Anda di halaman 1dari 6

BIODATA PESERTA

PENA 2015
Nama

: I Gusti Ngurah Friday Palaguna

Tempat, Tanggal Lahir

: Singaraja, 05 Mei 1995

NIM

: 1306205006

Jurusan

: Manajemen

No. HP

: 085737638289

Alamat Email

: gustifriday@yahoo.co.id

Jenis Lomba

Artikel
Cerpen
Karikatur
Fotografi

Panitia Pelaksana PENA

Denpasar,7 September 2015

( I Gst. Ngr. Friday Palaguna )

Musim Dingin di Winchester

Pagi itu di tahun 1985 musim dingin yang melanda daerah Winchester sudah
berlangsung cukup lama dari biasanya. Jauh masuk ke dalam kompleks perumahan di
Winchester seorang tukang surat kabar memilah-milah surat kabarnya setelah berhenti di
depan sebuah rumah megah dan mencari sebuah majalah Luxury Living untuk kemudian ia
berikan kepada tukang kebun di rumah tersebut. Tukang surat kabar tersebut selalu terlihat
takjub setiap kali dia mengirimkan majalah tersebut ke rumah ini, hal ini dikarenakan
sampul dari majalah tersebut yang selalu berisi tagline menarik tentang bagaimana lifestyle
kalangan atas dan perpaduannya dengan rumah yang dia akan kirimi benar-benar tepat.
Tukang surat kabar itu lalu menekan bel tombol rumah dua kali, hanya dalam hitungan
detik Tuan Ramsey selaku tukang kebun membuka sedikit pintu gerbang tersebut dan
melihat siapa yang datang, sejenak ia memperhatikan orang tersebut dan kendaraan yang
ada di sampingnya, ia lalu mengulurkan tangannya.
Selamat pagi Tuan, ini seperti biasa majalah bulanan untuk Tuan Riley kata
tukang surat kabar tersebut sambil memberikan majalah itu ke Tuan Ramsey.
Terimakasih Sahut Tuan Ramsey dengan dingin lalu menutup kembali gerbang
tersebut.
Tukang surat kabar itupun terdiam sejenak sambil tersenyum lalu sedikit
menggelengkan kepala memikirkan betapa orang kaya selalu mempunyai sifat yang dingin
seolah musim ini tidak terlalu dingin bagi mereka.
Tuan Ramsey segera membawa majalah tersebut masuk ke dalam rumah, setelah
sebelumnya berpapasan dengan Steve selaku supir di keluarga Riley. Lalu ia menaiki
tangga, meninggalkan tugasnya untuk membersihkan salju di halaman sementara. Ia
memasuki rumah tersebut dan menaiki tangga menuju kamar majikannya Tuan George
Riley. Ramsey mengetuk pintu kamar tersebut pelan-pelan dan menunggu jawaban dari
dalam.
Masuk! Sahut Tuan Riley sambil terbatuk-batuk.
Ramsey membuka pintu tersebut dan dengan kepala sedikit mengahadap ke bawah
meletakkan majalah tersebut di meja dekat pintu, di meja itu hampir penuh dengan piringpiring yang berisikan sedikit makanan sisa.
Kau membawakan majalah, Ramsey? Taruh saja disana, dan begitu kau keluar
pintu segera panggilkan Nona Emily kemari, katakan aku sudah selesai dengan sarapanku.
Dan kau boleh melanjutkan pekerjaanmu membersihkan halaman, salju itu semakin
membuatku bertambah sakit saja. Kata tuan Riley seraya terbatuk-batuk.
Baik Tuan Jawab Ramsey sambil tetap menghadapkan kepalanya ke bawah
sedikit seolah-olah tidak berani menatap majikannya.

Begitu Ramsey meletakkan majalahnya, Tuan Riley melanjutkan kegiatannya yang


akhir-akhir ini sering ia lakukan yaitu menatap jendela sepanjang hari, hal tersebut benarbenar membosankan, sama membosankannya seperti kanker paru-paru yang ia alami
sekarang ini yang terbilang sudah cukup parah. Meski bertambah semakin parah, Riley
tetap bersikeras untuk tetap tinggal di rumahnya yang megah dan menolak ajakan istrinya
untuk dirawat di rumah sakit. Ia mengatakan bahwa ia telah berjuang selama dalam
hidupnya ini untuk menikmati hasil jerih payahnya dan bila ia akan mati, maka ia memilih
mati disini daripada di rumah sakit.
Berjuang.. gumam Riley sambil tertawa kecil.
Di umurnya yang menginjak usia 70 ini ia benar-benar rindu akan masa mudanya,
Ramsey muda yang dahulu benar-benar berbeda dengan sekarang. Ia dulu berbadan tegap,
berwajah cukup tampan bagi pria-pria seumurannya yang terlahir di keluarga seorang
wanita pengacara ternama dan pria pebisnis kilang minyak yang sukses. Tapi hal itu tidak
terlalu membuat Riley cukup bangga, ia ingin sukses dengan caranya sendiri, ia ingin
merasakan bagaimana perjuangan yang sesungguhnya, bukan bergelimang harta seperti ini
di usia muda. Ayahnya pun mendukung keputusan Riley dalam hidupnya, dan ayahnya
selalu mengatakkan bahwa ia bebas kembali ke dalam rumah ini dan mendapatkan apa
yang menjadi haknya sebagai seorang anak.
Menginjak usia 24 tahun Riley memutuskan untuk masuk militer. Ia tidak perlu
mengkahwatirkan mengenai uang yang akan dimilikinya nanti ketika sudah berkeluarga
seperti orang-orang sebayanya saat itu, ia hanya tinggal memikirkan bagaimana mengisi
waktu mudanya dengan perjuangan. Perjuangan yang akan dibawanya sampai mati.
Memasuki dunia kemilliteran benar-benar membuat Riley merasa hidup, ia merasa
memiliki keluarga lain disana, ia merasakan bagaimana rasanya kesusahan dan duka dalam
kehidupan ini. Namun hal tersebut juga mulai merubah kepribadian Riley, ia menyaksikan
teman-temannya tewas ketika bertugas, ia juga hanya dapat mengunjungi keluarganya di
daerah asalnya sesekali bahkan saudara jauhnya tidak terlalu mengenalnya karena
jarangnya ia berada di rumah. Hal ini hanya membuat Riley menjadi semakin merassa
kesepian dan lemah. Maka ia memutuskan untuk pensiun dari kemiliteran memulai
kehidupan barunya di usia yang sudah terbilang cukup tua untuk memulai suatu keluarga
yang memiliki kepala keluarga berumur 45 tahun.
Orangtua Riley meninggal beberapa bulan setelah ia pensiun dari pekerjaannya,
meninggalkan Riley dengan uang yang berlimpah dan saham oblogasi yang lebih banyak
dibandingkan dengan ketiga saudaranya. Semua hal ini telah memberikan Riley kehidupan
yang layak, Ia memiliki rumah megah di daerah Winchester, seorang istri muda yang
cantik, dan hal lain yang membuat seorang pria seharusnya bangga, namun Riley tidak
bangga, ia terlalu tua untuk menikmati segala itu.

Ketukan di pintu menyadarkan Riley dari lamunannya,


Iya, masuk saja! jawab Riley sambil mengalihkan pandangannya dari jendela
menuju pintu.
Emily Rose sebagai perawat pribadi Tuan Riley adalah seorang gadis yang terbilang
masih muda, wajahya cerah dengan kulit yang seputih salju ditambah dengan bibir merah
alaminya membuat semua pria tidak dapat mengalihkan pandangannya.
Anda sudah menghabiskan sarapan anda, Tuan. Bagus sekali, saya mohon ijin
untuk merapikan kamar tuan. Jawab Emily sambil mulai merapikan meja di dekat pintu.
Iya, bawa kemari majalah itu, Emily. Aku ingin mengetahui apa saja yang orang
kaya harus lakukan selain berbaring di kasurnya seharian. jawab Riley.
Baik tuan.. Balas Emily sambil tersenyum kecil di samping Riley dan membawa
majalah itu ke laci di samping Tuan Riley.
Dengan senyuman semanis itu Steve seharusnya sudah menikahimu, Emily. sahut
Riley dengan sedikit candaan.
Ah, Tuan bisa saja. Hubungan saya dengan Steve masih agak renggang, Tuan.
Jawab Emily malu-malu.
Renggang kenapa? Apakah karena Steve kepergok bersama wanita lain lagi?
Riley menjawab dengan senyum kecut menghiasi wajahnya,.
Yah kira-kira begitu, tapi ia tetap mengatakan bahwa dia hanya mencintai saya
saja. Jawab Emily dengan raut muka agak sedih sambil kembali ke meja di dekat pintu
untuk merapikan piring-piring dan gelas.
Ketika itu pintu langsung terbuka dan masuklah sesosok wanita cantik yang berusia
kurang lebih hampir 30 tahunan dengan mengenakan gaun yang terlihat pas di badannya
dan gelang emas dan kalung berlian yang terpasang di tubuhnya menambah kecantikan
wanita tersebut. Nyonya Samantha Riley melihat Emily merapikan piring dan gelas yang
masih ada sedikit makanannya.
Kelihatannya jagoanku tidak menghabiskan makanannya lagi hari ini. Kata
Samantha sambil melirik ke arah suaminya.
Yah, setidaknya aku sudah memakannya sedikit, Samantha. Mau kemana kau
berpakaian rapi begitu? Tanya Riley.
Aku akan pergi ke kota sebelah untuk membeli jaket bulu yang baru, yang lama
sudah usang dan musim dingin kali ini tampaknya akan lebih parah dari sebelumnya.
Jawab Samantha.

Kau akan membelikanku jaket baru juga, kan? Terkadang kau lupa memliki
seorang suami disini. Tanya lagi Riley dengan nada yang sedikit ketus.
Emily yang masih berada di ruangan itu terdiam sesaat, dan Samantha menjawab
dengan nada yang halus yang kelihatannya seperti dibuat-buat.
Oh Tentu saja, untuk suamiku tercinta pasti akan kubelikan, tapi sebelumnya kau
harus meminum obat ini dulu. Samantha mengeluarkan botol obat dari dalam tasnya yang
sebelumya dia ambil dari ruang bawah.
Ah, obat itu lagi. Hanya menguras dompetku saja dan tidak ada efeknya! Jawab
Riley.
Jangan bilang begitu, kau harus cepat sembuh supaya kita bisa berjalan-jaln lagi
keluar kota. Samantha mengambil segelas air dan memberikannya kepada Riley. Riley
meminum obat itu dengan ekspresi wajah pahit yang terlihat dibuat-buat.
Baiklah, kalau begitu aku akan besiap-siap untuk pergi bersama Steve. Emily, kau
rawatlah Riley sebaik mungkin. Kata Samantha sambil mengalihan pandangannya dari
Riley ke Emily.
Baik Nyonya Jawab Emily Patuh.
Ketika Samantha keluar, beberapa saat kemudian Emily berjalan menuju ke arah
Tuan Riley setelah urusannya selesai di meja sebelumnya untuk mengambil gelas yang
dipakai baru saja. Sedangkan Riley sedikit mengubah posisi tidurnya dan memandang
jendela keluar ke arah istrinya, ia melihat Samantha berbincang-bincang dan tertawa
dengan Steve demikian asyiknya seolah-olah Samantha terlihat sedang mabuk, Riley
memperhatikan mereka berdua melalui jendela, mereka masuk ke dalam rumah dan
bukannya ke arah mobil seperti yang dikatakan oleh Samantha barusan.
Emily, bagaimana hubunganmu dengan Steve? Kudengar beberapa hari
sebelumnya kau berkelahi di sebuah bar karena Steve bersama wanita lain lagi saat itu. Dan
dilihat dari fisikmu sekarang sepertinya kau menang lagi. Riley mengalihkan pandangan
dari jendela ke arah Emily dan memulai perbincangan sambil sedikit bercanda.
Iya tuan, Jawab Emily sedih. Sebenarnya wanita itulah yang salah, Steve
mengatakan bahwa wanita itu terus mendekatinya meskipun Steve sudah mengatakan
bahwa dia sudah memiliki hubungan dengan saya. Lanjut Emily yang kini pandangannya
memancarkan amarah.
Lalu kau apakan wanita itu? Tanya Riley lagi.
Saya gelap mata tuan, saya menonjok wanita yang duduk di pangkuan Steve ketika
itu dan menjambak rambutnya, saya benar-benar marah. Jika saja orang-orang di bar tidak

menghentikan saya, saya mungkin sudah memcahkan sebuah botol minuman dan menusuk
wanita sialan itu! Jawab Emily dengan amarah yang berusaha diredam di depan tuannya.
Wah, kau benar-benar berani sekali Emily, aku kira wajah cantikmu juga
mencerminkan perlakuanmu yang ramah. Jawab Riley sambil mengarahkan pandangannya
dari jendela menuju ke Emily.
Yah, saya terkadang mudah terbawa emosi tuan, apalagi dengan perasaan ketika
melihat Steve berperilaku seperti itu, seolah-olah saya menganggap tindakan saya benar
saat itu, Tuan.
Riley terdiam sejenak mendengar hal itu. Kini ia meraba-raba laci di sebelah kamar
tidurnya. Dibukanya laci itu dan Riley mengambil sepucuk senjata api berukuran kecil yag
berbalut saputangan.
Untuk jaga-jaga. Akhir-akhir ini banyak kasus pencurian terjadi. Oh iya Emily,
tolong bawa pistol ini ke Steve, aku kira dia berada di kamarnya. Suruh dia membersihkan
pistol ini, kelihatannya sudah usang. Dan tolong hati-hati, di dalamnya masih terdapat
peluru, aku tidak terlalu mengerti cara mengeluarkannya. Kata Riley sambil memberikan
pistol tersebut kepada Emily.
Baik tuan, saya mohon undur diri kalau begitu dan beristirahatlah tuan. Emily
menerima senjata itu dan ditaruhnya di atas nampan yang dia bawa bersama untuk piring
dan gelas kotor tersebut.
Iya, terimakasih Emily Riley menjawab dengan sedikit senyuman di wajahnya.
Riley merasakan lelah yang teramat sangat diakibatkan oleh pil yang dia minum
baru saja, diapun mulai membetulkan posisi tidurnya untuk kembali tidur ketika terdegar
suara barang pecah belah berjatuhan dan tembakan peluru. Namun Riley merasa lelah
dengan semua hal yang terjadi di usia tuanya, ia hanya sedikit tersenyum dan mulai
menutup matanya.

Anda mungkin juga menyukai