Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS
Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS
Oleh :
Imam Syahuri Gultom, S.Ked.
NIM. I1A008065
Pembimbing :
dr. Djalaluddin
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Defenisi ..........................................................................................
B.
Epidemiologi ...................................................................................
C.
Etiologi ............................................................................................
D.
E.
Patogenesis ......................................................................................
F.
G.
Diagnosis .........................................................................................
12
H.
14
I.
19
J.
23
K.
30
L.
34
BAB V
PENUTUP
37
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
HIV menyerang limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4.
Fungsi CD4 ini sangat penting dalam menjaga imunitas tubuh, yaitu untuk mengatur dan
bekerja sama dengan komponen sistem kekebalan yang lain sehingga, jika tubuh terserang
virus HIV, maka akan mudah sekali terinfeksi penyakit karena rusaknya sistem pertahanan
tubuh. Sistem pertahanan rusak secara perlahan lahan, dari tidak ada gejala sampai terjadi
gejala ringan seperti; (diare, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan berat badan
sampai sariawan), sampai terjadi gejala berat (AIDS). Dari semua orang yang terinfeksi
HIV, menunjukkan gejala AIDS pada 3 tahun pertama infeksi hanya sedikit jumlahnya,
50% terjadi setelah 10 tahun infeksi, dan setelah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal.3
Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan
September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843
dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan
persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.4 Berikut akan dibahas tentang
evaluasi pengobatan HIV/AIDS sesuai pedoman pengobatan nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV
yang ditandai dengan adanya infeksi oportunistik dan berakibat fatal. Prosesnya
tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi oleh
HIV. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan
kedalam 2 kategori yaitu :
1.
Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS).
2.
Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita
HIV).
B. EPIDEMIOLOGI
Infeksi HIV merupakan kejadian pandemik. Infeksi tersebut telah menjadi
penyebab utama kematian secara infeksius, dimana posisi sebelumnya ditempati oleh
infeksi tuberkulosis. Dalam tahun 2006, telah diestimasikan 2,9 juta orang meninggal
akibat AIDS di seluruh dunia. Penularan HIV melalui cairan tubuh yang mengandung
virus melalui hubungan seksual, jarum suntik, transfuse komponen darah. Oleh karena
itu kelompok risiko tinggi adalah pengguna narkotika, pekerja seks, dan narapidana.
Berikut gambar persebaran global infeksi HIV. 5,6
C. ETIOLOGI
HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang
utama. (human T-cell leukemia virus -HTCLV- adalah retrovirus utama lainnya).
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang
ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat.7
Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4), dan
menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar
untuk terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel lain, seperti makrofag dan monosit, yang
memiliki protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV.7
D. FAKTOR RISIKO
HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah,
dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal,
dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan
jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi
maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Telah
diperkirakan 50% dari infeksi neonatal timbul saat proses kelahiran, dan sisanya tidak
jauh berbeda antara transmisi transplasental maupun melalui ASI.5,8
5
Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus
HIV yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam
cairan tubuh yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal tersebut
berperan dalam infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi hepatitis B,
kecuali bahwa infeksi HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya dosis yang
dibutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV lebih banyak dibandingkan untuk infeksi
hepatitis B. Infeksi mikroorganisme seperti Treponema pallidum and herpes simplex
virus merupaka ulserasi genital yang penting terkait transmisi virus HIV. Selain itu,
patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang nonulseratif seperti Chlamydia
trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan Trichomonas vaginalis juga terkait dengan
risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis bakterial, suatu infeksi
yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS, juga dapat dihubungkan
dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya infeksi HIV. Infeksi HIV tidak
menular melalui kontak kasual seperti berpelukan, gigitan nyamuk, participasi dalam
olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh individu yang telah terinfeksi HIV.
Laki-laki yang tidak disunat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi.6,7
Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat
tusukan jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi
HIV, transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah dan program
donor organ akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan untuk
mencegah risiko terjadinya infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah telah
menurun secara drastis dengan adanya skrining darah yang akan didonasi akan adanya
antibodi terhadap HIV. Di lain pihak, terdapat periode jendela (window period) pada
6
saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang yang terinfeksi telah mengandung virus
HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Bank darah kini melakukan tes
antigen p24 untuk mendeteksi darah yang mengandung HIV. 7,9
E. PATOGENESIS
Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama,
sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV.
DC bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke
sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Setelah HIV tertangkap,
DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T
naive. Di samping mengangkut HIV ke kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel
limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel
limfosit Th.5
Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang
berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus dalam
satu waktu secara bersamaan. Selain itu, kloning sel limfosit T sitotoksik yang
memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi respon
imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat
dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama disebabkan oleh replikasi virus yang
persisten dan kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik.6,7
Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya (Gambar 4). Langkah
awal dari masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein
selubung virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein
gp120 virion berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor
8
kemokin. Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam
proses masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan
strain yang sel-T-tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan
strain yang makrofag-tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada
pengkodean gen CCR5 dapat menyebabkan seorang individu memiliki proteksi
tersendiri terhadap infeksi HIV. 6,7
F. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat
dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c) infeksi
simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini
bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor
virus dan faktor host.8
Gambar 5. Perjalanan penyakit dari infeksi HIV. (From Weiss RA: How Does HIV Cause
AIDS? Science 1993; 260:1273. Reprinted with permission from AAAS.)
10
Gambar 6. Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik serta
keganasan. (James Gita Hakim. Sount Sudan Medical Journal)
11
Gambar 7. Oral hairy leukoplakia (human immunodeficiency virus and aids the
course of the disease. Richard Hunt. University of South Carolina, School of
Medicine)
G. DIAGNOSIS HIV
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik
untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi
keberadaan virus HIV.5
Infeksi HIV
Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi
HIV pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu:
Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, (seperti Immunoassay Enzim
Reaktif yang berulang), diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi
HIV (seperti Western blot atau Tes antibodi imunoflourecence), atau
Hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes
virologik (non-antibodi) berikut ini: deteksi asam nukleat HIV, DNA atau
RNA, yaitu DNA Polymerase Chain Reaction [PCR] atau konsentrasi RNA
HIV dalam plasma; tes antigen HIV p24, termasuk Assay neutralisasi; dan
isolasi HIV (kultur virus).6,8
12
Gambar 8. Sindroma HIV akut. (Adapted from G Pantaleo et al: N Engl J Med 328:327,
1993. Copyright 1993 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)6
AIDS
Pada tahun 1993, CDC telah membuat kriteria dari definisi AIDS, yaitu:
Hitung limfosit-T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan bukti laboratorium dari
infeksi HIV, atau
Adanya penyakit indikator AIDS (candidiasis dari esophagus, trachea,
bronchus, atau paru; keganasan cervix yang invasif; coccidiomycosis
ekstrapulmoner; cryptococcosis ekstrapulmoner; cryptosporidiosis dengan
diare dalam waktu lebih dari 1 bulan; infeksi cytomegalovirus dari beberapa
organ selain hati, limpa, or limfonodus; infeksi herpes simplex dengan ulcus
mucocutaneous dalam waktu lebih dari 1 bulan atau bronchitis, pneumonitis,
or esophagitis; histoplasmosis ekstrapulmoner; dementia terkait HIV; HIV13
Salmonella
septicemia
(nontyphoid)
yang
rekuren;
and
14
15
* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV karena
berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat
ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien
punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan suatu
keadaan gagal terapi.
2.
3.
Skrining TB
4.
5.
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol
16
(1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini
dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan 2.
Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol
dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping
yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
17
6.
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Kotrimoksazole untuk pencegahan sekunder diberikan
setelah terapi PCP atau toksoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. PPK
dianjurkan bagi:
18
7.
8.
9.
Konseling KB
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
19
1.
2.
21
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom
pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal.
Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat
terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan terapi ARV-nya.
Pada jenis paradoksikal, pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi
oportunistiknya. Setelah mendapatkan ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit
infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah.
Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau
non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus
untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut.
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and
successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
22
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat
memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi
ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA
HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis
infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi
oportunistik dan memulai terapi ARV.
Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat
antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya
pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari
prednisolon.
dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan
berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.
Parameter klinis dan jumlah CD4 tersebut digunakan untuk mencatat
perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan saat pasien
mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi ARV.
23
Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu
dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai
24
terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada
indikasi tanda dan gejala anemia
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila
ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan
tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara
250 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim
transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV
(bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasar gejala
klinis
26
27
3.
Efek Samping
4.
Penatalaksanaan Toksisitas
Dalam menangani toksisitas atau efek samping perlu mengikuti langkah sebagai
berikut
Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah toksisitas berhubungan
dengan obat ARV atau obat non-ARV yang digunakan bersamaan
Pertimbangkan proses penyakit lain (misal hepatitis viral pada pasien dengan
ARV yang menjadi kuning/jaundice) karena tidak semua masalah yang terjadi
selama terapi adalah diakibatkan obat-obat ARV
Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas ringan dan
sedang
Berikan obat simtomatik sesuai dengan gejala yang timbul jika diperlukan
5.
toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama, contoh: AZT atau
TDF untuk menggantikan d4T oleh karena neuropati, TDF dapat menggantikan AZT
karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena toksisitas SSP atau kehamilan.
Bila toksisitas yang mengancam jiwa muncul, semua obat ARV harus dihentikan
segera hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dimulai dengan
paduan terapi ARV yang lain.
29
1. Kegagalan klinis
Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam terapi
ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi
bakteri berat) dapat merupakan petunjuk kegagalan terapi.
31
2. Kegagalan Imunologis
Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan
jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/ penekanan jumlah
virus.
Jumlah CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu mengubah
terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang termasuk dalam
stadium 3, dimana dipertimbangkan untuk mengubah terapi, maka bila jumlah
CD4 >200 /mm tidak dianjurkan untuk mengubah terapi.
3.
Kegagalan Virologis:
Disebut gagal virologis jika:
32
Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan
tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan
penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS.
Kriteria virologi dimasukkan dalam menentukan kegagalan terapi di buku ini, untuk
mengantisipasi suatu saat akan tersedia sarana pemeriksaan viral load yang terjangkau.
Viral load masih merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan adanya
kegagalan terapi. Kadar viral load yang optimal sebagai batasan untuk mengubah paduan
ARV belum dapat ditentukan dengan pasti. Namun > 5.000 copies/ml diketahui
berhubungan dengan progresi klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4.
1.
33
2.
34
Boost PI adalah suatu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang
sudah ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan
ditulis dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh
pemerintah adalah:
TDF atau AZT + 3TC + LPV/r
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +
(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini
pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI sebagai
dasar NRTI pada paduan lini kedua.
35
Gambar 14. Pemantauan Klinis dan Laboratorim Sebelum dan Selama Terapi
ARV Lini Kedua
36
BAB III
KESIMPULAN
2.
3.
4.
DAFTAR PUSTAKA
1.
UNAIDS. Global report UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.
Geneva, 2010.
2.
3.
4.
Ditjen P2PL. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral pada orang dewasa. Kemenkes RI. Jakarta, 2011.
5.
6.
Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S,
Jameson J Loscalzo. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th Ed. United
States of America: McGraw-Hill. 2011 p241-50.
7.
8.
Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation
and Management of the Adult Patient. 6th Ed. 2009. p87-101.
9.
David C. Dugdale. HIV infection. Medline Plus, 2012. Accessed on: Maret 2012.
Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000602.htm
10. WHO. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents,
Recommendations for a public health approach 2010 Revision. Geneva: WHO
Departement of HIV/AIDS, 2010.
11. WHO. WHO chase definition of HIV for surveillance and revised clinical staging
and immunological classification of HIV-related disease in adults and children.
Geneva: WHO Departement of HIV/AIDS, 2007.