Anda di halaman 1dari 30

HEMANGIOMA

A. PENDAHULUAN
Hemangioma kapiler merupakan tumor palpebra yang paling sering
ditemukan pada anak. Hemangioma kapiler atau hemangioma strawberry dapat
mengenai kulit pada 10% bayi dan tampaknya lebih sering pada bayi prematur
dan anak kembar. Tumor ini biasanya muncul pada waktu lahir atau segera
sesudah lahir sebagai lesi yang berwarna merah terang, bertambah besar dalam
beberapa minggu hingga bulanan, dan mengalami involusi pada usia sekolah.1,2
Hemangioma merupakan pertumbuhan hamartomatous yang terdiri dari
sel-sel endotel kapiler yang berproliferasi. Hemangioma ditemukan pada fase
awal pertumbuhan aktif pada bayi dengan periode selanjutnya berupa regresi
dan involusi.3
B. ANATOMI
Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresikelenjarnya yang membentuk film air mata di depan
komea. Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk
melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola
mata.4
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di
bagian belakangditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.
Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata
sehingga terjadi keratitis et lagoftalmos.4
Pada kelopak terdapat bagian-bagian:4
-

Kelenjar seperti: kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat,

kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.
Otot seperti: M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak
atas dan bawah, danterletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi
margo palpebra terdapat otot orbikularis okuliyang disebut sebagai M.
Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N.
facial. M. levator palpebra, yang berorigo pada anulus foramen orbita
dan berinsersi padatarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis
1

okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M.
levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Ototini
dipersarafi oleh n. III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata
-

atau membuka mata.


Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan
kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo

palpebra.
Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita

merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan.


Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada
seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan
ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar

Meibom (40 bush di kelopak atas dan 20 pada kelopak bawah).


Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.
Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N.V,
sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat
dengan melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks
menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang
mempunyai sel goblet yang menghasilkan musin.

C. KLASIFIKASI
Secara

histologik

hemangioma

dibedakan

berdasarkan

besarnya

pembuluh darah yang terlibat, menjadi 3 jenis, yaitu:5


1. Hemangioma kapiler yang terdiri atas:
a) hemangioma kapiler pada anak (nevus vasculosus, strawberry nevus)
b) granuloma piogenik
c) cherry-spot (ruby-spot), angioma senilis
2. Hemangioma kavernosum
a) hemangioma kavernosum (hemangioma matang)
b) hemangioma keratotik
c) hamartoma vaskular.
3. Telangiektasis
a) nevus flameus
b) angiokeratoma
c) spider angioma
Dari segi praktisnya, umumnya para ahli memakai sistem pembagian
sebagai berikut:5

1. Hemangioma kapiler
2. Hemangioma kavernosum
3. Hemangioma campuran
Perkembangan dalam karakteristik biologi dari lesi vaskuler telah
merevisi klasifikasi dari hemangioma. Klasifikasi lesi vaskuler yang digunakan
saat ini mampu membedakan dengan jelas gambaran klinis, histopatologi, dan
prognosis antara hemangioma dan malformasi vaskuler. Istilah lama
hemangioma kapiler dan hemangioma strawberry diubah menjadi satu istilah
saja yaitu hemangioma. Sebaliknya, hemangioma kavernosa, port-wine stains,
dan limfangioma merupakan bagian dari malformasi vaskuler. Penamaan ini
telah dimasukkan ke dalam literatur kedokteran tetapi belum digunakan secara
konsisten pada literatur mata.3
D. ETIOLOGI
Sampai saat ini, patogenesis terjadinya hemangioma masih belum
diketahui. Meskipun growth factor, hormonal, dan pengaruh mekanik di
perkirakan menjadi penyebab proliferasi abnormal pada jaringan hemangioma,
tapi penyebab utama yang menimbulkan defek pada hemangiogenesis masih
belum jelas. Dan belum terbukti sampai saat ini tentang pengaruh genetik.6
Vaskularisasi kulit mulai terbentuk pada hari ke-35 gestasi, yang
berlanjut sampai beberapa bulan setelah lahir. Maturasi sistem vaskular terjadi
pada bulan ke-4 setelah lahir.6
Faktor angiogenik kemungkinan mempunyai peranan penting pada fase
proliferasi dan involusi hemangioma. Pertumbuhan endotel yang cepat pada
hemangioma mempunyai kemiripan dengan proliferasi kapiler pada tumor.
Proliferasi endotel dipengaruhi oleh agen angiogenik. Angiogenik bekerja
melalui dua cara:6
1. Secara langsung mempengaruhi mitosis endotel pembuluh darah,
2. Secara tidak langsung mempengaruhi makrofag, mast cell, dan sel T
helper.
Heparin yang dilepaskan makrofag menstimuli migrasi sel endotel dan
pertumbuhan kapiler. Di samping heparin sendiri berperan sebagai agen
angiogenesis. Efek angiogenesis ini dihambat oleh adanya protamin, kartilago,

dan beberapa kortikosteroid. Konsep inhibisi kortikosteroid ini diterapkan


untuk terapi pada beberapa jenis hemangioma pada fase involusi.6
Angioplastin, salah fragmen internal dari plasminogen merupakan
inhibitor potent dan spesifik untuk proliferasi endotel. Makrofag meghasilkan
stimulator ataupun inhibitor angiogenesis. Pada fase proliferasi, jaringan
hemangioma di infiltrasi oleh makrofag dan mast cell, sedangkan pada fase
involusi terdapat infiltrasi monosit.6
Diperkirakan

infiltrasi

makrofag

dipengaruhi

oleh

Monocyte

chemoattractant protein-1 (MCP-1), suatu glikoprotein yang berperan sebagai


kemotaksis mediator. Zat ini dihasilkan oleh sel otot polos pembuluh darah
pada fase proliferasi, tetapi tidak dihasilkan oleh hemangioma pada fase
involusi ataupun malformasi vaskuler. Keberadaan MCP-1 dapat di-downregulasi oleh deksametason dan interferon alfa. Interferon alfa terbukti
menghambat migrasi endotel yang disebabkan oleh stimulus kemotaksis. Hal
ini memberikan efek tambahan interferon alfa dalam menurunkan jumlah dan
aktifitas makrofag. Bukti-bukti di atas menjelaskan efek deksametason dan
interferon alfa pada hemangioma pada fase proliferasi.6
E. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi hemangioma infantil 1- 3% pada neonatus dan 10% pada
bayi sampai dengan umur 1 tahun. Lokasi tersering yaitu pada kepala dan leher
(60%), dan faktor resiko yang telah teridentifikasi, terutama neonatus dengan
berat badan lahir di bawah 1500 gram. Rasio kejadian perempuan dibanding
laki-laki 3:1. Hemangioma infantil lebih sering terjadi di ras kaukasia daripada
ras di Afrika maupun Amerika.6
Lesi hemangioma infantil tidak ada pada saat kelahiran. Seiring dengan
bertambahnya usia, resiko hemangioma infantil, pada usia 5 tahun meningkat
50%, pada usia 7 meningkatkan 70%, dan 90% pada usia 9 tahun. Mereka
bermanifestasi pada bulan pertama kehidupan, menunjukkan fase proliferasi
yang cepat dan perlahan-lahan berinvolusi menuju bentuk lesi yang sempurna.6
F. KLASIFIKASI

Hemangioma dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman kulit yang


terlibat:3
1. Superfisial: muncul hanya pada kulit dan berwarna merah terang.
2. Dalam: muncul hanya pada jaringan subkutaneus yang lebih dalam dan
berwarna kebiruan. (Gambar 1)
3. Campuran: gabungan dari keduanya.
Selain klasifikasi di atas, hemangioma dapat diklasifikasikan berdasarkan
keterlibatan orbita:3
1. Preseptal: kulit dan di depan septum orbita.
2. Intraorbita: di belakang septum orbita.
3. Campuran: gabungan dari preseptal dan postseptal.

Gambar 1. Hemangioma kapiler pada bayi perempuan 2 bulan mengenai


palpebra superior kanan dan orbita dengan pergeseran bola mata dan induksi
kelainan refraksi astigmat 8 D.

Hemangioma terjadi pada 1-3% bayi baru lahir cukup bulan dan lebih
sering pada bayi prematur, perempuan, dan riwayat pengambilan sampel
chorionic villus. Kebanyakan hemangioma secara klinis tidak tampak jelas
pada waktu lahir, dapat tidak tampak atau dapat tampak seperti makula
eritematous atau seperti telangiektasis. Perjalanan penyakitnya berkembang
dengan cepat dan pertumbuhannya lebih dari beberapa bulan pertama
kehidupan, jarang melewati umur 1 tahun. Selama fase ini, lesi dapat
mengalami ulserasi, perdarahan, atau menyebabkan ambliopia yang terjadi
karena astigmat terinduksi atau obstruksi aksis visual. Setelah tahun pertama
kehidupan, lesi biasanya mulai mengecil dengan derajat dan ukuran yang
bervariasi. Anak dan orangtuanya dapat terganggu secara psikologis apabila
terjadi deformitas yang nyata.3

Penyakit sistemik yang berkaitan dengan hemangioma. PHACE(S)


merupakan singkatan dari posterior fossa malformations (Dandy-Walker
malformation), hemangioma, anomali arteri, coartation of the aorta (koartasio
aorta), cardiac defect (kelainan jantung), eye abnormalities (kelainan mata,
termasuk peningkatan vaskuler retina, mikroftalmia, hipoplasia nervus optikus,
eksoftalmus, hemangioma koroid, strabismus, coloboma, katarak, dan
glaukoma), sternal clefting (celah sternum) dan supraumbilical raphe. Sindrom
PHACE(S) harus dipertimbangkan pada setiap bayi yang lahir dengan
hemangioma fasial yang besar, segmental, dan seperti plak yang mengenai 1
atau lebih dermatom (Gambar 2).3,7

Gambar 2. Hemangioma plak pada bayi dengan sindrom PHACE(S).


(Dikutip dari Kepustakaan 3)

Sindrom Kasabach-Merritt merupakan koagulopati trombositopenik


dengan angka kematian yang tinggi (30-50%). Disseminated intravascular
coagulation (DIC) dapat terjadi. Selain itu, dapat terjadi gagal jantung
kongestif high-output. Hal ini disebabkan sekuestrasi platetet dalam lesi
vaskuler yang sekarang dianggap bukan merupakan hemangioma, melainkan
bagian dari 1 dari 2 lesi vaskuler yang jelas, yaitu kaposiform
hemangioendotelioma atau angioma bertumpuk.3,7
Hemangiomatosis neonatal difus merupakan kondisi yang berpotensi
menyebabkan kematian pada bayi, dengan hemangioma kutaneus kecil
multipel yang berhubungan dengan lesi viseral yang mengenai hepar, saluran
cerna, dan otak. Hemangioma ini awalnya tidak bergejala tetapi dapat
menyebabkan gagal jantung dan kematian dalam beberapa minggu. Bayi
dengan lebih dari 3 lesi kutaneus harus diperiksa adanya kemungkinan lesi
viseral.3
Sindrom Maffuci merupakan kelainan genetik yang jarang ditemukan,
dapat mengenai laki-laki maupun perempuan. Sindrom ini dikarakteristikkan
dengan pembesaran jinak kartilago (enkondroma), deformitas tulang, dan
hemangioma berbentuk ireguler dan berwarna gelap. Sekitar 30-37%
enkondroma berkembang menjadi kondrosarkoma. Transformasi malignant
dari lesi vaskuler dapat terjadi tetapi sangat jarang.3
G. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis hemangioma berbeda-beda sesuai dengan jenisnya.
Hemangioma kapiler tampak beberapa hari sesudah lahir. Strawberry nevus
terlihat sebagai bercak merah yang makin lama makin besar. Warnanya
menjadi merah menyala, tegang dan berbentuk lobular, berbatas tegas, dan
keras pada perabaan. Ukuran dan dalamnya sangat bervariasi, ada yang
superfisial berwarna merah terang, dan ada yang subkutan berwarna kebirubiruan. Involusi spontan ditandai oleh memucatnya warna di daerah sentral,
lesi menjadi kurang tegang dan lebih mendatar.8

Hemangioma kavernosa tidak berbatas tegas, dapat berupa makula


eritematosa atau nodus yang berwarna merah sampai ungu. Biasanya
merupakan tonjolan yang timbul dari permukaan, bila ditekan mengempis dan
pucat lalu akan cepat menggembung lagi apabila dilepas dan kembali berwarna
merah keunguan. Lesi terdiri atas elemen vaskular yang matang. Lesi ini jarang
mengadakan involusi spontan, kadang-kadang bersifat permanen.8
Gambaran klinis hemangioma campuran merupakan gabungan dari jenis
kapiler dan jenis kavernosum. Lesi berupa tumor yang lunak, berwarna merah
kebiruan yang pada perkembangannya dapat memberikan gambaran keratotik
dan verukosa. Sebagian besar ditemukan pada ekstremitas inferior dan
biasanya unilateral.8
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ketersediaan alat-alat canggih saat ini memungkinkan pencitraan massa
orbita untuk dibedakan secara non-invasif dalam banyak kasus. Untuk evaluasi
diagnostik pada orbita, CT-Scan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap
tulang, sedangkan MRI terutama untuk jaringan lemak. Selain itu, di tangan
yang berpengalaman, USG juga dapat memberikan informasi penting dalam
diagnosis massa orbita.3
Jika diagnosis hemangioma belum jelas secara klinis, MRI sangat
berguna untuk membedakan hemangioma dari neurofibroma pleksiformis,
malformasi

limfatik,

dan

rhabdomiosarkoma,

dimana

masing-masing

berhubungan dengan pertumbuhan dan proliferasi yang cepat atau proptosis


yang progresif. MRI atau USG Doppler dapat menggambarkan perluasan
tumor ke posterior apabila tidak dapat dipastikan secara klinis.3
I. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
Gambaran

histopatologi

tergantung

dari

stadium

perkembangan

hemangioma. Lesi awal tampak banyak sel dengan sarang-sarang padat sel
endotel dan selalu berhubungan dengan pembentukan lumen vaskuler yang
kecil. Lesi yang terbentuk secara khas menunjukkan saluran kapiler yang
berkembang dengan baik, rata, dan mengandung endotel dengan konfigurasi

lobuler (Gambar 5). Lesi involusi menunjukkan peningkatan fibrosis dan


hyalinisasi dinding kapiler dengan oklusi lumen.2

Gambar 3. A, Eversi kongenital palpebra superior dengan edema, eritema, dan


prolaps konjungtiva supratarsal. Eversi terjadi persisten walaupun telah diberikan
antibiotik maupun steroid topikal. B, Gambaran MRI sagital pada mata yang sakit
menunjukkan adanya hemangioma kapiler pada konjungtiva superior. C,
Penampakan 2 hari setelah injeksi steroid intaslesi; lesi dan eversi palpebra
menghilang.
(Dikutip dari Kepustakaan 3)

Gambar 5. Hemangioma kapiler. A, Bayi dengan hemangioma kapiler multipel.


B, Perhatikan pembuluh darah kapiler berukuran kecil dan proliferasi sel
endotelial jinak
(Dikutip dari Kepustakaan 3)

J. DIAGNOSIS BANDING
Lesi di konjungtiva palpebra dapat didiagnosis banding dengan:
a) Hemangioma kavernosa
Hemangioma kavernosa berupa saluran-saluran vaskuler

besar

berlapiskan endotel dengan otot polos pada dindingnya. Jenis ini timbul
dalam perkembangan, bukan kongenital dan cenderung muncul setelah

dekade pertama. Berbeda dari hemangioma kapiler, umumnya tidak


mengalami regresi.9
b) Kista konjungtiva
Kista konjugtiva merupakan tumor jinak yang berisi cairan serous jernih
yang terdiri dari sel-sel yang lepas atau material gelatin, dapat
disebabkan oleh kongenital (kista primer), trauma pembedahan atau nonbedah, pada pasien keratokonjungtivitis vernal dan pterigium (kista
sekunder). Kista konjungtiva terdiri dari: (1) Kista dermoid yang disusun
oleh epitel pipih berlapis dan berisi jaringan kutan; dan (2) Kista inklusi yang
disusun oleh satu atau dua lapis epitel non keratinin dan berisi sel goblet yang biasanya
terjadi setelah trauma.

Pasien dengan kista konjungtiva biasanya

mengeluhkan rasa tidak nyaman di mata, rasa mengganjal, banyak keluar


air mata, gangguan kosmetik, restriksi gerakan bola mata, gangguan
penglihatan, astigmatisme, lesi desak ruang (space-occupying lesions).
Kista konjungtiva memberikan gambaran klinis seperti benjolan
berdinding tipis, berisi cairan jernih, teraba kenyal.10
c) Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa juga tumbuh lambat dan tanpa rasa sakit,
seringkali berawal sebagai sebuah nodul hiperkeratotik, yang dapat
berulkus. Diagnosis tepat tergantung pada biopsi. Seperti karsinoma sel
basal, tumor ini dapat menyusup dan mengikis jaringan sekitarnya;
mereka dapat pula menyebar ke limfonodus regional melalui sistem
limfatik.9

Gambar 6. Kista Konjungtiva (kiri) dan Karsinoma Sel Skuamosa (kanan)

Selain itu, lesi di palpebra dan sekitarnya dapat didiagnosis banding dengan:

10

a) Nevus
Nevus melanositik di palpebra adalah tumor jinak, biasa disertai dengan
strurktur patologik yang sama dengan nevus di tempat lain. Nevus ini
biasanya kongenital namun mungkin relatif kurang berpigmen saat lahir
dan makin membesar dan tambah gelap pada masa remaja. Nevus jarang
menjadi ganas.9
b) Karsinoma Sel Basal
Karsinoma sel basal merupakan tumor ganas palpebra yang paling sering,
85% dari seluruh jenis tumor. Tumor ini biasanya pada orang dewasa
tetapi dapat pula terjadi pada usia muda. Karsinoma sel basal biasanya
disebabkan karena kulit yang terpapar sinar matahari. Umumnya tumbuh
lambat dan tanpa rasa sakit, berupa nodul yang tidak atau dapat berulkus.
Karsinoma ini secara perlahan menyusupi ke jaringan sekitar namun
tidak bermetastasis.9,11

Gambar 7. Nevus (kiri) dan Karsinoma Sel Basal (kanan)

K. PENATALAKSANAAN
Observasi dilakukan apabila hemangioma berukuran kecil dan tidak ada
risiko terjadinya ambliopia, baik akibat obstruksi aksis visual maupun astigmat
terinduksi.3
Hemangioma yang belum mengalami komplikasi sebagian besar
mendapat terapi konservatif, baik hemangioma kapiler, kavernosa maupun
campuran. Hal ini disebabkan lesi ini kebanyakan akan mengalami involusi
spontan. Pada banyak kasus hemangioma yang mendapatkan terapi konservatif
mempunyai hasil yang lebih baik daripada terapi pembedahan baik secara

11

fungsional maupun kosmetik. Terdapat dua cara pengobatan pada hemangioma,


yaitu:5
Terapi konservatif
Pada perjalanan alamiahnya

lesi hemangioma

akan mengalami

pembesaran dalam bulan-bulan pertama, kemudian mencapai besar maksimum


dan sesudah itu terjadi regresi spontan sekitar umur 12 bulan, lesi terus
mengadakan regresi sampai umur 5 tahun. Hemangioma superfisial atau
hemangioma strawberry sering tidak diterapi. Apabila hemangioma ini
dibiarkan hilang sendiri, hasilnya kulit terlihat normal.8
Terapi aktif
Hemangioma yang memerlukan terapi secara aktif, antara lain adalah
hemangioma yang tumbuh pada organ vital, seperti pada mata, telinga, dan
tenggorokan; hemangioma yang mengalami perdarahan; hemangioma yang
mengalami ulserasi; hemangioma yang mengalami infeksi; hemangioma yang
mengalami pertumbuhan cepat dan terjadi deformitas jaringan.5
Terapi kompresi
Terdapat dua macam terapi kompresi yang dapat digunakan yaitu
continous compression dengan menggunakan bebat elastik dan intermittent
pneumatic compression dengan menggunakan pompa Wright Linear. Diduga
dengan penekanan yang diberikan, akan terjadi pengosongan pembuluh darah
yang akan menyebabkan rusaknya sel-sel endothelial yang akan menyebabkan
involusi dini dari hemangioma.12
Terapi kortikosteroid
Steroid digunakan selama fase proliferatif tumor untuk menghentikan
pertumbuhan dan mempercepat involusi lesi. Steroid dapat digunakan secara
topikal, intralesi, atau sistemik. Krim clobetasol propionate 0,05% topikal
dapat digunakan pada lesi superfisial yang kecil. Injeksi intralesi kombinasi
antara steroid kerja panjang dan kerja singkat sering digunakan pada
12

hemangioma periorbita terlokalisir (sebaiknya digunakan sediaan steroid yang


terbukti dapat digunakan untuk suntikan intralesi). Jika hemangioma difus atau
meluas ke posterior orbita, digunakan steroid sistemik dengan dosis anjuran
prednison atau prednisolon 2-5 mg/kg BB/hari. Terapi dengan kortikosteroid
dalam dosis besar kadang-kadang akan menimbulkan regresi pada lesi yang
tumbuh cepat.3
Steroid dihubungkan dengan banyak komplikasi sehingga perlu
dipertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Supresi adrenal dan retardasi
pertumbuhan dapat terjadi pada semua cara penggunaan, termasuk krim
topikal. Injeksi intralesi berisiko menyebabkan emboli arteri retinalis bilateral,
atrofi lemak subkutan linier, dan depigmentasi palpebra. Imunisasi perlu
ditunda pada anak-anak yang mendapat terapi steroid dosis tinggi. Dianjurkan
untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.3
Kriteria pengobatan dengan kortikosteroid ialah: (1) Apabila melibatkan
salah satu struktur yang vital, (2) Tumbuh dengan cepat dan mengadakan
destruksi kosmetik, (3) Secara mekanik mengadakan obstruksi salah satu
orifisium, (4) Adanya banyak perdarahan dengan atau tanpa trombositopenia,
(5) Menyebabkan dekompensasio kardiovaskular.13
Hemangioma kavernosum yang tumbuh pada kelopak mata dan
mengganggu penglihatan umumnya diobati dengan steroid injeksi untuk
mengurangi ukuran lesi secara cepat, sehingga penglihatan bisa pulih.
Hemangioma kavernosum atau hemangioma campuran dapat diobati bila
steroid diberikan secara oral dan injeksi langsung pada hemangioma.
Penggunaan

kortikosteroid

peroral

dalam

waktu

yang

lama

dapat

meningkatkan infeksi sistemik, tekanan darah, diabetes, iritasi lambung, serta


pertumbuhan terhambat.13
Terapi pembedahan
Indikasi pembedahan tergantung dari ukuran dan lokasi hemangioma
yang akan dieksisi. Karena itu pemeriksaan radiologi dan penunjang lainnya
sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosa secara akurat. Adapun indikasi
dilakukannya terapi pembedahan pada hemangioma adalah: (1) Terdapat tanda13

tanda pertumbuhan yang terlalu cepat, misalnya dalam beberapa minggu lesi
menjadi 3-4 kali lebih besar, (2) Hemangioma raksasa dengan trombositopenia,
(3) Tidak ada regresi spontan, misalnya tidak terjadi pengecilan sesudah 6-7
tahun.12
Eksisi hemangioma periorbita dapat dilakukan dengan mudah pada
beberapa lesi yang terlokalisir dengan baik (Gambar 4). Pada kasus lain,
pembedahan rekonstruksi dapat dilakukan bertahun-tahun setelah terapi
medis.3

Gambar 7. A, Bayi laki-laki usia 5 bulan dengan hemangioma kapiler berbatas


tegas pada palpebra kiri. Refraksi sebelum pembedahan -6.00 +8.00 x 40 o. B, 6
bulan pasca pembedahan, astigmat terinduksi telah membaik dan rekfraksi
menjadi -0.25 +0,25 x 80o
(Dikutip dari Kepustakaan 3)

Embolisasi sebelum pembedahan dapat sangat berguna apabila


hemangioma yang akan dieksisi mempunyai ukuran yang besar dan lokasi yang
sulit dijangkau dengan pembedahan. Embolisasi akan mengecilkan ukuran
hemangioma dan mengurangi resiko perdarahan pada saat pembedahan.12
Terapi radiasi
Pengobatan radiasi pada tahun-tahun terakhir ini sudah banyak
ditinggalkan karena: (1) Penyinaran berakibat kurang baik pada anak-anak
yang pertumbuhan tulangnya masih sangat aktif, (2) Komplikasi berupa
keganasan yang terjadi pada jangka panjang, (3) Menimbulkan fibrosis pada
kulit yang masih sehat yang akan menyulitkan bila diperlukan suatu tindakan.5

14

Terapi sklerotik
Terapi ini diberikan dengan cara menyuntikan bahan sklerotik pada lesi
hemangioma, misalnya dengan namor rhocate 50%, HCl kinin 20%, Nasalisilat 30%, atau larutan NaCl hipertonik. Akan tetapi cara ini sering tidak
disukai karena rasa nyeri dan menimbulkan sikatriks.5
Terapi pembekuan
Aplikasi dingin dengan memakai nitrogen cair. Dianggap cukup efektif
diberikan pada hemangioma tipe superfisial, akan tetapi terapi ini jarang
dilakukan karena dilaporkan menyebakan sikatrik paska terapi.12
Terapi embolisasi
Embolisasi merupakan tehnik memposisikan bahan yang bersifat trombus
kedalam lumen pembuluh darah melalui kateter arteri dengan panduan
fluoroskopi. Embolisasi dilakukan apabila modalitas terapi yang lain tidak
dapat dilakukan atau sebagai persiapan pembedahan. Pembuntuan pembuluh
darah ini dapat bersifat permanen, semi permanen atau sementara, tergantung
jenis bahan yang digunakan. Banyak bahan embolisasi yang digunakan, antara
lain methacrylate spheres, balon kateter, cyanoacrylate, karet silicon, wol,
katun, spon gelatin, spon polyvinyl alcohol.12
Terapi laser
Penyinaran

hemangioma

dengan

laser

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan pulsed-dye laser (PDL), dimana jenis laser ini dianggap efektif
terutama untuk jenis Port-Wine stain. Pulsed-dye laser dapat digunakan untuk
mengobati hemangioma superfisial dengan beberapa komplikasi, tetapi berefek
kecil terhadap komponen tumor yang lebih dalam. Jenis laser ini memiliki
keuntungan bila dibandingkan dengan jenis laser lain karena efek keloid yang
ditimbulkan minimal.8

15

Terapi interferon
Interferon alfa 2a, walaupun efektif, telah dihubungkan dengan efek
samping yang tidak dapat ditolerir dan biasanya digunakan untuk tumor yang
berat atau mengancam jiwa.3
Terapi interferon bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan sel
endotel. Rekombinan interferon alfa 2a atau 2b merupakan terapi lini kedua
pada hemangioma yang sangat besar dan berbahaya. Indikasi dari penggunaan
terapi interferon adalah: (1) tidak adanya respon setelah terapi dengan
kortikosteroid, (2) adanya kontraindikasi pemberian terapi kortikosteriod
jangka panjang secara parenteral, (3) adanya komplikasi yang timbul pada
pemberian kortikosteroid, (4) adanya penolakan dari orang tua terhadap terapi
dengan kortikosteroid.14
Pada

anak-anak

yang

sebelumnya

telah

mendapatkan

terapi

kortikosteroid, pada pemberian terapi interferon ini dosis dari kortikosteroid


harus segera diturunkan. Dosis dari interferon adalah 2-3 mU/m 2, disuntikan
subkutan satu kali sehari. Dosis dari interferon ini harus selalu disesuaikan
dengan pertambahan berat anak untuk mencegah proliferasi dari sel endotel.
Prosentasi keberhasilan dari terapi ini adalah 80% dan dapat terlihat setelah 610 bulan dilakukan terapi. Terapi dengan interferon dianggap sangat efektif
pada penderita-penderita yang mengalami Sindrom Kassabach-Merritt.14
Anak-anak yang diterapi dengan injeksi interferon akan mengalami
demam selama 1-2 minggu pada awal terapi. Pemberian asetaminofen 1-2 jam
sebelum terapi dapat mengurangi gejala. Terapi ini dapat menimbulkan
komplikasi berupa peningkatan serum transaminase, neutropeni dan anemia
yang bersifat sementara.14
Kemoterapi
Vincristine merupakan alternatif yang dapat dipertimbangkan tetapi
masih dalam penelitian. Vinkristin merupakan terapi lini kedua lainnya yang
dapat digunakan pada anak-anak yang tidak berhasil diterapi dengan
kortikosteroid dan juga dianggap efektif pada anak-anak yang menderita
Sindrom Kassabach-Merritt. Vinkristin diberikan secara intravena dengan
16

angka keberhasilan lebih dari 80%. Efek samping dari terapi ini adalah
peripheral neuropathy, konstipasi dan rambut rontok. Siklofosfamid jarang
digunakan pada tumor vaskuler yang jinak karena mempunyai efek toksisitas
yang sangat besar.8,12
Terapi lainnya
Kini propanolol telah banyak digunakan sebagai terapi untuk
hemangioma dan tampaknya efektif.3
L. KOMPLIKASI
Morbiditas hemangioma mata sangat bergantung dari seberapa besar
ukurannya mengisi rongga mata. Komplikasi yang paling sering dari
hemangioma adalah ambliopia deprivasi pada mata yang terkena jika lesi
cukup besar untuk menghalangi aksis visual. Hal ini dapat ditemukan pada 4360% pasien dengan hemangioma palpebra. Jika lesi cukup besar untuk
menyebabkan distorsi kornea dan astigmat, maka ambliopia anisometrik dapat
terjadi.1,2,3
Selain itu, perdarahan juga merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi. Penyebabnya ialah trauma dari luar atau ruptur spontan dinding
pembuluh darah karena tipisnya kulit di atas permukaan hemangioma,
sedangkan pembuluh darah di bawahnya terus tumbuh.12
Ulkus dapat menimbulkan rasa nyeri dan meningkatkan resiko infeksi,
perdarahan dan sikatrik. Ulkus merupakan hasil dari nekrosis. Ulkus dapat juga
terjadi akibat ruptur.12
M. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis bergantung pada letak tumor, komplikasi serta
penanganan yang baik. Hemangioma kecil atau hemangioma superfisial dapat
hilang sempurna dengan sendirinya.12

17

PTERIGIUM
A. PENDAHULUAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterigium akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata.
Pterigium bisa sangat bervariasi mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak
begitu jelas sampai yang sangat besar sekali, dan juga jejas fibrovaskular yang
tumbuh sangat cepat dan dapat merusak topografi kornea dan dalam kasus
yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari
kornea.4,15
Di Amerika Serikat, kasus Pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah diatas 400 lintang utara sampai 5-15 % untuk daerah
garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang
prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevansi yang terkena penyinaran
ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Di dunia, hubungan
antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relatif terjadi
peningkatan untuk daerah dibawah garis balik lintang utara.15,16
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi paling tinggi terdapat di
daerah khatulistiwa. Pterigium juga sering ditemukan pada laki-laki
dibandingkan wanita dan umumnya mengenai orang-orang yang memiliki
aktivitas di luar ruangan.

Prevalensi pterigium juga meningkat dengan

bertambahnya usia. Insiden pterigium paling banyak ditemukan pada usia 2040 tahun.15,16

18

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 1. Anatomi Bola Mata.


Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga
lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan-lapisan tersebut adalah:4
1. Sklera/kornea
2. Koroid/badan siliar/iris, dan
3. Retina
4. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di
sebelah luar, sklera yang membentuk bagian putih.
5. Di anterior (ke arah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan
tempat lewatnya berkas-berkas cahaya ke anterior mata.
6. Lapisan tengah dibawah sklera adalah koroid yang sangat berpigmen dan
mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk member makan retina.
7. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas
lapisan yang sangat berpigmen disebelah luar dan sebuah lapisan saraf
didalam.
8. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang
mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf.
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

19

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan


dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan
epitel kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior
kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan
membugkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.4
Konjungtiva palpebralis mendapat suplai darah dari arteri palpebra
sedangkan konjungtiva bulbaris mendapat suplai darah dari arteri siliaris
anterior cabang dari arteri oftalmikus. Persarafan sensorik di control oleh
lakrimal, supraorbita, infraorbiatal cabang dari nervus trigeminus cabang
oftalmikus. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di
fornices dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan
bola mata bergerak dan memperbesar konjungtiva sekretorik (duktus-duktus
kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris
melekat longgar dengan capsula tenon dan sklera dibawahnya kecuali limbus.16
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya
sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke sklera
di limbus, lekuk melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis.
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm ditengah, sekitar 0,65 mm
di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm dari anterior dan posterior, kornea
mempunyai lima lapisan yang berbeda: lapisan epitel (yang bersambung
dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan bowman, stroma,
membrane descemet dan lapisan endotel. Sumber nutrisi untuk kornea adalah
pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquos, dan air mata. Kornea
superficial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf
sensorik kornea didapatkan dari percabangan pertama n. trigeminus
(oftalmika).16
C.

ETIOLOGI
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga
merupakan suatu fenomena iriatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan
lingkungan dengan angin yang banyak. Pterigium banyak dijumpai di daerah
yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau

20

anginnya besar sehingga kemungkinan pencetusnya adalah rangsangan dari


udara panas, juga bagi orang yang sering berkendara motor tanpa helm penutup
atau kacamata pelindung, nelayan, dan petani. Penyebab paling umum adalah
eksposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata.
Ketika mata terus menerus terkena sinar ultraviolet, konjungtiva akan menebal
sama seperti proses terbentuknya calus pada kulit. Sebuah kecenderungan
genetik untuk pengembangan pterigium tampak ada dalam keluarga
tertentu.16,17
D. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet,
kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya.
UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor
suppressor gene pada stem sel di basal limbus. Pelepasan yang berlebih dari
sitokin seperti transforming growth factor beta (TGF-) dan vascular
endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan penting dalam peningkatan
regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis. Selanjutnya terjadi perubahan
patologi yang terdiri dari degenerasi kolagen elastoid dan adanya jaringan
fibrovaskular supepithelial. Pada kornea nampak kerusakan pada membrane
bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering kali
disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal, tebal atu tipis dan
kadang-kadang terjadi dysplasia.18
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskuler, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi

kolagen

abnormal

pada

daerah

degenerasi

elastotik

menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin memperlihatkan adanya


basofil.15
E. MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang mengalami pterigium dapat tidak menunjukkan gejala
apapun (asimptomatik). Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan
berupa iritasi, perubahan tajam penglihatan, sensasi adanya benda asing atau
fotofobia. Penurunan tajam penglihatan dapat timbul bila pterigium
menyeberang axis visual atau menyebabkan meningkatnya astigmatisme.15
21

Penderita dengan pterigium biasanya datang untuk pemeriksaan mata


lainnya, seperti kaca mata dan tidak mengeluhkan adanya pterigium; tetapi ada
pula yang datang dengan mengemukakan adanya sesuatu yang tumbuh di atas
korneanya. Keluhan yang dikemukakan tersebut didasarkan rasa khawatir akan
adanya keganasan atau alasan kosmetik.4,15
F. JENIS DAN STADIUM
Jenis Pterigium:16
1. Tipe vaskuler : pterigium tebal, merah, progresif biasanya ditemukan
pada anak muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah).
2. Tipe membranaceus : pterigium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah
biasanya terdapat pada orang tua.
Stadium Pterigium:16
-

Stadium I

: belum mencapai limbus

Stadium II

: sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil

Stadium III : sudah mencapai pupil

Stadium IV : sudah melewati pupil

Gambar 2. pterigium stadium 1

Gambar 3. pterigium stadium 2

Gambar 4. pterigium stadium 3

Gambar 5. pterigium stadium 4

G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula (pterigium stadium I)
dan pseudopterigium (pterigium stadium II dan III). Pinguekula merupakan

22

benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang
matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin
panas. Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul,
terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastik kuning, jarang bertumbuh
besar, tetapi sering meradang.4
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak
kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering
dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya
berbentuk oblik. Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi
jam 3 atau jam 9.18

Gambar 6. Pingekula

`
Gambar 7. Pseudopterigium

23

Tabel 1. Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium


(Dikutip dari Kepustakaan 4, 17)
Pterigium

Pseudopterigium

Etiologi

Proses degenerasi

Proses inflamasi

Umur

Sering terjadi pada orang Terjadi pada semua umur

Lokasi

tua
Pada konjungtiva nasal Dapat terjadi pada semua

Stadium

atau temporal
Progresif, regresif

Tes sondase

stationer
Negatif

sisi dari konjungtiva


atau Biasanya stasioner
Positif

H. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih
muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata
dekongestan. Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau
dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya
astigmisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan.16
Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu dan udara
kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata
buatan dan bila perlu dapat diberi steroid.4,15
Tindakan operatif
Indikasi tindakan operatif:16
1.

2.

Menurut Ziegler
-

Mengganggu visus

Mengganggu pergerakan bolamata

Berkembang progresif

Mendahului suatu operasi intraokuler

Kosmetik , di depan apeks pterigium terdapat grey zone

Menurut Guilermo Pico


-

Progresif

Mengganggu visus
24

Mengganggu pergerakan bola mata

Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti pengggunaan


sinar radiasi atau terapi lainnya untuk mencegah kekambuhan seperti
mitomycin C.17
Teknik-teknik pembedahan:17
1. Bare sclera : tidak ada jahitan, benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.
Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk
lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior,
dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa dilakukan
pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi lokal, bila perlu
diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien
biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau
salep mata antibiotik atau antinflamasi.15

25

Gambar 8. Jenis-jenis operasi pterigium


a. Bare sclera
b. Simple closure
c.

Sliding flap

d. Rotational flap
e. Conjungtival graft

I.

KOMPLIKASI
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:15
-

Distorsi dan atau reduksi penglihatan sentral


Kemerahan

26

Iritasi
Luka kronik pada conjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas pada otot extraocular dan memberi kontribusi
terjadinya diplopia, pada pasien yang belum mengalami insisi bedah
sebelumnya, luka pada otot rectus medial adalah penyebab paling sering
dari diplopia, pada pasien yang telah menjalani insisi bedah, luka dan
disinsersi dari otot rectus medial adalah penebab diplopia yang terjadi.

J.

PROGNOSIS
Prognosis visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik.
Prosedur dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan disamping rasa tak
nyaman pada hari- hari pertama post-operatif, pasien bisa melanjutkan aktivitas
secara penuh dalam 48 jam.15

PTERIGIUM REKUREN
Disebut juga pterigium sekunder/pterigium residif. Disebut rekuren bila timbul
kembali dalam waktu 7 hari-6 bulan post operasi. Bukan merupakan suatu pterigium
yang benar-benar rekuren, lebih tepat disebut pterigium sekunder. Insidensnya 3050%.
Autograft konjungtiva pada sel benih limbus adalah teknik pembedahan yang
paling banyak digunakan saat ini untuk mengatasi adanya pterigium rekuren, namun
seringkali teknik ini saja tidak cukup untuk mengatasi seringnya kekambuhan setelah
dilakukannya pembedahan. Salah satu cara yang paling banyak direkomendasikan
adalah dengan tehnik intraoperatif dengan menggunakan Mitomycin C. Mitomycin C
adalah antimetabolit yang telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai
pengobatan glaukoma. Ternyata bahan ini juga dapat mengatasi pterigium yang
kambuh setelah pembedahan.16
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Frucht-Pery dkk (1999) dilakukan
untuk mengetahui efektifitas pemberian Mitomycin C secara intraoperatif dalam
pembedahan pterigium. Metode penelitian: Efektifitas pemberian Mitomycin C
secara intraoperatif dan kekambuhan post-operatif dinilai pada 17 pasien dengan dua
pasien diantaranya mengalami kekambuhan pterigium. Para peneliti menggunakan
tehnik bare sclera dan meletakkan spons steril yang dicelupkan ke dalam larutan

27

Mitomycin C 0,02% intraoperatif dalam ruangan episklera selama 3 menit.


Kelompok kontrol (15 pasien) hanya menjalani eksisi bedah saja. Pasien kemudian
dimonitor selama 21 sampai 30 bulan. Hasil penelitian adalah pterigium menglami
kekambuhan pada satu (5,9%) dari 17 pasien dalam kelompok pertama dan sebanyak
6 pasien (40%) juga mengalami kekambuhan pada kelompok kontrol. Analisis
statistik dengan menggunakan test Fisher menunjukkan adanya pengurangan angka
kekambuhan yang signifikan (p=0,027) pada kelompok yang diberikan Mitomycin C
intraoperatif. Tidak terdapat komplikasi atau efek samping selama periode follow-up.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Mitomycin C dapat diberikan secara
intraoperatif dan merupakan teknik yang efektif untuk meningkatkan angka
keberhasilan eksisi bedah pada pterigium.16
Eksisi

sederhana menunjukkan rekurensi

sekitar 50-80%. Sementara eksisi

dengan autograft limbal/konjungtival atau dengan transplantasi membran amnion


akan mengurangi angka rekurensi sekitar 5-15%.15

28

DAFTAR PUSTAKA

1.

Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Dermal Neoplasms. In: Skuta GL, Cantor
LB, Weiss JS. Basic and Clinical Science Course: Ophthalmic
Pathology and Intraocular Tumors 2011-2012. Singapore: American

2.

Academy of Ophthalmology; 2011. p. 219-20.


Ellis FJ. Capillary Hemangioma. In: Wilson ME, Saunders RA, Trivedi RH.
Pediatric Ophthalmology: Current Thoughts and Practicle Guide.

3.

Leipzig. Springer; 2009. p. 265-7.


Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Benign Tumors. In: Skuta GL, Cantor LB,
Weiss

JS.

Basic

and

Clinical

Science

Course:

Pediatric

Ophthalomology and Strabismus 2011-2012. Singapore: American


4.

Academy of Ophthalmology; 2011. p. 338-41.


Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. Hal: 1-2,

5.

116-7.
Hamzah M. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit

6.

FKUI; 2005. Hal 242-4


Marchuk DA. Pathogenesis of Hemangioma. Journal Clinical Investigations

7.

Vol.107; 2001.
Seiff S. Capillary Hemangioma. [online]. 2009. [cited 10 May 2012].
Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/1218805-

overview#showall
8.

Mulliken J.B. Vascular Anomalies. In: Aston S, Beasley R, Thorne C, Editors.


Grabb and Smiths Plastic Surgery. 5th ed. Philadelphia : LippincotRaven Publ; 1997. p. 191-200

9.

Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2000. Oftamologi Umum Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika. Hal 88-9, 123.

10. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Inclusion Cysts od The Epithelium. In: Skuta
GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Clinical Science Course: External
Disease and Cornea 2011-2012. Singapore: American Academy of
Ophthalmology; 2011. p. 225-6.
11. Gunduz K, Esmaeli B. Diagnosis and Management of Malignant Tumors of
the Eyelid, Conjuctiva, and Orbit. [online]. 2008. [cited 20 May 2012].
29

Available

from:

http://www.arabmedmag.com/issue-01-04-2008/

ophtalmology/main02.htm
12. Oski F, Deangelis C, Feigen R. Hemangioma. In: Julia A. McMillan,
Catherine D. Deangelis, Ralph D, editors. Principle and Practice of
Pediatrics. 2nd edition. Philadelphia : WB Saunders Co; 1999. p.802-12
13. Hasan Q, Tan T.S, Gush J, Peters S, Davis P. Steroid Therapy of a
Proliferating Hemangioma: Histochemical and Molecular Changes. J
Pediatr 2000; 105: 117-20.
14. Greinwald JH Jr, Burke DK, Bonthius DJ, Bauman NM, Smith RJ. An update
on the treatment of hemangiomas in children with interferon alfa-2a.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1999; 125:21-7.
15. Fisher, Jerome P. Pterygium. [online]. 2011. [cited 10 May 2012]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
16. Drakeiron. Pterygium. [online]. 2009. [cited 10 May 2012]. Availble from :
http://drakeiron.wordpress.com/2008/12/15/info-pterygium/
17. American Academy of Ophthalmology. 2008. Clinical Approach to
Depositionsand Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and
Sclera Chapter 17. In: External Disease and Cornea. Singapore:
Lifelong Education Ophthalmologist. p. 366.
18. Khurana AK. Disease of The Conjungtiva. In: Comprehensive Opthalmology
4th edition. New Delhi: New Age International. 2007. P. 80-82.

30

Anda mungkin juga menyukai