Anda di halaman 1dari 11

TRAUMA TAJAM

PENDAHULUAN
Trauma mata sering menjadi penyebab kebutaan unilateral pada anak dan
dewasa muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang parah.
Dewasa muda terutama pria merupakan kelompok yang memiliki kemungkinan
besar mengalami cedera tembus pada mata. Kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan
aki, cedera akibat olahraga dan kecelakaan lalu lintas merupakan keadaan-keadaan yang
paling sering menyebabkan trauma.1
Trauma yang terjadi pada mata dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata
dan kelopak, saraf mata dan rongga orbita. Kerusakan mata akan memberikan penyulit
sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Trauma pada mata memerlukan perawatan
yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan
mengakibatkan kebutaan.2
Trauma dapat mengenai satu atau lebih jaringan mata, seperti kelopak,
konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita. Trauma pada mata
dapat berupa trauma tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia maupun trauma
radiasi. 2
Terminologi Trauma Mata
Terminologi dari berbagai macam trauma mata telah ditetapkan berdasarkan BETT
(Birmingham Eye Trauma Terminology), yakni sebagai berikut :
Istilah
Definisi
Dinding Mata
Sklera dan kornea
Luka Tertutup Bola Bukan luka pada keseluruhan tebal dinding mata
Mata
Luka Terbuka Bola Luka pada keseluruhan tebal dinding mata
Mata
Kontusio
Tidak ada luka
Laserasi lamelar
Luka pada sebagian tebal dinding mata
Ruptur
Luka pada keseluruhan tebal dinding mata yang disebabkan
oleh benda tumpul
Laserasi
Luka pada keseluruhan tebal dinding mata yang disebabkan
oleh benda tajam
Luka Penetrasi
Ada luka masuk
Ada sisa benda asing
Luka Perforasi
Ada luka masuk dan luka keluar
Tabel 1. Istilah dan Definisi dalam BETT 3

Luka

Bola mata tertutup

Kontusio

Bola mata terbuka

Laserasi lamelar

Penetrasi

Laserasi

Benda Asing

Ruptur

Perforasi

Bagan 1. BETT. Istilah pada kotak dengan garis ganda menunjukkan diagnosis yang
digunakan pada praktek.3
Klasifikasi Trauma Mata4
The Ocular Trauma Classification Group telah membuat suatu sistem klasifikasi
berdasarkan BETT dan gambaran luka pada bola mata pada saat pemeriksaan awal.
Trauma mekanis pada mata dibagi menjadi dua yaitu luka tertutup bola mata dan luka
terbuka bola mata. Karena kedua hal ini memiliki patofisiologi dan penanganan yang
berbeda. Sistem ini membagi trauma berdasarkan 4 parameter :
1. Tipe, berdasarkan mekanisme terjadinya luka. Tipe luka harus diketahui
berdasarkan riwayat seperti yang diceritakan oleh pasien atau saksi yang melihat
terjadinya trauma tersebut. Bila pasien tidak sadar, maka penentuan tipe
berdasarkan pemeriksaan klinis.
2. Grade, yang didasarkan atas pengukuran visus pada pemeriksaan awal. Hal ini
dapat dilakukan dengan tabel Snellen atau kartu Rosenbaum.
3. Ada tidaknya APD (Afferent Pupillary Defect). Adanya APD, seperti yang dapat
diukur dengan mengayunkan senter, merupakan petunjuk adanya penyimpangan
saraf optik dan/atau fungsi retina.
4. Perluasan luka. Luka yang terdapat pada luka terbuka bola mata atau perluasan
paling posterior dari kerusakan pada luka tertutup bola mata.

Parameter
Tipe

Klasifikasi

A. Ruptur
B. Penetrasi
C. IOFB (Intra Ocular Foreign Bodies)
D. Perforasi
E. Campuran
Grade (Visus)
A. 20/40
B. 20/50 sampai 20/100
C. 19/100 sampai 5/200
D. 4/200 sampai Light Perception
E. No Light Perception
Pupil
A. Positif, APD relatif pada mata yang terluka
B. Negatif, APD relatif pada mata yang terluka
Zona
I. Kornea dan Limbus
II. Limbus sampai 5 mm posterior dari sklera
III. Posterior sampai 5 mm dari limbus
Tabel 2. Klasifikasi Luka Terbuka Bola Mata4
Parameter
Tipe

Grade
(Visus)

Pupil
Zona

Klasifikasi
A.
B.
C.
D.
A.
B.
C.
D.
E.
A.
B.
I.
II.

Kontusio
Laserasi lamelar
Benda asing superfisial
Campuran
20/40
20/50 sampai 20/100
19/100 sampai 5/200
4/200 sampai Light Perception
No Light Perception
Positif, APD relatif pada mata yang terluka
Negatif, APD relatif pada mata yang terluka
Eksternal (terbatas pada konjungtiva bulbi, sklera, kornea)
Segmen anterior (termasuk struktur dari segmen anterior dan
pars plikata)
III. Segmen posterior (semua struktur posterior internal sampai
kapsul lensa posterior)
Tabel 3. Klasifikasi Luka Tertutup Bola Mata4

Pada tinjauan kasus ini akan dibahas mengenai trauma tembus bola mata yang
mengenai korneosklera serta penatalaksanaannya.

KASUS
Penderita laki-laki, 20 tahun, bekerja sebagai buruh bangunan datang dengan keluhan
adanya luka pada mata kanan. Luka pada mata kanan ini terjadi sejak pkl 09.30 tgl 1711-2005 ( 2 jam SMRS) setelah mata kanannya terkena pisau gerinda saat penderita
sedang bekerja di bangunan. Pada saat itu penderita sedang memotong ubin marmer
dengan gerinda dan tanpa sadar mendekatkan matanya untuk melihat lebih jelas arah
pemotongan, hingga tiba-tiba matanya telah bersentuhan dengan pisau gerinda tersebut.
Penderita mengatakan bahwa dari luka pada mata kanannya itu keluar cairan kental.
Penderita tidak mengeluhkan nyeri pada mata kanannya, ia hanya mengatakan matanya
terasa aneh dan pandangannya menjadi kabur. Penderita juga tidak mengeluhkan mual
ataupun sakit kepala. Setelah kejadian penderita menutupi mata kanannya dengan
tangan. Penderita juga sempat dibawa ke klinik, namun dokter disana tidak melakukan
apa-apa dan langsung merujuk penderita ke RS Sanglah.
Sebelum kejadian ini penderita tidak pernah memiliki keluhan pada matanya dan tidak
pernah melakukan operasi pada mata. Penderita juga tidak pernah mendapatkan
imunisasi apapun.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa fisik umum penderita dalam batas
normal, tidak ditemukan adanya trauma lain selain yang terdapat pada mata penderita.
Dari pemeriksaan khusus pada mata didapatkan :
OD

OS

Visus

1/300

6/6

Palpebra

odem

Konjungtiva Bulbi

CVI + PCVI +

Sklera

ruptur

Kornea

ruptur

Kamera Okuli Anterior

dangkal

dalam

vitreus +
hifema +
Iris

prolaps

Pupil

lonjong/ iregular

bulat/regular

Lensa

keruh

jernih

Tensi Okuli

Tn 2

Tn

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut diatas penderita didiagnosis dengan
trauma tajam dengan komplikasi ruptur korneosklera, prolaps iriskoroid, prolaps
vitreus, katarak traumatik dan ptisis bulbi.
Kemudian dilakukan pemeriksaan darah rutin, waktu perdarahan dan waktu pembekuan
dengan hasil : WBC 6,1 ; HGB 13,2 ; HCT 40,2 ; PLT 251 ; BT 100 ; CT 1030 dan
penderita dikonsulkan ke bagian anestesi. Sementara menunggu hasil pemeriksaan
laboratorium dan jawaban dari bagian anestesi, mata kanan penderita ditutup dengan
gaas yang telah dibasahi dengan aquabidest serta diberikan Tetagam injeksi 1 ampul,
Kedacillin injeksi 1 gram, IVFD RL 20 tetes/menit. Setelah mendapat persetujuan dari
bagian anestesi, dilakukan tindakan eksplorasi hecting dengan anestesi umum. Setelah
selesai tindakan, diberikan Gentamisin dan Deksametason subkonjungtiva, masingmasing 1 cc, kemudian diberikan salep Gentamisin dan mata kanan penderita ditutup
dengan gaas. Setelah penderita sadar baik, perawatan penderita dilanjutkan di ruangan
dengan menggunakan

Kedacillin

injeksi 3x1 gram,

Floxa e.d, Gentamisin

subkonjungtiva 1 cc 1x/hari, asam mefenamat 3x500 mg, Adona 3x1, Cendo Tropin,
dan Metil Prednisolon 2x16 mg.
PEMBAHASAN
Trauma Pada Korneosklera
Trauma merupakan penyebab tersering dari defek korneosklera pada pasien usia muda
yang sehat. Defek traumatik korneosklera bisa terdapat dalam 2 bentuk, pertama, yang
terjadi akut setelah trauma terbuka atau trauma tertutup. Kedua, yang terjadi sekunder
akibat nekrosis jaringan akibat peradangan post traumatik atau infeksi.5
Tujuan penanganan luka pada korneosklera termasuk :
1.

Restorasi integritas dari bola mata

2.

Menghindari terjadinya perlukaan yang lebih luas pada jaringan mata

3.

Mencegah bekas luka pada kornea dan astigmatisme5

Defek kecil yang terisolasi pada sklera tanpa prolaps uvea mungkin akan membaik
dengan penanganan konservatif dengan observasi dan antibiotika profilaktik yang
sesuai. Luka yang lebih besar atau adanya penipisan sklera mungkin memerlukan
tindakan operasi.5

Berdasarkan data epidemiologis didapatkan bahwa insiden terkenanya korneosklera


pada luka serius sebesar 10 % dan terbanyak didapatkan terjadi pada kelompok usia 2039 tahun (38%). Kejadian ini paling sering terjadi pada laki-laki (82%) dan paling
banyak terjadi di rumah (44%). Sementara penyebab trauma terbanyak adalah benda
tumpul (33%).5,6
Evaluasi Penderita
Anamnesis : Perlu didapatkan anamnesis yang lengkap mengenai mekanisme terjadinya
trauma, trauma lain yang mungkin ada (terutama trauma kepala) serta penyebab dari
trauma dan kemungkinan adanya benda asing di dalam mata. Kejadian yang terjadi
setelah trauma juga perlu ditanyakan, seperti adakah pertolongan pertama untuk lukanya
atau tidak. Selain itu juga perlu ditanyakan riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat
operasi sebelumnya, serta riwayat imunisasi tetanus. Keadaan mata sebelum terjadi
trauma juga perlu ditanyakan, serta ada tidaknya gejala lain yang menyertainya. 5,6
Pemeriksaan Fisik : Pisahkan kedua kelopak mata dengan hati-hati. Usahakan agar tidak
menimbulkan tekanan pada bola mata. Periksa visus penderita, bisa dengan jari atau
kartu. Dengan inspeksi dapat dilihat bagaimana keadaan struktur periokular,
konjungtiva, kornea, sklera, pupil dan struktur segmen anterior lain. Oftalmoskopi
sebaiknya juga dilakukan pada luka terbuka bola mata, terutama dengan prolaps uvea
atau vitreus. Segmen anterior sebaiknya diperiksa dengan menggunakan slit lamp.
Dapat dilihat lokasi dan panjangnya laserasi. Perhatikan bentuk dan ukuran pupil
penderita. Bila mungkin, periksa adanya kemungkinan relatif Afferent Pupillary Defect
(APD). Hasil pemeriksaan fisik pada penderita dengan ruptur sklera biasanya akan
mendapatkan : visus yang menurun sampai light perception atau NLP, kemosis,
perdarahan subkonjungtiva, hifema, tekanan intraokuler yang rendah (<10 mmHg),
bentuk dan letak pupil yang berubah, lokasi lensa yang tidak pada tempatnya, bilik mata
yang dangkal, serta prolaps cairan mata, iris, badan lensa, atau retina.2,5,6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kultur dari luka
tersebut bila luka menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi. Media yang dapat
digunakan adalah blood agar, chocolate agar, thioglycolate dan Saburaud agar. Juga
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan pengecatan Gram dan
Giemsa. Selain pemeriksaan laboratorium, juga dapat dilakukan pemeriksaan radiologis

dengan menggunakan CT scan. Pemeriksaan ini terutama bila terdapat benda asing di
dalam mata, juga untuk mengetahui apakah terjadi trauma pada tulang orbita.6
Pemeriksaan pasien preoperatif yang baik akan membantu ahli bedah untuk menentukan
langkah-langkah eksplorasi dan upaya memperbaikinya.5
Penatalaksanaan
Laserasi korneosklera ditangani dengan operasi. Pemberian obat-obatan hanya memiliki
peranan sekunder. Antibiotika intravitreal, intrakameral, topikal dan sistemik digunakan
sebagai profilaksis terhadap infeksi. Steroid topikal digunakan untuk mengurangi
inflamasi postoperatif.6
Teknik Operasi
Penderita dipersiapkan untuk operasi secepat mungkin. Anestesia umum merupakan
teknik anestesi yang diperlukan untuk melakukan reparasi luka pada korneosklera,
karena :
1.

memberikan

keuntungan

ganda

anestesia

dan

akinesia

dengan

peningkatan minimal tekanan intraokular


2.

memungkinkan untuk melakukan intervensi operasi pada berbagai lokasi


bila diperlukan bahan untuk graft.

Anestesi umum ini mungkin tidak sesuai bagi pasien dengan penyakit sistemik, usia tua
dan/atau lemah. Selain itu dapat digunakan anestesi lokal, yang sesuai untuk defek pada
anterior yang kecil. Disamping itu, pemberian anestesia topikal ini akan memperingan
efek sistemiknya. Pilihan anestesi lainnya adalah dengan anestesi retrobulbar yang
memberikan efek anestesi lokal dan akinesia dengan baik dengan efek pada jantung dan
paru yang minimal. Namun, pilihan anestesi ini akan meningkatkan tekanan intraokular.
Teknik ini hanya digunakan untuk reparasi defek yang terlalu luas untuk penggunaan
anestesia lokal, atau untuk pasien yang memiliki risiko sistemik dengan anestesia
umum.5,6
Mata yang akan dioperasi harus dipersiapkan dengan hati-hati. Jangan sampai
menimbulkan tekanan pada bola mata. Mata diirigasi dengan cairan Ringer Laktat steril
untuk menyingkirkan benda asing yang mungkin ada. Kemudian periksa dengan hatihati untuk mengevaluasi perluasan luka.6

Berbagai teknik operasi untuk menutup defek pada sklera tersedia tergantung ukuran
defek dan sifat penyakit yang mendasarinya. 5
1.

Perlekatan Jaringan
Biasanya digunakan pada luka tusuk yang kecil dimana keseluruhan integritas bola
mata tidak terpengaruh dan berguna pada laserasi korneoskleral yang sangat kecil
atau sebagian ketebalan saja yang terkena.5

2. Penyatuan Primer Luka Sklera


Bila diduga ada luka sklera, maka diperlukan eksplorasi bola mata. Dibuat peritomi
360 dan kapsul Tenon ditarik ke posterior untuk melihat sklera yang mendasarinya.
Insersi otot ekstraokuler dan daerah diantara insersi dilihat secara langsung. Untuk
menutup luka, yang perlu diingat adalah bahwa luka sklera tertutup dari anterior ke
posterior, dimulai pada daerah limbus atau puncak laserasi. Penyatuan yang erat
mencegah proliferasi fibrovaskular melalui luka sklera yang terbuka. Jahitan yang
digunakan adalah jahitan terputus-putus yang melalui dalamnya sklera dan
menghindari kerusakan pada koroid yang mendasarinya. Kebanyakan laserasi pada
sklera dapat ditutup dengan benang nilon, sutra atau Dacron 8-0 atau 9-0. Luka kecil
dengan kecenderungan untuk melebar sehingga akan terjadi celah akan
membutuhkan jahitan yang lebih tebal. Bahan benang yang tidak diserap sebaiknya
digunakan untuk semua defek kecuali defek sklera yang paling kecil. Jaringan uvea
yang prolaps dengan perlahan direposisi untuk menghindari terjadinya inkarserasi
pada luka. Dapat digunakan spatula siklodialisis untuk melakukan reposisi ini. Bila
terdapat vitreus pada luka, maka harus dibersihkan dari permukaan sklera. Jaringan
retina yang prolaps dengan perlahan direposisi bila memungkinkan. Bila luka pada
sklera meluas sampai insersi otot rektus, maka otot tersebut harus dibiarkan
sementara waktu. Teknik standar yang biasa digunakan adalah dengan penjahitan
dengan Vicril 6-0 dan menghindari penarikan yang tidak semestinya pada bola mata.
Setelah menutup defek pada sklera, otot diinsersikan kembali di dekat insersi
anatomis normalnya. Untuk menutup laserasi korneosklera, dimulai dengan
melakukan penjahitan terputus-putus dengan benang nilon 9-0 atau 10-0 pada
limbus. Kemudian dilanjutkan dengan penjahitan pada daerah kornea. 5

Obat-Obatan
Obat-obatan yang dapat diberikan adalah:
1. Antibiotika
Pemberian obat ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi endoftalmitis
postraumatika. Sebaiknya diberikan antibiotika spektrum luas untuk Gram positif
dan Gram negatif. Obat yang dapat digunakan adalah Vankomisin intravitreal 1 mg
atau intravena 1 gram tiap 12 jam, Ofloksasin 1 tetes 4 kali sehari, atau Seftazidim
250 mg-2 g IV/IM tiap 8-12 jam atau 2,25 mg intravitreal. Pemberian antibiotika
intravitreal ini dapat dilanjutkan 1-3 hari selama penderita dirawat di rumah sakit.
Kemudian dapat dilanjutkan dengan pemberian antibiotika oral selama 7 hari.6
2. Kortikosteroid
Digunakan untuk mengurangi inflamasi postoperatif. Misalnya dengan pemberian
Deksametason yang dapat diberikan intravitreal setelah operasi dengan dosis 400
mcg/0,1 ml. Kemudian dapat dilanjutkan dengan pemberian kombinasi steroid dan
antibiotika topikal selama beberapa minggu.6
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah laserasi korneosklera adalah : endoftalmitis (27% pada pasien trauma okular), katarak, kerusakan iris, glaukoma, hifema, perdarahan
vitreus, ablasio retina, uveitis, dan simpatetik oftalmia (hal ini bisa terjadi kapan saja
setelah terjadi trauma).6
Prognosis
Prognosis tergantung dari beberapa faktor. Pasien dengan laserasi korneosklera yang
kecil tanpa trauma intraokular lain memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan trauma intraokular lain, benda asing intraokular, endoftalmitis,
penanganan yang terlambat ataupun pasien yang memiliki trauma yang lain. 6

ANALISA KASUS
Dari anamnesis pada penderita didapatkan adanya riwayat trauma yang jelas, yaitu
terkena gerinda pada saat sedang bekerja. Setelah kejadian tidak ada pertolongan
pertama yang dilakukan pada mata penderita, juga tidak didapatkan adanya trauma lain
pada penderita. Sebelum terjadi trauma penderita tidak memiliki keluhan pada mata,
dan tidak pernah melakukan operasi pada mata. Penderita juga tidak memiliki riwayat
imunisasi. Penderita juga tidak memiliki keluhan penyerta lain.
Dari pemeriksaan didapatkan adanya penurunan visus, odem pada palpebra, hiperemi
konjungtiva dan perikorneal, ruptur pada kornea, kamera okuli anterior yang dangkal
dengan adanya vitreus dan hifema. Perubahan bentuk pupil dan lensa yang keruh serta
tekanan intraokular yang rendah.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan serta berdasarkan terminologi dari BETT, maka
penderita ini disebut sebagai laserasi, yaitu luka pada keseluruhan tebal dinding mata
yang diakibatkan oleh benda tajam. Penderita ini termasuk dalam luka terbuka bola
mata, dan dapat diklasifikasikan sebagai Tipe A (ruptur), Grade D (Visus 1/300), Pupil
A (positif), dan Zona II.
Untuk penatalaksanaannya, pada penderita telah diberikan anti tetanus dan antibiotika
profilaksis. Setelah dikonsulkan ke bagian anestesi, kemudian dilakukan tindakan
operasi dengan anestesi umum. Dilakukan eksplorasi dan penjahitan luka primer pada
kornea, kemudian diberikan antibiotika dan steroid subkonjungtiva serta antibiotika
topikal kemudian luka ditutup.
Di ruangan pengobatan dilanjutkan dengan antibiotika injeksi, antibiotika tetes mata dan
subkonjungtiva, analgetika oral, dan kortikosteroid oral. Setelah dirawat 3 hari,
penderita diijinkan pulang dan pengobatan dilanjutkan dengan antibiotika oral dan
antibiotika tetes mata, analgetika oral dan kortikosteroid oral.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Asbury T, Sanitato JJ. Trauma. Dalam : Vaughn DG, Asbury T, Riordan-Eva P
(eds). Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit Widya Medika; 2000
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002
3. Kuhn F, Morris R, Witherspoon CD. BETT: The Terminology of Ocular Trauma.
In : Kuhn F, Pieramici DJ (eds). Ocular Trauma. New York: Thieme Medical
Publisher,Inc; 2002
4. Raja SC, Pieramici DJ. Classification of Ocular Trauma. In : Kuhn F, Pieramici
DJ (eds). Ocular Trauma. New York: Thieme Medical Publisher,Inc; 2002
5. Lindsey JL, Hamill MB. Scleral and Corneoscleral Injuries. In : Kuhn F,
Pieramici DJ (eds). Ocular Trauma. New York: Thieme Medical Publisher,Inc;
2002
6. Arunagiri G. Lacerations, Corneoscleral. eMedicine [serial online] October 19,
2004. Available from : http://www.emedicine.com/oph/topic108.htm. Accessed
November 22, 2005

11

Anda mungkin juga menyukai