Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI

Pengaruh Sikap dan Kerja Fisik


Terhadap Tekanan Darah

OLEH :
KELOMPOK A9
Nama

NIM

Ketua kelompok

Lisa Mery Nathania

10.2012.024

Anggota

Edison

10.2012.106

Vita Paramitha Teken

10.2012.107

Supyan Tsauri

10.2012.190

Calvin Affendy

10.2012.262

Azrin Agmalina

10.2012.327

Vania Eva Kezia

10.2012.367

Ahmad Marazuqi bin Abdullah

10.2012.469

Hazwani Binti Mohamad

10.2012.477

Yoshevine Lorisika Ginting

10.2012.524

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA 2013

Tanda Tangan

PRAKTIKUM PENGARUH SIKAP DAN KERJA FISIK


TERHADAP TEKANAN DARAH
ALAT YANG DIPERLUKAN
1. Sfigmomanometer
2. Stetoskop
I.

PENGUKURAN TEKANAN DARAH A. BRAcHIALIS PADA SIKAP


BERBARING , DUDUK DAN BERDIRI

Berbaring Telentang
1. Suruhlah orang percobaan (OP) berbaring terlentang dengan tenang selama 10 menit.
2. Selama menunggu, pasanglah manset sfigmomanometer pada lengan kanan atas
orang percobaan.
3. Carilah dengan palpasi denyut a. brachialis pada fossa cubiti dan denyut a. radialis
pada pergelangan tangan kanan orang percobaan.
4.

Setelah OP berbaring 10 menit,

tetapkanlah kelima fase Korotkoff dalam

pengukuran tekanan darah OP tersebut.


5. Ulangilah pengukuran sub. 4 sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan
catatlah hasilnya.
Duduk
6. Tanpa melepaskan manset, OP disuruh duduk. Setelah ditunggu 3 menit, ukurlah lagi
tekanan darah a.brachialisnya dengan cara yang sama. Ulangilah pengukuran
sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan catatlah hasilnya.
Berdiri
7. Tanpa melepaskan manset OP disuruh berdiri. Setelah ditunggu 3 menit ukurlah lagi
tekanan darah a.brachialisnya dengan cara yang sama. Ulangilah pengukuran
sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan catatlah hasilnya.
8. Bandingkan hasil pengukuran tekanan darah OP pada ketiga sikap yang berbeda
diatas.

II. PENGUKURAN TEKANAN DARAH SESUDAH KERJA OTOT


1.

Ukurlah tekanan darah a. brachialis OP dengan penilaian menurut metode baru pada
sikap duduk ( OP tak perlu yang sama seperti pada sub I )

2. Tanpa melepaskan manset, suruhlah OP berlari di tempat dengan frekuensi 120


loncatan / menit selama 2 menit. Segera setelah selesai, OP disuruh duduk dan
ukurlah tekanan darahnya.
3. Ulangilah pengukuran tekanan darah ini tiap menit sampai tekanan darahnya kembali
seperti semula. catatlah hasil pengukuran tersebut.

III. PENGUKURAN TEKANAN DARAH A. BRAcHIALIS DENGAN

cARA

PALPASI
1. Ukurlah tekanan darah a.brachialis OP pada sikap duduk dengan cara auskultasi (sub
I)
2. Ukurlah tekanan darah a. brachialis OP pada sikap yang sama dengan cara palpasi.
HASIL PERcOBAAN

Hasil percobaan I:

SIKAP

BERBARING

DUDUK

BERDIRI

BAcAAN
P1

P2

P3

P1

P2

P3

110

110

108

109.3

120

120

120

120

130

120

130

126

FASE II

100

100

98

99

110

110

105

108

110

110

110

110

FASE III

90

90

90

90

90

100

90

93

90

90

90

90

FASE IV

95

80

80

85

80

84

86

83

80

80

80

80

73.3

70

76

70

72

70

70

76

72

(mmHg)
FASE I

FASE

80

70

70

P1

P2

P3

Hasil percobaan II:

Tekanan darah normal: 110 / 70 mmHg


Setelah melakukan aktivitas (berlari di tempat): 110 / 70 mmHg

Hasil percobaan III:

Tekanan darah dengan cara palpasi: 110mmHg ( tekanan sistolik)


Tekanan darah dengan cara auskultasi: 110/ 80 mmHg
PEMBAHASAN
Pada percobaan pertama, tujuan utama yang mahu diuji ialah adakah perubahan
sikap berbaring, duduk, dan berdiri dapat mempengaruhi tekanan darah secara fisiologis.
Tekanan darah arteri adalah kekuatan darah ke didinding pembuluh darah yang
menampung , mengakibatkan tekanan ini berubah-ubah pada setiap siklus jantung.
Tekanan darah dinilai dalam 2 nilai, sebuah tekanan tinggi sistolik yang menandakan
kontraksi maksimal jantung dan tekanan rendah diastolik atau tekanan istirahat.
Pemeriksaan tekanan darah biasanya dilakukan pada lengan kanan, kecuali pada lengan
tersebut terdapat cedera. Tekanan ini dapat ditentukan dengan menggunakan
sfigmomanometer dan stetoskop. Pada titik tekanan sisitolik dalam arteri tepat
melampaui tekanan manset, semburan darah melewatinya pada tiap denyut jantung, dan
secara sikron dengan tiap denyut bunyi detakan didengar di bawah manset. Tekanan
manset pada waktu bunyi pertama terdengar adalah tekanan sistolik.
Dengan menurunnya tekanan, suara menjadi lebih keras, kemudian tidak jelas dan
menutupi dan akhirnya pada kebanyakan individu menghilang (bunyi Korotkoff). Bunyi
Korotkoff dihasilkan oleh arus turbulen dalam arteri brachialis. Arus laminar dalam arteri
yang tidak berkonstriksi adalah tidak bersuara, tetapi bila arteri menyempit, kecepatan
kritis dan terjadilah arus turbulen.1 Bunyi Korotkoff dapat dibagi dalam empat fase yang
berbeda:
-

Fase I : timbulnya dengan tiba-tiba suatu bunyi mengetuk yang jelas dan makin lama
makin keras sewaktu tekanan menurun 10-14 mmHg berikutnya. Ini disebut pula
nada letupan.

Fase II : bunyi berubah kualitasnya menjadi bising selama penurunan tekanan 15-20
mmHg berikutnya.

Fase III : bunyi sedikit berubah dalam kualitas, tetapi menjadi jelas dan keras selama
penurunan tekan 5-7 mmHg berikutnya.

Fase IV : bunyi meredam (melemah) selama penurunan 5-6 mmHg berikutnya.


Setelah itu bunyi menghilang.

Fase V : titik dimana bunyi menghilang.


Permulaan dari fase I yaitu dimana bunyi mula-mula terdengar merupakan

tekanan sistolis. Permulaan fase IV atau fase V merupakan tekanan diastolis. Pada
percobaan ini,hasil yang diperoleh bagi tekanan darah orang percobaan ketika baring
110/60 mmHg dan meningkat ketika duduk menjadi 120/72 mmHg dan ketika berdiri
menjadi 126/71 mmHg. Peningkatan ini menunjukkan bahwa posisi tubuh berpengaruh
terhadap tekanan darah. Peningkatan tekanan darah ini terjadi karena adanya gaya
grafitasi yang mempengaruhi tekanan pompa jantung lain halnya pada saat berbaring
letak estermitas atas dan bawah sejajar dengan jantung sehingga kecepatan aliran darah
standar.
Tapi bila dalam keadaan berdiri bagian ekstermitas atas dan kepala lebih tinggi
dari jantung sehingga agar supaya darah dapat sampai ke tempat yang dituju dengan
pasokan yang sama dengan pada waktu berbaring, maka diperlukan tekanan pompa yang
besar sehingga vurah meningkat kemudian aliran balik vena meningkat dan selanjutnya
meningkatkan tekanan darah.2 Sehingga darah akan terlokalisir pada suatu tempat.
Pengisian atrium kanan jantung akan berkurang sehingga pada posisi berdiri akan terjadi
penurunan sementara. Setelah beberapa menit kemudian tekanan darah akan kembali
normal karena sudah mulai beradaptasi dengan perubahan posisi tubuh. Hal ini karena
adanya baroresptor yang menjaga tekanan arteri di kepala dan tubuh bagian atas tetap
konstan.
Karena tekanan arteri meningkat, baroreseptor sinus karotis dan lengkung aorta
meningkatkan kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron aferen. Setelah
mendapatkan informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial
tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler berespons dengan mengurangi aktivitas simpatis
dan meningkatkan aktivitas parasimpatis ke system kardiovaskuler. Sinyal-sinyal eferen

ini menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup, dan


menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena, yang pada gilirannya menurunkan curah
jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali ke tingkat normal.1
Pada percobaan kedua pula, adalah meguji pengaruh kerja otot pada tekanan darah.
Pada percobaan ini didapatkan tekanan darah orang coba sebelum dan sesudah
melakukan aktivitas adalah sama. Akan tetapi, secara fisiologis tekanan darah setelah
melakukan aktivitas seharusnya meningkat. Hal ini mungkin disebabkan karena ketidak
akuratan alat atau orang coba sering berolahraga sehingga tekakan darahnya tidak segera
mengalami perubahan dibandingkan orang-orang yang tidak sering berolahraga.
Ketika kita beraktivitas maka otot-otot akan saling berkontraksi. Dalam proses kontraksi,
otot memerlukan suplai oksigen yang banyak untuk memenuhi kebutuhan akan energi.
Darah sebagai media yang bertujuan untuk menyuplai O2 harus segera memenuhinya.
Oleh karena itu, curah jantung akan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan darah
tersebut dan selanjutnya akan meningkatkan aliran darah. Selain itu, perangsangan implus
simpatis menyebabkan vasokonstriktor pembuluh darah pada tubuh kecuali pada otot
yang aktif, terjadi vasodilatasi.
Hal inilah yang menyebabkan tekanan darah akan meningkat setelah melakukan
aktivitas fisik. Selain itu, sewaktu otot-otot itu berkontraksi, otot-otot tersebut menekan
pembuluh darah di seluruh tubuh. Akibatnya terjadi pemindahan darah dari pembuluh
perifer ke jantung dan paru. Dengan demikian akan meningkatkan curah jantung yang
selanjutnya meningkatkan tekanan darah. Percobaan yang teakhir ialah mengukur
tekanan darah secara palpasi. Cara palpasi hanya dapat menentukan tekanan diastole
dimana pada percobaan ini tekanan diastole didapatkan 110 mmHg. Palpasi dilakukan
sebelum melakukan auskultasi karena dari pengukuran palpasi kita akan mendapatkan
nilai standar patokan untuk mengukur tekanan darah dengan cara auskultasi.Cara
auskultasi dilakukan untuk mendengar bunyi pada stetoskop dalm hal ini untuk
menentukan tekanan darah orang coba dan didapatkan tekanan sistolle yang sama dengan
cara palpasi yaitu 110/80 mmHg. Timbulnya bunyi pada pada pemeriksaan terutama
disebabkan oleh semburan darah yang melewati pembuluh yang mengalami hambatan
parsial. Semburan darah ini menimbulkan aliran turbulen di dalam pembuluh yang

terletak di luar area manset, dan keadaan ini akan menimbulkan getaran yang terdengar
melalui stetoskop yang dikenal dengan bunyi Korotkoff.2
KESIMPULAN
Cara-cara pengukuran tekanan darah arteri adalah dengan cara palpasi dan
auskultasi. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah secara
fisiologis adalah karena istirahat, perubahan sikap, dan kerja otot. Selain itu,
meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara
diantaranya yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan
pada setiap detiknya, arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, dan
bertambahnya cairan dalam sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. In : Novrianti A, Dany F, Resmisari T,
Rachman LY, Muttaqin H, Nugroho AW, et al. Jaringan Peka-Rangsangan : Otot. 22 nd
ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ; 2008. P.562-65.
2. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. In : Setiawan I. Kontraksi dan
Eksitensi Otot Polos. 11th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. P.182.

Anda mungkin juga menyukai