Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh
dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan (Orion, 1997).
Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi
dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian
tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan
keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi (Vogenberg, 2001)
Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk
pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang
berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa
dijadikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan
pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan
menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap
sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan
pilihan obat mana yang akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik
dalam skala mikro maupun dalam skala makro (Trisna, 2010).
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang terbatas,
dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan
dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien,
kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal
mungkin (Vogenberg, 2001). Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam
memberikan pelayanan kesehatan, maka sudah seyogyanya farmakoekonomi

Universitas Sumatera Utara

dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan dan menentukan pilihan atas


alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan
ekonomis (Trisna, 2010).

2.2 Metode Farmakoekonomi


Ada empat jenis metode farmakoekonomi yang telah dikenal yaitu:
No

Metode

Satuan Unit

Satuan Hasil

Cost Minimization Analysis

Mata Uang

Hasil Yang Sama

Cest Effectiveness Analysis

Mata Uang

Natural Units

Cost Benefit Analysis

Mata Uang

Mata Uang

Cost Utility Analysis

Mata Uang

Kualitas Hidup

a. Cost Minimization Analysis


Cost Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya
program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama.
Analisis ini digunakan untuk menguji biaya yang dihubungkan dengan
intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh (Orion, 1997).
Contoh

dari

analisis

cost

minimization

adalah

terapi

dengan

menggunakan antibiotika generik dan paten. Luaran klinik (efikasi dan efek
sampingnya) sama. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per
harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).
b. Cost Effectiveness Analysis
Cost effectiveness analysis merupakan salah satu cara untuk menilai
dan memilih program terbaik bila terdapat beberapa program berbeda dengan
tujuan yang sama untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan
dipilih adalah berdasarkan total biaya dari masing-masing alternatif program

Universitas Sumatera Utara

sehingga program yang mempunyai total biaya terendahlah yang akan dipilih
oleh para analis/pengambil keputusan (Tjiptoherijanto, 1994).
Cost effectiveness analysis merupakan metode yang paling sering
digunakan. Metode ini cocok untuk membandingkan obat-obat yang
pengukuran

hasil

terapinya

dapat

dibandingkan.

Sebagai

contoh,

membandingkan dua obat yang digunakan untuk indikasi yang sama tetapi
biaya dan efektivitasnya berbeda (Trisna, 2010).
c. Cost Benefit Analysis
Cost benefit analysis merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan
manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap
hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan
yang berbeda untuk kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001).
Contoh dari cost benefit analysis adalah membandingkan program
penggunaan vaksin dengan program perawatan suatu penyakit. Pengukuran
dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat
dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program perawatan
penyakit dilakukan. Semakin tinggi benefit cost, maka program makin
menguntungkan (Trisna, 2010)
d. Cost Utility Analysis
Cost utility analysis merupakan tipe analisis yang membandingkan biaya
terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan
kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan.
Dalam cost utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk
penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya

Universitas Sumatera Utara

ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan
kuantitas hidup dapat dikonversi ke dalam nilai QALYs.
Sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs
dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan
untuk mengetahui kualitas hidup sedangkan kekurangan analisis ini
bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien
(Orion, 1997).

2.3 Biaya Pelayanan Kesehatan


Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu:
a. Biaya langsung medis (direct medical cost)
Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait
dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau
mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang
diresepkan, lama perawatan. Kategori biaya-biaya langsung medis antara lain
pengobatan, pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan
dan penanganan (Orion, 1997; Vogenberg, 2001).
b. Biaya langsung nonmedis (direct nonmedical cost)
Biaya langsung nonmedis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak
terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah
sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit
(Vogenberg, 2001).
c. Biaya tidak langsung (indirect cost)
Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas
pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang. Sebagai

Universitas Sumatera Utara

contoh pasien kehilangan pendapatan karena sakit yang berkepanjangan


sehingga tidak dapat memberikan nafkah pada keluarganya, pendapatan
berkurang karena kematian yang cepat (Vogenberg, 2001).
d. Biaya tak terduga (Intangible cost)
Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil
tindakan medis, tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur
seperti rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan, efek samping. Sifatnya
psikologis, sukar dikonversikan dalam nilai mata uang (Vogenberg, 2001).

2.4. Perspektif Pelayanan Kesehatan


Pelayanan Kesehatan dapat ditinjau dari empat perspektif yaitu:
a. Perspektif pasien (konsumen) yaitu pasien mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan biaya yang murah
b. Perspektif penyedia pelayanan kesehatan yaitu menyediakan pelayanan
kesehatan yang diperlukan masyarakat. Sebagai contoh: Rumah Sakit
Pemerintah, Rumah Sakit Swasta, praktik dokter dan praktik bidan.
c. Perspektif pembayar (perusahaan asuransi) yaitu membayarkan biaya
terkait dengan pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi
selama pelayanan kesehatan yang digunakan peserta termasuk dalam
tanggungan perusahaan bersangkutan. Menyusun program pelayanan
kesehatan yang lebih efektif sehingga nantinya dapat memberikan
keuntungan bagi perusahaan.
d. Perspektif

masyarakat

yaitu

masyarakat

menggunakan

pelayanan

kesehatan untuk mencegah terjangkitnya berbagai penyakit, seperti


program pencegahan penyakit dengan imunisasi (Vogenberg, 2001)

Universitas Sumatera Utara

2.5 Demam Tifoid


Demam tifoid (typhoid fever) atau disebut juga tifus abdominalis adalah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam
lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran.
Patofisiologi:
a. Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan limfoid dn
berkembang biak menyerang usus halus. Kemudian kuman masuk ke peredaran
darah dan mencapai sel-sel retikuloendoteal, hati, limpa dan organ-organ lainnya.
b. Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikulo endoteal
melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan selanjutnya masuk ke beberapa
jaringan organ tubuh terutama limpa, usus dan kandung empedu.
c. Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada
kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu
ketiga terjadi ulcerasi plaks player. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan
ulcus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan,
bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan
limpa membesar.
d. Gejala demam disebabkan oleh endotoksil, sedangkan gejala pada saluran
pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus (Suriadi, 2006)

Etiologi:
Salmonella typhi, balis gram negatif yang bergerak dengan rambut getar dan tidak
berspora. Masa inkubasi 10-20 hari.

Universitas Sumatera Utara

Manisfestasi Klinis:
Manifestasi klinis yang terdapat pada demam tifoid meliputi:
a.

Demam
Demam merupakan gejala utama demam tifoid. Suhu tubuh berfluktuasi
yakni pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore atau malam
hari lebih tinggi. Demam dapat mencapai 38 - 40C. Intensitas demam
akan semakin tinggi disertai dengan gejala lain seperti sakit kepala, diare,
nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu
kedua intensitas demam tetap tinggi dan terus menerus. Bila pasien
membaik maka pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur turun dan dapat
normal kembali.

b.

Gangguan pada saluran pencernaan


Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama,
bibir kering dan kadang pecah-pecah, Lidah terlihat kotor dengan ujung
dan tepi lidah kemerahan dan tremor. Umumnya penderita sering
mengeluh nyeri perut terutama nyeri ulu hati disertai mual dan muntah.

c.

Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran
ringan. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita akan mengalami
koma.

d.

Hepatosplenomegali
Pada penderita demam tifoid, hati dan limpa sering ditemukan membesar.
Hati terasa kenyal dan nyeri bila ditekan (Hadinegoro, 2008)

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan Diagnostik:
Apabila penderita mempunyai gejala klinis yang menyerupai gejala demam
tifoid, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa
penyakit meliputi:
a. Pemeriksaan darah tepi: leukopenia, limfositosis, anemia.
b. Biakan empedu: terdapat basil Salmonella typhi pada urin dan tinja. Jika
pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan bakteri
Salmonella typhi pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan benar-benar
sembuh.
c. Pemeriksaan Widal: didapatkan titer terhadap antigen O adalah 1/200 atau
lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak
bermakna untuk menegakkan diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi
setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh (Suriadi,
2006)
Pengobatan:
Pengobatan terhadap penyakit demam tifoid terus berkembang. Kloramfenikol
merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid. Namun seiring dengan
kemajuan bidang kedokteran, dikembangkan lagi obat-obat seperti golongan
sulfonamide, sepalosporin dan florokuinolon (Juwono, 2004).
Antibiotik yang digunakan pada pengobatan demam tifoid adalah:
a. Kloramfenikol
Dewasa:

Dosis 500mg Oral/IV setiap 4 jam sampai suhu tubuh kembali


normal, kemuadian setiap 6 jam sampai total 14 hari.

Pediatrik: Dosis 50-75mg/kg bb/hari, Oral/IV dibagi setiap 6 jam

Universitas Sumatera Utara

b. Amoksisilin
Dewasa:

Dosis 1g IV setiap 8 jam, 500mg oral setiap 8 jam

Pediatrik: Dosis 20-50mg/kg bb/hari, pemberian oral dibagi setiap 8 jam


selama 14 hari
c. Trimetoprim dan Sulfametoksazol
Dewasa:

Dosis 160mg trimetoprim / 800mg sulfametoksazol, setiap 12


jam selama 10-14 hari

Pediatrik: < 2 bulan, tidak direkomendasikan


> 2 bulan, dosis 15-20mg/kg bb/hari, pemberian oral dibagi
setiap 12 jam berdasarkan dosis trimetoprim selama 14 hari
d. Ciprofloksasin
Dewasa:

Dosis 250-500mg oral, setiap 12 jam selama 7-14 hari

Pediatrik: < 18 tahun, tidak dianjurkan


> 18 tahun, dosis seperti pada orang dewasa
e. Azitromisin
Dewasa:

Hari 1, dosis 500mg oral/hari. Hari 2-5, dosis 250mg/hari

Pediatrik: < 6 bulan, tidak dianjurkan


> 6 bulan, hari 1 dosis 10mg/kg bb/hari, tidak melebihi
500mg/hari. Hari 2-5 dosis 5mg/kg bb/hari, tidak melebihi
250mg/hari
f. Seftriakson
Dewasa:

Dosis 1-2g IV setiap 12 jam

Pediatrik: Dosis 50-75mg/kg bb/hari IV, dibagi setiap 12 jam, tidak


melebihi 2g /hari

Universitas Sumatera Utara

g. Sefotaksim
Dewasa:

Dosis 2g IV setiap 6 jam

Pediatrik: Dosis 50-180mg/kg bb/hari IV/IM dibagi setiap 4-6 jam


> 12 tahun, dosis seperti pada orang dewasa
h. Ofloksasin
Dewasa:

Dosis 200-400mg oral, setiap 12 jam

Pediatrik: < 18 tahun, tidak dianjurkan


>18 tahun, dosis seperti pada orang dewasa
i.

Levofloksasin
Dewasa:

Dosis 500mg oral/hari selama 7-14 hari

Pediatrik: < 18 tahun, tidak dianjurkan


>18 tahun, dosis seperti pada orang dewasa (Brusch, 2010)

2.6 Kloramfenikol
Kloramfenikol pertama kali ditemukan pada tahun 1947 dari Streptomyces
venezuelae. Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang
aktif terhadap organism-organisme aerob dan anaerob gram positif maupun gram
negatif (Katzung, 2004).
Mekanisme Kerja:
Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis protein. Sintesis protein
berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom
terdiri atas dua sub unit, dinyatakan sebagai ribosom 30s dan 50s. Kloramfenikol
berikatan dengan ribosom 50s, sehingga menghambat pengikatan asam amino baru
pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase (Setiabudy, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.7 Seftriakson
Seftriakson adalah derivat thiazolyl ditemukan pada tahun 1983 dari generasi
ketiga sepalosporin dengan sifat anti-laktamase dan anti kuman gram negatif kuat
(Tjay, 2002).

Mekanisme Kerja:
Dinding sel bakteri merupakan lapisan luar yang kaku, yang menutupi
keseluruhan membran sitoplasma. Lapisan ini mempertahankan bentuk sel serta
mencegah lisis sel yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tekanan osmotik yang
tinggi di dalam sel dibanding dengan lingkungan luarnya. Dinding sel terdiri dari
peptidoglycan. Seftriakson menghambat sintesis peptidoglycan yang diperlukan
kuman sehingga sel mengalami lisis dan sel bakteri akan mati (Katzung, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai