Anda di halaman 1dari 40

PANDUAN PRAKTEK KLINIS

BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI / RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH SOREANG
BANDUNG
MARET 2014

POLIP NASAL

1. Pengertian (Definisi)

Massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam


rongga hidung, berwarna putih keabu abuan, yang terjadi
akibat inflamasi mukosa

2. Anamnesis

1.

Rasa tersumbat ringan sampai berat

2.

Rinore jernih sampai purulen

3.

Hiposmia sampai anosmia

4.

Dapat disertai :

3.

6. Pemeriksaan Fisik

Bersin bersin

Nyeri pada hidung

Nyeri kepala daerah frontal

Gejala sekunder :

Bernafas melalui mulut

Suara sengau

Halitosis

Gangguan tidur

4.

Gejala saluran nafas bawah (Batuk kronik, mengi)

5.

Riwayat Alergi

1.

Inspeksi hidung : deformitas hidung luar (tampak


mekar dan pelebaran batang hidung).

2.

Rhinoskopi anterior
Massa berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan

3.

Naso-endoskopi
Dapat menentukan stadium 1 dan 2 yang tidak
terlihat oleh rhinoskopi anterior

4.

Stadium polip nasi (Mackay & Lund. 1997)


Stadium 1 : Polip terbatas di meatus medius
Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus
medius, tampak dirongga hidung tapi belum
memenuhi rongga hidung

Stadium 3 : Polip yang masif


7. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui Anamnesis dan pemeriksaan


fisik

8. Diagnosis Kerja
9. Diagnosis Banding

10. Pemeriksaan Penunjang

11. Terapi

12. Edukasi

Polip Nasal
1.

Rhinitis Vasomotor

2.

Rhinitis Alergi

3.

Deviasi Septum

1.

Pemeriksaan rontgen sinus paranasal

2.

CT Scan

3.

Tes Alergi

1.

Medikamentosis (Kortikosteroid)

2.

Terapi pembedahan polipektomi

3.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

1.

Menjelaskan tentang mekanisme penyakit yang

(Hospital Health Promotion)

dialami pasien serta rencana tatalaksana hingga


prognosa pasien tersebut.
2.

Menghindari alergen pada pasien yang memiliki


alergi

3.

Makan makanan bergizi dan istirhatan yang cukup


selama masa pemulihan

13. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam


Ad functionam : Ad bonam
14. Penelaah Kritis

1.

Dokter umum

2.

Dokter Spesialis

15. Indikator

Pelayanan Utama (lanjut)

16. Kepustakaan

1. Mangunkusumo E & Wardani RS. Polip Hidung, Dalam:


Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI, 2007.
2. Hilger PA. Penyakit Hidung, Dalam: Effendi H, Santoso
K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997

PRESBIKUSIS

1.

Pengertian (Definisi)

Tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya terjadi pada


usia 65tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan.

2. Anamnesis

1.

Usia Lanjut, Laki laki > Perempuan

2.

Penurunan fungsi pendengaran perlahan dan progresif

3.

Tinitus

4.

Cocktail party deafness

5.

Riwayat Paparan Bising, Riwayat penyakit Dahulu


(Diabetes Mellitus, Hipertensi)

3. Pemeriksaan Fisik

1.

Pemeriksaan otoskop

2.

Membran Timpani suram

Pemeriksaan Garpu tala didapat kesan tuli


sensorineural

4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui Anamnesis dan pemeriksaan


fisik serta pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksaan Penunjang

8. Terapi

9. Edukasi

Presbikusis
1.

Noise Induced Hearing Loss

2.

Tuli akibat Ototoksik

1.

Pemeriksaan Audiometri nada murni

2.

Pemeriksaan Audiometri tutur

1.

Rehabilitasi dengan pemakaian alat bantu dengar

2.

Latihan membaca (Speech Reading)

3.

Latihan mendengar (Auditory Training)

1.

Menjelaskan tentang mekanisme penyakit yang

(Hospital Health Promotion)

dialami pasien serta rencana tatalaksana hingga


prognosa pasien tersebut.
2.

Memberikan penjelasan terhadap keluarga mengenai


kondisi pasien, dan menyarankan untuk berbicara
dengan perlahan dan pengulangan

3.

Jaga kebersihan telinga

4.

Makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup

10. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad functionam : Ad malam
11. Penelaah Kritis

12. Indikator

1.

Dokter umum

2.

Dokter Spesialis

Playanan Pratama
Pelayanan Utama (lanjut)

13. Kepustakaan

1. Suwento R & Hendarmin H. Gangguan Pendengaran


Pada Geriatri, Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001.
2. Levine SC. Penyakit Telinga Dalam, Dalam: Effendi H,
Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi
6. Jakarta: EGC, 1997

EPISTAKSIS ANTERIOR

1. Pengertian (Definisi)

Perdarahan hidung yang berasal dari pleksus Kisselbach di


septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior.

2. Anamnesis

1.

Perdarahan dari hidung

2.

Riwayat trauma

3.

Riwayat Panas Badan

4.

Riwayat penyakit seperti Hipertensi, penyakit


kardiovaskular, diabetes mellitus, kelainan darah

3. Pemeriksaan Fisik

1.

Inspeksi Hidung : dapat ditemukan fraktur tulang


hidung akibat trauma

2.

Rhinoskopi anterior
Ditemukan adanya point of bleeding

4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui Anamnesis dan pemeriksaan


fisik

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

Epistaksis Anterior
1.

Epistaksis Posterior

2.

Demam Berdarah Dengue

7. Pemeriksaan Penunjang

1.

Pemeriksaan faktor pembekuan darah

8. Terapi

1.

Perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, dan


hentikan perdarahan

2.

Observasi sampai berhenti sendiri

3.

Menekan hidung dari luar 10 15 selama 15 menit

4.

Sumber perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras


Argenti (AgNO3) 25 30%, lalu beri krim antibiotik

5.

Pemasangan tampon anterior perlu dipertimbangkan


jika perdarahan tidak juga berhenti

9. Edukasi

1.

(Hospital Health Promotion)

Menjelaskan tentang mekanisme penyakit yang


dialami pasien serta rencana tatalaksana hingga
prognosa pasien tersebut.

2.

Menghindari alergen pada pasien yang memiliki


alergi

3.

Makan makanan bergizi dan istirhatan yang cukup

selama masa pemulihan


10. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam


Ad functionam : Ad bonam
11. Penelaah Kritis

12. Indikator

1.

Dokter umum

2.

Dokter Spesialis

Pelayanan Pratama
Pelayanan Utama (Lanjut)

13. Kepustakaan

3. Mangunkusumo E & Wardani RS. Epistaksis, Dalam:


Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI, 2007.
4. Hilger PA. Penyakit Hidung, Dalam: Effendi H, Santoso
K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997

VERTIGO

1. Pengertian (Definisi)

halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar


mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi
lingkungan sekitar.

2. Anamnesis

Terdapat ada nya Riwayat seperti :


1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu
kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian dalam
yang menyebabkan benign paroxysmal positional
4. vertigo, infeksi telinga bagian dalam karena bakteri,
labirintis, penyakit maniere,
5. peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang
menekan saraf vestibularis, sklerosis multipel, dan
patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin,
persyarafannya atau keduanya.
7. Kelainan

sirkularis

Gangguan

fungsi

otak

sementara karena berkurangnya aliran darah ke salah


satu bagian otak ( transient ischemic attack ) pada
arteri vertebral dan arteri basiler.
Red flag pada pasien dengan vertigo meliputi :7

3. Pemeriksaan Fisik

Sakit kepala

Gejala neurologis

Tanda neurologis

Pemeriksaan Neurologik
Pemeriksaan neurologic meliputi :

pemeriksaan nervus cranialis untuk mencari tanda


paralisis nervus, tuli sensorineural, nistagmus. 2
Nistagmus vertical 80% sensitive untuk lesi nucleus
vestibular

atau

vermis

cerebellar.

Nistagmus

horizontal yang spontan dengan atau tanpa nistagmus


rotator konsisten dengan acute vestibular neuronitis.

Gait test
1. Rombergs sign
2. Heel-to- toe walking test
3. Unterberger's stepping test
4. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)

Pemeriksaan untuk menentukan apakah letak lesinya di


sentral atau perifer.
1.

Fungsi Vestibuler
Dix-Hallpike manoeuvre
Test hiperventilasi
2. Fungsi Pendengaran

Tes garpu tala

: Rinne, Weber, Swabach.

Untuk membedakan tuli konduktif dan tuli


perseptif

Audiometri :

Loudness

Balance

Test,

SISI,

Bekesy Audiometry, Tone Decay.


4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Sekitar 20 sampai 40% pasien dapat didiagnosis segera
setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis juga
dapat ditentukan berdasarkan komplek gejala yang terdapat
pada pasien

Durasi episode

Kmeungkinan Diagnosis

Beberapa detik

Peripheral cause: unilateral


loss of vestibular
function; late stages of
acute vestibular

Detik sampai menit

neuronitis

Benign paroxysmal

Beberapa

menit

sampai positional vertigo;

satu jam

perilymphatic fistula

Beberapa jam

Posterior transient ischemic


attack;
perilymphatic fistula

Beberapa hari
Mnires disease;
perilymphatic fistula from
Beberapa minggu

trauma

or

surgery;

migraine; acoustic neuroma

Early acute vestibular


neuronitis*; stroke;
migraine; multiple sclerosis

Psychogenic
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

VERTIGO
Vertigo

Vertigo

Vertigo dengan

dengan tuli

tanpa tuli

tanda intracranial

Mnires
disease

Tumor

Vestibular

Cerebellopontine

neuritis

angle

Labyrinthitis

Vertebrobasilar
Benign

insufficiency dan

positional

thromboembolis

vertigo

Labyrinthine
trauma

Tumor otak
Acute

Misalnya,

vestiblar

epyndimoma

dysfunctio

atau metastasis

pada ventrikel
keempat

Acoustic

Medication

neuroma

induced

Migraine

vertigo e.g
aminoglyc
osides
Acute
cochleovestibular

Cervical

Multiple

spondylosi

dysfunction

sklerosis

Syphilis

Following

Aura epileptic

(rare)

flexion-

attack-terutama

extension

temporal lobe

injury

epilepsy
Obat-obatan- misalnya,
phenytoin, barbiturate
Syringobulosa

7. Pemeriksaan Penunjang

a.

Laboratorium pemeriksaan elekrolit, gula darah,


funsi thyroid

8. Terapi

b.

Test audiometric

c.

Vestibular testing

d.

Evalusi laboratories

e.

Evalusi radiologis

Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita


seringkali merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo
tersebut, seringkali menggunakan pengobatan simptomatik.
Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi
dapat dihentikan setelah beberapa minggu.

9. Edukasi

1. Istirahat cukup

(Hospital Health Promotion)

2. Menghindari pencetus vertigo


3. Menghindari aktivitas yg dapat memperberat
keluhan

10. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad sanationam : ad bonam
Ad fumgsionam : ad bonam
11. Penelaah Kritis

12. Indikator

a.

Dokter Umum

b.

Dokter Spesialis

Pelayanan Pratama
Pelayanan Sekunder

13. Kepustakaan

1. Mardjono,M. & Sidharta, P., Neurologi Klinis


Dasar, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1978, hlm. 169170.
2. Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of
vertigo, migraine and vestibular migraine in Journal
Nerology 2009:25:333-338

RHINITIS VASOMOTOR

1. Pengertian (Definisi)

suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,


alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrapsepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan) .
Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea,
nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial
rhinitis.

2. Anamnesis

Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :


1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf
simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti
hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas,
pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue

3. Pemeriksaan Fisik

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit


dibedakan dengan rinitis alergi seperti :

Hidung tersumbat

Rinore bersifat mukus atau serous

Bersin-bersin gejala dapat memburuk pada pagi hari


waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap
rokok dan sebagainya.

Adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post nasal drip ).

Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan


dalam 2 golongan, yaitu
1. Golongan obstruksi ( blockers)
2. Golongan rinore (runners / sneezers )
4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu


1. Menyingkirkan adanya rinitis infeksi,

2. Alergei,
3. Okupasi,
4. Hormonal dan
5. Akibat obat.
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya
gejala.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas
berupa
1. Edema mukosa hidun,
2. Konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat
pula pucat.
3. Bedakan dengan rinitis alergi.

Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol


(hipertrofi).

Rongga hidung terdapat sekret mukoid,

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan


kemungkinan rinitis alergi.
1. Ditemukan eosinfil pada sekret hidung, akan tetapi dalam
jumlah sedikit.
2. Tes cukit kulit biasanya negatif.
3. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

5. Diagnosis Kerja

Rhinitis Vasomotor

6. Diagnosis Banding

1.
2.
3.

7. Pemeriksaan Penunjang

8. Terapi

a.

Laboratorium

b.

Pemeriksaan terhadap IgE

c.

Test alergi

d.

Kultur dan uji resistensi bakteri bila diperlukan

Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung


pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis
besar dibagi dalam:

1. Menghindari stimulus/ faktor pencetus


2. Penobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan
oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis,
kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat
ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan
terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu.
Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan
aqua seperti flutikason propionat dan mometason furoat
dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis
200 mcg. Pada kasus dengan rinore berat, dapat
ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida).
Saat ini sedang dalam penelitian adalah terapi
desensitisasi dengan obat capsaicin topikal yang
mengandung lada.
3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau
konkotomi parsial konka inferior.
4. Neurektomi n. Vidianus, yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. Vidianus, bila dengan cara di atas
tidak memberikan hasil optimal. Operasi tidaklah mudah,
dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis, diplopia,
buta, gangguan, lakrimasi, neuralgia atau anestesis
infraorbita dan palatum. Dapat dilakukan tindakan
blocking ganglion sfenopalatina. Prognosis pengobatan
golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore.
Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis
alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.
9. Edukasi

4. Istirahat cukup

(Hospital Health Promotion)

5. Pemberian nutrisi dan cairan yang cukup


6. Menghindari faktor pencetus alergi

10. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad sanationam : ad bonam
Ad fumgsionam : ad bonam
11. Penelaah Kritis

12. Indikator

a.

Dokter Umum

b.

Dokter Spesialis

Pelayanan Pratama
Pelayanan Sekunder

13. Kepustakaan

1.

Soetjipto D. Mangunkusumo E. Wardani RS. Hidung.


Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Seopardi EA.
Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 118-122

2.

Irawati N. Poerbonegoro NL. Kasakeyan E. Rinitis


Vasomotor. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Seopardi
EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 135-37

3.

Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan.


Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Editor : Adams
GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam. Jakarta EGC.
1997. H: 173-188

4.

Hilger PA. Hidung : Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku


Ajar Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler
PA. Edisi keenam. Jakarta EGC. 1997. H: 218-19

ABSES PERITONSILER

1. Pengertian (Definisi)

merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di


spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di
antara tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya
unilateral dan didahului oleh infekrsi tonsilopharingitis
akut 5-7 hari sebelumnya.

2. Anamnesis

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain


1. Terdapat riwayat faringitis akut
2. Tonsillitis
3. Rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau
faring
4. Panas sub febris
5. Disfagia
6. Odinofagia yang menyolok dan spontan
7. Hot potato voice
8. Mengunyah terasa sakit
9. Nyeri telinga (otalgia) ipsilateral
10. Perubahan suara karena hipersalivasi dan
banyak ludah yang menumpuk di faring
11. Rinolalia aperta karena udem palatum molle
(udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke
radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis)
12. Trismus (terbatasnya kemampuan untuk
membuka rongga mulut) yang bervariasi,
tergantung derajat keparahan dan progresivitas
penyakit
13. Nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher
(torticolis)

3. Pemeriksaan Fisik

Tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai


dehidrasi dan sepsis

Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada


kelenjar regional

Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema,


asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan
pergeseran uvula kontralateral

Pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi.

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel


direkomendasikan pada pasien yang mengalami
kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya
epiglotitis dan supraglotis.

4. Kriteria Diagnosis

1.

Keluhan :

Adanya riwayat faringitis akut dan


tnsilitis

Adanya gangguan penyerta :


Febris
Disgafia
Nyeri telinga
Perubahan suara
Nyeri leher
Trismus

2.

Pemeriksaan :

Tanda tanda Faringitis akit dan


tonsilitis

Pemeriksaan fisik :
Nyeri tekan kelenjar regional
Kavum oral terdapat eritema,
asimetris palatum mole,
pergeseran uvula
Teraba fluktuasi pada palatum
mole

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

Abses Peritonsiler
a. Mononukleus infeksiosa
b. Tonsilitis difteri
c. Scarlet fever
d. Angina agranulositosis

e. Tonsilitis kronis
7. Pemeriksaan Penunjang

Prosedur

diagnosis

yaitu

dengan

melakukan aspirasi jarum. Tempat yang akan


dilakukaan aspirasi

dibius

atau dianestesi

menggunakan lidokain dan epinephrine dengan


menggunakan jarum besar (berukuran 1618)
yang biasa menempel pada syringe berukuran
10cc. Aspirasi material yang purulen merupakan
tanda khas, dan material dapat dikirim untuk
dibiakkan

untuk

mengetahui

organisme

penyebab infeksi demi kepentingan terapi


antibiotika.11,14
Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan3:
1. Hitung darah lengkap (complete blood count),
pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level
measurement), dan kultur darah (blood cultures).
Karena pasien dengan abses peritonsil seringkali
dalam keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat
dehidrasi

yang

bervariasi

akibat

tidak

tercukupinya asupan makanan.


2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu
dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral

cervical

lymphadenopathy.

hasilnya

positif,

penderita

Jika

memerlukan

evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver


function tests perlu dilakukan pada penderita
dengan hepatomegaly.
3. Throat culture atau throat swab and culture:
diperlukan untuk identifikasi organisme yang
infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk
pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif,
untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak

lateral

(Lateral

soft

tissue

views)

dari

nasopharynx dan oropharynx dapat membantu


dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses
retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya
tampak kumpulan cairan hypodense di apex
tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil),
dengan

peripheral

Gambaran

lainnya

rim

enhancement.

termasuk

pembesaran

asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.


6. Ultrasound,

contohnya:

intraoral

ultrasonography merupakan teknik pencitraan


yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan
selulitis dan abses.
8. Terapi

Pada

stadium

infiltrasi,

diberikan

antibiotika

dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumurkumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher.
Antibiotik yang diberikan ialah

Penisilin 600.000-1.200.000 unit

Ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg

Sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 34 x 250-500 mg2.

Bila telah terbentuk abses :

Dilakukan pungsi pada daerah abses,

Kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.

Tempat

insisi

ialah di daerah yang paling

menonjol dan lunak, atau pada pertengahan


garis

yang menghubungkan dasar uvula

dengan geraham atas terakhir.


.Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri,
diberikan

Analgesia lokal di ganglion sfenopalatum.

Kemudian pasien dinjurkan untuk


1.

Operasi tonsilektomi a chaud.

2.

Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari


setelah

drainase

abses

disebut

4-6

minggu

abses

disebut

tonsilektomi a tiede
3.

bila

tonsilektomi

sesudah

drainase

tonsilektomi a froid.
4.

Pada

umumnya

dilakukan

sesudah

tonsilektomi
infeksi tenang,

yaitu 2-3 minggu sesudah drainase


abses
4. Edukasi

7. Istirahat cukup

(Hospital Health Promotion)

8. Pemberian nutrisi dan cairan yang cukup


9. Menjaga kebersihan rongga mulut

5. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad sanationam : ad bonam
Ad fumgsionam : ad bonam
6. Penelaah Kritis

7. Indikator

5.

Dokter Umum

6.

Dokter Spesialis

Pelayanan Pratama
Pelayanan Sekunder

8. Kepustakaan

1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga,


Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-309. EGC,
Jakarta
2. Iskandar H.N; Mangunkusumo E.H; Roezin
A.H: Penyakit, Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala, dan Leher, Binarupa Aksara, Jakarta,
1994. Hal 350-52
3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses
Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta:
FKUl, 2000; 185-89.

OTOMIKOSIS
1. Pengertian (Definisi)

infeksi jamur pada liang telinga luar yang ditandai dengan


radang, gatal, rasa tidak nyaman pada telinga

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan Fisik

a.

Rasa gatal

b.

Rasa penuh pada liang telinga

a.

Otoskop

Terbentuknya sisik menyerupai ketombe pada


liang telinga

4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui Anamnesis dan pemeriksaan


fisik

5. Diagnosis Kerja

Otomikosis

6. Diagnosis Banding

a.

Otitis eksterna bakterialis

7. Pemeriksaan Penunjang

a.

Swab telinga

8. Terapi

a.

Antibiotik + kortikosteroid tetes

b.

Antijamur topikal

a.

Menjaga kebersihan telinga

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam


Ad functionam : Ad bonam
11. Penelaah Kritis

12. Indikator

a.

Dokter umum

b.

Dokter Spesialis

Pelayanan Pratama
Pelayanan Utama (lanjut)

13. Kepustakaan

5. Hafil AF & Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar,


Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2007.
6. Boies LR. Penyakit Telinga Luar, Dalam: Effendi H,
Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi
6. Jakarta: EGC, 1997

TUMOR HIDUNG

1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan Fisik

Pertumbuhan massa ke arah ganas pada hidung


a.

Benjolan pada hidung

b.

Rinore

c.

epistaksis

a.

Gejala nasal : obstruksi hidung, rinore, massa pada


hidung, kadang disertai darah

b.

Gejala orbital: perluasan tumor ke arah orbita


penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus

4. Kriteria Diagnosis

c.

Gejala oral : penonjola palatum, nyeri gigi

d.

Gejala fasial : penonjolan pipi, parastesia muka

e.

Gejala intrakranial ; sakit kepala hebat, likuorea

Diagnosis ditegakkan melalui Anamnesis dan pemeriksaan


fisik

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

Tumor hidung
a.

Polip hidung

b.

Tumor vaskuler

a.

Foto polis sisus paranasal

b.

Ct scan

8. Terapi

a.

Pembedahan

9. Edukasi

a.

Untuk segera mempertimbangkan terapi pembedahan

7. Pemeriksaan Penunjang

(Hospital Health Promotion)


10. Prognosis

Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam


Ad functionam : dubia ad malam
11. Penelaah Kritis

a.

Dokter umum

b.

Dokter Spesialis

12. Indikator

Pelayanan Utama (lanjut)

13. Kepustakaan

7. Roezin A & Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal,


Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi

kelima. Jakarta: FKUI, 2007.


8. Hilger PA. Penyakit Hidung, Dalam: Effendi H, Santoso
K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997

NOISE INDUCED HEARING LOSS

1. Pengertian (Definisi)

Gangguan pendengaran akibat bising yang cukup keras


dalam jangaka waktu yang cukup lama dan biasanya
diakibatkan oleh bisisng lingkungan kerja

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan Fisik

a.

Penurunan pendengaran

b.

Tinitus atau tidak

c.

Sulit mendengar percakapan dengan kekerasan biasa

d.

Riwayat pajangan bising di tempat kerja

a.

Otoskop

Tidak ditemukan kelainan

2. Tes penala kesan tuli sensori

4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui Anamnesis dan pemeriksaan


fisik

5. Diagnosis Kerja

Noise induced hearing loss

6. Diagnosis Banding

a.

Presbikus

7. Pemeriksaan Penunjang

a.

Audiometri nada murni

8. Terapi

a.

Penggunaan pelindung telinga (ear plug, ear muff)

b.

Alat bantu dengar

c.

Auditori training

d.

Lip reading

9. Edukasi

a.

Penggunaan pelindung teringa

(Hospital Health Promotion)

b.

Mengurangi pajanan bising

3. Menjelaskan tentang mekanisme penyakit yang dialami


pasien serta rencana tatalaksana hingga prognosa pasien
tersebut.
4. Memberikan penjelasan terhadap keluarga mengenai
kondisi pasien, dan menyarankan untuk berbicara dengan
perlahan dan pengulangan
1.
10. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam


Ad functionam : dubia ad bonam
11. Penelaah Kritis

a.

Dokter umum

b.

Dokter Spesialis

12. Indikator

Pelayanan Utama (lanjut)

13. Kepustakaan

9. Bashiruddin J & Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat


bising, Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2007.
10.

Levine SC. Penyakit Telinga Dalam, Dalam: Effendi

H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi


6. Jakarta: EGC, 1997

SINDROM MENIERE

1. Pengertian (Definisi)

Gangguan dengan suatu pembengkakan rongga endolimfatik


(hidrops endolimfa).

2. Anamnesis

1. Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo


periodik yang makin mereda pada serangan-serangan
berikutnya, tinitus dan tuli sensorineural terutama
nada rendah. Keluhan Utamanya biasanya vertigo.
2. Serangan pertama sangat berat, yaitu vertigo disertai
muntah. Setiap kali berusaha untuk berdiri dia merasa
berputar, mual dan terus muntah lagi. Hal ini
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu,
meskipun keadaannya berangsur baik. Pada serangan
kedua kalinya dan selanjutnya dirasakan lebih ringan,
tidak seperti pada serangan yang pertama kali
3. Pada setiap serangan biasanya disertai dengan
gangguan pendengaran dan dalam keadaan tidak ada
serangan, pendengaran dirasakan baik kembali
4. Tinitus dirasakan kadang-kadang menetap, meskipun
di luar serangan
5. Gejala lain yang menjadi tanda khas adalah perasaan
penuh di dalam telinga

3. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan fisik diperlukan hanya untuk


menguatkan diagnosis
2. Bila dalam anamnesis terdapat riwayat fluktuasi
pendengaran, sedangkan pada pemeriksaan ternyata
terdapat tuli sensorineural, maka sudah dapat
didiagnosis penyakit Meniere

4. Kriteria Diagnosis

1. Vertigo hilang timbul


2. Fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf
3. Menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral,
misalnya tumor N VIII
4. Bila gejala-gejala khas penyakit Meniere pada

anamnesis ditemukan, maka diagnosis dapat


ditegakkan
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

Sindrom Meniere (Penyakit Meniere)


1. Tumor N VIII
2. Sklerosis Multipel
3. Neuritis Vestibuler
4. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak (VPPJ)

7. Pemeriksaan Penunjang

1. Tes Gliserin
2. Tes Kalori

8. Terapi

1. Pada saat datang biasanya diberikan obat-obat


simtomatik, seperti sedative, dan bila diperlukan
dapat diberikan anti muntah
2. Pengobatan yang paling baik adalah sesuai dengan
penyebabnya
3. Khusus untuk penyakit Meniere, diberikan obat-obat
vasodilator perifer untuk mengurangi tekanan hidrops
endolimfa
4. Terapi bedah yaitu membuat shunt untuk
menyalurkan tekanan endolimfa ke tempat lain
5. Obat-obat antiiskemia diberikan sebagai obat
alternatif dan juga diberikan obat neurotonik untuk
menguatkan sarafnya
6. Pengobatan yang khusus untuk VPPJ yang diduga
penyebabnya adalah kotoran (debris), yaitu sisa-sisa
utrikulus yang terlepas dan menempel pada kupula
kss posterior atau terapung dalam kanal, caranya
dengan menempelkan vibrator
7. Pengobatan khusus untuk pasien yang menderita
vertigo yang disebabkan oleh rangsangan dari
perputaran leher (vertigo servikal) dengan traksi leher
dan fisioterapi, disamping latihan-latihan lain dalam
rangka rehabilitasi
8. Neuritis vestibuler diobati dengan obat-obat

simtomatik, neurotonik, anti virus dan latihan


(rehabilitasi)
9. Edukasi (Hospital Health
Promotion)
10. Prognosis

1. Berbaring dalam posisi yang meringankan keluhan


2. Diet rendah garam
Ad vitam

: ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam

11. Penelaah Kritis

Dokter Umum
Dokter Spesialis

12. Indikator

Pelayanan Pertama / Primer


Pelayanan Sekunder

13. Kepustakaan

1. Jenny Bashiruddin, Entjep Hadjar, Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher, Edisi VI, FKUI, 2007
2. Samuel C. Levine, M.D. Penyakit Telinga Dalam.
Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997

SERUMEN PROP

1. Pengertian (Definisi)

Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa,


epitel kulit yang terlepas dan partikel debu yang terdapat
pada bagian kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini
berlebihan maka dapat membentuk gumpalan yang
menumpuk di liang telinga, dikenal dengan serumen prop.

2. Anamnesis

1. Keluhan pendengaran yang berkurang disertai rasa


penuh pada telinga.
2. Impaksi/gumpalan serumen yang menumpuk di liang
telinga menyebabkan rasa penuh dengan penurunan
pendengaran (tuli konduktif).
3. Terutama bila telinga masuk air (sewaktu mandi atau
berenang), serumen mengembang sehingga
menimbulkan rasa tertekan dan gangguan
pendengaran semakin dirasakan sangat mengganggu.
4. Adanya vertigo atau tinitus. Rasa nyeri timbul apabila
serumen keras membatu dan menekan dinding liang
telinga.
5. Faktor Risiko
- Dermatitis kronik liang telinga luar
- Liang telinga sempit
- Produksi serumen banyak dan kering
- Adanya benda asing di liang telinga
- Kebiasaan mengorek telinga

3. Pemeriksaan Fisik

1. Otoskopi: dapat terlihat adanya obstruksi liang


telinga oleh material berwarna kuning kecoklatan
atau kehitaman. Konsistensi dari serumen dapat
bervariasi.
2. Pada pemeriksaan penala dapat ditemukan tuli
konduktif akibat sumbatan serumen.

4. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang khas

5. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Klinis

Serumen Prop

7. Diagnosis Banding

Benda asing di liang telinga

8. Komplikasi

Trauma pada liang telinga dan atau membran timpani saat


mengeluarkan serumen

9. Tatalaksana

1. Menghindari membersihkan telinga secara berlebihan


2. Menghindari memasukkan air atau apapun ke dalam
telinga
3. Tatalaksana farmakoterapi:
a. Serumen yang lembek, dibersihkan dengan
kapas yang dililitkan pada pelilit kapas.
b. Serumen yang keras dikeluarkan dengan
pengait atau kuret. Apabila dengan cara ini
serumen tidak dapat dikeluarkan, maka
serumen harus dilunakkan lebih dahulu
dengan tetes karbogliserin 10% selama 3 hari.
c. Serumen yang sudah terlalu jauh terdorong
kedalam liang telinga sehingga dikuatirkan
menimbulkan trauma pada membran timpani
sewaktu mengeluarkannya, dikeluarkan
dengan mengalirkan (irigasi) air hangat yang
suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh.
d. Indikasi untuk mengeluarkan serumen adalah
sulit untuk melakukan evaluasi membran
timpani, otitis eksterna, oklusi serumen dan
bagian dari terapi tuli konduktif.
Kontraindikasi dilakukannya irigasi adalah
adanya perforasi membran timpani. Bila
terdapat keluhan tinitus, serumen yang sangat
keras dan pasien yang tidak kooperatif
merupakan kontraindikasi dari suction.

10. Edukasi (Hospital Health


Promotion)

1. Memberitahu pasien dan keluarga untuk tidak


mengorek telinga baik dengan cotton bud atau

lainnya.
2. Memberitahu keluarga dan pasien untuk menghindari
memasukkan air atau apapun ke dalam telinga
3. Menganjurkan untuk mengeluarkan serumen 6-12
bulan sekali
11. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
12. Penelaah Kritis

Dokter Umum

13. Indikator

Pelayanan Pertama / Primer

14. Kepustakaan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5


Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

PAROTITIS

1. Pengertian (Definisi)

Parotitis adalah peradanganyang terjadi pada kelenjar saliva


atau yang lebih dikenal dengan kelenjar parotis. Parotitis
paling sering merupakan bentuk komplikasi dari penyakit
yang mendasarinya. Parotitis SindromSjgren memiliki rasio
laki : perempuan 1: 9. Parotitis dapat berulang saat masa
kecil lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan. Parotitis viral(gondongan) paling sering terjadi
pada anak-anak

2. Anamnesis

1. Keluhan
a. Demam
b. Pembengkakan pada kelenar parotis mulai
dari depan telinga hingga rahang bawah
c. Nyeri terutama saat mengunyah makanan dan
mulut terasa kering.
2. Tanda dan gejala pada penyakit parotitis berdasarkan
penyebabnya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Parotitis akut
-

Parotitis bakteri akut: bengkak, nyeri pada


kelenjar dan demam, mengunyah
menambah rasa sakit.

Parotitis virus akut(gondong): Nyeri,


bengkak pada kelenjar 5-9 hari terakhir.
Malaise moderat, anoreksia, dan demam.

Parotitis tuberkulosis: nyeri tekan,


bengkak pada salah satu kelenjar parotid,
gejala tuberculosis dapat ditemukan
dibeberapa kasus.

b. Parotitis kronik
-

Sjogren syndrome: pembengkakan salah


satu atau kedua kelenjar parotis tanpa
sebab yang jelas, sering berulang, dan

bersifat kronik, mata dan mulut kering.


-

Sarkoidosis: nyeri tekan pada


pembengkakan kelenjar parotis.

3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada kelenjar parotis dapat ditemukan


tanda-tanda berupa:
1. Demam
2. Pembengkakan kelenjar parotis
3. Eritema pada kulit.
4. Nyeri tekan di kelenjar parotis.
5. Terdapat air liur purulen.

4. Kriteria Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


penunjang

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

Parotitis
1. Neoplasma kelenjar saliva
2. Pembesaran kelenjar getah bening karena penyebab
lain

7. Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan di layanan sekunder :


1. Pemeriksaan laboratorium : untuk menganalisa cairan
saliva, dengan dilakukan pemeriksaan anti-SS-A,
anti-SS-B, dan faktor rhematoid yang dapat
mengetahui adanya penyakit autoimun.

8. Komplikasi

1. Infeksi gigi dan karies


2. Infeksi ke kelenjar gonad

9. Terapi

Penatalaksanaan
1. Memberikan informasi selengkapnya kepada pasien /
orang tua pasien, dan keluarga mengenai penyakit
parotitis. Menjaga kebersihan gigi dan mulut sangat
efektif untuk mencegah parotitis yang disebakan oleh
bakteri dan virus.
2. Farmakologis :
a. Tatalaksana simptomatis sesuai gejala yang
dirasakan.
b. Antibiotik: Antibiotik spektrum luas dapat

diberikan pada kasus parotitis bakteri akut


yang disebabkanoleh bakteri.
c. Bila kondisi tidak membaik, segera rujuk ke
layanan sekunder.
10. Edukasi (Hospital Health
Promotion)

Pendekatan keluarga dapat dilakukan dengan membantu


pihak keluarga untuk memahami penyakit parotitis ini,
dengan menjelaskan kepada keluarga pentingnya
melakukkan vaksin parotitis yang dapat mencegah terjadinya
penularan penyakit ini.
Kriteria Rujukan :
Bila kasus tidak membaik dengan pengobatan adekuat di
layanan primer, segera rujuk ke layanan sekunder dengan
dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit dalam.

11. Prognosis

Ad vitam

: ad bonam

Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
12. Penelaah Kritis

Dokter Umum
Dokter Spesialis

13. Indikator

Pelayanan Pertama / Primer


Pelayanan Sekunder

14. Kepustakaan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5


Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

KOLESTEATOMA
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesis

3. PemeriksaanFisik

4. Kriteria Diagnosis
5. DiagnosisKerja
6. Diagnosis Banding
7. PemeriksaanPenunjang

8. Terapi

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)

10. Prognosis

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Suatu kista epithelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).


a.
Biasanya mengenai satu sisi telinga
b. Usia tua
c.
Tidak ada penyakit yang mendasari
d. Nyeri dirasakan kronis dan nyeri tumpul
e.
Tidak terdapat gangguan pendengaran/ringan
f.
Sering mengalami otorea
a.
Tidak terdapat gangguan pendengaran
b. Erosi tulang hanya terjadi di daerah posteroinferior
c.
Otorea
Sesuai anamnesa, gejala klinik dan pemeriksaan fisik yang di
dapat
Kolesteatoma
a.
Keratosis Obturans
a.
Laboratorium
b. Foto Rontgen Mastoid
c.
Kutur dan resistensi test dari sekret telinga yang sakit
d. Pemeriksaan fungsi pendengaran
a.
Debridement tulang
b. Operasi (kanalplasty dan timpanomastoidektomi)
untuk cegah berlanjutnya erosi tulang.
a.
Menjelaskan tentang mekanisme penyakit yang
dialami pasien serta rencana tatalaksana hingga
prognosa pasien tersebut.
b. Edukasi kebersihan dari telinga
c.
Makan makanan bergizi
Ad vitam : ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
III
A
a.
Dokter umum
b. Dokter Spesialis
Pelayanan Pratama
Pelayanan Utama (lanjut)
11.
Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisikelima.
Jakarta: FKUI, 2001.
12.
Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit
telinga tengah dan mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K,
Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997

OTITIS EKSTERNA DIFUS


1. Pengertian (Definisi)

2. Anamnesis

3. PemeriksaanFisik

4. Kriteria Diagnosis

5. DiagnosisKerja
6. Diagnosis Banding

7. PemeriksaanPenunjang

8. Terapi

9. Edukasi

Peradangan akut biasanya mengenai kulit liang telinga


duapertiga dalam yang disebabkan infeksi bakteri, jamur dan
virus.
a.
Adanya riwayat aktivitas yang menyebabkan
perubahan pH telinga, telinga hangat dan lembab
(renang dll).
b. Pada remaja / dewasa/anak :
Terdapat nyeri
Telinga terasa perih/luka
Adanya secret yang berbau (namun tidak
mengandung musin)
Riwayat mengorek telinga
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Telinga terasa sempit
a.
Tampak kulit liang telinga hiperemis dan edema yang
tidak jelas batasnya
b. Nyeri tekan tragus
c.
Liang telinga sempit
d. Kelenjar getah bening regional membesar dan nyeri
tekan
e.
Secret berbau(tidak mengandung musin)
Keluhan :
a.
Adanya riwayat aktivitas yang menyebabkan
perubahan pH telinga, telinga hangat dan lembab
(renang dll). Riwayat trauma telinga dan mengorek
telinga.
b. Pemeriksaan :
o Tampak kulit liang telinga hiperemis dan
edema yang tidak jelas batasnya
o Nyeri tekan tragus
o Liang telinga sempit
o Kelenjar getah bening regional membesar dan
nyeri tekan
o Secret berbau(tidak mengandung musin)
Otitis Eksterna Difus
a.
Otitis Media Akut
b. Myringitis bulosa
c.
Herpes zoster otikus
d. SOM (Serous Otitis Media)
a.
Laboratorium
b. Foto Rontgen Mastoid
c.
Kutur dan resistensi test dari sekret telinga yang sakit
d. Pemeriksaan fungsi pendengaran
a.
Membersihkan liang telinga
b. Masukan tampon yang mengandung antibiotic
c.
Antibiotic sistemik (bila perlu)
a.
Menjelaskan tentang mekanisme penyakit yang

(Hospital Health Promotion)

10. Prognosis

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

dialami pasien serta rencana tatalaksana hingga


prognosa pasien tersebut.
b. Edukasi kebersihan dari telinga
c.
Makan makanan bergizi
Ad vitam : adbonam
Ad sanactionam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
B
a.
Dokter umum
b. Dokter Spesialis
Pelayanan Pratama
Pelayanan Utama (lanjut)
13.
Djaafar ZA. Kelainantelingatengah. Dalam: Soepardi
EA,
Iskandar
N,
Ed.
Bukuajarilmukesehatantelingahidungtenggorokkepalalehe
r. Edisikelima. Jakarta: FKUI, 2001.
14.
Paparella MM, Adams GL, Levine SC.
Penyakittelingatengahdan mastoid. Dalam: Effendi H,
Santoso K, Ed. BOIES bukuajarpenyakit THT. Edisi
6. Jakarta: EGC, 1997

1. Pengertian (Definisi)

2. Anamnesis

4. PemeriksaanFisik

5. Kriteria Diagnosis
6. DiagnosisKerja
7. Diagnosis Banding

8. PemeriksaanPenunjang

OTITIS MEDIA SEROSA


Keadaan dimana terdapatnya secret nonpurulen di telinga
tengah, sedangkan membrane timpani utuh.
Nama lain:otitis media nonsupuratif, otitis media musinosa,
otitis media efusi, otitis media sekretoria, otitis media
mucoid (glue ear).
a.
Adanya riwayat aktivitas yang menyebabkan
perubahan tekanan(barotrauma:menyelam/pesawat),
infeksi virus, alergi atau tidak jelas yang mengganggu
fungsi tuba.
b. Gejala Pada Otitis media serosa akut:
Pendengaran berkurang
Telinga terasa tersumbat
Suara sendiri terdengar lebih nyaring atau
berbeda, pada telinga yang sakit
Terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam
telinga pada saat posisi kepala berubah
Sekret secara tiba-tiba dan Terasa nyeri
dalam telinga
Tinitus. Vertigo kadang-kadang dalam bentuk
ringan
3. Gejala otitis media serosa kronik (glue ear)
Banyak pada anak-anak
Sekret terbentuk secara bertahap dan
tanpa rasa nyeri pada telinga.
Sekret dapat kental seperti lem
Gejala kronik atau gejala sisa dari otitis media
akut yang tidak sembuh sempurna
a.
Pada Otitis Media serosa akut
Pada otoskop terlihat membrane timpani
retraksi
Kadang tampak gelembung udara atau
permukaan cairan dalam cavum timpani
Garpu tala:tuli konduktif
b. Pada Otitis Media Serosa Kronik
Pada otoskop terlihat membrane timpani utuh,
retraksi, suram, kuning kemerahan atau ke
abu-abuan.
Sesuai anamnesa, gejala klinik dan pemeriksaan fisik yang di
dapat
Otitis Media Serosa/Nonsupuratif/efusi
a.
Otitis Media Akut
b. Otitis Media Kronik
c.
Myringitis bulosa
d. Herpes zoster otikus
e.
SOM (Serous Otitis Media)
a.
Laboratorium
b. Foto Rontgen Mastoid
c.
Kutur dan resistensi test dari sekret telinga yang sakit

9. Terapi

10. Edukasi
(Hospital Health Promotion)

11. Prognosis

12. Tingkat Evidens


13. Tingkat Rekomendasi
14. Penelaah Kritis
15. Indikator
16. Kepustakaan

d.
a.

Pemeriksaan fungsi pendengaran


Otitis media serosa akut:
Medikamentosa :obat vasokonstriktor local
(tetes hidung), antihistamin,serta perasat
valsalva bila tidak ada tanda infeksi
Bila setelah satu atau dua minggu gejala
menetap, maka dilakukan miringotomi serta
pemasangan pipa ventilasi (Grommet).
b. Otitis Media Serosa Kronik
Mengeluarkan secret dengan miringotomi dan
pasang pipa ventilasi (Grommet).
Kasus baru:dekongestan tetes hidung serta
kombinasi anti-histamin-dekongestan peroral.
a.
Menjelaskan tentang mekanisme penyakit yang
dialami pasien serta rencana tatalaksana hingga
prognosa pasien tersebut.
b. Edukasi kebersihan dari telinga
c.
Makan makanan bergizi
Ad vitam : ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
III
A
a.
Dokter umum
b. Dokter Spesialis
Pelayanan Pratama
Pelayanan Utama (lanjut)
15.
Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisikelima.
Jakarta: FKUI, 2001.
16.
Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit
telinga tengah dan mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K,
Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997

Anda mungkin juga menyukai