Neuritis Opticus IRVAN
Neuritis Opticus IRVAN
NEURITIS
OPTICUS
Dipresentasikan oleh:
Irvan Zulvikar
110.2004.122
Pembimbing:
Dr. Wawin Wilman Sp.M
Dr. Juniani Sunarjo
Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas YARSI Bagian Ilmu
Penyakit Mata BRSUD Arjawinangun
2011
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTARi
DAFTAR ISI...ii
DAFTAR GAMBAR.iii
BAB I PENDAHULUAN...1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....3
2.1. Anatomi dan Fisiologi Saraf Optik...3
2.2. Anatomi dan Fisiologi Jaras Visual..6
2.3. Pemeriksaan Sistem Visual.11
2.4.Neuritis Optik...14
2.4.1.Etiologi..15
2.4.2. Faktor Resiko...17
2.4.3. Klasifikasi.....17
2.4.4. Diagnosis......20
2.4.5. Diagnosis Banding.......23
2.4.6. Penatalaksaan.......25
2.4.7. Prognosis......28
BAB III KESIMPULAN..29
DAFTAR PUSTAKA...30
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Radiatio Optik......................................................................................10
Gambar 6.
Gambar 7.
Lintas impuls visual dan gangguan lapang pandang akibat berbagai lesi di
lintasan Visual.................................................................................13
Gambar 8.
Gambar 9.
Gamabr 10.
Gambar 11.
BAB I
PENDAHULUAN
Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optikus akibat berbagai
macam penyakit.1 Neuritis optik diklasifikasikan menjadi dua yaitu papilitis dan neuritis
retrobulbar. Papilitis adalah pembengkakan diskus yang disebabkan oleh peradangan
lokal di nervus saraf optik dan dapat terlihat dengan pemeriksaan funduskopi. Tipe
neuritis retrobulbar merupakan suatu neuritis optikus yang terjadi cukup jauh di belakang
diskus optikus sehingga tidak tampak kelainan diskus optik dengan oftalmoskop, tetapi
terjadi penurunan tajam penglihatan.1,2
neuritis optikus dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per 100.000 sedangkan
prevalensinya 115 per 100.000. Berdasarkan data The Optic Neuritis Treatment Trial
(ONTT) lebih dari 77% pasien adalah wanita, 85% berkulit putih dan usia rata-rata 32
tahun. Di berbagai kelompok populasi di seluruh dunia, neuritis retrobulbaris berkaitan
dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien. Persentase perkembangan menjadi
sklerosis multipel setelah suatu episode neuritis optikus cenderung lebih tinggi seiring
dengan peningkatan tindak lanjut pasien.1,3
Etiopatogenesis terjadinya papilitis adalah adanya peradangan pada serabut retina
saraf optik yang masuk pada papil saraf optik yang berada dalam bola mata. Neuritis
retrobulbar dapat disebabkan oleh sklerosis multipel, penyakit mielin saraf, anemia
pernisiosa, diabetes melitus, dan intoksikasi yang nantinya menyebabkan peradangan
saraf optik dibelakang bola mata, biasanya berjalan akut yang mengenai satu atau kedua
mata.2
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Saraf optik terdiri dari 1 juta lebih akson-akson yang berasal dari lapisan sel ganglion
retina yang memanjang ke arah korteks oksipital. Panjang saraf optik berkisar antara 3555 mm (rata-rata 40 mm) dan secara anatomis terbagi menjadi segmen intaokular,
intraorbital, intrakanalikular dan intakranial yang berakhir sebagai kiasma optik.4
Segmen intraokular saraf optik sepanjang 1 mm terbagi menjadi lapisan serabutserabut saraf superfisial, bagian prelaminar, laminar (lamina kribosa) dan retrolaminar.
Papil saraf optik (diskus optik) merupakan bagian prelaminar saraf optik berbentuk oval,
1,5 mm horizontal dan 1,75 mm vertikal dengan cekungan (cup shaped depression) agak
ke temporal. Papil saraf optik merupakan daerah keluarnya akson-akson sel ganglion
terletak sekitar 3-4 mm sebelah nasal fovea. Bagian prelaminar dan laminar terdiri dari
akson-akson sel ganglion retina tak bermielin, astrosit dan arteri-vena retina sentralis
yang keluar dari bagian tengah papil saraf optik. Akson-akson bergabung menjadi
fasikulus dan menembus sklera 200-300 lubang pada lamina kribosa. Setelah melewati
lamina kribosa (bagian retrolaminar) diameter saraf optik bertambah menjadi 3-4 mm
akibat pembentukan mielin akson-akson sel ganglion retina, adanya oligodendroglia
(yang membentuk mielin akson) dan selubung meningeal yang terdiri dari piamater,
arakhnoid dan duramater. Bagian prelaminar dan laminar diperdarahi terutama oleh arteri
siliaris posterior brevis yang beranastomosis dengan pleksus pial dan pembuluh darah
koroid peripapilar membentuk siklus Zinn-Haller.4,6
Segmen intraorbita saraf optik berukuran panjang 25-30 mm, lebih panjang dari
jarak antara belakang bola mata dan apeks orbita sehingga dapat bebas bergerak pada
pergerakan bola mata. Pada apeks orbita segmen saraf optik dikelilingi oleh anulus Zinn
sebelum berlanjut ke kanal optik. Saraf optik berjalan kearah porteromedial dan
meninggalkan orbita melalui foramen optik (optic ring) menuju kanal optik. Nervus
optikus pars intraorbita diperdarahi oleh cabang-cabang intraneural dan cabang-cabang
pial dari arteri retina sentral.4,6
Segmen intrakanalikular yang terdapat di dalam kanalis optik memiliki panjang 410 mm. Kanalis optik dibentuk oleh tulang sphenoid parva minor. Bagian ini diperdarahi
oleh cabang pial arteri oftalmika.4,6
Segmen Intrakranial memiliki panjang sekitar 10 mm, antara kanalis optik sampai
kiasma optikum. Bagian ini berjalan di atas arteri oftalmika, sebelah superomedial arteri
karotis interna sehingga diperdarahi langsung oleh cabang-cabang arteri tersebut.4,6
Gambar 2:Schematic representation of blood supply of: (A) the optic nerve head and (B)
the optic nerve. Abbreviations: A = arachnoid; C = choroid; CRA = central retinal
artery; Col. Br. = Collateral branches; CRV = central retinal vein; D = dura; LC = lamina
cribrosa; NFL = surface nerve fiber layer of the disc; OD = optic disc; ON = optic nerve;
P = pia; PCA = posterior ciliary artery; PR and PLR = prelaminar region; R = retina;
RA = retinal arteriole; S = sclera; SAS = subarachnoid space. 5
Jika satu ataupun semua serabut saraf mengalami peradangan dan tak berfungsi
sebagaimana mestinya maka penglihatan akan menjadi kabur. Jika terjadi inflamasi
ataupun demielinisasi nervus optikus, keadaan ini disebut dengan neuritis optikus. Pada
neuritis optikus, serabut saraf menjadi bengkak dan tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Penglihatan dapat saja normal atau berkurang, tergantung pada jumlah saraf yang
mengalami peradangan.4,6
2.2. Anatomi dan Fisiologi Jaras Visual
Secara fungsional rangsang visual ditangkap oleh retina (sebagai stasiun I).
kemudian diteruskan melalui serabut saraf otak kedua (saraf optik). Saraf optik yang
berasal dan sisi nasal kedua mata akan menyilang di daerah kiasma opikum sedangkan
yang berasal dari sisi temporal tidak bersilangan di daerah kiasmaini. Selanjutnya serabut
saraf ini akan melanjutkan perjalanannya sebagai traktus optikum. Traktus optikus ini
selanjutnya menuju ke thalamus sebagai kumpulan sel-sel saraf yang mengolah dan
bertindak sebagai stasiun informasi ke II. Bagian thalamus yang berhubungan dengan
fungsi visual disebut Corpus Geniculaturn Laterale (CGL). Stasiun ke II ini bertugas
menyampaikan informasi ke korteks serebri bagian oksipital. Dengan sampainya
informasi ke korteks penglihatan akan hal-hal yang terlihat oleh mata dapat disadari. Dari
stasiun ke II ini informasi visual juga disebarkan ke seluruh SSP yang mempunvai
hubungan dengan indera penglihatan. ke pusat keseimbangan motorik, medulla spinalis,
pendengaran, dan sebagainya.3
Corpus geniculatum laterale ( CGL ) merupakan terminal dan seluruh serabut
saraf aferen jaras visual. CGL merupakan bagian dari thalamus. Pada CGL terjadi rotasi
10
90 dari serabut saraf, sehingga serabut saraf yang berasal dari retina bagian superior
akan berada di bagian medial CGL, sedangkan yang berasal dan bagian inferior retina
akan berada di bagian lateral. Perputaran akan terjadi lagi serabut meninggalkan CGL
sehingga retina bagian superior dan inferior terletak superior dan inferior dalam radiasio
optika dan korteks serebri.3
Radiasio optika mengandung 3 kelompok besar serabut yaitu (1) bagian superior
(berisi serabut yang mengurus lapangan pandang inferior), (2) bagian inferior (berisi
serabut yang mengurus lapang pandang superior), (3) bagian sentral (berisi serabut
makula).3
Jadi pada radiasio optika (traktus genikulo-kalkarina) terjadi pemutaran, sehingga
posisi serabut penglihatan kembali seperti sebelum memasuki CGL yaitu bagian atas
retina berjalan dan diproyeksikan di bagian atas korteks serebri dan sebaliknya. Korteks
proyeksi penglihatan disebut juga korteks striata (area 17), berada di sepanjang bibir
superior dan fissure kalkarina. Ketika impuls sampai di area 17, maka akan terbentuk
sensasi visual sederhana. Impuls ini akan rnempunyai arti dan bentuk dengan perantaraan
korteks asosiasi area 18 dan 19.3
11
12
tersebut mendapat vaskularisasi dari arteri kalkarina yang merupakan cabang dari arteri
serebri posterior. Serabut yang berasal dari bagian medial korpus genikulatum lateral
membawa impuls lapang pandang bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral
membawa impuls dari lapang pandang atas (gambar 5).7,8
14
Lesi pada traktus optikus akan menyebabkan hemianopsia homonim kontralateral. Lesi
pada radiasio optika bagian medial akan menyebabkan quadroanopsia inferior homonim
kontralateral, sedangkan lesi pada serabut lateralnya akan menyebabkan quadroanopsia
superior homonim kontralateral.
4. Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan funduskopi di bidang neurologi bertujuan untuk menilai keadaan
fundus okuli terutama papil dan retina nervus optikus. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan alat berupa oftalmoskop. Papil normal berbentuk bulat, warna merah
kekuningan, di bagian temporal sedikit pucat, batas dengan sekitarnya tegas, hanya di
bagian nasal agak kabur serta terdapat lekukan fisiologis (cup fisiologis). Pembuluh darah
17
keluar dari cup disk danbercabang keatas. Jalannya arteri agak lurus, sedangkan vena
berkelok-kelok.
2.4.
Neuritis Optik
Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optik akibat berbagai
macam penyakit. 1 Insidensi neuritis optikus dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per
100.000 sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Sebagian besar mengenai usia 20
sampai dengan 40 tahun. Wanita lebih umum terkena dari pada pria. Berdasarkan data
The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) 77% adalah wanita, 85% kulit putih dan usia
rata-rata 32 7 tahun. Sebagian besar kasus patogenesisnya disebabkan inflamasi
18
demielinisasi dengan atau tanpa sklerosis multipel. Pada sebagian besar kasus neuritis
optikus monosimptomatik merupakan manifestasi awal sklerosis multipel.3
2.4.1. Etiologi
Etiologi neuritis optikus termasuk: 6,12
1.
Inflamasi lokal
a. Uveitis dan retinitis
b. Oftalmia simpatika
c. Meningitis
d. Penyakit sinus dan infeksi orbita
2.
a.
Multiplel sklerosis
Diberbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar berkaitan
dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien (Chavis dan Hoyt, 2000). Data dari Mayo
clinic pada tahun 1933 didapatkan dari 255 kasus sebanyak 155 disebabkan oleh sklerosis
multipel.
Acute disseminated encephalomyelitis
Neuromyelitis optic (Devic disease)
19
Merupakan suatu proses demielinisasi yang mengenai saraf optik. Penyakit ini
sering salah didiagnosis dengan dibedakan berdasarkan derajat keparahan, optikus,
medulla spinalis) dan (polymorphonuclear pleocytosis).
b.
Syphilis
c. Tuberkulosis
3.
Leber's disease
Toksin endogen
a. Penyakit infeksi akut, seperti influenza, malaria, measles, mumps, pneumonia
b. Fokus septik pada gigi, tonsil, infeksi fokal
c. Penyakit metabolik: diabetes, anemia, kehamilan, avitaminosis
20
Papilitis
Papilitis adalah pembengkakan diskus yang disebabkan oleh peradangan lokal di nervus
saraf optik dan dapat terlihat dengan pemeriksaan funduskopi.2
21
Patogenesis
Nervus optikus mengandung serabut-serabut syaraf yang mengantarkan informasi
visual dari sel-sel nervus retina ke dalam sel-sel nervus di otak. Retina mengandung sel
fotoreseptor, merupakan suatu sel yang diaktivasi oleh cahaya dan menghubungkan ke
sel-sel retina lain disebut sel ganglion. Kemudian mengirimkan sinyal proyeksi yang
disebut akson ke dalam otak. Melalui rute ini, nervus optikus mengirimkan impuls visual
ke otak. Inflamasi yang terjadi pada neuritis optik yang akan menyebabkan sinyal visual
terganggu dan pandangan menjadi lemah.2
Gejala dan Tanda
Dalam waktu yang cepat visus akan sangat menurun, kadang-kadang sampai buta.
Keluhan ini disertai dengan rasa sakit dimata terutama saat penekanan. Kadang-kadang
22
disertai demam atau setelah demam biasanya pada anak yang menderita infeksi virus atau
infeksi saluran napas bagian atas.3,6
Pada pemeriksaan pupil ditemui adanya RAPD yaitu kelainan pupil yang sering
dijumpai dengan adanya tanda pupil Marcus Gunn.3 Cara pemerikasaan, mata pasien
secara bergantian diberi sinar, pada sisi mata yang sakit pupil tidak mengecil tetapi malah
membesar. Kelainan ini menunjukan adanya lesi N.II pada sisi tersebut.4
Neuritis Retrobulbar
24
Dasar perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang diatas pada kasus neuritis optik adalah:
1.
2.
Untuk
menentukan
prognosisnya,
apakah
akan
myelin, yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangnya sklerosis multipel. MRI juga
dapat membantu menyingkirkan kemungkinan tumor atau kondisi lain. Pada pasien yang
dicurigai menderita neuritis optikus, pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat
suppression dan gadolinium sebaiknya dilakukan dengan tujuan untuk konfirmasi
diagnosis dan menilai lesi white matter. MRI dilakukan dalam dua minggu setelah gejala
timbul. Pada pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium
menunjukkan peningkatan dan pelebaran nervus optikus. Lebih penting lagi, MRI dipakai
dengan tujuan untuk memutuskan apakah terdapat lesi ke arah sklerosis multipel. Ciri-ciri
resiko tinggi mengarah ke sklerosis multipel adalah terdapat lesi white matter dengan
diameter 3 atau lebih, bulat, lokasinya di area periventrikular dan menyebar ke ruangan
ventrikular.
25
matter
pada MRI13
b.
auditorius dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis. Test Visually evoked
potentials menstimulasi retina dengan pola papan catur, dapat mendeteksi konduksi
sinyal elektrik yang lambat sebagai hasil dari kerusakan daerah nervus.
d.
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan tes darah NMO-IgG untuk memeriksa antibodi neuromyelitis optica.
Pasien dengan neuritis optikus berat sebaiknya menjalani pemeriksan ini untuk
mendeteksi apakah berkembang menjadi neuromyelitis optica. Pemeriksaan tingkat
26
27
(fotopsia) pada lapang penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina
yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya
robekan retina berwarna merah.
4. Oklusi Arteri Vena Sentralis
Gangguan vaskular retina dengan potensial menimbulkan kebutaan yang sering
terjadi dan mudah didiagnosis. Pasien datang dengan penurunan penglihatan mendadak
yang tidak nyeri. Biasanya pada usia lebih dari 50 tahun dan mengidap penyakit
kardiovaskular terkait lainnya.
5. Papil Edema
Kongesti non inflamasi diskus optik yang berkaitan dengan peningkatan tekanan
intrakranium. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya nyeri kepala hebat, mual, muntah
namun ketajaman penglihatan masih normal. Pada funduskopi didapatkan papil sembab,
batas kabur, kapiler dan vena retina melebar dan berkelok, terdapat perdarahan, eksudat
dan terdapat penonjolan papil yang melebihi 3 dioptri. Tidak terdapat gangguan pada
lapang pandang. Keadaan ini biasanya ditemukan bilateral.
28
2.4.6. Penatalaksanaan
1.
penglihatan jangka panjang, penglihatan yang berkaitan dengan kualitas hidup dan
peranan MRI otak dalam memutuskan resiko berkembang menjadi Clinically Definite
Multiple Sclerosis (CDMS).12
Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan
terapi, yaitu:12
a. Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari dengan 4 hari
tappering off ( 20 mg hari l, 10 mg hari ke 2 dan 4) (kelompok terapi oral).
b. Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg tiap 6 jam
selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari) selama 11 hari
dengan 4 hari tappering off (kelompok terapi dengan metilprednisolon IV).
c. Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.
Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas
terhadap kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua yang
dinilai.
29
MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan untuk
semua pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 12
a.
b.
c.
metilprednisolon
intra
vena
didapatkan
penurunan
tingkat
perkembangan ke arah CDMS selama 2 tahun pertama follow up, tetapi tidak
bermanfaat setelah 2 tahun karena persentase perkembangan menjadi CDMS hampir
sama dengan kelompok prednison oral dan placebo.
2.
ditetapkan dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter), telah
dilakukan penelitian 383 pasien oleh (The Controlled High-Risk Avonex MS Prevention
Study (CHAMPS)) menunjukkan terapi dengan interferon 1a pada pasien acute
monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang secara signifikan dalam 3 tahun
30
dibandingkan dengan kelompok placebo, juga terdapat pengurangan tingkat lesi baru
pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan pada pasien dengan neuritis optikus.
Semua pasien kelompok terapi dengan interferon -1a dan kelompok placebo juga
mendapatkan terapi dengan metilprednisolon IV selama 3 hari diikuti dengan prednison
oral selama 11 hari sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan interferon 1a pada pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko menurut pemeriksaan MRI
manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari CHAMPS memberikan suatu
terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil penelitian dari Early Treatment of
Multiple Sclerosis Study, (ETOMS)) yang menghasilkan selama 2 tahun follow up terjadi
penurunan yang signifikan jumlah pasien yang berkembang menjadi CDMS dengan
terapi awal interferon 13-1a (34%) bila dibandingkan dengan kelompok placebo (45%).3
Pada model eksperimen sklerosis multipel, dengan menggunakan terapi
immunoglobulin intravena telah menunjukan terjadinya remielinisasi pada sistem syaraf
sentral. Penelitian lain (1992) menyarankan bahwa terapi dengan immunoglobulin
bermanfaat pada pasien neuritis optikus dengan penurunan penglihatan yang bermakna.
Akan tetapi dalam penelitian terbaru tentang immunoglobulin intravena dengan placebo
pada 55 pasien sklerosis multipel dengan kehilangan penglihatan tetap (20/40 atau lebih
rendah) yang disertai neuritis optikus tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan
terhadap tajam penglihatan.
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih
(diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT, CHAMPS, dan
ETOMS, yaitu:3
31
1. Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3 hari)
diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari kemudian 4 hari
tappering off).
2. Interferon -1a intramuskular satu kali seminggu.
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari 2,
dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti prednison
oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini tidak memperbaiki
untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari ONTT, penggunaan prednison
oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan metilprednisolon IV ) dapat meningkatkan
resiko rekurensi.
2.4.7. Prognosis
Sebagian besar pasien sembuh sempurna atau mendekati sempurna setelah 6-12
minggu. Sembilan puluh lima persen penglihatan pasien pulih mencapai visus 20/40 atau
lebih baik. Dan sebagian besar pasien mencapai perbaikan maksimal dalam 1-2 bulan,
meskipun pemulihan dalam 1 tahun juga memungkinan. Derajat keparahan kehilangan
penglihatan awal menjadi penentu terhadap prognosis penglihatan. Meskipun penglihatan
dapat pulih menjadi 20/20 atau bahkan lebih baik, banyak pasien dengan acute
demyelinating optic neuritis berlanjut menjadi kelainan pada penglihatan yang
mempengaruhi fungsi harian dan kualitas hidupnya. Kelainan tajam penglihatan (1530%), sensitivitas kontras (63-100%), penglihatan warna (33-100%), lapang pandang
(62-100%), stereopsis (89%), terang gelap (89-100%), reaksi pupil afferent (55-92%),
diskus optikus (60-80%), dan visual-evoked potensial (63-100%).12
32
BAB III
KESIMPULAN
Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optikus akibat berbagai
macam penyakit. Neuritis optik diklasifikasikan menjadi dua yaitu papilitis dan neuritis
retrobulbar. Papilitis adalah pembengkakan diskus yang disebabkan oleh peradangan
lokal di kepala saraf (saraf optikus intraokular) dan dapat terlihat dengan pemeriksaan
funduskopi. Sedangkan neuritis retrobulbar adalah suatu neuritis optikus yang terjadi
cukup jauh di belakang diskus optikus.
Pasien pada neuritis optik memiliki keluhan penurunan ketajaman penglihatan
secara mendadak, kadang-kadang bisa sampai buta. Selain itu keluhan disertai rasa sakit
di mata terutama pada saat penekanan. Pada papilitis pada funduskopi didapati papil
merah, batasnya tidak tegas dan terjadi papil edema. Namun, pada neuritis retrobulbar
tidak didapat kelainan pada funduskopi oleh karena kerusakkan yang cukup jauh di
belakang diskus optik. Oleh karenanya dilakukanlah pemeriksaan penunjang seperti MRI,
analisis cairan serebrospinal dan serologi.
Penatalaksanaan pada papilitis dan neuritis retrobulbar adalah sama, yaitu
kortikosteroid atau ACTH (Adrenocorticotropic hormone) dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Bersama-sama dengan kortikosteroid diberikan juga antibiotik untuk
menahan infeksi sebagai penyebab. Selain daripada itu diberikan juga vasodilatasi dan
vitamin.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Jakarta: Widya Medika,
2000.Hall 274-287.
2. Ilyas Sidharta, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Edisi
ke tiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006. Hall 179-188.
3. American Academy of Ophtalmology Staff. Neuro-Ophtalmology : American
Academy of Ophtalmology staff, editor. Neuro-Ophtalmology. Basic and Clinical
Science Course sec. 5. San fransisco The Foundation of American Academy of
Ophtalmology, 2009-2010. P 28-31, 128-146.
4. Misbach Jusuf. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 1999. Hall 1-14, 18-23.
5. http:/www.google.co.id/images?hl=en&q=optic nerve branch (diakses tanggal 5
juni 2010).
6. Wijana Nana S,D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Abdi Tegal.Jakarta 1993.
Hall 332-342.
7. Mardjono Mahar, Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke sepuluh, Dian Rakyat.
Jakarta.2004. Hall 116-126.
8. Optic Nerve. Sumber: http://www.thebrain.mcgill.ca/splash/jpg. Diakses tanggal 9
Juni 2010.
9. Guyton AC, Hall JE. Neurofisiologi penglihatan sentral: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, edisi 9. Jakarta 1997. Hall 825.
10. Saiful Muhammad, Neuroanatomi Fungsional. Bag. Ilmu Penyakit Syaraf FK.
Unair. Surabaya. 1996. Hall 54-57.
11. Lumbantobing S, Neurologi Klinis Pemeriksaan Fisik dan mental. Balai Penerbit
FKUI 1006. Hall 25-46.
12. http://medlinux.blogspot.com/2007/08/neuritis-retrobulbar.html (diakses tanggal 5
Juni 2010).
13. http://www.djo.harvard.edu/site.php?url=/physicians/oa/390 (diakses tanggal 5
Juni 2010).
34