Anda di halaman 1dari 9

gaya kepemimpinan soekarno

Presiden Soekarno, Adalah bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa
membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan
yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai
keindahan.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika
ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok
diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah
percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan
gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber
inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas
ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).
Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama kepemimpinan Presiden Soekarno, akibat
dari adanya kebhinekaan dan pluralitas masyarakat Indonesia serta ketidakpuasan memunculkan
gerakan-gerakan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-
pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
antara lain DI/TII, Permesta dan yang belum terselesaikan sampai dengan saat ini adalah
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Ir. Soekarno adalah
pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi
persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah
kepemimpinannya, ciri kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan
kultus individu. Menjelang akhir kepemimpinannya terjadi tindakan politik yang sangat
bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengangkat Ketua MPR (S) juga.
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik di
dalam negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam,
dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia pasca-
kolonial. Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi kemasyarakatan dan visi tentang
negara merdeka. Ini khususnya ada dalam dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa
kolonialisme kelihatan kokoh secara alamiah dan legal di dunia. Prinsip politik mempersatukan
elite gaya Soekarno adalah "alle leden van de familie aan een eet-tafel" (semua anggota keluarga
duduk bersama di satu meja makan). Dia memperhatikan asal-usul daerah, suku, golongan, dan
juga partai


KRONOLOGIS AKHIR MASA KEPEMIMPINAN SOEKARNO

Redupnya Cahaya Putera Sang Fajar
Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat
bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi mandat kepada Jenderal Soeharto
untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato
Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.
Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat
atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan
pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang
supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah
itu.
Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan
sebagian besar, dikutip dari buku Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996
Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap
Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22
Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara, dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar).
Tanggal 11 Maret 1966

Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar,
yang isinya antara lain: Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto,
Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin
Besar Revolusi.
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan
pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris
MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan
pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain
dengan sebaik-baiknya.
Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya
seperti tersebut diatas.
16 Maret 1966
Pangkopkamtib atas nama Presiden RI mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap
sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu
dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno.
Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut
berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan
pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta
Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi.
Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan
dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal
dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut
mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang
ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi
demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
1-3 Oktober 1966
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka. Mereka
menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian
ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan
korban.


22 Oktober 1966
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada
Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS
No.5/MPRS/1966.
30 Nopember 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi
sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman
Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno
dalam G-30-S/PKI
21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir ke-2), ABRI akan
mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan
menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan
Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau
melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya
menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara
serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang
mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI
Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan.
Isinya antara lain: Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidang-
sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah
timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu:
Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan Presiden dalam
hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. Tuntutan dilaksanakannya
Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966.
10 Januari 1967
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: Untuk
memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-
30.S, maka saya sendiri menyatakan:
G.30.S ada satu complete overrompeling bagi saya.
Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17
Agustus 1966 saya berkata sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula;
Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa Yang bersalah
harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB
Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam
peringatan Isro dan Miradj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:
Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato
pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai
salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI,
berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI,
walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah Gestok(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah
Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang
diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a)
bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab
kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b)
Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium
Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata.
20 Januari 1967
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah
Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain
(poin ke-4): Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang
sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan
kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakan-
tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga
masyarakat lainnya
21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar,
antara lain (poin II), Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional
sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka
Romawi I: Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan
MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan
pertanggungan jawab atas hal-hal yang cabang. Pidato saya yang saya namakan Nawaksara
adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai
semacam progress-report sukarela tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima
terdahulu. Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya
menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara
saja dst.
1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat
R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan
yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain
sebagai berikut: Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang
telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan
SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran
yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN
DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN
harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap
peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan
kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di
dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan
PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya.
9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang
Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan
menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta
meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966
untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk
menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30-
S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan
wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa
MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai
Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan
pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum
ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta
untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.
13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut.
Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan
pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap
Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO
NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./67
TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS
NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS
No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.
19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.
20 Februari 1967
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi
dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini
mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan
kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak
mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS
No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu
dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat,
segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk
terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya
pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas.
Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat
dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan
cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila. Pengumuman
ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris
MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio
Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh
Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR
mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta
penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai
penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan
mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan
mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20
Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan
pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966,
yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS
itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua
MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti
dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah
dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga
dilaksanakannya Pemilu.(sumber: penasoekarno.wordpress.com

ANALISIS
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika
ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok
diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah
percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan
gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber
inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas
ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik di dalam
negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam, dan lain-
lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia pasca-kolonial.
Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi kemasyarakatan dan visi tentang negara
merdeka. Ini khususnya ada dalam dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme
kelihatan kokoh secara alamiah dan legal di dunia. Prinsip politik mempersatukan elite gaya
Soekarno adalah "alle leden van de familie aan een eet-tafel" (semua anggota keluarga duduk
bersama di satu meja makan). Dia memperhatikan asal-usul daerah, suku, golongan, dan juga
parta.
Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat
atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan
pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang
supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah
itu.

Anda mungkin juga menyukai