Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam dengue (DD) dan Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai oleh leukopenia ,ruam,
limfadenopati,trombositopeni,dan diathesis hemoragic. Pada DBD terjadi
perembesan

plasma

yang

ditandai

oleh

hemokonsentrasi

(peningkatan

Hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom Renjatan Dengue


(Dengue Syok Sindrom) adalah demam berdarah dengue yang ditandai dengan
renjatan/syok.
Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia
menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal
ini mungkin disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi
terutama di Asia timur dan selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang
tidak bagus. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 dari 50 juta kasus demam
dengue memerlukan perawatan di rumah sakit. Lebih dari 40% penduduk dunia
hidup di daerah endemis demam dengue. Indonesia sebagai negara tropis dengan
angka kejadian Dengue yang tinggi, memang memiliki potensi tinggi untuk
terjadinya penyebaran wabah Dengue di masyarakat. Jutaan orang mengalami
Dengue dan sebagian besar didominasi oleh anak-anak.
Di Indonesia infeksi virus dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tapi konfirmasi virology baru pada tahun 1970. Pada saat ini DBD
sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah
terjangkit di pedesaan.

1.2. Batasan Penulisan


Referat ini membahas tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
demam berdarah dengue

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan demam
berdarah dengue.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.

Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya demam berdarah dengue.

2.

Untuk mengetahui hal hal yang dapat menegakkan diagnosis.

3.

Untuk mengetahui penatalaksanaan demam berdarah dengue pada anak.

1.4. Manfaat Penulisan


Referat ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan
pengetahuan tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan demam berdarah
dengue.

BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Definisi
Demam dengue/DD dan Demam berdarah dengue/DBD (Dengue
Haemorhagic Fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang
disertai oleh leukopenia ,ruam, limfadenopati,trombositopeni,dan diatesis
hemoragic. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan Hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga
tubuh. Sindrom Renjatan Dengue (Dengue Syok Sindrom) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai dengan renjatan/syok

2.2Etiologi
DD dan DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue yang mempunyai 4 serotipe
yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Virus dengue serotipe den-3 merupakan
serotipe yang dominan di Indonesia dan paling banyak berhubungan dengan kasus
berat.
2.3. Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala seperti DD. Reaksi tubuh merupakan reaksi
yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak
bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang
berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi,
sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus
antibodi) yang tinggi.
Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal
sebagai berikut :

1.

Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat


dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a.C5a menyebabkan meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma
melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan
dalam terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masingmasing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan
terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin
dalam jumlah besar, walupun plasma mengandung inaktivator ampuh
terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a agaknya perannya dalam proses
terjadinya

renjatan

telah

mendahului

proses

inaktivasi

tersebut.

Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan histamin


dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin yang meningkat
dalam air seni 24 jam pada pasien DHF.
2.

Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami


metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan
dimusnahkan

oleh

sistem

retikuloendotel

dengan

berakibat

trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit


akan melepaskan amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat
meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III
yang merangsang koagulasi intravaskular.
3.

Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir


terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi
ini,

plasminogen

akan

menjadi

plasmin

yang

berperan

dalam

pembentukan anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin


degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin
yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh
darah.

DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu
diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis
meningkatnya reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag
dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus
dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus.
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus
yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS
ialah jumlah sel yang terinfeksi.
4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya
5

mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu.


Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan
aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding
pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

2.4.Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami
keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,
pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang
mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar
kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DD disebabkan oleh kongesti
pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan DD dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler
karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem
kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat berkurangnya
volum plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura
dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat
permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan
renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan
perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,

bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan
kematian.
Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi
trombosit dalam sistem retikuloendotelial. Fungsi agregasi trombosit menurun
mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya sistem koagulasi
disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terganggu
oleh aktivitasi sistem koagulasi.
DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan.
Pada awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan
plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan,
maka akan memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.

2.5. Manifestasi Klinik


Infeksi virus dengue mempunyai spektrum klinis yang luas mulai dari
asimptomatik (silent dengue infection), demam dengue (DD), demam berdarah
dengue (DBD), dan demam berdarah dengue disertai syok (sindrom syok dengue,
SSD).

Spektrum
Manifestasi Klinis
Klinis

DD

Demam akut selama 2-7 hari, disertai dua atau lebih manifestasi berikut:
nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia, manifestasi perdarahan, dan
leukopenia.
Dapat disertai trombositopenia.
Hari ke-3-5 ==> fase pemulihan (saat suhu turun), klinis membaik.

DBD

Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai nyeri kepala, nyeri
retroorbita, mialgia dan nyeri perut.
Uji torniquet positif.
Ruam kulit : petekiae, ekimosis, purpura.
Perdarahan mukosa/saluran cerna/saluran kemih : epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis, melena, hematuri.
Hepatomegali.
Perembesan plasma: efusi pleura, efusi perikard, atau perembesan ke rongga
peritoneal.
Trombositopenia.
Hemokonsentrasi.
Hari ke 3-5 ==> fase kritis (saat suhu turun), perjalanan penyakit dapat
berkembang menjadi syok

SSD

Manifestasi klinis seperti DBD, disertai kegagalan sirkulasi (syok).


Gejala syok :
Anak gelisah, hingga terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
Nafas cepat, nadi teraba lembut hingga tidak teraba.
Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg.
Akral dingin, capillary refill turun.

Diuresis turun, hingga anuria.

Tabel 1. Manifestasi klinis infeksi virus dengue

Keterangan:

Manifestasi klinis nyeri perut, hepatomegali, dan perdarahan terutama


perdarahan GIT lebih dominan pada DBD.

Perbedaan utama DBD dengan DD adalah pada DBD terjadi peningkatan


permeabilitas

kapiler

sehingga

terjadi

perembesan

plasma

yang

mengakibatkan haemokonsentrasi, hipovolemia dan syok.

Uji torniquet positif : terdapat 10 - 20 atau lebih petekiae dalam diameter


2,8 cm (1 inchi).

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Uji laboratorium meliputi :
1. Isolasi virus
Dapat dilakukan dengan menanam spesimen pada :

Biakan jaringan nyamuk atau biakan jaringan mamalia.


Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen yang
ditunjukkan

dengan

immunoflouresen,

atau

adanya

CPE

(cytopathic effect) pada biakan jaringan manusia.

Inokulasi/ penyuntikan pada nyamuk


Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue pada
kepala nyamuk yang dilihat dengan uji immunoflouresen.

2. Pemeriksaan Serologi

Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)

Uji Pengikatan komplemen (Complement Fixation Test)

Uji Netralisasi (Neutralization Test)

Uji Mac.Elisa (IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay)

Uji IgG Elisa indirek

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pada pemeriksaan radiologi dan USG Kasus DBD, terdapat beberapa
kerlainan yang dapat dideteksi yaitu :
1. Dilatasi pembuluh darah paru

10

2. Efusi pleura
3. Kardiomegali dan efusi perikard
4. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
5. Caran dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea
2.7. Diagnosis
Kriteria klinis :
1.

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia,


lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala,
berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.

2.

Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif, petekie,


ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.

3.

Hepatomegali

4.

Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi 20 mmHg, atau
hipotensi disertai gelisah dan akral dingin.

Kriteria laboratoris :
1. Trombositopenia ( 100.000/l)
2. Hemokonsentrasi (kadar Ht 20% dari orang normal)
Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup
untuk menegakkan diagnogsis kerja DBD.

11

BAB III
PENATALAKSANAAN

3.1. Penatalaksanaan
1. Demam Dengue
Medikamentosa:

Antipiretik (apabila diperlukan) : paracetamol 10 15 mg/kg BB/kali, 3


kali/hari. Tidak dianjurkan pemberian asam asetilsalisilat/ibuprofen pada
anak yang dicurigai DD/DBD.

Edukasi orang tua:

Anjurkan anak tirah baring selama masih demam.

Bila perlu, anjurkan kompres air hangat.

Perbanyak asupan cairan per oral: air putih, ASI, cairan elektrolit, jus
buah, atau sup. Tidak ada larangan konsumsi makanan tertentu.

Monitor keadaan dan suhu anak dirumah, terutama selama 2 hari saat suhu
turun. Pada fase demam, kita sulit membedakan antara DD dan DBD,
sehingga orang tua perlu waspada.

Segera bawa anak ke rumah sakit bila : anak gelisah, lemas, muntah terus
menerus, tidak sadar, tangan/kaki teraba dingin, atau timbul perdarahan.

2. Demam Berdarah Dengue


Fase demam

Prinsip tatalaksana DBD fase demam sama dengan tatalaksana DD.

Antipiretik: paracetamol 10 15 mg/kg BB/kali, 3 kali/hari.

Perbanyak asupan cairan oral.

12

Monitor keadaan anak (tanda-tanda syok) terutama selama 2 hari saat suhu
turun. Monitor trombosit dan hematokrit secara berkala.

Penggantian volume plasma

Anak cenderung menjadi dehidrasi. Penggantian cairan sesuai status


dehidrasi pasien dilanjutkan dengan terapi cairan rumatan.

Jenis cairan adalah kristaloid : RL, 5% glukosa dalam RL, atau NaCl.

Tabel 3. Kebutuhan cairan pada rehidrasi ringan-sedang


Berat Badan (Kg)

Jumlah
(ml/kg BB/hari)

<7

220

7 11

165

12 18

132

>18

88

Cairan

Tabel 4. Kebutuhan cairan rumatan


Berat Badan (Kg)

Jumlah cairan (ml)

10

100 per kg BB

10 20

1000 + 50 x kg BB (untuk BB di atas 10 kg)

>20

1500 + 20 x kg BB (untuk BB di atas 20 kg)

Tabel 5. Kriteria rawat inap dan memulangkan pasien


Kriteria rawat inap

Kriteria memulangkan pasien

Ada kedaruratan:
Syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kesadaran turun
Muntah darah
Berak hitam
Hematokrit cenderung meningkat setelah 2 kali
pemeriksaan berturut-turut
Hemokonsentrasi (Ht meningkat = 20%)

Tidak demam selama 24 jam


tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Trombosit > 50.000/uL
Tidak dijumpai distres
pernafasan

13

Tabel 2. Derajat penyakit DBD


Derajat
Penyakit

Kriteria

DBD derajat Demam disertai gejala tidak khas, dan satu-satunya manifestasi perdarahan
I
ialah uji torniquet positif.
DBD derajat
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
II
Terdapat kegagalan sirkulasi (nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun
DBD derajat
( < 20 mmHg) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan
III
lembab, dan anak tampak gelisah.
DBD derajat Syok berat (profound shock): nadi tidak dapat diraba, dan tekanan darah
IV
tidak dapat diukur.
Tanda klinik apabila diduga adanya perdarahan:
Gelisah, kesakitan
Hipokondrium kanan nyeri tekan
Abdomen membuncit
Lingkaran perut bertambah (ukur tiap hari)
Jika terdapat tanda klinik diatas maka lakukan monitoring:
Hb, Ht (menurun atau meningkat)
Awasi pasca syok lama
Penurunan Hb, Ht saat penyembuhan disebabkan hemodilusi,
bukan perdarahan
3.4 Komplikasi DBD
Pada DD tidak terdapat komplikasi berat namun anak dapat mengeluh
lemah / lelah (fatigue) saat fase pemulihan.
Penyebab kematian pada deman berdarah dengue:

Syok berkepanjangan (Prolonged shock)

Kelebihan cairan
14

Perdarahan masif

Manifestasi yang jarang :


Ensefalopati dengue
Gagal ginjal akut

Ensefalopati DBD

Diduga akibat disfungsi hati, udem otak,

perdarahan kapiler serebral

atau kelainan metabolik

Ditandai dengan kesadaran menurun dengan atau tanpa kejang, baik pada
DBD dengan atau tanpa syok

Ketepatan diagnosis

Bila ada syok, harus diatasi dulu

Pungsi lumbal setelah syok teratasi, hati-hati trombosit < 50000/ul

Transaminase, PT/PTT, gula darah, analisa gas darah, elektrolit,


amoniak darah

15

Algoritma 1. Diagnosis Demam Dengue dan DBD

16

Algoritma 2. Tatalaksana DBD Derajat II

17

Algoritma 3. Tatalaksana DBD Derajat III/IV atau SSD

18

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Pada saat ini Dengue Hemorrhagic Fever sudah endemis di banyak kota
besar, bahkan sejak 1975 penyakit ini telah berjangkit didaerah pedesaan.
Dalam praktek di klinik, dapat saja pada awalnya penderita Infeksi Virus
Dengue didiagnosis sebagai Dengue Fever, kemudian dalam perjalanan berubah
menjadi Dengue Hemorrhagic Fever, sebab baru terbukti ada Plasma Leakage
pada saat dalam perjalanan sakitnya. Begitu juga dapat terjadi penderita
didiagnosis awalnya sebagai Dengue Hemorrhagic Fever, dalam perjalanan
berubah menjadi Dengue Shock Syndrome sebab kegagalan sirkulasi baru terjadi
kemudian. Akan tetapi kalau penanganan penderita dilakukan secara sistematis
dan benar maka hal-hal diatas akan dapat diatasi di rumah sakit.
Sebelum kita menetapkan terapi pada penderita Infeksi Virus Dengue,
maka kita harus menetapkan apa diagnosisnya, Dengue Fever / Dengue
Hemorrhagic Fever atau Dengue Shock Syndrome, baru setelah itu kita berikan
terapi (terutama terapi cairan) sesuai dengan diagnosis yang kita buat.
Seorang dokter harus memahami patogenesis Demam Berdarah Dengue
untuk bisa menatalaksana kasus DBD dengan baik dan optimal
Ketrampilan untuk menegakkan diagnosis secara dini dan pengambilan
keputusan yang tepat akan menentukan keberhasilan pengobatan DBD serta
program penanggulangannya.
Oleh karena itu sudah seharusnya semua tenaga medis yang bekerja di
Indonesia untuk mampu mengenali dan mendiagnosisnya, kemudian dapat
melakukan penatalaksanaan, sehingga angka kematian akibat Demam Berdarah
Dengue dapat ditekan.

19

4.2. Saran
Diperlukan

pengetahuan

tentang

patogenesis,

diagnosis,

dan

penatalaksanaan Demam berdarah dengue secara tepat dan adekuat untuk


pengobatan yamg optimal.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Demam Berdarah Dengue: Pelatihan bagi pelatih, dokter spesialis
anak, dan dokter spesialis penyakit dalam, dalam tatalaksana kasus
DBD. Balai Penerbit FKUI; Jakarta, 1999.
2.

Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis, treatment, prevention


and control, second edition. WHO: 1997

3. Suhendro,dkk. Dalam :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I.


Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,Jakarta
2006 : 1709-1713

21

Anda mungkin juga menyukai