Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
sebagian besar negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Keadaan ini tercemin
pada tingginya angka kejadian (358/100.000 penduduk di pedusunan dan 810/100.000
penduduk perkotaan), peningkatan angka kesakitan sebesar 34% dari tahun 1981 sampai
1986, angka kematian rata-rata yang rasional berkisar antara 2-3,5% dan kekebalan
terhadap beberapa obat pilihan untuk demam tifoid cenderung meningkat ( Handojo,
2004) Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh
infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur
3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam
tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan
diagnosis diperlukan biakan kuman untuk konfirmasi.
World Health Organization (WHO) tahun 2003 terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid diseluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali
lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.
Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas
pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi
antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti kloramfenikol, ampisilin,
trimetoprim, dan ciprofloxcacin.1
Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara
transplasental dari ibu hamil ke bayinya.

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Deman typoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri salmonella
thypy (S thypy) atau salmonella parathypy (S paratyphy) yang masuk kedalam tubuh
manusia dan merupakan kelompok penyakit yang menular dan dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan
gangguan kesadaran.
Demam typoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai
dengan insidious yang berlangsung lama, sakit kepala, badan lemah, anoreksis, bradikardi
relative serta splemomegali.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa demam typoid adalah
penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhy atau salmonella
parathypi yang masuk kedalam tubuh manusia (saluran pencernaan) dengan ditandai oleh
demam insidious yang lama, sakit kepala, badan lemah, anoreksia, bradikardi relative,
serta splenomegali dan juga merupakan kelompok penyakit yang mudah menular serta
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Distribusi dan Frekwensi
A. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata
antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia
12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %.15
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun
dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 3 tahun
sebesar 263 per 100.000 penduduk.

B. Tempat dan Waktu


Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di
Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000
penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun.
2

2.3 ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk
spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri
ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah
dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60oC) selama 15 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
2.4 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT (DETERMINANT)
A. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar

melalui makanan/minuman yang tercemar oleh

kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan
tinja atau urine. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakterimia kepada bayinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control ,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam
tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar
(OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan
3

beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
B. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan melalui makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang
tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
C. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya
penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum
dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain
case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko
terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene
perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform
beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang
kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .
2.5 CARA PENULARAN
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun
yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya
masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
A. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 3
bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita
ini disebut karier pasca penyembuhan.

Pada demam tifoid sumber infeksi dari

karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan
anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid
4

gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki


kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak
pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi
mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada
penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas,
tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber
penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh
dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan
hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan
pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama
seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B
2.6 PATOFISIOLOGI
Pathogenesis demam tyfoid melibatkan 4 proses komplek yang mengikuti ingesti
organ, yaitu penempelan dan invasi sel pada peyer patch, bakteri bertahan hidup dan
bermultiflikasi dalam makrofag peyer patch, nodus limfatikus dan organ-organ ekstra
intestinal sistem retikulo endothelial, bakteri bertahan hidup dalam aliran darah, produksi
enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit da air kedalam
lumen intestinal.
Masuknya kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi kedalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman, sebagian kuman
dimusnahkan didalam lambung oleh asam lambung (pH <2), namun sebagian lagi lolos
masuk kedalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk
diketahui jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal 105 dan
jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung menurun seperti aklorhidria,
5

post gastrektomi, penggunaan obat-obatan seperti antasida, H2- bloker, dan proton pump
inhibitor. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejunum dan
ileum bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (sel M) yang merupakan sel epitel khusus yang melapisi peyer
patch. Selanjutnya kuman akan menuju ke lamina propria dan berkembang biak. Kuman
akan difagositsis oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup pada dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ilium distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
thorasicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang sifatnya asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikulo endothelial terutama hepar dan lien.
Pada organ RES, kuman meninggalkan sel-sel fagosit an kemudian berkembang
biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk kesirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakterimia kedua dengan disertai tanda-tanda dan gejala infeksi
sistemik.
Didalam hepar, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi kesirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak-anak, gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi selama 3 hari berturuturut. Dalam peyer patch, makrofag yang hiperaktif menimbulkan reasksi hyperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat
menyebabkan hyperplasia jaringan dan organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch, yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasi akibat akumulasi sel-sel mononuclear didinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini apat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan
perforasi. Endotoksin dapat menempel pada reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan
6

gangguan organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tyfhoid tidak jelas
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi darah penderita melalui
pemeriksaan. Diduga endotoksin dari salmonella ini menstimulasi makrofag didalam
hepar , lien, folikel usus halus, dan kelenjar linfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomi
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam, depresi sum-sum tulang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.
2.7 MANIFESTASI KLINIS
Keluhan dan gejala tyfoid umumnya tidak khas dan bervariasi, dari gejala yang
menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ.
Secara klinis gambaran penyakit demam tyfoid, berupa demam berkepanjangan, gangguan
gastrointestinal, dan keluhan susunan saraf pusat.
Masa inkubasi demam tyfoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7
hari biasanya dimulai dengan sub febris, yang semakin hari semakin meninggi, sehinggan
pada minggu ke 2 demam tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Demam yang
terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40 oC dan
cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam, pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal pada
akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas
seperti diatas pada demam tyfoid. Tipe demam menjadi tiak beraturan mungkin karena
intervensi pengobatan ( penggunaan antipiretik atau antibiotik lebih awal) atau komplikasi
yang terjadi lebih awal pada khususnya anak balita demam tinggi dapat menyebabkan
kejang. Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam akibat
infeksi pada umumya, dimana kuman salmonella typhi yang memproduksi endotoksin
merupakan pirogen eksogen selain mediator inflamasi yang disekresikan oleh sel mukosa
usus yang mengalami infeksi (IL 1, IL 6, TNF, INF6) yang merupakan pirogen endogen
yang keduanya mengaktivasi pelepasan fosfolipase A2 pada membrane sel yang mana
akan mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur siklooksigenisasi memproduksi
prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik dimana
aktivasinya akan merubah seting thermostat yang terdapat pada hipotalamus sehingga
terjadi demam. Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, perut
kembung, lidah kotor, sampai hepatosplenomegali. Problem gastrointestinal biasanya
7

dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada sirkulasi dari cavum oris
didapatkan lidah kotor yaitu lidah yang ditutupi selaput putih dengan tepi yang kemeraha
dan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan tremor dan semua tanda pada lidah ini
disebut dengan tyfoid tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak-anak tapi cukup
berarti untuk diagnostik. Gejala lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena
bakteri menempel pada mukosa usus dan berkembang biak dalam peyer patch maka tidak
jarang akan muncul gejala-gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi. Diare
merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang secepatnya harus
dikeluarkan, namun diare pada demam tyfoid tidak sampai menyebabkan dehidrasi,
begitupun dengan konstipasi yang mungkin akan dialami setelah diare beberapa kali.
Penderita anak-anak lebih sering mengalami diare daripada konstipasi sedangkan dewasa
sebaliknya. Hal itulah yang kadang-kadang membuat miss diagnosis.
Dalam perjalanan penyakitnya proses bakteremia juga menimbulkan gejala pada
organ retikulo endothelial sistem salah satunya hepar dan lien. Hepatosplenomegali terjadi
akibat dari replikasi kuman dalam sel-sel fagosit atau sinusoid. Reflikasi dalam hepar dan
lien tentunya akan menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan mediato
inflamasi seperti interleukin, dan prostaglandin yang menyebabkan permeabilitas kapiler
akan meningkat sehingga hanya berlangsung singkat (terutama waktu bakteremia
sekunder). Pendapat ini cukup spesifik untuk diagnostik. Gangguan sistem saraf terjadi
bila ada toksin yang menebus blood brain barrier, pada anak gangguan sistem saraf akibat
tyfoid ini lebih sering bersifat seperti delirium, gelisah, somnolen supor hingga koma.
Pada anak-anak tanda tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan manifestasi
khas mengigau, yang terjadi selama periode demam.gangguan otak organic biasanya
ditemukan lebih berat pada demam tyfoid tingkat lanjut yang sudah mengalami
komplikasi. Pada keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya
sewaktu tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu-waktu. Pada ekstremitas, punggung
atau perut mungkin dapat ditemukan efloresensi kulit berupa ruam makulopapular
kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip dengan ptechie yang disebut roseola spot
yang disebabkan oleh emboli basil yang terkumpul dibawah permukaan kulit sehingga
menyerupai bentuk bunga roseola. Ruam ini biasanya muncul pada hari ke 7-10 dan
bertahan selama 2- 3 hari. Bradiaksrdi relativ merupakan tanda lain yang mungkin
ditemukan pada pasien demam tyfoid. Pada umumnya kenaikan suhu 1 oC akan diikuti
oleh peningkatan denyut nadi 10 x setiap menitnya, namun pada demam tyfoid
8

peningkatan suhu tubuh tidak diikuti oleh peningakatan denyut nadi sehingga dikatakan
bradikardi relativ, namun hal ini jarang terjadi pada anak.
2.8 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan pemeriksaaan fisik
karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur memerlukan waktu yang lebih lama
untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella typhi. Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk
mengarahkan kecurigaan terhadap demam tifoid:
Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke
pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan turun
menjelang pagi hari), menggigil atau tidak,keringat dingin, sejak kapan mulai
demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau tidak.
Gejala gastrointestinal, diare (sejak kapan, frekuensi, konsistensi, volume tiap
diare, warna, darah, lender ), konstipasi (sejak kapan ).mual muntah, anoreksia,
malaise, perut kembung.
Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar atau hanya sebatas
mengigau sewaktu tidur?
Riwayat penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah sakit
seperti ini, karena demam typiod adalah infeksi yang sangat mungkin menjadikan
penderitanya carrier atau pembawa meskipun tidak menunjukkan gejala.
Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan atau antibiotika
klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah mengalami perubahan
Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat salah satu faktor resiko
terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum sembarangan atau di
tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat danvektor penyakit yang lain.
Riwayat pemebrian ASI juga perlu diketahui karena pentingnya ASI dalam pembentukan IgA
yang berperan dalam imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak yang diberikan susu formula
sejak kecil tentunya memiliki saluran cerna yang kurang di proteksi dengan baik oleh
immunoglobulin.
Riwayat Imunisasi.
Selain imunisasi wajib pemerintah, juga telah ditemukan vaksin untuk penyakit ini.
Bila setelah diimunisasi pasien tetap terinfeksi typiod, sangat mungkin titer
antibody yang dibentuk oleh vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk

mengantisipasi infeksi berikutnya atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang


dipengaruhi oleh banyak faktor.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien.
Bervariasi menurut perjalanan penyakitnya. Keadaan umum anak biasanya tampak
lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi
sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran
mulai dari delirium, stupor hingga koma. Pada pemeriksaan kepala dan leher
observasi tanda-tanda dehidrasi yang mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu
symptom yang dapat terjadi pada infeksi demam typoid. Tanda-tanda dehidrasi
dapat dinilai dari mata cowong dan bibir kering denga rasa haus yang meningkat.
Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah didapatkan
pinggir yang hiperemi sampai tremor.

Tifoid Tongue dengan

Pemeriksaan Thorax pada

umumnya

jarang didapatkan kelainan, kecuali pada demam tifoid yang sangat berat
dengan komplikasi extra intestinal

pada cavum pleuran yang menyebabkan

pleuritis, namun sangat jarang terjadi pad a anak-anak. Pemeriksaan


Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik pada demam tifoid.
Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella typhi pada intestinal
atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising usus biasanya
meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi organ kemungkinan
didapatkan hepato-splenomegali ringan dengan nyeri tekan minimal. Pada
ekstremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan rose spot /
roseola yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-5 mm, namun
jarang terjadi.

c. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
Pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis dengan hitung
jenis yang cenderung ke kiri (shift to the left). Namun untuk typhoid leukositosis
cenderung normal atau bahkan sampai leucopenia. Penyebab dari leucopenia ini
belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi kuman didalam peyer
patch yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi
oleh polimorfonuklear leukosit granul seperti netrofil stab ataupun segmen.
10

Makrofag jaringan merupakan limfosit sehingga tidak jarang terjadi limfositosis


relative, makrofag sehingga meningkat sedangkan leukosit PMN normal sampai
menurun. Hitung jenis bisa jadi shift to right. Namun tidak jarang ditemukan
leukosit yang meningkat (leukositosis) bisa primer ataupun skunder. Primer dari
penyakit typhoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi
tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa
perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe hipokromik
mikrositik.
Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella)
IgM anti salmonella atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan
diagnostic in vitro semi kuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi
infeksi Tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen
Lipopolisakarida bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas
mencapai > 95% dan> 91%. Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition
Magnetic Binding Immunoassay (IMBI). Antibody IgM terhadap lipopolisakarida
bakteri dideteksi melalui kemampuan untuk menghambat reaksi antara kedua tipe
partikel reagen yaitu indicator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibody
monoclonal anti 09 (reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang
disensitisisasi dengan LPS salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah
sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetic, konsentrasi partikel indicator
yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang
dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM salmonella typhi dalam sampel.
Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap
skala warna.
Ada 4 interpretasi hasil:
Skala 2-3 adalah negative borderline, tidak menunjukkan infeks demam
typhoid sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah positif, menunjukkan infeksi demam typhoid
Skala > 6 adalah positif, indikasi kuat infeksi demam typhoid
Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij
Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di
11

laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin
(aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan di
diagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin
akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3
minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Kultur
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam typhoid, akan tetapi
hasil negative tidak menyingkirkan demam typhoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. telah mendapat terapi antibiotic, bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negative
2. volume darah yang kurang (<5 cc), bila volume darah yang dibiakkan terlalu
sedikit hasil biakan kuman bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedsite langsung dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman.
3. Riwayat vaksinasi, vaksinasi dimasa lalu dapat menimbulkan antibody dalam
darah pasien. Antibody inidapat menekan bakterimia hingga biakan darah
negatif.
4. Saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibody meningkat
(minggu pertama). Oleh karena itu untuk pengambilan specimen yang akan
dikultur sebaiknya diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena
sensitifitasnya cukup tinggi, dikarenakan kuman hamper pasti didapatkan
diseluruh organ dan jaringan tubuh. Kultur kuman dapat diambil dari darah,
urin, atau feses. Arti diagnostic yang penting didapat dari gall kultur (kultur
12

media biakan garam empedu) karena kemampuan hidup bakteri salmonella


sangat tinggi dimedia ini. Specimen lainnya mengandung angka diagnostic
penting adalah biopsy sumsum tulang yang memiliki hasil positif 90% kasus.
Pada biakan feses yang perlu dicari adalah fecal monocyt sebagai respon dari
usus yang mengalami reaksi dengan kuman salmonella yang bereflikasi
didalamnya. Biakan dari feses ini khususnya bermanfaat bagi karier typhoid.
2.9 DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya influenza/common cold,
gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia bila didapatkan tanda- tanda
sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang berat berupa sepsis, leukemia, limfoma
dan penyakit hodkin.
2.10

PENATALAKSANAAN
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan perawatan, diet dan terapi

penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian antibiotika. Pada kasus tifoid yang
berat hasus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan penyulit..
Istirahat dan perawatan
bertujuan untuk menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Anak yang
menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/ Bed rest total dengan perawatan
sepenuhnya di tempat, seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air
besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidu, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
anak juga perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif
Bertujuan untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid terutama sekali pada anak- anak, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun serta proses penyembuhan yang
akan menjadi lama. Pemberian diet penderita demam typhoid awalnya bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi yang mana
13

perubahan tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur


saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus harus istirahat. Pemberian makanan
padat dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat meningkatkan kerja dan
peristaltic usus sedangkan usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel
oleh salmonella. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
memperburuk

tidak

kondisi usus. Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan

tergantung gejala yang muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian
infus pada anak- anak penting tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya
phlebitis cukup tinggi. Oleh karena itu pemberian infuse sebaiknya diberikan
bagi anak yang sakit dengan intake per Oral yang kurang. Jenis infuse yang diberikan
tergantung usia, 3 bulan 3 tahun D1/4 Normal Saline, > 3 tahun D5 Normal saline.
Jumlah pemberian infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada anak. Kebutuhan
kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. Panas yang
merupakan gejala utama pada typhoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin per oral
sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah paracetamol dengan dosis
10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk untuk mengurangi aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan. Bila intake per oral tidak mampu dapat diberikan via
parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah methamizole.
Antibiotik
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50
mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.
Pemberian intra muscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan tempat dan suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari
antibiotik ini adalah mudahnya terjadi relaps dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotik trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
14

minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia.
Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkandengan
chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golonganobat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), me
rupakan pilihan

ketiga

namun

efektifitasnya

setara

atau bahkan

lebih dari

Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi.


Ceftriaxone merupakan

prototipnya

dengan

dosis

100

mg/kg/hari IV

dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat
diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu
untuk sediaan Per Oral dapatdiberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Terapi penyulit
Pada demam typhoid berat, kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg setiap 6 jam sampai 48 jam.
Pada demam tifoid berat, kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal dilanjutkan 1 mg/kg setiap6 sampai 48 jam. Untuk demam tifoid
dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah.
Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparatomi
disertai penambahan antibiotik metronidazole.
2.11

KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga

15

penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah


ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda
perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai
syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis
g. Komplikasi

neuropsikiatrik

delirium,

meningismus,

meningitis,

polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.


2.12 PROGNOSIS
Prognosis pasien demam typoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehata sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1 %. Di Negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10 %, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan
pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dan dapat mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Relaps atau kambuh dapat timbul beberapa kali. Individu
yang mengeluarkan salmonella typhi > 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi
16

carier yang kronis.Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan meningkat
sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit
traktus biliaris lebih tinggi pada carier kronis dibandingkan populasi umum.
2.13

PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin
yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia
telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin
ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang
mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b.

Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,
K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak
1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.

c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan


secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang
yang

terpapar

dengan

penderita

karier

tifoid

dan

petugas

laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih
17

dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai
sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan
cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian
makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk
dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari
penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat,
sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang
demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan
pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman
masih ada atau tidak.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z .Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.
2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adams Diagnosis Fisik. Penerbit Buku KedokteranEGC :
Jakarta.
3. Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever. http://emedicine.medscape.com/article/231135overview.
4. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed),
Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
6. Ilmu Kesehatan Anak.1985. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Jakarta : FK UI
7. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2 Jakarta:Media
Aesculapius.

19

20

Anda mungkin juga menyukai