVI/
MPRS/1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia telah lalai dengan hanya melakukan peninjauan
yang bersifat yuridis-formal, dan menyimpulkan bahwa
Ketetapan-Ketetapan tersebut bersifat einmahlig dan/atau
sudah selesai dilaksanakan, dan tidak perlu dilakukan
tindakan hukum lebih lanjut.
7. Bahwa sesuai dengan amanat Aturan Tambahan Pasal 1
Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia juga melakukan
peninjauan terhadap materi yang terkandung dalam
ketetapan-ketetapan sebagaimana tercantum dalam angka
(6) tersebut di atas, sehingga dapat meluruskan dan
menyikapi
bagian-bagian
yang
tidak
benar
serta
mengkoreksi segala kesalahan yang ada, namun ternyata hal
tersebut tidak dilaksanakannya.
28

8. Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dan


berdasar segala data dan fakta yang berkembang dalam
proses dan dinamika perpolitikan di Indonesia, kami merasa
perlu menyampaikan catatan dan menyatakan hal-hal
sebagai berikut :
a. Bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia No. IX/ MPRS/ 1966, No.
XXVI/ MPRS/ 1966, No. XXXIII/
MPRS/ 1967, dan No.
XXXVI/MPRS/1967, adalah menyimpang dan bertentangan
dengan dasar hukum yang melandasi dan substansi yang
terkandung di dalamnya yaitu Surat Perintah Presiden/
Panglima
Tertinggi
Angkatan
Bersenjata
Republik
Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
DR. Ir. H. Soekarno tanggal 11 Maret 1966.
b. Bahwa Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia seperti yang
dimaksud pada huruf (a) mengandung substansi yang
tidak benar dan bersifat memfitnah, menghina dan
menistakan DR. Ir. H. Soekarno sebagai Bapak Bangsa,
Proklamator, dan Presiden Pertama Republik Indonesia.
c. Bahwa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia seperti yang
dimaksud pada huruf (a), kecuali bagian-bagian yang
bersifat einmahlig dan sudah dilaksanakan, untuk
selebihnya yang belum terselesaikan harus dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi untuk mengembalikan nama
baik, martabat dan segala kehormatan DR. Ir. H. Soekarno
sebagai Bapak Bangsa, Proklamator, dan Presiden
Pertama Republik Indonesia.
d. Bahwa Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat
Sementara
Republik
Indonesia
No.
XXXIII/MPRS/1966 yang secara tegas/explisit menyatakan
DR. Ir. H. Soekarno mempunyai persoalan hukum ,
seharusnya dinyatakan tidak benar, dicabut dan tidak
berlaku lagi oleh ketetapan atau bagian/Pasal dari
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, agar DR. Ir. H. Soekarno sebagai Bapak
29

Bangsa, Proklamator dan Presiden Pertama Republik


Indonesia tidak menjadi pemimpin bangsa yang terkutuk
sepanjang sejarah.
e. Bahwa Presiden Republik Indonesia perlu mengeluarkan
putusan untuk mengembalikan nama baik, martabat dan
segala kehormatan DR. Ir. H. Soekarno sebagai Bapak
Bangsa, Proklamator, dan Presiden Pertama Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945 dan Undang-Undang yang berlaku.
9.

Bahwa berdasarkan hal-hal yang terurai di atas,


Jenderal Soeharto dirasa masih perlu menjelaskan dan
mempertanggung-jawabkan tindakan - tindakan yang
dilakukannya dalam proses peralihan kekuasaan yang terjadi
pada tahun 1966 - 1968, perlakuan sewenang - wenang dan
tidak manusiawi terhadap DR. Ir. H. Soekarno, sehingga
beliau wafat secara mengenaskan dengan status tahanan
dalam Indonesia Merdeka yang diperjuangkannya sepanjang
hidupnya.

10. Bahwa seluruh fakta dan data dalam proses peralihan


kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto dari
tahun 1966 sampai dengan 1968, perlu diungkap secara
lengkap dan tuntas demi pelurusan sejarah dan
pembangunan kembali Bangsa Indonesia.
Demikian catatan dan pernyataan kami, semoga Tuhan Yang
Maha Kuasa senantiasa merahkmati segala sikap dan tindak
umat-Nya yang hak dan benar, serta terima kasih atas segala
perhatiannya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 7 Agustus 2003

Drs. Soewarno
No. Anggota : A-176
30

-------------------------------------------Catatan :
Minderheids Nota ini disampaikan/dibacakan pada Sidang
Paripurna hari terakhir Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tanggal 7 Agustus 2003,
setelah disyahkannya Ketetapan Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapan Ketetapan MPRS
- MPR tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.

C. PEMBERIAN GELAR PAHLAWAN NASIONAL KEPADA BUNG


KARNO
TIDAK
MENYELESAIKAN
SOAL
TAP
XXXIII/MPRS/1967
Pada tanggal 7 November 2012 Pemerintah memberikan gelar
Pahlawan Nasional kepada Dr. Ir. Soekarno. Sebenarnya pemberian
gelar Pahlawan Nasional bagi orang yang telah berjasa bagi
bangsanya adalah persoalan yang wajar dan biasa. Apalagi untuk
orang yang jasanya sangat besar bagi bangsanya seperti Bung
Karno itu.
Namun, karena menyangkut orang yang begitu penting dalam
proses pembentukan dan pembangunan bangsa ini, dan yang
kejatuhannya melalui proses yang tidak wajar, maka masalahnya
menjadi tidak biasa dan memicu timbulnya banyak tanda tanya.
Berbagai pertanyaan dan wacana yang berkembang itu antara lain
adalah:
a. Mengapa gelar itu baru diberikan 42 tahun setelah orangnya
meninggal? Apakah ada hal yang menghambat dan
meragukan, kecuali kepentingan politik?
b. Dapatkah seorang yang ditetapkan mempunyai persoalan
hukum yang harus diselesaikan, tetapi tidak pernah
dilaksanakan penyelesaiaanya, diberi gelar Pahlawan
Nasional?

31

c. Apakah pemberian gelar Pahlawan Nasional itu bisa


menghapus semua stigma negatif kepada Soekarno yang
penuh manipulasi dan rekayasa itu?
d. Cukupkah sebutan gelar Pahlawan Nasional bagi seorang
Soekarno? Bagaimana dengan gelar Pahlawan Proklamator
yang pernah diberikan?
e. Apakah pemberian gelar itu didasari niat murni, atau
bermuatan tujuan-tujuan politik yang terselubung?
f. Adakah manfaat pemberian gelar Pahlawan Nasional itu bagi
pribadi seorang Soekarno?
g. Apakah manfaat pemberian gelar Pahlawan Nasional itu bagi
bangsa Indonesia ke depan, dsb, dsb.
Terhadap berbagai wacana itu timbul pula beragam tanggapan
sesuai dengan posisi dan kepentingan, terutama kepentingan
politik masing-masing pihak .
Dari pimpinan MPR dan Fraksi fraksi yang mengeluarkan
pendapatnya cenderung menyimpulkan, bahwa pemberian gelar
Pahlawan Nasional itu mempunyai arti yang sangat besar: Tap
MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tidak perlu dipersoalkan lagi karena
sudah selesai, sudah menghapus segala stigma negatif yang
dilekatkan pada Soekarno, dsb
Dari kalangan pakar cenderung membuat pernyataan yang penuh
basa-basi dan kesantunan intelektual. Pernyataannya tidak
obyektif
dan
tidak
didukung
oleh
fakta
yang
bisa
dipertanggungjawabkan, antara lain:
1. Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno tanggal
7 November 2012, diharapkan mengakhiri stigma negatif
yang selama ini melekat.
2. Menurut ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2009,
persyaratan seseorang untuk dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional tidak boleh cacat secara hukum. Jadi dengan
sendirinya sudah selesai.
3. Dengan pemberian gelar Pahlawan Nasional, stigma negatif
itu dihapuskan, dan harap publik tidak lagi
memperdebatkan
keterlibatan
Bung
Karno
mengkhianati negara.
32

4. Pemberian
gelar
itu
bisa
menyudahi
kedudukan
yuridis
dan
politis
TAP
XXXIII/MPR/1967

pro-kontra
MPR
No.

5. Dengan dianugerahkannya gelar pahlawan nasional, segala


asumsi yang terdapat dalam Bab II Pasal 6 TAP No. XXXIII/
MPRS/1967, yang menyatakan: menetapkan penyelesaian
persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir.
Soekarno dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum
dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, menyerahkan
pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden, dengan sendirinya
dianggap tidak ada lagi.
6. Tidak perlu dicabut, karena sudah masuk kategori ketetapan
yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih
lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah
dicabut,
maupun
telah
selesai
dilaksanakan,
sebagaimana telah ditetapkan oleh TAP No.I/MPR/2003 dalam
Bab II Pasal 6.
7. Dengan telah dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional
kepada Bung Karno, MPR berkewajiban mensosialisasikan dan
mengkomunikasikan seluas-luasnya: pembersihan nama
baik proklamator, dan telah tuntasnya masalah Bung
Karno itu.
Dari ketujuh pernyataan itu, tidak satu pun yang berdasar fakta
dan kenyataan. Semuanya lebih merupakan harapan-harapan,
atau asumsi-asumsi, atau bahkan lebih merupakan pernyataan
keinginan subyektif berdasar kepentingan masing-masing.
Kalau
mengenai
pasal-pasal
yang
lain
tentang
TAP
XXXIII/MPRS/1967 itu, misalnya tentang dicabut kekuasaannya,
digantikan orang lain, dan dilarang melakukan kegiatan politik,
memang bisa dianggap terselesaikan dengan TAP I/MPR/2003,
sebab bisa dinyatakan einmalig, telah selesai dilaksanakan, tak
perlu tindakan hukum lebih lanjut, tetapi terhadap Pasal 6?, kan
tidak bisa. Sebab masalah pokoknya memang belum terselesaikan.
Substansi masalahnya adalah: Bapak Bangsa, Proklamator,
Presiden Pertama Bangsa dan Rakyat Indonesia itu ditetapkan
mempunyai persoalan hukum yang harus diselesaikan, yang
33

pelaksanaannya diserahkan kepada Pejabat Presiden, dan hal itu


tidak pernah dilaksanakan atau diselesaikan.
D.SOSIALISASI MPR DENGAN MATERI YANG TIDAK BENAR
SEMACAM
PEMBERIAN GELAR PAHLAWAN
NASIONAL KEPADA BUNG KARNO MENG-HAPUS SEGALA
KONTROVERSI DAN CAP PENGKHIANAT TERHADAPNYA
JUSTRU MENYESATKAN
Seseorang mendapat gelar pahlawan karena sikap dan
perbuatannya kepada bangsa, negara, dan masyarakatnya, karena
dedikasinya, karena pengabdiannya, karenan korbanannya, karena
andil dan sumbangannya yang bermanfaat besar bagi bangsa dan
negaranya, karena jasa-jasanya, karena perjuangannya, karena
ketulusan dan keikhlasannya, karena kebersihan hidup dan tanpa
pamrihnya, dan karena perbuatan-perbuatan besar dan mulianya
yang lain.
Karena itu semua, maka seseorang mendapatkan pahala dari
bangsanya, dan jadilah seseorang itu pahalawan atau pahlawan.
Bukan sebaliknya, seseorang tanpa dasar dan fakta yang jelas
ditetapkan sebagai pengkhianat, bersalah besar dan mempunyai
persoalan hukum. Tuduhan dan fitnah sebagai Pengkhianat dan
mempunyai Persoalan Hukum itu tidak pernah dibuktikan lewat
proses peradilan, dan terus menjadi bahan caci maki, sumpahserapah, kutukan, penghinaan dan penistaan.
Kemudian demi meratakan jalan dan menciptakan situasi dan
mental masyarakat, serta mendapatkan alasan untuk bisa
memberi gelar Pahlawan Nasional kepada seorang Pengkhianat
Bangsa yang namanya Soeharto itu, maka pada 7 September 2012
Bung Karno mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, lebih 42 tahun
setelah beliau wafat.
Dari situ ditarik logika terbalik, karena sudah mendapat gelar
Pahlawan Nasional, maka berarti segala fitnah, tuduhan dan
ketetapan Bung Karno sebagai pengkhianat yang mempunai
persoalan hukum itu terhapuskan.
Selanjutnya dengan cara dan logika yang sama akan berlaku pula
kepada Jenderal Besar Soeharto. Dengan kekuasaan politik
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ... dan karena sudah
34

menyandang gelar Pahlawan Nasional, maka terhapuslah segala


kejahatan dan pengkhianatannya kepada Bangsa, Negara,
Masyarakat dan Kemanusiaan selama ini.
Selama kutukan pada Pasal 6 TAP NO. XXXIII/MPRS/1967 belum
dicabut, berarti Bung Karno tetap seorang Presiden Pengkhianat;
seorang yang punya persoalan hukum yang tidak terselesaikan;
seorang yang terkutuk sepanjang sejarah
Sampai saat ini belum ada satu pun sikap dan tindakan yang
berotoritas setingkat atau lebih tinggi dari TAP XXXIII/MPRS/1967
itu yang mempunyai kekuatan membatalkan, mencabut atau
menghapus kutukan pada Bapak Bangsa/ Presiden Pertama
Republik Indonesia DR. IR. H. SOEKARNO itu.
Mensosialisasikan kepada masyarakat luas Indonesia hal yang
tidak benar, yang tidak sesuai kenyataan, yang bohong semacam
itu adalah salah, menyesatkan dan durhaka.
E. NASIB
BUNG
KARNO
XXXIII/MPRS/1967 KE DEPAN

DAN

KETETAPAN

NO.

Tentang nasib Bung Karno dan Ketetapan No. XXX/MPRS/1967 akan


ditentukan oleh arah dan perjalanan perjuangan bangsa Indonesia
selanjutnya ke depan! Bung Karno sebagai Founding Father Utama
Bangsa ini, pernah membagi tahap-tahap perjuangan bangsa ini ke
dalam 5 Angkatan : Perintis (1908), Penegas (1927), Pencoba
(1938), Pendobrak (1945), dan sesudahnya Angkatan Pelaksana.
Semua angkatan itu berjuang untuk kemerdekaan dan
menegakkan kedaulatan bangsa ini di semua bidang. Direbutnya
segenap kekayaan berlimpah bangsa ini dari penguasaan penjajah
untuk dimiliki dan dikuasai sendiri bangsa ini, dan selanjutnya
secara gotongroyong dikelola untuk keadilmakmuran bersama.
Tetapi sejak bulan-bulan akhir tahun 1965, dan tahun-tahun
selanjutnya, yaitu sejak dikudeta dan di - bunuh- nya Presiden
Soekarno, yang terjadi adalah sebaliknya. Yang terjadi adalah
Pembelokan dan Pembalikan Arah dan Tujuan Perjuangan Bangsa
Indonesia: ditanggungnya utang Pemerintah Jajahan Hindia
Belanda sebesar f. 6.300.000.000,- (enamkomatigamilyargulden),
dikembalikannya semua perusahaan Belanda dan barat lainnya
35

yang telah diambil-alih dalam proses perjuangan kemerdekaan


yang lalu dengan memberi kompensasi/ganti rugi; ditimbuni,
diringkus, dijerat, dan dijerumuskannya dalam neraka debt-trap
bangsa Indonesia dengan utang lewat lembaga (IGGI CGI) yang
sekaligus berfungsi sebagai pengontrol dan pengendali segala
kebijakan dan program bangsa ini di segala bidang: politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan; diserahkannya hak
eksplorasi, ekploitasi, dan pengurasan harta bangsa ini kepada
asing untuk jangka waktu ... 80 tahun dan bisa diperpanjang
sampai 120 tahun; mempersilakan sebagian besar asset bangsa ini
( sekitar 80% ?) dikuasai asing; membiarkan, bahkan memfasilitasi
drainage dan pengurasan, serta pengangkutan harta bangsa ini ke
luar trilyunan setiap hari.
Pada tahun 1998 terkesan adanya pergantian kekuasaan dari Orde
Baru ke Orde Reformasi. Banyak rakyat yang mengira telah terjadi
perubahan kualitatif dari kekuasaan. Tetapi hakekatnya yang
terjadi hanyalah sebatas:
1. Tersingkirnya Soeharto dari tampuk kekuasaan,
2. Orde Baru sebagai kekuatan dan rezim tetap utuh,
3. Penguasa Orde Reformasi tetap sebagai bagian dari Free
Word,
4. Korupsi yang sudah merajalela dan membudaya berpuluh
tahun mulai diangkat, yang juga ada keperluan untuk
menjaga uangnya para kapitalis internasional yang sudah
banyak masuk,
5. Rezim totaliter yang bengis berubah menjadi kekuasaan yang
demokratis penuh keterbukaan
Lepas dari masalah tidak tercapainya target maksimal yang
diharapkan dari gerakan reformasi, namun untuk diangkatnya
masalah pemberantasan korupsi, dan dihidupkannya demokrasi
yang penuh keterbukaan, cukup besar manfaatnya untuk bangsa
dan negara ini.
Orde Reformasi memang belum mantap berpihak pada
kepentingan nasional, terlebih-lebih masih jauh dari mengabdi dan
mengintegrasikan diri pada kepentingan rakyat. Tetapi situasi
demokratis yang penuh keterbukaan membuka pintu dan
menyediakan syarat-syarat untuk dilakukannya kebijakan dan
36

usaha-usaha pelurusan kembali arah dan tujuan perjuangan


bangsa.
Kenyataannya, sudah lebih 15 tahun Reformasi ini diberi
kesempatan, tak satu pun penguasa yang muncul menunjukkan
pemahaman, niat, tekad, maupun tindakan untuk melakukan
pelurusan kembali arah dan tujuan perjuangan bangsa. Yang
mencolok adalah di bidang ekonomi, semuanya tak ada yang
berani lepas dari pemikiran-pemikiran, bahkan tenaga-tenaga
warga Berkeley Mafia. Semuanya adalah penghutang-penghutang
yang berani tanpa terusik nuraninya tentang petaka yang
ditimbulkannnya pada bangsa dan rakyat; semuanya adalah
penyanyi-penyanyi merdu yang senantiasa melantunkan lagu ...
investasi ... investasi ..., investasi, meskipun kenyataannya adalah
eksploitasi ... eksploitasi ... , eksploitasi, pengangguran ... kuli ... tki
...tkw ... kemiskinan ... keterbelakangan .... dst ... dst ...
Selama Indonesia masih tetap terus menjadi negara neo-kolonial
semacam sekarang ini, Bung Karno akan tetap
seorang
pengchianat di mata penguasa, dan seorang pahlawan besar di
mata rakyat dan bangsanya;
Kalau rakyat dan bangsa Indonesia kembali kepada arah dan jalan
sejarahnya sebagaimana telah ditempuh sepanjang perjuangan
kemerdekaan dan kepe-mimpinan Bung Karno; kembali lepas dari
pengaruh, campur tangan, pengaturan dan dominasi politik asing;
kembali bebas dan berdaulat penuh dalam politik; berdikari di
bidang ekonomi, dan kembali bertumbuh bersama untuk menuju
menjadi bangsa yang besar dan jaya, yang adil dan makmur, yang
rukun dan bersatu, yang bebas dan demokratis, yang aman dan
damai, bebas dari segala bentuk exploitation de lhome par lhome,
dan exploitation de nation par nation, di situlah segenap bapak
bangsa (termasuk Founding Father Utamanya Bung Karno) dan
pejuang pejuang bangsa lainnya akan mendapat tempat yang
mulia dalam kehidupan bangsa ini, dan arwahnya akan bisa tenang
dan bahagia di alam sana.
Kembali membebaskan kekayaan alam berlimpah dan potensi
ekonomi sangat besar bangsa ini dari penguasaan, eksploitasi, dan
drainage asing; bebas dari segala bentuk exploitation delhome par
lhome dan dari segala bentuk exploitation de nation par nation;
37

Kembali menguasai, mengolah, dan mendistribusikan secara adil


dan merata kekayaan alam berlimpah dan potensi ekonomi sangat
besar bangsa ini sebagai -mana pernah dicita-citakan bersama
berdasar kekuatan sendiri;
Kembali membangun masyarakat Indonesia bebas dari kemiskinan
dan ketidak-adilan, masyarakat yang adil dan makmur, Masyarakat
Sosialis Indonesia
Kembali melakukan Nation and Character Building menjadi bangsa
yang kompak bersatu, berkepribadian, bermartabat, berbudi luhur,
berachlak mulya, ber-kemauan keras, berperasaan halus,
berpikiran tajam, berhomo homini socius, bertoleransi tinggi,
bermental baja, berhomo sacra res homini, berpengetahuan dan
berteknologi modern, maju dan tinggi, berseni budaya modern,
agung, anggun, dan mulia ......
Maka di situ Bung Karno akan memperoleh kembali segala
kehormatan, harkat dan martabatnya ... sebagai Manusia, sebagai
Bapak Bangsa Utama, sebagai Penggali Pancasila, sebagai
Proklamator, sebagai Bapak Panca Azimat Revolusi, sebagai Bapak
Persatuan Indonesia, sebagai Pahlawan Islam dan Kemerdekaan,
sebagai Nation and Character Builder Utama, sebagai Pahlawan
Agung Bangsa Indonesia, sebagai Bapak Asia Afrika, sebagai
Bapak Non Block, sebagai Bapak New Emerging Forces, dst ...,
dst .....
Pasca kejatuhan Bung Karno sampai sekarang, sebenarnya
Indonesia belum pernah punya lagi Presiden yang benarbenar seorang Nation and Character Builder. Yang kita
punyai pada hakekatnya adalah Gupernur Jenderal
semacam jaman Pemerintah Jajahan Hindia Belanda dahulu.
Bedanya adalah bahwa pada jaman itu, Indonesia dipimpin
Gupernur Jenderal Pemerintah Jajahan Hindia Belanda, dan
sesudah kudeta tahun 1965 - 1967, Indonesia dipimpin
Gupernur Jenderal Pemerintah Jajahan Gabungan NegaraNegara Barat; dulu Gupernur Jenderal itu bule Belanda,
dan sesudah 1966 dia berkulit sawo-matang berlabel nama
Indonesia .... ........................
38

Jakarta, Mei 2013

39

Anda mungkin juga menyukai