Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

SPONDILITIS TUBERKULOSIS
I.

Anatomi Fisiologi
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur
lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang
belakang ( Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis ). Di bagian
dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang
belakang yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat. Saraf
tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti usus, jantung dan lainnya.
Susunan anatomi atau struktur tulang belakang terdiri dari :
a. Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher yang membentuk
daerah tengkuk.
b. Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang membentuk
bagian belakang torax atau dada.
c. Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk daerah
lumbal atau pinggang.
d. Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang yang membentuk
sakrum atau tulang kelangkang.
e. Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang
membentuk tulang ekor.
Lengkung ruas tulang bagian leher melengkung ke depan, lengkung ruas
tulang dada ke arah belakang, daerah pinggang melengkung ke depan dan pelvis atau
kelangkang lengkungannya kearah belakang.
Vertebra servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil
dibandingkan dengan ruas tulang lainnya, ciri dari ruas tulang punggung adalah
semakin ke bawah semakin membesar dilihat dari segi ukurannya yang memuat
persendian untuk tulang iga. Ruas tulang pinggang adalah yang terbesar dibandingkan
dengan badan vertebra lainnya. Sakrum atau tulang kelangkang terletak di bagian
bawah tulang belakang dengan bentuk segitiga, dan ruas tulang ekor terdiri dari 4 atau
5 vertebra yang bergabung menjadi satu dan letaknya berada di bagian paling bawah
dari tulang belakang atau spine. Ruas-ruas tulang belakang diikat oleh serabut yang
dinamakan dengan ligamen.
Secara anatomis setiap ruas tulang belakang akan terdiri dari dua
bagian :
1. Bagian depan

Bagian ini struktur utamanya adalah badan tulang belakang (corpus


vertebrae). Bagian ini fungsi utamanya adalah untuk menyangga berat
badan. Di antara dua korpus vertebra yang berdekatan dihubungkan
oleh struktur yang disebut diskus intervertebralis yang bentuknya
seperti cakram, konsistensinya kenyal dan berfungsi sebagai peredam
kejut (shock absorber).
2. Bagian belakang
Bagian belakang dari ruas tulang belakang ini fungsinya untuk :
Memungkinkan terjadinya pergerakan tulang belakang itu sendiri. Hal
ini dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian. Fungsi
perlindungan, oleh karena bagian ini bentuknya seperti cincin dari
tulang yang amat kuat dimana di dalam lubang di tengahnya terletak
sumsum tulang belakang (medulla spinalis/spinal cord).
Fungsi stabilisasi. Karena fungsi tulang belakang untuk manusia
adalah sangat penting, maka fungsi stabilisasi ini juga penting sekali.
Fungsi ini didapat oleh kuatnya persendian di bagian belakang yang
diperkuat oleh adanya ligamen dan otot-otot yang sangat kuat. Kedua
struktur terakhir ini menghubungkan tulang belakang baik dari ruas ke
ruas yang berdekatan maupun sepanjang tulang belakang mulai dari
servikal sampai kogsigeal.
Vaskularisasi kolumna vertebralis :
Arteria spinalis yang mengantar darah kepada vertebra, adalah cabang dari :
a) Arteria vertebralis dan arteria servikalis ascendens di leher
b) Arteria interkostalis posterior di daerah thorakal
c) Arteria subkostalis dan arteria lumbalis di abdomen
d) Arteria iliolumbalis dan arteria sakralis lateralis
Arteria spinalis memasuki foramen intervertebralis dan bercabang
menjadi cabang akhir dan cabang radikular. Beberapa dari cabangcabang ini beranastomosis dengan arteri-arteri medulla spinalis.
Vena spinalis membentuk pleksus vena yang meluas sepanjang
kolumna vertebralis, baik di sebelah dalam (pleksus venosi vertebralis
profundus) dan juga di sebelah luar (pleksus venosi vertebralis
superficialis) kanalis vertebralis. Vena basivertebralis terletak dalam
korpus vertebra.
II. Konsep Dasar
A. Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang
bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu

Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat


menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan

peradangan

granulomatosa

yang

bersifat

kronik destruktif oleh

mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi


sekunder dari fokus ditempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang ertama kali
menulis tentang penyakit ini dan menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara
penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini
disebut juga sebagai penyakit Pott.
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yg bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit
neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling
jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga
jarang menyerang arkus vertebra (Mansjoer, 2000).
Dari beberapa definisi spondilitis tuberjulosis dapat disimpulkan bahwa
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra.

B. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan
pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis
diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain
sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi
kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di
regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas
dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena
erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga
disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses
prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya
perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak
diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Menurut kumar membagi perjalanan penyakit ada lima stadium yaitu :
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk oloni yang berlangsung selama
6 8 minggu. Kedaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada
anak anak umumnya pada daerah sentral vertebrata.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjai destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang masih, kolaps vertebra yang terbentuk
masa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi
23 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berebentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama disebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan
korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra
torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan
neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.
Derajat II : terdapa kelemahan pada anggota gerak bawah tai penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak atau aktifitas penderita serta hipestesia atau anestesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris ,disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegi atau pott paraplegia dapat terjadi
suara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
5. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravetbral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang
sudah tidak aktif atau sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang
kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari
jaringan granulasi tuberkulosa. Tubrkulosis paraplegia terjadi secara perlahan
dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vesikuler
vertebra. Derajat I III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut
sebagai paraplegia.
6. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang
masif di sebelah depan.
C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis, Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari
tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikrobakterium
tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh
mikobakterium tuberkulosis atipik. Walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun
dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium
africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle
baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita
HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi
pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara
yang

konvensional.

Dipergunakan

teknik

Ziehl-Nielson

untuk

memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched


dengan

periode

6-8

minggu.

Produksi

niasin

merupakan

karakteristik

Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan


spesies lain.
Lokalisai spondilitis tuberkulosis terutama pada daerah vertebra torakal
bawah dan lumbal atas, sehingga di duga aadanya infeksi sekunder dari suatu
teberkulosis traktus urinaris, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada
vena peravertebralis.

D. Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada
saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.
Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal
dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi

dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh
sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini
paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari
satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial
korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya.
Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis
yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada
vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis
serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior
dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum
dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau
kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform.
Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses
pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di
bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke
daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada
trigonum skarpei atau regio glutea.
Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada
daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering
pada vertebra torakalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan
nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis10 sedang yang non
paraplegia pada vertebra lumbalis.
Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi
medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1
sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang
perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis

vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis


10, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil.
Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu
lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin
dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra
torakal 10. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4
faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
E. Manifestasi
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena
proses destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
c. Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta
sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam
hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,
kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat,
spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006).
d. Pada stadium awal belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum terdapat
nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap,
terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda
terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50%
kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia,
paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya
adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda
defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas (Craig, 2009).

e. Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di daerah
belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses
retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior
sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan
sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang
juga terlibat (Wheeles, 2011).
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang
negatif tampak pada 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis
milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja
terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum
dan bilaslambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang aktif)
d. Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit
dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk
menyingkirkan diagnosa banding.
e. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa).

Normalnya

cairan

serebrospinal

tidak

mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan


memberikan hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan Radiologis :
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
a) Foto Rontgen

Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).

Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat
terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.

Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian
berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang
berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk
scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.

Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus


transversus atau prosesus spinosus.

Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan


timbulnya deformita scoliosis (jarang)

Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder


tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang
mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal
mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini
dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena
adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga
vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus
tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum
menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra
torakal.

Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral


dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk
globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan
jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa
kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses
epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi
tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

b) Computed Tomography (CT Scan)


Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga
yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti
pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang
belakang. Bermanfaat untuk :
-

Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat


konservatif atau operatif.

Membantu menilai respon terapi.

Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan


kalsifikasi di abses.

Gambar - MRI Spondilitis TB


d) Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal
mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan
pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)
(berhasil pada 50% kasus).
e) Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral
yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan
granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Potts paraplegia

Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus


maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis.
Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi
medula spinalis dan saraf. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh
terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang
(ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis. Pada vertebra lumbal maka nanah
akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold
absces (Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk).
Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis
pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi
karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis
H. Penatalaksanaan
1) Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
a) Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
b) Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis. Untuk
mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi
menjadi
2) Terapi Konservatif
a) Pemberian nutrisi yang bergizi
b) Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi
pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.Hasil
penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi

dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang
memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum
berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang
baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian
terapi. Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu
pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas
terhadap obat anti tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu)
dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya
terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang
adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga
merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik. Resistensi terhadap obat
antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :

Resistensi primer : Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada
pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu
terhadap satu obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap
RMP atau EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen dengan dua obat yang biasa
diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus ini.

Resistensi sekunder Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien


dengan infeks yang awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut. The
Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk
tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi
ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau
terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan
selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi
tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah
kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih
merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat
menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila
terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh
akan dapat mengalami resistensi sekunder. Obat anti tuberkulosa yang utama
adalah

isoniazid

(INH),

rifamipicin,

(RMP),

pyrazinamide

(PZA),

streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat antituberkulosa sekuder

adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, kanamycin


dan capreomycin.
3) Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan
bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi
radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 34 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa
nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak
dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan
lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal
bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau
korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Potts paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi
di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah
baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa
sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki
dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus
paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena
terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus


menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal
seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
4) Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi
obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus tuberkulosa,
mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan
segmen tulang belakang yang terlibat.
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga
diindikasikan bila :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Potts paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan
operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi
operasi menjadi:

Indikasi absolut

1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan


bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga
terjadi kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan
terapi konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif.
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah
baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau
terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang
besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat
juga disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih
dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi
konservatif)

Indikasi relatif

1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya


2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
Pilihan pendekatan operasi ilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui
pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi

utama di

anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral
sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari
posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah
anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di
setiap pusat kesehatan. Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi
antituberkulosa tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum
operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi

diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung


dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung
tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang
ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan
langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya
stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi
spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus
vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi
tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
I. Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain
Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG
akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan
hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk
pencegahannya masih kontroversial. Percobaan terkontrol di beberapa negara
Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan
efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum
timbulnya infeksi pertama.
Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika
dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil
penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama
terhadap kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978,
The Joint Tuberculosis Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh
orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada
populasi immigran di Inggris.
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang
rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada
beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk
neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh
karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya
anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya
mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa.

Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih


penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil
tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.
Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat
sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian
5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa.
III. Asuhan Keperawatan
A.

Pengkajian
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung
bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat
dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan
meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan
tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu
makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan
penurunan berat badan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului
dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru.
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya
adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita
penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit
menular tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan
sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan
terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga
emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi
persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua

klien mengerti benar perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah


persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya
riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang
mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan
amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat,
sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya.
c. Pola eliminasi
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke
kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya
penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK
harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut
klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses eliminasi.
d. Pola aktivitas
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta
penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi
aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas
fisik tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak
hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur
dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau
tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam
keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan
interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk
tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi
komplikasi paraplegi.
i. Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan
terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal
curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara
merawat sehari-hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.

j. Pola penaggulangan stres


Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya ,
akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa
stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada klien yang dalam kehidupan sehari-hari selalu taat menjalankan ibadah,
maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai
penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah,
kelemahan fisik (anggota gerak)
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan
ketidakmampuan batuk efektif
3. Resiko penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan lingkungan terhadap
pathogen; kerusakan jaringan
C. Intervensi Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah,
kelemahan fisik (anggota gerak)
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam klien dapat menunjukan cara melakukan mobilisasi
secara optimal sesuai dengan kondisis daerah spondilitis.
Kriteria Hasil : Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan
tingkat kemampuan, mengidentifikasi individu atau masyarakat yang dapat
membantu, klien terhindar dari cidera, nyeri berkurang.
Intervensi:
1) Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0 10).
Perhatikan petunjuk verbal dan non-verbal.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan dan
kebutuhan untuk /keefektifan analgesic.
2) Berikan alternatif tindakan kenyamanan (massage, perubahan posisi).

Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum menurunkan area tekanan lokal dan


kelelahan otot.
3) Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya relaksasi progresif,
latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi dan sentuhan terapeutik.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi area tekanan dan
kelelahan otot.
4) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik.
Rasional : Diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot.
5) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan mobilisasi.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk
kebutuhan individual.
6) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
Rasional : klien dalam keadaan cemas dan tergantung sehingga hal ini di
lakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien.
7) Atur posisi fisiologis, meliputi :
Kaji kesejajaran dan tingkat keyamanan selama klien berbaring sesuai dengan
daerah spondilitis.
Rasional : memberikan data dasar tentang kesejajaran tubuh dan kenyamanan
klien untuk perencanaan selanjutnya.
8) Atur posisi telentang dan letakkan gulungan handuk / bantal di daerah bagian
bawah punggung yang sakit dengan menjaga komdisi kurvatura tulanga
belakang dalam kondisi optimal.
Rasional : mengurangi kemungkinan stimulus nyeri, kontraktur sendi, dan
kemungkinan untuk pergerakan optimal pada ekstremitas atas.
9) Sokong kaki bawah yang mengalami paraplegia dengan bantal dengan posisi
jari-jari kai mengahadap langit.
Rasional : posisi optimal untuk mencegah footdrop yang sering terjadi akibat
kondisi kaki yang jatuh (posisi ekstensi) terlalu lama di tempat tidur. Adanya
bantal akan mencegah terjadinya rotasi luar kaki dan mengurangi tekanan pada
jari-jari kaki.
10) Lakukan latihan ROM
Rasional : latihan yang efektif dan berkesinambungan akan mencegah terjadinya
kontraktur sendi dan atrofi otot yang sering terjadi pada klien spondilitis TB.

11) Ajak klien untuk berfikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berika
klien motivasi dan izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik positif atas
usahanya.
Rasional : klien memerlukan empati, tetapi perawata perlu mengetahui
perawatan yang konsisten dalam menganani klien, dan menganjurkan klien
untuk terus mecoba.
12) Kolaborasi pemberian OAT
Rasional : pemberian regimen OAT (Obat Anti Tuberkulosis) sesuai panduan
akan mengatasi masalah utama pada klien spondilitis.
13) Tindakan operatif
Rasional : memberikan stabiltas pada tulang belakang dengan tindakan
pembedahan, yaitu pendekatan anterior dengan debridement, eksisi dan fusi
anterior, serta pendekatan posterior dilakukan dengan dekompresi dan stabilisasi
dengan pemasangan PSSW (Pedicle Screw And Sublaminary Wire Plate)
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan
ketidakmampuan batuk efektif
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi, akan menjadi peningkatan
keefektifan pembersihan jalan nafas dan aspirasi dapat dicegah.
Kriteria Hasil : frekusensi pernapasan dalam batas normal, suara napas terdengar
bersih,ronki tidak terdengar, klien menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret di saluran napas.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus, perdarahan, bronko spasme dan atau posisi dari trakeostomi atau
selang endotrakeal yang berubah.
2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru
(bilateral)
Rasional : pergerakan dada yang simetris dengan suara naspa yang keluar dari
paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian
bawah tersumbat dapat terjadi pada pnemonia/atelektasis seperti ronki atau
mengi.
3) Anjurkan klien melakukan batuk efektif.

Rasional : batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.
4) Atur/ubah posisi secara teratur setiap 2 jam.
Rasional : mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru,
mengurangi resiko atelektasi.
5) Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan
Rasional : membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
6) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret disaluran napas.
Rasional : pengetahuan diharapkan akan membantu meningkatkan kepatuhan
klien terhadap rencanan terapeutik.
7) Ajarkan klien tentang metode yang tepat tentang pengontrolan batuk.
Rasional :batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif
menyebabkan frustasi.
8) Lakukan pernapasan diafragma
Rasional : pernapasan diafragma menurunkan frekuensi pernapasan dan
meningkatkan ventilasi alveolar.
9) Ajarkan klien tentang tindakan untuk mengurangi viskositas sekresi,
mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan asupan cairan 10001500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
Rasional : untuk menghindari pengentalan dari sekret atau pada mukus pada
saluran bagian atas.
10) Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik serta batuk
Rasional : higiene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
11) Kolaborasi dengan tim medis, radiologi, dan fisioterapi.
12) Pemberian mukolitik & ekspetoran
Rasional : mukolitik merupakan agen untuk mobilisasi sekret. Ekspektoran
untuk memudahkan pengeluaran atau mobilisasi lendir dan mengevaluasi
perbaikan klien atas pengembangan paruya.
13) Pemberian OAT
Rasional : pemberian regimen OAT sesuai panduan akan mengatasimsalah
utama pada klien spondiitis tuberkulosa.
14) Konsul foto thorak.

Rasional : Sebgai bahan evaluasi hasil pengobatan dan mengidentifikasi


komplikasi dari akumulasi sekret yang berbahaya seperti pneumoni aspirasi.
2. Resiko penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan lingkungan terhadap
pathogen; kerusakan jaringan
3. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
resiko Infeksi berhubungan dengan peningkatan pemajanan lingkungan terhadap
pathogen; kerusakan jaringan berkurang sampai dengan hilang.
4. Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi, suhu tubuh normal, hasil pemeriksaan
laboratorium (leukosit, LED) normal.
5. Intervensi:
1) Implementasikan teknik isolasi yang tepat sesuai indikasi
Rasional : Isolasi untuk menurunkan resiko kontaminasi silang/terpajan pada
flora bakteri multitel
2) Tekankan pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang
datang kontaak dengan pasien.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
3) Mengkaji patologi penyakit (fase aktif atau inaktif) dan potensial penyebaran
infeksi melalui airbone droplet selama batuk, bersin, meludah, berbicara,
tertawa, dll.
Rasional : Untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif
tidak berarti tubuh pasien sudah terbebas kuman Tubekulosis.
4) Mengidentifikasi resiko penularan terhadap orang lain seperti anggota dan
keluarga dan teman dekat. Mengintruksikan kepada pasien juka batuk atau
bersin, maka ludahkan ke tissue.
Rasional : Mengurangi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit
yang sama dengan pasien.
5) Menganjurkan penggunaan tissue untuk membuang sputum. Mereview
pentingnya mengontrol nfeksi, misalnya dengan menggunakan masker.
Rasional : Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan
penggunaan masker dapat meminimalkan penyebaran infiksi melalui droplet.
6) Memonitor suhu sesuai indikasi.
Rasional : Peningkatan suhu menandakan terjadinya infeksi sekunder.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Carpenito, J.L. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2
(terjemahan). Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Lukman

&

Nurna

Ningsih..

Asuhan

Keperawatan

Gangguan

Sistem

Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika


Mutaqqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
NANDA International. Diagnosis Keperawatan. 2011. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.


Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne c. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol.3. Jakarta :
EGC
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi
NIC dan Kriteria hasil NOC. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai