Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sirosis Hepatis
2.1.1 Definisi
Merupakan perubahan arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi
nodular yang bersifat difus dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis. Perubahan (distorsi)
struktur tersebut dapat mengakibatkan peningkatan aliran darah portal, disfungsi sintesis
hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler.
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi sirosis hati sulit untuk dinilai karena stadium awalnya bersifat
asimptomatis. Namun, sirosis tercatat sebagai penyakit kematian ke-14 tersering pada dewasa
di dunia, dengan angka kematian sekitar 1,04 juta jiwa per tahun. Sirosis juga menjadi
indikasi utama untuk 500 kasus transplantasi hepar per tahun di negara maju.
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat mengakibatkan sirosis hati. Etiologi
tersering di negara barat ialah akibat konsumsi alkohol. Sementara di Indonesia, sirosis
utamanya disebabkan oleh hepatitis B dan/atau C kronis.
2.1.4 Patogenesis
Sirosis hati kini dikenal sebagai proses yang dinamis dan pada kondisi tertentu
bersifat reversibel. Transisi dari penyakit hati kronis menjadi sirosis melibatkan proses yang
kompleks antara reaksi inflamasi, aktivasi sel Stelata (penghasil kolagen), angiogenesis, dan
oklusi pembuluh darah yang berdampak pada perluasan lesi parenkim hati.
Patogenesis utama dari proses fibrosis dan sirosis hati ialah aktivasi sel Stelata
(disebut juga sel Ito atau sel perisinusoidal). Sel Stelata normalnya bersifat diam dan
berperan dalam penyimpanan retinoid (vitamin A). Namun, adanya stimulus jejas dan reaksi
inflamasi akan mengaktivasi sel Stelata sehingga sel tersebut berproliferasi, memproduksi
matriks ekstraseluler (kolagen tipe I dan III, proteoglikan sulfat, dan glikoprotein), serta
menjadi sel miofibroblas yang mampu berkontraksi.

2.1.5 Patofisiologi dan Komplikasi Sirosis


Secara garis besar, komplikasi sirosis hati terjadi akibat: (1) hipertensi portal dan
kondisi hiperdinamis, serta (2) insufisiensi hati. Selain itu, sirosis hati (bersama dengan
etiologinya) dapat menimbulkan perubahan materi genetik pada hepatosit sehingga
berpotensi menjadi karsinoma hepatoseluler.
1. Hipertensi porta dan kondisi hiperdinamik
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien tekanan vena hepatik >5
mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap aliran darah
porta dan peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan resistensi tersebut
disebabkan oleh perubahan struktur parenkim hati (deposisi jaringan fibrosis dan
regenerasi nodular), serta mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah sinusoid hati
(utamanya akibat defisiensi nitrit oksida). Adanya hipertensi porta akan berdampak
pada:
a. Pembesaran limpa dan sekuestrasi trombosit (pada tahap lanjut dapat menjadi
hipersplenisme);
b. Terjadi aliran darah balik dan terbentuk pirau (shunt) dari sistem porta ke
pembuluh darah sistemik (portosistemik). Aliran portosistemik akan menurunkan
kemampuan metabolisme hati (first-pass effect), fungsi retikuloendotelial, dan
mengakibatkan hiperamonemia. Walau demikian, kolateral portosistemik tetap
tidak adekuat dalam mengurangi tekanan vena porta. Sebaliknya, justru akan
meningkatkan produksi NO sehingga terjadi vasodilatasi splanknikus dan
peningkatan aliran darah ekstrahepatik (sementara kadar NO intrahepatik tetap
rendah).
c. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron akibat vasodilatasi splanknikus dan
vasodilatasi sistemik. Pada tahap lanjut kondisi ini mengakibatkan komplikasi
pada jantung, paru, dan renal.
Secara klinis, hipertensi porta dan pembentukan kolateral portosistemik akan
mengakibatkan komplikasi berikut:

Varises gastro-esofagus dan perdarahan varises tersebut;


Asites Selain hipertensi porta, risiko kejadian asites juga semakin meningkat

akibat hipoalbuminemia;
Sindrom hepatorenal, akibat vasokonstriksi arteri renalis sebagai respon
terhadap vasodilatasi sistemik (mekanisme arterial underfilling);

Peritonitis bakterialis spontan, yaitu infeksi cairan asites akibat migrasi bakteri
lumen usus ke nodus limfe mesenterika dan lokasi ekstra-usus lainnya. Diduga

terjadi karena gangguan sistem imunitas lokal dan sistemik;


Ensefalopati hepatikum, terjai akibat hiperammonemia;
Komplikasi lainnya: sindrom hepatopulmonal, hipertensi portopulmonal, dan

kardiomiopati.
2. Insufisiensi hati
Perubahan struktur histologis hati akan diiringi oleh penurunan fungsi hati, antara
lain:
a. Gangguan fungsi sintesis: hipoalbuminemia dan malanutrisi, defisiensi vitamin K
dan koagulopati (penurunan faktor koagulasi yang membutuhkan vitamin K, yaitu
faktor II, VII, IX, dan X), serta gangguan endokrin (kadar estrogen darah
meningkat, hiperparatiroidisme);
b. Gangguan fungsi ekskresi: kolestasis dan ikterus, hiperamonemia, dan
ensefalopati;
c. Gangguan fungsi metabolisme: gangguan homeostasis glukosa (dapat menjadi
diabetes mellitus), malabsorbsi vitamin D dan kalsium.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Sirosis hati merupakan kondisi histopatologis yang bersifat asimptomatis pada
stadium awal. Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata (gejala klinis
belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata (gejala dan tanda klinis jelas).
1. Sirosis kompensata
Kebanyakan bersifat asimptomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui pemeriksaan
fungsi hati. Bila ada, gejala yang muncul berupa kelelahan non-spesifik, penurunan
libido, atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis jua seringkali belum tampak
pada tahap ini. Sekitar 40% kasus sirosis kompensata telah mengalami varises
esofagus namun belum menunjukkan tanda-tanda perdarahan.
2. Sirosis dekompensata
Disebut sirosis dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu dari manifestasi
berikut:
- Ikterus,
- Asites dan edema perifer,
- Hematemesis melena (akibat perdarahan varises esofagus),
- Jaundice, atau
- Ensefalopati (baik tanda dan gejala minimal hingga perubahan status mental).

Asites merupakan tanda dekompensata yang palin sering ditemukan (sekitar 80%).
Selain itu, terdapat beberapa stigma sirosis lainnya yang dapat diidentifikasi. Antara lain:
a. Tanda gangguan endokrin:
i. Spider angioma Gambaran seperti laba-laba di kulit, terutama daerah
ii.
iii.
iv.
v.
vi.

leher, bahu, dan dada;


Eritema palmaris pada tenar dan hipotenar;
Atrofi testis Sering disertai penurunan libido dan impotensi;
Ginekomastia;
Alopesia pada dada dan aksila;
Hiperpigmentasi kulit Diduga akibat peningkatan kadar melanocyte-

stimulating hormone (MSH);


b. Kuku Muehrche Gambaran pita putih horizontal yang memisahkan warna kuku
normal;
c. Kontraktur Dupuytren Penebalan fasia pada palmar (terutama pada sirosis
alkoholik);
d. Fetor hepatikum Bau napas khas akibat penumpukan metionin (gagal
dimetabolisme), atau akibat peningkatan konsentrasi dimetilsulfida akibat pirau
e.
f.
g.
h.

portosistemik yang berat;


Atrofi otot;
Petekie dan ekimosis bila terjai trombositopenia koagulopati berat;
Splenomegali;
Pemeriksaan palpasi hati sangat bervariasi, mulai dari tidak ditemukan
pembesaran hati, lobus kiri yang dapat teraba lunak (khas sirosis), atau teraba
nodul dengan konsistensi keras.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium:
Hb, leukosit, hitung trombosit, waktu protrombin;
Bilirubin, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, gamma GT, albumin, globulin,

imunoglobulin, feritin serum, saturasi transferin;


Apabila ditemukan asites: kadar elektrolit (natrium, kalium, bikarbonat,

klorida), ureum dan kreatinin, serta urinalisis (urin tampung 24 jam);


Deteksi/pemantauan etiologi: penanda serologi hepatitis B dan C, profil lipid

dan glukosa, penanda autoimun, dsb.


2. Biopsi hati dan pemeriksaan histopatologis Merupakan baku emas untuk diagnosis
dan klasifikasi derajat sirosis;
3. Pemeriksaan radiologi (non-invasif) USG hati, CT scan, dan MRI untuk deteksi
nodul hati atau tanda hipertensi porta;
4. Pemeriksaan esofago-gastroduodenoskopi (EGD) untuk mendeteksi varises
esofagus;

5. Beberapa prediktor sirosis seperti:


Rasio SGOT/SGPT (AST/ALT) >1 - Namun rasio sebaliknya tidak

mengeksklusi kejadian sirosis.


Skor APRI (indeks rasio SGOT/trombosit) - Dapat digunakan untuk etiologi
hepatitis B kronis dan hepatitis C.
SGOT ( IU /L)
Rumus APRI=
x 100
Hitung trombosit (109 / L)

Skor FIB4 Dapat digunakan untuk etiologi hepatitis B kronis, hepatitis C,


dan NAFLD/NASH.
Rumus FIB 4=

Usia ( tahun ) x SGOT (IU /L)


Hitung trombosit (109 / L)x SGPT ( IU / L)

Pada NAFLD/NASH: Skor FIB4 <1,30 = Sirosis METAVIR F0-F1; Skor


FIB4 >2,67 = Sirosis METAVIR F3-F4. Pada hepatitis C: Skor FIB4 <1,45 =
Sirosis METAVIR F0-F1; Skor FIB4 >3,21 = Sirosis METAVIR F3-F4.
2.1.8 Diagnosis dan Penilaian Derajat Sirosis
Baku emas diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati dengan pemeriksaan
histopatologis. Deteksi sirosis harus dipertimbangkan untuk setiap etiologi penyakit hati
kronis. Diagnosis juga harus menyertakan: (1) etiologi penyakit, dan (2) grading/staging
histopatologis untuk menilai derajat nekro-inflamasi dan fibrosis (misalnya dengan skor
METAVIR). Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi beberapa derajat kategori
berdasarkan kriteria Child-Turcotte-Pugh bertujuan untuk menilai prognosis pasien.
Tabel 1. Skor Child-Turcotte-Pugh
Parameter
Ensefalopati

1 Poin
Tidak ada

2 Poin
Derajat 1-2

3 Poin
Derajat 3-4

hepatikum
Asites
Bilirubin (mg/dL)
Albumin (g/dL)
Waktu protrombin

Tidak ada
<2
>3,5
<4 detik atau INR

Sedikit
2-3
2,8-3,5
4-6 detik atau INR

Sedang-berat
>3
<2,8
>6 detik atau INR

atau INR

<1,7

1,7-2,3

2,3

Keterangan:
Skor 5-6 = Child A (survival rate 1 tahun pertama = 100%; survival rate 2 tahun pertama = 85%)
Skor 7-9 = Child B (survival rate 1 tahun pertama = 81%; survival rate 2 tahun pertama = 57%)
Skor 10-15 = Child C (survival rate 1 tahun pertama = 45%; survival rate 2 tahun pertama = 35%)

2.1.9 Tata Laksana Sirosis Kompensata


Terapi ditujukan untuk mencegah perkembangan menjadi sirosis dekompensata dan
mengatasi kausa spesifik.
1. Terapi medikamentosa
a. Terapi sesuai etiologi: hepatitis B kronis, hepatitis C, NASH, sirosis alkoholik,
autoimun, dsb;
b. Bila perlu berikan terapi defisiensi besi. Dapat diberikan tambahan zink sulfat
2x200 mg PO untuk memperbaiki nafsu makan dan kram otot;
c. Bila perlu dapat diberikan antipruritus: kolestiramin, antihistamin atau agen
topikal;
d. Suplementasi vitamin D (atau analognya) pada pasien berisiko tinggi
osteoporosis.
2. Terapi non-medikamentosa
a. Diet seimbang 35-40 kkal/kgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/kgBB/hari;
b. Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot, sesuaikan dengan
toleransi pasien;
c. Stop konsumsi alkohol dan merokok;
d. Pembatasan obat-obatan hepatotoksik dan nefrotoksik: NSAID, isoniazid,
asam valproat, eritromisin, amoksisilin/klavulanat, golongan aminolikosida
(bersifat nefrotoksik pada sirosis), ketokonazol, klorpromazin, dan ezetimibe.
3. Surveilans komplikasi sirosis
a. Monitor kadar albumin, bilirubin, INR, serta penilaian fungsi kardiovaskular
dan ginjal;
b. Deteksi varises dengan esofago-gastroduodenoskopi (EGD):
Bila tidak ditemukan varises: ulangi EGD setiap 2 tahun; Bila
ditemukan varises kecil: ulangi EGD setiap 1 tahun; Bila ditemukan
varises besar: beta blocker (propanolol), prosedur ligasi varises.
c. Deteksi retensi cairan dan pemantauan fungsi ginjal;
d. Deteksi ensefalopati: tes psikometri dan neuropsikologis terhadap atensi dan
fungsi psikomotorik setiap 6 bulan;
e. Deteksi karsinoma hepatoselular: pemeriksaan alfa fetoprotein dan USG hati
setiap 6 bulan;
f. Vaksinasi hepatitis B dan hepatitis A, bila perlu.
2.1.10 Tata Laksana Sirosis Dekompensata
Terapi ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan mengembalikan ke kondisi
kompensata.

1. Tata laksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan. Berikut garis besar pilihan
terapi yan dapat diberikan untuk masing-masing komplikasi:
a. Hipertensi porta dan varises esofagus: somatostatin (atau analonya), terapi
endoskopik, pemasangan TIPS, maupun prosedur bedah;
b. Asites: restriksi garam, pemberian spironolakton dan furosemid, parasentesis
bila volume besar;
c. Sindrom hepatorenal: penggunaan agen vasopresor dan albumin, tata laksana
gangguan elektrolit dan asam-basa (bila ada);
d. Peritonitis bakterial spontan: kultur dan pemberian antibiotik spektrum luas;
e. Ensefalopati hepatikum: minimalisasi faktor pencetus, pemberian laktulosa
dengan/tanpa rifaksimin, suplementasi asam amino ratai bercabang dan diet
rendah asam amino lisin, metionin, dan triptofan;
f. Koagulopati dan gangguan hematologi: pertimbangkan transfusi pada kondisi
gawat darurat.
2. Pada kebanyakan kasus, dekompensasi terjadi akibat adanya faktor pencetus seperti
sepsis, hipotensi, atau penggunaan obat-obatan tertentu. Identifikasi dan tata laksana
faktor pencetus tersebut dapat membantu mengembalikan ke kondisi kompensata.
3. Pertimbangkan transplantasi hati. Indikasi transplantasi ialah sirosis dekompensata
atau

karsinoma

hepatoseluler

pada

sirosis

hati.

Namun,

transplantasi

dikontraindikasikan pada kondisi berikut:


a. Aktif menggunakan obat-obatan terlarang, misalnya metadon;
b. AIDS. Infeksi HIV saja bukan kontraindikasi;
c. Keganasan intrahepatik;
d. Sepsis tidak terkendali;
e. Gagal organ ekstrahepatik (jantung, paru);
f. Trombosis splanknikum yang meluas ke vena mesenterika superior.
2.1.11 Prognosis
Umumnya, mortalitas hanya terjadi setelah pasien mengalami fase dekompensasi.
Untuk sirosis kompensata, survival rate selama 10 tahun diperkirakan sekitar 90%, namun
terjadinya dekompensata dalam 10 tahun tersebut meningkat 50%. Sementara itu, angka
kejadian karsinoma hepatoseluler dilaporkan konstan 3% per tahun dan berkorelasi dengan
prognosis yang buruk pada setiap stadium karsinoma hepatoseluler.
2.2 Ensefalopati Hepatikum
2.2.1 Definisi
Merupakan salah satu komplikasi serius sistemik dari penyakit hati kronik.
Didefinisikan sebagai manifestasi neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan status

mental, intelektual, psikomotor, dan fungsi kognitif disertai denan kegagalan hati dan
mengeksklusi penyakit otak lainnya. Ditemukan pada hingga 70% pasien dengan sirosis.
2.2.2. Patogenesis
Beberapa substansi neurotoksin mempengaruhi morfologi astrosit yang berperan
dalam menjaga blood-brain barrier (BBB), keseimbangan elektrolit, penyediaan nutrisi,
prekursor neurotransmitter, dan detoksifikasi beberapa zat kimia, termasuk amonia. Keadaan
ensefalopati hepatikum adalah hasil akhir dari akumulasi substansi neurotoksik di dalam otak.
Beberapa teori yang menjadi dasar berkembangnya ensefalopati hepatikum adalah sebagai
berikut:
1. Hipotesis Amonia
Amonia terutama diproduksi di kolon sebagai hasil metabolisme protein dan urea oleh
bakteri dan digunakan dalam konversi glutamat menjadi glutamin oleh enzim
glutamin sintetase. Otot dan ginjal juga memproduksi amonia, namun tidak bermakna
jika dibandingkan dengan saluran cerna. Secara normal, amonia akan didetoksifikasi
hati (hepatosit periportal) dengan mengubahnya menjadi urea. Pada sirosis, massa
hepatosit berkurang sehingga menurunkan kemungkinkan detoksifikasi amonia.
Kemudian terjadi pirau portosistemik yang mengalihkan aliran darah dari hati yang
mengandung amonia ke sirkulasi sistemik.
Normalnya sel otot skeletal tidak memiliki enzim siklus urea, namun memiliki
glutamin sintetase. Aktivitas enzim glutamin sintetase meningkat pada sirosis
dengan pirau portosistemik. Namun, muscle wasting yang sering ditemukan

pada pasien sirosis menurunkan kapasitas enzim tersebut.


Ginjal, memiliki glutaminase yang berperan dalam produksi amonia. Namun
ginjal memiliki glutamin sintetase sehingga berperan juga dalam metabolisme

dan ekskresi amonia.


Astrosit juga memiliki

glutamin

sintetase.

Namun

pada

keadaan

hiperamonemia, astrosit tidak dapat meningkatkan aktivitas glutamin sintetase


karena

tingginya

amonia.

Kadar

amonia

yang

tinggi

menginduksi

pembengkakan astrosit karena terjadi ketidakseimbangan osmotik, yang


menyebabkan edema serebral dan hipertensi intrakranial.
Amonia memiliki berbagai efek toksik, antara lain:

Mengganggu transit asam amino, air, dan elektrolit yang melewati astrosit dan

neuron,
Merusak metabolisme asam amino dan penggunaan energi di otak,

Menghambat produksi potensi postsinaptik ekstasi dan inhibisi.

Meskipun demikian terhadap sekitar 10% pasien ensefalopati dengan kadar amonia
serum normal.
2. Hipotesis GABA
GABA merupakan neurotransmitter inhibitor yang diproduksi saluran cerna. Sekitar
25-45% neuron sistem saraf pusat (SSP) merupakan neuron GABA-ergik. Pada sirosis,
terdapat peningkatan kadar GABA dan benzodiazepin endogen di dalam plasma yang
kemudian melewati BBB.
Penelitian menunjukkan bahwa neurotoksin seperti amonia dan mangan dapat
meningkatkan produksi reseptor benzodiazepin perifer pada astrosit, yang kemuian
menghasilkan neurosteroid. Neurosteroid tersebut dapat berikatan ke kompleks
reseptor GABA sehingga meningkatkan neurotransmisi inhibisi.
3. Hasil Produk Bakteri dan Infeksi Bakteri
Sekitar 10% pasien ensefalopati hepatikum memiliki kadar amonia darah yang
normal. Pasien dengan kadar amonia yang tinggi tidak selalu mengalami ensefalopati.
Diduga beberapa produk bakteri, seperti merkaptan dan fenol (hasil metabolisme
asam amino), bersifat neurotoksik pada ensefalopati hepatikum. Pada penyakit hati
kronis, didapatkan peningkatan kadar fenol dan merkaptan. Kedua senyawa tersebut
diproduksi di usus halus dan dan diabsorbsi melalui aliran vena portal. Toksin tersebut
tidak dapat dikatabolisme karena hati telah mengalami kerusakan, sehingga akhirnya
masuk ke dalam pirau portosistemik. Toksin kemudian menembus sawar darah otak
dan menyebabkan gangguan fungsi serebral. Perdarahan gastrointestinal dapat
meningkatkan absorpsi toksin.
2.2.3 Gejala dan Tanda
Pada pasien dengan gagal hati akut, dapat terjadi perubahan mental dalam hitungan
minggu hingga bulan. Pada ensefalopati berat dapat terjadi edema otak pada substansia abu
dan mengakibatkan hernia serebral.
Berdasarkan klasifikasi West-Haven, ensefalopati hepatikum dapat dikategorikan
dalam berbagai tingkatan sebagai berikut:
1. Derajat 0 Minimal atau subklinis. Susah ditemukan perubahan perilaku. Perubahan
minimal dalam ingatan, konsentrasi, fungsi intelektual dan koordinasi. Tidak
ditemukan asteriksis.

2. Derajat 1 Kemampuan mempertahankan konsentrasi memendek. Hipersomnia,


insomnia ataupun perubahan dalam pola tidur. Euforia, depresi, atau gampang
teriritasi. Kebingungan ringan. Kemampuan melakukan tugas mental melambat.
Dapat ditemukan asteriksis.
3. Derajat 2 Letargi atau apatis. Disorientasi (khususnya orientasi waktu), perilaku
tidak sesuai, berbicara cadel, asteriksis jelas. Tampak mengantuk, letargi, kesulitan
mengerjakan pekerjaan mental, dan perubahan perilaku yang jelas.
4. Derajat 3 Somnolen namun masih dapat dibangunkan, tidak dapat mengerjakan
tugas mental, disorientasi tempat dan waktu, kebingungan yang jelas, amnesia, dan
bicara tidak komprehensif.
5. Derajat 4 Koma dengan atau tanpa respon terhadap stimulus nyeri.
Pada pasien dengan ensefalopati biasanya ditemukan asteriksis, yakni liver flap yang
muncul pergerakan maju tiba-tiba dari pergelangan tangan setelah dilakukan ekstensi.
Diagnosis membutuhkan pengalaman yang menyatukan berbagai gambaran klinis.
2.2.4 Pencetus
Pada pasien sirosis, ensefalopati sering dicetuskan oleh keberadaan kondisi medis
lainnya, seperti:
1. Gagal ginjal Mengurangi laju ekskresi urea, amonia, ataupun komponen nitrogen
lainnya.
2. Perdarahan saluran cerna Meningkatkan jumlah nitrogen dan amonia yang dapat
diabsorbsi di usus. Perdarahan juga menjadi faktor predisposisi hipoperfusi ginjal dan
gangguan fungsi ginjal.
3. Transfusi darah dapat menyebabkan hemolisis ringan dengan peningkatan kadar
amonia.
4. Konstipasi Meningkatkan absorbsi dan prouksi amonia.
5. Infeksi Faktor predisposisi gangguan ginjal dan meningkatkan katabolisme jaringan.
Pada pasien dengan asites, cairan harus dikeluarkan untuk menghilangkan
kemungkinan infeksi.
6. Obat-obatan dapat beraksi di sistem saraf pusat seperti opiat, benzodiazepin,
antidepresan, dan antipsikotik.
7. Hipokalemia Biasanya akibat penggunan diuretik. Hipokalemia memicu alkalosis,
yang mencetuskan perubahan NH4+ menjai NH3 (amonia).
8. Diet tinggi protein.
9. Keadaan lain seperti trombosis vena porta, hipoksia atau gangguan elektrolit.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Peningkatan kadar amonia darah Bermakna bila ditemukan pada pasien dengan
sirosis denan perubahan mental status. Pemeriksaan amonia serial tidak diperlukan
dalam mengevaluasi perbaikan atau perburukan pasien.
2. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan gelombang amplitudo tinggi dengan
frekuensi rendah dan gelombang trifasik. Namun tidak spesifik untuk ensefalopati
hepatikum.
3. CT scan dan MRI untuk mengeksklusi lesi intrakranial.
2.2.6 Tata Laksana
1. Secara umum, tata laksana ensefalopati hepatikum adalah sebagai berikut:
a. Eksklusi penyebab perubahan status mental nonhepatik,
b. Pertimbangkan pemeriksaan kadar amonia arterial sebagai pemeriksaan awal,
khususnya pasien rawat inap,
c. Tata laksana pencetus yang mendasari, baik rehidrasi ataupun perbaikan elektrolit.
d. Hindari pengunaan obat-obatan yan mensupresi SSP, khususnya golongan
benzodiazepin. Bila dibutuhkan agen sedatif, pilihlah obat golongan lain, seperti
Haloperidol.
e. Pada pasien dengan ensefalopati berat (derajat 3 dan 4), sebaiknya dirawat di unit
perawatan intensif.
2. Terapi untuk menurunkan produksi amonia:
a. Diet Pembatasan asupan protein sebaiknya dilakukan khususnya pada pasien
dengan derajat yang berat, namun dengan tetap memperhatikan status nutrisi
pasien. Umumnya pasien ensefalopati masih dapat menoleransi asupan 60-80 g
per hari.
b. Obat pencahar Dosis yang diberikan sebaiknya 30-45 ml (20-30 g) per oral.
Dosis disesuaikan hingga keluar feses lunak 2-3 kali per hari. Laktulosa dan
laktilol merupakan disakarida yang tidak diserap dan akan didegraasi oleh bakteri
di dalam usus menjadi asam laktat akan menurunkan pH lumen usus yang dapat
menghambat proliferasi bakteri koliform amoniagenik sehingga meningkatkan
jumlah laktobasilus non-amoniagenik. Hati-hati dalam penggunaannya karena
dosis berlebih dapat menyebabkan ileus, diare berat, gangguan elektrolit, dan
hipovolemia yang dapat memperberat gejala ensefalopati.
c. Antibiotik Untuk mengurangi konsentrasi bakteri amoniagenik. Dapat diberikan
neomisin 2-4 x 250 mg tiap harinya atau metronidazol 3 x 500 mg. Rifaximin 2 x
550 mg juga terbukti dapat menurunkan risiko ensefalopati hepatik rekuren.

Rifaximin merupakan antibiotik spektrum luas oral derivat rifamisin yang tidak
diserap dengan baik sehingga terdeposisi di dalam traktus gastrointestinal.
3. Terapi untuk meningkatkan klirens amonia:
a. L-ornitin L-aspartat Meningkatkan kadar glutamat untuk meningkatkan
penggunaan amonia untuk mengubah glutamat menjadi glutamin oleh glutamin
sintetase.
b. Zink Pada umumnya pasien sirosis mengalami defisiensi besi. Pemberian zink
dapat meningkatkan aktivasi ornitin transkarbamilase, enzim yang dibutuhkan
dalam siklus urea untuk ureagenesis dan berefek hilangnya ion amonia. Dosis
yang diberikan dapat 600 mg per oral tiap harinya.
c. Natrium benzoat, natrium fenilbutirat, natrium fenilasetat Natrium benzoat
diberikan 2 x 5 g tiap harinya. Natrium benzoat akan berinteraksi dengan glisin
membentuk hipurat, senyawa yang membutuhkan amonia ketika diekskresi oleh
renal.
d. L-carnitine Merupakan rantai pendek ester dari karnitin yang secara endogen

diproduksi di dalam mitokondria dan peroksism. Bekerja dengan menginduksi


ureagenesis yang mengurangi kadar amonia di darah dan otak. Dapat
memperbaiki aktivitas neuropsikologi, menurunkan derajat kelelahan mental dan
fisik, kerusakan depresi kognitif, dan memperbaiki kualitas hidup.

Anda mungkin juga menyukai