TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sirosis Hepatis
2.1.1 Definisi
Merupakan perubahan arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi
nodular yang bersifat difus dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis. Perubahan (distorsi)
struktur tersebut dapat mengakibatkan peningkatan aliran darah portal, disfungsi sintesis
hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler.
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi sirosis hati sulit untuk dinilai karena stadium awalnya bersifat
asimptomatis. Namun, sirosis tercatat sebagai penyakit kematian ke-14 tersering pada dewasa
di dunia, dengan angka kematian sekitar 1,04 juta jiwa per tahun. Sirosis juga menjadi
indikasi utama untuk 500 kasus transplantasi hepar per tahun di negara maju.
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat mengakibatkan sirosis hati. Etiologi
tersering di negara barat ialah akibat konsumsi alkohol. Sementara di Indonesia, sirosis
utamanya disebabkan oleh hepatitis B dan/atau C kronis.
2.1.4 Patogenesis
Sirosis hati kini dikenal sebagai proses yang dinamis dan pada kondisi tertentu
bersifat reversibel. Transisi dari penyakit hati kronis menjadi sirosis melibatkan proses yang
kompleks antara reaksi inflamasi, aktivasi sel Stelata (penghasil kolagen), angiogenesis, dan
oklusi pembuluh darah yang berdampak pada perluasan lesi parenkim hati.
Patogenesis utama dari proses fibrosis dan sirosis hati ialah aktivasi sel Stelata
(disebut juga sel Ito atau sel perisinusoidal). Sel Stelata normalnya bersifat diam dan
berperan dalam penyimpanan retinoid (vitamin A). Namun, adanya stimulus jejas dan reaksi
inflamasi akan mengaktivasi sel Stelata sehingga sel tersebut berproliferasi, memproduksi
matriks ekstraseluler (kolagen tipe I dan III, proteoglikan sulfat, dan glikoprotein), serta
menjadi sel miofibroblas yang mampu berkontraksi.
akibat hipoalbuminemia;
Sindrom hepatorenal, akibat vasokonstriksi arteri renalis sebagai respon
terhadap vasodilatasi sistemik (mekanisme arterial underfilling);
Peritonitis bakterialis spontan, yaitu infeksi cairan asites akibat migrasi bakteri
lumen usus ke nodus limfe mesenterika dan lokasi ekstra-usus lainnya. Diduga
kardiomiopati.
2. Insufisiensi hati
Perubahan struktur histologis hati akan diiringi oleh penurunan fungsi hati, antara
lain:
a. Gangguan fungsi sintesis: hipoalbuminemia dan malanutrisi, defisiensi vitamin K
dan koagulopati (penurunan faktor koagulasi yang membutuhkan vitamin K, yaitu
faktor II, VII, IX, dan X), serta gangguan endokrin (kadar estrogen darah
meningkat, hiperparatiroidisme);
b. Gangguan fungsi ekskresi: kolestasis dan ikterus, hiperamonemia, dan
ensefalopati;
c. Gangguan fungsi metabolisme: gangguan homeostasis glukosa (dapat menjadi
diabetes mellitus), malabsorbsi vitamin D dan kalsium.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Sirosis hati merupakan kondisi histopatologis yang bersifat asimptomatis pada
stadium awal. Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata (gejala klinis
belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata (gejala dan tanda klinis jelas).
1. Sirosis kompensata
Kebanyakan bersifat asimptomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui pemeriksaan
fungsi hati. Bila ada, gejala yang muncul berupa kelelahan non-spesifik, penurunan
libido, atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis jua seringkali belum tampak
pada tahap ini. Sekitar 40% kasus sirosis kompensata telah mengalami varises
esofagus namun belum menunjukkan tanda-tanda perdarahan.
2. Sirosis dekompensata
Disebut sirosis dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu dari manifestasi
berikut:
- Ikterus,
- Asites dan edema perifer,
- Hematemesis melena (akibat perdarahan varises esofagus),
- Jaundice, atau
- Ensefalopati (baik tanda dan gejala minimal hingga perubahan status mental).
Asites merupakan tanda dekompensata yang palin sering ditemukan (sekitar 80%).
Selain itu, terdapat beberapa stigma sirosis lainnya yang dapat diidentifikasi. Antara lain:
a. Tanda gangguan endokrin:
i. Spider angioma Gambaran seperti laba-laba di kulit, terutama daerah
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
1 Poin
Tidak ada
2 Poin
Derajat 1-2
3 Poin
Derajat 3-4
hepatikum
Asites
Bilirubin (mg/dL)
Albumin (g/dL)
Waktu protrombin
Tidak ada
<2
>3,5
<4 detik atau INR
Sedikit
2-3
2,8-3,5
4-6 detik atau INR
Sedang-berat
>3
<2,8
>6 detik atau INR
atau INR
<1,7
1,7-2,3
2,3
Keterangan:
Skor 5-6 = Child A (survival rate 1 tahun pertama = 100%; survival rate 2 tahun pertama = 85%)
Skor 7-9 = Child B (survival rate 1 tahun pertama = 81%; survival rate 2 tahun pertama = 57%)
Skor 10-15 = Child C (survival rate 1 tahun pertama = 45%; survival rate 2 tahun pertama = 35%)
1. Tata laksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan. Berikut garis besar pilihan
terapi yan dapat diberikan untuk masing-masing komplikasi:
a. Hipertensi porta dan varises esofagus: somatostatin (atau analonya), terapi
endoskopik, pemasangan TIPS, maupun prosedur bedah;
b. Asites: restriksi garam, pemberian spironolakton dan furosemid, parasentesis
bila volume besar;
c. Sindrom hepatorenal: penggunaan agen vasopresor dan albumin, tata laksana
gangguan elektrolit dan asam-basa (bila ada);
d. Peritonitis bakterial spontan: kultur dan pemberian antibiotik spektrum luas;
e. Ensefalopati hepatikum: minimalisasi faktor pencetus, pemberian laktulosa
dengan/tanpa rifaksimin, suplementasi asam amino ratai bercabang dan diet
rendah asam amino lisin, metionin, dan triptofan;
f. Koagulopati dan gangguan hematologi: pertimbangkan transfusi pada kondisi
gawat darurat.
2. Pada kebanyakan kasus, dekompensasi terjadi akibat adanya faktor pencetus seperti
sepsis, hipotensi, atau penggunaan obat-obatan tertentu. Identifikasi dan tata laksana
faktor pencetus tersebut dapat membantu mengembalikan ke kondisi kompensata.
3. Pertimbangkan transplantasi hati. Indikasi transplantasi ialah sirosis dekompensata
atau
karsinoma
hepatoseluler
pada
sirosis
hati.
Namun,
transplantasi
mental, intelektual, psikomotor, dan fungsi kognitif disertai denan kegagalan hati dan
mengeksklusi penyakit otak lainnya. Ditemukan pada hingga 70% pasien dengan sirosis.
2.2.2. Patogenesis
Beberapa substansi neurotoksin mempengaruhi morfologi astrosit yang berperan
dalam menjaga blood-brain barrier (BBB), keseimbangan elektrolit, penyediaan nutrisi,
prekursor neurotransmitter, dan detoksifikasi beberapa zat kimia, termasuk amonia. Keadaan
ensefalopati hepatikum adalah hasil akhir dari akumulasi substansi neurotoksik di dalam otak.
Beberapa teori yang menjadi dasar berkembangnya ensefalopati hepatikum adalah sebagai
berikut:
1. Hipotesis Amonia
Amonia terutama diproduksi di kolon sebagai hasil metabolisme protein dan urea oleh
bakteri dan digunakan dalam konversi glutamat menjadi glutamin oleh enzim
glutamin sintetase. Otot dan ginjal juga memproduksi amonia, namun tidak bermakna
jika dibandingkan dengan saluran cerna. Secara normal, amonia akan didetoksifikasi
hati (hepatosit periportal) dengan mengubahnya menjadi urea. Pada sirosis, massa
hepatosit berkurang sehingga menurunkan kemungkinkan detoksifikasi amonia.
Kemudian terjadi pirau portosistemik yang mengalihkan aliran darah dari hati yang
mengandung amonia ke sirkulasi sistemik.
Normalnya sel otot skeletal tidak memiliki enzim siklus urea, namun memiliki
glutamin sintetase. Aktivitas enzim glutamin sintetase meningkat pada sirosis
dengan pirau portosistemik. Namun, muscle wasting yang sering ditemukan
glutamin
sintetase.
Namun
pada
keadaan
tingginya
amonia.
Kadar
amonia
yang
tinggi
menginduksi
Mengganggu transit asam amino, air, dan elektrolit yang melewati astrosit dan
neuron,
Merusak metabolisme asam amino dan penggunaan energi di otak,
Meskipun demikian terhadap sekitar 10% pasien ensefalopati dengan kadar amonia
serum normal.
2. Hipotesis GABA
GABA merupakan neurotransmitter inhibitor yang diproduksi saluran cerna. Sekitar
25-45% neuron sistem saraf pusat (SSP) merupakan neuron GABA-ergik. Pada sirosis,
terdapat peningkatan kadar GABA dan benzodiazepin endogen di dalam plasma yang
kemudian melewati BBB.
Penelitian menunjukkan bahwa neurotoksin seperti amonia dan mangan dapat
meningkatkan produksi reseptor benzodiazepin perifer pada astrosit, yang kemuian
menghasilkan neurosteroid. Neurosteroid tersebut dapat berikatan ke kompleks
reseptor GABA sehingga meningkatkan neurotransmisi inhibisi.
3. Hasil Produk Bakteri dan Infeksi Bakteri
Sekitar 10% pasien ensefalopati hepatikum memiliki kadar amonia darah yang
normal. Pasien dengan kadar amonia yang tinggi tidak selalu mengalami ensefalopati.
Diduga beberapa produk bakteri, seperti merkaptan dan fenol (hasil metabolisme
asam amino), bersifat neurotoksik pada ensefalopati hepatikum. Pada penyakit hati
kronis, didapatkan peningkatan kadar fenol dan merkaptan. Kedua senyawa tersebut
diproduksi di usus halus dan dan diabsorbsi melalui aliran vena portal. Toksin tersebut
tidak dapat dikatabolisme karena hati telah mengalami kerusakan, sehingga akhirnya
masuk ke dalam pirau portosistemik. Toksin kemudian menembus sawar darah otak
dan menyebabkan gangguan fungsi serebral. Perdarahan gastrointestinal dapat
meningkatkan absorpsi toksin.
2.2.3 Gejala dan Tanda
Pada pasien dengan gagal hati akut, dapat terjadi perubahan mental dalam hitungan
minggu hingga bulan. Pada ensefalopati berat dapat terjadi edema otak pada substansia abu
dan mengakibatkan hernia serebral.
Berdasarkan klasifikasi West-Haven, ensefalopati hepatikum dapat dikategorikan
dalam berbagai tingkatan sebagai berikut:
1. Derajat 0 Minimal atau subklinis. Susah ditemukan perubahan perilaku. Perubahan
minimal dalam ingatan, konsentrasi, fungsi intelektual dan koordinasi. Tidak
ditemukan asteriksis.
Rifaximin merupakan antibiotik spektrum luas oral derivat rifamisin yang tidak
diserap dengan baik sehingga terdeposisi di dalam traktus gastrointestinal.
3. Terapi untuk meningkatkan klirens amonia:
a. L-ornitin L-aspartat Meningkatkan kadar glutamat untuk meningkatkan
penggunaan amonia untuk mengubah glutamat menjadi glutamin oleh glutamin
sintetase.
b. Zink Pada umumnya pasien sirosis mengalami defisiensi besi. Pemberian zink
dapat meningkatkan aktivasi ornitin transkarbamilase, enzim yang dibutuhkan
dalam siklus urea untuk ureagenesis dan berefek hilangnya ion amonia. Dosis
yang diberikan dapat 600 mg per oral tiap harinya.
c. Natrium benzoat, natrium fenilbutirat, natrium fenilasetat Natrium benzoat
diberikan 2 x 5 g tiap harinya. Natrium benzoat akan berinteraksi dengan glisin
membentuk hipurat, senyawa yang membutuhkan amonia ketika diekskresi oleh
renal.
d. L-carnitine Merupakan rantai pendek ester dari karnitin yang secara endogen