Anda di halaman 1dari 14

Aripiprazol, suatu Stabilisator Sistem Dopamin-Serotonin

dalam Tatalaksana Psikosis


Borwin Bandelow and Andreas Meier
From the Department of Psychiatry and Psychotherapy,
The University of Gttingen, Germany
Aripiprazol, suatu agen antipsikotik baru, diasumsikan sebagai suatu stabilisator sistem
dopamin-serotonin. Menurut penelitian preklinis, aripiprazol menggunakan aksi
agonistik parsial pada reseptor D2 dan 5-HT1A. Sehingga, obat ini dapat memblok
reseptor ketika dalam keadaan overstimulasi dan menstimulasi reseptor ketika
dibutuhkan aktivitas. Agen ini juga memiliki sifat antagonis reseptor 5-HT2A.
Dalam penelitian double blind random, aripiprazol tampak jauh lebih efektif
dibandingkan plasebo dalam mengontrol gejala positif dan negatif dari skizofrenia. Obat
ini menunjukkan efektivitas antipsikotik yang dapat dibandingkan dengan haloperidol,
olanzapine, dan risperidone. Gejala negatif dan depresif memberikan respon yang lebih
baik pada aripiprazol dibandingkan haloperidol. Pada penelitian open-label yang
membandingkan olanzapine dengan aripiprazol, aripiprazol menunjukkan efek yang
lebih menguntungkan dalam disfungsi kognitif pada pasien skizofrenik. Dan juga,
aripiprazol efektif pada pasien dengan manik.
Di bawah aripiprazol, angka efek samping ekstrapiramidal lebih rendah dibandingkan
terapi haloperidol, dan tidak berbeda dari plasebo dan risperidone. Peningkatan berat
badan yang siginifikan secara klinis terjadi lebih jarang dengan aripiprazol
dibandingkan olanzapine. Aripiprazol juga menunjukkan pengurangan yang signifikan
pada kadar kolesterol, sedangkan haloperidol dan olanzapine meningkatkan kadar
kolesterol pada percobaan komparatif. Kadar prolaktin meningkat 5 kali lipat
dibandingkan kadar plasebo dengan risperidone, tidak terdapat peningkatan yang
ditemukan dengan penggunaan aripiprazol.
Ketika terapi risperidone dihubungkan dengan pemanjangan rata-rata interval QTC
yang signifikan dibandingkan dengan plasebo, terapi aripiprazol tidak berbeda dengan
tingkat plasebo. Tiga efek tidak diinginkan terbanyak akibat aripiprazol adalah sakit

kepala, kecemasan dan insomnia. Karena proses metabolismenya, risiko interaksi


aripiprazol dengan obai lain yang dependen sitokrom P 450 lainnya adalah minimal
(German J Psychiatry 2003; 6: 9-16).
Kata Kunci: aripiprazol, antipsikotik, atipikal, skizofrenia, manik, penelitian klinis

1. Pendahuluan
Antiosikotik klasik secara tidak spesifik memblok jalur dopamin A10 dan jalur A9
nigtostriatal mesolimbik, yang menyebabkan efektivitas antipsikotik, , namun efek
samping ekstrapiramidal, diskinesia tardive, defisit neurolokognitif, peningkatan
prolaktin dan disfungsi seksual.
Antipsikotik atipikal memiliki keistimewaan kekurangan efek samping EPS
mengurangi

gejala-gejala negatif dan depresif, dan tidak menyebabkan

defisit

neurokognitif. Namun Efek ini termasuk peningkatan berat badan yang substansial,
hiperglikemia, peningkatan kadar kolesterol, dan pemanjangan interval QT. Sehingga,
diperlukan antipsikotik baru yang ditoleransi dengan lebih baik dibandingkan obat
atipikal yang tersedia saat ini.
Baru-baru ini, aripiprazol, antipsikotik generasi ketiga, yang disebut stabilisator
sistem dopamin-serotonin.
Farmakodinamik
Penelitian preklinis telah menyediakan bukti bahwa aripiprazol memiliki sifat
agonistik parsial yang poten pada reseptor D 2 dan juga menunjukkan agonism parsial
pada reseptor 5-HT1A, serta sifat antagonis pada reseptor 5-HT2A. Keisitimewaan yang
menjanjikan dari antipsikotik baru ini dapat dihubungna dengan profil reseptor
farmakologisnya yang unik.
Aripiprazol adalah derivat quinolinone, yang merupakan agonis parsial yang poten
untuk reseptor dopamin D2 (Burris et al., 2002; Lawler et al., 1999). Pada penelitian
ikatan reseptor menggunakan reseptor D2L manusia yang dikloning, aripiprazol beraksi

sebagai agonis dengan aktivitas intrinsik yang lebih rendah daripada dopamin itu sendiri
(Grunder et al., 2002). Agonisme parsial mengacu pada kemampuan untuk memblok
suatu reseptir ketika dalam keadaan overstimulasi dan unutk menstimulasi reseptor
ketika aktivitas yang lebih tinggi dibutuhkan (Gambar 1).
Tidak seperti antipsikotik atipikal yang lebih tua, yang mengurangi gejala positif
psikosis dengan memblok reseptor D2, aripiprazol menstabilkan atau memodulasi lokasi
ikatan ini. Jika terdapat suplai dopamin yang berlebihan, yang berhubungan dengan
kejadian gejala positif, aripiprazol berikatan dengan afinitas tinggi pada reseptor D 2 dan
mengurangi overstimulasi (Stahl, 2001).
Hasilnya adalah signal terstabilisasi yang mendekati fungsi fisiologis normal
(Byars et al., 2001), yang menyebbakan pengurangan gejala psikotik. Dalam suatu
penelitian yang menggunakan positron emission tomography, pemberian aripiprazol
selama lebih dari 14 hari menyebabkan okipansi reseptor bergantung-dosis antara 4095% setelah pemberian 0,5-30 mg per hari. Menariknya, bahkan dengan nilai okupansi
reseptor D2 striatal di atas 90%, yang terjadi pada dosis aripiprazol yang lebih tinggi,
efek ekstra piramidal (EPS) tidak ditemukan (Yokoi et al., 2002). Teori sebelumnya
mengenai mekanisme aksi antipsikotik atipikal mengklaim bahwa okupansi reseptor D 2
lebih dari 70-89% akan menyebabkan EPS (Farde et al., 1994). Tetapi, data aripiprazol
menunjukkan bahwa hubungan ini hanya nyata untuk antagonis total, bukan agonis
parsial.
Jika transmisi dopaminergik dikurangi, aripiprazol dapat memperkuat transmisi
karena aktivitas intrinsiknya sendiri. Kelebihan unuk ini mungkin relevan untuk terapi
gajala negatif yang dikorelasikan dengan tonus dopaminergik yang rendah (Byars et al.,
2002).
Aripiprazol juga menunjukkan agonisme parsial pada reseptor serotonin 5HT 1A
dan antagonis pada reseptor 5HT2A. Resptor 5 HT1A dikenal memiliki efek ansiolitik
(Rickels et al., 1982). Antagonisme pada reseptor 5HT2A dapat memberikan efek yang
diinginkan pada gejala negatif (Millan, 2000).

Penjelasan mengenai mekanisme aksi yang unik dari aripiprazol masih berupa
teoritis. Tetapi, penelitian klinis tampak mendukung konsep ini.
Di antara antipsikotik atipikal, aripiprazol menunjukkan afinitas paling rendah
terhadap reseptor histamin (H1), dan muskarinik (M1) (Goodnick dan Jerry, 2002).
Blokade reseptor 1-adrenergik dihubungkan dengan hipotensi ortostatik.

Gambar 1. Aktivasi Dopamin Reseptor oleh Aripiprazol


Aktivitas intrinsik aripiprazol dievaluasi di sel ovarium hamster Cina yang
telah ditransfeksikan untuk mengekspresikan reseptor D2 dopamin manusia
(CHO-D2). Paparan sel tersebut kepada forskolin menyebabkan akumulasi
cAMP, akumulasi ini dihambat oleh stimulasi resptor D 2 oleh dopamine dan
agonis lainnya. Derajat akumulasi cAMP tersebut secara langsung
bergantung kepada derajat aktivasi reseptor. Data yang ditampilkan di
gambar sebagai persentasi respon maksimal, sesuai dengan penghambatan
maksimal akumulasi cAMP akibat stimulasi forskolin oleh dopamin.
1. Dopamin atau agonis penuh lainnya mengaktivasi reseptor sesuai
dengan dosis hingga tingkat saturasi tercapai-aktivasi reseptor
maksimal dicapai pada ~10-6 M dopamine (100%).
2. Haloperidol merupakan antagonis penuh, pada konsentrasi tinggi
ketika semua reseptor terikat, tidak terdapat aktivasi reseptor.

3. Aripiprazol menghasilkan stimulasi reseptor D2 yang bergantung


pada dosis yang lebih sedikti daripada dopamine secara kuantitatif
dan signifikan. Ketika telah mengikat reseptor secara penuh, aktivitas
intrinsik aripiprazol mencapai 25% dari dopamin pada sistem
percobaan ini.
Sehingga, pada ketidakhadiran dopamine, aripiprazol bertindak sebagai
agonis, secara sebagian mengaktivasi reseptor.
FARMAKOKINETIK
Dalam studi pra-klinik untuk mengetahui sifat farmakokinetik dari aripiprazol, ratarata puncak konsentrasi plasma (Tmax) terjadi 3 jam setelah penggunaan secara oral
(Malikaarjun et al, 2000). Rata-rata waktu paruh (t1/2) sekitar 75 jam. Keadaan
seimbang (steady state) tercapai pada hari ke-14. Bioavailibilitas oral zat tersebut
berada pada angka 87%. Aripiprazol dapat digunakan dengan ataupun tanpa makanan.

Tabel 1. Studi Double-Blind dengan aripiprazol


Penulis

Diagnosis

Studi Akut
Carson et al,

Skizofrenia

2002b
Kane et al, 2002

Skizofrenia atau
gangguan skizoafektif

Petrie et al, 2002

Skizofrenia

Pasien
(N)
420

414

103

Saha et al, 2001

Skizofrenia

404

Studi Jangka Panjang


Piqott et al, 2002

Skizofrenia

310

Perbandingan

vs placebo
Haloperidol,
plasebo

Haloperidol,
plasebo

Efektifitas
Aripiprazol >
Plasebo
Aripiprazol =
haloperidol >
plasebo
Haloperidol >
Plasebo, Aripiprazol
> plasebo (hanya
responder keparahan-

Risperidone,

CGI)
Aripiprazol =

plasebo

risperidon > plasebo

Plasebo

Aripiprazol >

plasebo
aripiprazol >
plasebo. Gejala
positif, aripiprazol
=haloperidol >
McQuade et al,
2002a

Skizofrenia

1294

Haloperidol,

plasebo. Drop out,

plasebo

aripiprazol <
haloperidol. Gejala
negatif dan depresof,
aripiprazol >

Marcus et al,
2002

Manik

262

Plasebo

haloperidol
Aripiprazol >
Plasebo

UJI KLINIS
Uji klinis dengan aripiprazol dijelaskan dalam Tabel 1.

SKIZOFRENIA
Studi Jangka Pendek
Dalam sebuah percobaan selama 6 minggu dengan 420 pasien skizofrenia untuk
membandingkan 3 dosis tepat dari aripiprazol (10, 15 dan 20 mg/hari) dengan placebo,
ketiga dosis alipiprazol tersebut memiliki efek lebih superior dibanding placebo dalam
skor total Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS), sub-skala positif PANSS dan
sub-skala negatif PANSS (Carson et al, 2002b)
Sebuah penilitian dosis tepat dengan desain acak dan double-blinded selama 4
minggu membandingkan aripiprazol (15 dan 30 mg/hari) dengan haloperidol (10
mg/hari) dan placebo. Total 414 pasien dengan gangguan skizofrenia dan skizoafektif
diacak. Kedua dosis aripiprazol dan haloperidol secara statistik menghasilkan perbaikan

yang signifikan dari baseline total PANSS, positif PANSS, skor BPRS modifikasi dari
PANSS dan skor keparahan Clinical Global Impression (CGI), dan secara signifikan
lebih rendah pada skor perbaikan CGI pada titik akhir ketika dibandingkan dengan
plasebo. Aripiprazol (15 mg) dan haloperidol (10 mg) secara signifikan memperbaiki
skor negatif PANSS jika dibandingkan dengan plasebo. Total skor PANSS dari minggu
2 hingga minggu 4 dari kedua dosis aripiprazol dan haloperidol secara signifikan
berbeda dari plasebo (Kane et al, 2002).
Pada uji selama 4 minggu dengan 404 pasien skizofrenia, 2 dosis tepat aripiprazaol
(20 dan 30 mg/hari) dan risperidon (6 mg/hari) dibandingkan dengan plasebo. Kedua
dosis aripiprazol lebih superior daripada plasebo pada skor total PANSS, sub-skala
positif PANSS, sub-skala negatif PANSS dan skor keparahan CGi (Potkin et al, 2003).
Studi Pencegahan Kekambuhan Jangka Panjang
Sebuh studi selama 26 minggu dengan 310 pasien skizofrenia menunjukkan bahwa
aripiprazol secara signifikan lebih superior daripada plasebo dalam mencegah
kekambuhan (p <0,001) (Pigott et al, 2002).
Dalam sebuah studi selama 52 minggu dengan 1.294 pasien skizofrenia, aripiprazol
dibandingkan dengan neuroleptik tipikal, haloperidol. Kedua obat memiliki efek yang
sama dalam menurunkan gejala positif ketika dinilai dengan skor total PANSS. Jika
dibandingkan dengan haloperidol secara kohort, pasien yang diobati dengan aripiprazol
menunjukkan respons terapetik dalam jumlah presentasi yang lebih besar dan bertahan
dalam pengobatan pada minggu 8, 26 dan 52 (minggu 52: 40% vs 27%, p<0,001).
Dalam studi ini, penghentian respon pengobatan dilakukan jika terjadi perburukan skor
CGI (lebih besar atau sama dengan 6), perburukan psikosis sebagai sebuah kejadian
tidak diharapkan yang serius, atau perburukan skor (lebih tunggu atau sama dengan 5)
pada salah satu poin dari sub-skala positif PANSS: waham, disorganisasi konsep,
halusinasi, atau kecurigaan/penganiayaan. Sebagai tambahan, pasien yang diobati
dengan aripiprazol dilaporkan mengalami perbaikan yang signifikan pada gejala depresi
dan negatif dari sub-skala PANSS dan Montgomery Asberg Depression Rating Scale
(MADRS) (McQuade et al, 2002a). Pasien yang diobati dengan aripiprazol mengalami
efek samping ekstrapirmaidal yang jauh lebih sedikit dan menunjukkan respon yang

lebih baik (30% perbaikan pada skor total PANSS) dari pada pasien yang diobati dengan
haloperidol. Pada kelompok yang sama, jumah pasien yang tidak melanjutkan
pengobatan akibat sedikitnya perbaikan atau kejadian tidak diharapkan diketahui
berjumlah lebih sedikit.
Studi Terbuka
Sebuah studi terbuka dengan 311 pasien didesain untuk menilai keamanan dan
tolerabilitas pada pasien yang mengganti pengobati antipsikosis mereka saat ini
(haloperidol, olanzapine atau risperidon) dengan aripiprazol (Casey et al, 2003). Tiga
strategi pergantian yang digunakan antara lain: (1) mengganti dengan aripiprazol dalam
dosis penuh (tanpa titrasi) dari pengobatan antipsikotik sebelumnya; (2) berganti ke
aripiprazol dalam dosis penuh dan sekaligus melakukan tapering-off dari obat
sebelumnya selama 2 minggu secara bersamaan; dan (3) berganti ke aripiprazol dengan
melakukan titrasi hingga dosis penuh dan sekaligus melakukan tapering-off dari obat
sebelumnya selama 2 minggu secara bersamaan. Ketiga strategi tersebut memiliki hasil
yang sama dan penggantian obat secara umum dianggap aman dan ditolerasi dengan
baik dalam seluruh kelompok. Oleh karena itu, penggunaan dosis efektif aripiprazol
secara langsung dibenarkan tanpa harus melakukan peningkatan dosis secara bertahap.
Pada seluruh kelompok, perbaikan ditemukan dari baseline pada total PANSS, sub-skala
positif dan negatif PANSS dan skor perbaikan-CGI setelah minggu 4 dan 8.
Aripiprazol (30 mg/hari) dibandingkan dengan olanzapin (15 mg/hari) pada sebuah
studi multisenter open-label pada 225 pasien dengan psikosis stabil secara acak untuk
mengetahui efek pengobatan terhadap fungsi neurokognitif (Carson et al, 2002a).
Perbaikan yang signifikan pada memori verbal sekunder ditemukan pada pengobatan
dengan aripiprazol, namun tidak ditemukan pada olanzapin.
MANIA
Pada studi double-blind yang mengikutsertakan 262 pasien dengan gangguan manik
akut, pengobatan aripiprazol (dosis rata-rata 27,9 mg/day) menghasilkan perbaikan yang
signifikan secara statistik pada Young Mania Rating Scale (Y-MRS) dan lebih tinggi
pada nilai respon (40% vs 19%) dibandingkan dengan plasebo (Jody et al, 2002a).

DOSIS
Aripiprazol diberikan sebagai tablet oral sekali sehari dan dapat digunakan dengan
atau tanpa makanan. Dosis efektif berada pada rentang 10 hingga 30 mg. 15 mg dosis
awal dan pemeliharaan yang direkomendasikan memungkinkan dokter untuk memulai
terapi pada dosis efektif tanpa membutuhkan titras (Daniel et al, 2000). Dosis dapat
disesuaikan setelah itu untuk pengoptimalan respon individual pasien. Aripiprazol saat
ini tersedia dalam tablet 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 30 mg di Amerika Serikat.
Studi rentang dosis pada skizofrenia menunjukkan kualitas superior pada pemberian
2, 10 dan 30 mg aripiprazol setiap hari secara oral jika dibandingkan dengan plasebo
(Daniel et al, 2000). Selama fase akut, dosis 15-30 mg sekali sehari dianggap cukup jika
melihat data yang tersedia hingga saat ini. Untuk pengobatan pemeliharaan jangka
panjang dan pencegahan kekambuhan, dosis 20-30 mg sekali sehari digunakan dalam
studi kontrol haloperidol (McQuade et al, 2002a).
Pada pengobatan bagi pasien dengan gangguan manik bipolar akut (Jody et al,
2002a), dosis harian 30 mg aripiprazol ditemukan superior dibandingkan plasebo.
Peningkatan dosis oral aripiprazol dari 30 mg/hari menjad 90 mg/hari tidak
menghasilkan kejadian tidak diharapkan akibat peningkatan dosis.
EFEK SAMPING
Frekuensi kejadian tidak diharapkan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Efek Samping. Insidens, dibulatkan pada persen terdekat, dari kejadian tidak
diharapkan yang membutuhkan pengobatan yang terjadi selama terapi akut (hingga
minggu), hanya terjadi pada 2% atau lebih pasien yang diterapi dengan aripiprazol
(dosis >2mg/hari) dan insiden pasien yang diterapi dengan aripiprazol lebih besar
daripada insiden pasien yang diterapi dengan plasebo (didapatkan dari Informasi
Peresepan AS).
Efek Samping

Aripiprazol %

Sakit Kepala
Ansietas

32
25

Placebo %
25
24

Insomnia
Mual
Muntah
Pusing
Somnolen
Akathisia
Konstipasi
Asthenia

24
14
12
11
11
10
10
7

19
10
7
7
8
7
8
5

Dalam uji kontrol plasebo jangka pendek, tidak terdapat perbedaan jumlah kejadian
penghentian akibat kejadian tidak diharapkan antara pasien yang diobati dengan
aripiprazol (7%) dan dengan plasebo (9%). Kejadian tidak diharapkan yang paling
sering dilaporkan selama pengobatan dengan aripiprazol antara lain sakit kepala,
insomnia, agitasi, dyspepsia, mual dan ansietas (McQuade et al, 2002b).
Bertolak belakang dengan haloperidol, aripiprazol tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan dengan plasebo dalam frekuensi kemunculan efek samping
ekstrapiramidal yang dinilai dengan Simpson-Angus Scale, Bames Akathisia Scale dan
Abnormal Involuntary Movement Scale (AIMS)(Marder et al, 2003; McQuade et al,
2002b).
Dalam perbandingan antara aripiprazol dan risperidon, kedua pengobatan tidak
menunjukkan efek samping ekstrapiramidal yang signifikan (Potkin et al, 2003). Nilai
prolactin plasma rata-rata meningkat 5 kali lipat dari plasebo pada pengobatan dengan
risperidonn, namun tidak terdapat perubahan pada kelompok aripiprazol. Ketika
pengobatan dengan risperidon dihubungkan dengan peningkatan interval QTC yang
signifikan, pengobatan dengan aripiprazol tidak meningkatkan interval QTC (Potkin et
al, 2003).
Dalam studi kontrol haloperidol delama 52 minggu, pengobatan dengan aripiprazol
dihubungkan dengan peningkatan berat badan yang minimal pada pasien dengan
baseline IMT<23, sedangkan pasien dengan baseline IMT>27 mengalami pengurangan
berat badan (McQuade et al, 2002a). Aripiprazol juga dihubungkan dengan penurunan
berat badan dengan rata-rata 0,9 kg dalam studi open label selama 26 minggu,

sedangkan olanzapin menunjukkan peningkatan berat badan dengan rata-rata 3,6 kg


(Jody et al, 2002b).
Pengobatan dengan aripiprazol menghasilkan penurunan jumlah kolesterol rata-rata
secara signifikan, ketika olanzapin, risperidon, dan haloperidol menyebabkan
peningkatan kolesterol yang signifikan (Jody et al, 2002b; McQuade et al, 2002a; Saha
et al, 2001).
Berbanding terbalik dengan haloperidol dan risperidon yang menunjukkan
peningkatan jumlah prolaktin serum yang signifikan, yaitu 120% dan 600% dari
baseline, aripiprazol tidak meningkatkan jumlah prolaktin serum (Marder et al, 2003;
McQuade et al, 2002b).

INTERAKSI
Enzim sitokrom P450 CYP3A4 dan CYP2D6 bertugas dalam metabolisme
aripiprazol (McGavin & Goa, 2002). Agen yang mengandung CYP3A4 (seperti
carbamazepin) dapat menyebabkan peningkatan klirens aripiprazol dan penurunan
jumlah dalam plasma. Inhibitor CYP3A4 (seperti ketokonazol) atau CYP2D6 (seperti
quinidine, fluoksetin atau paroksetin) dapat secara teori menghambat eliminasi
aripiprazol dan meningkatkan nilai dalam plasma.
Aripiprazol tampak tidak akan menyebabkan interaksi farmakokinetik yang penting
secara klinis dengat obat yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450. Dalam studi
in vivo, dosis 10 hingga 30 mg/hari aripiprazol tidak memiliki efek yang signifikan pada
metabolisme oleh senyawa CYP2D6 (dekstromethorphan), CYP2C9 (warfarin),
CYP2C19 (omeprazol, warfarin) dan CYP3A4 (dektromethorphan). Sebagai tambahan,
aripiprazol dan dehydro-aripiprazol tidak menunjukkan potensi untuk mengganggu
metabolism yang dimediasi dengan CYP1A2 secara in vitro (US Prescribing
Information Abilify).

Interkasi dengan obat berikut tidak berhubungan secara klinis dan penyesuaian dosis
tidak diperlukan jika obat tersebut diberikan secara bersamaan dengan aripirazol:
Famotidine: pemberian bersamaan antara aripirazol dengan H 2 antagonis famotidine,
sebuah bloker asam lambung yang kuat, menurunkan solubilitas aripiprazol sehingga
juga menurunkan laju dan luas absorpsi. Valporate: Ketika valproate dan aripiprazol
diberikan secara bersamaan pada keadaan seimbang (steady state), Cmax dan AUC
aripiprazol menurun sejumlah 25% (US Prescribing Information Abilify). Dalam studi
lainnya, aripiprazol diberikan secara bersamaan dengan valproate (Citrome et al, 2002),
dan tidak menuunjukkan efek yang signifikan ecar aklinis pada keadaan farmakokinetik
aripirazol yang seimbang. Lithium: Interaksi farmakokinetik antara aripirazol dengan
lithium tidak memungkinkan untuk terjadi dikarenakan lithium tidak dimetabolisme
dan terikat dengan plasma protein, dan hampir secar akeseluruhan diekresikan dalam
keadaan tidak berubah melalui urin. Pemberiaan bersamaan dosis terapi lithium dengan
aripiprazol tidak menghasilkan perubahan yang signifikan secara klinis pada
farmakokinetik aripirazol atau metabolit aktif dehydro-aripiprazol (Citrome et al, 2002).
Dekstromethorphan:

Aripiprazol

tidak

memiliki

efek

pada

odealkilasi

dekstromethorphan menjadi metabolit mayor dekstrorphan, sebuah jalur yang


diketahuin bergantung dengan aktifitas CYP2D6. Aripirazol juga tidak memiliki efek
pada N-demethylasi dekstromethorphan menjadi metabolit 3-methyoxymorphan, sebuah
jalur yang diketahui bergantung dnegan aktivitas CYP3A4 (US Prescribing Information
Abilify). Warfarin: Aripiprazol tidak memiliki efek pada farmakokinetik R- dan Swarfarin (US Prescribing Information Abilify). Omeprazol: Aripiprazol tidak
memiliki efek pada farmakokinetik omeprazol, sebuah substrat CYP2C19 pada subjek
sehat (US Prescribing Information Abilify).
KONTRAINDIKASI
Aripiprazol

dikontraindikasikan

dengan

pasien

yang

diketahui

memiliki

hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Aripiprazol belum dievaluasi atau digunakan


dalam jumlah yang cukup pada pasien dengan riwayat penyakit infakr myokard atau
penyakit jantung yang tidak stabil. Pasien dengan diagnosa tersebut tidak dimasukkan
ke dalam studi klinis sebelum pemasaran.

Akibat dari pengalaman yang masih sedikit, aripiprazol tidak boleh digunakan
selama kehamilan dan menyusui.
PERINGATAN
Dua kasus NMS (neuroleptic malignant syndrome) mungkin terjadi selama
pengobatan dengan aripirazol pada data klinis sebelum pemasaran (US Prescribing
Information Abilify). Aripiprazol mungkin dapat dihubungkan dengan hipotensi
ortostatik, mungkin disebabkan oleh antagonisme reseptor 1-adrenergik. Aripiprazol
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular
(riwayat infark myokard atau penyakit jantung iskemik, gagal jantung atau gangguan
konduksi), penyakit serebrovaskular, atau kondisi yang dapat menyebabkan hipotensi
pada pasien (dehidrasi, hipovolemia dan pengobatan dengan obat antihipertensif).
Kejang terjadi pada 0,1% (1/926) pasien yang diobati dengan aripiprazol dalam uji
kontrol plasebo jangka pendek. Seperti obat antipsikotik lainnya, aripiprazol harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat kejang atau dengan kondisi
yang menurunkan nilai ambang kejang (seperti demensia Alzheimer).
Aripirazol, seperti obat antipsikotik lainnya, dapat memiliki potensi untuk
menganggu pertimbangan, proses berfikir atau kemampuan motorik, meskipun beberapa
fungsi kognitif pada pasien skizofrenia mengalami perbaikan pada uji klinis. Pasien
harus diperingatkan untuk tidak menggunakan mesin yang berbahaya, termasuk mobil,
ketika mengkonsumsi aripiprazol.
PENGGUNAAN PADA USIA LANJUT
Keamanan dan kemanjuran aripiprazol pada pengobatan pasien dengan psikosis
yang juga dihubungkan dengan demensia masih belum dilakukan. Kewaspadaan harus
ditingkatkan teruma pada bahaya hipotensi ortostatik, kesulitan menelan, atau gangguan
kantuk yang berlebihan (excessive somnolence) yang dapat menyebabkan cedera dan
aspirasi.

KESIMPULAN

Data yang saat ini tersedia menunjukkan bahwa aripiprazol memiliki potensi untuk
menjadi tambahan obat antipsikotik yang menjanjikan. Obat ini dapat menjadi alternatif
bagi obat yang saat ini tersedia pada pengobatan skizofrenia dan manik, karena obat
tersebut memiliki kemanjuran yang sama ataupun lebih dibandingkan dengan obat
referensi yang tipikal maupun atipikal dengan perhatian kepada postif, negatif, depresif
dan fungsi kognitif dan ditoleransi dengan baik. Masalah yang diketahui pada obat
atipikal lainnya seperti peningkatan berat badan, hiperglikemia, peningkatan kolesterol,
peningkatan prolaktin atau pemanjangan QT tidak ditemukan pada pengobatan dengan
aripiprazol.

Anda mungkin juga menyukai