Anda di halaman 1dari 45

PARAPARESE INFERIOR LESI UMN

I.

DEFINISI

Paraparese inferior lesi Upper Motor Neuron (UMN) adalah kelemahan


kedua anggota gerak bawah yang disebabkan oleh gangguan pada proyeksi
korteks ke V neuron korteks serebri yang mengatur gerakan volunter melalui jaras
piramidal dan ekstrapiramidal.
II.

KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan Onset :


Paraparese inferior lesi tipe UMN :
- Akut :
Infeksi non spesifik (ex:myelitis transversa).
Trauma (ex: kontusio, whisplash injury).
Tumor (tu tumor ganas & metastasis)
- Kronik :
Infeksi spesifik (TBc)
Tumor (tu tumor jinak).
Penyakit Degeneratif.

TUMOR MEDULLA SPINALIS


A. DEFINISI
Tumor Medulla spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi
pada daerah cervica l pertama hingga sacral.
B. KLASIFIKASI
Tumor ini dapat dibedakan atas :
A.Tumor primer:
1) jinak
a) Osteoma dan kondroma berasal dari tulang
b) Neurinoma (Schwannoma) berasal serabut saraf
c) Meningioma berasal dari selaput otak
d) Glioma, Ependinoma berasal dari jaringan otak.
2) ganas
a) Astrocytoma, Neuroblastoma, yang berasal dari jaringan saraf.
b) sel muda seperti Kordoma.
B. Metastasis Ca. mamae, prostat,
Berdasarkan letak :
Intradural - ekstramedular
Intradural - intramedular
Ekstradural
C. EPIDEMIOLOGI
Tumor primer medula spinalis 10%-19% dari total tumor SSP dan
insidennya meningkat seiring dengan umur.
Meningioma >> pada wanita.
Ependymoma >> laki-laki.
70% intradural ekstramedular
30% intradural intramedular.

D. DIAGNOSIS
Gejala-gejala gangguan MS yang disebabkan oleh tumor MS mempunyai
karakteristik SBB :

Gangguan fungsi motorik : kelumpuhan otot, tanda gangguan piramidal.

Gangguan sensorik distal, awal penyakit tidak jelas batasnya.

Gangguan urinaria.

gangguan sensorik radikuler (meyebar)

hilangnya refleks superfisial & regleks tendon.

Nyeri skiatika

deformitas kolumna vertebralis

X-Foto : destruksi tulang, pelebaran kanalis servikalis, destruksi processus


spinosus, hemangioma vertebralis.

LP : kadar protein sangat tinggi (SINDROM FRUIN)

Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos
Foto polos tulang belakang berguna untuk skrining, memperlihatkan kelainan
pada 90 % pasien dengan tumor sekunder kolom tulang belakang. Evaluasi foto
polos harus termasuk penilaian :
1. Perubahan tulang kualitatif (litik, blastik, sklerotik). Kebanyakan
metastasis spinal memperlihatkan perubahan osteolitik. Perubahaan
sklerotik atau osteoblastik paling sering terjadi pada metastasis dari
payudara atau prostat.
2. Daerah yang terkena (elemen posterior, pedikel, badan tulang belakang).
Tidak lazim metastasis spinal mengenai hanya elemen posterior (spine dan
lamina). Lebih sering fokus tumor berlokasi di badan tulang belakang,
menyebabkan kompresi kantung dural serta isinya dari depan. Paling
sering, metastasis spinal mengenai dari lateral, didaerah pedikel, dan
meluas keanterolateral dan keposterolateral. Erosi pedikel lebih dini dan

paling sering kelainannya tampak pada foto polos tulang belakang pasien
dengan metastasis spinal. Radiograf anteroposterior tulang belakang
biasanya menampilkan totem of owls. Erosi pedikel menimbulkan tanda
winking owls; erosi pedikel bilateral menampilkan tanda blinking
owl.
3. Temuan lain (bayangan jaringan lunak paraspinal, tulang belakang yang
kolaps, fraktura dislokasi patologis, dan mal alignment). Daerah erosi
pedikel sering bersamaan dengan bayangan jaringan lunak paravertebral.
Hilangnya integritas struktural bisa menyebabkan kolaps tulang belakang
dengan kompresi baji. Destruksi lebih lanjut badan tulang belakang bisa
berakibat fraktura dislokasi patologis. Fraktura dislokasi patologis paling
sering terjadi didaerah servikal, dimana pergerakan leher luas, posisi
tergantungnya kepala, dan hilangnya sanggaan rangka iga, semua berperan
menempatkannya pada risiko integritas struktural kolom spinal dan
alignment anatomik kanal spinal.
Sken Tulang
Menggunakan radioisotop, bisa memperlihatkan adanya tumor spinal
metastatik pada tahap lebih awal dibanding foto polos. Diduga 50-75 % ruang
meduler vertebral tergantikan sebelum perubahan radiografik tampak. Namun
sken tulang relatif tidak spesifik. Perubahan degeneratif dan infeksi, seperti tumor
spinal, menyebabkan take

positif. Kegunaan sken tulang adalah untuk

menunjukkan adanya pertumbuhan skeletal multipel.


Mielografi
Dimasa lalu merupakan standar untuk menunjukkan lokasi dan tingkat
kord spinal dan akar saraf yang terganggu tumor spinal. Tumor spinal ekstradural,
intradural ekstrameduler dan intrameduler dibedakan dengan pola khas
mielografik. Deviasi kolom kontras menunjukkan asal (anterior, lateral, posterior)
massa penekan. Bila tingkat blok total ditemukan dengan mielografi lumbar
adalah berbeda dengan penilaian klinis, mielografi sisternal harus dilakukan untuk
menentukan perluasan lesi soliter atau untuk menentukan tingkat yang lebih

proksimal yang terkena. MRI sudah menggantikan mielografi sebagai prosedur


diagnostik.
Tomografi Aksial Terkomputer (CT scanning)
Berguna menampilkan distribusi tumor spinal, pergeseran kord spinal dan
akar saraf, derajat destruksi tulang, dan perluasan paraspinal dari lesi dalam
dataran horizontal. Juga efektif membedakan kelainan degeneratif jinak tulang
belakang dari lesi neoplastik.
Mgnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan terpilih untuk tumor spinal termasuk metastasis. MRI
memungkinkan penampilan kolom spinal menyeluruh dalam potongan sagital
untuk memastikan tingkat terbatas yang terkena, penyebaran tumor berdekatan
pada tingkat multipel, atau fokus tumor berbeda pada tingkat multipel.
Rekonstruksi horizontal dan koronal memberikan informasi penting atas geometri
tumor, berguna dalam merencanakan operasi dekompresi, juga memberi data
mengenai integritas penulangan tulang belakang, penting dalam memutuskan
rekonstruksi tulang belakang.
MRI mungkin kontra indikasi pada pasien dengan prostetik dan implant,
dimana disini dilakukan mielografi disertai CT.
E. PENGELOLAAN
Tumor Jinak
Tindakan atas neurilemmoma, neurofibroma dan meningioma adalah reseksi
bedah yang biasanya dapat dilakukan lengkap. Terapi radiasi tidak diindikasikan.
Tumor Metastasis
Dirancang untuk mengurangi nyeri dan untuk mempertahankan atau memperbaiki
fungsi neurologis. Sasaran realistik adalah palliasi. Namun mengurangi nyeri serta

menjaga atau memulihkan fungsi neurologis berperan tidak ternilai dalam


menjaga kualitas sisa hidup penderita kanser dan mengurangi kesulitan perawatan.

Tindakan radiasi, bedah atau kombinasinya tetap kontroversi. Radioterapi biasa


dipikirkan sebagai terapi inisial bagi kebanyakan pasien dengan tumor spinal
sekunder radiosensitif yang bergejala dengan tanpa defisit neurologis atau
minimal, terutama efektif untuk lesi limforetikuler. Operasi dipikirkan sebagai
pilihan terakhir. Indikasi operasi biasanya adalah gagal atas radiasi, diagnosis
tidak diketahui, fraktur/dislokasi patologis dan paraplegia yang berlangsung cepat
atau sudah berjalan lanjut.
F. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan metastasis spinal simptomatis bervariasi. Keluaran
tindakan tergantung beratnya defisit, lamanya gejala, jenis tumor, lokasi tumor
dan derajat penyakit.

SPONDILITIS TUBERCULOSA
Spondilitis tuberculosa (Tb) merupakan salah satu penyakit tertua yang
telah didokumentasikan disaat zaman besi dan mumi kuno di mesir dan peru pada
tahun 1779 oleh percivall pott tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882,sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 5
tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia
ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering.
Setelah ditemukannya obat anti Tb dan berkembangnya kualitas

kesehatan

masyarakat, penyakit spondilitis Tb ini mulai jarang ditemukan di negara maju


namun angka penyakit ini masih tinggi di negara berkembang.

Penyakit ini

memiliki potensi morbiditas yang cukup serius meliputi defisit neurologi


permanent dan deformitas. Terapi dengan obat-obatan atau kombinasi terapi
dengan operasi dapat mengontrol penyakit ini pada sebagian besar penderita.
A. DEFINISI
Spondilitis Tb atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulang
belakang yang disebabkan oleh kuman tbc. Infeksi umumnya mulai dari korpus
vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah yang
paling sering terkena, berturut-turut ialah daerah torakal terutama bagian bawah,
daerah lumbal dan servikal 1 - 4. Akibat perkejuan akan terbentuk abses yang
dapat meluas ke sekitamya dan mencari jalan keluar. Paling sering mengikuti fasia
otot psoas, berkumpuldalam fosa iliaka sampai terjadi fistel kulit.
B. EPIDEMIOLOGI
Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan
mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di
Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan
masalah utama. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit

ini mengalami peningkatan pada populasi imigran,tunawisma lanjut usia dan pada
orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest
Diseases Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum
alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar
terkena penyakit ini.
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama
mengenai dewasa, dengan usia

rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan

Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20
tahun). Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat
terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight
bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering
terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang
belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang
panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan
tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan
penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik(7). Insidensi
paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa
pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang
ditemukan keadaan ini.

C. FAKTOR RESIKO
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan
hingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai
kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam
bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang
berasal dari penyebaran secara hematogen.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam
mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah
penyebaran penyakit di paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi
pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi
ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak
usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara
pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan
menurunkan resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya
tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau
immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya
malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.

6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau
Amerika asli, mempunyai mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap
penyakit ini.
D. PATOFISIOLOGI
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui
jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar
tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat
bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem
pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang
belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa
penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian
bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui
pleksus Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan
banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih
70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari
vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi
ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior,
melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah
ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus
intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan
oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang
jauh melalui abses paravertebral.
Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang
baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular

10

sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus


intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke
dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya
corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,
sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga
akan

semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan

tulang
menjadi nekrosi.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian
tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan
berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi
intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul
deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung
dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah
timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini
sudah meluas.
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang
normal di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar
lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior
sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya
bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat
badan disalurkan melalui prosesus artikular.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya
fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan
fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra
yang kolap.
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus.
Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan
perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui
korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold
abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang

11

bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi
aslinya.
E. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan
pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain. sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di
atas

dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped

karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini
diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui
abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya
perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
(4) Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral

12

posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemenposterior tidak diketahui


tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
F. DIAGNOSA
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor.

Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan

berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu


diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun sebagian besar kasus didiagnosa
sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat

malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan


malam hari serta cachexia.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas
akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di
bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian
perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk
mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk
dalam

posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan

lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan
timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa

13

nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak


pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal
notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor
respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi atlantoaksial
karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab
kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini
perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa
di regio servikal (Lal et al. 1992).
6. Di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila

berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi


panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test).
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak
yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar
melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi
panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi
dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas
paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang

belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan


dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit
neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia
pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan
servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak
bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang
spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.

14

10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan
nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari
pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut
disebabkan karena tuberkulosa.
11. Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia

yang dikenal dengan nama Potts paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul
secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari
kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada
penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya
terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus)
dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.
Palpasi
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan
abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa
iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar
dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi
destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena
Perkusi
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein

Derivative (PPD) positif.

15

Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),


sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru yang
aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif.
Tes

darah

untuk

titer

anti-staphylococcal

dan

anti-streptolysin

haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang


sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk
menyingkirkan diagnosa banding.
Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa).
Xantokrom, Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal,
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen
and Parsons 1970; Traub et al 1984).

Kandungan protein meningkat.

Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat
kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan. Kandungan protein cairan
serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 14g/100ml.
Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes

konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa
dan tahap infeksi.

2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
F oto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8
minggu onset penyakit.

16

Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut
sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan,
serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena
penyebaran infeksi dari area subligamentous.Infeksi tuberkulosa jarang
melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus.

Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya


deformita scoliosis (jarang)

Pada pasien dengan deformitas gibbus yang sudah lama akan tampak
tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (
long vertebra atau tall vertebra)

Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan


psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular
dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan
lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi
pada saat penyembuhan.

3. Computed Tomography Scan (CT)


Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga
yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti
pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang.
Bermanfaat untuk

membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan

bersifat konservatif atau operatif dan membantu menilai respon terapi.


Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal.
mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan
pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)
(berhasil pada 50% kasus).

17

6. Aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari


basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam
guinea babi.
G. KOMPLIKASI
Cedera corda spinalis (spinal cord injury).

Dapat terjadi karena adanya

tekanan ekstradural sekunder karena pus

tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh :


Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan
korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis
prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi
paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal
kedalam pleura.
H. MANAJEMEN TERAPI
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis.
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa
terbagi menjadi :
Terapi konservatif
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa. Obat anti tuberkulosa yang
utama adalah :
-

Isoniazid (INH) dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari

Rifampin (RMP) dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.

Pyrazinamide (PZA) dosis : 15-30mg/kg/hari

Ethambutol (EMB) dosis : 15-25 mg/kg/hari

Streptomycin (STM) dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari

18

Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),


ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Peran steroid pada terapi
medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini membantu
pasien yang terancam mengalami spinal block disamping mengurangi oedema
jaringan (Ogawa et.al 1987). Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus
selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium
secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest. Istirahat dapat dilakukan
dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi
terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan
untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih
lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai
keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan
laboratorium.

Terapi Operatif

Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang


mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang
mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya
kelainan neurologis. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu
pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)
dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling
efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi
pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi
dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas,
operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

19

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase


4. penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau
kifosis berat.
5. Penyakit yang rekuren.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.

I.

PROGNOSA

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia


dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis
serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi
kosmetis

secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit

neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi


paru.
d.Defisit neurologis.
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik
secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis
membaik dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasaf.
f. Fusi

20

Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan
permanen spondilitis tuberkulosa.

DAFTAR PUSTAKA
Mardjono M, dkk, Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 1988.
De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah ed 4 . Philadelphia : Harper & Row
Hangersteron, 1979
Diakses dari www. Pustakaunpad.ac.id pada tanggal 6 juli 2010.
Diakses dari www.wikipedia.com pada tanggal 6 juli 2010.
Diakses dari www.residenneurologi.multiply.com

21

ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Arfison

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 39 tahun

MR

: 698051

Tanggal Masuk

: 21 Juni 2010

Anamnesis
Seorang pasien laki-laki umur 39 tahun dirawat di bangsal Syaraf RS Dr.
M. Djamil Padang tanggal 21 Juni 2010 dengan :
Keluhan Utama : lemah tungkai kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang :

Lemah tungkai kiri semakin berat sejak 2 minggu yang lalu dan tidak bisa
berjalan.

Awalnya pasien mulai rasakan lemah tungkai sejak 2 tahun yang lalu
namun masih bisa berjalan dengan menyeret dan bertumpu pada dinding.

Lemah disertai dengan berkurangnya rasa raba ditungkai kanan sejak 2


minggu yang lalu.

Nyeri punggung setinggi pusar sejak 2 minggu yang lalu.

BB menurun 7 kg dalam 2 bulan ini.

Riwayat batuk lama disangkal.

Riwayat berkeringat dingin di malam hari sejak 2 bulan yang lalu

22

Demam disangkal.

BAB dan BAK normal.

Sekresi keringat normal.

Riwayat Penyakit dahulu

Riwayat hipertensi, penyakit jantung, serum asam urat tinggi sejak

3 tahun yang lalu tapi kontrol tak teratur.

Riwayat menderita keganasan tidak ada.

Riwayat keluarga menderita batuk-batuk lama atau mengkonsumsi

obat selama 6 bulan.


Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Tidak ada anggota keluarga yang menderita batuk-batuk lama dan

mengkonsumsi obat selama 6 bulan.

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keganasan.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Os seorang supir

Merokok (+), dan sudah berhenti sejak 14 tahun yang lalu

PEMERIKSAAN FISIK
Vital sign :
Keadaan umum

: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran

: CMC GCS15 ( E4M6V5)

Tekanan Darah

: 150/100 mmHg

Frekuensi nadi

: 92 x/menit

Frekuensi nafas

: 23 x /menit

Suhu

: 36,8 C

Status Internus :

Kulit : tidak ada kelainan

KGB : Leher

: tidak ada pembesaran

Aksila

: tidak ada pembesaran

23

Inguinal

: tidak ada pembesaran

Mata : Konjungtiva : tidak anemis,


Sklera

: tidak ikterik

Telinga

: tidak ada kelainan

Hidung

: tidak ada kelainan

Leher : JVP : 5 2 cmH2O

Thorak :

Paru :

Inspeksi

: normochest, simetris kiri dan kanan statis dan


dinamis

Palpasi

: fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor kiri = kanan

Auskultasi

: vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi

: ictus tidak terlihat

Palpasi

: ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: batas jantung dalam batas normal.

Auskultasi

: bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak

ada.

Abdomen

Inspeksi

: perut tidak membuncit, distensi tidak ada

Palpasi

: supel, hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Punggung

: I : Penonjolan tidak ada, deformitas tidak

ada
Pa : Nyeri tekan tidak ada

Alat kelamin : tidak diperiksa

24

Status neurologikus:
1. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk

:-

Brudzinski I

Brudzinski II : -

:-

Tanda Kernig : -

2. Tanda Peningkatan Intrakranial


Pupil :isokor,diameter 3mm/3mmm, Reflek cahaya +/+
3. Pemeriksaan Nervus Kranialis
N.I ( Olfaktorius )
Penciuman

Kanan

Kiri

Subjektif

Objectif ( dengan

bahan)

N.II ( Optikus )
Penglihatan

Kanan

Kiri

Tajam penglihatan

Lapangan pandang

Normal

normal

Melihat warna

Funduskopi

N.III ( Okulomotorius )
Kanan

Kiri

Bola mata

ortho

ortho

Ptosis

25

Gerak bulbus

Strabismus

Nistagmus

Ekso/endopthalmus

Pupil

o Bentuk

Bulat

bulat

o Reflek cahaya

o Reflek akomodasi

Normal

Normal

o Reflek konvergensi

Normal

Normal

N.IV ( Trochlearis )
Kanan

Kiri

Gerakan mata ke

bawah
Sikap bulbus

Ortho

Ortho

Diplopia

N. VI ( Abdusen )
Kanan

Kiri

Gerakan mata ke medial

bawah
Sikap bulbus

ortho

ortho

Diplopia

N.V ( Trigeminus )
Kanan

Kiri

Motorik

26

Membuka mulut

Menggerakkan rahang

Menggigit

Mengunyah

o Reflek kornea

o Sensibilitas

o Reflek

masseter
o Sensibilitas

Sensorik

Divisi oftalmika

Divisi maksila

Divisi mandibula
o

Sensibilitas

N.VII ( Fasialis )
Kanan

Kiri

Raut wajah

Simetris

simetris

Sekresi air mata

Fisura palpebra

Normal

Normal

Menggerakkan dahi

Menutup mata

Mencibir/ bersiul

Memperlihatkan gigi

Sensasi lidah 2/3

Hiperakusis

Plika nasolabialis

Normal

Normal

belakang

27

N. VIII ( Vestibularis )
Kanan

Kiri

Suara berbisik

Detik arloji

Rinne test

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Weber test

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Scwabach test

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Memanjang

Memendek

Nistagmus

Pendular

Vertikal

Siklikal

Pengaruh posisi kepala

N.IX ( Glossopharingeus )

Sensasi lidah 1/3

Kanna

Kiri

belakang
Reflek muntah (Gag
reflek)

28

N.X ( Vagus ) ( sukar dinilai/dilakukan karena pasien tidak sadar )


Kanan

Kiri

Arkus faring

Simetris

Uvula

Ditengah

Menelan

Baik

Artikulasi

Baik

Suara

Normal

Nadi

N.XI ( Asecorius )
Kanan

Kiri

Menoleh ke kanan

Menoleh ke kiri

Mengangkat bahu

kanan
Mengangkat bahu kiri

N.XII ( Hipoglosus )
Kanan

Kiri

Normal

Normal

Normal

Normal

Tremor

Fasikulasi

Atrofi

Kedudukan lidah
kanan
Kedudukan lidah
dijulurkan

29

4. Pemeriksaan Koordinasi
Cara berjalan

Disartria

Rumberg test

Disgrafia

Ataksia

Supinasi-pronasi

Baik

Rebound

Tes jari hidung

Baik

Normal

Tes hidung jari

Baik

Phenomen
Tes tumit lutut

5. Pemeriksaan Fungsi Motorik


A. Badan

B. Berdiri dan

Respirasi

Baik

Baik

Duduk

Normal

normal

Gerakan spontan

Baik

Baik

Tremor

Atetosis

Mioklonik

Khorea

berjalan

C. Ekstremitas

Superior
Kanan

Kiri

Inferior
kanan

Kiri

Gerakan

Baik

Baik

h ipoaktif

hipoaktif

Kekuatan

555

555

444

333

Tropi

Eutropi

eutropi

eutropi

Eutropi

Tonus

Eutonus

eutonus

eutonus

Eutonus

6. Pemeriksaan Sensibilitas

30

Sensibilitas taktil

Berkurang di tungkai

Sensibilitas nyeri

Berkurang di tungkai

Sensibilitas termis

Berkurang di tungkai

Sensibilitas kortikal

Berkurang di tungkai

Stereognosis

Berkurang di tungkai

Pengenalan 2 titik

Berkurang di tungkai

Pengenalan rabaan

Berkurang di tungkai

Pengenalan getar

Berkurang di tungkai

Pengenalan posisi

Berkurang di tungkai

sendi

7. Sistem Refleks
A. Fisiologis

Kanan

Kiri

Biseps

++

++

Barbangkia

Triseps

++

++

Laring

KPR

+++

+++

Masseter

APR

+++

+++

Dinding perut

Bulkokaver Tidak

Kornea

Kanan

Kiri

nosus

dilaku
kan

Atas

Cremaster

++

++

Tengah

Sfingter

++

++

Bawah

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Tungkai

Babinski

B. Patologis
Lengan
Hofmann Tromner

31

Chaddoks

Oppenheim -

Gordon

Scaeffer

Klonus

paha
Klonus
kaki

8. Fungsi Otonom
Miksi

:baik, neurogenik bladder (-)

Defekasi

:baik

Sekresi keringat

:berkurang setinggi dermatom Th X kebawah.

9. Fungsi Luhur
Kesadaran

Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi

Tanda demensia
Baik

Reflek

Baik

glabela
Reflek

Baik

snout
Reflek

menghisap
Reflek

memegang
Reflek

palmomental

32

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah

:Hb

: 14,7 gr %

Leukosit

: 6200/mm3

Ht

: 46 vol %

Trombosit

: 278.000/mm3

GDR

: 126

Ureum

: 22

Kreatinin

: 0,6

Na+

: 142 mMol/L

K+

: 4,4 mMol/L

Cl

: 110

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG :Irama Sinus, St depresi -. ST elevasi-, HR 92x/i, kesan sinus

takikardi.
DIAGNOSA

Diagnosis klinik

: paraparese inferior tipe UMN

Diagnosis topik

: medulla spinalis setinggi thorakal VIII

kebawah

Diagnosis etiologi

: Tumor medulla Spinalis

Diagnosis skunder

: Hipertensi stage I

TERAPI
1. Umum

Diet MB RG II 1900 kkal

2. Khusus

Metil prednisolon 3x1 amp (IV) tapering off

Ranitidin 2x1 amp (IV)

33

Amlodipin 1x10 mg (p.o)

RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA

Rontgent Thorax PA

Rontgent Thorakolmbal sentrasi Th VIII

Lumbal Punksi

MRI Tulang Belakang

PROGNOSA
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : dubia at bonam (tergantung jenis tumor dan terapi yang
dilakukan)
Quo ad vitam : dubia ad bonam (tergantung jenis tumor dan terapi yang
dilakukan)

FOLLOW UP
Tanggal
22-06-2010

A/

Perjalanan Penyakit
Lemah tungkai kiri

Terapi dan Rencana

Kurang rasa raba tungkai kanan


BAB dan BAK baik
VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 150/90 mmHg

Nadi

: 89 x/menit

Nafas : 18 x/menit
Suhu : 36,50 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik

34

Sensorik

: hipoestesi tungkai kanan

Motorik

: 555/555
444/333

Otonom

: sekresi keringat berkurang

setinggi dermatom torakal X kebawah.


RF: ++/+++
DK/

RP: -/-

paraparese inferior tipe UMN ec tumor medulla

spinalis

23-06-2010

A/

VS/

Lemah tungkai kiri

Thy/

Kurang rasa raba tungkai kanan

Diet Rendah Lemak

BAB dan BAK baik

dan Rendah Purin

KU

: Sedang

MtylPrednisolon

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

2x125 mg

TD

: 150/90 mmHg

Ranitidin 2x500 mg

Nadi

: 80 x/menit

Amlodipin 1x10 mg

Nafas : 18 x/menit

Simvastatin 1x10 mg

Suhu : 36,50 C

Allopurinol

SI/

Dalam batas normal

mg

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik
Sensorik

: hipoestesi tungkai kanan

Motorik

: 555/555

P/
Ro Thoracolumbal

444/333
Otonom

: sekresi keringat berkurang

setinggi dermatom torakal X kebawah.


RF: ++/+++
Lab

RP: -/-

:
Hb

: 14,7 gr %

Leukosit

: 6200/mm3

Ht

: 46 vol %

1x400

35

DK/

Trombosit

: 278.000/mm3

LED

: 85

DC

: 0/0/2/78/19/1

Kolesterol

: 214

LDL

:174

HDL

: 25

As.Urat

: 7,0

Paraparese inferior tipe UMN ec tumor medulla

Spinalis.
Hipertensi stage I
Hiperkolesterol
Hiperurisemi

24-06-2010

A/

Lemah tungkai kiri


Kurang rasa raba tungkai kanan

VS/

Thy /

BAB (-), BAK baik

Diet TKTP

KU

: Sedang

OAT

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Simvastatin 1x10 mg
Amlodipin 1x10 mg

Suhu : 37 C
Nafas : 20 x/menit
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)

Dulcolax 2x1

Nn. Cranialis : Baik


Sensorik

: hipoestesi tungkai kanan

Motorik

: 555/555
444/333

Otonom

: sekresi keringat berkurang

setinggi dermatom torakal X


RF: ++/+++

RP: -/-

Ro/ kesan : spondilitis Th 7-8

36

A/ Paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb

25-06-2010

A/

Lemah tungkai kiri


Kurang rasa raba tungkai kanan

VS/

Thy/

BAB dan BAK baik

Pemakaian OAT 2

KU

: Sedang

bulan

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

Rifampisin 1x600 mg

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Nafas : 21 x/menit

INH 1x400 mg
PZA 1x1000 mg

Suhu : 37 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)

Etambutol 1x750 mg
Amlodipin 1x10 mg

Nn. Cranialis : Baik


Sensorik

: hipoestesi tungkai kanan


P/ Cek Faal Hepar

Motorik

: 555/555
444/333

Otonom

: sekresi keringat berkurang

setinggi dermatom torakal X


RF: ++/+++

26-06-2010

RP: -/-

A/ Paraparese inferior UMN ec Spondilitis Tb


A/
Lemah tungkai kiri
Kurang rasa raba tungkai kanan
VS/

Thy /

BAB dan BAK baik

OAT

KU

: Sedang

Amlodipin 1x10 mg

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Neurobion 1x5000
mg

Nafas : 21 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)

37

Nn. Cranialis : Baik


Sensorik

: hipoestesi tungkai kanan

Motorik

: 555/555
444/333

RF: ++/+++ RP: -/-

27-06-2010

A/ Paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb


A/
Lemah tungkai kiri
Kurang rasa raba tungkai kanan

Thy / Lanjut

BAB dan BAK baik


VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Nafas : 21 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik
Sensorik

: hipoestesi tungkai kanan

Motorik

: 555/555
444/333

29-06-2010

A/ Paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb


A/
Lemah tungkai kiri
Kurang rasa raba tungkai kanan
VS/

Thy/ Lanjut

BAB dan BAK baik

Dosis rifampisin dan

KU

: Sedang

pirazinamid

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

diturunkan.

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Nafas : 20 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)

38

Nn. Cranialis : Baik


Motorik

: 555/555
444/333

Lab ; SGOT dan SGPT meningkat

01-06-2010

A/ Paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb


A/
keluhan (-)
VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Thy/ lanjut

Nafas : 20 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik
Motorik

: 555/555
444/333

A/ Paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb

39

02-06-2010

A/

keluhan (-)

VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Thy/ lanjut

Nafas : 20 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik
Motorik

: 555/555
444/333

A/ Paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb

03-06-2010

A/

keluhan (-)

VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Thy/ Lanjut

Nafas : 20 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik
Sensorik : membaik
Motorik

: 555/555
444/333

A/ paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb


A/

keluhan (-)

VS/

KU

: Sedang

40

04-07-2010

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/100 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Thy/ lanjut

Nafas : 20 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik
Sensorik : membaik
Motorik

: 555/555
444/333

A/ paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb

A/

keluhan (-)

VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 130/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Nafas : 20 x/menit
05-07-2010

Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)

Thy/ lanjut

Nn. Cranialis : Baik


Sensorik : membaik
Motorik

: 555/555
444/333

A/ paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb

41

A/

keluhan (-)

VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Nafas : 20 x/menit
Suhu : 370 C
06-07-2010

SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik
Sensorik : membaik
Motorik

: 555/555

Thy/ lanjut
p/ CT-Scan

444/333
A/ paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tb

A/

keluhan (-)

VS/

KU

: Sedang

Kes

: GCS15 ( E4M6V5)

TD

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/menit

Nafas : 20 x/menit
Suhu : 370 C
SI/

Dalam batas normal

SN/

TRM (-), tanda peningkatan TIK (-)


Nn. Cranialis : Baik

07-07-2010

Sensorik : membaik
Motorik

: 555/555
444/333

Hasil CT-Scan
Tampak massa isoden homogan (HLL 40-47) di daerah

42

ekstramedular

vertebra

Th

VI,VII,VIII,

yang

menyempitkan canalis spinalis, mendestruksi corpus


vertebre Th VI,VII, VIII,IX, tampak destruksi prosesus
spinosus vertebre Th VII
Kesan: massa ekstrameduler ekstradural di daerah Th
VI - IX
A/ paraparese inferior tipe UMN ec tumor medula
spinalis
DD/ paraparese inferior tipe UMN ec metastasis

43

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang laki-laki, umur 39 tahun dengan diagnosis klinik


paraparese inferior tipe UMN ec Spondilitis Tuberculosis. Awalnya diagnosa
yang ditegakkan yaitu paraparese inferior tipe UMN ec Tumor Medulla Spinalis,
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa berupa adanya, keluhan lemahnya
tungkai kiri yang semakin berat dan diikuti dengan lemah tungkai kanan sejak 2
minggu dimana awalnya hanya berupa lemah tungkai kiri sejak 2 tahun yang
lalu. Selain itu nyeri punggung dirasakan setinggi pusar sejak 2 minggu yang lalu,
BB menurun 7 kg (85%)dalam 2 bulan ini, riwayat batuk lama disangkal, dan
demam disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 150/100. Dari
pemeriksaan fungsi motorik ditemukan gerakan hipoaktif, kekuatan menurun,
hipotrofi dan hipotonus pada kedua ekstremitas inferior.selain itu juga ditemukan
peningkatan reflek fisiologis ekstremitas inferior. Sedangkan pada pemeriksaan
fungsi saraf sensorik, terjadi penurunan sensibilitas pada ekstremitas inferior
dekstra. Gangguan fungsi saraf otonom ditandai dengan berkurangnya ekresi
kerngat setinggi dermatom X ke bawah.
Dari pemeriksaan
limfositosis

dan

penunjang

spondilitis

pada

didapatkan
rontgen

kesan

LED

thorakolumbal.

meningkat,
Berdasarkan

pemeriksaan radiologi tersebut, dipertimbangkan untuk memberikan Obat Anti


Tuberculosa pada pasien ini. Seiring dengan berjalannya waktu ternyata keluhan
pasien berkurang terutama keluhan rasa lemah dan baal di kedua tungkai. Namun

44

hasil ini sebenarnya masih harus dikonfirmasi dengan beberapa pemeriksaan


penunjang lainnya seperti Rontgen thorak,Lumbal Punksi, CT-Scan dan MRI.
Pemeriksaan penunjang lainnya terutama pemeriksaan laboratorium mengesankan
adanya hiperkolesterol dan hiperurisemi.
Pengobatan yang diberikan pada awal masuk berupa diet Rendah Lemak,
Rendah Purin, simvastatin, allupurinol dan amlodipin untuk hiperkolesterolemi,
hiperurisemi dan hipertensi, sedangkan berupa metyl prednisolon berguna untuk
mengurangi efek udem jaringan. Terapi berikutnya setelah ditegakkan diagnosa
spondilitis yaitu pengobatan dengan menggunakan obat anti tuberkulosis yaitu
INH, rifampisin, etambutol dan pirazinamid.
Kemudian pada pasien ini dilakukan pemeriksaan CT-scan tulang
vertebre, dari pemeriksaan didapatkan kesan terdapat massa ekstrameduler,
ekstradural di daerah Th VI-IX.
Dari hasil CT-scan, pasien di rujuk ke poliklinik orthopedi untuk
pemeriksaan lebih lanjut.

45

Anda mungkin juga menyukai