Anda di halaman 1dari 14

Pendalaman Tugas & Tanggung Jawab Komite-Komite dalam Membantu Dewan

Komisaris Melakukan Fungsi Pengawasan pada Perusahaan


Hotel Bidakara, Jakarta | Selasa, 26 Februari 2013 | 09:00-16:30 WIB | Rp. 1.850.000
LATAR BELAKANG
Perkembangan usaha dewasa ini telah sampai pada tahap persaingan global dan terbuka dengan dinamika
perubahan yang demikian cepat. Dalam situasi kompetisi global seperti ini, Good Corporate Governance
(GCG) merupakan suatu keharusan dalam rangka membangun kondisi perusahaan yang tangguh dan
sustainable.
GCG adalah suatu praktik pengelolaan perusahaan secara amanah dan prudensial dengan mempertimbangkan
keseimbangan pemenuhan kepentingan seluruh stakeholders. Dengan implementasi GCG, maka pengelolaan
sumberdaya perusahaan diharapkan menjadi efisien, efektif, ekonomis dan produktif dengan selalu berorientasi
pada tujuan perusahaan dan memperhatikan stakeholders approach.
Terkait dengan hal tersebut, diperlukan pengawasan oleh Dewan Komisaris secara efektif, agar Perusahaan
dapat mencapai tujuan perusahaan dan melaksanakan implementasi GCG dengan penuh komitmen dan
konsisten. Untuk mendukung penuh proses pengawasan oleh Dewan Komisaris, pada umumnya Dewan
Komisaris dibantu oleh 4 (empat) Komite, diantaranya sebagai berikut:
1. Komite Audit
2. Komite Nominasi & Remunerasi
3. Komite Manajemen Risiko
4. Komite GCG
Untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai peran dan fungsi Komite di bawah Dewan Komisaris,
diperlukan media knowledge sharing dalam bentuk Workshop GCG: Pendalaman Tugas dan Tanggung Jawab
Komite-Komite dalam Membantu Dewan Komisaris Melakukan Fungsi Pengawasan
EFEKTIFITAS MEKANISME OVERSIGHT OLEH KOMISARIS DAN KOMITE AUDIT DALAM
STRUKTUR GOVERNANCE DI INDONESIA
(Oleh IKAI )
Sebagai salah satu pilar tegaknya corporate governance, komite audit diharapkan berfungsi sebagai
penghubung antara Komisaris dan Direksi, karena masih banyak ditemui Komisaris yang diberikan posisi
karena jabatannya di Departemen terkait, sehingga mengakibatkan kurangnya pemahaman yang bersangkutan
atas perannya sebagai Komisaris.
Good corporate governance merupakan suatu hal yang menjadi keharusan di Indonesia, mengingat buruknya persepsi
dunia luar terhadap Indonesia dan tingginya ekspektasi terhadap perusahaan publik dan BUMN untuk menjadi tulang
punggung perekonomian Indonesia.
Diakui atau tidak, sampai dengan saat ini kesan bahwa good corporate governance hanya sekedar retorika masih kental
terasa. Namun demikian hal ini seharusnya tidak dianggap sebagai penghalang, namun dapat dijadikan pemacu untuk
memotivasi seluruh organ perusahan dalam mengusung semangat good corporate governance.
Bicara mengenai good corporate governance, sudah barang tentu dimulai dengan struktur governance. Berasal dari
kata latin gubernare, governance berarti to steer, mengendalikan, memberikan arahan, layaknya seorang nakhoda
kapal. Dengan kata lain, siapapun yang menjadi pelaku dalam struktur governance, adalah seseorang atau badan yang
mampu memberikan arahan dan mengendalikan perusahaan agar tetap dikelola berdasarkan visi dan misi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Struktur governance di Indonesia yang menganut two tier system, merupakan sistem yang berasal dari Eropa
Continental, dimana pada sistem ini dibedakan fungsi pengambil kebijakan dan fungsi pengawasan. Fungsi pengambil
kebijakan dijalankan oleh Dewan Direksi, sedangkan fungsi pengawasan dijalankan oleh Dewan Komisaris.

Perbedaan mendasar antara one-tier dan two-tier adalah pada sistem one-tier tidak jelas siapa yang menjalankan
fungsi pengawasan, karena yang ada hanya fungsi pengambil kebijakan yang dijalankan oleh Chairman dan fungsi
pelaksana kebijakan yang dijalankan oleh CEO.
Diakui bersama bahwa masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelemahan yang terjadi di Indonesia
adalah mengenai fungsi pengawasan. Secara struktur, fungsi pengawasan sudah sangat jelas, begitu juga organ yang
menjalankannya, yaitu Dewan Komisaris beserta komite-komite dibawahnya. Namun demikian pemahaman terhadap
cara mengawasi yang masih harus ditingkatkan.
Kelemahan inilah yang diharapkan dapat diisi oleh komite audit. Sebagai organ pendorong tercapainya efektifitas
Dewan Komisaris, komite audit diharapkan mampu memberikan insight dan pengawasan yang komprehensif atas hal-hal
yang terkait dengan financial reporting, internal control, risk management dan corporate governance.
Sebagai salah satu pilar tegaknya corporate governance, komite audit diharapkan berfungsi sebagai penghubung antara
Komisaris dan Direksi, karena masih banyak ditemui Komisaris yang diberikan posisi karena jabatannya di Departemen
terkait, sehingga mengakibatkan kurangnya pemahaman yang bersangkutan atas perannya sebagai Komisaris.
Beberapa kendala dan tantangan yang sering muncul dan dihadapi dalam upaya untuk meningkatkan efektifitas
mekanisme oversight yang dijalankan oleh Komisaris dan Komite audit adalah sebagai berikut :
Pertama, adalah landasan hukum. Di dalam UU PT disebutkan bahwa fungsi Komisaris adalah untuk mengawasi
kebijakan Direksi. Sedangkan di dalam UU BUMN disebutkan untuk mengawasi direksi dalam kepengurusan perusahaan.
Hal ini dapat menimbulkan interpretasi yang sangat bertolak belakang. UU PT menekankan kepada pengawasan atas
kebijakan, sedangkan UU BUMN menekankan kepada pengawasan atas Direksinya (individunya). Tidak mustahil apabila
Komisaris mengalami kebingungan dalam menjalankan perannya.
Kedua, adalah gap di dalam implementasi good corporate governance di Indonesia.
Ketiga, adalah mengenai pelaporan. Sebagai organ yang diharapkan dapat menjalankan fungsi oversight, Komisaris
sangat mengandalkan laporan dari manajemen dengan kualitas, kecepatan dan ketepatan yang tidak diragukan. Namun
pada kenyataannya, laporan yang diterima seringkali kurang berkualitas, tidak tepat waktu dan tidak akurat. Hal ini
menyebabkan semuanya bersifat proforma yang mengakibatkan tidak tercapainya efektifitas pengawasan.
Keempat, adalah tidak jelasnya pembagian tugas diantara anggota Dewan Komisaris. Ketidakjelasan ini bisa
mengakibatkan terjadinya perbedaan/variasi yang sangat lebar atas keaktifan dan kehadiran Komisaris.
Kelima, adalah persepsi yang salah mengenai kedudukan Komisaris. Fungsi oversight, yang berarti melihat dari atas,
seringkali diartikan Komisaris memiliki kedudukan di atas Direksi, padahal sebenarnya tidak demikian. Di mata
pemegang saham, kedudukan keduanya sama (sejajar), hanya saja keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Dewan
Komisaris melakukan pengawasan, sedangkan Direksi melakukan eksekusi (pelaksanaan). Kerancuan juga terjadi akibat
kesalahan menerjemahkan pengendalian, sehingga dianggap bahwa pengendalian adalah pengawasan. Pengendalian
adalah tugas Direksi, sebagaimana tercantum dalam teori manajemen, POAC (Planning, Organizing, Actuating and
Control), dimana control adalah pengendalian. Perbedaan mendasar antara pengawasan dan pengendalian adalah
pengawasan dapat dilakukan secara periodik (berkala) sedangkan pengendalian harus dilakukan setiap saat.
Keenam, adalah tidak adanya database calon Komisaris yang disertai track record secara komprehensif. Hal ini
menyebabkan sulitnya mencari dan menjaring calon Komisaris yang kompeten untuk mengisi suatu posisi Komisaris
yang sedang kosong.
Ketujuh, adalah kurangnya pemahaman mengenai akar permasalahan perusahaan dan good corporate governance dari
pemegang saham (khususnya di BUMN). Keadaan ini mengakibatkan tidak adanya arahan strategis yang jelas untuk
pengembangan perusahaan bagi Komisaris di dalam menjalankan fungsi pengawasannya.
Kedelapan, adalah belum seragamnya kriteria seorang Komisaris, sehingga berdampak pada keberagaman kompetensi
seorang Komisaris. Hal ini berdampak kepada kontribusi Komisaris tersebut kepada perusahaan, yang secara tidak
langsung berdampak kepada kurangnya penghargaan (recognition) dari Direksi kepada Komisaris.
Kesembilan, adalah respons yang kurang memadai dari Dewan Komisaris atas laporan yang disampaikan oleh Komite
Audit. Hal ini menimbulkan rasa inferioritas bagi Komite Audit dan berdampak pada kinerja yang dihasilkan.
Beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh pembicara maupun peserta Konvensi terkait dengan upaya untuk
meningkatkan efektifitas mekanisme oversight yang dijalankan oleh Komisaris dan Komite audit adalah sebagai
berikut :

Perlu
sosialisasi
good
corporate
governance
bagi
principal
(pemegang
saham).
Membangun kesadaran (awareness) Board akan pentingnya keberadaan dan nilai tambah dari Komite-komite
dibawahnya (mis. Komite Audit, dan lain-lain).
Perlu penyamaan visi dan misi perusahaan bagi Board (Direksi dan Komisaris) dengan Tujuan untuk menciptakan
nilai yang sama bagi perusahaan.
Perumusan code of conduct (pedoman perilaku) bagi Komisaris dan Komite Audit.
Melakukan cascading process V komsistensi di dalam menerapkan good corporate governance dari atas dan
penularannya ke setiap level manajemen sampai ke yang terbawah.
Pengaturan tata cara mekanisme hubungan antara Dewan Komisaris dan Direksi.
Perumusan kompetensi Komisaris dan Komite Audit melalui fit and proper dan tolok ukur yang jelas.
Pengaturan yang jelas mengenai tata hubungan lintas komite di bawah Dewan Komisaris.
Melakukan program orientasi industri dan bisnis perusahaan dan pelatihan bagi Board.
Perumusan kompetensi SPI/internal audit melalui fit and proper dan tolok ukur yang jelas.
Membangun manual (pedoman kerja) bagi komite audit.
Merumuskan standar remunerasi bagi Komite Audit yang mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi kinerja
Komite Audit.

Sebagai benang merah dari keseluruhan diskusi pada Konvensi ini, ditarik suatu kesimpulan bahwa efektifitas
mekanisme oversight di Indonesia dapat dicapai melalui 3 (tiga) unsur utama, yaitu pembangunan sistem yang
menunjang, budaya yang kondusif dan yang terpenting adalah aspek manusianya. Dalam sistem yang belum
sempurna dan budaya yang belum mendukung seperti kondisi Indonesia, profil yang tepat dari seorang Komisaris
dan Komite Audit pada kenyataannya mampu memaksimalkan efektifitas mekanisme fungsi oversight.
Profil Komisaris dan Komite Audit yang dipandang mampu menjadi pendorong terciptanya efektifitas mekanisme
oversight, setidaknya harus memenuhi 3 hal di bawah ini, yaitu :
Pertama adalah individu yang tepat, dengan mempertimbangkan integritas, kompetensi dan sikap yang sesuai dengan
kriteria seorang Komisaris dan Komite Audit yang diharapkan dapat menjalankan fungsi pengawasan secara efektif.
Kedua adalah kemampuan untuk bertindak (power to act). Komisaris dan Komite Audit harus berani melakukan dan
menyatakan sesuatu yang dianggapnya benar, sesuai dengan koridor tugas dan tanggung jawabnya.
Keempat, adalah kemampuan dan kemauan untuk bertanya dan menanyakan sesuatu. Bersikap kritis merupakan
persyaratan bagi Komisaris dan Komite Audit agar mampu mendeteksi

Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate


Governance (Tata Kelola Perusahaan)
1. Pengertian Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan)
Hingga saat ini masih ditemui definisi yang bermacam-macam tentang Corporate Governance. Namun
demikian umumnya mempunyai maksud dan pengertian yang sama. FCGI dalam publikasi yang pertamanya
mempergunakan definisi Cadbury Committee, yaitu: "seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan." Disamping itu
FCGI juga menjelaskan, bahwa tujuan dari Corporate Governance adalah "untuk menciptakan nilai tambah
bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)." Secara lebih rinci, terminologi Corporate
Governance dapat dipergunakan untuk menjelaskan peranan dan perilaku dari Dewan Direksi, Dewan
komisaris, pengurus (pengelola) perusahaan, dan para pemegang saham.
Sebagaimana yang diuraikan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and development),
ada empat unsur penting dalam Corporate Covernance, yaitu:
1.
Fairness (Keadilan). Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak
pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan
para investor.
2.
Transparency (Transparansi). Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta
jelas, dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan
kepemilikan perusahaan.

3.
Accountability (Akuntabilitas). Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk
menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh
Dewan Komisaris (dalam Two Tiers System).
4.
Responsibility (Pertanggungjawaban). Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku
sebagai cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.(OECD Business Sector Advisory Group on Corporate
Governance, 1998) Prinsip-prinsip Corporate Governance dari OECD menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Hak-hak para Pemegang Saham;
2. Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham;
3. Peranan semua pihak yang berkepentingan (stekeholders) dalam Corporate Governance;
4. Transparansi dan Penjelasan;
5. Peranan Dewan Komisaris.
Walaupun banyak pendapat tentang definisi dan tujuan Corporate Governance, namun demikian ada
prinsip dasar yang berlaku universal. Sebagai gambaran, untuk berhasil di pasar yang bersaing, suatu
perusahaan harus mempunyai pengelola perusahaan yang inovatif, yang bersedia untuk mengambil risiko yang
wajar, dan yang senantiasa mengembangkan strategi baru untuk mengantisipasi situasi yang berubah-ubah.
Hal ini menuntut manajemen sebagai pengurus perusahaan mempunyai ruang gerak untuk bertindak
bebas dan didorong untuk bertindak untuk kepentingan investor atau penanam modal. Contoh, baru-baru ini
Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) memberikan sanksi kepada tiga perusahaan yang terdaftar di
Bursa. Salah satu diantaranya terbukti melaksanakan transaksi pinjaman senilai Rp. 10 milyar kepada 64%
pemegang sahamnya tanpa persetujuan dari pemegang saham lainnya. Hal ini dianggap melanggar ketentuan
BAPEPAM mengenai benturan kepentingan.(Bisnis Indonesia, "Bapepam kenakan sanksi kepada 3 emiten dan
4 sekuritas". www.bisnis.com)
Karenanya ketentuan-ketentuan dan prosedur diperlukan untuk menjaga kepentingan penanam modal di
mana termasuk di dalamnya: "pengelolaan pengawasan yang independen, transparansi atas kinerja
perusahaan,kepemilikan, dan pengendalian; dan partisipasi dalam keputusan yang fundamental oleh para
pemegang saham - dengan perkataan lain harus dipatuhinya 'Corporate Governance'." (Egon Zehnder
International, 2000: p. 12-13)
2. Dewan Komisaris di Indonesia: Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT 1995), Code of Conduct,
dan peraturan-peraturan khusus tertentu lainnya.
Dewan Komisaris dalam One Tier System (Anglo Saxon) dan dalam Two Tiers System (Kontinental Eropa).
Berkenaan dengan bentuk Dewan dalam sebuah perusahaan, terdapat dua sistem yang berbeda yang
berasal dari dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan dari Kontinental Eropa. Sistem Hukum
Anglo Saxon mempunyai Sistem Satu Tingkat atau One Tier System. Di sini perusahaan hanya mempunyai
satu Dewan Direksi yang pada umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (Direktur
Eksekutif) dan Direktur Independen yang bekerja dangan prinsip paruh waktu (Non Direktur Eksekutif). Pada
dasarnya yang disebut belakangan ini diangkat karena kebijakannya, pengalamannya dan relasinya. Negaranegara dengan One Tier System misalnya Amerika Serikat dan Inggris.
Sistem Hukum Kontinental Eropa mempunyai Sistem Dua Tingkat atau Two Tiers System. Di sini
perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu Dewan Pengawas (Dewan Komisaris) dan Dewan
Manajemen (Dewan Direksi). Yang disebutkan terakhir, yaitu Dewan Direksi, mengelola dan mewakili
perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan Dewan Komisaris. Dalam sistem ini, anggota Dewan Direksi
diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (Dewan Komisaris). Dewan Direksi juga harus
memberikan informasi kepada Dewan Komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh Dewan Komisaris.
Sehingga Dewan Komisaris terutama bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen.
Dalam hal ini Dewan Komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak
boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi dengan pihak ketiga. Anggota Dewan Komisaris diangkat
dan diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Negara-negara dengan Two Tiers System adalah
Denmark, Jerman, Belanda, dan Jepang. Karena sistem hukum Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda,
maka hukum perusahaan Indonesia menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam perusahaan.
Meskipun demikian dalam sistem hukum dewasa ini terdapat pula perbedaan-perbedaan yang cukup
penting termasuk di dalamnya adalah hak dan kewajiban Dewan Komisaris dimana dalam keadaan yang umum
tidak termasuk kewenangan Dewan Komisaris untuk menunjuk dan memberhentikan direksi.

Peranan Dewan Komisaris dalam Suatu Perusahaan.


Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam
pelaksanaan Good Corporate Governance. Menurut Egon Zehnder, Dewan Komisaris - merupakan inti dari
Corporate Governance - yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, Dewan
Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan
pada pengelola perusahaan. Mengingat manajemen yang bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan
daya saing perusahaan - sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi manajemen - maka
Dewan Komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. (Egon Zehnder International, 2000
hal.12-13) Lebih lanjut tugas-tugas utama Dewan Komisaris meliputi:
1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko,
anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja
perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset
2.Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota Dewan Direksi, serta
menjamin suatu proses pencalonan anggota Dewan Direksi yang transparan dan adil;
3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota Dewan Direksi
dan anggota Dewan Komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi
perusahaan;
4. Memonitor pelaksanaan Governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu;
5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.(OECD Principles of Corporate
Governance)
Persyaratan untuk Dewan Komisaris Menurut Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia
Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT), yaitu Pasal 97 UUPT, Komisaris bertugas
mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perusahaan serta memberikan nasihat kepada Direksi.
Lebih lanjut Pasal 98 UUPT menegaskan, bahwa Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan. Disamping itu UUPT juga menetapkan, bahwa orang
yang dapat diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan
perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya sebagai
anggota Dewan Komisaris.
Mengenai kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, UUPT menetapkan, bahwa anggota Dewan
Komisaris wajib melaporkan kepada perusahaan tentang kepemilikan sahamnya dan atau anggota keluarganya
pada perusahaan tersebut atau perusahaan lain. Komisaris sebuah perusahaan diangkat oleh Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Mereka diangkat untuk suatu periode tertentu, dan apabila dimungkinkan, mereka
bisa diangkat kembali. Dalam Anggaran Dasar diatur tata cara pencalonan, pengangkatan dan pemberhentian
anggota Dewan Komisaris, tanpa mengurangi hak pemegang saham dalam pencalonan tersebut. Akhirnya,
UUPT menetapkan, bahwa anggota Dewan Komisaris dapat diberhentikan atau diberhentikan sementara oleh
RUPS.
Bagaimana dalam prakteknya?
Aktifnya peranan Dewan Komisaris dalam praktek sangat tergantung pada lingkungan yang diciptakan
oleh perusahaan yang bersangkutan. Dalam beberapa kasus memang ada baiknya Dewan Komisaris memainkan
peranan yang relatif pasif, namun di Indonesia sering terjadi anggota Dewan Komisaris bahkan sama sekali
tidak menjalankan peran pengawasannya yang sangat mendasar terhadap Dewan Direksi. Dewan Komisaris
seringkali dianggap tidak memiliki manfaat. Hal ini dapat dilihat dalam fakta, bahwa banyak anggota Dewan
Komisaris tidak memiliki kemampuan, dan tidak dapat menunjukkan independensinya (sehingga, dalam banyak
kasus, Dewan Komisaris juga gagal untuk mewakili kepentingan stakeholders lainnya selain daripada
kepentingan pemegang saham mayoritas). Persoalan independensi juga muncul dalam hal penggajian Dewan
Komisaris didasarkan pada persentase gaji Dewan Direksi. Kepemilikan saham yang terpusat dalam satu
kelompok atau satu keluarga, dapat menjadi salah satu penyebab lemahnya posisi Dewan Komisaris, karena
pengangkatan posisi anggota Dewan Komisaris diberikan sebagai rasa penghargaan semata maupun
berdasarkan hubungan keluarga atau kenalan dekat. Di Indonesia, mantan pejabat pemerintahan ataupun yang
masih aktif, biasanya diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris suatu perusahaan dengan tujuan agar
mempunyai akses ke instansi pemerintah yang bersangkutan. Dalam hal ini integritas dan kemampuan Dewan
Komisaris seringkali menjadi kurang penting. Pada gilirannya independensi Dewan Komisaris menjadi sangat

diragukan karena hubungan khususnya dengan pemegang saham mayoritas ataupun hubungannya dengan
Dewan Direksi ditambah kurangnya integritas serta kemampuan Dewan Komisaris. (Herwidayatmo, 2000: hal.
6-7)
3. Apa itu Komisaris Independen?
Proposal FCGI tentang Komisaris Independen
Seharusnya ada definisi yang jelas tentang komisaris "ekstern" atau komisaris "independen". Dalam
hubungan ini, FCGI mengusulkan agar dipergunakan definisi yang diterima dalam lingkup internasional yaitu
Komisaris "ekstern"atau "independen". Kriteria Komisaris Independen diambil oleh FCGI dari kriteria otoritas
bursa efek Australia tentang Outside Directors. Kriteria untuk Outside Directors dalam One Tier System
tersebut telah diterjemahkan menjadi kriteria untuk Komisaris Independen dalam position paper FCGI kepada
NCCG. Kriteria tentang Komisaris Independen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Komisaris Independen bukan
merupakan anggota manajemen;
2. Komisaris Independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau seorang pejabat dari atau dengan
cara lain yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari
perusahaan;
3. Komisaris Independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai
eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan
dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi seperti itu;
4. Komisaris Independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau perusahaan lainnya yang
satu kelompok dengan perusahaan tersebut;
5. Komisaris Independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang signifikan dan berpengaruh
dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara
langsung atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut;
6. Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu
kelompok selain sebagai komisaris perusahaan tersebut;
7. Komisaris Independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun atau hubungan lainnya yang
dapat, atau secara wajar dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai
seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan. (Forum for Corporate
Governance in Indonesia: 2000; p. 6)
Terminologi mendasar mengenai Independensi
Independensi Profesional adalah suatu bentuk sikap mental yang sulit untuk dapat dikendalikan karena
berhubungan dengan integritas seseorang. Melaksanakan "fit and proper test" terhadap kandidat yang akan
menduduki jabatan tertentu di perusahaan merupakan salah satu usaha mengetahui independensi profesional.
Akan tetapi, integritas independensi seseorang lebih ditentukan oleh apa yang sebenarnya diyakininya dan
dilaksanakannya dalam kenyataan (in fact) dan bukan oleh apa yang terlihat (in appearance).
1. (The Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG): 2000, p. 6)
Lebih lanjut, dalam menyelenggarakan suatu "fit and proper test", pemberian kesempatan yang sama (equal
opportunity) terhadap setiap orang untuk menempati suatu jabatan akan menuju kepada seleksi calon-calon
yang lebih memenuhi syarat dan adil
Komisaris Independen menurut Peraturan Bursa Efek Jakarta
Keberadaan Komisaris Independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui peraturan BEJ tanggal 1 Juli
2000. Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai Komisaris Independen yang
secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang minoritas (bukan
controlling shareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal Komisaris Independen adalah 30%
dari seluruh anggota Dewan Komisaris. Beberapa kriteria lainnya tentang Komisaris Independen adalah sebagai
berikut:
1. Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang
saham pengendali (controlling shareholders) Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;
2. Komisaris Independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau komisaris lainnya Perusahaan
Tercatat yang bersangkutan;
3. Komisaris Independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan
Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;
4. Komisaris Independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
5. Komisaris Independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan
pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

4. Dewan Komisaris dan Komite-komite


Telah diketahui secara umum bahwa untuk dapat bekerja secara tepat guna dalam suatu lingkungan
usaha yang kompleks Dewan Komisaris harus mendelegasikan beberapa tugas mereka kepada komite-komite.
Adanya komite-komite ini merupakan suatu sistem yang bermanfaat untuk dapat melaksanakan pekerjaan
Dewan Komisaris secara lebih rinci dengan memusatkan perhatian Dewan Komisaris kepada bidang khusus
perusahaan atau cara pengelolaan yang baik (Governance) oleh manajemen. Komite-komite yang pada
umumnya dibentuk adalah Komite Kompensasi/Remunerasi untuk badan eksekutif dalam perusahaan, Komite
Nominasi, dan Komite Audit. Berdasarkan praktek yang umum berlaku di dunia internasional disarankan
bahwa anggota komite-komite tersebut diisi oleh anggota Komisaris Independen. Walaupun komite-komite
tersebut belum merupakan hal yang umum terdapat di berbagai bagian dunia, namun kecendurangan akan
menyebar sejalan dengan perkembangan perusahaan, serta masalah yang lebih kompleks dan yang lebih luas.
Dewan Komisaris harus mempertimbangkan untuk mengangkat seorang komisaris dan menetapkan suatu
kebijakan tentang pergantian ketua komite-komite tersebut. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap
komisaris mendapat kesempatan untuk ikut serta sesuai dengan caranya dan masing-masing untuk memperoleh
pandangan-pandangan baru. Dalam Corporate Governance terdapat tiga komite yang memiliki peranan
penting, yaitu:
a. Komite Kompensasi/Remunerasi (Compensation/Remuneration Committee)
Membuat rekomendasi terhadap keputusan-keputusan yang menyangkut remunerasi/kompensasi untuk
Dewan Direksi dan kebijakan- kebijakan kompensasi lainnya, termasuk hubungan antara prestasi perusahaan
dengan kompensasi bagi eksekutif perusahaan dalam hal ini CEO.
b. Komite Nominasi (Nomination/Governance Committee)
Mengawasi proses pencalonan komisaris dan direksi, menyeleksi para kandidat yang akan dicalonkan,
dan mengusulkan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur tentang struktur dewan dan proses nominasinya.
c. Komite Audit (Audit Committee)
Memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya, sistem
pengawasan internal serta auditor independen.(Egon Zehnder International, 2000: p. 21)

a.
b.
c.
d.
e.

5. Komite Remunerasi
Komite remunerasi atau di Amerika Serikat disebut compensation committee, bertugas untuk
menentukan besaran kompensasi atau gaji dan bonus bagi direksi dan komisaris. Agar dapat bekerja secara
efektif dan objektif, maka komite ini harus hanya beranggotakan direktur independen. Selain itu, komite ini
harus mempekerjakan penasihat/advisor dari pihak eksternal yang langsung melapor kepada komite
kompensasi. Penasihat ini digaji langsung oleh komite remunerasi untuk menjaga objektivitas dan
independeninya dari pihak manajemen.
Untuk memastikan efektvitas komite remunerasi, Council of Institutional Investor (CII)
merekomendasikan beberapa prinsip. Prinsip tersebut terkait dengan struktur, tanggung jawab dan proksi
pengungkapan. Struktur komite remunerasi harus terdiri dari komisaris independen untuk menjaga objektivitas
dan independensinya. Dalam hal pengungkapan, komite remunerasi harus mengungkapkan seluruh aspek dalam
kompensasi manajemen secara menyeluruh dan wajar dalam bahasa yang mudah dipahami agar pemegang
saham dapat memahami bagaimana dan berapa banyak manajemen digaji.
Secara umum tanggung jawab komite remunerasi adalah menentukan besaran gaji atau kompensasi
yang diterima direksi maupun komisaris. Tanggung jawab komite remunerasi yang lebih rinci diuraikan oleh
CII sebagai berikut:
Mengembangkan, menyetujui, memantau, dan mengungkapkan gaji eksekutif perusahaan, mempertimbangkan
berbagai komponen pembayaran, bauran dari kas dan penghargaan ekuitas, dan hubungan eksekutif untuk
membayar kompensasi karyawan lain.
Mengawasi semua aspek kompensasi eksekutif bagi para eksekutif puncak, untuk memastikan adil, tidak
diskriminatif, bermanfaat, dan memandang ke depan.
Pelaksana pembayaran untuk kinerja kompensasi eksekutif didorong terutama oleh kinerja dan penghargaan
atas kinerja yang superior.
Meninjau kinerja individu setiap tahunnya dalam kelompok pengawasan (komisaris) dan menyetujui bonus
mereka, pesangon, penghargaan berbasis ekuitas, kematian/kecelakaan, pensiun, pemecatan dengan atau tanpa
sebab, perubahan kontrol, dan pengunduran diri.
Dengan asumsi akuntabilitas untuk operasi komite, termasuk menghadiri semua pertemuan pemegang saham
tahunan dan khusus, yang tersedia untuk merespon langsung ke pertanyaan mengenai kompensasi eksekutif,

melaporkan kegiatannya kepada direksi independen dari dewan perusahaan, dan mempersiapkan dan
bertanggung jawab atas laporan komite kompensasi termasuk dalam bahan proksi tahunan.
f. Bertanggung jawab untuk mempekerjakan, mempertahankan, dan memecat ahli independen termasuk penasihat
hukum, penasihat keuangan, dan konsultan sumber daya manusia saat negosiasi kontrak dengan para eksekutif.
Peran komite remunerasi sangat penting dalam tata kelola perusahaan. Aturan SEC mewajibkan
perusahaan publik untuk menjelaskan proses dan prosedur komite remunerasi. Perusahaan harus menjelaskan
ruang lingkup dan kewenangan komite remunerasi, sifat dan tingkat kewenagan yang didelegasikan komite
remunerasi kepada pihak lain, serta berbagai aspek di mana konsultan dan komite bekerja sama untuk
merekomendasikan besaran kompensasi direksi dan komisaris. Apabila perusahaan mempekerjakan akuntan,
maka harus diungkapkan nama masing-masing konsultan, keterlibatan dengan komite nominasi dan sifat, dan
ruang lingkup tugas konsultan.
Untuk memenuhi tugasnya, komite remunerasi harus menyusun prosedur kebijakan pembayaran dan
penghargaan atas kinerja manajemen yang unggul. Terdapat 10 aspek utama dalam laporan komite remunerasi:
1. Komposisi komite remunerasi, termasuk jumlah anggota, nama anggota, kualifikasi anggota, dan independensi
anggota.
2. Tujuan dan pelaksanaan program kompensasi direktur dan eksekutif, termasuk kebijakan say on pay dari
pemegang saham.
3. Kebijakan dan prosedur komite remunerasi.
4. Rincian kompensasi direksi individu dan pegawai lain, termasuk gaji, bonus, saham, dan opsi saham.
5. Persetujuan oleh pemegang saham atas rencana kompensasi berbasis saham dan biaya rencana tersebut.
6. Kebijakan dan praktik akuntansi untuk pengakuan atau pengungkapan biaya yang terkait dengan kompensasi
berbasis saham.
7. Sarana menghubungi dewan komisaris perusahaan, terutama anggota komite remunerasi.
8. Informasi yang relevan tentang konsultan kompensasi independen.
9. Kebijakan perusahaan dalam menarik kembali bonus eksekutif yang disebabkan oleh laporan keuangan yang
menyesatkan yang kemudian disajikan kembali.
10. Prosedur untuk persetujuan rencana opsi saham karyawan dan eksekutif kunci, baik oleh pemegang saham atau
dewan perwakilan komisaris, administrasi rencana tersebut dan penentuan tanggal hibah mereka oleh komite
remunerasi.
1.
2.
3.
4.

5.

6.
7.
8.

Terdapat 12 faktor penentu komite remunerasi yang efektif:


Semua perusahaan publik harus memiliki komite remunerasi dewan komisaris mereka, yang secara langsung
bertanggung jawab untuk menentukan tingkat dan struktur rencana kompensasi yang sesuai untuk eksekutif
utama perusahaan Komite juga dapat mempertimbangkan kompensasi bagi komisaris perusahaan.
Komite remunerasi harus terdiri hanya dari direktur independen yang tidak berafiliasi dengan dan tidak
menerima kompensasi apapun selain fee pertemuan dewan komisaris dan yang terkait dengan komite.
Komite remunerasi harus memiliki sebuah piagam yang menyatakan peran, tanggung jawab, dan fungsi
komite. Piagam tersebut harus disetujui oleh dewan komisaris dan seluruh sepenuhnya diungkapkan kepada
pemegang saham.
Komite remunerasi harus memiliki wewenang dan sumber daya anggaran untuk menyewa ahli, penasihat, dan
konsultan yang dianggap diperlukan untuk merancang dan menerapkan pengaturan kompensasi eksekutif.
Manajemen tidak harus mengontrol sumber daya anggaran perusahaan, dan konsultan yang sama tidak harus
disewa oleh manajemen.
Komite remunerasi harus mengembangkan kompensasi berbass kinerja untuk eksekutif perusahaan,
menetapkan kompensasi eksekutif rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, mengevaluasi kinerja
eksekutif, dan merevisi rencana kompensasi yang diperlukan untuk memberikan insentif bagi kinerja eksekutif
tinggi.
Komite remunerasi harus memastikan pengungkapan kompensasi eksekutif yang cukup dan sesuai dengan
persyaratan pengungkapan SEC.
Komite remunerasi harus memastikan bahwa eksekutif mengembalikan kompensasi mereka apabila terjadi
penyajian kembali hasil keuangan perusahaan.
Komite menetapkan kebijakan kompensasi harus memberikan bauran yang tepat dari bonus gaji dan
kompensasi insentif jangka panjang, termasuk pengaturan pesangon dan pensiun, yang sepenuhnya
diungkapkan kepada dan disetujui oleh para pemegang saham.

9. Komite harus menetapkan metrik kompensasi berbasis kinerja berdasarkan tolok ukur kinerja yang tepat seperti
nilai tambah ekonomi (EVA), nilai tambah pemegang saham (SVA), return on equity (ROE), return on assets
(ROA), sisa pendapatan (RI), pendapatan, dan uang tunai pertumbuhan arus (EKG).
10. Komite remunerasi harus mendorong kepemilikan saham eksekutif dan mempromosikan kesetaraan berbasis
kompensasi (opsi saham, saham terbatas).
11. Komite remunerasi harus memiliki sebuah piagam yang menyatakan kebijakan, prosedur, komposisi, otoritas,
sumber daya, dan tanggung jawab serta persyaratan untuk memproduksi laporan tahunan tentang kompensasi
eksekutif untuk dimasukkan dalam proksi pernyataan perusahaan.
12. Komite remunerasi harus memberikan kompensasi dan pengungkapan analisis dan meminta untuk dimasukkan
dalam laporan tahunan perusahaan.
6. Komite Nominasi
Komite Nominasi
Komite nominasi bertugas untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menominasikan direktur baru
pada dewan, dan juga memfasilitasi pemilihan direksi baru oleh pemegang saham. Komite dapat menggunakan
dukungan staf yang diberikan oleh CEO dalam mengidentifikasi dan merekrut anggota baru dewan direksi
perusahaan. Sebuah komite nominasi yang efektif secara substansial dapat mengurangi peran tradisional
dimainkan oleh direktur utama dalam memilih komisaris baru yang tidak mungkin independen dari manajemen.
Sedangkan di Indonesia menurut Pedoman Umum GCG (KNKG) tahun 2006 menyatakan bahwa komite
nominasi dan remunerasi bertugas membantu dewan komisaris dalam menetapkan kriteria pemilihan calon
anggota dewan komisaris dan direksi serta sistem remunerasinya.
Menurut Sarbanes-Oxley Act (SOX), komite nominasi bertanggung jawab untuk:
1. Meninjau kinerja komisaris saat ini.
2. Menilai kebutuhan untuk komisaris baru.
3. Mengidentifikasi dan mengevaluasi keterampilan, latar belakang, keragaman (jenis kelamin, latar belakang
etnis, dan pengalaman), dan pengetahuan calon komisaris.
4. Memiliki proses nominasi kandidat yang memenuhi syarat objektif.
5. Membantu dalam pemilihan komisaris baru yang berkualitas.
6. Menetapkan kebijakan tata kelola perusahaan (misalnya, kebijakan suara mayoritas).
7. Berkomunikasi dengan pemegang saham mengenai calon dewan dan pemegang saham lainnya kekhawatiran
dan masalah.
8. Menentukan apakah seluruh dewan komisaris memenuhi persyaratan independensi yang ditetapkan oleh
standar pencatatan dalam hal sebagian besar direktur (setidaknya dua pertiga) yang independen.
Menurut KNKG di Indonesia, komite nominasi dan remunerasi bertanggung jawab membantu dewan
komisaris mempersiapkan calon anggota dewan komisaris dan direksi dan mengusulkan besaran
remunerasinya. Dewan komisaris dapat mengajukan calon tersebut dan remunerasinya untuk memperoleh
keputusan RUPS dengan cara sesuai ketentuan anggaran dasar.
Komite nominasi harus memimpin proses penilaian direktur dan pemilihan. Isu-isu berikut harus
dipertimbangkan dalam proses evaluasi termasuk (tetapi tidak terbatas pada hal-hal berikut):
Jenis kelamin dan keragaman etnis dalam menciptakan keseimbangan yang tepat untuk memungkinkan
komisaris untuk menghadapi tantangan bisnis saat ini dan masa depan dan mencerminkan basis pelanggan
perusahaan sebagai keunggulan kompetitif.
Pengalaman diperlukan untuk secara efektif mengoperasikan komite dewan.
Keahlian yang dibutuhkan di masa depan. Sebagai contoh, jika perusahaan mengharapkan masa depan merger
dan akuisisi, memiliki komisaris dengan pengetahuan dan latar belakang dalam model penilaian akan sangat
membantu. Tantangan bagi perusahaan di masa depan terkait manajemen risiko perusahaan dan tanggung jawab
sosial dan lingkungan juga memerlukan pertimbangan direksi berpengetahuan di daerah tersebut.
Kebijakan dua termin keanggotaan dewan komisaris bagi komisaris non-eksekutif untuk menjaga
independensinya.
Kombinasi yang tepat atas kualifikasi komisaris dan karakteristik perilaku.
Setelah komite nominasi menyeleksi beberapa kandidat komisaris, kandidat-kandidat tersebut harus
diseleksi lebih lanjut berdasarkan latar belakang, pengetahuan, keahlian, keragaman, nilai-nilai etika, dan
karakter kandidat yang bersangkutan. Kandidat yang lolos itu kemudian harus memperoleh persetujuan seluruh
komisaris sebelum diajukan dalam pemilihan oleh pemegang saham. Komite nominasi juga harus melakukan

wawancara untuk memastikan bahwa kandidat yang dipilih tidak hanya memiliki kualitas yang baik, tetapi juga
memiliki waktu dan perhatian untuk menjadi anggota dewan komisaris yang efektif dan kandidat tersebut tidak
menjabat terlalu banyak di dewan lain. Apabila kandidat tersebut telah terpilih dalam RUPS, maka ia akan
menjabat selama masa jabatannya kecuali dipecat atau dipaksa mengundurkan diri, sesuatu yang jarang terjadi.
Pada masa lalu, tidak terdapat batasan masa jabatan dewan komisaris. Dengan demikian,
komisaris incumbent akan selalu terpilih kembali kecuali dipecat atau pensiun, suatu hal yang jarang terjadi.
Namun, pada saat ini, telah diberikan saran untuk memastikan bahwa kandidat incumbent memadai untuk
dipilih kembali:
Menetapkan usia pensiun wajib bagi semua komisaris independen, komisaris interal dan incumbent. Saat ini
tidak ada hukum, standar pencatatan, atau persyaratan eksternal lainnya mandat usia pensiun standar untuk
direksi. Dengan demikian, perusahaan publik, dalam mengikuti praktek tata kelola perusahaan terbaik
(misalnya, pernyataan kebijakan CII), harus memutuskan usia pensiun terbaik bagi komisaris mereka (mungkin
di kisaran 70 sampai 75 tahun).
Gunakan evaluasi tahunan dewan sebagai sarana untuk menilai kualifikasi, pengetahuan, kepercayaan, dan
perubahan dalam status komisaris yang ada dan kelayakan mereka untuk dinominasikan untuk pemilihan
kembali.
Gunakan batas maksimal untuk pemilihan kembali komisaris incumbent.
Perlu sertifikasi tahunan dari komisaris untuk mengungkapkan setiap perubahan keadaan kerja utama mereka,
potensi konflik kepentingan, dan keterlibatan dalam tindakan ilegal atau perilaku tidak etis yang dapat
memalukan bagi perusahaan.
Memberikan insentif dan kesempatan bagi direksi untuk mengundurkan diri dari dewan sebelum pencalonan
kembali dan dipilih kembali dalam keadaan ketika mereka tidak efektif, telah terlibat dalam perilaku tidak etis
atau tindakan ilegal, atau terkait dengan konflik kepentingan.
Mendorong pemegang saham, investor institusional khususnya, untuk memasukkan nominator dewan mereka
pada surat suara resmi perusahaan.
Mendorong pendidikan tahunan melanjutkan direktur untuk memastikan bahwa pengetahuan mengenai
corporate governance dan finansial tetap diperbarui.
7. Komite Audit
Salah satu dari komite-komite yang telah disebutkan di atas yaitu Komite Audit memiliki tugas terpisah
dalam membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan pengawasan
secara menyeluruh. Sebagai contoh, Komite Audit memiliki wewenang untuk melaksanakan dan mengesahkan
penyelidikan terhadap masalah-masalah di dalam cakupan tanggung jawabnya. The Institute of Internal
Auditors (IIA) merekomendasikan bahwa setiap perusahaan publik harus memiliki Komite Audit yang diatur
sebagai komite tetap. IIA juga menganjurkan dibentuknya Komite Audit di dalam organisasi lainnya, termasuk
lembaga-lembaga non-profit dan pemerintahan. Komite Audit agar beranggotakan Komisaris Independen, dan
terlepas dari kegiatan manajemen sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu Dewan
Komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama dengan masalah yang berhubungan dengan
kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan (The Institute of Internal
Auditors, Internal Auditing and the Audit Committee: Working Together Towards Common Goals).
Pada umumnya, Komite Audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu;
a. Laporan Keuangan (Financial Reporting);
b. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance); dan
c. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control).
a. Laporan Keuangan (Financial Reporting)
Tanggung jawab Komite Audit di bidang laporan keuangan adalah untuk memastikan bahwa laporan
keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hal-hal sebagai
berikut:
1. Kondisi keuangan;
2. Hasil Usahanya;
3. Rencana dan komitmen jangka panjang.
Ruang lingkup pelaksanaan dalam bidang ini adalah:
1. Merekomendasikan auditor eksternal;
2. Memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan auditor eksternal, yaitu:
_ Surat penunjukkan auditor.

_ Perkiraan biaya audit.


_ Jadwal kunjungan auditor.
_ Koordinasi dengan internal audit.
_ Pengawasan terhadap hasil audit.
_ Menilai pelaksanaan pekerjaan auditor.
3. Menilai kebijakan akuntansi dan keputusan-keputusan yang menyangkut kebijaksanaan;
4. Meneliti Laporan Keuangan (Financial Statement), yang meliputi:
_ Laporan Paruh Tahun (Interim Financial Statements).
_ Laporan Tahunan (Annual Financial Statements).
_ Opini Auditor dan Management Letters.
Khusus tentang penilaian atas kebijakan akuntansi dan keputusan suatu kebijaksanaan, dapat dilakukan
secara efektif dengan memperoleh suatu rangkuman yang singkat tentang semua kebijakan akuntansi yang
mendasari laporan keuangan yang diperoleh dari pejabat dalam bidang akuntansi.
b. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)
Tanggungjawab Komite Audit dalam bidang Corporate Governance adalah untuk memastikan, bahwa
perusahaan telah dijalankan sesuai undangundang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan
beretika, melaksanakan pengawasannya secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang
dilakukan oleh karyawan perusahaan. Ruang lingkup pelaksanaan dalam bidang ini adalah:
1. Menilai kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan,
etika, benturan kepentingan dan penyelidikan terhadap perbuatan yang merugikan perusahaan dan kecurangan;
2. Memonitor proses pengadilan yang sedang terjadi ataupun yang ditunda serta yang menyangkut masalah
Corporate Governance dalam hal mana perusahaan menjadi salah satu pihak yang terkait di dalamnya;
3. Memeriksa kasus-kasus penting yang berhubungan dengan benturan kepentingan, perbuatan yang merugikan
perusahaan, dan kecurangan;
4. Keharusan auditor internal untuk melaporkan hasil pemeriksaan Corporate Governance dan temuan-temuan
penting lainnya.
c. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control )
Tanggungjawab Komite Audit untuk pengawasan perusahaan termasuk di dalamnya pemahaman tentang
masalah serta hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor
proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal. Ruang lingkup audit internal harus meliputi
pemeriksaan dan penilaian tentang kecukupan dan efektifitas sistem pengawasan intern. Disamping itu, definisi
baru tentang audit intern memperkuat tanggung jawab Komite Audit dalam hal Corporate Control karena
dalam definisi tersebut dinyatakan, bahwa audit intern merupakan kegiatan yang mandiri dalam memberikan
kepastian (assurance), serta konsultasi untuk memberikan nilai tambah untuk memperbaiki kegiatan suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya melalui suatu pendekatan secara sistematik dan disiplin dalam menilai
dan memperbaiki efektifitas manajemen risiko, pengawasan dan proses Governance. (The Institute of Internal
Auditors, Internal Auditing and The Audit Committee)
d. Keanggotaan
Lebih lanjut, kriteria dan catatan lainnya tentang Komite Audit adalah:
_ Paling sedikit satu anggota Komite Audit harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keuangan
dan akuntansi;
_ Ketua Komite Audit harus hadir pada RUPS untuk menjawab pertanyaan para Pemegang Saham;
_ Komite Audit harus mengundang eksekutif yang menurut mereka tepat (terutama pejabat di bidang keuangan)
untuk hadir pada rapat-rapat komite, akan tetapi apabila dipandang perlu dapat mengadakan rapat tanpa
kehadiran seorangpun eksekutif perusahaan. Di luar itu Direktur Keuangan dan Kepala Satuan Kerja Audit
Intern dan, seorang wakil dari auditor eksternal harus hadir sebagai peserta pada rapat-rapat Komite Audit;
_ Sekretaris Perusahaan harus bertindak sebagai sekretaris Komite Audit;
_ Wewenang Komite Audit harus meliputi:
Menyelidiki semua aktivitas dalam batas ruang lingkup tugasnya.
Mencari informasi yang relevan dari setiap karyawan.
Mengusahakan saran hukum dan saran profesional lainnya yang independen apabila dipandang perlu.
Mengundang kehadiran pihak luar dengan pengalaman yang sesuai, apabila dianggap perlu.(Pratip Kar,
2000)
8. Audit Committee Charter

Suatu dokumen yang mengatur tentang tugas, tanggung jawab, dan wewenang serta struktur Komite
Audit yang dituangkan secara tertulis dan disahkan oleh Dewan Komisaris akan merupakan suatu dokumen
(charter) yang menjamin terciptanya dengan baik kondisi pengawasan suatu perusahaan, disamping perlu
adanya suatu wacana dari pimpinan perusahaan akan pentingnya pengawasan (tone at the top). Peran Komite
Audit adalah untuk mengawasi dan memberi masukan kepada Dewan Komisaris dalam hal terciptanya
mekanisme pengawasan. Tetapi dalam kenyataannya banyak anggota Komite Audit yang tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup dalam masalah pengawasan intern, dan bahkan tidak sedikit yang kurang mempunyai
latar belakang akuntansi dan keuangan yang memadai. Oleh karena itu, anggota Komite Audit perlu
mempunyai suatu pedoman tentang tanggung jawab dan wewenang dalam melaksanakan tugasnya dalam
bentuk Audit Committee Charter tersebut. Tanggungjawab Komite Audit minimal yang menyangkut proses
penyusunan laporan keuangan dan pelaporan lainnya, pengawasan intern, serta dipatuhinya ketentuan tentang
undang-undang dan peraturan serta etika bisnis. Dokumen itu juga harus menyatakan, bahwa Komite Audit
akan mengadakan rapat secara periodik dan dapat mengadakan rapat tambahan atau rapat-rapat khusus bila
diperlukan. Selanjutnya wewenang, tanggungjawab dan struktur Komite Audit harus ditetapkan dalam
peraturan perusahaan.
Berpedoman pada ketentuan the Institute of Internal Auditor mengenai Audit Committee Charter yang
harus dinyatakan dengan jelas adalah yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
_ Tanggungjawab utama untuk laporan keuangan dan lainnya, pengawasan intern dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, peraturan dan etika bisnis dalam perusahaan tetap berada di tangan manajemen
eksekutif;
_ Pimpinan puncak badan eksekutif, mempunyai tanggungjawab menyeluruh dalam bidang-bidang tersebut di
atas, dan Komite Audit membantu Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Komite Audit harus mempunyai akses pada sumber informasi, termasuk dokumen dan personalia, dan
mempunyai fasilitas yang memadai untuk melaksanakan seluruh tanggungjawabnya tersebut;
_ Diperlukan adanya penilaian yang tidak berpihak dan objektif tentang manajemen perusahaan;
_ Pimpinan puncak badan eksekutif dan Dewan Direksi harus mendukung Komite Audit, yang bekerja secara
mandiri dan bebas dari pengaruh manajemen maupun pengaruh lainnya yang merupakan kelemahan
perusahaan;
_ Komite Audit dan auditor internal harus memelihara suatu tingkat kemandirian profesional dalam menilai
pelaksanaan tanggungjawab manajemennya. Akan tetapi, ini tidak berarti, bahwa suatu peran yang harus
berlawanan dengan manajemen, karena pada dasarnya auditor internal dan manajemen harus mempunyai tujuan
yang sama, yaitu untuk peningkatan efisiensi;
_ Untuk memastikan kemandirian fungsi audit intern dan yang memastikan bahwa temuan audit telah
ditindaklanjuti secara wajar, Komite Audit harus meningkatkan dan memperbaiki kerja sama yang saling
menguntungkan dengan auditor internal, dan manajemen eksekutif. (The Institute of Internal Auditors, The
Audit Committee in the Public Sector)
9. Struktur Komite Audit
Komite Audit harus terdiri dari individu-indidvidu yang mandiri dan tidak terlibat dengan tugas seharihari dari manajemen yang mengelola perusahaan, dan yang memiliki pengalaman untuk melasanakan fungsi
pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama kemandirian ini adalah untuk memelihara
integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh
Komite Audit, karena individu yang mandiri cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam
menangani suatu permasalahan.
Jumlah anggota Komite Audit disesuaikan besar-kecilnya dengan organisasi dan tanggung jawab. Namun
biasanya tiga sampai lima anggota merupakan jumlah yang cukup ideal. Komite Audit biasanya perlu untuk
mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya yang
menyangkut soal sistem pelaporan keuangan. (The Institute of Internal Auditors, Internal Auditing and The
Audit Committee)
10. KOMITE LAIN
Dewan komisaris dapat membentuk komite khusus lain untuk membantu tugas dean komisaris terkat
dengan kejadian-kejadian khusus. Proses pembentukan komite khusus ini sangat penting. Komite ini harus
memiliki tugas yang jelas, melaksanakan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab, dan tidak memiliki
kepentingan. Berikut adalah beberapa pedoman dalam pembentukan komite-komite khusus:
a. Anggota komite tersebut harus diseleksi secara hati-hati, untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan.

b. Jumlah kompensasi/gaji yang diberikan harus dipertimbangkan dengan seksama agar tidak memicu masalah
lain.
c. Tugas yang diberikan harus jelas dan tertulis.
d. Apabila anggota komite tersebut bertindak sebagai pihak yang memiliki kepentingan atas perusahaan, maka
anggota tersebut tidak boleh memanfaatkan sumber daya perusahaan.
e. Komite tersebut harus bekerja dengan informasi yang memadai.
Komite Governance/Strategik
Komite governance/strategik bertugas menyusun agenda bagi dewan komisaris untuk menentukan isuisu apa dan sejauh mana harus didiskusikan dengan manajemen. Dewan komisaris tidak memiliki informasi
yang memadai, untuk itu komite governance bekerja sama dengan direktur utama perusahaan menyususn
agenda rapat yang disetujui kedua belah pihak. Bekerja sama dengan manajemen, komite governance setiap
tahun harus mengidentifikasi prioritas-prioritas perusahaan termasuk arah strategi perusahaan, aktivitas
pendanaan, peluang investasi, rencana suksesi dan pertumbuhan berkelanjutan. Prioritas-prioritas ini kemudian
disusun dalam agenda rapat dewan komisaris. Pada intinya, komite governance harus:
1. Mengendalikan agenda dan pelaksanaan rapat
2. Mengevaluasi agenda yang lalu dan lamanya rapat untuk memastikan bahwa setiap isu didiskusikan dalam
waktu yang memadai.
3. Merevisi agenda apabila diperlukan dan mengatur prioritas dalam rapat.
Indonesia juga memiliki komite khusus terkait dengan governance, yaitu Komite Kebijakan Corporate
Governance. Namun, berbeda dengan komitegovernance yang dibahas sebelumnya, komite ini bertanggung
jawab untuk membantu dewan komisaris mengkaji pelaksanaan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh
direksi serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang terkait dengan etika perusahaan dan tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR).
Komite Komisaris Independen Eksternal
Apabila direktur utama perusahaan (CEO) juga bertindak sebagai ketua dewan komisaris, maka harus
dibentuk komite dewan komisaris yang independen dan berasal dari pihak eksternal untuk menjaga
independensi dewan komisaris dari pengaruh manajemen dan CEO. Komite ini terdiri dari komisaris noneksekutif dan harus terlibat dalam fungsi pengawasan.
Komite Eksekutif
Komite eksekutif bertugas mengevaluasi dan menyetujui keputusan, rencana, dan tindakan manajerial
atas nama seluruh anggota dewan komisaris. Tugas ini dijalankan apabila sulit untuk mempertemukan seluruh
anggota dewan komisaris untuk membahas isu penting dengan waktu terbatas. Komite eksekutif dapat dibentuk
atas pimpinan setiap komite untuk mengorganisasikan aktivitas mereka dan menyusun agenda untuk seluruh
dewan komisaris.
Komite Pengungkapan
Komite Pengungkapan dibentuk untuk membantu pihak eksekutif mematuhi aturan SOX Seksi 302
mengenai pengendalian internal dan pelaporan keuangan. Komite pengungkapan terdiri atas pihak-pihak yang
memahami pemenuhan kebutuhan periodik perusahaan, praktik pengungkapan bisnis dan hukum, serta
prosedur dan pengendalian pengungkapan. Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam komite ini adalah general
counsel, chief accounting officer, controller, risk management officer, outside legal counsel, dan hubungan
investor.
Komite Teknologi Informasi
Komite ini merupakan komite yang khusus untuk mengelola dan mengawasi hal-hal terkait dengan
teknologi informasi. Komite ini bertugas mengawasi proyek dan fungsi IT sebagaimana mengevaluasi peluang
strategis dan teknologi masa depan.
Komite Kebijakan Risiko
KNKG Indonesia menyarankan perusahaan untuk membuat komite kebijakan risiko apabila dirasa
membutuhkan. Komite kebijakan risiko bertugas membantu dewan komisaris dalam mengkaji sistem
manajemen risiko yang disusun oleh direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh perusahaan.

III. KESIMPULAN
Kepatuhan terhadap reformasi aturan corporate governance, kompleksitas bisnis, globalisasi dan
perkembangan teknologi mendorong dewan komisaris untuk membentuk komite-komite penunjang untuk
mendapatkan kinerja terbaik dengan keahlian, pengalaman dan usaha maksimal setiap komisaris. Di Indonesia,
setiap perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia wajib membentuk Komite Audit dan dapat
membentuk komite-komite lain sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pada akhirnya, karena corporate
governance telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan perusahaan public yang etis, maka
kebutuhan akan pemahaman mengenai komite penunjang dewan komisaris dan tugas-tugasnya menjadi
semakin penting. Komite-komite tersebut umumnya dibentuk untuk membantu dewan komisaris perusahaan
untuk memenuhi tugas fiduciary-nya secara efektif, baik sebagai pelindung kepentingan investor maupun
sebagai pengawas dan penasihan dewan direksi.
Kesimpulan
Good Corporate Governance atau Tata Kelola Perusahaan yang Baik membantu terciptanya hubungan yang
kondusif dan dapat dipertanggungjawabkan diantara elemen dalam perusahaan (Dewan Komisaris, Dewan
Direksi, dan para pemegang saham) dalam rangka meningkatkan kinerja
perusahaan. Hal tersebut menuntut adanya pertanggungjawaban manajemen kepada Dewan Komisaris dan
adanya pertanggungjawaban Dewan Komisaris kepada para Pemegang Saham. Dalam paradigma ini, Dewan
Komisaris berada pada posisi untuk memastikan bahwa manajemen telah benar-benar bekerja demi kepentingan
perusahaan sesuai strategi yang telah ditetapkan serta menjaga kepentingan para pemegang saham
- yaitu untuk meningkatkan nilai ekonomis perusahaan. Terlebih lagi, Dewan Komisaris memegang peranan
penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer
benar-benar meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bagian daripada pencapaian tujuan perusahaan. Yang
terpenting dalam hal ini adalah kemandirian komisaris dalam pengertian bahwa Dewan Komisaris:
_ Memiliki kemampuan untuk membahas permasalahan tanpa campur tangan manajemen;
_ Dilengkapi dengan informasi yang memadai untuk mengambil keputusan; dan
_ Berpartisipasi secara aktif dalam penetapan agenda dan strategi.
Hal ini menuntut adanya individu-individu dengan kualitas yang luar biasa baik, memiliki latar belakang yang
beragam, berbekal keahlian utama dan pemahaman yang serius tentang perusahaan dan bisnis.
Mengingat bahwa akhir-akhir ini Corporate Governance merupakan salah satu topik pembahasan sehubungan
dengan semakin gencarnya publikasi tentang kecurangan (fraud) maupun keterpurukan bisnis yang terjadi
sebagai akibat kesalahan yang dilakukan oleh para eksekutif manajemen, maka hal ini menimbulkan suatu
tanda tanya tentang kecukupan (adequacy) Corporate Governance. Demikian pula halnya tentang kredibilitas
proses penyusunan laporan keuangan perusahaan dipertanyakan. Oleh karena itu adalah suatu hal yang wajar
dan penting bagi semua pihak yang terkait dengan proses penyusunan laporan keuangan untuk mengupayakan
mengurangi bahkan menghilangkan krisis kepercayaan (credibility gap) dengan mengkaji kembali peranan
masing-masing dalam proses penyusunan tersebut. Dalam hal ini Komite Audit mempunyai peran yang sangat
penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya
menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya Good Corporate
Governance. (Improving Audit Committee Performance: What Works Best - A Research Report prepared by
PricewaterhouseCoopers, the Institute of Internal Auditors Research Foundation)
Akhirnya, suatu Dewan Komisaris yang aktif, canggih, ahli, beragam, dan yang terpenting - independen yang
mengikuti proses-proses efektif yang ditempuh oleh Dewan Komisaris dan komite-komite yang berkaitan
adalah yang paling baik untuk ditempatkan dalam memastikan bahwa aset-aset perusahaan telah dialokasikan
untuk pemanfaatannya secara produktif.

Anda mungkin juga menyukai