Anda di halaman 1dari 21

Kronologi Terbitnya Supersemar

dan Detik-Detik Lengsernya


Sukarno
Senin 13 Mar 2017 02:00 WIB
Red: Karta Raharja Ucu

 0

 0

Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno


Foto: Arsip Nasional

REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa Presiden Sukarno mau memenuhi permintaan


MPRS untuk menjelaskan kasus G30S, padahal tak ada hubungannya
dengan GBHN? Wartawan Republika, Selamat Ginting pada 20 Februari
2013 menuliskan kronologi jatuhnya Bung Karno dari kursi kepresidenan yang
dimulai pada 11 Maret 1966 dengan dikeluarkannya Supersemar.

11 Maret 1966
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS,
mengeluarkan Supersemar, yang isinya, antara lain: “Memutuskan dan
memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima
Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin
Besar Revolusi.
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan
jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS,
demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan
melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-
panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan
tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.”

16 Maret 1966
Pangkopkamtib—atas nama Presiden RI—mengeluarkan surat perintah
penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.

27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara, Presiden tidak
setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah baru yang dianggap kurang dekat
dengan Presiden Sukarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS.
Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.

22 Juni 1966
Presiden Sukarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum IV
MPRS dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No 5/MPRS/1966
tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Sukarno untuk melengkapi pidato
tersebut.

6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup dan mengeluarkan 24 ketetapan, sebuah keputusan,
dan satu resolusi. Salah satu di antaranya, Tap MPRS No IX/MPRS/1966
yang menegaskan kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.

17 Agustus 1966
Presiden Sukarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi
yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai
Mandataris MPR, yang tidak bersedia terhadap aturan yang ditetapkan oleh
MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat dan diwarnai aksi
demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
Sukarno dan Soeharto. (Arsip Nasional RI)

1-3 Oktober 1966


Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI melakukan demonstrasi di depan Istana
Merdeka. Mereka menuntut agar Presiden memberi pertanggungjawaban
tentang peristiwa G-30 S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya
bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966

Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota dengan Nomor: Nota


2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Sukarno untuk
melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No
5/MPRS/1966.

30 November 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR dengan tuntutan yang sama
seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar Presiden Sukarno diadili.

20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif
Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai
keterlibatan Presiden Sukarno dalam G-30 S/PKI.

21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, antara lain, berbunyi butir ke-2,
“ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun,
golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945,
seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-
TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan
Keputusan-Keputusan Sidang Umum IV MPRS.”

31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada
saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS
No5/MPRS/1966 tersebut di atas. Dan, suara serta pendapat dalam
masyarakat yang timbul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang
mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.

6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan
kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS
IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu
menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan.
Isinya, antara lain: “Pimpinan MPRS mengonstatasikan bahwa setelah
berlangsungnya Sidang-Sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara
ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan
pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: -
Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap
peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-
30-S/PKI. - Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor
5/MPRS/1966.”

10 Januari 1967
Presiden Sukarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara yang isinya,
antara lain: “Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya
mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30 S, maka saya sendiri
menyatakan:
a. G.30.S ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
b. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966 dan dalam pidato 5 Oktober 1966
mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata, “Sudah terang Gestok kita
kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula
saya katakan dengan jelas dan tandas bahwa “Yang bersalah harus dihukum!
Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB.”
c. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban SP 11 Maret yang
diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi’rad di Istana Negara j.l., yang
antara lain berbunyi:
“Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17
Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-
kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif
menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan bahwa
Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun
Bapak Presiden menggunakan istilah “Gestok””(Gestok: Gerakan Satu
Oktober, istilah Sukarno)

10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato
Nawaksara yang diumumkan tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara
tersebut berisikan, antara lain, (a) bahwa Presiden masih meragukan
keharusannya untuk memberikan pertanggungan jawab kepada MPRS
sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No 5/MPRS/1966. (b)
Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan
konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan
Bersenjata”.

20 Januari 1967
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil
Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri
empat poin besar), antara lain (poin ke-4), “Perlu diterangkan bahwa dalam
menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal
Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan
konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan
tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR,
Presiden Kabinet khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No IX, dan
lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya...”

21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri atas
tiga butir besar, antara lain (poin II), “Bahwa Presiden alpa memenuhi
ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No
01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: “Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan
MPRS sebelum sidang Umum IV, tidak ada ketentuan bahwa Mandataris
harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang “cabang”. Pidato
saya yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggung
jawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam “progress-
report sukarela” tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima
terdahulu”. Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung jawab pada
MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai
Garis-garis Besar Haluan Negara saja...” dst.

1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soeharto
dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran dua
berkas, serta perihal, yakni Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan
laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain, sebagai berikut:
“Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang
telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak
perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya
ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya
terhadap PERTANGGUNGAN DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM
PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka
PRESIDEN harus mempertanggungjawabkan segala pengetahuan, sikap dan
tindakannya, baik terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-
langkah penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku
KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan
pemerintahan negara di mana kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan
PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta
penjelasannya.”

9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) mengeluarkan Resolusi
tentang Persidangan Istimewa MPRS yang meminta kepada MPRS untuk
mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-
lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua
Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 untuk
memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut
untuk menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa
Kontra Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman
para wakil rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam
Sidang Istimewa MPRS.

9 Februari 1967
DPR GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang
Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama, DPR GR mengeluarkan
memorandum mengenai Pertanggungan jawab dan Kepemimpinan Presiden
Sukarno dan Persidangan Istimewa MPRS.

11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Sukarno di Bogor.
Mereka menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi
dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum IV.

12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat panglima tersebut. Saat itu,
Presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.

13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden
Sukarno tersebut. Setelah bertemu dengan presiden, kemudian mereka
sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.

16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No 13/B/1967 tentang Tanggapan
Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya "MENOLAK
PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN
SURAT PRESIDEN NO 01/PRES./'67 TANGGAL 10 JANUARI 1967
SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO5/MPRS/1966. Dan,
pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS No14/B/1967
tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.

19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Sukarno di
Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.

20 Februari 1967
Presiden Sukarno memberikan Pengumuman, yang isinya, antara lain: KAMI,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah
menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri
demi keselamatan Rakyat, Bangsa, dan Negara, maka dengan ini
mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris
MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung
mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban
Ketetapan MPRS NoIX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan
jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada
Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh
rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur
pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk
terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi, dan
membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS
No IX/MPRS/1966 seperti tersebut di atas. Keempat: Menyampaikan dengan
penuh rasa tanggung jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam
melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur
berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini ditandatangani pada 20 Februari
1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi
ABRI Sukarno.

23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS NoIX/1996, melakukan
pidato melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Isinya, antara lain, memberi
penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Sukarno kepada
dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR
mengeluarkan Resolusi No 724 tentang Pemilihan Pejabat Presiden Republik
Indonesia beserta penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) membuat pernyataan yang
isinya, antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah dan
menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamankan
terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta, juga ditegaskan bahwa
ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan
mana pun yang tidak menaati pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah
berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20 Februari 1967.

25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan keterangan pers mengenai telah dilakukannya
penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Sukarno kepada
Pengemban Ketetapan MPRS NoIX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.

7 Maret 1967
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan.
Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan
MPRS, yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk
berhadapan dengan MPRS. Hasilnya (seperti dituangkan dalam TAP MPR No
XXXIII/MPRS/1967), yakni mencabut kekuasaan pemerintah dari Presiden
Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden hingga
dilaksanakannya pemilu.
.2 Latar Belakang Lahirnya Angkatan 66
Penamaan angkatan ‘66 dalam bidang kesusastraan diberikan oleh H.B.Jassin, memperkuat
pendapatnya, bahwa pada sekitar 1966, di dalam kesusastraan Indonesia telah lahir sebuah
generasi kesusastraan. Istilah angkatan ’66 sebenarnya diilhami oleh peristiwa politik :
kebangkitan generasi muda yang dipelopori oleh KAMI-KAPPI dalam menumbangkan Orde
Lama, beberapa bulan setelah meletusnya kudeta G-30S/PKI yang gagal itu. Kebanyakan mereka
adalah aktivis Orde Baru. Kelompok itu berjuang membela kebenaran dan keadlan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, meruntuhkan kediktatoran dan penyelewengan-penyelewengan politis
yang menjurus ke komunisme.
Angkatan ’66 adalah istilah polotik. H.B. Jassin menransfernya kedalam dunia sastra
sehingga menjadi satu istilah sastra karena ia melihat adanya kaitan yang sangat erat antara sastra
dan perjuangan politik, sedangkan para sastrawan yang dimaksudkan berada di bawah kubu
angkatan ’66 memang ikut ambil bagian di dalam perjuangan tersebut, baik secara langsung seperti
yang dilakukan oleh Taufik Ismail, Sanditias, Slamet Sukirmanto, Bur Rawanto maupun lewat
karya sastra Orde Baru.
Para sastrawan angkatan ’66 telah berjuang dengan ide-ide keadilan dan kebenaran,
dengan tegas mendobrak kezoliman dan kemelut politik serta resesi ekonomi yang waktu itu
tengah melanda. Seiring berjalannya waktu PKI menghilang, dengan hilangnya PKI dan Lekranya
(Lembaga Kebudayaan Rakyat) dari dunia politik kebudayaan para pengarang yang pada 1964
lenyap dari peredaran mulai aktif menulis lagi. Terjadi pertentangan pendapat antara Ajip Rosidi
dan H.B Jassin dikarenakan Ajip Rosidi memproklamasikan Angkatan Terbaru pada tahun 1950
sedangkan H.B Jassin menganggap bahwa sebutan Angkatan ’66 lebih tepat.
Mengenai periodesasi dalam kesusastraan Indonesia belum banyak yang dapat dikatakan,
karena kurun waktu tersebut masih terlalu dekat, belum jelas karya sastra mana yang akan tetap
dikenang dan penyair mana yang akan tenggelam ditelan masa. Karena pengarang memiliki
kesempatan terbuka setelah 1966, maka pengarang-pengarang yang sebelumnya sudah mulai
tumbuh kini dapat berkembang dengan leluasa. Surat kabar menyediakan ruang kesusastraan.
Majalah kebudayaan dan kesusastraan mulai bermunculan, seperti Budaya Jaya dan Horison.
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa sejarah awal pertumbuhan sastra Indonesia, para
pengarang sudah menunjukkan perhatian yang cukup serius terhadap dunia politik. Nama angkatan
66 pertama kali digunakan oleh H.B.Jassin. dalam angkatan 66:Prosa dan Puisi. Dalam buku ini
pertama kali H.B.Jassin menyampaikan penolakannya terhadap angkatan 50 dengan mengutip
pernyataan Ajip Rosidi dalam Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa di Jakarta pada
tanggal 14 Agustus 1960.
H.B.Jassin mengkritisi semua konsepsi-konsepsi angkatan 50 dan angkatan terbarunya
Ajip Rosidi dengan nada emosional dan keras. Alasan utama penafsiran angkatan 50 dan angkatan
terbaru adasah kedekatn massa dengan angkatan sebelumnya yaitu angkatan 45 sehingga tidak
ada konsep yang berlainan dengan angkatan sebelumnya tersebut (Jassin, 2013: 17-8).Sebelum
munculnya nama sastra angkatan 66, WS Rendra dan kawan-kawannya dari Yogya pernah
mengumumkan nama sastra angkatan 50 pada akhir 1953. Nama ini tidak popular dan kemudian
dilupakan orang. Secara politis lahirnya angkatan ini dilatarbelakangi oleh pergolakan politik
dalam masyarakat dan penyelewengan-penyelewengan pemimpin-pemimpin Negara yang tidak
memiliki moral, agama, dan rasa keadilan demi kepentingan pribadi dan golongan.
Penyelewengan tersebut antara lain pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan
UUD 45 dengan memasukkan komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang tentu saja
melanggar sila pertama. Selain itu, pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak
sesuai dengan prinsip demokrasi. Hal-hal tersebut membuat Negara menjadi semakin terpuruk dan
rakyat menderita.
Akhirnya, dengan semangat kebangkitan, angkatan 66 masyarakat menolak kebudayaan
didominasi oleh politik. Perlawanan ini dilakukan oleh semua kalangan yang diawali oleh gerakan
mahasiswa, selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh Indonesia. Peristiwa
politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembangpada masa tersebut. Terdapat dua
kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam lekra dan para seniman penandatangan
manifest kebudayaan. Selain itu, terdapat sastrawan yang tidak terkumpul pada keduanya yang
tetap pada posisi netral. Lekra, mulanya bukan lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media
dalam metode penyerangan terhadap berbagai bidang PKI yang agresif.
Serangan dilakukan pada orang-orang yang tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu
tokoh yang diserang adalah Hamka. Maka pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta
diadakan pertemuan-pertemuan antara tokoh budaya, pengarang dan seniman lainnya untuk
membahas manifest kebudayaan.
Manifest kebudayaan adalah perlawanan-perlawanan yang dilakukan para budayawan
dan sastrawan akibat tekanan yang bertambah besar dari pihak komunis dan pemimpin bangsa
yang mau menyelewengkan negara. Hasil rumusan itu dibawa kedalam siding lengkap pada
tanggan 24 Agustus 1963. Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya
Bokor Hutasuhut siding memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai
berikut:
1) Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes
Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional kami.
2) Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami
tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector kebudayaan yang lain. stiap sector
berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3) Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan
yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat
dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
4) Pancasila dalah falsafah kebudayaan kami.Manifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan
dalam surat kabar Berita Republik (Jakarta). Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus
1963 oleh beberapa pengarang antar lain H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan
Mohamad, Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin.
Pasca diumumkan, manifest tersebut didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun,
Lekra tidak tinggal diam. Dengan menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media
yang telah dikuasai oleh mereka, mereka menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang
menandatanganinya.
Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang. Penandatanganan manifest
tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan untuk mengumumkan karya-
karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya. Terbitan yang
menjadi tempat menulis dituntut untuk ditutup. Salah satunya majalah Sastra yang didirikan
H.B.Jassin. Angkatan 66 dalam sastra Indonesia mencakup kurun waktu tahun 1963-1970-an.
Disamping itu, karya tahun 1966 ini tidak hanya bercirikan protes sosial, politik, ekonomi
melainkan juga bercirikan agama. Hal ini dimaksud pengarang untuk membedakan dirinya dari
pengarang lekra yang cenderung ateis.

2.3 Ciri-ciri Sastra Angkatan 66


Ciri-ciri sastra angkatan 66 dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1) Kelompok sastra 60 sampai dengan 66
Merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra yang bernaung di bawah panji-panji PKI.
Sastrawan yang bersebrangan dengan PKI dapat dikatakan kurang berkembang, apalagi manifest
kebudayaan yang menjadi konsepsinya dicekal dan dilarang pemerintah.
2) Kelompok sastra tahun 66 sampai dengna 70-an.
Masa ini didominasi oleh karya-karya yang berisi protes terhadap pemerintah. Dari segi isi,
konsepsinya adalah pancasila dan UUD 45. Dari protes sosial, ekonomi, dan politik yang
dikemukakan dengan berapi-api dan retorikanyasangat kuat beralih kecurahan hati dan perasaan
lega pengarang yangsekian tahun tertindas. Pada akhirnya tema-tema agama menjadi warnanya.
Ciri-ciri lain sastra angkatan 66 disebutkan sebagai berikut:
1) Mulai dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada).
2) Puisinya menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita.
3) Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang perekonomian yang buruk,
pengangguran, dan kemiskinan.
4) Cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam politik
pemerintahan lebih banyak mengemuka.
5) Banyak terdapat penggunaan gayaretorik dan slogan dalam puisi.
6) Muncul puisi mantra dan prosa surealisme (absurd) pada awal tahun 1970-an yang banyak berisi
tentang kritik sosial dan kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah.

2.4 Sastrawan Angkatan 66


Para pengarang yang diklasifikasikan oleh HB.Jassin ke dalam angkatan 66 yang menulis prosa
dan puisi sebagai media perjuangan adalah:
1) Taufik Ismail
Lahir di Bukit Tinggi tahun 1937. Profesinya adalah seorang dokter hewan, juga dikenal
sebagai seorang penyair yang handal. Sajak-sajaknya penuh dengan protes-protes terhadap
ketidakadilan dan penyelewengan.
2) Gunawan Muhammad
Lahir 29 Juli 1941 di Batang, Pekalongan. Tulisannya, baik puisi maupun esai-esainya banyak
dimuat dalam harian “abadi”, majalah “Sastra” seperti Horison dan Basis.
3) Saini
Lahir di Sumedang tahun 1938. Beliau menulis beberapa prosa, seperti novel, cerpen, puisi
termasuk drama. Disamping itu adajuga karyanya seperti kritik dan esai. Sajak-sajaknya yang
terkenalditerbitkan dalam kumpulan sajak yang diberi judul “Nyanyian Tanah Air”
4) Sapardi Djoko Damono
Lahir 23 Maret 1940 di Solo, beliau adalah lulusan Universitas Gajah Mada.
5) Gerson Poyk
Lahir 16 Juni 1931 di Pulau Roti. Karyanya yang terkenaladalah “Hari-hari Pertama” bersifat
religious, Mutiara di TengahSawah.
6) Tocty Heraty
Lahir 27 November 1933 di Bandung. Beliau adalah lulusan Fakultas Psikologi di UI dan
sebagai dosen di Almamaternya.
7) Andrea Alexandre Leo
Lahir 19 Agustus 1935 di Sumatra Selatan. Pernah masuk Perguruan Tinggi Jurnalistik,
Akademi Teater Nasional (1955-1956) di Jakarta. Karya-karyanya banyak dimuat di majalah-
majalah, seperti Jembatan Tertutup, Nusantara danlain-lainnya.
Masih banyak pengarang dan penyairangkatan 66 lainnya yang mempunyai andil besar dalam
mempertahankan Pancasila antara lain :
1) Taha Mochtar
2) Arifin C. Noer
3) Bokor Hutasuhut
4) Bur Rasuanto
5) Ayip Rosidi
6) W.S.Rendra
7) NH.Dhini
8) Iswi Sawitri
9) Abdul Wahid
10) Situmcang
11) Satyagraha Hocrip
12) Masnur Samin
13) Subagio Sastro Wardoyo dan lain-lainnya.
Sastrawan-sastrawan ini dapat di golongkan ke angkatan pejuang dalam membela Negara
untuk tetap tegaknya Pancasila dan UUD 45.

2.5 Karya Sastra Angkatan 66


a. Taufik Ismail
1. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
2. Tirani dan Benteng
3. Buku Tamu Musim Perjuangan
4. Sajak Ladang Jagung
5. Kenalkan
6. Saya Hewan
7. Puisi-puisi Langit
b. Sutardji Calzoum Bachri
1. Amuk
2. Kapak
c. Abdul Hadi WM
1. Meditasi (1976)
2. Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
3. Tergantung Pada Angin (1977)
d. Sapardi Djoko Damono
1. Dukamu Abadi (1969)
2. Mata Pisau (1974)
e. Goenawan Mohamad
1. Parikesit (1969)
2. Interlude (1971)
3. Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972)
4. Seks, Sastra, dan Kita (1980)
f. Umar Kayam
1. Seribu Kunang-kunang di Manhattan
2. Sri Sumarah dan Bawuk
3. Lebaran di Karet
4. Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
5. Kelir Tanpa Batas
6. Para Priyayi
7. Jalan Menikung
8. Godlob
9. Adam Makrifat
10. Berhala
g. Nasjah Djamin
1. Hilanglah si Anak Hilang (1963)
2. Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968)
h. Putu Wijaya
1. Bila Malam Bertambah Malam (1971)
2. Telegram (1973)
3. Stasiun (1977)
4. Pabrik
5. Gres
6. Bom
i. Djamil Suherman
1. Perjalanan ke Akhirat (1962)
2. Manifestasi (1963)
j. Titis Basino
1. Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963)
2. Lesbian (1976)
3. Bukan Rumahku (1976)
4. Pelabuhan Hati (1978)
5. Pelabuhan Hati (1978)
k. Leon Agusta
1. Monumen Safari (1966)
2. Catatan Putih (1975)
3. Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978)
4. Hukla (1979)
l. Iwan Simatupang
1. Ziarah (1968)
2. Kering (1972)
3. Merahnya Merah (1968)
4. Keong (1975)
5. RT Nol/RW Nol
6. Tegak Lurus Dengan Langit
m. M.A Salmoen
1. Masa Bergolak (1968)
n. Parakitri Tahi Simbolon
1. Ibu (1969)
o. Chairul Harun
1. Warisan (1979)
p. Kuntowijoyo
1. Khotbah di Atas Bukit (1976)
q. M. Balfas
1. Lingkaran-lingkaran Retak (1978)
r. Mahbub Djunaidi
1. Dari Hari ke Hari (1975)
s. Wildan Yatim
1. Pergolakan (1974)
t. Harijadi S. Hartowardojo
1. Perjanjian dengan Maut (1976)
u. Ismail Marahimin
1. Dan Perang Pun Usai (1979)
v. Wisran Hadi
1. Empat Orang Melayu
2. Jalan Lurus
Soe Hok Gie
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Soe Hok Gie

Soe Hok Gie di Puncak Pangrango, 1967

Lahir 17 Desember 1942

Jakarta, Indonesia

Meninggal 16 Desember 1969 (umur 26)

Semeru, Jawa Timur, Indonesia

Jakarta, Indonesia
Tempat
6°10′19″S 106°49′09″EKoordinat:
peristirahatan
6°10′19″S 106°49′09″E

Kebangsaan Indonesia

Almamater Universitas Indonesia, Kolese Kanisius

Karya terkenal Catatan Seorang Demonstran

Orang tua Salam Sutrawan (Soe Lie Piet) (ayah)

Kerabat Arief Budiman (Soe Hok Djin) (kakak)

Soe Hok Gie


Hanzi tradisional: 蘇福義

Hanzi sederhana: 苏福义

KembangkanAlih aksara

Artikel ini memuat teks


berbahasa
Tionghoa. Tanpa dukungan
multibahasa, Anda mungkin
akan melihat tanda tanya, tanda
kotak, atau simbol lain, sebagai
pengganti karakter yang
dimaksud.

Soe Hok Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16
Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah seorang aktivis Indonesia Tionghoa yang menentang
kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia adalah mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Daftar isi

 1Biografi
o 1.1Pendidikan dan karier
 2Lihat pula
 3Bibliografi
 4Referensi
 5Pranala luar

Biografi[sunting | sunting sumber]

Nisan tokoh pergerakan Indonesia, Soe Hok Gie.


Soe adalah seorang etnis Tionghoa[3] Katolik Roma. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal
dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Tiongkok. Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam
Sutrawan. Ia anak keempat dari lima bersaudara di keluarganya; kakaknya Arief Budiman, seorang
sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, juga cukup kritis dan vokal dalam politik
Indonesia.
Pendidikan dan karier[sunting | sunting sumber]
Setelah menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di SMA Kolese Kanisius, Soe kuliah di Universitas
Indonesia (UI) dari tahun 1962 sampai 1969; setelah menyelesaikan studi di universitas, ia menjadi
dosen di almamaternya sampai kematiannya. Ia selama kurun waktu sebagai mahasiswa menjadi
pembangkang aktif, memprotes Presiden Sukarno dan PKI. Soe adalah seorang penulis yang
produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian
Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Setelah Riri Riza merilis film
berjudul Gie pada tahun 2005, artikel-artikelnya disusun oleh Stanley dan Aris Santoso yang
diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan oleh penerbit GagasMedia.
Sebagai seorang pendukung hidup yang dekat dengan alam, Soe seperti dikutip Walt
Whitman dalam buku hariannya: "Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah
untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi." Pada tahun 1965, Soe
membantu mendirikan Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Dia menikmati
kegiatan hiking, dan meninggal karena menghirup gas beracun saat mendaki gunung
berapi Semeru sehari sebelum ulang tahun ke 27. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan
Dhanvantari Lubis. Dia dimakamkan di tempat yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti
di Jakarta Pusat.[4]
Soe pernah menulis dalam buku hariannya:
"Test Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua
dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda."
Pernyataan Soe serupa dengan komentar Friedrich Nietzsche, kepada seorang filsuf Yunani.
Buku hariannya diterbitkan pada tahun 1983, dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang
berisi opini dan pengalamannya terhadap aksi demokrasi. Soe dalam tesis universitasnya juga
diterbitkan, dengan judul Di Bawah Lantera Merah.
Buku harian Soe ini menjadi inspirasi untuk film 2005, berjudul Gie, yang disutradarai oleh Riri
Riza dan dibintangi Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie. Soe juga merupakan subjek dari
sebuah buku 1997, yang ditulis oleh Dr John Maxwell yang berjudul Soe Hok Gie-: Diary of a Young
Indonesian Intellectual. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001, dan
berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian
Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-
kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan
dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga skripsi sarjana mudanya
perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah
Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun,
juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan

Anda mungkin juga menyukai