Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR HUMERUS
1.

Konsep Medis

1.1

Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer,
2007:346).
Fraktur Tulang Humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari
tulang humerus yang terbagi atas Fraktur Suprakondilar Humerus, Fraktur
Interkondiler Humerus, Fraktur Batang Humerus, Fraktur Kolum Humerus
(Mansjoer, 2000:352).
Fraktur humerus adalah terputusnya hubungan tulang batang humerus tanpa
disertai luka terbuka atau fragmen tulang (Muttaqin, 2009:376).

Gambar 1.1 Fraktur Humerus


1.2 Anatomi Fisiologis
1) Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi
mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut
Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah
periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey,
yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan
tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat
kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap
sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan
melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara
lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli.
Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian
terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah
1

dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah
inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa
metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari
sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari
tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang
Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel
darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow
merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis
dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam
proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES). Tulang
terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast
merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru.
Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast
adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang
rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra
seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen,
protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi
sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara
tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam
kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang
keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 400 ml/ menit
melalui proses vaskularisasi tulang (Evelyn, 2009:200).
2) Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan
sering menahan beban berat. Tulang panjang terdiri atas epifisis, tulang
rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang)
merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan
sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan
mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin.
Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan
struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang
panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah
pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan
2

penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis
(Evelyn, 2009:205).
3) Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas),
korpus, dan ujung bawah.

Gambar 1.2 Struktur Humerus


(1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan
bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang
lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas
dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas
Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu
Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah
tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
(2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih.
Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas
deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah
benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial
ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf
muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
(3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi
dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi
sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan
ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius.

Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil


yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
4) Fungsi Tulang
(1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
(2) Tempat mlekatnya otot.
(3) Melindungi organ penting.
(4) Tempat pembuatan sel darah.
(5) Tempat penyimpanan garam mineral
1.3 Etiologi
Penyebab fraktur pada humerus didasarkan atas bagian humerus yang
mengalami fraktur, seperti fraktur batang humerus disebabkan karena trauma
langsung yang mengakibatkan fraktur transversal, oblik, atau kominutif dan gaya
memutar tak langsung yang menyebabkan fraktur spiral (Smeltzer, 2001:2369),
fraktur suprakondiler humerus karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
dengan siku menumpu (dengan posisi ekstensi dan fleksi) atau hantaman langsung
(Smeltzer, 2001:2370), fraktur kolum humeri biasa terjadi paling sering pada
wanita tua setelah jatuh dengan posisi tangan menyangga (Smeltzer, 2001:2368).

1.4

Klasifikasi Fraktur Humerus


Klasifikasi fraktur Humerus (Mansjoer, 2000:353 354) yaitu:

a. Fraktur Suprakondilar Humerus


Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur dibagi menjadi 2 :
1) Tipe ekstensi. Trauma ini terjadi karena siku dalam posisi hiperekstensi,
lengan bawah dalam posisi supinasi. Hal ini akan menyebabkan fraktur
pada suprakondilar, fragmen distal humerus akan mengalami dislokasi
ke anterior dari fragmen proksimalnya. Fraktur ini dapat menyebabkan
kerusakan saraf akibat cedera pada saraf medianus, radialis, atau
ulnaris. Pasien di evaluasi adanya parestesia dan tanda gangguan
peredaran darah pada lengan bawah dan tangan (Smeltzer, 2001:2370).
2) Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam fleksi, sedang
lengan bawah dalam posisi pronasi. Hal ini menyebabkan fragmen
distal humerus mengalami dislokasi ke posterior dari fragmen
proksimalnya. Fraktur ini biasanya terjadi pada anak anak
(Sjamsuhidayat, 2010:1050).
b. Fraktur Interkondilar Humerus
Pada fraktur ini bentuk garis patah yang terjadi berupa bentuk huruf T dan
Y. Fraktur kondiler yang sering terjadi pada anak adalah fraktur kondilus
lateralis humerus dan fraktur epikondilus medialis humerus. Fraktur
kondiler sederhana jarang ditemukan pada orang dewasa (Sjamsuhidayat,
2010:1052).
c. Fraktur Batang Humerus
Biasanya terjadi pada penderita dewasa, terjadi karena trauma langsung
yang menyebabkan garis patah transversal atau kominutif. Selain itu, fraktur
ini juga dapat disebabkan oleh gaya memutar tak langsung yang
menghasilkan fraktur spiral (Smeltzer, 2001:2369).
d. Fraktur Kolum Humerus
Sering terjadi pada wanita tua karena osteoporosis. Biasanya berupa fraktur
impaksi. Pada orang dewasa muda, patah tulang ini terjadi akibat trauma
berat, sedangkan pada anak sering terjadi trauma ringan dalam posisi lengan
ekstensi yang menimbulkan fraktur epifise tipe II (Sjamsuhidayat,
1.5

2004:1050).
Manifestasi Klinis
5

Tanda dan Gejala pada fraktur humerus berdasarkan jenis bagian humerus
yang mengalami fraktur :
a. Fraktur Suprakondiler Humerus
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan siku yang bengkak denagn sudut
jinjing yang berubah dengan tanda fraktur yang jelas, penting juga untuk
memeriksa adanya gangguan peredaran darah dan lesi saraf tepi
(Sjamsuhidayat, 2010:1051). Selain itu, dapat menyebabkan komplikasi
yang serius yaitu iskemik Volkmann yang terjadi akibat pembengkakan
antekubital dan kerusakan arteri brakhialis (Smeltzer, 2001:2370 - 2371).
b. Fraktur Interkondilar Humerus
Di daerah siku tampak jelas pembengkakan, kubiti varus atau kubiti valgus
(Mansjoer, 2000:353).
c. Fraktur Batang Humerus
Terjadi fungsiolesa lengan atas yang cedera (Mansjoer, 2000:353). Selain itu
terjadi nyeri dan terbentuk hematom pada lengan atas (Sjamsuhidayat,
2010:1050).
d. Fraktur Kolum Humerus
Sakit di daerah bahu tetapi fungsi lengan masih baik karena fraktur impaksi
merupakan

fraktur

yang

stabil

(Mansjoer,

2000:

354).

Menurut

Sjamsuhidayat, 2010:1050, pada fraktur ini juga mengalami nyeri dan untuk
beberapa hari akan timbul hematoma karena patah tulang ini ditutupi oleh
otot. Dari tanda dan gejala yang didasarkan pada lokasi frakturnya, perlu
juga diperhatikan adanya kompartemen sindroma yang meliputi 5 P (pain,
pallor, parestesia, paralisis dan pulselesness).

1.6 Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001:2365) komplikasi dari fraktur adalah:
a. Komplikasi awal
1) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan
eksternal ke jaringan yang rusak.
2) Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multipel, atau cedera
remuk, dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada dewasa muda (20
6

sampai 30 tahun). Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk
kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi
dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh
reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru ginjal, dan
organ lain. Awitan, gejalanya, yang sangat cepat, dapat terjadi dari
beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera namun paling sering
terjadi dalam 24 sampai 72 jam. Respons pernapasan meliputi takipnea,
dispnea, krepitasi, mengi, sputum putih kental banyak, dan takikardia.
Gas darah menunjukkan PO2 di bawah 60 mmHg, dengan alkalosis
respiratori lebih dulu dan kemudian asidosis respiratori. Dengan adanya
emboli sistemik pasien nampak pucat. Tampak ada petekie pada
membran pipi dan konjungtiva, pada palatum durum, pada fundus
okuli, dan di atas dada dan lipatan ketiak depan.
3) Sindrom kompartemen
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gips atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartemen otot karena edema
atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misal : iskhemi,
cidera remuk).
b. Komplikasi lambat
1) Delayed union: Proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam waktu

c.
1.7

yang lebih lama dari perkiraan (tidak sembuh setelah 3-5 bulan)
2) Non union: Kegagalan penyambungan tulang setelah 6-9 bulan.
Mal union: Proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu
semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Fraktur Humerus menurut Smeltzer, 2001: 2274

2276 yaitu Sinar-X (foto rontgen), penting untuk mengevaluasi pasien dengan
kelainan muskuloskeletal. Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang,
tekstur, erosi dan perubahan hubungan tulang.
7

1.8 Penatalaksanaan
a. Fraktur Suprakondiler Humerus
Bila pembengkakkan tidak hebat, dapat dicoba reposisi dalam narcosis
umum. Setelah tereposisi, siku dibuat fleksi secara perlahan lahan.
Gerakan fleksi diteruskan sampai arteri radialis mulai tidak teraba.
Kemudian siku diekstensikan sedikit untuk memastikan arteri radialis teraba
lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips
spalk (foreslab). Pascareposisi harus juga diperiksa denyut arteri radialis
untuk menghindarkan terjadi komplikasi iskemia Volksmann (Mansjoer,
2000:353). Fraktur yang mengalami pergeseran biasanya dapat ditangani
dengan traksi atau reduksi terbuka dan fiksasi interna. Eksisi fragmen tulang
mungkin perlu dilakukan kemudian dipasang penyokong eksterna tambahan
dengan bidai gips (Smeltzer, 2001:2371).
b. Fraktur Interkondiler Humerus
Permukaan sendi harus dikembalikan secara anatomis. Bila hanya
konservatif, biasanya akan timbul kekakuan sendi (ankilosis). Untuk
mengatasi keadaan ini dilakukan tindakan operasi reduksi dengan
pemasangan fiksasi interna dengan lag-screw (Mansjoer, 2000:353).
c. Fraktur Batang Humerus
Pada fraktur oblik, spiral atau bergeser yang mengakibatkan pemendekan
batang humerus, dapat digunakan gips penggantung. Dengan penggunaan
gips penggantung ini, pasien diminta untuk tidur terlentang. Fraktur terbuka
batang humerus biasanya ditangani dengan fiksator eksterna. Reduksi
terbuka biasanya diperlukan bila ada palasy saraf, fraktur patologis, atau ada
penyakit sistemik atau neurologi yang tidak memungkinkan pemasangan
gips penggantung (Smeltzer, 2001:2370). Imobilisasi dengan gips berupa Uslab atau Hanging cast selama 6 minggu (Mansjoer, 2000:354).
d. Fraktur Kolum Humerus
Pada fraktur ini tidak diperlukan reposisi, lengan yang cedera cukup
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 3 minggu. Bila
disertai dislokasi abduksi, dilakukan reposisi dan diimobilisasi dengan gips
spica, posisi lengan dalam abduksi posisi overhead (Mansjoer, 2000:354).
Bila fraktur humerus mengalami pergeseran, penanganan meliputi reduksi
tertutup dengan visualisasi sinar-x. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal
8

atau fiksasi perkutan k-wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur
yang bersifat tidak stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan memasukan
k-wire perkutan. Dilakukan juga reduksi terbuka atau penggantian kaput
humeri dengan protesis. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal atau fiksasi
eksternal tulang. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF) digunakan
untuk mengobati fraktur tanpa kerusakan jaringan lunak. Sedangkan reduksi
terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF) digunakan untuk mengobati
fraktur tanpa kerusakan jaringan lunak (Smeltzer, 2001:2369).

2.
2.1

Konsep Pembiusan (Anesthesi)


Pengertian Anesthesi
Anestesi adalah tindakan yang dilakukan yang bertujuan menghasilkan

blokade terhadap rangsangan nyeri, blokade terhadap memori atau kesadaran dan
blokade terhadap otot lurik, (Latief, 2002:90).
2.2

Klasifikasi Status Fisik untuk Pra Anesthesi


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang

ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) antara
lain:
1) Kelas I : pasien sehat baik secara fisiologi maupun psikiatrik
2) Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
3) Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
4) Kelas IV: pasien dengan penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancamankehidupannya
setiap saat
5) Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak lebih dari 24 jam
2.3 Pembagian Anestesi
1) Anestesi umum/general
a) Anestesi inhalasi
b) Anestesi parenteral
c) Persiapan dan medikasi praanastesi
2) Anestesi lokal
3) Anestesi regional
a) Anestesi spinal
b) Anastesi epidural
c) Anestesi kaudal
d) Anestesi spinal kaudal
e) Anestesi intervena regional

10

1) Anestesi umum/general
Pengertian
Pemberian anestesi secara umum akan membuat pasien kehilangan seluruh
sensai dan kesadarannya. Relaksasi mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Pasien juga akan mengalami amnesia tentang seluruh proses yang terjadi selama
pembedahan, (Muttaqin, 2009:107).
Peralatan dalam anatesi umum/general
Peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi yang digunakan untuk
menghantarkan oksigen dan obat anestetik inhalasi, mengontrol ventilasi, serta
memonitor fungsi peralatan tersebut. Peralatan anestesi dapat bervariasi dari yang
paling sederhana seperti alat untuk memberi anestesi eter dengan tetes terbuka
atau open drop sampai alat modern yang dilengkapi dengan ventilator dan alat-alat
monitor fungsi fisiologis yang diatur dengan komputer.
Tahapan-tahapan dalam anastesi umum/general
a) Persiapan Pra-anestesi
Keadaan fisik pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan pra-anestesi
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dll. Saat masuk ruang
operasi pasien dalam keadaan puasa. Identitas pasien harus telah ditandatangani
sesuai dengan rencana operasi dan informed consent.
Dilakukan penilaian praoperasi meliputi keadaan hidrasi pasien dinilai,
apakah terdapat hipovolemia, perdarahan, diare, muntah, atau demam. Akses
intravena dipasang untuk pemberian cairan infus, transfusi, dan obat-obatan.
Dilakukan pemantauan elektrogradiografi (EKG), tekanan darah (tensimeter),
saturasi O2 (pulse oxymeter), kadar CO2 dalam darah (kapnograf), dan tekanan
vena sentral (CVP). Premedikasi dapat diberikan oral, rektal, intramuskular, atau
intravena.
Kelengkapan dan fungsi mesin anestesi serta peralatan intubasi diperiksa.
Pipa endotrakeal dipilih sesuai dengan pasien, baik ukuran maupun jenis
laringoskopnya. Lampu diperiksa fungsinya, pipa endotrakeal diberi pelicin
analgetik, dan balon pipa endotrakeal (cuff) diperiksa.

11

b) Stadium Kesadaran Pasien saat Anestesi


Selama stadium pertama anestesi, pasien masih sadar tetapi dalam keadaan
analgesia dan amnesia. Pada stadium kedua, pasien tidak sadar tetapi dapat
bereaksi tidak tentu dan biasanya menunjukkan pola pernapasan tidak teratur.
Stadium ketiga biasanya menghasilkan keadaan operasi optimal dengan
pernapasan yang cukup baik dan hemodinamis yang stabil. Tetapi pada bagian
yang lebih dalam, baik pernapasan maupun sirkulasi menunjukkan tanda-tanda
menurun sampai stadium keempat, saat terjadi kolap kardiovaskular dan
kegagalan pernapasan (Sabiston, 136).
c) Pemulihan Pasca-Anestesi
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi
terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang
pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dll.
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil,
setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Pulse oximetry dimonitor hingga pasien
sadar kembali. pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus
mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia
sementara. Pasien yang memiliki risiko tinggi hipoksia adalah pasien yang
mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi di
daerah abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisis gas darah dapat
dilakukan untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi
oksigen benar-benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru
obstruksi kronis atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian intruksi pascaoperasi.
Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna kulit,
kesadaran, sirkulasi, pernapasan, dan aktivitas motorik, seperti Skor Aldrete.

12

Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun
bila skor total telah di atas 8 pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.
2) Anestesi lokal
Anestesi lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau
blokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang
transmisi sepanjang saraf (Latief, 2002:97).
Anestesi lokal dapat digunakan untuk pembedahan di poliklinik, tetapi ada
juga pembedahan di klinik yang dapat dilakukan dengan anastesi lokal, antara lain
jika ada kontraindikasi anestesi umum (Sjamsuhidajat, 2004:247).
3) Anestesi regional
a) Blok sentral (blok neuroaksial) yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
b) Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regional intravena, dll.
Lapisan jaringan punggung
Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan menembus:
kulit sub cutan lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum
ruang epidural duramater ruang subaraknoid.
Analgesia Spinal
Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) adalah
pemberian obat anestetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang
subaraknoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah diterapkan.
a) Indikasi analgesi spinal
-

Bedah ekstremitas bawah

Bedah panggul

Tindakan sekitar rectum-perineum

Bedah obstetric-ginekologi

Bedah urologi

Bedah abdomen bawah

Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric boasanya dikombinasi


dengan anestesi ringan.
13

b) Teknik Analgesik Spinal


- Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
-

menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.


Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya pada posisi dekubitus
lateral, beri bantal selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus

mudah teraba.
Perpotongan antara gariss yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukan
misalnya L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya

beresiko trauma terhadap medulla spinalis.


Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol
Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-

2% 2-3 ml.
- Cara tusukan median atau paramedian.
c) Komplikasi Tindakan
-

Hipotensi berat akibat blok simpatis. Pada dewasa dicegah dengan


memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml
sebelum tindakan.

Bradikardi dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi


akibat blok sampai T-2.

Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat


kendali nafas.

Trauma pembuluh darah

Trauma saraf

Mual-muntah

Gangguan pendengaran

Blok spinal tinggi, atau spinal total

d) Tatalaksana Pasca Anestesia


Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih
sadar. Pengawasan ketat harus seperti sewaktu berada di kamar bedah
14

sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik
harus disediakan.
e) Analgesik Epidural
Analgesic epidural ialah blockade saraf dengan menempatkan obat di ruang
epidural. Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan duramater. Obat
anastetik local di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal
yang terletak di bagian lateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat
dibandingkan anestesi spinal
2.4

Susunan tim bedah dalam ruang pembedahan

1) Ahli bedah : seorang dokter bedah sebagai leader dalam pembedahan.


2) Asisten bedah : 1 orang atau lebih (bisa perawat atau dokter yang membantu
jalannya pembedahan).
3) Perawat instrument :

perawat yang bertugas membantu menyiapkan

intrument saat pembedahan yang sedang berjalan dan bertanggung jawab


untuk menyiapkan atau menghitung kelengkapan alat yang telah digunakan
setelah pembedahan.
4) Perawat sirkulasi :

membantu

jalannya

pembedahan,

memastikan

pembedahan dapat berjalan dengan lancar dengan memenuhi semua


kebutuhan baik sebelum atau pun sesudah pembedahan, mulai dari kesiapan
alat serta pasien dan semua hal yang berkaitan dengan jalannya
pembedahan.
5) Anestesi : seorang dokter anestesi yang dibantu perawat anestesi yang
memberikan obat-obatan anestesi dan mempertahankan status fisik pasien
selama pembedahan.
6) Perawat anestesi : membantu dokter anestesi dalam memberikan obat-obat
anestesi sehingga dapat mempertahankan status fisik pasien selama
pembedahan.

15

16

17

18

Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan pre, intra dan post operasi pada fraktur femur
menurut (Mutaqqin, 2011:441-469) :
a. Pre operasi
1) Nyeri
berhubungan
dengan

kompresi

saraf,

kerusakan

neuromuskuloskeletal
2) Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah
dari luka terbuka, kerusakan vaskular dan cedera pada pembuluh darah
3) Resiko infeksi berhubungan dengan port de entry dari luka fraktur
tebuka
4) Resiko tinggi sindrom kompartemen berhubungan dengan terjebaknya
pembuluh

darah,

saraf,

dan

jaringan

lunak

lainnya

akibat

pembengkakan
5) Resiko trauma berhubungan dengan ketidakmampuan menggerakan
lengan, penurunan kekuatan otot, dan ketidaktahuan cara mobilisasi
yang adekuat
6) Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan adanya respon nyeri,
kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
7) Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit, kelumpuhan
gerak, rencana pembedahan
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan misinterpretasi informasi,
tidak mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan akibat krisis
situasional.
b. Intra Operatif
1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kontrol
penapasan sekunder efek anastesi.
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan deperesi
mekanisme regulasi sirkulasi normal, penurunan curah jantung,
hipovolemia, pengumpulan darah perifer, dan vasokonstriksi.
3) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan pemasangan
ETT dan penurunan kontrol batuk efektif akibat anastesi.
4) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entree luka
pembedahan, penurunan imunitas sekunder efek anastesi.
5) PK: syok hipovolemik
6) PK : Syok kardiogenik
c. Post operasi
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penurunan
kontrol batuk efektif sekunder efek anestesi
19

2) Resiko

terjadinya

infeksi

berhubungan

dengan

luka

insisi

bedah/operasi.
3) Gangguan kenyamanan (nyeri) berhubungan dengan trauma jaringan
dan reflex spasme otot sekunder akibat pembedahan.
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan alat eksternal (armsling)
5) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan aktivitas,
efek medikasi, dan penurunan masukan cairan.
6) Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan adanya respon nyeri,
pasca pembedahan (Muttaqin, 2009:377).

20

DAFTAR PUSTAKA
Capernito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. 2006. Alih
bahasa: Yasmin Asih. Edisi 10. Jakarta: EGC.
Doenges, Mariylnn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3.
Jakarta : EGC.
Evelyn, C. Pearce. (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Edisi ke
33. Alih bahasa: Sri Yuliani Handoyo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Latief, Said A. 2002. Petunjuk Praktis Anestiologi. Edisi kedua. Jakarta: FKUI
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Mutaqqin, Arief. 2011. Asuhan Keperawatan Perioperatif Konsep, proses,
dan aplikasi. Jakarta : Salemba Medika
Sjamsuhidayat. R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
2001. Alih bahasa: Agung Waluyo. Jakarta : EGC

21

LAPORAN KASUS
OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)
DENGAN PEMASANGAN PLATE

1. Identitas
Nama

: Ny. S

Jenis kelamin

: Perempuan

Usia

: 86 tahun

No. RM

: 24-70-xx

Alamat

: Darmo Permai Selatan-Surabaya

Status

: Janda

Pekerjaan

:-

Agama

: Islam

Tanggal operasi

: 16-04-2013

Jam operasi

: 08.35-10.00 WIB

Pavilun

: IV

2. Keadaan Umum Pasien Saat Pindah ke Kamar Bedah


KU pasien agak lemah, tensi 130/80 mmHg, nadi 84 x/mnt. Kesadaran pasien
komposmentis, GCS 4-5-6. Pasien memakai infus Tutofusin Ops 500cc jalan
20 tts/mnt.
3. Diagnosa
Close Fraktur Dislokasi Collum Humerus sinistra
4. Nama Pembedahan
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) dengan pemasangan plate
ORIF atau bedah fiksasi internal reduksi terbuka adalah merupakan suatu
tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang
patah/ fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi
biasanya melibatkan penggunaan pin, sekrup, kawat, paku, batang dan/atau
lempeng untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi (Muttaqin, 2009:347).
5. Posisi Pembedahan
22

Posisi terlentang atau posisi supinasi


6. Persiapan Prabedah
6.1 Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiologi tanggal 14-04-2013
Foto shoulder kiri endorotasi/exorotasi, complete linier fracture collum
humerus kiri kedudukan baik.
2) Pemeriksaan ECG tanggal 14-04-2013
Irama sinus 65x/mnt, PVC di I, II, II, aVR, aVL, aVF
3) Thorax PA tanggal 14-04-2013
Cor prominent dan aortasclerosis
4) Hasil Laboratorium tanggal 15-04-2013

23

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Leukosit

4,74.109/L
4,21. 1012 /L

4,0-11,0.109/L
: 4,1-5,1. 1012 /L
: 4,5-5,5 1012 /L
: 11,5-16,5 g/dL
: 13,0-17,5 g/dL

RBC
Hb

12,8 g/dL

HCT/PCV

39,2%

Thrombo

263 x 109/L

LED

14-29

M. Perdarahan

115

: 35-47%
: 40-52%
150-400 x 109/L
: 12-18
: 6-10
1-3 men./detik

M. Pembekuan

905

6-13 men./detik

Rtr. Bekuan
PTT
Control
APTT
Control

Positif
13
13,1
29
33,1

SGOT

15,6

SGPT

18,1

Albumin

3,1

Creatinin

0,92

BUN

15,1

Uric Acid

2,6

Natrium

141

Positif
10-14
Detik
26-38 detik
Detik
: <31 U/L
: <37 U/L
: <32 U/L
: <42 U/L
3,5-5 g/dL
: 0,5-0,9 mg/dl
: 0,6-1,1 mg/dl
6-20 mg/dl
3,4-7,0 mg/ dl
2,4-5,7
135-145 mMol/l

Kalium

3,57

3,6-5,0 mMol/l

Tryglicerid

76

< 150 mg/dL

HDL-Chol

49,8

60 mg/dL

LDL-Chol

92,6

100 mg/dL

Gulapuasa

80 mg/dl

70-115 mg/dl

Gula 2-jpp

96 mg/dl

<130 mg/dl

Hbs Ag

Negative

Negative

Anti HCV

Negative

Negative

6.2 Tan
da

Tangan Persetujuan
Sudah ada tanda tangan persetujuan tindakan pembedahan dan pembiusan
setelah dilakukan penjelasan oleh dokter kepada pasien dan keluarga
24

mengenai jalannya tindakan pembedahan dan pembiusan serta kemungkinan


yang timbul reaksi dan resiko pembiusan.
6.3 Mental
Memberikan dukungan dengan memfasilitasi komunikasi antara dokter,
pasien beserta keluarga tentang tindakan anastesi dan pembedahan yang akan
dilakukan serta reaksi yang akan terjadi.
6.4 Sistem Gastro Intestinal
Tanggal 15-04-2013 jam 22.00 pasien disiapkan untuk puasa

dan pada

tanggal 16-04-2013 jam 05.00 WIB pasien diberikan dulcolax supp.


6.5 Persiapan Kulit
Tanggal 16-04-2013 jam 06.30 WIB pasien sudah mandi dan rambut pada
bagian ketiak telah di cukur.
6.6 Sesaat Sebelum Pembedahan
Tanggal 16-04-2013 dipasang infuse Tutofuson OPS 500cc jalan 20 tts/mnt.
Sebelumnya pasien ditest obat antibiotic Morcef 2 gram dan Mikasin 500 mg
hasilnya pasien tahan dengan antibiotik tersebut dan tidak terjadi reaksi alergi
dengan obat-obat tersebut. Jam 07.30 injeksi Opigram 1 mg iv, Caprol 40 mg
iv, Morcef 2 gr iv, Mikasin 500mg iv.
Tanggal 16-04-2013 jam 07.45 memastikan pasien tidak memakai perhiasan
dan gigi palsu dengan menanyakan kembali pada pasien, kemudian
mengganti baju pasien dengan baju RSK yang digunakan ke ruang operasi.
7. Persiapan di Kamar Bedah
1) Sesaat sebelum tindakan pembedahan dan di ruang penerimaan
Menyapa pasien, memperkenalkan diri kepada pasien, mengecek identitas,
diagnosa pasien, sisi yang akan di operasi, rencana operasi, dokter yang akan
melakukan operasi, serta kelengkapan status pasien seperti hasil pemeriksaan
foto thoraks, ECG, hasil pemeriksaan laboratorium. TTSP lembar anesthesi,
dan operasi, memperhatikan kondisi pasien dan alat yang dikenakan pada
tubuh pasien. Pasien dipindahkan ke bed transfer kemudian baju pasien dari
ruangan diganti dengan baju kamar operasi, pasien diposisikan terlentang
(supinasi) dan pasien diberikan selimut untuk mencegah terjadinya hipotermi
karena ruang operasi ber AC.
2) Persiapan Alat Anastesi (General Anastesi)
Mesin anestesi dan ventilator, serta monitor
3) Persiapan Obat Anestesi (General Anestesi)
- Ephedrin 5 mg/cc dengan spuit 10 cc
- Sulfas Atropin (SA) 0,25 mg/cc dengan spuit 3cc
- Fentanyl 50 mcq/cc dengan spuit 3 cc
25

- Notrixum 10 mg/cc dengan spuit 5 cc


- Recofol 10mg/ml dengan spuit 20 cc
- Obat anastesi inhalasi Desflurane 240 ml
4) Persiapan Intubasi:
- Laryngoscope
- Endotracheal tube (ETT) ukuran 7, 71/2, 8
- Stylet
- Sarung tangan bersih
- Endotest
- Stetoscope
- Spuit 20 cc
- Orofaringeal tube
- Xylocain spray
- Xylco spray
- Suction
- Plester
- Conector (Elbow)
- Bag Valve and Mask (ambubag)
5) Proses Pembiusan (General Anestesi)
- Setelah diruang bedah pasien dipindahkan dari bed transfer ke meja
-

operasi dengan posisi terlentang/supinasi.


Pasien dipasang monitor ECG dan TTV (memasang elektroda, manset,

saturasi oksigen, plate diathermi


Dokter anestesi menggunakan

memberikan O2 masker ke pasien


Perawat anastesi memberikan injeksi berupa Fortanes 2 mg IV, Recofol

100 mg iv, Fentanyl 50 mcq iv, Notrixum 10 mg iv


Melakukan pemasangan ETT yang sebelumnya ETT di test dengan spuit

sarung

tangan

bersih

kemudian

20 cc pastikan ETT bocor atau tidak. ETT di berikan Xylco spray,


kemudian dokter memasang laryngoscope sampai terlihat epiglottis, lalu
disemprotkan Xylocain spray, dorong blade sampai pangkal epiglottis,
memasukkan selang ETT, kemudian cabut stylet, masukan udara ke
balon ETT dengan endotest,ukuran balon 30 cmH2O hubungkan ETT
dengan konektor ke mesin, cek dengan stetoskop apakah sama antara
paru kanan dan kiri, kemudian fiksasi ETT dengan plester.

6) Persiapan alat dan instrumen pembedahan


(1) Paket steril, paket tenun steril, alat jahit (jarum dan benang)
26

(2) Set ortopedi dasar, Plate prox humerus + screw LCP stainless dan
titanium dengan diameter 3,5 OTR, set bor tulang, dan kotak set fiksasi
internal.
(3) Suction lengkap, dalam kondisi siap pakai.
(4) Mesin monitor, mesin PV image + monitor dan baju timbal.
(5) Tempat sampah, beberapa meja instrument, tempat intrumen kotor dan
linen kotor, lap tangan steril untuk mencuci tangan steril. Semua alat
telah dipersiapkan dan ditest fungsinya dalam keadaan siap pakai.
6) Proses pembedahan
(1) Mengecek semua kelengkapan intrumen dan alat serta fungsi masingmasing alat.
(2) Perawat mencuci lengan pasien pada sisi yang akan dioperasi dengan
savlon dan dibungkus dengan doek steril
(3) Perawat instrument memakai skort, mencuci tangan steril, memakai
baju operasi steril dan sarung tangan steril, menyiapkan instrument,
linen, dan kasa steril yang akan digunakan
(4) Pasien diposisikan supinasi dengan tangan kiri sejajar dengan tubuh dan
didesinfeksi dari bahu sampai ke pergelangan tangan dengan betadine.
Area sekitar lokasi operasi ditutup untuk mempersempit area operasi
dengan duk steril kemudian time out.
(5) Proses insisi
Dokter bedah mulai melakukan insisi pada area yang diintervensikan
lapisan demi lapisan dari kulit, lemak, fasia sampai otot hingga tampak
collum fraktur pada humerus sinistra. Akses bedah dibuka dengan
refraktor kemudian dokter bedah memulai debridement dengan kuret
tulang. Perawat membantu melakukan suctioning pada fragmen tulang
yang terlepas.
(6) Dokter melakukan ORIF dan reposisi dengan memasang Plate LCP
Titanium dengan screw locking no 24 mm , 28 mm , 36 mm, 40 mm,
30 mm, dan 50 mm. Selama pemasangan screw dilakukan foto image
dengan menggunakan PV image.
(7) Setelah fiksasi internal dipastikan tepat posisinya, dokter bedah
melakukan penutupan jaringan (dijahit) lapis demi lapis dari otot, fasia,
lemak, dan kulit hingga jaringan yang diinsisi tertutup dan tidak terjadi
perembesan. Operasi selesai, kemudian luka insisi otot, fasia dan lemak
dijahit dengan benang Vicryl 2.0 sedangkan lapisan kulit dijahit dengan
27

benang subcutis Monocryl 3.0 kemudian ditutup dengan daryantule +


kasa. Selanjutnya dilakukan pemasangan arm sling pada area
pascabedah untuk mengimobilisasi kondisi fragmen tulang dan
memperkuat fiksasi internal.
(8) Dokter anestesi mulai menurunkan dosis obat anestesi sampai dengan
adanya reflleks batuk dari pasien serta menyuntikan Remopain 10 mg.
Dokter kemudian melakukan ekstubasi dengan cara mengempiskan
balon ETT dengan spuit 20 cc, membersihkan jalan napas dengan
suction, memberikan oksigen dengan bag hingga pasien dapat bernafas
spontan, dan mengeluarkan ETT.
(9) Perawat instrumen mengecek kembali kelengkapan instrumen, kassa
dan deaper untuk memastikan bahwa alat-alat yang digunakan saat
tindakan operasi tidak tertinggal.
(10)
Perawat insrumen membereskan intrumen dan linen yang telah
dipakai.
(11)
Pukul 10.00 operasi selesai dan pasien dibawa ke ruang pulih
8.

sadar.
Perawatan pasien di RR
Pasien dipindahkan dari kamar operasi menggunakan bed transfer dan dibawa
ke ruang pulih sadar untuk diobservasi. Pasien dipindahkan dari bed transfer
ke tempat tidur pasien sesuai dengan ruangan pasien akan di rawat, selimut
dan linen dari kamar operasi di ganti dengan selimut dari ruangan dan pasien
dipakaikan baju dari ruangan. Setelah itu pasien di observasi selama 1 jam
untuk mengetahui keadaan pasien pasca pembedahan.

Jam

Tekanan Darah

Nadi

SpO2

10.30

139/73 mmHg

67x/menit

100%

10.45

147/73 mmHg

66 x/menit

100%

28

Keterangan
Pasien dipasang monitor
TTV dan SPO2, pasien
juga diberi O2 nasal 6 lpm,
pasien masih nampak
lemah dan pasien tidur,
pasien mendapatkan
Morphin pump 0,25
mg/jam jalan 1 cc/jm dan
terpasang Glofusal 200cc
sisa pembedahan.
Keadaan pasien lemah dan

11.00

152/75 mmHg

68 x/menit

100%

11.15

157/76 mmHg

67 x/menit

100%

11.30

154/82 mmHg

68 x/menit

100%

pasien masih tidur


Keadaan pasien lemah,
dan pasien masih tidur
Keadaan pasien lemah,
dan kadang- kadang pasien
tidur ngorok
Keadaan pasien lemah dan
pasien dapat dibangunkan

Setelah di observasi selama 1 jam di ruang pulih sadar dan keadaan pasien
stabil, dimana TTV pasien: tensi 154/82 mmHg, nadi 68 x/mnt, RR 20 x/mnt,
SpO2 100% dan tidak ada keluhan dari pasien, maka pasien dipindahkan ke
ruangan (paviliun 4). Perawat di ruangan pulih sadar menghubungi perawat
ruangan untuk menjemput pasien dengan memberi pesan agar perawat
9.

ruangan membawa syringe pump karena pasien memakai morphin pump.


Pesanan bedah post operasi:
- Pasien menggunakan arm sling
- Observasi AVN (Avaskuler Nekrosis)
- Gerakan jari tangan (Fleksi dan Ekstensi)
- Kontrol X-Ray
- Antibiotik 8 jam:
Morcef 1 gr
Mikasin 2x50 gr
Remopain 2x10 gr
Tramal 2x50 mg
Pesanan pasca anestesi:
- Bila pasien sadar baik, pasien dapat minum sedikit-sedikit
- Infus sisa OK dilanjutkan 20 tts/mnt, lalu dilanjutkan Aminofluid 500 +
-

Ringerfudin 1000cc/24 jam.


Terapi :
Injeksi Ketesse 2 x 25 gr
Injeksi Cedantron 2 x 4 mg
Drip Tramal 2 x 50 mg
OMZ 1 x1

29

Anda mungkin juga menyukai