Anda di halaman 1dari 111

JURNAL SKALA HUSADA

ISSN 1693-931X
Volume 9 Nomor 1 April 2012 Halaman 1 - 109
PENGARUH PEMBERIAN TERAPI TERTAWA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA
LANJUT USIA DI PSTW WANA SERAYA DENPASAR
I Dewa Made Ruspawan, Ni Made Desi Wulandari
1-9
PENGARUH PELAKSANAAN KELAS ANTENATAL TERHADAP PERILAKU IBU HAMIL
NW Ariyani, NN Suindri, NN Budiani
10 - 15
ASTAXANTHIN ORAL MEMPERTAHANKAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK MENCIT
YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Ni Ketut Somoyani
16 - 21
KEBIASAAN BURUK YANG DAPAT MERUBAH BENTUK WAJAH
Asep Arifin Senjaya
22 - 27
DOSE RESPONSE AND PROTECTION EFFECT OF LYCOPENE TO REACTIVE OXYGEN SPECIES
ON HUMAN CELLS
Badrut Tamam dan Suratiah
28 - 32
DEVELOPMENTAL DISPLACEMENT OF THE HIP
Ida Ayu Ratna Dewi Arrisna Artha
33 - 39
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SARINGAN CADAS AON
UNTUK MENYARING AIR PDAM DI DESA SUKAWATI DAN GUWANG KECAMATAN
SUKAWATI TAHUN 2010
I Wayan Suarta A, I Nyoman Sujaya, I Nyoman Purna
40 - 43
INDEKS GLIKEMIK MENU MAKANAN RUMAH SAKIT DAN PENGENDALIAN GLUKOSA
DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT INAP DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Ni Komang Wiardani, Ni Nyoman Sariasih, Yusi Swandari
44 - 50
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN MASYARAKAT DALAM
PEMBERANTASAN VIRUS RABIES DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDIRI I KABUPATEN
TABANAN TAHUN 2011
I Ketut Aryana, IGA Dewi Sarihati, I Wayan Merta
51 - 59
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UTILISASI PELAYANAN KESEHATAN GIGI DI
PUSKESMAS KABUPATEN TABANAN
I Gede Surya Kencana, I Nyoman Gejir, I Gusti Ayu Raiyanti
60 - 66
THE EFFECTIVITY OF KEGEL EXERCISE TO PREVENT THE OCCURRENCE OF URINE
RETENTION AND EDEMA ON THE SUTURES OF THE PERINEUM
NN Sumiasih, NLP Sri Erawati, NM Dwi Purnamayanthi
67 - 72
MOTIVASI PRIA PEDESAAN DAN PERKOTAAN MENJADI AKSEPTOR METODE OPERASI
PRIA (MOP) DI BALI
Ni Wayan Armini
73 - 78
APLIKASI SISTEM HACCP PADA RUMAH MAKAN/RESTORAN DI KECAMATAN
DENPASAR SELATAN TAHUN 2011
I Nyoman Sujaya, I Wayan Suarta Asmara, I Nyoman Purna
79 - 83
EFEKTIVITAS BUNGA PIRETRUM SEBAGAI INSEKTISIDA NYAMUK AEDES AEGYPTI
Nengah Notes dan Cokorda Dewi Widhya Hana Sundari
84 - 89
DETERMINAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG
MENJALANI HEMODIALISA
Edi Nur dan Lely Cintari
90 - 96
HUBUNGAN KEBERSIHAN MULUT DENGAN PENYAKIT SISTEMIK DAN USIA HARAPAN
HIDUP
Ratih Larasati
97 - 104
TINGKAT KEPUASAN PENGGUNA LULUSAN JURUSAN KESEHATAN GIGI (JKG)
POLTEKKES DENPASAR DI BALI TAHUN 2008
Ni Ketut Ratmini, I Gede Surya Kencana, Ni Wayan Arini
105 -109

Editorial
Ada fenomena menarik yang berkembang belakangan ini di kalangan Dosen Poltekkes Denpasar
yaitu mulai digunakannya analisis multivariat sebagai basis penarikan kesimpulan hasil penelitian.
Sebagian besar artikel yang dimuat dalam Jurnal Skala Husada edisi kali ini juga menggunakan
model analisis multivariat baik yang berupakan regressi logistik maupun regressi linier. Sisi baiknya,
penggunaan analisis multivariat sebagai basis penarikan kesimpulan hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai indikasi mulai berkembangnya wawasan dosen Poltekkes Denpasar dalam menyikapi
masalah kesehatan. Harus disadari bahwa pada era modern sekarang ini, tidak ada satupun
masalah apalagi masalah kesehatan yang muncul karena penyebab tunggal. Masalah kesehatan
harus dipandang sebagai suatu masalah yang bersifat multiplier effect yang muncul karena dipicu
oleh banyak faktor. Itulah sebabnya peneliti di bidang kesehatan dituntut memiliki wawasan yang
luas agar dapat memahami berbagai permasalahan yang akan dikaji secara lebih komprehensif.
Namun perlu disadari bahwa aplikasi analisis multivariat bukannya tanpa kelemahan. Hasil utama
dari analisis multivariat adalah model probabilistik yang digunakan untuk mengkuantifikasi hubungan
antara variabel independen (faktor yang diduga menjadi penyebab) dan variabel dependen
(kejadian suatu penyakit atau dampak masalah kesehatan lainnya), kuantifikasi hubungan inilah
yang selanjutnya digunakan untuk meramalkan kejadian suatu penyakit atau dampak masalah
kesehatan tertentu berdasarkan berbagai faktor yang dapat diduga secara bebas.
Keterbatasan utama dari model probabilistik adalah bahwa hubungan antara variabel independen
dan variabel dependen yang digambarkan dalam model tidak dapat digeneralisasi sebagai suatu
hubungan kausal, karena pada model probabilistik hubungan keduanya hanya diamati sebatas
hubungan fungsional saja [y = f(x)]. Secara klasik hubungan kausal harus memenuhi dua kriteria
yaitu spesifistas kausal dan spesifisitas efek. Menurut Susser (1973) spesifisitas kausal baru
terpenuhi jika seluruh perubahan pada variabel dependen terjadi karena adanya perubahan pada
variabel independen (necessary), atau perubahan pada variabel independen secara tak
terhindarkan menyebabkan terjadinya perubahan pada variabel dependen (sufficient).
Terlepas dari segala keterbatasan yang dimiliki, model probabilistik sangat berguna untuk
menerangkan etiologi suatu penyakit atau dampak masalah kesehatan tertentu, terutama jika
hubungan antara faktor dan dampak bersifat majemuk yang sangat kompleks. Melalui model
probabilistik dapat ditaksir frekuensi penyakit atau dampak pada kondisi faktor yang berbedabeda. Dengan pendekatan statistik yang canggih, model probabilistik juga mampu menerangkan
efek dosis-respons pada berbagai tingkatan faktor untuk menaksir perkembangan suatu penyakit
atau dampak. Pemahaman tentang efek dosis-respons merupakan landasan yang paling rasional
dalam merancang suatu program intervensi. Dengan demikian, model probabilistik mutlak
diperlukan sebagai studi kelayakan dalam menyusun program intervensi yang tepat guna dan
tepat sasaran.
Berpijak pada kenyataan di atas, redaksi Jurnal Skala Husada sangat mendukung model penarikan
kesimpulan hasil penelitian berbasis analisis multivariat. Harapan kami semoga artikel dengan
analisis multivariat yang dimuat pada edisi kali ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi dosen
yang lain untuk melaksanakan model analisis serupa pada kegiatan penelitiannya di masa yang
akan datang.

PENGARUH PEMBERIAN TERAPI TERTAWA TERHADAP TINGKAT


KECEMASAN PADA LANJUT USIA DI PSTW WANA SERAYA DENPASAR
I Dewa Made Ruspawan1, Ni Made Desi Wulandari2
Abstract. Aging is a natural process in which the elderly often experience physical
and psychological deterioration, reduced income due to retirement and the loneliness
caused by abandoned by a spouse, family or peers. These problems are caused anxiety
for the elderly. When anxiety occurs constantly, it will have an impact on quality of
life of elderly. Based on the various ways done to reduce the level of anxiety among
other drugs (pharmacological) and non-pharmacological (one of them with laughing
therapy). The purpose of study is to know the influence of giving laughing therapy
on the level of anxiety in the elderly at PSTW Wana Seraya Denpasar. This is a kind
of pre-experimental research which use the one-group pretest-posttest design. This
study used the elderly who experienced anxiety and involved 27 respondents who
chosen by using total sampling, from the result of research it is known that the level
of anxiety in the elderly before laughing therapy is 88,9% mild anxiety and moderate
anxiety was 11,1%. After laughing therapy was done, got result that 70,4%
respondents become normal and 29,6% respondents become mild anxiety level. Based
on the analysis done using Wilcoxon test (p d 0,05), the data obtained was the
amount of p = 0,000 with pre test 2,11 and post test 1,30. So the research hypothesis
is accepted that there is the influence of giving laughing therapy on the level of
anxiety in the elderly at PSTW Wana Seraya Denpasar Year 2011. From these results
expected the officer of PSTW Wana Seraya Denpasar use laughing therapy on a
regular basis to overcome psychological problems, especially anxiety in order to get
optimal benefits.
Keywords: Elderly, Level of Anxiety, Laughing Therapy
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan
proses alamiah, yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak,
dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik
secara biologis maupun psikologi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan menyatakan bahwa
memasuki usia tua yang dikenal dengan lansia
(lanjut usia) berarti mengalami kemunduran,
misalnya kemunduran fisik yang ditandai
dengan kulit yang mengendur, rambut yang
memutih, gigi mulai tanggal, pendengaran
kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,
gerakan lambat dan postur tubuh yang tidak
proporsional1.
Keberadaan lanjut usia ini akhirnya
mendorong pemerintah untuk melakukan
perbaikan dalam berbagai bidang. Seiring
1,2,3

dengan keberhasilan pemerintah dalam


pembangunan nasional, telah mewujudkan
hasil yang positif terutama terlihat dalam
bidang kesehatan. Hal inilah yang
menyebabkan meningkatnya kualitas
kesehatan serta umur harapan hidup manusia2.
Peningkatan populasi lanjut usia ini tentunya
diikuti pula dengan berbagai persoalan,
kecemasan merupakan salah satu masalah
mental yang umum dialami oleh lanjut usia,
mempengaruhi 1 dari 10 orang yang berusia
diatas 60 tahun1. Studi pendahuluan dilakukan
pada 15 orang lanjut usia di Banjar Belong
Gede Denpasar Utara tanggal 17 Februari
2011 untuk mengetahui jumlah lanjut usia yang
mengalami kecemasan.

Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Denpasar


1

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 1 - 9

Hasil studi pendahuluan, didapatkan delapan


orang mengalami kecemasan ringan
(53,33%), satu orang mengalami kecemasan
sedang (6,67%) dan enam orang tidak
mengalami kecemasan (40%). Berdasarkan
hasil studi pendahuluan, dapat dilihat bahwa
lanjut usia yang mengalami kecemasan cukup
banyak walaupun dukungan keluarga
didapatkan secara optimal dan ketersediaan
hiburan di masyarakat cukup tinggi.
Kecemasan merupakan masalah psikologis
sebagai respon emosional seseorang. Lanjut
usia mengalami penurunan kondisi fisik dan
psikis, menurunnya penghasilan akibat
pensiun, serta kesepian akibat ditinggal oleh
pasangan, keluarga atau teman seusia3.
Masalah-masalah inilah yang umumnya
menimbulkan kecemasan bagi lanjut usia dan
pada akhirnya sebagian lanjut usia lebih
memilih tinggal di panti sosial.
Salah satu panti sosial yang khusus merawat
lanjut usia di kota Denpasar adalah PSTW
Wana Seraya Denpasar. Berdasarkan data
yang tercatat, lanjut usia yang tinggal di PSTW
Wana Seraya Denpasar adalah 48 orang.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada
tanggal 19 Februari 2011 untuk mengetahui
kejadian kecemasan pada lanjut usia,
diperoleh lansia yang mengalami kecemasan
di panti sosial tersebut berjumlah 33 orang
(67,34%) dengan alasan yang beragam,
antara lain kesepian, ketidakberdayaan dan
sakit-sakitan. Umumnya mereka
mengatasinya dengan menceritakan masalah
yang dialami dengan teman maupun pengurus
panti untuk mengurangi kecemasan mereka,
namun hal tersebut dirasakan masih kurang
efektif karena tidak semua hal dapat
dikomunikasikan secara terbuka dengan
orang lain, akibatnya kecemasan pun masih
sering terjadi. Atas dasar itulah berbagai cara
pun dilakukan untuk mengurangi tingkat
kecemasan pada lanjut usia antara lain dengan
obat anticemas (farmakologis) dan tindakan
non-farmakologis.
Obat anticemas menimbulkan banyak efek
samping antara lain mengantuk, kinerja
2

psikomotor dan kemampuan kognitif


menurun, penglihatan kabur, konstipasi, sinus
takikardia, perubahan EKG, hipotensi, tremor
halus dan agitasi4. Obat-obatan ini akan
berdampak kurang baik apabila dikonsumsi
terus menerus terutama pada lanjut usia yang
telah mengalami penurunan fungsi tubuh
secara fisiologis. Hal inilah yang mendasari
pemilihan alternatif lain yaitu terapi nonfarmakologis untuk mengatasi kecemasan.
Berdasarkan fenomena tersebut, banyak
peneliti akhirnya lebih tertarik untuk meneliti
tindakan non-farmakologis dalam mengatasi
kecemasan. Salah satu penelitian mengenai
pengaruh terapi relaksasi otot progresif
terhadap penurunan tingkat kecemasan lanjut
usia5. Dari hasil analisis didapatkan bahwa
sebelum diberi terapi relaksasi (Pre Test) 62,5
% responden mengalami cemas sedang dan
sesudah diberi terapi relaksasi (Post Test)
didapatkan 75 % responden mengalami
cemas ringan. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan ada pengaruh pemberian terapi
relaksasi terhadap penurunan tingkat
kecemasan.
Terapi lain mulai diteliti untuk mengatasi
masalah lanjut usia seperti mulai
dikembangkannya terapi tertawa. Terapi ini
dapat dilakukan dengan cara memberikan
stimulus humor dan sengaja berlatih tertawa.
Sebuah penelitian tentang pengaruh terapi
tertawa terhadap depresi pada lanjut usia di
Wirosaban, Yogyakarta dengan mengambil
sampel 100 lanjut usia6. Dari penelitian
tersebut didapatkan bahwa terdapat pengaruh
pemberian terapi tertawa terhadap tingkat
depresi lanjut usia.
Penelitian di atas menunjukkan bahwa terapi
tertawa cukup efektif digunakan untuk
mengatasi masalah psikologis pada lanjut usia.
Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh
Harold Bloomfield, M.D, penulis Healing
Anxiety Naturally dalam buku terapi
tertawa7 yang menyatakan bahwa rasa takut
dan cemas sangat sulit dikendalikan dan beliau
menyarankan untuk melakukan terapi tertawa
sebagai alat untuk menghilangkan kecemasan.

IDM Ruspawan dan NM Desi Wulandari (Pengaruh pemberian terapi...)

Berdasarkan uraian di atas dilakukan


penelitian lebih lanjut mengenai Pengaruh
Pemberian Terapi Tertawa Terhadap Tingkat
Kecemasan pada Lanjut Usia di PSTW Wana
Seraya Denpasar dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian terapi
tertawa terhadap tingkat kecemasan pada
lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar.

sampling (sampling jenuh) yaitu teknik


penentuan sampel bila semua anggota
populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini
sering dilakukan oleh peneliti yang ini
membuat generalisasi dengan kesalahan yang
sangat kecil8. Adapun sampel yang diambil
harus memenuhi kriteria sampel yaitu kriteria
inklusi dan eksklusi.

Metode

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian


pre-experimental karena masih terdapat
variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap
terbentuknya variabel dependen dan tidak
adanya variabel kontrol serta sampel tidak
dipilih secara random dengan rancangan yang
digunakan yaitu one-group pretest-posttest
design8. Model pendekatan subyek yang
digunakan adalah time series (longitudinal)
dengan pengukuran tingkat kecemasan yang
dilakukan sebanyak 3 kali yaitu sebelum
pemberian terapi tertawa, pada akhir sesi
keempat dan akhir sesi kedelapan sesudah
diberikan perlakuan (terapi tertawa).
Populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek atau subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan8.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh lanjut usia yang mengalami kecemasan
dan bertempat tinggal di PSTW Wana Seraya
Denpasar berjumlah 32 orang.
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi8.
Sampel dalam penelitian ini adalah lanjut usia
yang mengalami kecemasan dan sesuai
dengan kriteria inklusi yang ditetapkan dan
bertempat tinggal di PSTW Wana Seraya
Denpasar yang berjumlah 27 orang.
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari
populasi untuk mewakili populasi, sedangkan
teknik sampling merupakan cara-cara yang
ditempuh dalam pengambilan sampel, agar
memperoleh sampel yang benar-benar sesuai
dengan keseluruhan subyek penelitian9.
Adapun teknik sampling yang digunakan
dalam pengambilan sampel adalah total

Karakteristik Subyek Penelitian


Penelitian ini mengambil sampel lanjut usia
yang mengalami kecemasan, dari 48 orang
lanjut usia yang tinggal di PSTW Wana
Seraya Denpasar terdapat 27 orang yang
mengalami kecemasan dan sesuai dengan
kriterian inklusi. Penelitian ini dilaksanakan dari
tanggal 15 Juni 2011 sampai 3 Juli 2011.
Jenis Kelamin
Karakteristik responden penelitian
berdasarkan jenis kelamin didistribusikan ke
dalam tabel 1
Tabel 1
Sebaran jenis kelamin sampel

Jenis
Kelamin
Laki- Laki
Wanita
Total

Hasil pengamatan

f
9
18
27

%
33,3
66,7
100

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui


bahwa responden terbanyak adalah wanita
yaitu 18 responden (66,7%).
Usia
Karakteristik responden penelitian
berdasarkan umur yang telah diteliti
didistribusikan ke dalam tabel 2.
Tabel 2
Sebaran usia sampel
Usia

Kategori
Elderly
Old
Very Old
Total

Hasil Pengamatan

Umur
64-74 th
75-90 th
> 90 th

%
12
13
2
27

44,4
48,1
7,4
100

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 1 - 9

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa


responden terbanyak adalah lanjut usia dengan
usia 75-90 tahun yaitu sebanyak 13
responden (48,1%).

mengalami perubahan tingkat kecemasan


menjadi tidak cemas sebanyak 19 responden
(70,4%) dan menjadi cemas ringan sebanyak
8 responden (29,6%).

Tingkat Kecemasan Sebelum Diberikan


Terapi Tertawa
Tingkat kecemasan pada lanjut usia sebelum
diberikan terapi tertawa di PSTW Wana
Seraya Denpasar dapat diterangkan dalam
tabel 3.

Pengaruh Pemberian Terapi tertawa


Terhadap Tingkat Kecemasan pada
Lanjut Usia
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada
pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap
tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW
Wana Seraya Denpasar. Skor yang sudah
didapatkan dari responden mengenai tingkat
kecemasan sebelum dan setelah diberikan
terapi tertawa kemudian diolah dengan
menggunakan teknik analisa non parametric,
yaitu uji Wilcoxon karena data berskala
ordinal.

Tabel 3
Sebaran tingkat kecemasan sampel
sebelum diberikan terapi tertawa
Tingkat
Kecemasan
Tidak Cemas
Cemas Ringan
Cemas Sedang
Cemas Berat
Panik
Total

Hasil pengamatan
f
%
0
0
24
88,9
3
11,1
0
0
0
0
27
100

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat diketahui


bahwa responden di PSTW Wana Seraya
Denpasar yang mengalami kecemasan
sebanyak 27 orang dengan jumlah kecemasan
ringan 24 orang (88,9 %)
Tingkat Kecemasan Setelah Diberikan
Terapi Tertawa
Tingkat kecemasan pada lanjut usia setelah
diberikan terapi tertawa di PSTW Wana
Seraya Denpasar dapat dijabarkan dalam
tabel 4.
Tabel 4
Sebaran tingkat kecemasan sampel
sesudah diberikan terapi tertawa
Tingkat
Kecemasan
Tidak Cemas
Cemas Ringan
Cemas Sedang
Cemas Berat
Panik
Total

Hasil pengamatan
f
%
19
70,4
8
29,6
0
0
0
0
0
0
27
100

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa


responden di PSTW Wana Seraya Denpasar
4

Tabel 5
Pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap
tingkat kecemasan pada lanjut usia

Pre Test
Post Test

Mean SD
Min - Max P Value
2,11 0,32
2-3
0,00
1,30 0,47
1-2

Berdasarkan tabel 5 didapatkan rata-rata pre


test 2,11 dan post test 1,30. Tingkat
kecemasan terendah pada saat pre test adalah
2 (cemas ringan) dan tingkat kecemasan
terberat adalah 3 (cemas sedang). Sedangkan
pada saat post test, tingkat kecemasan
terendah adalah 1 (tidak cemas) dan tingkat
kecemasan terberat adalah 2 (cemas ringan).
Untuk nilai p=0,000 lebih kecil dari 0,05
berarti signifikan. Dari nilai-nilai tersebut dapat
menunjukan bahwa hipotesis penelitian
diterima berarti terdapat pengaruh pemberian
terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan
lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar
Tahun 2011.
Tingkat Kecemasan Sebelum
Diberikan Terapi Tertawa pada Lanjut
Usia di PSTW Wana Seraya Denpasar
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bahwa lanjut usia yang mengalami kecemasan
di PSTW Wana Seraya Denpasar Tahun

IDM Ruspawan dan NM Desi Wulandari (Pengaruh pemberian terapi...)

2011 sebanyak 27 orang dengan jumlah


kecemasan ringan 24 orang (88,9 %) dan
jumlah kecemasan sedang 3 orang (11,1%).
Kecemasan merupakan salah satu masalah
psikologis pada lanjut usia. Kecemasan
(ansietas) adalah kekhawatiran yang tidak
jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya10.
Ansietas dialami secara subyektif dan
umumnya dikomunikasikan secara
interpersonal. Keadaan emosi ini tidak
memiliki objek yang spesifik.
Adanya permasalahan kecemasan pada lanjut
usia juga ditemukan dalam penelitian tentang
pengaruh terapi relaksasi otot progresif
terhadap penurunan tingkat kecemasan lanjut
usia di Panti Werdha Griya Asih Lawang
Kabupaten Malang. Sampel dalam penelitian
tersebut adalah delapan responden yang telah
memenuhi kriteria inklusi5. Dalam penelitian
ditemukan bahwa sebelum diberi terapi
relaksasi (Pre-Test) 62,5% responden
mengalami cemas sedang.
Serupa dengan hasil penelitian di atas, adanya
permasalahan kecemasan pada lanjut usia ini
berkaitan dengan perubahan alamiah yang
terjadi pada lanjut usia baik dari segi fisik dan
fungsi, psikologis serta sosial. Perubahan fisik
dan fungsi yang terjadi pada lanjut usia meliputi
perubahan pada sistem persarafan, sistem
indera yang meliputi pendengaran,
penglihatan, pernapasan, integumen,
perubahan dalam sistem pencernaan, sistem
kardiovaskular, sistem pengaturan suhu tubuh,
sistem reproduksi baik pria maupun wanita,
perubahan dalam sistem genitourinaria yang
meliputi ginjal, vesika urinaria, prostat dan
vulva, sistem endokrin dan perubahan terakhir
dapat dilihat dalam sistem muskuloskeletal.
Sistem ini akan mengalami perubahan dari segi
bentuk maupun fungsinya secara fisiologis.
Disamping perubahan fisik, lanjut usia juga
mengalami perubahan psikologis dan sosial.
Adapun perubahan yang cenderung terjadi
pada lanjut usia meliputi sikap yang semakin
egosentik, mudah curiga, berkurangnya

kegairahan atau keinginan, peningkatan


kewaspadaan dan pergeseran libido serta
masalah-masalah sosial seperti bertambah
pelit atau tamak, keinginan berumur panjang,
mengharapkan tetap diberi peranan dalam
masyarakat, ingin tetap berwibawa serta ingin
mempertahankan hak dan hartanya 1.
Perubahan-perbahan tersebut menimbulkan
gangguan alam perasaan atau lebih dikenal
dengan kecemasan pada lanjut usia.
Hal ini serupa juga dengan penjelasan bahwa
lanjut usia mengalami penurunan kondisi fisik
dan psikis, menurunnya penghasilan akibat
pensiun, serta kesepian akibat ditinggal oleh
pasangan, keluarga atau teman seusia3.
Masalah-masalah inilah yang juga
menimbulkan kecemasan bagi lanjut usia.
Dalam penelitian ini dapat dilihat juga bahwa
karakteristik responden terbanyak yang
mengalami kecemasan adalah wanita yang
berjumlah 18 responden (66,7) dan berada
pada kategori umur 75-90 (old). Namun jenis
kelamin dan umur tidak mempengaruhi
tingginya angka kejadian kecemasan karena
kejadian kecemasan lebih tergantung pada tipe
kepribadian seseorang. Hal ini diperkuat
pernyataan yang menyatakan bahwa
kepribadian pencemas lebih rentan untuk
menderita gangguan cemas atau dengan kata
lain orang dengan kepribadian pencemas akan
meningkatkan resiko untuk menderita
gangguan cemas yang lebih besar daripada
orang yang tidak berkepribadian pencemas4.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kejadian kecemasan pada lanjut usia
adalah hal yang umum terjadi, adapun masalah
ini berkaitan erat dengan perubahan alamiah
yang terjadi pada lanjut usia baik dari segi
fisik dan fungsi, psikologis serta sosial, selain
itu masalah-masalah seperti penurunan
penghasilan dan kesepian juga menjadi faktor
penyebab tingginya angka kecemasan pada
lanjut usia.
Namun masalah kecemasan ini tidak sematamata ditentukan oleh faktor jenis kelamin dan
usia saja, tipe kepribadian seseorang juga
5

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 1 - 9

memiliki peranan yang sangat penting dalam


menentukan respon seseorang terhadap
masalah yang dihadapinya.
Tingkat Kecemasan Setelah Diberikan
Terapi Tertawa pada Lanjut Usia
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bahwa tingkat kecemasan pada lanjut usia
setelah diberikan terapi tertawa di PSTW
Wana Seraya Denpasar sebanyak 19
responden (70,4%) mengalami perubahan
tingkat kecemasan menjadi tidak cemas dan
sebanyak 8 responden (29,6%) berada pada
tingkat kecemasan ringan.
Terdapat beberapa penelitian serupa yang
menunjukkan adanya perubahan pada tingkat
permasalahan psikologis yang terjadi karena
pengaruh pemberian terapi tertawa. Penelitian
serupa tentang pengaruh pemberian terapi
tertawa terhadap stres psikososial pada usia
lanjut di Karang Werda Ngudi Mukti
Kelurahan Kartoharjo, Kecamatan Nganjuk,
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur11. Penelitian
ini dilakukan pada 20 orang responden.
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa
18 orang (90%) mengalami penurunan dan
hanya dua orang (10%) yang tidak mengalami
penurunan tingkat stres psikososial.
Penelitian lain mengenai pengaruh terapi
tertawa terhadap tingkat depresi ringan pada
25 orang lanjut usia di PSTW Wana Seraya
Denpasar12. Setelah dilakukan terapi tertawa
diperoleh 17 orang lanjut usia (32,1%)
mengalami perubahan tingkat depresi ringan
menjadi normal dan delapan orang (15,1%)
tidak mengalami perubahan tingkat depresi
ringan setelah pemberian terapi tertawa.
Penelitian serupa yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap
penurunan tingkat kecemasan pada siswa
kelas 3 menjelang Ujian Akhir Nasional
(UAN) di SMAN 4 Purwokerto14. Rata-rata
tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan
sebelum terapi adalah 26,66 dan setelah
dilakukan terapi adalah 10,72.
Adanya perubahan tingkat kecemasan ini
diperkuat dengan teori yang menyatakan
6

bahwa individu yang penyesuaian dirinya baik,


maka stres dan kecemasan dapat diatasi dan
ditanggulanginya4. Dengan demikian, tingkat
kecemasan dapat mengalami perubahan atau
dengan kata lain mengalami penurunan bila
seseorang dapat menyesuaikan diri terhadap
masalah yang dihadapi.
Hal ini kembali diperkuat oleh teori
Hodgkinson (1991) yang menyatakan bahwa
jika seseorang mengalami kecemasan dan
dilatih untuk mengontrol wajah yang tepat,
sehingga mereka terlihat bahagia sebagai
pengganti ekspresi sedih, maka mereka akan
mulai merasa lebih baik15.
Penurunan tingkat kecemasan sangat
bergantung pada penyesuaian diri seseorang
terhadap masalah yang dihadapinya. Apabila
penyesuaian dirinya baik maka masalah pun
dapat segera diatasi dan tentunya masalah
kecemasan pun dapat berkurang. Selain itu
latihan untuk mengontrol wajah yang tepat
dengan cara berlatih tertawa pada saat
mengalami masalah psikologis merupakan
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menurunkan tingkat kecemasan.
Pengaruh Terapi Tertawa terhadap
Tingkat Kecemasan pada Lanjut Usia
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh terapi
ertawa terhadap tingkat kecemasan pada
lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar
didapatkan bahwa nilai p = 0,000 lebih kecil
dari 0,05 berarti signifikan dan pre test 2,11
lebih besar dari post test 1,30, sehingga
hipotesis penelitian diterima berarti terdapat
pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap
tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW
Wana Seraya Denpasar Tahun 2011.
Hasil penelitian ini penurunan tingkat
kecemasan pada siswa kelas 3 menjelang
Ujian Akhir Nasional (UAN) di SMAN 4
Purwokerto dengan menggunakan terapi
tertawa14. Dalam penelitian ini diperoleh hasil
bahwa tingkat kecemasan siswa kelas 3
mengalami penurunan setelah diberikan terapi
tertawa. Hal ini berarti terapi tertawa
berpengaruh terhadap penurunan tingkat

IDM Ruspawan dan NM Desi Wulandari (Pengaruh pemberian terapi...)

kecemasan pada siswa kelas 3 menjelang ujian


akhir nasional di SMA N 4 Purwokerto.
Penelitian lain yang serupa tentang pengaruh
pemberian terapi humor terhadap penurunan
tingkat kecemasan pada narapidana
menjelang masa pembebasan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Malang16.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pada
kelompok eksperimen yang diberi perlakuan
terapi humor menunjukkan adanya penurunan
kecemasan pada lima subyek dari tujuh
subyek yang terdapat pada kelompok
eksperimen (71,4%). Sedangkan pada
kelompok kontrol, yang tidak diberikan
perlakuan apapun, menunjukkan terjadinya
kenaikan skor kecemasan. Hal ini
menunjukkan bahwa terapi humor dapat
berpengaruh terhadap penurunan kecemasan
narapidana menjelang masa pembebasan.
Penelitian-penelitian ini diperkuat dengan teori
yang dinyatakan oleh Waynbaum (1906)
seorang fisiolog dari Prancis yang terkenal
dengan teori The Vascular Theory of
Emotional Efferance 15. Waynbaum
menyatakan bahwa ketika otot wajah
bergerak, maka akan terjadi mekanisme
hormonal di otak, selanjutnya otot-otot wajah
berperan sebagai pengikat pada pembuluh
darah dan mengatur aliran darah ke otak.
Aliran darah ini mempengaruhi temperatur di
otak dan perubahan temperatur di otak ini
berhubungan dengan perasaan subyektif yang
dialami seseorang. Hal ini serupa dengan
pernyataan Hodgkinson (1991) yang
merupakan orang pertama yang menyatakan
bahwa, gerakan otot zygomatic mayor (otot
yang dapat menarik sudut bibir ke atas sampai
tulang pipi) merupakan pusat ekspresi
pengalaman emosi positif15.
Teori Waynbaum dan Hodgkinson di atas
diperkuat kembali oleh Zajonc (1989) yang
menjelaskan dengan lebih rinci bahwa pada
saat tertawa, 15 otot muka berkontraksi dan
mendapatkan rangsangan efektif pada
sebagian besar otot mulut15. Saat mulut
terbuka dan tertutup ini, ada suatu dorongan
untuk mengisap udara yang cukup, sehingga

dapat menangkap lebih banyak oksigen.


Oksigen ini akan dialirkan ke seluruh tubuh
dalam jumlah yang lebih banyak. Jumlah
oksigen yang cukup banyak dalam sistem
peredaran darah memberikan dampak pada
pengaturan temperatur di otak yaitu dapat
mendinginkan otak. Hal ini mempengaruhi
pengeluaran neurotransmiter yakni hormon
serotonin, endorfin dan melatonin yang
membawa keadaan emosi dan perasaan
keseluruh bagian tubuh.
Serupa dengan penjelasan tersebut, dokter
yang juga President Director dari Institute
for Cognitive Research, dr. H. Yul Iskandar,
Ph.D, psikiater dari Rumah Sakit Khusus
Dharma Graha, Jakarta dalam Adnol (2009)
menyatakan bahwa ketika seseorang tertawa
maka tubuhnya akan menghasilkan zat baik
seperti melatonin, endorfin dan serotonin yang
menekan kortisol, adrenalin serta radikal
bebas.
Serotonin menimbulkan efek vasodilatasi
pembuluh darah yang akhirnya akan
meningkatkan peredaran O2 ke seluruh
tubuh17. Serotonin normalnya menimbulkan
dorongan bagi sistem limbik untuk
meningkatkan perasaan seseorang terhadap
rasa nyaman, menciptakan rasa bahagia, rasa
puas, nafsu makan yang baik, dorongan
seksual yang sesuai, dan keseimbangan
psikomotor.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah
dilakukan, dapat diambil simpulan yaitu: 1).
Tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW
Wana Seraya Denpasar Tahun 2011 sebelum
dilakukan terapi tertawa berada pada tingkat
kecemasan ringan yaitu sebanyak 24 orang
(88,9 %). 2). Perubahan tingkat kecemasan
pada lanjut usia di PSTW Wana Seraya
Denpasar Tahun 2011 setelah dilakukan
terapi tertawa didapatkan perubahan tingkat
kecemasan menjadi tidak cemas sebanyak 19
responden (70,4%). 3). Terapi tertawa
berpengaruh signifikan terhadap tingkat
kecemasan pada lanjut usia di PSTW Wana
7

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 1 - 9

Seraya Denpasar Tahun 2011, karena


berdasarkan uji statistik Wilcoxon diperoleh
nilai p = 0,000 lebih kecil dari 0,05 berarti
signifikan dengan pre test 2,11 dan post
test 1,30.
Beberapa hal yang dapat disarankan adalah:
1). Petugas PSTW Wana Seraya Denpasar
dapat menggunakan terapi tertawa sebagai
suatu alternatif bagi lanjut usia, melanjutkan
pemberian terapi yang telah peneliti lakukan.
2). Penelitian lebih lanjut berkaitan dengan
terapi tertawa dan kecemasan, diharapkan
dapat menggunakan kelompok kontrol
dengan sampel yang banyak, menjelaskan cara
pengisian instrumen dengan jelas dan benar
serta membacakannya untuk memudahkan
peneliti mengajukan pertanyaan dan tentunya
memudahkan juga bagi responden untuk
menjawab serta menegaskan pada responden
bahwa penelitian ini untuk kepentingan
responden dan hasilnya dapat bermanfaat bagi
responden.
Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

Nugroho,W.. Keperawatan Gerontik


& Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC ;
2008
Irwanasir, R. Kondisi dan
Permasalahan Penduduk Lansia,
(online), (http://www.Komnaslansia.
or.id, diakses tanggal 20 Februari
2011); 2009.
Stanley, M, dkk. Buku Ajar
Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Terjemahan oleh Eny Meiliya. 2006.
Jakarta: EGC ; 2006.
Hawari, D. Manajemen Stres Cemas
dan Depresi. Jakarta: Balai Pustaka
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ; 2001.

5.

6.

7.

8.
9.

10.

11.

12.

Wahyuni. Pengaruh Terapi Relaksasi


Otot Progresif Terhadap Penurunan
Tingkat Kecemasan Lanjut Usia di
Panti Werdha Griya Asih Lawang
Kabupaten Malang. Skripsi tidak
diterbitkan. Malang: Program Diploma
III Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Malang, (online),
(http://etd.eprints.umm.ac.id, diakses
tanggal 18 Februari 2011) ; 2006.
Nugraheni, A, Sumarni,DW dan
Mariyono, SW. Pengaruh Terapi
Tertawa ; 2006.
Ayu, A. Terapi Tertawa Untuk Hidup
Lebih Sehat Bahagia & Ceria.
Yogyakarta: Pustaka Larasati ; 2010.
Sugiyono. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Alfabeta ; 2010.
Nursalam. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika ; 2008.
Stuart, G.W. Buku Saku Keperawatan
Jiwa. Edisi V. terjemahan oleh Pamilih
Eko Karyuni.2007. Jakarta: EGC ;
2007.
Lusian, Dewi. Pengaruh Pemberian
Terapi Tertawa Terhadap Stres
Psikososial pada Usia Lanjut di Karang
Werda Ngudi Mukti Kelurahan
Kartoharjo, Kecamatan Nganjuk,
Kabupaten Nganjuk. Skripsi tidak
diterbitkan, (Online), (http://
skripsistikes.wordpress.com, diakses
tanggal 20 Februari 2011) ; 2009.
Pramayanthi, Dewi. Pengaruh Terapi
Tertawa terhadap Tingkat Depresi
Ringan pada lanjut Usia di PSTW
Wana Seraya Denpasar. Skripsi tidak
diterbitkan. Denpasar: Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas

IDM Ruspawan dan NM Desi Wulandari (Pengaruh pemberian terapi...)

13.
14.

15.

Kedokteran Universitas Udayana ;


2010.
Pramita, Yessy Widodo. Pengaruh
Terapi Tertawa terhadap Penurunan
Tingkat Kecemasan pada Siswa Kelas
3 Menjelang Ujian Akhir (UAN) di
SMAN 4 Purwokerto. Skripsi tidak
diterbitkan. Purwokerto: PSIK
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto (http://perpus.unsoed
.ac.id, diakses tanggal 18 Februari
2011) ; 2010.
Subandi, (Ed). Psikoterapi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset ;
2002.

16.

17.

Fahruliana. Pengaruh Pemberian terapi


Humor Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Pada Narapidana
Menjelang Masa Pembebasan di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas IIA Malang. Skrispsi tidak
diterbitkan. Fakultas Fisikologi,
Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang,
(Online) (http://lib.uin-malang.ac.id,
diakses tanggal 18 Februari 2011 ;
2011
Guyton, Arthur and Hall,John. Buku
Ajar Fisiologi Ledokteran. Terjemahan
Oleh Irawati Setiawan. 2002. Jakarta:
EGC ; 2002.

PENGARUH PELAKSANAAN KELAS ANTENATAL TERHADAP


PERILAKU IBU HAMIL
NW Ariyani1, NN Suindri2, NN Budiani3
Abstract. Every pregnancy is a life event that has great significance. The Body
changes that are so much and was relatively brief stressful for parents. Antenatal
classes are a model study for parents. Its activities are learning together about
healthcare for pregnant women, in the form of face to face which aims to increase
knowledge and skills of mothers about pregnancy, prenatal care, childbirth,
postpartum care, infant care, infectious diseases and birth certificate. Is to determine
the effect of the implementation of antenatal classes on behavior of pregnant women.
The aim of this study was to investigate the effects of the antenatal classes on behavior
(knowledge, attitudes and actions) of pregnant women. This study used an Quasiexperimental with non-randomized control group pretest-postest design.
Experimental groups are pregnant women who follow antenatal classes, the control
group are pregnant women who followed the health service comvensional. Inclusion
criteria: primigravida pregnant women gestational age 20-32 weeks, willing to follow
a course (for the experimental group). Sampling techniques in the study were
consecutive sampling. Data analysis begins by conducting a test for normality with
Shapiro-Wilk test (p:> 0.05) because the data are not normally distributed, to analyze
the differences in behavior between the experimental group with the control group
the Mann Whitney (p; <0.05)
Respondents were 35 people in the treatment group and 38 people in the control
group. The analysis showed that there were highly significant differences in changes
in knowledge (p: 0.000), attitude (p: 0.000), and action (p: 0.000) between treatment
groups (pregnant women who follow antenatal classes) with the control group
(pregnant women who follow antenatal care in Conventional). The treatment of the
course affected the behavior (knowledge, attitudes and actions) of pregnant women.
Activity classes are considered as one of the methods of health counseling in pregnant
women.
Keywords: antenatal classes, pregnancy, behavioral
Kematian dan kesakitan ibu hamil, bersalin
dan nifas masih merupakan masalah besar
negara berkembang termasuk Indonesia. Di
negara miskin, sekitar 25-50% kematian
wanita usia subur disebabkan oleh masalah
yang berkaitan dengan kehamilan dan
persalinan, dan nifas. Berdasarkan hasil SDKI
2007 derajat kesehatan ibu dan anak di
Indonesia masih perlu ditingkatkan, ditandai
oleh Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 228/
100.000 Kelahiran Hidup1.
1,2,3
10

Derajat kesehatan seseorang banyak


ditentukan oleh pengetahuan, sikap dan
perilaku hidupnya. Penyebab tingginya angka
kematian ibu dan bayi di Indonesia juga
diwarnai oleh sebab sebab non teknis seperti
taraf pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu
hamil yang masih rendah. Pengetahuan
merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan. Seseorang
yang memiliki pengetahuan yang baik tentang
sesuatu hal, maka ia akan cenderung
mengambil keputusan yang lebih tepat

Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar

Ariyani, Suindri, Budiani (Pengaruh pelaksanaan kelas...)

berkaitan dengan masalah tersebut


dibandingkan dengan mereka yang
pengetahuannya rendah2.
Setiap kehamilan adalah peristiwa kehidupan
yang mempunyai makna besar. Perubahan
perubahan yang yang begitu banyak dan
terjadi relatif singkat menimbulkan stres bagi
calon orang tua. Calon orang tua datang ke
petugas kesehatan, untuk bisa menjawab
berbagai pertanyaan tentang perubahan yang
terjadi3.
Dewasa ini penyuluhan kesehatan Ibu dan
Anak pada umumnya masih banyak dilakukan
melalui konsultasi perorangan atau kasus per
kasus yang diberikan pada waktu ibu
memeriksakan kandungan atau pada waktu
kegiatan posyandu. Kegiatan penyuluhan
semacam ini bermanfaat untuk menangani
kasus per kasus namun memiliki kelemahan
antara lain: 1) Pengetahuan yang diperoleh
hanya terbatas pada masalah kesehatan yang
dialami saat konsultasi; 2) Penyuluhan yang
diberikan tidak terkoordinir sehingga ilmu
yang diberikan kepada ibu hanyalah
pengetahuan yang dimiliki oleh petugas saja;
3) Tidak ada rencana kerja sehingga tidak ada
pemantauan atau pembinaan secara lintas
sektor dan lintas program, 4) Pelaksanaan
penyuluhan tidak terjadwal dan tidak
berkesinambungan1.
Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Japan
International Cooperation Agency (JICA)
bekerja sama dengan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia pada tahun
2008 di daerah Nusa Tenggara Barat
menemukan terdapat peningkatan
pengetahuan sikap dan perilaku positip dalam
menghadapi kehamilan, persalinan dan masa
nifas pada ibu hamil yang mengikuti kelas
antenatal.(1)
Kelas antenatal adalah model belajar untuk
calon orang tua yang baru mulai
disosialisasikan di Indonesia. Kegiatannya
adalah belajar bersama tentang kesehatan
bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka yang
bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan ibu-ibu mengenai kehamilan,

perawatan kehamilan, persalinan, perawatan


nifas, perawatan bayi, mitos, penyakit menular
dan akte kelahiran. Kelas antenatal adalah
kelompok belajar ibu-ibu hamil dengan umur
kehamilan antara 20 minggu s/d 32 minggu
dengan jumlah peserta maksimal 10 orang3.
Untuk mengetahui efektivitas pendidikan
kesehatan pada ibu hamil maka perlu diteliti
tentang pengaruh pelaksanaan kelas antenatal
terhadap perilaku ibu hamil. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pelaksanaan kelas antenatal terhadap
perilaku ibu hamil.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain Quasi
eksperimen non-randomized pretestpostest control group design. Alasan
penggunaan desain ini adalah peneliti tidak
melakukan randomisasi dalam menentukan
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas dan
Bidan Praktik Swasta (BPS) di Wilayah Kota
Denpasar, Gianyar, dan Badung yang memiliki
angka kunjungan ibu hamil usia kehamilan "
20 minggu sebanyak 10pasien/bulan.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
ibu hamil usia kehamilan 20 minggu keatas
yang mendapatkan pelayanan antenatal di
Puskesmas dan BPS di Wilayah Kota
Denpasar, Gianyar, dan Badung mulai bulan
Juli sampai dengan bulan September 2011.
Sampel penelitian adalah semua ibu hamil
yang mendapatkan pelayanan antenatal di
Puskesmas dan BPS di Wilayah Kota
Denpasar, Gianyar, dan Badung mulai bulan
Juli sampai dengan bulan September 2011
dengan kriteria inklusi sebagai berikut: Ibu
hamil primigravida yang bersedia menjadi
subjek penelitian, tingkat pendidikan minimal
lulus SMP, usia kehamilan 20 - 32 minggu,
bersedia mengikuti kelas antenatal (untuk
kelompok eksperimen), bersedia mendapatkan pelayanan antenatal secara teratur
sebanyak 3 kali ( untuk kelompok kontrol ).
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah
consecutive sampling.
11

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 10 - 15

Penelitian dilaksanakan sampai jumlah sampel


minimal yang memenuhi kriteria inklusi
terpenuhi4. Semua data (pengetahuan, sikap
dan tindakan ibu hamil) diperoleh melalui
pengisian kuesioner. Sebelum pelaksanaan
penelitian dilakukan uji coba kuesioner
pengetahuan dan sikap ibu hamil di BPS pada
30 orang ibu hamil. Hasil analisis
menunjukkan selurus item pertanyaan reliabel
dan valid.
Proses analisis data diawali dengan melakukan
uji normalitas dengan uji Uji Shapiro-Wilk
(p; >0,05). Hasil uji normalitas data
menunjukkan semua data tidak berdistribusi
normal, untuk menganalisis perbedaan
perilaku antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol menggunakan uji Mann
Whitney ( p; <0,05).
Hasil Dan Pembahasan
Penelitian dilaksanakan di Bidan Praktik
Swasta (BPS) di Wilayah Kota Denpasar,
Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung
serta Pos Praktik Poltekkes Denpasar.
Persyaratan utama lokasi penelitian, yaitu
yang memiliki kunjungan ibu hamil usia
kehamilan 20 minggu ke atas lebih dari 10
orang per bulan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut , maka dipilih BPS G.A Widiasih,
A.Md keb di Wilayah Gianyar, BPS Ni
Nyoman Indahwati, A.Md.Keb di Wilayah
Badung, dan BPS Ayu Indiyani di Wilayah
Denpasar. Perlakuan dilakukan di dua tempat,
yaitu BPS G.A. Widiasih dan Pos praktik
Poltekes Denpasar. BPS G.A. Widiasih sudah
melaksanakan kegiatan senam hamil setiap
minggu, dari pukul 09.00 sampai selesai
dengan peserta senam 15 s.d. 20 orang. BPS
Made Ayu Indiyani dan BPS Ni Nyoman
Indahwati dijadikan sebagai lokasi penelitian
untuk kelompok kontrol. Rata rata
kunjungan ibu hamil di dua BPS tersebut lebih
dari 30 orang per bulan.
Jumlah responden yang diperoleh selama
proses penelitian adalah 40 orang untuk
perlakuan, drop out lima orang karena tidak
mengikuti kegiatan kelas antenatal secara
12

penuh. Kelompok kontrol diperoleh sebanyak


40 orang, drop out dua orang karena tidak
melaksanakan antenatal sebanyak 3 kali
selama periode penelitian. Sampai akhir
penelitian diperoleh responden sebanyak 35
orang untuk kelompok perlakuan dan 38
orang untuk kelompok kontrol4.
Deskripsi pengetahuan, sikap dan
tindakan kelompok perlakuan (ibu
hamil yang mengikuti kelas antenatal)
Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan
sebelum dan sesudah mengikuti kelas
antenatal diuraikan pada tabel 1.
Tabel 1
Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan
kelompok perlakuan
Variabel
Pengetahuan Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sikap
Sesudah
Sebelum
Tindakan
Sesudah

Median
46
88
58
75
64
86

Min
43
80
50
71
57
79

Max
52
93
74
84
79
100

IQR
3
9
8
9
14
7

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada pada


variabel pengetahuan, sikap dan tindakan
kelompok perlakuan terdapat peningkatan
nilai median, nilai minimum, dan nilai maximum
antara sebelum dengan sesudah perlakuan.
Hasil penelitian ini menunjukkan pada variabel
pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok
perlakuan terdapat peningkatan nilai median,
nilai minimum, dan nilai maximum antara
sebelum dengan sesudah perlakuan.
Perlakuan yang diberikan berupa kelas
antenatal. Responden mengikuti pertemuan
kelas antenatal sebanyak tiga kali,
memperoleh informasi tentang kehamilan,
persalinan, nifas, bayi, dan keluarga
berencana. Informasi yang diperoleh selama
mengikuti kelas antenatal meningkatkan
kemampuan responden. Kelebihan dari
metode kelas antenatal yaitu, petugas dituntut
untuk lebih menguasai materi yang akan
disampaikan saat kegiatan kelas antenatal.
Dampaknya adalah, informasi yang
disampaikan lebih lengkap dan akurat1.

Ariyani, Suindri, Budiani (Pengaruh pelaksanaan kelas...)

Deskripsi pengetahuan, sikap dan


tindakan kelompok kontrol (ibu hamil
yang mengikuti antenatal secara
kompensional)
Deskripsi skor pengetahuan, sikap dan
tindakan sebelum dan sesudah mengikuti kelas
antenatal diuraikan pada tabel 2.
Tabel 2
Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan
kelompok kontrol
Variabel
Pengetahuan Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sikap
Sesudah
Tindakan
Sebelum
Sesudah

Median
46
68
58
71
71
79

Min
38
59
50
67
57
64

Max
59
75
63
79
79
86

IQR
3
3,5
8
4,3
8,8
8

Pada tabel dua terlihat bahwa pada pada


variabel pengetahuan, sikap dan tindakan
kelompok kontrol terdapat peningkatan nilai
median, nilai minimum, dan nilai maximum
sebelum dengan sesudah mengikuti antenatal
care secara kompensional
Hasil penelitian ini menunjukkan pada variabel
pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok
kontrol terdapat peningkatan nilai median, nilai
minimum, dan nilai maximum sebelum dengan
sesudah mengikuti antenatal care secara
kompensional Kegiatan antenatal care
dilaksanakan kasus per kasus (individual).
Selama periode penelitian responden harus
mengikuti tiga kali antenatal care.
Pendekatan asuhan yang dilaksanakan
dengan menggunakan manajemen Varney.
Mulai dari mengkaji data dasar,
menginterpretasi data dasar, merencanakan
asuhan, melaksanakan dan mengevaluasi
tindakan5. Pendekatan yang dilaksanakan
kasus per kasus dengan menggunakan
manajemen asuhan memberikan perubahan
kemampuan pengetahuan, sikap dan tindakan
responden. Peningkatan pengetahuan, sikap
dan tindakan pada kelompok kontrol tampak
lebih kecil dari kelompok perlakuan.
Kelemahan dari pendekatan kasus per kasus,
yaitu kesiapan petugas dalam memberikan

pendidikan kesehatan untuk menangani


masalah masalah yang dihadapi ibu hamil
kurang optimal. Kondisi tersebut terjadi
karena permasalahan yang dihadapi setiap ibu
hamil berbeda dan sangat beragam, sehingga
tidak semua masalah bisa diatasi petugas1.
Pengaruh pelaksanaan kelas antenatal
Terhadap Perilaku ibu hamil.
Berikut diuraikan tentang pengaruh
pelaksanaan kelas antenatal terhadap
perilaku ibu hamil, dinilai dari perbedaan
pengetahuan, sikap, dan tindakan. Tabel 3
memaparkan tentang perbedaan pengetahuan,
sikap dan tindakan antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan
sesudah perlakuan.
Tabel 3
Hasil uji perbedaan kelompok perlakuan dan
kontrol sebelum dan sesudah perlakuan

Variabel
Pengetahuan
Sikap
Tindakan

Sebelum
Sesudah
Statistik p Statistik p
595,0 0,422 0,00 0,00
566,5 0,235 210,00 0,00
599,5 0,440 77,50 0,00

Pada Tabel 3 terlihat, tidak terdapat


perbedaan pengetahuan (p; 0,422), sikap (p;
0,235), dan tindakan (p; 0,44) antara
kelmpok perlakuan dengan kelompok kontrol
sebelum mendapat perlakuan. Setelah
mendapat perlakuan terdapat perbedaan yang
signifikan, yaitu pada variabel pengetahuan (p;
0,000), sikap (p; 0,000), tindakan (p; 0,000),
antara kelompok perlakuan dengan
kelompok kontrol.
Pengaruh perlakuan (kelas antenatal)
terhadap perilaku ibu hamil dilihat dari hasil
analisis perbedaan perubahan pengetahuan,
sikap dan tindakan antara kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol. Hasil
analisis menunjukkan terdapat perbedaan
perubahan pengetahuan yang sangat
bermakna (p; 0,000), sikap (p; 0,000), dan
tindakan (p;0,000), antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol.
13

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 10 - 15

Hal tersebut berarti pelaksanaan kelas


antenatal berpengaruh terhadap perilaku
(pengetahuan, sikap, dan tindakan) ibu hamil.
Perubahan pada kelompok perlakuan lebih
besar dari kelompok kontrol. Hasil penelitian
ini menunjukkan pelaksanaan kelas antenatal
memberikan dampak perilaku yang lebih baik
dari pada kegiatan antenatal care yang
dilaksanakan kasus per kasus. Hasil penelitian
ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilaksanakan oleh Reece di Sydney Hospital
tahun 1992, menunjukkan bahwa kegiatan
kelas antenatal memberikan perilaku yang
lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan
antenatal care yang kompensional6. Hasil
penelitian yang dilaksanakan oleh Japan
International Cooperation Agency (JICA)
bekerja sama Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 2008 di
daerah Nusa Tenggara Barat menemukan
terdapat peningkatan pengetahuan sikap dan
perilaku positip dalam menghadapi
kehamilan, persalinan dan masa nifas pada ibu
hamil yang mengikuti kelas antenatal1.
Kegiatan Kelas antenatal merupakan sarana
untuk belajar bersama tentang kesehatan bagi
ibu hamil, dalam bentuk tatap muka yang
bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan ibu-ibu mengenai kehamilan,
perawatan kehamilan, persalinan, perawatan
nifas, perawatan bayi, mitos, penyakit menular
dan akte kelahiran1. Kelas antenatal adalah
kelompok belajar ibu ibu hamil dengan umur
kehamilan antara 20 minggu sampai dengan
32 minggu dengan jumlah peserta maksimal
10 orang. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia dan JICA (2009) menyatakan kelas
antenatal dilakukan dengan anggota
beberapa ibu hamil dibawah bimbingan satu
atau beberapa fasilitator (pengajar) dengan
memakai paket kelas antenatal yaitu flip
chart (lembar balik), pedoman pelaksanaan
kelas antenatal, pegangan fasilitator kelas
antenatal, buku KIA, dan CD serta senam
ibu hamil1.
Pelaksanaan kelas antenatal memberikan
banyak manfaat, Bagi ibu hamil dan
14

keluarganya : 1) Agar ibu mengerti tentang


kelas ibu hamil; 2) Agar ibu bisa
mengaplikasikan informasi maupun
pegetahuan yang berkaitan dengan proses
kehamilan hingga persalinannya ke dalam
kehidupan sehari-hari; 3) Menambah
wawasan keluarga tentang kelas ibu hamil; 4)
Merupakan sarana untuk mendapatkan
teman, bertanya, memperoleh informasi
penting yang harus dipraktikkan; 5)
Membantu ibu dalam menghadapi persalinan
dengan aman dan nyaman.
Bagi petugas kesehatan, kegiatan kelas
antenatal menuntut petugas lebih mendalami
pengetahuan tentang kesehatan ibu hamil dan
keluarganya serta dapat menjalin hubungan
yang lebih erat dengan ibu hamil serta
keluarganya dan masyarakat. Kegiatan kelas
antenatal memberikan kesempatan lebih luas
pada ibu hamil untuk memperoleh informasi
baik dari petugas kesehatan maupun dari
sesama anggota kelas antenatal. Dampaknya
adalah peningkatan pengetahuan tentang
kehamilan, persalinan, nifas, bayi dan KB.
Peningkatan pengetahuan berdampak pada
sikap ibu hamil. (1,8) Menurut Widayatun
(1999) ada dua faktor yang mempengaruhi
sikap yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrisik meliputi kepribadian,
intelegensi, bakat, minat, perasaan, kebutuhan
serta motivasi seseorang, sedangkan faktor
ekstrinsik antara lain lingkungan, pendidikan,
ideologi, ekonomi, politik, dan hukum.
Pengetahuan dan sikap akhirnya
mempengaruhi tindakan ibu hamil untuk
mempersiapkan menghadapi persalinan, masa
nifas, bayi dan pemilihan alat kontrasepsi.
Kesimpulan dan saran
Terdapat pengaruh pelaksanaan kelas
antenatal terhadap perilaku (pengetahuan
dan sikap, tentang kehamilan, persalinan,
nifas, bayi baru lahir dan kontrasepsi serta
tindakan persiapan persalinan) ibu hamil.
Kepada praktisi kebidanan, hasil penelitian
ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
melaksanakan kegiatan kelas antenatal.

Ariyani, Suindri, Budiani (Pengaruh pelaksanaan kelas...)

Daftar pustaka
1.

2.

3.

4.

5.

Depkes RI dan JICA. Pedoman


Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2009
Notoatmodjo. Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta.Rineka Cipta.
2007
Scott J. Leading Antenatal Class : A
Practical Guide,2 edition. Singapura.
Elsevier. 2008
Dahlan MS. Besar Sampel Dalam
Penelitian Kedokteran. Jakarta.
Salemba Medika. 2005
Varney H. Varneys Midwifery. USA.
John and Bartlett Publisher. 2007

6.

7.

8.

Turan JM. & Lalesay. Comunity


based antenatal education in Istambul,
Turkey: Efects on Health Behaviours.
Health, Policy and Planing Journal 18
(4). Oxford University Press. 2003.
Yuniarti. Kebidanan Kelas Antenatal.
(Online), Available yoenyuni
ati.Blogspot.com/2011/2/Kelas
antenatal.html. 2011. ( diakses tgl 12
Februri 2011).
Nakamura Y. Materi Presentasi The
Third Country Training Program (
TCTP) dan Inter Country Training
Program ( MCTP), di Jawa Timur, dan
Sumatera Barat. 2009

15

ASTAXANTHIN ORAL MEMPERTAHANKAN JUMLAH SEL


SPERMATOGENIK MENCIT YANG MENGALAMI
AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Ni Ketut Somoyani1
Abstract. Fertility is one of important thing in determining a persons survival.
Fertility can be impaired when in the body presence quite a lot of free radicals.
Astaxanthin is able to break the chain of free radical reactive oxygen in cell membrane
to prevent lipid peroxidation. This study was aimed at determining the effect of
astaxanthin in the number of spermatogenic cells of mice (Mus musculus) induced
by physical overtraining. This was a true experimental study with pre-test and posttest control group design. The samples of this study were strain Balb-C adult male
mice. Randomly, 32 mice were divided into two groups, 16 mice were used for control
group ( P0=the group was given physical overtraining and glyserin), and 16 mice
were used for treatment group (P1=the group was given physical overtraining and
astaxanthin 0,01 mg which was dissolved in glyserin). The rests of the mice were
used for post-test examination after 35 days treatment. On the 36th day, all the rest
mice were necropsied for microscopic testicle preparation. Data were analyzed by
independent sample t-test. The result showed that there was a significant difference
in the number of spermatogenic cells (p<0,05) after astaxanthin treatment. It can
be concluded that astaxanthin increase the number of spermatogenic cells of mice
induced by physical overtraining. The result of this study is expected to be used as a
baseline of further study to test influence of astaxanthin on the function of the
other reproduction organ like the function of tubulus seminiferus, Leydig cells, and
level of testosterone hormon.
Keywords : Astaxanthin, pyisical overtraining, spermatogenic cels.
Setiap pasangan (laki-laki dan perempuan)
mengharapkan dapat hidup secara normal dan
memiliki keturunan untuk kelangsungan
hidupnya. Kesuburan atau fertilitas
merupakan hal yang penting dalam
menentukan kelangsungan hidup manusia.
Kesuburan atau fertilitas pasangan dapat
dinilai dari jumlah dan kualitas spermatozoa
pada pria dan sel telur (ovum) pada wanita.
Pada pria, proses spermatogenesis dimulai
pada usia pubertas yang kemudian mengalami
penurunan seiring bertambahnya usia. Proses
terbentuknya sel spermatogenik melalui tiga
fase yaitu spermatositogenesis, miosis, dan
spermiosis. Semua proses tersebut
berlangsung pada epitel tubulus seminiferus1.
Spermatogenesis dapat dipengaruhi oleh
1
16

beberapa faktor yang dikelompokkan


menjadi dua yaitu faktor internal dan
eksternal. Salah satu faktor tersebut adalh
terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh2.
Olah raga dengan intensitas tinggi dan durasi
lama terbukti dapat menimbulkan kerusakan
sel. Aktivitas fisik maksimal juga dapat
menyebabkan terjadinya penurunan jumlah
dan motilitas spermatozoa3.
Penelitian tentang pelatihan fisik berlebih (stres
fisik) yang disertai dengan penurunan kualitas
spermatozoa menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan Reactive Oxygen Species
(ROS) dalam seminal plasma dan penurunan
perlindungan oleh antioksidan. Sitoplasma sel
spermatogenik mengandung sejumlah kecil
scavenging enzyme, namun enzim antiok-

Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar

Somoyani (Astaxanthin oral mempertahankan...)

sidan intrasel ini tidak mampu melindungi


membran plasma yang melingkupi akrosom
dan ekor spermatozoa dari serangan radikal
bebas. Pada aktivitas maksimal jumlah
antioksidan tidak mampu menetralisir radikal
bebas, akibatnya muncul stres oksidatif. Stres
oksidatif dapat menyebabkan kerusakan
jaringan testis terutama tubulus seminiferus(4)
Antioksidan diyakini dapat melindungi
biomolekul terhadap stres oksidatif.
Astaxanthin merupakan salah satu pigmen
karotenoid (seperti beta karoten), yang
diekstraksi dari strain mikroalga tropis yang
disebut Haematococcus pluvialis. Penelitian
yang dilakukan oleh Wood dan Yamasitha
(2009), menyimpulkan bahwa Astaxanthin
adalah antioksidan kuat, bersifat alami dan
memiliki elektron untuk menetralkan radikal
bebas5. Penelitian terhadap 30 pria infertil
yang terpapar radikal bebas dan diberikan 16
mg Astaxanthin setiap hari selama 3 bulan
menunjukkan terjadi peningkatan angka
kehamilan sebesar 54,5%, dan pada
kelompok yang diberikan plasebo sebesar
10,5%6. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh pemberian Astaxanthin
oral dalam mempertahankan jumlah sel
spermatogenik mencit yang mengalami
aktivitas fisik maksimal.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan menggunakan pretestpostest control group design (7), dimana
pengelompokan subyek dilakukan secara
acak sederhana. Subyek dibagi atas dua
kelompok, yaitu; kelompok I (Kontrol)
diinduksi aktivitas fisik maksimal setelah itu
diberikan plasebo(gliserin 0,5 ml). Kelompok
II diinduksi aktivitas fisik maksimal lalu
diberikan staxanthin oral 0,01 mg dalam
larutan gliserin 0,5 ml. Perlakuan dilakukan
selama 35 hari. Sebelum perlakuan dilakukan
pemeriksaan sel spermatogenik (pre-test),
dan sesudah perlakuan (hari ke-36) dilakukan
pemeriksaan sel spermatogenik (post-test).
Kemudian dihitung rerata sel spermatogenik

pre-test dan post-test pada masing-masing


kelompok kemudian diuji secara statistik.
Penelitian ini dilakukan di Laboratory
Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana, dan
pemeriksaan histopatologi dikerjakan di
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Juni
2011. Sampel dalam penelitian ini adalah
mencit jantan dewasa yang memenuhi kriteria
inklusi;berat badan 20-22 gram,umur 2 3
bulan, sehat, satu hibrid, Galur Balb-C. Besar
sampel sebanyak 16 ekor mencit pada
masing-masing kelompok, sehingga secara
keseluruhan berjumlah 32 ekor.
Data yang dikumpulkan meliputi; sel
spermatogonium A, spermatosit pakhiten,
spermatid 7, dan spermatid 16. Data pre-test
dan post-test yang telah diperoleh kemudian
dianalisis dengan program SPSS. Analisis
data dimulai dari analisis deskriptif, uji
normalitas data dengan Shapiro-Wilk ,
didapatkan data berdistribusi normal dengan
nilai p>0,05. Sedangkan uji homogenenitas
dengan Levenes test dan data homogen
dengan nilai p>0,05. Untuk mengetahui
perbedaan rerata jumlah sel spermatogenik
antar kelompok digunakan uji t-independent.
Sedangkan analisis perbandingan pre-test
kelompok kontrol dengan post-test kelompok
kontrol, dan pre-test kelompok perlakuan
dengan post-test kelompok perlakuan
digunakan uji Paired T-test. Analisis data
menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau
dinyatakan berbeda bila p< 0,05.
Hasil Penelitian
Data jumlah rerata sel spermatogenik dari
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
terlihat pada tabel 1.

17

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 16 - 21


Tabel 1
Jumlah rerata spermatogenik kelompok perlakuan
dan kontrol sebelum dan sesudah perlakuan

Sel Spermatogenik
Spermatogonium A
Spermatosit Pakhiten
Spermatid 7
Spermatid 16

Kelompok
Kontrol
Perlakuan
Pre- Post- Pre- Post38,13 27,18 38,25 39,40
41,00 29,73 40,75 41,03
26,88 18,93 27,88 26,45
31,75 26,53 30.88 31,38

Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok


kontrol mengalami penurunan jumlah sel-sel
spermatogenik, sedangkan pada kelompok
perlakuan terjadi peningkatan jumlah sel-sel
spermatogenik. Hasil uji Shapiro-Wilk
terhadap data jumlah sel Spermatogonium A,
Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan
Spermatid 16 baik sebelum dan sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok
menunjukkan data berdistribusi normal
(p>0,05).
Uji Beda Rerata Sel Spermatogenik
Sebelum Perlakuan
Untuk membandingkan rerata Sel
spermatogenik antar kelompok sebelum
diberikan perlakuan digunakan uji tindependent. Hasil selengkapnya seperti
pada tabel 2.
Tabel 2
Rerata spermatogenik antar kelompok sebelum perlakuan
Sel Spermatogenik
Kelompok
Spermatogonium A Kontrol
Astaxanthin
Spermatosit Pakhiten Kontrol
Astaxanthin
Spermatid 7
Kontrol
Astaxanthin
Spermatid 16
Kontrol
Astaxanthin

N
8
8
8
8
8
8
8
8

Rerata
38,13
38,25
41,00
40,75
26,88
27,88
31,75
30,88

SB
1,96
1,28
2,00
1,67
2,64
1,64
3,69
2,95

0,151 0,882
0,271 0,79
0,909 0,379
0,524 0,609

Tabel 2, menunjukkan bahwa rerata


Spermatogonium A sebelum perlakuan pada
kelompok kontrol adalah 38,13 dengan
Simpangan Baku(SB) 1,96, rerata
kelompok Astaxanthin adalah 38,25 dengan
SB1,28. Rerata Spermatosit Pakhiten
kelompok kontrol adalah 41,00 dengan SB
2,00, rerata kelompok Astaxanthin adalah
18

40,75 dengan SB1,67. Rerata Spermatid 7


kelompok kontrol adalah 26,88 dengan SB
2,64, rerata kelompok Astaxanthin adalah
27,881,64. Rerata Spermatid 16 kelompok
kontrol adalah 31,75 dengan SB 3,69,
rerata kelompok Astaxanthin adalah 30,88
dengan SB 2,95. Analisis kemaknaan
dengan uji t-independent menunjukkan
bahwa sebelum diberikan perlakuan tidak
terdapat perbedaan pada kedua kelompok
(p > 0,05).
Analisis Efek Perlakuan
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan
rerata Sel Spermatogenik antar kelompok
sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis
kemaknaan dengan uji t-independent
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Rerata spermatogenik antar kelompok sesudah perlakuan
Sel Spermatogenik
Kelompok
Spermatogonium A Kontrol
Astaxanthin
Spermatosit Pakhiten Kontrol
Astaxanthin
Kontrol
Spermatid 7
Astaxanthin
Spermatid 16
Kontrol
Astaxanthin

N
8
8
8
8
8
8
8
8

Rerata
27,18
39,40
29,73
41,03
18,93
26,45
26,53
31,38

SB
2,11
2,75
1,56
1,61
1,92
1,52
1,59
2,54

9,98 0,00
14,26 0,00
8,70 0,00
4,58 0,00

Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata Sel


spermatogenik setelah diberikan perlakuan
berupa Astaxanthin, didapatkan rerata
Spermatogonium A kelompok kontrol adalah
27,18 dengan SB 2,11, rerata kelompok
Astaxanthin adalah 39,40 dengan SB 2,75.
Rerata Spermatosit Pakhiten kelompok
kontrol adalah 29,73 dengan SB 1,56,
rerata kelompok Astaxanthin adalah 41,03
dengan SB 1,61. Rerata Spermatid 7
kelompok kontrol adalah 18,93 dengan SB
1,92, rerata kelompok Astaxanthin adalah
26,45 dengan SB 1,52. Rerata Spermatid
16 kelompok kontrol adalah 26,53 dengan
SB 1,59, rerata kelompok Astaxanthin
adalah 31,382,54. Analisis kemaknaan
dengan uji t-independent didapatkan bahwa
kedua kelompok berbeda secara bermakna
(p < 0,05).

Somoyani (Astaxanthin oral mempertahankan...)

Uji Paired T-Test Kelompok Penelitian


Kelompok kontrol
Analisis Paired T-test dilakukan untuk
mengetahui perbedaan rata-rata antara
kelompok pre-test dengan post-test. Hasil
analisis kemaknaan dengan Paired T-test dari
data sel-sel spermatogenik sebelum dan
sesudah perlakuan pada kelompok kontrol
berbeda bermakna (p< 0,05), seperti pada
Tabel 4.
Tabel 4
Uji Paired t-test kelompok kontrol sebelum dan sesudah
perlakuan
Pair Pre-Post-Test
Kontrol
Spermatogonium A
Spermatosit Pakhiten
Spermatid 7
Spermatid 16

Perbedaan
Mean SD
1,09 2,22
1,13 1,78
7,95 2,41
5,23 4,32

T
13,959
17,893
9,316
3,419

Df

7 0
7 0
7 0
7 0,011

Kelompok Perlakuan
Analisis Paired T-test dilakukan untuk
mengetahui rata-rata antara kelompok pretest dan post-test. Hasil analisis kemaknaan
dengan Paired T-test dari data sel-sel
spermatogenik sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok perlakuan tidak
berbeda bermakna (p> 0,05).
Tabel 5
Uji Paired t-test kelompok perlakuan sebelum dan
sesudah perlakuan
Pair Pre-Post-Test
Kontrol
Spermatogonium A
Spermatosit Pakhiten
Spermatid 7
Spermatid 16

Perbedaan
Mean SD
-1,15 3,38
-0,28 0,67
1,43 1,47
-0,50 1,42

Df

-0,962
-1,166
2,725
0,997

7
7
7
7

0,368
0,282
0,055
0,352

Pembahasan
Terjadinya penurunan Spermatogonium A,
Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan
Spermatid 16 setelah mencit mengalami
aktivitas fisik maksimal disebabkan karena
aktivitas dengan intensitas tinggi dan durasi
lama dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan sel. Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Sutarina dan Edward

(2004) yang menyatakan bahwa olah raga


dengan intensitas tinggi dan durasi lama
terbukti dapat menimbulkan kerusakan sel.
Di samping itu, penelitian yang dilakukan pada
tikus yang diberikan beban kerja aktivitas fisik
(swimming stress) dengan beban ekor 2%
dari berat badan tikus menunjukkan adanya
peningkatan kadar Malondialdehide (MDA)
yang bermakna dibandingkan dengan
kelompok yang tidak diberikan beban kerja
aktivitas fisik8. Senyawa MDA menyebabkan
kerusakan membran spermatozoa dan
penurunan integritas membran spermatozoa
sehingga akan terjadi penurunan kualitas
spermatozoa9
Radikal bebas menyebabkan kerusakan selsel spermatogenik melalui mekanisme
peroksidasi komponen lipid dari membran sel.
Kerentanan spermatozoa dari proses lipid
peroksidasi karena struktur dari membran sel
spermatozoa sangat tinggi kandungan asam
lemak tak jenuh khususnya Docosahexaenoic yang penting dalam mengatur
proses spermatogenesis dan fluiditas
membran. Peroksidasi dari asam lemak tak
jenuh yang terjadi pada membran sel
spermatozoa adalah reaksi self-propagation,
yang dapat meningkatkan disfungsi sel akibat
hilangnya fungsi dan integritas membran(10) .
Penurunan sel-sel spermatogenik ini
disebabkan oleh degenerasi maupun
kerusakan sel-sel spermatogenik yang
disebabkan oleh adanya radikal bebas yang
terbentuk dari aktivitas fisik maksimal yang
dialami oleh hewan coba11. Stres oksidatif
akibat aktivitas fisik maksimal pada
spermatozoa akan menyebabkan gangguan
pada proses oksidasi fosforilasi sehingga
terjadi peningkatan produksi ROS
spermatozoa. Peningkatan ROS ini dapat juga
disebabkan karena antioksidan yang tersedia
dalam sperma tidak mampu lagi mengubah
oksigen reaktif menjadi senyawa yang netral9.
Rerata jumlah sel spermatogenik sesudah
perlakuan dengan pemberian Astaxanthin oral
0,01 mg setiap hari pada mencit yang
mengalami aktivitas fisik maksimal,
19

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 16 - 21

menunjukkan tidak ada perbedaan secara


bermakna dengan nilai p>0,05. Hasil ini
menunjukkan bahwa, pemberian Astaxanthin
oral dapat mempertahankan jumlah sel
spermatogenik mencit yang mengalami
aktivitas fisik maksimal. Hal tersebut
disebabkan karena Astaxhantin merupakan
salah satu pigmen karotenoid (seperti beta
karotin) yang memiliki gugus radikal yang
mampu melindungi tubuh terhadap proses
peroksidasi lipid dan kerusakan sel yang
diakibatkan oleh proses-proses oksidasi pada
membran sel dalam jaringan tubuh (12) .
Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam
mencerna radikal bebas dan memberikan
perlindungan melawan peroksidasi lemak dan
mencegah kerusakan membran sel dan
jaringan (13,14). Astaxanthin menetralkan singlet
oksigen melalui mekanisme fisik, dimana
energi yang berlebihan dari singlet oksigen
tersebut ditransfer ke struktur karotenoid
yang kaya akan elektron dan mengubah
energinya menjadi panas, sehingga tidak
terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi
dengan radikal lain untuk mencegah dan
menghentikan reaksi rantai. Astaxanthin
memiliki potensi menghambat terjadinya
singlet oksigen yang merupakan radikal
bebas, lebih besar dibandingkan karotenoid
lain dan vitamin E. Astaxanthin seperti vitamin
E merupakan antioksidan yang larut dalam
lemak, sehingga memungkinkan melewati
membran sel yang kaya lemak (12).
Kesimpulan dan saran
Pemberian Astaxanthin oral 0,01 mg setiap
hari selama 35 hari dapat mempertahankan
jumlah sel spermatogonium A, spermatosit
pakhiten, spermatid 7 dan spermatid 16
mencit yang mengalami aktivitas fisik
maksimal. Hal yang dapat disarankan dari hasil
penelitian ini adalah; perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh
Astaxanthin terhadap proses spermatogenesis
mencit yang terpapar oleh radikal bebas lain
dan terhadap kadar hormon LH, dan
testosteron.
20

Meskipun pada penelitian ini menunjukkan


bahwa pemberian Astaxanthin oral dapat
mempertahankan sel spermatogenik mencit,
namun perlu
mempertimbangkan
penggunaanya pada manusia.
Daftar Pustaka
1. Sadller, T.W. Embriologi Kedokteran
Langman. Edisi 10. Alih Bahasa: Brahm
U Pendit; Editor: Andita Novariani.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
p: 30-34. 2010.
2. Huhtaniemi, I.T.Endocrine Regulation Of
Male Reproduction. University of Turku.
Finland. 2009
3. Sutarina, N., Edward, T. Pemberian
Suplemen pada Olahraga. 2004.Majalah
GizMindo. Vol.3 No.9 September 2004.
4. Safarinejad, M.R., Amza, K., Kolahi, AA.
The Effect of Intensive Long-Term
Treadmill Running on Reproductive
Hormones, Hypothalamus-Pituitary-Testis
Axis, and Semen Quality: A Randomized
Controlled Study. 2009. Available at: http:/
/www.endocrinology.journals.org.
Accessed : Januari 2011.
5. Wood, V., Yamashita, E. Antioxidant
Symposium 2009: An Update on Clinical
Research. Jakarta. 2009. Available at:
http://blog.perriconemd.com/astaxanthinside-effects. Accessed Januari 2011
6. Comhaire, F.H., Garem, YR., Mahmoud.,
Eertmans., Schoonjans. Combined
Conventional/antiokxidantAstaxanthin
Treatment fopr Male Infertility: a double
blind, Randomized Trial. Asian Journal
Andrology(2005) 7, 257-262;doi:10.1111
/j.1745-7262.2005.00047.x. 2004.
Available at: http://www.nature.com/aja/
journal/v7/n3/abs/aja200549a.html.
accessed: Januari 2010.
7. Pocock, S.J. The Size of A Clinical Trial,
Clinical Trials, A Practical Approach, p
123-127. 2008.

Somoyani (Astaxanthin oral mempertahankan...)

8. Maslachah. Pengaruh Antioksidan


Probucal Terhadap kadar Malondi
aldehide (MDA) dalam Darah dan Jumlah
Circulating Endotel pada Tikus Putih Yang
menerima Stressor. 2008. Available from:
h t t p : / / a d l n . l i b . u n a i r. a c . i d /
go.php?id=jiptunar-gld-res-2001maslachah2c-435-probucal. Accessed:
Desember 2010.
9. Hayati, A., Mangkoewidjojo,S., Hinting,
A., and Moeljopawiro,S. Hubungan
Kadar MDA Sperma dengan Integritas
Membran Spermatozoa Tiklus Setelah
Pemaparan 2-Methoxyethanol. 2006.
Available
from:
http://www/
berk.penel.hayati/11. Accessed: April
2011.
10.Saleh, A. Oxidative Stress and Male
Infertility : From Research Bench to Clinical
Practice. 2002. Available at: http://www/
andrologyjournal. org/ci/content/full/23/6/
737. Accessed: April 2011.

11.Maneesh, M and Jayaleshmi, H. Role of


Reactive Oxygen Species and Antioxidant
on Pathophisiology of Male Reproduction.
2006. Indian Journal of Clinical
Biochemistry, 21 (2) 80-8
12.Winarsi, H.. Antioksidan Alami dan
Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan. Penerbit Kanisius.
Jakarta. 2007.
13.Goto, S., Kogure,K., Abe,K.,
Kitahama,K., Yamasitha, E., Terada,H..
Efficient Radical Trapping at Surface and
Inside The Phospholipid Membrane is
Responsible for Highly Potent
Antiperoxidative Activity of The
Carotenoid Astaxanthin. 2001.
Biochemica et Biophysica Acta. Vol
1512:251-258.
14.Suseela, M.R.., Toppo, K. Haemoto
coccus pluvialis-a Green Algae, Richest
Natural Source of Astaxanthin. Current
Science. 2006. Vol 90 (12): 1602-1603.

21

KEBIASAAN BURUK YANG DAPAT MERUBAH BENTUK WAJAH


Asep Arifin Senjaya1
Most children now seen to had teeth that grew irregularly. Thus causing the position
of the teeth become crowded. In medical terms this situation was called malocclusion.
Maloclusion is not fit relationship when the teeth at upper jaw and lower jaw where
meet. The prevalence of malocclusion in Indonesia was still high, around 80%. There
are various factors that caused the occurrence of malocclusion, such as bad habits.
The bad habits such as: mouth breathing, tongue thrusting, bites fingers or an object,
fingers sucking, lip sucking, bruxism, chin resting or sleeping on one side.
Mouth breathing caused: narrow face, protrusive, open bite, open lip. Thumb sucking
caused: deciduous and permanent teeth malocclusion, abnormal fingers,
psychological effects, a decline in self confidence of the children, unintentional
poisoning. Tongue thrusting caused protrusive incisors and open bite. The bite objects
habit: pencils, nails, fingers, or other objects could result in shape of the jaw. Sleep
habits of one side caused facial asymmetry. Interventions that could the parents
who had a children with bad habits where: 1) Determinate the cause before treatment.
2) Strengthening the child, in this case the child should be involved to be interested
to stop these bad habits.
Keywords: bad habit, facial disformed
Gigi merupakan satu kesatuan dengan struktur
disekitarnya seperti jaringan otot pengunyah,
tulang rahang, serta wajah yang memiliki
hubungan erat dan saling timbal balik. Jadi
gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada struktur tersebut dapat mempengaruhi
susunan gigi, demikian juga sebaliknya.
Beberapa di antara kita mungkin memiliki
susunan gigi yang tidak beraturan. Ada yang
tumpang tindih, berjejal, gigi depan yang maju,
atau gigitan silang antara rahang atas dan
bawah (gigi.klikdokter.com).
Orang tua manapun pasti menginginkan buah
hatinya tumbuh menjadi seorang anak yang
baik, pintar dan berpenampilan
menggemaskan serta memiliki senyuman
menarik dengan barisan giginya yang putih nan
rapih. Namun bagaimana bila kondisi yang
terjadi sebaliknya? Supaya gigi anak tampak
rapi, gigi harus tumbuh di tempat yang tepat.
Tetapi, tidak jarang, kebanyakan anak-anak
kini ditemui memiliki gigi yang tumbuh tidak
teratur. Sehingga, menyebabkan posisi gigi 1
22

gigi tersebut menjadi berjejal. Dalam istilah


medisnya situasi seperti ini disebut dengan
maloklusi (malocclusion) 1. Prevalensi
maloklusi di Indonesia masih tinggi, yaitu
sekitar 80%2.
Apabila anak Anda mengalami maloklusi,
sebaiknya Anda tidak menganggapnya sepele,
karena jika tidak ditanggulangi sejak dini akan
mengakibatkan maloklusi. Maloklusi mampu
menurunkan kemampuan gigi anak untuk
mengigit. Akibatnya anak tidak terbiasa
memakan makanan yang sedikit keras.
Sehingga pada tahap selanjutnya, otomatis
dapat terjadi gangguan makan, karena gigi
tidak dalam posisi yang benar sehingga
kekuatannya menjadi berkurang. Maloklusi
parah menyebabkan anak menjadi susah
berbicara. Kondisi rahang dan gigi yang
berantakan tersebut menyebabkan anak sulit
mengucapkan beberapa huruf atau kata - kata
tertentu.
Terdapat berbagai faktor penyebab terjadinya
maloklusi, diantaranya kebiasaan buruk.

Dosen Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Denpasar

Asep Arifin Senjaya (Kebiasan buruk yang dapat...)

Kebiasaan buruk yang dimaksud diantaranya:


mengedot, menghisap jari atau bibir, menyikat
gigi dengan gerakan dan arah yang salah1.
Prevalensi menghisap ibu jari yang dilakukan
anak anak, berkisar 13 -45%2. Sekitar 80%
bayi menghisap jempol sampai usia sekitar 18
bulan, tetapi kebiasaan ini masih dijumpai
pada anak prasekolah, bahkan sampai usia 6
tahun3. Kebiasaan dalam rongga mulut dapat
berpengaruh pada jaringan keras (gigi, tulang
alveolar), jaringan pendukung gigi (gusi,
ligamen periodontal), maupun mukosa mulut
lainnya (lidah, bibir, pipi, palatum, dan lain
lain)4. Tujuan penulisan ini adalah untuk
memberikan pemahaman tentang kebiasaan
buruk pada anak anak yang dapat berakibat
maloklusi yang akhirnya pada kondisi tertentu
dapat merubah bentuk wajah.
Pembahasan
Fungsi utama rongga mulut adalah: 1)
Menerima dan mengunyah makanan, berupa:
menghisap, mengecap, mengunyah, menelan.
2) Sebagai jalan masuk udara. 3) Sebagai
bagian proses bicara dan ekspresi. Faktor
yang berhubungan penting dengan fungsi
rongga mulut tersebut adalah: posisi gigi dan
oklusi gigi. Oklusi yang keliru bisa
menimbulkan masalah. Misalnya: penyakit
jaringan periodontal atau gangguan pada sendi
temporomandibula5.
Oklusi statis adalah kondisi gigi gigi atas
dan bawah saling berkontak5. Terdapat empat
syarat oklusi ideal, yaitu: 1) Gigi harus terletak
pada sudut yang tepat di dalam jaringan
tulangnya. 2) Gigi gigi harus berkontak satu
dengan yang lainnya pada titik kontak yang
tepat. 3) Gigi - gigi atas yang lebih lebar
daripada gigi bawah harus menutup gigi gigi
bawah dengan tepat. 4) Gigi gigi dalam
lengkung atas harus berinterdigitasi (mengatup
seperti gigi gigi mesin) dengan gigi gigi
dalam lengkung bawah6.
Selain itu, terdapat enam kunci oklusi normal,
yaitu: 1) Hubungan yang tepat dari gigi tetap
gigi tetap geraham pertama pada bidang
sagital. 2) Angulasi mahkota gigi seri gigi

seri yang tepat pada bidang transversal. 3)


Inklinasi mahkota gigi seri gigi seri yang
tepat pada bidang sagital. 4) Tidak adanya
rotasi gigi gigi individual. 5) Kontak yang
akurat dari gigi gigi individual dalam masing
masing lengkung gigi, tanpa celah maupun
berjejal jejal. 6) Bidang oklusal yang datar
atau sedikit melengkung5.
Dalam kedokteran gigi, susunan gigi yang
tidak beraturan dan hubungan gigi antara
rahang atas dan bawah tidak ideal disebut
maloklusi (gigi.klikdokter.com). Menurut
Heriyanto E, maloklusi adalah terjadinya
hubungan yang tidak sesuai atau tidak pas
pada gigi geligi di saat rahang atas dan rahang
bawah bertemu.
Penyimpangan satu gigi manapun di dalam
mulut menyebabkan maloklusi6. Maloklusi
terjadi pada kondisi kondisi berikut ini: 1)
Ketika ada kebutuhan bagi subyek untuk
melakukan posisi postural adaptif dari
mandibula. 2) Jika ada gerak menutup
translokasi dari mandibula, dari posisi istirahat
atau dari posisi postural adaptif ke posisi
interkuspal. 3) Jika posisi gigi sedemikian rupa
hingga terbentuk mekanisme refleks yang
merugikan selama fungsi pengunyahan dari
mandibula. 4) Jika gigi gigi menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak mulut. 5) Jika
ada gigi yang berjejal atau tidak teratur, yang
bisa merupakan pemicu bagi terjadinya
penyakit periodontal dan gigi. 6) Jika ada
penampilan pribadi yang kurang baik akibat
posisi gigi. 7) Jika ada posisi gigi gigi yang
menghalangi bicara yang normal5.
Terdapat tiga tipe maloklusi, yaitu: 1)
Maloklusi tipe dental, terjadi jika
perkembangan rahang atas dan rahang bawah
terhadap tulang kepala normal, tetapi gigi
geliginya mengalami penyimpangan; 2)
Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena
hubungan rahang atas dan rahang bawah
terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena
ada gangguan pertumbuhan dan
perkembangan rahang. 3) Maloklusi
fungsional, terjadi karena adanya kelainan
otot otot, sehingga timbul gangguan saat
23

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 22 - 27

dipakai untuk mengunyah7. Orang tua perlu


mengetahui gejala awal dari gangguan ini,
diantaranya adalah gigi sering tumbuh di
tempat yang salah, akibatnya gigi atas dan gigi
bawah tidak bertemu dengan semestinya. Bila
Anda menemukan gejala seperti tersebut di
atas, secepatnya segera membawa anak Anda
ke dokter gigi langganan keluarga. Ini
bertujuan untuk mengetahui lebih detil kondisi
gigi anak Anda serta rencana perawatannya1.
Penyebab maloklusi pada anak, sebagai
berikut: 1) Kebiasaan buruk (bad habit).
Kebiasaan buruk yang dimaksud adalah
mengedot, menghisap jari/ bibir, menyikat gigi
dengan gerakan dan arah yang salah, sehingga
terjadi pembusukan pada gigi yang akhirnya
menyebabkan gigi berlubang. 2) Gigi berjejal
(crowded teeth). Gigi yang tumbuh dengan
kondisi dempet dan tidak teratur susunannya.
Hal ini disebabkan bila gigi seorang anak
dicabut sebelum waktunya dan menyebabkan
keompongan dan akhirnya rahang tidak
berkembang. Kondisi ini menyebabkan
tempat tumbuhnya gigi tetap menjadi
berkurang untuk mendapatkan posisi yang
cukup. 3) Genetika (keturunan), misalnya, ibu
yang memiliki rahang yang kecil dan bapak
yang memiliki gigi yang besar, cenderung akan
memiliki anak dengan rahang kecil dan giginya
besar, otomatis menyebabkan gigi berjejal. 4)
Trauma. Benturan keras pada mulut dan
mencenderai rahang serta gigi, juga penyebab
maloklusi1.
Beberapa hal yang menyebabkan maloklusi,
seperti dikutip dari gigi.klikdokter.com, di
antaranya: 1) Gangguan perkembangan janin,
yang dapat disebabkan oleh kelainan genetik
atau faktor lingkungan saat ibu sedang hamil.
Contohnya: obat-obatan yang dikonsumsi ibu
saat hamil mempengaruhi proses tumbuh
kembang janin, termasuk bagian gigi dan
mulut. Namun presentasi maloklusi yang
disebabkan oleh hal ini relatif kecil. 2)
Gangguan pertumbuhan skeletal (tengkorak
kepala) yang dapat disebabkan karena
cedera yang dialami janin saat kelahiran, atau
proses kelahiran yang sulit sehingga
24

menyebabkan trauma pada kepala janin.


3) Gangguan pertumbuhan gigi, yang dapat
disebabkan oleh jumlah gigi yang kurang
(anodontia / oligodontia) atau jumlah gigi
lebih (supernumerary teeth). Bisa juga
terjadi akibat kehilangan gigi susu secara dini.
4) Kebiasaan buruk, seperti mengisap jempol
atau benda lain. Tidak semua kebiasaan buruk
ini menyebabkan maloklusi, tergantung sampai
berapa lama kebiasaan buruk tersebut
bertahan. Bila anak masih memiliki kebiasaan
ini hingga gigi tetapnya mulai tumbuh, besar
kemungkinan ia mengalami maloklusi.
Keparaha maloklusi bergantung pada
seberapa besar tekanan yang diberikan saat
ia menghisap jari, posisi jari saat penghisapan,
frekuensi dan durasi penghisapan.
Penyebab maloklusi adalah: 1) Etiologi lokal,
yaitu faktor gigi: variasi ukuran, variasi bentuk,
variasi jumlah dan posisi gigi. 2) Etiologi
umum, terdiri daai: a) herediter. b) kebiasaan
buruk, berupa: bernafas melalui mulut,
menjulur julurkan lidah, menggigit gigit jari
atau benda, menghisap jari, menghisap bibir,
bruxism yaitu mengesek gesekan gigi di
rahang atas dengan gigi di rahang bawah,
menopang dagu yang dapat berakibat rahang
menjadi tidak simetris. Kebiasaan buruk ini
bisa berdiri sendiri atau beberapa kebiasan
buruk terjadi secara bersamaan.
Wajah dengan estetik baik atau
menyenangkan adalah wajah yang
mempunyai keseimbangan dan keserasian
bentuk, hubungan, serta proporsi komponen
wajah yang baik8. Klasifikasi kebiasaan buruk
menurut Viken (1971) sebagai berikut: 1)
Bernafas melalui mulut, dikarenakan: a)
obstruksi, yaitu: adanya sumbatan atau
gangguan saat menghirup udara, b) habitual,
yaitu: kebiasaan bernafas melalui mulut, c)
anatomi, yaitu: bibir atas dan bibir bawah
pendek sehingga mulut tidak dapat menutup
sempurna. 2) Kebiasaan menghisap ibu jari.
3) Kebiasaan mendorong lidah. 4) kebiasaan
menggigit gigit benda: pinsil, kuku, jari atau
benda lainnya.

Asep Arifin Senjaya (Kebiasan buruk yang dapat...)

Akibat kebiasaan bernafas melalui mulut yaitu:


wajah sempit, gigi depan maju ke depan
(merongos). Gigitan terbuka, bibir terbuka.
Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat
diamati pada orang orang yang juga
melakukan kebiasaan tongue thrusting
(mendorong gigi gigi dengan lidah), sehingga
menyebabkan terjadinya gigitan terbuka di
anterior. Kebiasaan ini oleh adanya gangguan
pada jalan nafas atau hidung yang berupa
sumbatan, misalnya: polip hidung dan
pembesaran tonsil di belakang hidung. Pada
beberapa orang , kebiasaan ini disertai
lemahnya tonus bibir atas4.

Gambar 1
Anak dengan kebiasaan menghisap jari
(sumber: klikdokter.com)
Menghisap ibu jari pada bayi kurang dari 6
bulan merupakan salah satu ekspresi bayi
untuk kebutuhan menghisap, terutama kalau
sedang lapar. Tetapi setelah bayi berusia lebih
dari 6 bulan, menghisap jari memberikan arti
lain. Setelah lewat 6 bulan, bayi tetap
membutuhkan ketentraman dan kenikmatan,
mereka akan menghisap jarinya kalau sedang
lelah atau mengantuk. Ibu jari disini berfungsi
sebagai alat penghibur. Menghisap ibu jari,
dot, maupun minum susu botol dalam usia
kurang dari 2 tahun adalah suatu hal yang
normal. Namun bila kebiasaan ini berlanjut
hingga melewati usia 6 tahun dan dilakukan
intensif, maka akan menyebabkan
kelainan,rahang atas maju ke depan, rahang
bawah terdorong ke belakang, serta gigi
gigi menjadi berjejal7.
Menurut Budiyanti E A, kebiasaan menghisap
ibu jari pada anak diakibatkan gangguan

emosi anak, misalnya kesepian, kecewa,


marah, stress. Untuk itu kualitas hubungan
keluarga, khususnya hubungan ibu dengan
anak harus dijaga baik, karena mempengaruhi
emosi kejiwaan anak.
Menurut Ade, akibat menghisap ibu jari, yaitu:
1) Gigi bermasalah bila kebiasaan dilakukan
sampai usia 4 tahun, berupa maloklusi gigi
susu dan gigi tetap. 2) Jari abnormal, berupa
jari memanjang, iritasi, eksim, kuku berjamur
(paronikia). 3) Efek psikologis, berupa
menurunnya kepercayaan diri anak. 4)
Keracunan yang tidak disengaja, bila jarinya
terkontaminasi bahan beracun, misalnya timah
hitam. Akibat kebiasan menghisap jempol
antara lain: palatum tinggi, perkembangan
rahang kearah lateral (samping) terganggu, gigi
gigi rahang atas protusif, dan dapat disertai
gigitan terbuka di anterior4.
Kebiasaan menghisap ibu jari atau benda
benda lainya dalam waktu berkepanjangan
dengan durasi sedikitnya 6 jam sehari dapat
menyebabkan maloklusi. Kebiasaan
menghisap ibu jari tidak perlu dirisaukan
selama kebiasaan itu dilakukan sewaktu
waktu. Kebiasaan menghisap ibu jari atau
benda lainnya biasanya dilakukan sampai
anak berusia 3 atau 4 tahun, setelah itu
biasanya berhenti sama sekali10. Kebiasaan
menghisap ibu jari akan memberikan efek
yang berbeda dengan kebiasaan menghisap
jari. Kebiasaan mengisap ibu jari atau jari
hanya akan benar benar merupakan
masalah, jika kebiasaan ini berlanjut sampai
periode gigi gigi tetap.

Gambar 2
Gigitan terbuka (open bite) serta gigi merongos
akibat kebiasaan menghisap ibu jari.

(sumber: klikdokter.com)
25

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 22 - 27

Tongue thrusting adalah kebiasaan


menjulurkan lidah ke depan dan menekan gigi
geligi pada waktu istirahat, selama berbicara
atau menelan. Kebiasaan ini bisa timbul antara
lain karena adanya pembesaran amandel atau
tonsil, bernafas melalui mulut, lengkung gigi
atas yang menyempit, lidah yang besar atau
karena faktor psikologis. Tongue thrusting
menyebabkan ketidakseimbangan otot- otot
mulut yang akhirnya berakibat pada maloklusi,
yaitu berupa: gigi gigi seri terdorong ke depan
dan open bite.
Penanganan tongue thrusting dilakukan
dengan menggunakan alat alat khusus yang
diberikan dokter gigi, serta myotherapy, yaitu:
latihan otot- otot lidah dan mulut. Berdasarkan
data yang ada terdapat penurunan jumlah
tongue thrusting pada anak di atas usia 8
tahun, ini menunjukan bahwa, kebiasaan ini
dapat hilang dengan sendirinya7.
Kebiasaan menggigit gigit benda: pinsil,
kuku, jari, atau benda lainnya dapat berakibat
maloklusi, yaitu berubahnya bentuk rahang11.
Kebiasaan buruk lainnya yang berpengaruh
pada bayi atau anak anak, yaitu: kebiasaaan
tidur pada salah satu sisi wajah atau tidur
menggunakan lengan sebagai bantal.
Kebiasaan ini pada bayi atau anak yang sedang
mengalami pertumbuhan aktif dapat
menyebabkan asimetri wajah, yaitu: tidak
seimbangnya sisi wajah sebelah kiri dengan
sisi wajah sebelah kanan (Maulani C, 2005
dan Moyers R E, 1980). Asimetri wajah pada
akhirnya akan berakibat pada estetika wajah
anak dan ini permanen sampai dewasa apabila
kebiasaan tersebut tidak dihentikan7.
Menurut gigi.klikdokter.com, alasan
perlunya perawatan maloklusi sebagai berikut:
1) Gigi depan yang maju, memiliki gigitan
silang, atau berjejal dapat mempengaruhi
profil wajah. Bila dilihat dari samping, profil
wajah seseorang bisa cembung, datar atau
rata. Hal ini tentu mempengaruhi estetika. 2)
Susunan gigi tidak teratur atau wajah asimetris
dapat mempengaruhi estetis dan menimbulkan
masalah psikososial bagi penderita. Gigi yang
berjajar rapi dengan senyum yang menarik
26

biasanya dihubungkan dengan status sosial


yang positif, dan hal ini dapat mempengaruhi
kepercayaan diri seseorang. 3) Gigi tertanam
dalam tulang rahang yang pergerakannya
melibatkan otot-otot pengunyahan dan
gerakan sendi rahang. Gigi yang susunannya
tidak/ kurang ideal dapat menyebabkan
gangguan fungsi kunyah atau masalah sendi
rahang. Selain itu juga dapat mengganggu
penelanan atau bicara. 4) Gigi yang berjejal
dan tumpang tindih lebih sulit dibersihkan,
sehingga lebih rentan terhadap karies (lubang
gigi), penyakit periodontal (jaringan
pendukung gigi), atau trauma.
Intervensi yang dapat dilakukan orang tua
terhadap anak yang memiliki kebiasaan buruk
adalah: 1) Mengetahui penyebabnya sebelum
pengobatan. 2) Menguatkan anak, dalam hal
ini anak harus dilibatkan hingga tertarik untuk
menghentikan kebiasaan buruknya3. Menurut
Foster T D (1997), untuk menghentikan
kebiasaan menghisap ibu jari atau jari biasanya
gagal, kecuali jika si anak sendirilah yang ingin
menghentikannya. Pada umunya anak berusia
9 tahun ke atas berhenti menghisap ibu jari
atau jari setelah satu tahun dirawat dengan
baik dengan dorongan verbal serta
pemasangan alat di dalam mulutnya. Ade,
menyarankan cara pendekatan untuk
menghentikan kebiasan menghisap ibu jari,
sebagai berikut: 1) Mengingatkan anak untuk
tidak melakukan kebiasaannya itu. 2)
Memberikan hadiah kepada anak bila anak
tidak melakukan kebiasaanya. 3) Menghargai
anak dengan memberi pujian, bila anak tidak
melakukan kebiasaannya itu. 4) Memberi zat
pahit pada jari atau jempol anak.
Kesimpulan dan Saran
Simpulan: terdapat berbagai kebiasaan buruk
pada anak yang dapat menyebabkan
maloklusi hingga merubah bentuk wajah.
Saran: orang tua harus memiliki hubungan
yang harmonis dengan anaknya. Orang tua
wajib memperhatikan anaknya, khususnya
dalam hal kebiasaan buruk. Bila kebiasaan
buruk berlanjut, orang tua harus segera

Asep Arifin Senjaya (Kebiasan buruk yang dapat...)

berupaya menghentikan kebiasaan buruk


tersebut dengan terlebih dahulu mengetahui
penyebabnya, dan berkonsultasi ke dokter
gigi.

6.

7.

Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

5.

Heriyanto E, 2008, Maloklusi Pada


Anak,
tersedia
di:
fkgunhas.blogspot.com/2008/01/
maloklusi-pada-anak.html, diakses
tanggal: 11 12 - 2011
Budiyanti E A, Pengaruh Perilaku Ibu
dan Pola Keluarga Pada Kebiasaan
Menghisap Jari Pada Anak, Dikaitkan
Dengan Status Oklusi Gigi Sulung: Studi
Epiodemiologi pada anak TK di DKI
Jakarta, tersedia di: garuda.dikti.go.id/
jounal/detil/id, Diakses tanggal 16
12- 2011
Ade, Masalah Akibat Kebiasaan
Menghisap Jempol Bayi, tersedia di:
mediabangsa.com, diakses tangal 16
12 2011
Putri M H, dkk, 2011, Ilmu
Pencegahan Penyakit Jaringan Keras
dan Jaringan Pendukung Gigi, Jakarta,
EGC.
Foster T D, 1997, Buku Ajar
Ortodonti (alih bahasa: drg. Lilian
Yuwono), Jakarta, EGC.

8.

9.

10.

11.

Anonim, 1988, Praktek Ortodonti Alat


Cekat (alih bahasa: Budi Susetyo),
Jakarta, Binarupa Aksara.
Maulani C, 2005, Kiat Merawat Gigi
Anak, Jakarta, PT Elex Media
Komputindo.
Wiwekowati, dkk, 2011, Analisis
Fotometrik Frontal Wajah Mahasiswi
Suku Bali, Interdental-Jurnal
Kedokteran Gigi, Vol.8: 17 - 23
Erwayani R, 2008, Kebiasaan
Menghisap Jari Salah Satu Penyebab
Maloklusi Kelas I Tipe 3, tersedia di:
repository.usu.ac.id ... Dentistry
SP - Pendidikan Dokter GigiTem
bolok, diakses tanggal: 11 12 2011.
KLIKDOKTER.MENUJU
INDONESIA SEHAT, Apa itu
perawatan ortodonti? tersedia di:
gigi.klik dokter.com/subpage, diakses
tanggal 11 12 2011
Moyers R E, 1988, Hand book of
Orthodontics for student ang general
practitioners third ed, Chicago
London, Year Book Medical
Publishers Incorporation.

27

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 28 - 32

DOSE RESPONSE AND PROTECTION EFFECT OF LYCOPENE TO REACTIVE


OXYGEN SPECIES ON HUMAN CELLS
Badrut Tamam1 dan Suratiah2
Abstrak. Lycopene adalah jenis karotenoid yang memiliki 40 atom karbon sebagai
rantai hidrokarbon terbuka yang mengandung ikatan ganda 11 terkonjugasi dan 2
non terkonjugasi dalam struktur linear. Sumber utama lycopene adalah buah-buah
warna merah dan sayuran. Lycopene dilaporkan berkontribusi mencegah kerusakan
oksidatif dan mengurangi resiko kanker dan penyakit jantung koroner. Jenis
penelitian ini adalah in vitro experimental. Dua jensi uji yang digunakan yaitu uji
trypan blue exclusion dan MTT. Penelitian ini menggunakan sel limphoblastoid
manusia (WIL2NS) sedangkan lycopene dari Sigma, USA. Pada konsentrasi rendah
(0 - 10 M) selama paparan 1 jam, lycopene tidak beracun terhadap WIL-2NS. Hal
ini didukung oleh dosis aman pada kisaran 0 4 M selama 2 jam paparan.
Penambahan berbagai konsentrasi lycopene (2 dan 4 M) selama 2 jam paparan
dapat menurunkan sel hidup dari sel WIL-2NS pada konsentrasi berbeda dari tBHP (0, 1 dan 7.5 g/ml) kecuali konsentrasi lycopene 2 M pada konsentrasi 1 g/
ml dari t-BHP dengan 98.5% + 5.5 cell hidup.
Kata kunci: Lycopene, Spesies Oxygen Reaktif, Efek Proteksi
Lycopene which has molecular formula C40H56
is a lipophilic compound and is insoluble in
water. Lycopene is a carotenoid which has
40 carbon atoms as open chain hydrocarbon
containing 11 conjugated and 2 nonconjugated double bonds in a linear structure7.

reducing the risk of cancer and coronary heart


disease7.
Table 1
Locopene contents of common
7
fruits/vegetables products

Fruits/Vegetables

Figure 1
The chemical structure of lycopene 7

The most common sources of lycopene are


red fruits and vegetables. In addition to
tomatoes, other foods rich in lycopene are
watermelon, pink grapefruit, apricot, pink
guava and papaya, as illustrated in Table 1.
Cooking or food processing does not
influence the loss of lycopene content
significantly, and even appears to increase the
content of lycopene based on total weight, as
described in Table 2.
Lycopene has been reported to contribute in
protecting against oxidative damage and
1
2
28

Tomatoes
Water melon
Pink guava
Pink grapefruit
Papaya
Apricot

Lycopene (mg/g
wet weight)
8.8 42.0
23.0 -72.0
54.0
33.6
20.0 53.0
< 0.1

In addition to protecting against oxidative


damage, lycopene may play an important role
against carcinogenesis. The mechanisms of
protecting against cancer attacks are by, firstly,
functioning as a natural antioxidant, secondly,
increasing cellular gap junction communications, thirdly, stimulating phase II enzymes
involved in the activation of the antioxidant
response element transcription systems,
fourthly, blocking out insulin-like growth

Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Denpasar


Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Denpasar

Badrut Tamam (Dose response and...)

factor-1(IGF1)-stimulated cell proliferation


by generating IGF binding protein10.
Table 2
Locopene contents of common
tomato products7
Tomato products
Fresh tomatoes
Cooked tomatoes
Tomato sauce
Tomato paste
Tomato soup
Tomato powder
Tomato juice
Pizza sauce
Ketchup

Lycopene (mg/g
weight)
8.8 42.0
37.0
62.0
54.0 1500.0
79.9
1126.3 1264.9
50.0 116.0
127.1
99.0 134.4

Epidemiological evidence suggests that


lycopene may provide protection against
cancer and other degenerative diseases such
as cardiovascular disease. It was reported
by Giovannucci et al. 4 that high intake of
tomato products can reduce prostate cancer
risk, which was confirmed in US Health
Professional Follow-up Study from 1986 to
1992. Moreover, Giovannucci et al.4
revealed there was almost 35% risk reduction
of prostate cancer with more than 10 servings
of tomato products per week and it was found
that the protective effects was stronger when
the analysis was focused on more advanced
and aggressive prostate cancer.
In vitro studies have indicated that lycopene
is an effective antioxidant and radical
scavenger7. Lin et al. 5 reported that
lycopene has ability to inactivate hydrogen
peroxide and nitrogen dioxide. Furthermore,
Giovannucci et al.4 revealed the ability of
lycopene to significantly decrease the level
of TBARS (thiobarbituric acid reactive
substances) and DNA damage.
A fully randomized and cross over study
conducted by Rao and Shen,7 of twelve
healthy human subjects revealed a significant
increase in serum lycopene level for both
ketchup and capsules intake. Subsequently,
based on the results of the study, an intake of
5 to 10 mg lycopene per day is recommended.

Methods
The type of this research was in vitro
experimental. There were two assays used in
this research including the trypan blue
exclusion assay which was used to monitor
the growth of the cell population and the MTT
assay which was used to measure the acute
cell survival (cytotoxicity). This research
employed a human limphoblastoid cell line
(WIL2-NS) while lycopene was from Sigma,
USA.
Result and discussion
Lycopene Dose Response
Figure 2 indicates the survival of WIL2-NS
cells after exposure to various doses of
lycopene for 1 hour. Increasing dose of
lycopene decreased the cell survival of WIL2NS cells. The dramatic decrease of the cell
survival occurred at the concentration more
than 10 M of lycopene. Meanwhile at below
lycopene concentration of 10 M the cell
survival still was maintained around 90
100%. At the concentration of 20 M
lycopene, most of the cells were dead, just
only approximately 5% of the cell survived.
Moreover, at the concentration of 40 M
lycopene or more there were no cells found
alive. This condition was likely influenced by
the presence of solvent used (benzene). It was
revealed that the solvent at the same volume
used as the highest dose of lycopene (160
M) killed the cells.

Figure 2
Cell survival following lycopene treatment for 1
hour to WIL2-NS. Cell survival was measured
using the MTT assay as outlined in the Materials
and Methods. Data was from single observation.

29

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 28 - 32

Lycopene is recognized as an effective


antioxidant and radical scavenger7. At low
concentrations (0 - 10 M) for a 1 hour
exposure, lycopene was non-toxic to WIL2NS (Figure 3.4). This was supported by safe
doses of lycopene in the range of 0 4 M
for a 2 hour exposure (Figure 2). Meanwhile,
at higher concentrations (more than 10 M),
a dramatic decrease of the WIL-2NS cell
viability occurred. This is probably due to the
increasing concentration of solvent used
(benzene), which was used to carry lycopene
to enter the cells, and the increasing of
lycopene concentration.
This research revealed that the presence of
benzene in low concentration of lycopene did
not affect the toxicity of cells. However,
benzene at concentration of 0.13% (v/v) or
more was toxic to WIL-2NS. According to
Rana and Verma6 benzene is a carcinogenic
agent which is metabolized mainly into benzene
oxide and epoxide that initiate DNA strand
breaks, chromosomal damage, sister
chromatid exchange and damage to mitotic
spindle.
In addition to the solvent interference,
lycopene may have become prooxidant at high
concentrations. Lin et al.5 revealed that
lycopene protect HT29 cells against DNA
damage at relatively low levels (1 - 3 M)
but may have enhanced such damage at higher
concentrations (4 - 10 M) using the comet
assay. Yeh and Hu12 also reported that
lycopene behaved as prooxidant in Hs68 cells
treated with 2,2-azobis[2,4-dimethyl
valeronitrile (AMVN) at a concentration of
20 M.
Figure 3 illustrates various doses of lycopene
(0 8 M) used to treat WIL2-NS cells for
2 hours against its cell survival. The figure
indicates that the safe doses of lycopene for
2 hours exposure were achieved at 4 M
(90.17% + 2.99) and lower. The dose of 6
and 8 M of lycopene were considered unsafe
for WIL2-NS cells, since those resulted in
the cell survival lower than 90 %.
30

Dilution with the growth medium then was


conducted to deliver lycopene into the cells.

Figure 3
Cell survival following lycopene treatment for 2
hours to WIL2-NS. Cell survival was measured
using the MTT assay as outlined in the Materials
and Methods. Bars represent means- + Standard
Error from 3 independent experiments

Protection Effect of Lycopene


Figure 4 shows the protection effect of
lycopene against t-BHP as ROS generator
to WIL2-NS cells. The addition of various
concentration of lycopene (2 and 4 M) for
2 hours exposure was likely to decrease the
cell survival of WIL2-NS cells at different
concentration of t-BHP (0, 1 and 7.5 g/ml
respectively), except the concentration of 2
M of lycopene at 1 g/ml of t-BHP with
98.5% + 5.5 cell survival. Even though there
was no statistically significant difference
(P>0.05), a trend to a protection effect of
lycopene is shown by the differences between
lycopene at 4 M and t-BHP at 7.5 g/ml
exposure alone and the observed combination
between both of them. As can be seen in
Figure 3.9 the cell killing of t-BHP alone (7.5
g/ml) was 24.5% + 2.4, while the cell killing
of lycopene (4 M) for 2 hour was 17.4% +
13.3. Following this result, it was predicted
that the cell killing of combination between
lycopene and t-BHP would be approximately
42%. However, the observed cell killing by
the combination of lycopene and t-BHP was
34.9% + 4.8 which was lower than the
predicted combination cell killing.

Badrut Tamam (Dose response and...)

Figure 4
Protection effect of lycopene for 2 h treatment to
WIL2-NS cells. Bars represent means- + standard
error from 3 independent experiments

Lycopene has been shown to have higher


antioxidant activity than -carotene10.
Because of its high number of conjugated
double bonds, lycopene becomes a most
potent radical scavenger4. The participation
of lycopene in reactions with free radicals is
probably intimately linked with disruption and
breakdown of the primary structure of
lycopene3.
Pre-incubation of lycopene was conducted
for 1 hour to allow the cells to take up and
accumulate lycopene within cell membrane
against oxidative insult. Due to extreme
hydrophobicity properties, lycopene may
react with reactive oxygen species in the
hydrophobicity inner core of the membrane3.
Moreover, co-incubation of lycopene for 1
hour, followed by t-BHP exposure, was
expected to stabilize ROS induced by t-BHP
by lycopene chain breaking.
This research found an antioxidant potential
of lycopene with a 7% cell killing difference
between exposure of lycopene and t-BHP
alone and observed combination of both. That
there was no significant protection of lycopene
may be due to low lycopene concentration
uptake of cells and the type of oxidative agent
used.
This research used benzene as a vehicle to
deliver lycopene into the cells. The high
toxicity of benzene could have influenced the
amount of lycopene transfered into the cells,
eventually resulting in low lycopene
accumulation within the membrane of cells and
hence not protecting the cells from t-BHP
oxidation. It was found in this research that

the safe concentrations of benzene to WIL2NS cells is 0.13% (v/v) and lower (data not
shown). It means the amount of lycopene
which was delivered into the cells was limited
to those doses. It was not optimal to obtain a
sufficient amount of lycopene which could be
delivered to protect the cells. Lin et al.5
demonstrated that the use of fetal bovine
serum (FBS), as a vehicle, improved the
uptake and stability of lycopene into two
prostate cancer cell lines, compared to the
use of tetrahydrofuran (THF), THF
containing butylated hydroxytoluen (BHT),
methyl- -cyclodextrin (M--CD) and
micelles.
The use of different oxidative agents may
generate different protection effects of
lycopene. In this research, lycopene did not
significant protect (P>0.05) WIL2-NS from
t-BHP-induced damage. It was reported by
Yeh and Hu 11 that lycopene did not
significantly protect Hs68 cells from DNA
damage induced by three radical generators,
2,2-azobis[2,4-dimethylvaleronitrile]
(AMVN); 2,2-azobis[2-amidinopropane]
dihydrochloride (AAPH) and ferric
nitrilotriacetate (Fe/NTA). However,
lycopene protected cultured rat hepatocytes
against carbon tetrachloride injury and death
10)
. The probable reason was polarity
discrepancy between the oxidative agents and
lycopene to interact each other.
Conclusion
Lycopene has been shown to have high
antioxidant activity, because of its high number
of conjugated double bonds, lycopene
becomes a most potent radical scavenger.
The participation of lycopene in reactions with
free radicals is probably intimately linked with
disruption and breakdown of the primary
structure of lycopene. There was no
significant protection of lycopene may be due
to low lycopene concentration uptake of cells
and the type of oxidative agent used

31

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 28 - 32

Reference
1.

2.

3.

4.

5.

6.

32

ATCC. 2000. Catalogue of Cell Lines


and Hybridomas. A.T.C. Collection,
editor. www.atcc.org.
Bohm, F., J.H. Tinkler, and T.G.
Truscott. 1995. Carotenoids protect
against cell membrane damage by the
nitrogen dioxide radical. Nature
Medicine. 1:98-99.
Clinton, S.K. 1998. Lycopene:
chemistry, biology, and implications for
human health and disease. Nutr Rev.
56:35-51.
Giovannucci, E., A. Ascherio, E.B.
Rimm, M.J. Stampfer, G.A. Colditz, and
W.C. Willett. 1995. Intake of
Carotenoids and Retino in Relation to
Risk of Prostate Cancer. jnci. 87:17671776.
Lin, C.Y., C.S. Huang, and M.L. Hu.
2007. The use of fetal bovine serum as
delivery vehicle to improve the uptake
and stability of lycopene in cell culture
studies. British Journal of Nutrition.
98:226-232.
Rana, S.V., and Y. Verma. 2005.
Biochemical toxicity of benzene. J
Environ Biol. 26:157-68.

7.

Rao, A.V., and S. Agarwal. 1999. Role


of lycopene as antioxidant carotenoid in
the prevention of chronic diseases: A
review. Nutrition Research. 19:305323.
8. Rao, A.V., and H. Shen. 2002. Effect
of low dose lycopene intake on lycopene
bioavailability and oxidative stress.
Nutrition Research. 22:1125-1131.
9. Tinkler, J.H., F. Bohm, W. Schalch, and
T.G. Truscott. 1994. Dietary carotenoids
protect human cells from damage. J
Photochem Photobiol B. 26:283-5.
10. Wang, X.D. 2005. Can SmokeExposed Ferrets Be Utilized to Unravel
the Mechanisms of Action of Lycopene?
Journal of Nutrition. 135:2053-2056.
11. Yeh, S.L., and M.L. Hu. 2000.
Antioxidant and pro-oxidant effects of
lycopene in comparison with -carotene
on oxidant-induced damage in Hs68
cells. The Journal of Nutritional
Biochemistry. 11:548-554.

DEVELOPMENTAL DISPLACEMENT OF THE HIP


Ida Ayu Ratna Dewi Arrisna Artha
Abstract. The term of developmental displacement of the hip back to the time of
Hippocrates. This condition, also known as hip dysplasia or Developmental
Displacement of the hip (including subluxation, dislocation, and dysplasia), has been
diagnosed and treated for several hundred years. And reported the association between
apparent shortening of the flexed femur and hip dislocation. A broader definition of
DDH is simply abnormal growth of the hip. Abnormal development of the hip includes
the osseous structures, such as the acetabulum and the proximal femur, and the
labrum, capsule, and other soft tissues. This condition may occur at any time, from
conception to skeletal maturity, and related to the custom of maintaining the hips of
newborn infants, in extension and adduction by tightly wrapped blanket. Since then,
significant progress has been made in the evaluation and treatment of Developmental
Displacement of the hip . Numerous radiographic measurements have been used to
assist in the evaluation of developmental dysplasia of the hip (a typical radiographic
evaluation is described in this image)
Keywords : hip, Displacement, development
Salah satu kelainan kongenital dari sistem
muskuloskeletal adalah dislokasi kongenital
pada panggul, meliputi subluksasi dari
panggul, dan displasia dari panggul. Meskipun
istilah Dislokasi kongenital pada panggul telah
luas dipakai selama beberapa abad, istilah
yang lebih diterima saat ini adalah
Developmental Displacement pada
panggul, Klisic pada tahun 1989
merekomendasikan istilah ini karena karena
menggambarkan suatu kelainan yang dinamis,
sesuai dengan perkembangan bayi. Istilah
baru ini mencerminkan fakta, bahwa
persentase kecil dari panggul yang saat lahir
terlihat normal, dan menjadi subluksasi atau
dislokasi paling lambat saat usia 6 10 bulan.
Berdasarkan hal tersebut, maka disokasi dan
subluksasi tidak benar benar merupakan
proses kongenital.1
Developmental Displacement pada panggul
mencakup subluksasi, dislokasi, dan displasia
(kegagalan pertumbuhan tulang acetabulum
dan proximal femur). Merupakan fase
spectrum dari ketidakstabilan panggul pada
bayi. Dalam keadaan normal, panggul bayi
1

baru lahir dalam keadaan stabil dan sedikit


fleksi. Suatu kelainan yang tidak mudah
terlihat saat lahir, dan memerlukan
pemeriksaan dengan metode spesifik saat
bayi baru lahir untuk mendeteksi kelainan ini.
Tetapi masih belum dapat mengenali penyakit
ini sedini mungkin, bahkan baru dapat dilihat
saat anak mulai belajar berjalan. Abnormalitas
ini, jika tidak ditangani dengan baik sejak
awal, akan menyebabkan peradangan pada
panggul saat dewasa. Paling sedikit satu per
tiga dari peradangan sendi panggul pada
dewasa disebabkan oleh Developmental
Displacement pada panggul.2
Dislokasi panggul adalah femoral head
berada diluar dari acetabulum tetapi masih
di dalam kapsul. Subluksasi panggul adalah
femoral head bergeser ke samping juga atas
dan masih bersentuhan dengan bagian dari
acetabulum. Panggul stabil pada posisi fleksi
dan abduksi, pada subluksasi posisi panggul
akstensi dan adduksi. Saat panggul
mengalami dislokasi atau subluksasi,
perkembangan tulang femoral head dan
acetabulum menjadi tidak normal, yang akan
menyebabkan displasia.3

Bagian Bedah RSUD Wangaya


33

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 33 - 39

Insiden

Patofisiologi

Insidensi dari Developmental Displacement


pada panggul, adalah satu dalam seribu
kelahiran. Lebih dari setengahnya mengalami
kelainan bilateral. Pada bayi perempuan
delapan kali lebih sering ditemukan mengalami
kelainan ini dari pada bayi laki-laki. Lebih
sering ditemukan pada bayi dengan riwayat
keluarga positif dan riwayat kelahiran
sungsang. Insiden meningkat pada kebiasaan
membedong bayi yang menyebabkan panggul
dalam posisi ekstensi dan aduksi, mendekati
garis tengah tubuh. Barlow melakukan studi
bahwa lebih dari 60% dari instabilitas panggul
menjadi stabil dlm waktu satu minggu, 88%
menjadi stabil pada usia dua bulan, dan 12 %
dengan instabilitas menetap4

Sendi panggul berkembang baik di dalam


rahim, dalam posisi fleksi tetap. Saat lahir,
ditemukan 1 dari 80 anak yang mengalami
kelemahan panggul, dan ini kemungkinan
besar disebabkan faktor genetik. Apabila saat
lahir atau dalam usia satu minggu, dilakukan
ekstensi panggul secara pasif, ini merupakan
tanda kelemahan panggul, femoral head
kemungkinan mengalami dislokasi. Sebagai
akibatnya, menggantungkan bayi baru lahir
dengan memegang pergelangan kakinya
sudah tidak boleh dilakukan.7
Dislokasi panggul saat lahir bersifat
sementara, dan spontan menjadi stabil dalam
dua bulan pertama. Dislokasi dan subluksasi
panggul yang persisten menyebabkan
perubahan sekunder di dalam dan di sekitar
sendi panggul, terjadi perkembangan
abnormal dari acetabulum, peningkatan
anteversi femoral neck, hipertrofi dari
kapsul, kontraktur dari otot yang melewati
sendi panggul terutama otot iliopsoas dan otot
aduktor. Terjadinya perubahan sekunder pada
panggul menyebabkan kesulitan untuk
mengembalikan panggul ke keadaan normal.
Maka dari itu sangat penting untuk dapat
mendiagnosis secara dini, untuk menghindari
terjadinya perubahan sekunder dari panggul.
Jika panggul pada bayi baru lahir tidak pernah
di ekstensikan secara pasif, dan tidak pernah
dipertahankan pada posisi ekstensi pada bulan
pertama kelahiran, dislokasi dan subluksasi
dari panggul dapat dihindari.8

Etiologi
Berbeda dari kelainan kongenital lainnya,
Developmental Displacement pada panggul
merupakan hasil akhir kombinasi dari
pengaruh faktor genetik dan lingkungan.
Etiologi dari abnormalitas ini masih
kontroversial karena data yang kurang
adekuat. Keadaan ini dihubungkan dengan
beberapa faktor. Diantaranya faktor ras,
banyak ditemukan pada orang amerika asli,
dan jarang pada orang tionghoa dan orang
berkulit hitam. Faktor genetik, dengan
ditemukannya data bahwa abnormalitas ini
lebih sering pada bayi yang memiliki riwayat
keluarga dengan Developmental
Displacement pada panggul. Faktor lainnya
adalah posisi janin di dalam rahim dan riwayat
kelahiran sungsang5 Kelainan muskuloskeletal
lainnya seperti metatarsus adductus dan
torticollis juga dilaporkan berhubungan
dengan Developmental Displacement pada
panggul. Oligo-hidramnion juga dihubungkan
dengan kejadian abnormalitas ini. Panggul kiri
lebih sering terkena, diduga karena posisi di
dalam rahim, panggul kiri berhadapan dengan
sakrum dari ibu, dan menyebabkan posisi
aduksi.6

34

Diagnosis dan terapi


Diagnosis klinis , diagnosis radiografi, dan
terapi orthopaedi bervariasi sesuai kelompok
umur. Akan tetapi, sangat penting untuk
diagnosis dan terapi lebih dini. Prinsip umum
terapi adalah mengembalikan panggul ke
posisi semula dan mempertahankan posisi
stabil hingga komponen dari panggul membaik
dan panggul stabil dalam posisi menopang
berat tubuh .
Periode Lahir hingga usia tiga bulan : Periode

IA Ratna Dewi AA (Developmental displacement of the ...)

terpenting dengan peluang kesembuhan yang


besar bila di diagnosa pada periode ini.
Karena pada periode ini sulit terlihat,
diperlukan pemeriksaan spesifik pada bayi
baru lahir. Diantaranya, Uji Provokasi dari
Barlow, yaitu mengaduksikan panggul yang
fleksi dengan menarik paha ke bawah, dan
mengabdusikan panggul dengan menaikkan
paha kembali. Apabila terdapat ketidak
stabilan panggul, akan merasakan dan melihat
panggul dislokasi ke arah posterior saat di
adduksi, dan kembali ke posisi semula saat
abduksi. Uji ini positif menandakan dislokasi
yang belum permanen. Apabila dislokasi
permanen, femoral head berada di posterior
saat panggul dalam posisi fleksi, dan bisa
dikembalikan ke posisi semula dengan cara
mengabdusikan panggul saat mengangkat
paha ke depan, ini disebut Tanda Ortholani.
Tambahan lipatan kulit di sisi dalam dari paha
dan rotasi keluar dari ektremitas bawah, kita
dapat mencurigai adanya Developmental
Displacement pada panggul, meskipun tanda
ini juga bisa didapatkan pada bayi normal.
Tredwell& Bell memperlihatkan kemampuan
yang mengesankan pada pemeriksaan
neonatal sebagai metode skrining. Karena
keterbatasan, pemeriksaan ulang dilakukan
saat usia empat bulan. Tanda penting setelah
usia satu bulan adalah keterbatasan abduksi
pasif dari panggul yang fleksi, karena
kontraktur dari otot aduktor. Keterbatasan
abduksi tidak selalu menunjukkan dislokasi,
tetapi menunjukkan abnormalitas dari panggul,
maka diperlukan pemeriksaan penunjang
yaitu radiografi.
Periode usia 36 bulan: Atap dari
acetabulum dan femoral head masih
menyerupai tulang rawan, dimana pada
gambaran foto polos terlihat radiolusen dan
sulit untuk di identifikasi, pemeriksaan
ultrasonografi pada sendi panggul lebih dipilih.
Pemeriksaan ultrasonografi ini dilakukan
pada bayi kurang dari 6 bulan, dengan temuan
klinis yang mengarah ke dan dengan resiko
tinggi Developmental Displacement pada
panggul .

Yang termasuk risiko tinggi adalah riwayat


keluarga positif, kelahiran sungsang dan
kelemahan ligament secara umum. Usia lebih
dari 6 bulan, foto polos lebih dipilih karena
sudah mengalami penulangan pada
acetabulum dan femoral head.
Terapi pada usia tiga bulan pertama adalah
reduksi panggul (mengembalikan panggul ke
posisi semula ), kemudian mempertahankan
panggul pada posisi stabil, yaitu fleksi dan
abduksi. Contohnya dengan menggunakan
Bidai Frejka pillow. Cara lain dapat untuk
usia 3-4 bulan, adalah dengan menggunakan
palvik Harness, panggul dipertahankan fleksi
dan memungkinkan untuk melakukan
pergerakan ke arah lainnya, cara ini sangat
efektif dan dengan komplikasi yang sedikit.
Terkadang setelah tiga minggu terapi, panggul
masih belum stabil, maka setelah reduksi
dengan splint, diikuti menggunakan plester
hip spica cast .
Periode usia 3-18 bulan : periode ini terjadi
kontraktur adduksi, pada pemeriksaan fisik
didapatkan keterbatasan abduksi secara pasif,
pemendekan yang nyata dari ekstremitas
bawah, dan penonjolan dari panggul menjadi
lebih terlihat. Pada dislokasi unilateral,
pemendekan dari femur, terlihat perbedaan
tinggi lutut pada posisi fleksi panggul, ini
disebut tanda dari galeazzi. Adanya dislokasi
panggul juga bisa dirasakan panggul masuk
dan keluar dari sendinya, disebut Uji
Ortholani. Pada uji Ortholani, ibu jari
pemeriksa memegang paha bayi di sebelah
medial dan jarijari lainnya pada trokanter
mayor. Sendi panggul di fleksikan 90%
kemudian diabduksikan secara hatihati, pada
bayi normal abduksi sebesar 65 - 80%
dapat dengan mudah dilakukan dan bila
abduksi kurang dari 60% maka harus
dicurigai adanya dislokasi dari panggul,
biasanya terdengar bunyi klik ketika trokanter
mayor di tekan maka ini akan menandakan
adanya reduksi dislokasi dan uji Ortholani
positif. Pada dislokasi total, manuver dorongtarik akan menyebabkan femur mendekati
pelvis, ini disebut fenomena telescoping.
35

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 33 - 39

Radiografi terlihat daerah miring yang


berlebihan pada bagian acetabulum yang
mengalami penulangan, ini merupakan indikasi
dari dysplasia pada acetabulum, terlambatnya
penulangan pada femoral head, pergeseran
ke atas dan ke samping dari femoral head.
Terapi pada periode ini adalah pemanjangan
dari otot aduktor dan otot hamstring yang
dilanjutkan dengan traksi plester selama
beberapa minggu. Dan juga tenotomy pada
subkutan dari aduktor, diikuti reduksi tertutup
dari panggul melalui anestesi umum. Setelah
panggul mengalami reduksi sempurna (yang
dilihat dari pemeriksaan radiografi), kemudian
panggul dipertahankan pada posisi stabil, yaitu
fleksi dan sedikit abduksi, disebut juga posisi
manusia oleh hip spica cast . Posisi abduksi
atau rotasi internal yang dipaksa (posisi
katak), harus dihindari, karena dapat
menyebabkan avascular necrosis pada
femoral head, yang merupakan komplikasi
serius dari terapi. Setelah terpasang cast
dengan menggunakan computed
tomography akan mudah menginterpretasi
hubungan antara femoral head dengan
acetabulum. Hip spica cast diganti setiap
dua bulan hingga radiografi menunjukkan
perkembangan yang memuaskan dari
femoral head dan acetabular. Imobilisasi
dari panggul yang telah direduksi diperlukan
untuk memperbaiki perubahan sekunder yang
terjadi, waktu yang diperlukan bervariasi
tergantung lamanya dislokasi panggul sebelum
di terapi, biasanya 5 8 bulan. Proteksi yang
baik dari reduksi ini biasanya dipertahankan
oleh bidai frejka pillow, atau dengan
menggunakan dua papan panjang pada kaki
dan dipisahkan oleh abduction bar, cara ini
memungkinkan panggul dalam keadaan yang
aman, dan untuk perkembangan dari femoral
head dan acetabulum.
Sekitar 80 % penderita usia tiga 18 bulan
akan membaik dengan terapi in. Perlu diingat,
presentasi hasil yang baik lebih tinggi pada
usia tiga bulan disbanding usia 18 bulan.
Apabila metode ini gagal, dilakukan reduksi
terbuka, pengeluaran otot iliopsoas, dan
36

perbaikan kapsul dengan pendekatan dari


depan. Pada usia kurang dari satu tahun
memungkinkan dilakukan pendekatan medial.
Periode usia 18 bulan 5 tahun : Pada usia
ini, perubahan sekunder memberat dan kurang
reversible. Anak sudah dapat berjalan,
temuan pemeriksaan fisik lebih terlihat jelas.
Saat anak disuruh berdiri dengan satu kaki,
pada sisi dislokasi panggul, otot abduktor
panggul tidak memiliki tumpuan, tidak dapat
menopang setinggi pelvis, dan menurun pada
sisi yang berlawanan. Usaha anak untuk
menjaga keseimbangan adalah dengan
membebankan tubuhnya ke sisi yang sakit.
Hal ini mengindikasikan tanda Trendlenburg
positif. Manifestasi lainnya adalah berjalan
pincang, pada dislokasi unilateral anak berjalan
dengan salah satu tungkai lebih pendek,
sehingga berat tubuh dibebankan pada tungkai
yang sakit. Pada dislokasi bilateral, anak
berjalan dengan membebankan tubuh ke
kedua tungkai secara bergantian seperti cara
jalan bebek. Pada subluksasi, terlihat jelas
setelah berjalan dalam waktu yang lama.
Terapi pada periode ini dihubungkan dengan
kesulitan, bahaya, dan kekecewaan meski
dilakukan oleh yang paling berpengalaman.
Kontraktur dari otot yang semakin menetap,
diatasi dengan penggunaan traksi plester
dalam waktu yang lama, juga dengan
tenotomy subkutan dari aduktor. Untuk anak
usia diatas tiga tahun, pemenekan femur adalah
alternatif untuk traksi sebelum operasi. Anak
usia lebih dari 18 bulan, kemungkinan untuk
mencapai reduksi tertutup yang sempurna
sangat sedikit, maka itu indikasi untuk reduksi
terbuka. Masalah utama pada periode ini
adalah mempertahankan hasil reduksi.
Pertama kali dilaporkan tahun 1961, untuk
menangani ketidakstabilan dari reduksi
dilakukan osteotomi.
Hanya 30% menunjukkan hasil yang baik dari
reduksi tertutup pada periode usia ini, dengan
melakukan reduksi terbuka yang baik, dan
menjaga kestabilan dengan osteotomi, 87 %
menunjukkan respon yang baik dari terapi,
tetapi masih tidak sebaik apabila dilakukan

IA Ratna Dewi AA (Developmental displacement of the ...)

terapi pada usia tiga bulan pertama. Ini


membuktikan betapa pentingnya untuk
diagnosis dan terapi secara dini.
Periode Usia lebih dari 5 tahun : Sedikit anak
yang ditemukan pada usia ini dalam keadaan
yang belum di terapi. Pada periode ini
perubahan sekunder pada dislokasi komplit
sangat jelas dan untuk kebali ke normal
sangat terbatas, bahkan prosedur operasi
tidak dapat diharapkan untuk berhasil,
terutama pada dislokasi bilateral anak usia lebih
dari 6-7 tahun dan pada usia ini tidak baik
untuk mencoba melakukan reduksi.
Subluksasi masih lebih mudah untuk ditangani
daripada dislokasi pada periode ini, dengan
osteotomi sampai usia pertumbuhan.
Kontraindikasi relative dari tindakan operasi
pada kelainan ini adalah usia lebih dari 8 tahun,
adanya kelainan neuromuscular seperti
kelainan neuromuscular, yaitu myelomeningocele atau trauma spinal cord, atau
cerebral palsy pada penderita yang
mengalami Developmental Displacement
pada panggul lebih dari 1 tahun.
Diagnosis dan terapi secara dini merupakan
aspek yang paling penting pada kelainan ini.
Skrining neonatus saat baru lahir efektif untuk
melakukan terapi lebih awal. Karena apabila
kelainan ini tidak dapat penanganan yang baik,
akan mengganggu kualitas hidup individu.9
Bedong Bayi

tengah lipatan; 3) Turunkan tangan kanan bayi


aga berada di samping tubuhnya; 4) Ambil
sisi kiri kain, angkat lengan kanan bayi, dan
selipkan ujung kain di tubuh kanannya; 5)
Lipat bagian bawah kain untuk membungkus
kakinya; 6) Tarik perlahan sisi lainnya,
bungkus tubuhnya, dan selipkan ujung kain
di balik punggung kiri; 7) Pelintir atau lipat
ujung kain bedong bagian bawah, lalu selipkan
ke bawah tubuhnya, biarkan tetap
longgar,agar lutut bias dilipat dan panggul dan
kaki dapat bergerak.10
Kesimpulan dan Saran
Developmental Displacement pada panggul
merupakan salah satu kelainan sistem
muskuloskeletal yang meliputi dislokasi,
subluksasi dan displasia. Insiden kelainan ini
satu dari seribu kelahiran. Penyebabnya
adalah faktor genetik dan lingkungan.
Diagnosa dan terapi bervariasi sesuai
kelompok umur. Diagnosa secara dini
dilakukan dari pemeriksaan fisik dan foto
radiologis, walaupun sulit, tetapi diagnosa dini
mempengaruhi prognosis penyakit ini.
Salah satu etiologi kelainan ini adalah tindakan
membedong bayi dengan tidak benar, yaitu
dengan memaksakan kaki bayi untuk lurus.
Dengan mengetahui cara membedong bayi
dengan benar, kita dapat mengurangi faktor
risiko kelainan ini.

Membedong merupakan istilah di Indonesia


untuk membungkus bayi, manfaat
membedong bayi diantaranya agar bayi tidak
terganggu dengan gerakan kejut yang biasa
dikenal dengan reflex Moro, membantu bayi
agar tetap hangat. Tetapi apabila membedong
bayi terlalu kencang, dengan memaksakan
kaki bayi menjadi lurus yang dapat
menyebabkan
Developmental
Displacement pada panggul . Berikut adalah
langkah langkah membedong bayi dengan
benar: 1) Rentangkan selimut bedong di
permukaan rata, membentuk segitiga (lipat
sudut bagian atasnya ke bawah, sebanyak 15
20 cm); 2) Letakkan kepala bayi tepat di
37

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 33 - 39

Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

38

Salter RB. Textbook of Disorders and


Injuries of the Musculoskeletal System.
Lippincott Williams & Wilkins. 1999;
8:146-156.
Apley AG, Solomon L. Genetic
Disorders, Dysplasia and Malformation.
System of Orthopaedics and Fractures,
7th edition, ELBS with ButterworthHeinemann, British Government. 1993;
132-161.
Duckworth T. Congenital Malformation.
Orthopaedic and Fractures. 3rd edition.
Alden Press Ltd. Great Britain. 1995;
190-196
Ferguson AB. Orthopaedic Treatment of
Childhood Disability. Orthopaedic
Surgery in infancy and Childhood, 3rd
edition. Igaku Shoin Ltd. Tokyo. 1968;
1-10.

5.

Salter RB. Congenital Abnormalities.


Textbook of Disorders and Injuries of
the Musculoskeletal System. Asian
edition. Igaku Shoin. Tokyo. 1970;84128.
6. Adams JC, Hamblen DL. Outline of
Orthopaedics. 11th edition. Churchill
Livingstone.British.1992;36-42
7. Swanson AB. Congenital Limb Defects,
Classification and Treatment. Ciba
Pharmaceutical Company. America.
1981;332
8. Turek SL . Congenital Deformities.
Orthopaedics Principles and Their
Application. Pitman Medical Publishin
Co.Ltd.London.1959;117-145.
9. http//www.tipsbayi.com/bedong
10. Simon SR. Orthopaedic Basic
Science.American Academy of
Orthopaedics Surgeon.USA.1994:127184

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SARINGAN


CADAS AON UNTUK MENYARING AIR PDAM DI DESA SUKAWATI DAN
GUWANG KECAMATAN SUKAWATI TAHUN 2010
I Wayan Suarta A1, I Nyoman Sujaya2, I Nyoman Purna3
Abstract. Increasing social economic status clean water use will increase as well.
Various ways to use the community to meet the needs of clean water, among others,
from dug wells, boreholes, springs, or from the Municipal Water Company (Perusahaan
Daerah Air Minum/PDAM). Communities in Sukawati village and Guwang village
still doing the processing of clean water from PDAM like a sieve Cadas Aon, because
the water from PDAM people complain about the smell of chlorine. Cadas Aon filter
in Sukawati village found as many as 1272 units and in the Village Guwang many
as 876 units (a total of 2148.units). This study is qualitative phenomenology is to
explain or reveal the meaning of the concept / phenomena of experience are
constituted by the consciousness that occurs in some individuals on situations that
naturally so there is no restriction in meaning or understanding the phenomena in
society who use filters CadasAon.
The results obtained by interview to use a list of questions to find the factors affecting
the use of Cadas Aon filter to filter water from PDAM such as turbidity, chlorine
smell, taste, and bacteriological factors. Chlorine smell factor that most affects the
use of filters Cadas Aon is 35.2%. Also why use a filter that causes Cadas Aon is
continuing the tradition, since the water from the topo taste fresher. The results of
laboratory examination of water samples taken at the filter Cadas Aon Coli form
bacteria indicate the average over 50 / 100 ml of water. Conclusions factor turbidity,
chlorine smell, taste and bacteriological not be the main reason for using a sieve
Cadas Aon,but ather continue the previus tradtion.
Keywords: clean water factors, Cadas Aon.
Penggunaan air yang semakin meningkat
menggunakan saringan cadas aon, karena air
seiring dengan peningkatan kesejahteraan
PDAM dikeluhkan masyarakat mangandung
masyarakat karena majunya teknologi
bau kaporit. Saringan Cadas Aon di temukan
menyebabkan keadaan menjadi kritis,
di Desa Sukawati sebanyak 1272 unit dan
sehingga berbagai cara yang digunakan
di Desa Guwang sebanyak 876 unit. Dalam
laporan penelitian risbinakes tahun 2000 yang
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air
untuk kehidupan antara lain, dari sumur gali,
berjudul Efektifitas saringan Cadas Aon
sumur bor, mata air, maupun dari PDAM
terhadap penurunan warna air limbah industri
(Perusahan Daerah Air Minum). Kecamatan
pencelupan tekstil pada ketebalan Cadas
Aon 15 cm dapat menurunkan warna sebasar
Sukawati dengan jumlah penduduk 41. 586
73,42 %3. Tujuan penelitian untuk mengetahui
jiwa, dimana salah satu sumber air untuk
1
rumah tangga berasal dari PDAM . Akan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengtetapi air yang berasal dari PDAM yang
gunaan saringan Cadas Aon untuk menyaring
seharusnya bisa digunakan langsung sebagai
air PDAM di Desa Sukawati dan Desa
air bersih yang memenuhi persyaratan air
Guwang.
minum yaitu memenuhi syarat fisik, kimia dan
bakteriologis2 ternyata masih diolah/disaring
1,2,3 Dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Denpasar
39

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 40 - 43

Metode
Penelitian ini bersifat Kualitatif Fenomenologi
yaitu mencoba menjelaskan atau mengungkap
makna konsep / fenomena pengalaman yang
didasari oleh kesadaran yang terjadi pada
beberapa individu4. Penelitian dilakukan pada
situasi yang alami sehingga tidak ada batasan
dalam memaknai atau memahami fenomena
yang dikaji pada masyarakat yang
menggunakan saringan Cadas Aon untuk
menyaring air PDAM di Desa Sukawati dan
Desa Guwang Kecamatan Sukawati
Kabupaten Gianyar Provinsi Bali.
Alokasi waktu penelitian mulai bulan Juni
sampai Oktober 2010. Populasi pada
penelitian ini adalah 2148 KK yang
mengguanakan saringan Cadas Aon untuk
menyaring air PDAM di Desa Sukawati dan
Desa Guwang. Sampel yang diambil dalam
penelitian ini sebanyak 10 % dari total
populasi.
Dalam penentuan sampel dengan populasi
yang diasumsikan berdistribusi normal maka
dapat digunakan tabel penentuan sampel pada
tingkat kesalahan 10 %. Sesuai dengan tabel
jumlah populasi 2148 KK didapat jumlah
sampel 215 KK (responden) dengan tingkat
kesalahan 10 %5. Untuk pemeriksaan
kualitas bakteriologis diambil 20 % dari
responden = 40 sampel air yang mewakili
masyarakat yang menggunakan saringan
Cadas Aon di Desa Sukawati dan Desa
Guwang. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini dalah random sampling,
yaitu dengan melakukan pengundian nomor
register KK di masing-masing Banjar Dinas
untuk dua Desa, dengan cara menjatuhkan
uang logam sebanyak 5 (lima) kali dimana 3
kali didapat nomor ganjil, maka setiap nomor
ganjil dimasing-masing banjar dinas di jadikan
sampel sampai mendapatkan 215 sampel.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah menggunakan
daftar pertanyaan (kuisioner), wawancara
mendalam (indepth intervew) 6 dan
pengambilan sampel air sebelum dan setelah
40

penggunaan saringan cadas aon. Data akan


diperoleh dari kuisioner dalah nama, umur,
jenis kelamin, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaan saringan Cadas
Aon serta data yang langsung dan segera
diperoleh dari sumber asli selannjutnya
dikumpulkan secara khusus sebagi jawaban
respon. Data yang sudah terkumpul ditabulasi
dan diedit, lalu diolah dicari presentase
masing-masing factor. Teknik analisis
menggunakan pendekatan fenomenologi yaitu
: mengorganisasikan, memberi catatan khusus,
mengelompokan semua data tentang
fenomena yang dikumpulkan.
Hasil dan Pembahasan
Luas wilayah Desa Sukawati adalah 735 Ha,
dengan kemiringan 0 20 % (relatif landai),
curah hujan pada musim kemarau paling
rendah 100 mm dan pada musim hujan paling
tinggi 3200 mm yang memiliki ketinggian dari
muka laut 10 15 m. Dengan temperatur
minimum rata-rata 27o C 33 o C
Desa Sukawati dan Desa Guwang didukung
oleh sarana kesehatan seperti di desa
Sukawati anatara lain; Pukesmas Pembantu
1 (satu) buah, 13 buah posyandu dan
Puskesmas Sukawati I dan di Desa Guwang
1(satu) buah Puskesmas Pembantu, dan 7
(tujuh) buah posyandu. Penyakit diare ada
720 kasus dan penyakit kulit 713 kasus7
tingginya kasus diare merupakan indikasi
kebersihan lingkungan dan penyediaan air
bersih perlu ditingkatkan. Penyediaan air
bersih seperti Topo/Jempeng untuk desa
Sukawati sebanyak 1272 buah dan desa
Guwang sebanyak 876 buah. Karakteristik
responden berdasarkan jenis kelamin 178
orang laki-laki dan 37 orang perempuan jadi
responden yang berjenis laki-laki lebih
tanggap atau koopertif dalam memberikan
respon dan ionformasi dibandingkan dengan
responden berjenis perempuan. Sedangkan
berdasarkan umur, umur responden yang
paling banyak antara umur 35 -50 tahun 187
orang.

Suarta A., Sujaya, dan Purna (Faktor-faktor yang ...)

Menurut tingkat pendidikan responden yang


paling banyak SLTP dan SLTA sebanyak 167
orang selebihnya SD dan Sarjana. Faktor
yang mempengaruhi peng-gunaan saringan
Cadas Aon/Topo seperti ;
Faktor kekeruhan walaupun tidak besar
prosentasenya yaitu sebesar 28 % tetapi
kekeruhan yang tinggi memungkinkan lebih
banyak bakteri yang dikandung dan
kemungkinan kontak antara desinfektan
dengan bakteri lebih kecil, selain itu juga
disebabkan oleh zat-zat organik yang terlarut
atau tersuspensi di dalam air akan dapat
dikurangi dengan cara menyaring air tersebut,
dengan saringan pasir cepat, saringan pasir
lambat, bahkan dapat dikurangi dengan
saringan Cadas Aon..
Bau kaporit, dari 215 responden yang
menjawab ya sebanyak 76 responden sekitar
35,2 %, faktor bau kaporit termasuk yang
paling banyak untuk mempengaruhi
masyarakat menggunakakan saringan Cadas
Aon untuk menyaring air dari PDAM di Desa
Sukawati dan Desa Guwang. Penggunaan
chlor yang berlebih dapat menyebabkan rasa
tidak enak pada air bersih. Pengolahan air
bersih dengan menggunakan chlor (kaporit)
sangat diperlukan untuk membunuh kuman/
bakteri phatogen yang terdapat di dalam air.
Sebagai pedoman untuk menentukan dosis
chlor = DPC + Sisa chlor (Mohammad Razif
Diktat Pengolahan Air minum TP-FTSP
ITS, 1985) DPC adalah singkatan dari daya
pengikat chlor (chlorine demand) mg/l, chlor
yang diperlukan untuk mengoksidir reduktor
dan membunuh bakteri dalam air, nilai ini
dapat ditentukan di laboraturim8. Besarnya
sisa chlor tergantung dari jarak yang ditempuh
oleh air di dalam pipa sampai di konsumen.
Untuk jarak yang tidak terlalu jauh sisa chlor
cukup 0,2 0,4 mg/l . Hal ini sangat baik
digunakan dalam desifeksi air pada topo yang
volume airnya relati dapat ditentukan.
Misalnya DPC = 1,4 mg/l, sisa chlor
diinginkan 0,4 mg/l, dengan demikian dosis
chlor = 1,8 mg/l.

jika menggunakan kaporit yang mengandung


60% chlor, maka dosis kaporit = 100/60 x
1,8 mg/l = 3 mg/l atau 3 cc yang artinya setiap
1(satu) liter air diperlukan 3 mg kaporit.
Penggunaan pasir karbon/arang batok kelapa
dapat juga mengurangi bau yang tidak enak
di dalam air bersih. I Ketut Aryana, hasil
penelitian mengunakan arang batok kelapa
untuk menurunkan bau limah potong ayam di
Banjar Pande Renon Denpasar tahun 20079,
dikatakan arang batok kelapa dapat
menurunkan bau sampai 60 %.
Rasa air PDAM tidak terlalu berpengaruh
terhadap penggunaan saringan Cadas Aon,
dimana responden yang menjawab ya
sebanyak 15 responden yang berarti hanya
sebesar 7 % responden yang mengatakan
bahwa rasa dapat dapat mempengaruhi
penggunaan saringan Cadas Aon di Desa
Sukawati dan Desa Guwang, selain dosis
chlor yang berlebih, juga tingkat pencemaran
air yang tinggi dapat juga menyebabkan air
bersih menjadi berasa10. Pengambilan air
saringan Cadas Aon oleh petugas kesehatan
untuk diperiksa di laboraturium sangat jarang
hal ini disebabkan karena kekurangan biaya
dari pemerintah. Pengambilan sample air oleh
petugas kesehatan biasannya kalau ada kasus
diare yang meningkat secara tiba-tiba.
Masyarakat di Desa Sukawati dan Desa
Guwang sebagian besar tidak merebus lagi
air dari Topo, dimana masyarakat yang
merebus air sebelum diminum sebayak 78
orang dari 215 responden atau sekitar 36,3%.
Faktor biologi, hal ini dapat diketahui melalui
pemeriksaan air dilaboraturium, Hasil
pemeriksaan air yang telah disaring dengan
cadas aon di Desa Sukawati dan Desa
Guwang seperti pada tabel 1.
Tabel 1
Hasil pemeriksaan coliform air cadas aon di Desa
Sukawati dan Guwang
Jml. Kuman/100 ml
Coliform
0 -50
>50
Total

Jumlah
Ket.
Resp.
18
Baik
12
Kurang baik
40

41

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 40 - 43

Dari hasil pemeriksaan laboratorim secara


bakteriologis 40 sampel yang diperiksa masih
ditemukan adanya bakteri coli form yang
artinya air dari Cadas Aon perlu dilakukan
desinfeksi sebelum air tersebut diminum
misalnya air tersebut harus direbus sebelum
diminum. Sedangkan mengenai E. Coli semua
sample dinyatakan negatip.
Topo sebagai saringan Cadas Aon yang
digunakan untuk menyaring air PDAM oleh
masyarakat di Desa Sukawati dan di Desa
Guwang sebagian besar berbentuk slinder
dengan dengan ketebalan berpariasi dari 5
10 cm, dengan volume rata-rata 20 liter.
Cara kerja saringan Cadas Aon : Topo/
Jempeng sebelum digunakan terlebih dahulu
dicuci bersih, setelah dicuci lalu dikeringkan11.
Topo/Jempeng akan ditempatkan pada bak
segi empat panjang yang sebelumnya telah diisi
air PDAM. Air PDAM akan masuk atau
tersaring melalui pori-pori cadas aon. Air yang
telah tersaring akan diambil dengan
menggunakan centong yang terbuat dari
pelastik. Masalah yang peneliti temukan
pengguanan alat untuk mengambil air sering
digunakan untuk keperluan lain seperti untuk
minum, menyikat gigi, dan penenpatan
centong pelastik kurang baik. Air yang
tertampung di bak atau air yang akan disaring
belum dilengkapi dengan tutup, sehingga
nyamuk memiliki kesempatan untuk bertelur
dan telurnya menetas menjadi jentik.
Fenomena yang peneliti temukan kenapa
masyarakat di Desa Sukawati dan Desa
Guwang menggunakan saringan Cadas Aon
karena rasa airnya lebih segar dan sebagian
besar tidak dilakukan pengolahan lagi seperti
didesifeksi maupun direbus sebelum diminum.
Hal lain sebelum masuknya air dari PDAM
masyarakat terlebih dahulu menggunakan air
dari sungai yang disaring dengan
menggunakan saringan Cadas Aon. Oleh
karena bak yang sudah ada sebelumnya tetap
dimanfaatkan untuk menyaring air PDAM
sebelum diminum. Keterangan dari
responden sebagian besar melanjutkan tradisi
yang sudah ada sebelumnya, Model saringan
42

Cadas Aon yang dapat di kembangkan atau


digunakan untuk menyaring air perlu
dimodifikasi agar kualitas air yang disaring
menjadi bebas dari bau, maupun kuman
pathogen, dan perlu ditambahkan saluran
yang dilengkapi dengan kran, agar tidak
menggunakan ciduk/centong untuk
mengambil air di dalam Topo. Dapat juga
dimasukan arang batok kelapa dalam bak
sebelum air tersebut disaring dengan topo,
karena arang batok kelapa dapat menyerap
bau yang tidak diinginkan12. Kecepatan
penyaringan atau filter dari Cadas Aon sangat
tergantung dari ketebalan dinding, dan
porositas atau diameter pori dari topo tersebut.
Istilah jumlah air yang tersaring sering disebut
dengan debit. Perhitungan untuk menghitung
debit saringan Cadas Aon yang ada di Desa
Sukawati dan Desa Guwang dapat dilakukan
dengan cara ; a. hitung volume dari pada topo,
misalnya 10 liter air. b. hitung waktu yang
diperlukan untuk memenuhi volume topo
tersebut, misal 2 jam (120 menit). Jadi debit
saringan Cadas Aon tersebut = 10 liter : 120
menit = 0,08 liter/ menit. Kecepatan
penyaringan dari topo/jempeng di Desa
Sukawati dan Desa Guwang dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut, agar keperluan air
minum setiap harinya dapat terpenuhi.
Kesimpulan dan Saran
Secara umum air PDAM kualitasnya cukup
jernih, tapi kadang-kadang saja agak keruh,
faktor kekeruhan 28 %, bau 35,2%, rasa 7
% dan melanjutkan tradisi 39,8 %.
Kebersihan peralatan untuk mengambil air,
seperti centong pelastik perlu diperhatikan
kebersihannya, agar air bisa bebas dari
pengotoran, karena hasil pemeriksaan air
Topo di laboratorium dari 40 sampel air yang
diperiksa 12 sampel masih ditemukan Coli
form. Fenomena penggunaan saringan Cadas
Aon lebih banyak meneruskan tradisi, karena
Cadas Aon dan bak penampungan air telah
ada sebelumnya. Saran kepada Pemerintah
dalam hal ini petugas kesehatan di Puskesmas
mengambil sampel air secara berkala, setiap

Suarta A., Sujaya, dan Purna (Faktor-faktor yang ...)

3 (tiga) bulan sekali atau 6 (enam) bulan sekali.


Bak air sebagai penampungan air sebelum
disaring dengan Cadas Aon sebaiknya
dilengkapi dengan tutup agar tidak menjadi
tempat untuk berkembangbiaknya nyamuk
aedes Aegypti
Saringan Cadas Aon sebaiknya dilengkapi
dengan saluran dan kran untuk mengambil air
agar terbebas dari pencemaran.
Daftar Pustaka
1.
2.

3.

4.

5.

................ 2007, Profil Desa Sukawati


................ Depkes RI,1990,
Permenkes 416/Menkes/Per/1990
Tentang Persyaratan Kualitas Air
Minum
Aryana, I Ketut, 2000, Efektivitas
Ketebalan Cadas Aon Terhadap
Penurunan Warna Air Limbah Industri
Pencelupan Tekstil di Banjar Pemogan
Desa Pemogan Kecamatan Denpasar
Barat Kota Denpasar.
Supranto,J,MA, 1997, Metode Riset,
Aplikasi Dalam Pemasaran, Jakarta
Rineka Cipta.
Sugiyono, 2002, Metodelogi Penelitian
Bisnis, Cetakan pertama, Bandung
Alpha Beta.

6.

7.
8.

9.

10.

11.

12.

Arikunto, Suharsini, 2006, Prosedur


Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik,
edisi RevisiV, Cetakan Kedua belas,
Jakarta, Rineka Cipta.
.............. 2009, Laporan Puskesmas
Sukawati I
Rasif M, 1985, Pengolahan Air Minum,
Teknik Penyehatan, Fakultas Teknik
Sipil ITS.
Aryana, I Ketut, 2007, Efektivitas
Arang Batok Kelapa terhadap
penurunan bau limbah potong ayam di
Bajar Pande Renon Denpasar
Kecamatan Denpasar Selatan.r.
Sanropie, Djasio,dkk, 1984, Pedoman
Bidang Studi Penyehatan Air Bersih
Akademi Penilik Kesehatan Teknologi
Sanitasi (APK-TS) Proyek
Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat,
Jakarta.
Adnyana Enteg I Made, 1979, Daya
kerja Jempeng Saringan Batu Cadas
Sebagai Saringan Sederhana Untuk
Menyaring Air Minum di Desa
Kerobokan Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung.
Djoko Sasongko, 1986, Teknik
Sumber Daya Air, Edisi ke tiga, Jakarta
Erlangga.

43

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 44 - 50

INDEKS GLIKEMIK MENU MAKANAN RUMAH SAKIT DAN


PENGENDALIAN GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS
RAWAT INAP DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Ni Komang Wiardani1, Ni Nyoman Sariasih2, Yusi Swandari3
Abstract. Diabetes mellitus was a chronic disease caused by disturbances in the
metabolism of carbohydrates, fats and proteins in the body werw charactaristed by
high blood glucose level. The study conducted to know Glycemic Index of Hospital
menu and blood glucosa control of diabetes melitus patients in RSUP Sanglah
Denpasar. The study was observational descriptive with cross sectional study.
Subject of the study were tipe 2 Diabetes Mellitus inpatient in RSUP Sanglah
Denpasar. The sampling technique is determined by non random sampling method
by which each patients DM consecutive technique inpatients who met the criteria
were taken as subject, to obtain the required number of samples. In this study, 43
samples were obtained that fulfille Collected data were subject identity, glycemic
index of food , 2 jpp blood glucose . The study showed that 72,27% the meal had
low glicemic index and 27,73 % had high glicemic index. If glycemic index related
by glycemic control, in the morning, a part of sample consumption high GI its
53.65% with good control blood glucose. In the day and night a part of samples
consumption medium, there were 15 samples (53.65%) and 25 samples (92.9%)
with bad control blood glucose Results obtained Chi Square p> 0.05, it can be
concluded there was no significant relationship between Glycemic index diet and
hospital blood glucose control in patients with diabetes mellitus.
Keywords : Diabetes melitus, Glycemic index, Blood glucose control.
Sejalan dengan kemajuan dalam bidang sosial
ekonomi dan perubahan gaya hidup
khususnya di daerah perkotaan di Indonesia,
jumlah penyakit degeneratif semakin
meningkat. Salah satunya adalah penyakit
Diabetes Melitus (DM) yang ditandai
peningkatan kadar glukosa dalam darah
sebagai akibat kurangnya produksi atau
resistensi sel-sel tubuh terhadap insulin1.
Menurut survei yang dilakukan oleh organisasi
kesehatan dunia (WHO), Indonesia
menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah
penderita DM dengan prevalensi 8,6% dari
total penduduk setelah India, Cina dan
Amerika Serikat2. Pada tahun 2003, WHO
memperkirakan 194 juta jiwa atau 5.1% dari
3.8 miliyar penduduk dunia usia 20-79 tahun
1
2
3
44

menderita DM dan pada tahun 2025


diperkirakan meningkat menjadi 333 juta jiwa
(30). Data epiodemiologi menunjukkan,
bahwa jumlah penderita DM di dunia dari
110.4 juta pada tahun 1994 akan meningkat
1.5 kali lipat (175.4 juta) pada tahun 2000,
dan akan meningkat dua kali lipat (293.3 juta)
pada tahun 20104.
Hasil survei Departemen Kesehatan RI tahun
2005 menunjukkan prevalensi penyakit DM
di propinsi Bali mencapai 7,5%. Data laporan
tahunan RSUP Sanglah Denpasar
menunjukan jumlah penderita DM di RSUP
sanglah juga mengalami peningkatan setiap
tahun yaitu 7.746 orang (2006) , 8.606 orang
(2007) dan data dari Januari sampai dengan
Juli 2008 sebanyak 4.880 orang atau

Dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Denpasar


Instalasi Gizi RSUP Sanglah Denpasar
Alumni Jurusan Gizi Poltekkes Denpasar

Wiardani, Sariasih dan Yusi S. (Indeks glikemik menu ...)

prevalensinya sekitar 29,59% (2006),


29,45% (2007), serta 31,95% pada Januari
sampai Juli 20085.
Diabetes Melitus merupakan penyebab utama
kematian di negara maju dan negara sedang
berkembang. Penyakit ini sangat terkait
dengan pola perilaku, termasuk pola makan
dan aktifitas fisik. Kecenderungan untuk
mengkonsumsi makanan yang tidak
seimbang, kaya lemak dan energi, tetapi
rendah vitamin, mineral, dan serat diketahui
merupakan salah satu penyebabnya. Pola
hidup santai (sedentary life style) dan aktifitas
fisik rendah yang bertolak belakang dengan
asupan pangan berlemak dan berenergi tinggi,
turut memperburuk kerentanan seseorang
menderita penyakit degeneratif6.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam
pengendalian DM adalah dengan melakukan
kontrol glukosa darah melalui empat pilar
pengelolaan DM yaitu pengaturan makan,
edukasi, latihan fisik dan obat. Pengaturan
makan merupakan pilar utama pengelolaan
DM. Anjuran makan pada penderita DM
sama dengan anjuran makanan orang sehat
umumnya, yaitu makanan menu seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan energi. Tujuan makan
yang sesuai dengan kebutuhan energi adalah
agar dapat mencapai dan mempertahankan
berat badan yang normal dan kadar gula
darah terkendali dengan baik4.
Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins dalam
Rimbawan (2004) menunjukkan bahwa
kenaikan kadar glukosa darah dalam tubuh
tergantung dari jenis makanan yang
dikonsumsi yaitu karbohidrat, bentuk
makanan, dan cara pengolahan mempunyai
pengaruh terhadap glukosa darah dan ini
berarti mempengaruhi nilai Indeks Glikemik
dari suatu makanan. Kelompok yang
mengkonsumsi karbohidrat dengan Indeks
Glikemik tinggi menghasilkan retensi insulin
lebih tinggi daripada kelompok yang
mengkonsumsi karbohidrat dengan Indeks
Glikemik rendah8.
Peran utama Indeks Glikemik dalam
penatalaksanaan diet pada penderita DM

adalah memudahkan pemilihan bahan


makanan sehingga mampu mengendalikan
kadar gula darah. Dengan diketahuinya
Indeks Glikemik pangan tunggal, campuran
dan pangan olahan maka penderita DM
secara mandiri dapat memilih makanan
dengan Indeks Glikemik rendah. Mengingat
pentingnya peran Indeks Glikemik makanan
perlu dibuat suatu standar menu atau standar
diet DM yang memiliki indeks glikemik
sebagai upaya pengendalian atau kontrol gula
darah6.
Pemberian makanan pada Penderita DM
di rumah di RSUP Sanglah Denpasar telah
menggunakan standar diet DM seperti yang
tercantum dalam penuntun Diet tetapi belum
pernah dihitung nilai Indeks Glikemik dari
menu dalam standar diet tersebut. Untuk itulah
penulis tertarik untuk menganalisis Indeks
Glikemik menu makanan rumah sakit dan
pengendalian kadar glukosa darah penderita
DM rawat inap di RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam hal ini menu yang akan dinilai Indeks
Glikemiknya adalah siklus menu 10 hari yang
digunakan di RSUP Sanglah Denpasar.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan rancangan cross
sectional. Penelitian dilaksanakan di RSUP
Sanglah Denpasar yaitu pada Mei 2010
sampai dengan Juni 2010. Populasi penelitian
adalah semua penderita yang didiagnosis
memiliki penyakit DM yang dirawat inap di
RSUP Sanglah Denpasar. Sedangkan sampel
adalah sebagian populasi dengan kriteria ;
Pasien DM Tipe 2 yang di rawat inap pada
saat dilakukan penelitian, mendapat terapi
dengan standar diet DM selama dirawat inap,
tidak menggunakan insulin secara rutin, jenis
kelamin laki- laki atau perempuan, berusia
20 tahun dan bersedia untuk diteliti.
Penentuan besar sampel dihitung
berdasarkan rumus perhitungan sampel
rancangan cross sectional dengan sampel
tunggal (9), pada tingkat kesalahan 15% (d
= 0.15). Berdasarkan perhitungan tersebut,
45

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 44 - 50

besar sampel minimal adalah sebanyak 43


orang. Teknik pengambilan sampel dengan
menggunakan metode Non Random Sampling
yaitu dengan teknik Konsekutif yaitu setiap
pasien DM rawat inap yang memenuhi kriteria
diambil sebagai sampel sampai diperoleh
jumlah sampel yang diperlukan.
Jenis data yang dikumpulkan yaitu data
primer (identitas sampel, indeks glikemik
menu, kadar gula darah 2 JPP. Data
sekunder meliputi standar menu Diet DM,
siklus menus 10 hari, gambaran umum RSUP
dan catatan medis penderita selama dirawat.
Data identitas sampel dikumpulkan melalui
wawancara dengan form identitas sampel.
Indeks Glikemik dikumpulkan dengan
mencatat dan menimbang menu yang
disajikan secara langsung melalui siklus menu
ke 1 sampai dengan siklus menu ke 10, kadar
gula darah 2 JPP dikumpulkan dengan cara
mengecek secara langsung dengan
menggunakan alat biosensor glukosa metode
glukooksidase dan dilakukan 2 jam setelah
pasien mengkonsumsi makanan (pagi, siang
dan malam) yang diberikan oleh rumah sakit.
Data Sekunder meliputi siklus menus 10
hari dan catatan medis melalui pencatatan.
Data yang telah terkumpul dicek kembali
kelengkapannya sebelum diolah lebih lanjut.
Data Identitas sampel, standar diet DM yang
diberikan selama pengamatan ditabulasi dan
disajikan secara deskriptif. Indeks Glikemik
standar diet RS adalah menu makanan yang
disajikan secara riil kepada pasien DM yang
disusun berdasarkan siklus menu 10 hari yang
dihitung dengan menggunakan rumus Indeks
Glikemik pangan menyeluruh, dikategorikan
menjadi Indeks Glikemik rendah/sedang jika
nilai 55 70 dan Indeks Glikemik tinggi jika
>70 (6). Kadar gula darah pasien DM tipe 2
yang diperoleh dari hasil pengecekan gula
darah 2 JPP secara langsung dengan
menggunakan biosensor glukosa
dikatagorikan menjadi terkendali apabila
kadar gula darah < 179 mg/dl, tidak terkendali
apabila kadar gula darah 179 mg/ dl.
46

Hubungan antara Indeks Glikemik menu


makanan rumah sakit dan pengendalian kadar
gula darah, dianalisis dengan uji statistik ChiSquare.
Hasil dan Pembahasan
Karateristik Sampel
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 43
orang sampel, diketahui sebaran sampel
menurut umur yaitu kategori umur terbanyak
adalah umur 40-50 tahun yaitu 21 orang
sampel (48.8%) dan umur terendah adalah <
40 tahun sebanyak 4 orang sampel (9.3%).
Dilihat dari jenis kelamin, sebagian besar
sampel berjenis kelamin laki-laki yaitu 24
orang (55.8%). Tingkat pendidikan sampel
terbanyak adalah SMA yaitu 19 orang
(44.2%). Proporsi pekerjaan sampel paling
banyak adalah Pegawai Swasta yaitu 16
orang (37.2%).
Tabel 1
Distribusi Karakteristik Sampel
Karateristik
Jenis Kelamin
Kategori Umur

Pendidikan

Pekerjaan

Status Gizi

Total

Kategori
Laki laki
Perempuan
< 40
40 50
> 50
Tidak Tamat SD
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
IRT
Petani
Supir
Pedagang
Pegawai Swasta
PNS
Kurang
Normal
Gemuk
Obesitas

%
24 55.8
19 44.2
4 9.3
21 48.8
18 41.9
5 11.6
16 37.2
2 4.7
19 44.2
1 2.3
5 11.6
12 27.9
2 4.7
6 14.0
17 39.5
1 2.3
5 11.6
36 83.7
1 2.3
1 2.3
43 100.0

Dilihat dari jenis kelamin, proporsi sampel


laki-laki lebih besar dari perempuan. Hal ini
didukung oleh teori yang menyatakan bahwa
pola pewarisan genetik DM tipe 2 lebih kuat

Wiardani, Sariasih dan Yusi S. (Indeks glikemik menu ...)

pada laki-laki dibandingkan perempuan,


demikian juga insiden DM tipe 2 pada
dewasa mengalami peningkatan setiap tahun
dan peningkatan lebih tinggi pada laki-laki10.
Berdasarkan status gizi, sebagian besar
sampel memiliki status gizi normal sebanyak
36 orang (83.7%) dan hanya satu orang
sampel memiliki status gizi gemuk dan
obesitas (2.3%). Data ini sedikit bertentangan
dengan penelitian yang dilakukan pada
penderita DM rawat jalan di RSUP sanglah
2006 dimana pasien DM rawat jalan yang
baru terdiagnosa DM sebagian besar
berstatus gizi lebih11. Tetapi secara teoritis,
penderita DM yang sudah menderita penyakit
cukup lama cenderung mengalami penurunan
BB karena terjadi proses katabolisme
endogen sebagai salah satu ciri pada
penderita DM tahap lanjut.
Standar Menu dan Nilai Gizinya di
RSUP Sanglah Denpasar
Standar menu yang digunakan di RSUP
Sanglah adalah standar diet DM A yang
berpedoman pada diet RSCM dan standar
diet DM B yang berpedoman pada standar
menu DM Dr. Soetomo Surabaya. Diet DM
A terdiri dari diet penyakit nefrofati diabetik
dengan protein 40 gram dan diet DM A untuk
penyakit nefrofati diabetik dengan protein 50
gram. Diet DM A mempunyai kandungan
Karbohidrat sebesar 60%, Protein 15% dan
Lemak 25%. Diet DM B dengan kandungan
Karbohidrat 60%, protein 20%, dan lemak
20% . Diet DM B terdiri dari diet DM B1,
diet DM B1 tanpa susu dengan susunan
Karbohidrat 60%, protein 20%, dan lemak
20%, diet DM B2 untuk nefrofati diabetik
stadium 2 dengan 60 gr protein, diet DM B3
untuk nefrofati diabetik stadium lanjut dengan
kandungan protein sebesar 40 gram.
Selama dilakukan penelitian, sebagian besar
sampel mendapatkan menu DM dengan 1900
kkal, dimana kondisi sampel mengalami
Diabetes dengan komplikasi DF (Diabetik
Foot). Sisanya diberikan menu Diabetes
dengan diet DM B2 2100 kkal dengan

kondisi pasien mengalami diabetes dengan


komplikasi ginjal. Cara pengolahan dari
masing-masing siklus menu baik menu ke-1
sampai dengan menu ke-11 sangat bervariasi
yaitu dengan cara direbus, dikukus, ditumis,
diungkep serta dioreng. Adapun nilai gizi
menu dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Rerata kandungan zat gizi pada siklus menu
RSUP Sanglah Denpasar
Kandungan Zat Gizi
Energi Protein Lemak Karbohidrat
(Kal)
(g)
(g)
(g)
I
1790
71.3
31
499
II
2229
49
17
465
III
2227
71.4
32
412
IV
2206
59
22
457
V
2524
72
31
499
VI
2407
73.5
22
478
VII
2221
67.2
26
428
VIII
2280
71.5
30
432
IX
2636
77.9
30
518
X
2236
68.1
34
422
Rata-Rata 2162.09 67.88 27.90
430.36
Menu

Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa


kandungan zat gizi menu yang diberikan
kepada pasien mempunyai kandungan zat gizi
dengan rerata, yaitu Energi 2162.09 Kal,
protein 67.88g, lemak 27.90g dan
karbohidrat 430.36g. Menu ke IX
mempunyai kandungan energi dan karbohidrat paling tinggi yaitu 2636 Kal dan 518g.
Kandungan karbohidrat yang tinggi pada suatu
bahan pangan dapat menunjukkan besar
kandungan Indeks Glikemik yang
dikandungnya. Semakin tinggi kandungan
karbohidrat, maka semakin tinggi indeks
glikemik makanan yang dikonsumsi. Hal ini
dapat memberikan pengaruh terhadap
peningkatan kadar gula darah8.
Indeks Glikemik
Indeks Glikemik pangan adalah tingkatan
pangan menurut efeknya terhadap kadar gula
darah. Pangan yang baik diberikan bagi
penderita DM adalah pangan yang memiliki
nilai Indeks Glikemik rendah8.
47

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 44 - 50

Indeks Glikemik pada penelitian ini ditentukan


dengan cara menilai Indeks Glikemik pangan
menyeluruh, berdasarkan atas menu makanan
rumah sakit yang disusun berdasarkan siklus
menu 10 hari dan menu makanan yang
disajikan kepada pasien DM. Kandungan
Indeks Glikemik standar menu rumah sakit
yang disusun berdasarkan siklus menu 10 hari
dapat dilihat pada gambar 1.

Berdasarkan kategori Indeks Glikemik


standar menu yang disusun rumah sakit baik
pagi, siang dan malam sebagian besar
mempunyai kandungan Indeks Glikemik
rendah/sedang (72.73%) dan sebesar
(27.27%) mempunyai kandungan Indeks
Glikemik tinggi (gambar 2).

Gambar 2
Persentase Kelompok Indeks Glikemik Siklus
menu 10 Hari

Gambar 1
Indeks Glikemik Makanan Penderita DM pada
siklus menu 10 Hari

Gambar 1 memperlihatkan bahwa indeks


glikemik tertinggi terdapat pada siklus menu
yang ke IX ( IG 72,16) dan terendah pada
siklus menu ke III dengan rata rata indeks
glikemik pada seluruh siklus menu adalah
65,63. Menu makanan yang baik diberikan
kepada penderita DM adalah menu makanan
yang mempunyai kandungan Indeks Glikemik
rendah. Berdasarkan hasil penelitian, menu
yang baik diberikan kepada pasien DM
adalah menu pada siklus menu ke-3 karena
mempunyai rerata Indeks Glikemik paling
rendah (65,63) jika dibandingkan dengan
menu yang lainnya.
Kandungan Indeks Glikemik yang tinggi pada
suatu bahan pangan akan memberikan
pengaruh terhadap pengendalian kadar gula
darah. Kadar gula darah yang tinggi pada
penderita DM dapat menyebabkan
komplikasi akut seperti koma, hiperglikemia,
stroke, infark miokard atau gangguan
pencernaan12.

48

Jika dilihat dari menu yang dikonsumsi oleh


sampel selama rawat inap maka, maka
sebaran sampel berdasarkan rata-rata indeks
glikemik menu yang dikonsumsi tersaji pada
tabel 3.
Tabel 3
Sebaran kategori indeks glikemik menu yang
dikonsumsi sampel
Kategori Indeks Glikemik
Menu
Rendah/
Makanan
%
Tinggi
%
sedang
Pagi
18
22.78
25
50
Siang
24
30.38
19
38
Malam
37
46.84
6
12
Total
79
100
50
100

Hasil penelitian yang telah dilakukan di


RSCM Jakarta tentang Indeks Glikemik
Menu Makan Siang Menurut Komposisi Zat
Gizi Standar Diet Diabetes Melitus yang
dilakukan kepada penderita DM, juga
menunjukkan rerata Indeks Glikemik pangan
pada siklus menu memiliki nilai sedang atau
tinggi. Hanya pada siklus (< 50) dengan
bahan makanan yang terdiri dari: nasi, ikan
tenggiri goreng, tempe becem, sayur asep,
lalap ketimun dan apel. Menu ke-5 mempunyai
kandungan zat gizi yaitu Karbohidrat 64.8%,
Protein 15.1% dan Lemak sebesar 21.4%,
sehingga menu ke-5 dapat diberikan kepada
penyandang DM.

Wiardani, Sariasih dan Yusi S. (Indeks glikemik menu ...)

Pengendalian Kadar Gula Darah


Pengendalian kadar gula darah yang diteliti
berdasarkan kadar gula darah 2 JPP.
Pengambilan darah sampel dilakukan
sebanyak 3 kali yaitu pada pagi, siang dan
malam hari, setelah 2 jam makan. Distribusi
sampel menurut pengendalian kadar gula
darah dapat dilihat pada gambar 3.

pengendalian gula darah tidak terkendali.


Untuk lebih jelasnya, hubungan Indeks
Glikemik Menu Makanan Rumah Sakit Dan
Pengendalian Gula Darah dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4
Sebaran pengendalian kadar gula darah menurut indeks glikemik menu
rumah sakit

Rendah (<70)
Tinggi (? 70)
Total
Rendah (<70)
Siang Tinggi (? 70)

Pengendalian Kadar Gula Darah


P
Tidak
Terkendali
Total
(Value)
N
%
n
%
n
%
13 46.4
5
33.3 18 41.9
15 53.6 10 66.7 25 58.1 0.407
28 100 15 100 43 100
15 53.6
9
60.0 23 53.5
13 46.4
6
40.0 19 44.2 0.686

Rendah (<70)
Malam Tinggi (? 70)
Total

26
2
28

Menu

Indeks
Glikemik Menu

Pagi

Gambar 3
Distribusi Pengendalian Kadar Gula Darah
Sampel

Berdasarkan gambar 3 dapat diketahui,


sebagian besar sampel memiliki pengendalian
gula tidak terkendali baik pada pagi, siang
dan malam hari yaitu sebanyak 28 orang
(65.1%) dan sisanya adalah sampel dengan
pengendalian gula darah terkendali sebanyak
15 orang (34.9%). Kontrol Glikemik atau
pengendalian kadar gula darah sangat
dipengaruhi oleh ketaatan penderita dalam
menjalankan diet, latihan fisik dan obatobatan. Walaupun menu yang disajikan sesuai
dengan standar kebutuhan, tetapi jika diikuti
dengan konsumsi makanan yang tidak teratur
akan menimbulkan fluktuasi kadar gula darah.
Disamping itu sampel juga mengkosumsi
makanan di luar rumah sakit.
Hubungan Indeks Glikemik Menu
Makanan Rumah Sakit Dan
Pengendalian Kadar Gula Darah
Hasil penelitian menunjukkan, pada pagi
hari sebagian besar sampel mengkonsumsi
Indeks Glikemik tinggi yaitu 15 orang sampel
(53.6%) dengan pengendalian glukosa darah
tidak terkendali. Pada siang dan malam hari
sebagian besar sampel mengkonsumsi Indeks
Glikemik sedang yaitu 15 orang sampel
(53.65) dan 26 orang (92.9%) sampel dengan

92.9
7.1
100

11
4
15

73.3
26.7
100

37
6
43

86.0
14.0
100

0.780

Berdasarkan hasil analisis dengan


menggunakan uji statistik Chi Square
diperoleh hasil tidak ada hubungan yang
signifikan antara Indeks Glikemik Pangan dan
Pengendalian Kadar Gula Darah pada menu
pagi, siang dan malam hari, dengan p value >
0.05 ( p1 = 0.407, p2 = 0.686, p3 = 0.780).
Hubungan yang tidak signifikan antara Indeks
Glikemik dengan pengendalian gula darah
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
ketidaktaatan pasien terhadap diet yang
dijalaninya. Hasil pengamatan terhadap pasien
selama dirawat di rumah sakit, pasien
mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari
luar rumah sakit. Faktor stres yang dialami
oleh pasien selama dirawat di rumah sakit
juga berpengaruh terhadap peningkatan kadar
glukosa darah. Dalam kondisi stres terjadi
pemecahan lemak pada jaringan sehingga
dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil
penelitian ini antara lain : 1) Standar menu
rumah sakit yang diberikan kepada pasien
DM sebagian besar diberikan diet DM B1
dengan 1900 kkal, dimana kondisi pasien
mengalami komplikasi DM dengan diabetik
foot dan jantung koroner; 2) Standar menu
rumah sakit yang disusun berdasarkan siklus
menu 10 hari mempunyai kandungan Indeks
49

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 44 - 50

Glikemik rendah /sedang (<70) dan menu


rumah sakit yang disajikan secara riil kepada
pasien DM mempunyai kandungan Indeks
Glikemik hampir sama dengan standar menu
rumah sakit yaitu sedang dengan rata-rata
68.32; 3) Baik pagi, siang dan malam hari
pengendalian kadar gula darah 2jpp sampel
sebagian besar adalah tidak terkendali; 4)
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square
tidak ada hubungan yang signifikan antara
Indeks Glikemik menu makanan rumah sakit
dan pengendalian kadar gula darah pada
pasien Diabetes Melitus rawat inap di RSUP
Sanglah Denpasar ( p > 0.05).
Hal yang dapat disarankan adalah : diperlukan
adanya peningkatan pengetahuan tenaga
rumah sakit tentang Indeks Glikemik
sehingga bisa menyusun menu dengan Indeks
Glikemik rendah, adanya monitoring dan
evaluasi secara rutin tehadap distribusi dan
penyajian makanan rumah sakit agar pasien
bisa mengkonsumsi makanan tepat waktu
sesuai dengan standar yang berlaku dan Ahli
Gizi ruangan sebaiknya meningkatkan
frekuensi pemberian konsultasi kepada pasien
yang dirawat inap, sehingga dapat menjalakan
diet dengan baik.
Daftar Pustaka
1.
2.

3.

4.

50

FKUI. 2006. Hidup Sehat Dengan


Diabetes. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Indonesia, Depkes RI. 2003. Penderita
Kencing Manis Indonesia. Serial online.
Tersedia dalam Http://depkes.co.id
WHO,2003. Facts Related to Chronic
Disease . Non Communicable Disease.
Series online. Available from Http://
www.who.int
Tjokroprawiro,Askandar. 2001. Hidup
Sehat Dan Bahagia Bersama
Diabetes.Jakarta:PT. Gramedia Pustaka
Utama.

5.

RSUP Sanglah Denpasar . ( 2008) .


Laporan tahunan RSUP Sanglah
Denpasar. Denpasar : RSUP Sanglah
6. Soewondo,Prada. 2006. Hidup Sehat
Dengan Diabetes. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Badawi, Hasan. 2009. Melawan Dan
Mencegah Diabetes. Yogyakarta
:Araska.
8. Rimbawan, Albiner. 2004. Indeks
Glikemik Pangan. Jakarta. Utama.
9. Sastroasmoro,Sudigdo , Sofyan Ismael.
1995. Dasar- Dasar Metodologi
penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa
Akasara
10. American Diabetes Association ( ADA)
(, 2005. .The Genetic Of Diabetes .
Series online available from : Http://
www.diabetes. org .
11. Wiardani, NK, Hamam Hadi dan
Hemmy H. 2007 Pola makan dan
Obesitas sebagai factor Risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2 di RSUP Sanglah
Denpasar. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
Vo.4(1) .p 1-10. Yogyakarta : PS Gizi
dan kesehatan UGM.
12. Tandra, Hans. 2008. Diabetes. Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN MASYARAKAT


DALAM PEMBERANTASAN VIRUS RABIES DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KEDIRI I KABUPATEN TABANAN TAHUN 2011
I Ketut Aryana1, IGA Dewi Sarihati2, I Wayan Merta3
Abstract. This study aims to analyze the factors that are considered community in
the eradication of rabies virus in the working area Kediri Health Center I, Tabanan,
among those factors which are factors which are considered the dominant factor in
the eradication of rabies virus. Measurements performed using community in the
region quisioner at Work Health Center Kediri I Tabanan. The research was conducted
in the form of analytical descriptive with cross-sectional design of data collection in
the field shortly. Then proceed by analyzing the factors considered by the existing
community health center in the region employment Kediri I Tabanan regency in 2011.
The results obtained from interviews using a list of questions that have tested the
validity and its reliability, then analyzed to find the dominant factors are considered
in the work area community health centers in the Tabanan Regency Kediri I carry
rabies virus eradication. There are four factors are considered community health
center in the region employment Kediri I Tabanan regency in eradicating rabies
virus, including the factors into one factor of the amplifier is backed by three variables
(suggestions / requests formal leaders, suggestion / informal leaders and advice visit
/ visit friends / colleagues ) with the value of the total variance of 41.482%. The
second factor is the knowledge of factors that are supported by three variables
(knowledge, health facilities and advice / health worker visits) with a total variance
of 15.158%. The third factor is factor traffic backed by two variables (the ability to
assess previous counseling and regulatory law) with a total variance of 9.925%.
Factors to be considered the dominant community in the eradication of rabies virus
is a factor variable amplifier among other suggestions / requests formal leaders,
suggestion / informal leaders and advice visit / visit friends /colleagues.
Keywords: society factors, eradication of rabies virus.
Penyakit rabies atau disebut penyakit anjing
gila merupakan penyakit zoonosis yang
terpenting di Indonesia karena penyakit
tersebut tersebar luas di 22 propinsi dengan
kasus gigitan yang cukup tinggi setiap tahunnya
serta belum diketemukan obat/cara
pengobatan untuk penderita rabies sehingga
selalu diakhiri dengan kematian pada hampir
semua penderita rabies baik manusia maupun
hewan1. Kasus Rabies di Indonesia pertama
kali dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884
pada seekor kerbau, kemudian oleh Pening
1889 pada seekor anjing dan oleh Eilerls de
Zhaan tahun 1894 pada manusia.
1

Kasus ini terjadi di Jawa Barat1. Besarnya


bahaya rabies terhadap kesehatan dan
ketentraman masyarakat karena dampak
buruknya selalu diakhiri dengan kematian serta
dapat mempengaruhi dampak perekonomian
khususnya bagi pengembangan daerah
daerah pengembangan pariwisata di Indonesia
yang tertular rabies. Bali sebagai daerah tujuan
wisata merasa kecolongan dengan adanya
kasus penyakit rabies pada November 2008.
Bali yang semula bebas rabies berubah status
dengan dilaporkan terjadi kematian karena
rabies di Kabupaten Badung.

Dosen Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar


51

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 51 - 59

Kasus ini kemudian menyebar ke kabupaten


lainnya. Sampai Bulan Oktober 2009 telah
dilaporkan 10.911 kasus gigitan yang
mendapat vaksin anti rabies, dengan 15 orang
meninggal dengan gejala klinis rabies yang
berasal dari Kabupaten Badung dan
Tabanan. Untuk merebut kembali predikat
bebas rabies, Provinsi Bali kembali
memprogramkan Bali bebas rabies 2012.
Program bebas rabies sulit dicapai apabila
tidak dilakukan upaya pencegahan sedini
mungkin. Banyak usaha telah dilaksanakan
pemerintah Indonesia khususnya Provinsi Bali
melalui instansi terkait (Pertanian, Kesehatan,
Kehutanan dan perhubungan). Mulai dari
penyebaran informasi penatalaksanaan
penyakit rabies, pelarangan pengiriman
binatang peliharaan (anjing, kucing, kera)
penanganan/eliminasi anjing liar yang
teridentifikasi virus maupun yang tidak
teridentifikasi virus rabies. Wilayah
Puskesmas Kediri I merupakan sebagian dari
wilayah Kecamatan Kediri yang terletak di
bagian timur Kabupaten Tabanan, dengan luas
wilayah 44.31 km2. Puskesmas Kediri I
mempunyai wilayah kerja meliputi 6 desa dan
50 banjar/dusun terdiri dari: Desa Abian
Tuwung terdiri dari 13 banjar, Desa Banjar
Anyar terdiri dari 10 banjar, Desa Kediri
terdiri dari 7 Banjar, Desa Kediri terdiri dari
7 Banjar, Desa Pandak Bandung terdiri dari
4 banjar, Desa Nyitdah terdiri dari 8 banjar
dan Desa Pejaten terdiri dari 8 Banjar, dengan
jumlah penduduk total 40.245 jiwa terdiri
dari laki-laki 20.295 jiwa dan perempuan
19.950 jiwa serta jumlah KK 11.1392.
Permasalahan pemberantasan virus rabies
tidak mutlak tanggung jawab pemerintah saja.
Kesuksesan program bebas rabies adalah
paling besar pada partisifasi masyarakat
memberantas virus rabies atau masyarakat
sadar akan pemberantasan virus rabies.
Pengamatan penulis pada wilayah penelitian
masih banyak anjing yang berkeliaran di jalan
yang memungkinkan terjadi penyebaran
rabies. Terbukti pada September tahun 2009
52

terjadi satu kasus gigitan anjing yang tertular


virus rabies menyebabkan seorang meninggal
dunia yang berasal dari Banjar Pande Kediri
Tabanan, adapun jumlah suspek gigitan anjing
di Desa Wilayah Kerja Kedri I Tabanan
adalah Desa Kediri 20 orang, Desa Nyitdah
6 orang dan Desa Abiantuwung sebanyak 4
orang. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain faktor predisposisi,
faktor pemungkin dan faktor penguat.
Sehingga untuk menyadarkan masyarakat
dalam pemberantasan virus rabies banyak
faktor yang dipertimbangkan. Bertitik tolak
dari permasalahan di atas maka perlu
dilakukan penelitian untuk menganalisis faktor
faktor yang dipertimbangkan masyarakat
dalam pemberantasan virus rabies.
Berdasarkan permasalahan, peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut :
Faktor-faktor apakah yang dipertimbangkan
masyarakat dalam pemberantasan virus rabies
di wilayah kerja Puskesmas Kediri I Tabanan.
Tujuan penelitian adalah menganalisis faktorfaktor yang dipertimbangkan masyarakat
dalam pemberantasan virus rabies di wilayah
kerja Puskesmas Kediri I Tabanan. Diantara
faktor-faktor tersebut faktor manakah yang
merupakan faktor dominan yang
dipertimbangkan masyarakat dalam
pemberantasan virus rabies.
Metode
Penelitian ini bersifat deskritif analitik, dengan
desain penelitian cross sectional yaitu
pengambilan data sesaat yang dilanjutkan
dengan menganalisis faktor-faktor yang
dipertimbangkan masyarakat dalam
pemberantasan virus rabies di Wilayah Kerja
Puskesmas Kediri I, Kabupaten Tabanan.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja
Puskesmas Kediri I Kabupaten Tabanan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret
Agustus 2011. Populasi pada penelitian ini
adalah KK yang ada di Wilayah Kerja
Puskesmas Kediri I, Tabanan. Untuk mampu
memperoleh hasil yang baik dalam analisis

Aryana, Dewi Sarihati, Merta (Analisis faktor-faktor...)

maka banyaknya responden yang diambil


untuk mengisi kuesioner adalah 5 sampai 10
kali variabel yang dimuat dalam kuesioner3.
Dalam penelitian ini mengangkat 12 variabel
maka banyaknya sampel yang diambil adalah
60 atau 120. dalam penelitian ini diambil
sampel sebanyak 60 KK. Pengambilan
sampel secara proporsional dan random
sampling yaitu sampel diambil berdasarkan
perbandingan/prosentase dari jumlah data
suspek rabies masing-masing di tiga Desa
Wilayah Kerja Puskesmas Kediri I, Tabanan
dan penentuan respondennya secara acak,
jumlah sampel yang diambil dari masingmasing Desa yaitu Desa Kediri 40 KK, Desa
Nyitdah 12 KK dan Desa Abiantuwung 8
KK. Jenis data yang dikumpulkan, data
primer yaitu data yang langsung dan segera
diperoleh dari sumber asli dan dikumpulkan
secara khusus untuk menjawab pertanyaan /
quisioner penelitian. Data Sekunder yaitu data
yang diperoleh dengan terlebih dahulu telah
dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang lain
diluar peneliti. Penelitian ini melibatkan
petugas polindes yang ada di Wilayah
Puskesmas Kediri I Kabupeten Tabanan
sebanyak 6 orang. Skala pengukuran
Pengukuran indikator indikator yang
terdapat dalam identifikasi variabel dilakukan
dengan skala ordinal yang menetapkan
apakah sub variabel tersebut berpengaruh
terhadap proses terhadap proses pengambilan
keputusan responden. Instrumen yang akan
digunakan dalam pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan daftar kuesioner.
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan untuk
menguji instrument penelitian Hasil penelitian
valid bila terdapat kesamaan antara data yang
terkumpul dengan data yang sesungguhnya
terjadi pada objek yang diteliti menggunakan
teknik korelasi Pearson Product Moment4.
Uji reliabilitas menggunakan koefisien Alpha
Cronbach, karena data yang dikumpulkan
berbentuk skala5. Jika r Alpha positif dan
lebih besar dari r tabel maka butir pertanyaan
tersebut reliable.

Sebagai pedoman umum untuk menentukan


reliabilitas butir pertanyaan maka koefisien
korelasi minimum dianggap memenuhi syarat
adalah jika r = 0,60 dan kalau lebih kecil dari
0,600 maka butir pertanyaan dinyatakan tidak
reliable.Pengolahan dan Analisis Data.
Setelah semua data terkumpul akan dilakukan
validasi data, pengelompokan data dan editing
kemudian dilanjutkan dengan analisis faktor.
Analisis faktor adalah serangkaian prosedur
yang digunakan untuk mengurangi dan
meringankan data dengan tahapan tahapan
berdasarkan matrik kolerasi antar variabel6.
Pada tahap ini juga diketahui variabelvariabel
tertentu yang mempunyai kolerasi dengan
variabel lainnya sehingga dapat dikeluarkan
dari analisis. Pada tahap ini juga dapat
diketahui variabel variabel yang menimbulkan
multikolinearitas yaitu dua variabel dengan
koefisien korelasi relatif tinggi dan variabel
tersebut dijadikan satu untuk analisis lebih
lanjut (Barletts test of Sphericity) . Semakin
besar nilai Barletts test of Sphericity maka
semakin besar hipotesis nol akan ditolak dan
kelayakan analasis faktor semakin diyakini.
Kemudian digunakan uji Kaisar Meyer Olkin
(KMO) untuk mengetahui kecukupan jumlah
sampel. Nilai uji Kaisar Meyer Olkin makin
kecil maka kolerasi sepasang variabel tidak
dapat dijelaskan satu sama lain sehingga
analisis faktor dianggap tidak dapat diterima.
Analisis Faktor dianggap layak diterima jika
besaran KMO minimal 0,5. Menentukan
jumlah faktor yang disaring Sejumlah faktor
harus disaring untuk meringkas informasi yang
terkandung dalam variabel asal. Untuk
menentukan beberapa faktor yang dapat
diterima secara empiris dapat ditentukan
berdasarkan Eigen Value setiap faktor yang
muncul. Semakin besarnya Eigen Value
setiap faktor semakin representatif faktor
tersebut untuk memenuhi sekelompok
variabel. Faktorfaktor ini dipilih adalah
faktor yang memiliki Eigen Value > 1. Rotasi
faktor digunakan rotasi varimax yaitu
meminimalkan jumlah variabel yang
53

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 51 - 59

memiliki loading tinggi terhadap faktornya


untuk memudahkan didalam menafsirkan
faktor tersebut. Interpretasi faktor Interpretasi
Faktor dlakukan dengan cara mengelompokkan variabel yamg mempunyai Loading
Faktor tinggi ke dalam faktor tersebut. Untuk
interpretasi hasil penelitian ini, loading faktor
minimal 0,5. Variabel yang memiliki loading
faktor kurang dari 0, 5 dikeluarkan dari model.
Menentukan ketepatan model memggunakan
Prinsipal Component Analysis (PCA) yaitu
dengan melihat jumlah residual antara kolerasi
yang diamati dengan kolerasi yang diproduksi.
Apabila nilai persentase semakin tinggi maka
semakin buruk kemampuan model dalam
menjelaskan fenomena yang ada7.

terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti,


diikuti oleh usia 20 39 tahun, sedangkan
usia dibawah 20 tahun nol sedangkan usia di
atas 60 tahun satu orang. Terdapat 3
responden tingkat pendidikan SLTA sebesar
44 atau 73,33 % menduduki urutan pertama
yang mempunyai respon terhadap pertanyaan
yang diajukan peneliti, diikuti tingkat
pendidikan Diploma/sarjana 20 %,
sedangkan SLTP 6,67 %.
Tabel 2
Sebaran jawaban responden per variabel
No
Variabel
1 Tingkat pendidikan
formal

SS
19

S
34

KS
7

2 Tingkat pengetahuan
3 Skill /ketrampilan
4 Menilai penyuluhan
sebelumnya

9
27
16

45
30
39

6
3
5

Karateristik Responden
Responden penelitian ini adalah masyarakat
yang berada di wilayah Kerja Puskesmas
Kediri I Tabanan, Kabupaten Tabanan.
Karakteristik responden yang diteliti meliputi
jenis kelamin, usia dan pendidikan.

5 Fasilitas kesehatan
6 Perundang-undangan
7 Anjuran dan kunjungan
petugas kesehatan

15
13
-

37
42
43

8
5
5

10

8 Anjuran dan kunjungan


kader kesehatan

12

40

9 Anjuran dan kunjungan


tokoh formal

12

22

26

Tabel 1
Sebaran karakteristik responden

10 Anjuran dan kunjungan


tokoh informal

11

20

26

11 Anjuran dan kunjungan


teman/saudara

11

22

24

12 Anjuran dari iklan media


cetak

22

28

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik
Jenis Kelamin
Umur (tahun)

Tingkat Pendidikan

Jumlah

Kategori
Laki laki
Perempuan
< 20
20 - 39
40 - 59
>60
SD
SLTP
SLTA
Diploma/Sarjana

f
%
35 58,33
25 41,67
0 0,00
27 45,00
32 53,33
1 1,67
0 0,00
4 6.67
44 73.33
12 20.00
60 100,00

Berdasarkan Tabel 1 responden yang berjenis


kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan
yang memberikan respon terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh peneliti
dibandingkan dengan perempuan.
Berdasarkan Tabel 2 responden pada usia 40
59 tahun menduduki urutan pertama
sebesar 53,33 % yang mempunyai respon
54

Jumlah
Prosentase

TS STS
-

167 402 130 11 10


23,19 55,83 18,06 1,53 1,39

Keterangan : SS=sangat setuju; S=setuju; KS=kurang setuju; TS=tidak setuju;


STS=sangat tidak setuju

Pada Tabel 2, bahwa dari 12 variabel yang


ditanyakan, secara kumulatif responden lebih
banyak menjawab setuju 55,83 %, urutan
kedua yaitu sangat setuju 23,19 %, urutan
ketiga yaitu kurang setuju 18,06 % , urutan
keempat yaitu tidak setuju 1,53 % dan urutan
kelima yaitu sangat tidak setuju 1,39 %.
Uji Validitas dan Reliabilitas
Instrumen pengumpulan data yang digunakan
pada penelitian berupa daftar pertanyaan yang
belum baku, oleh karena itu instrumen
tersebut perlu diketahui validitas dan
reliabilitasnya. Jika instrumen secara statistik

Aryana, Dewi Sarihati, Merta (Analisis faktor-faktor...)

dinyatakan valid dan reliabel berarti instrumen


layak digunakan sehingga mampu mengukur
variabel sebagaimana mestinya.
Pengujian terhadap validitas menggunakan
teknik korelasi product moment dan
reliabilitas instrumen dilakukan dengan
menggunakan teknik alpha cronbach pada
tingkat signifikan 5 persen. Berdasarkan hasil
analisis validitas dengan program komputer
diperoleh validitas instrumen penelitian seluruh
dinyatakan valid, hasil uji validitas instrumen
secara lengkap disajikan dalam tabel 3.
Tabel 3
Uji validitas instrumen dengan product
moment
Pertanyaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Koefisien
Korelasi
0,568
0,759
0,555
0,782
0,681
0,762
0,665
0,848
0,773
0,761
0,797
0,706

Kesimpulan
akhir
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid

Untuk reliabilitas instrumen dapat diterima


apabila memiliki koefisien reliabilitas minimal
0,6 yang berarti bahwa instrumen dapat
digunakan sebagai pengumpul data yang
andal. Nilai koefisien alpha hasil pengujian
instrumen dalam penelitian ini sebesar 0,905
berarti bahwa instrumen sudah reliabel dan
penelitian dapat dilanjutkan.
Faktor Yang Dipertimbangkan Dalam
Melaksanakan Pemberantasan Virus
rabies
Untuk menjawab tujuan penelitian dipakai
pendekatan analisis faktor. Tahapan yang
dilakukan dalam analisis factor diuraikan
sebagai berikut :
Merumuskan masalah
Dalam hal ini harus dirumuskan tujuan dari

penggunaan analisis faktor. Melalui analisis


faktor akan dapat diketahui faktor-faktor
yang dipertimbangkan masyarakat dalam
melaksanakan pemberantasan virus rabies di
wilayah kerja Puskesmas I Kecamatan Kediri
Kab. Tabanan dan faktor yang paling dominan
yang dipertimbangkan masyarakat dalam
melaksanakan pemberantasan virus rabies di
wilayah kerja Puskesmas I Kediri Kab.
Tabanan. Pengolahan data dilakukan dengan
bantuan program komputer.
Membuat matrik korelasi
Langkah yang paling penting sebelum
dipastikan bahwa analisis faktor merupakan
teknik yang cocok / sesuai untuk menganalisis
data-data adalah melihat apakah variabelvariabel yang sudah ditetapkan sebelumnya
saling berkorelasi dan melihat apakah sampel
data telah memadai (adeguat).Untuk
mengetahui apakah variabel-variabel yang
sudah ditetapkan sebelumnya saling
berkorelasi dapat dipakai Barteletts test of
sphericity. Tes ini bertujuan untuk menguji
hipotesis (Ho) yang menyatakan bahwa
variabel-variabel yang ada tidak saling
berkorelasi. Dalam penelitian ini diperoleh nilai
Barteletts test of sphericity sebesar
385,799 pada significancy 0.000 yang artinya
variabel-variabel yang ada saling berkolerasi.
Sedangkan untuk mengetehaui apakah
sampel data telah memadai (adequate) dapat
dilihat dari besarnya Kaiser-Meyer-Olkin
(KMO). Nilai KMO dikatakan tinggi apabila
setidaknya lebih besar atau sama dengan 0.5.
Bila nilai KMO tinggi maka sampel dalam
penelitian ini sudah memadai. Dengan
demikian korelasi antar variabel dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel yang lain.
Karena korelasi antar variabel dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel yang lain
maka penggunaan analisis faktor sudah sesuai.
Demikian sebaliknya apabila nilai KMO kecil
maka korelasi antar variabel tidak dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel yang lain
sehingga penggunaan analisis faktor tidak
sesuai.
55

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 51 - 59

Dalam penelitian ini diperoleh nilai KMO


sebesar 0,807 Ini berarti korelasi antar
variabel dapat dijelaskan oleh variabelvariabel yang lain. Berdasarkan uraian tersebut
menunjukkan bahwa analisis faktor
merupakan teknik yang telah sesuai atau
cocok untuk menganalisis data dalam
penelitian mengenai faktor-faktor yang
dipertimbangkan masyarakat dalam
melaksanakan pemberantasan virus rabies di
wilayah kerja Puskesmas I Kec. Kediri, Kab.
Tabanan.
Menentukan jumlah faktor
Dalam menentukan jumlah faktor digunakan
pendekatan penentuan jumlah yang
didasarkan pada nilai eigenvalue
(determination based on eigenvalue) dan
pendekatan penentuan yang didasarkan pada
kumulatif prosentase varian (determination
based on cumulative percentageage of
variance). Dengan pendekatan penentuan
yang didasarkan pada nilai eigenvalue
(determination based on eigenvalue) maka
faktor-faktor yang memiliki eigenvalue lebih
besar daripada 1 akan dipertahankan
(retained). Sedangkan faktor-faktor yang
memiliki eigenvalue lebih kecil daripada 1
tidak perlu disertakannya karena hanya single
variabel (Malhotra, 1996). Hasil penelitian ini
mendapatkan empat faktor yang mempunyai
nilai eigenvalue di atas 1 seperti pada tabel 4.
Tabel 4
Jumlah faktor dengan eigen value > 1
Faktor
1
2
3
4

Eigen
value
4,978
1,819
1,191
1,115

% Varian
41,482
15,158
9,925
9,292

Kumulatif
% varian
41,482
56,639
66,564
75,856

Berdasarkan Tabel 6 faktor inilah yang akan


dinterpretasikan untuk menjelaskan faktorfaktor yang dipertimbangkan masyarakat
dalam melaksanakan pemberantasan virus
rabies di wilayah kerja Puskesmas I Kediri
Kab. Tabanan.
56

Interpretasi faktor
Interpretasi dari faktor loading sangat
subyektif. Tidak ada cara untuk menghitung
arti faktor-faktor tergantung pada cara
seseorang melihatnya, karena alasan ini analisis
faktor secara luas digunakan untuk eksplorasi.
Interpretasi faktor dilakukan dengan melihat
faktor loading (korelasi) satu variabel
terhadap faktornya. Batasan faktor loading
bervariasi menurut jumlah sampel yang
dipakai seperti Tabel 5.
Tabel 5
Signifkansi factor loading berdasarkan
jumlah sampel
Factor
Loading
0,30
0,35
0,40
0,45
0,50
0,55
0,60
0,65
0,70
0,75

Jumlah Sampel Yang


Diperlukan Pada Signifikansi
0,05
350
250
200
150
120
100
85
70
60
50

Sumber: Hair, dkk, 1998

Pada penelitian ini jumlah sampel yang


diperlukan sebesar 60 berarti faktor
loadingnya minimal 0,70 sehingga variabel
dengan faktor loading dibawah 0,70
dikeluarkan dari model. Berdasarkan batasan
tersebut dari 12 variabel yang di rotasi sepuluh
faktor loadingnya di atas 0,70 dan dua faktor
loadingnya dibawah 0,70 sehingga
dikeluarkan dari model yaitu variabel skil/
ketrampilan dan variabel iklan media cetak,
sehingga faktor-faktor yang dipertimbangkan
masyarakat dalam pemberantasan virus rabies
di wilayah kerja Puskesmas I Kediri Kab
Tabanan ditentukan oleh 10 variabel. Hasil
interpretasi faktor secara lengkap disajikan
pada Tabel 6.

Aryana, Dewi Sarihati, Merta (Analisis faktor-faktor...)


Tabel 6
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pemberantasan virus rabies
No.
Nama
Urut
1 Penguat

Variabel yang Masuk Factor Explaned


dalam faktor
loading variance
41,481
Variabel tokoh formal 0,928
(V9)
0,881
Variabel tokoh
informal (V10)
Variabel teman dan
0,894
saudara (V11)
Pengetahuan Variabel
15,158
0,786
pengetahuan (V2)
0,797
Variabel Fasilitas
Kesehatan (V5)
0,717
Variabel tenaga
kesehatan (V7)
kemampuan Variabel kemampuan 0,769
9,925
menilai penyuluhan
Variabel Perundang- 0,764
Undangan (V6)
pendidikan
9,292
0,888
Variabel tingkat
pendidikan (V1)
Variabel kader
0,717
kesehatan (V8)

Pada Tabel 6 diuraikan bahwa 10 variabel


mempunyai kumulatif varian sebesar 75,856
persen yang tergabung dalam empat faktor.
Ini berarti faktor-faktor yang dipertimbangkan
masyarakat dalam pemberantasan virus
rabies di wilayah kerja Puskesmas I Kediri
Kab tabanan sekitar 75,856 persen dapat
dijelaskan oleh keempat faktor tersebut.
Faktor yang terdiri dari beberapa variabel
diberi nama faktor yang menjadi hasil dari
penelitian. Faktor-faktor tersebut diberi nama
sebagai berikut :
Faktor 1 diberi nama Penguat
Faktor 1 merupakan faktor yang dominan
menjadi pertimbangan dalam melaksanakan
pemberantasan virus rabies dari keempat
faktor tersebut. Nilai eigenvalue faktor ini
adalah 4,978 dan mampu menjelaskan
variansi total sebesar 41,482 persen. Faktor
ini dibentuk oleh tiga variabel (anjuran/
kunjungan tokoh formal, anjuran/kunjungan
tokoh informal, dan anjuran/kunjungan teman/
sahabat) dengan nilai faktor loading berkisar
antara 0,881 sampai dengan 0,928.
Kunjungan dan anjuran dapat meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, kemauan dan
kemampuan masyarakat untuk hidup sehat
dan aktif berperan dalam upaya kesehatan.
Adanya Kunjungan dan anjuran serta budaya
malu dan rasa hormat kepada para tokoh

formal maupun informal yang dimiliki


masyarakat Bali pada umumnya, serta
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas I
Kediri kab. Tabanan pada khususnya,
membuat masyarakat merasa tidak enak
kalau tidak melaksanakan apa yang
dianjurkan/disarankan oleh petugas untuk
hidup sehat.
Faktor 2 diberi nama faktor
pengetahuan
Faktor pegetahuan mempunyai eigenvalue
1,819 dan mampu menjelaskan total variansi
sebesar 15,158 persen. Faktor ini dibentuk
oleh tiga variabel (pengetahuan, fasilitas
kesehatan dan anjuran /kunjungan petugas
kesehatan) dengan faktor loading sekitar
0,717 sampai dengan 0,797. Dalam teori
lawrence Green dikatakan bahwa
pengetahuan yang didapat melalui pendidikan
kesehatan mempunyai peranan penting dalam
mengubah perilaku positif masyarakat
terhadaf program kesehatan pada umumnya.
Menurut H.L. Blum status kesehatan
dipengaruhi oleh keturunan, lingkungan,
pelayanan kesehatan dan prilaku. Khusus
dinegara berkembang peranan perilaku masih
sangat dominan. Perilaku didukung oleh
adanya petugas kesehatan dan sarana
prasarana fasilitas kesehatan. Puskesmas I
Kediri memiliki petugas dan sarana kesehatan
yang tersebar diwilayah kerjanya : Petugas
Kesehatan
: 45 orang, Puskesmas Induk
: 1 buah, Puskesmas Pembantu: 4 buah ,
Posyandu : 48 buah, Poskesdes : 4 buah
Faktor 3 diberi nama kemampuan
Faktor keampuan mempunyai nilai
eigenvalue 1,191 dan mampu menjelaskan
variansi total sebesar 9,925 persen. Faktor
ini dibentuk oleh dua variabel (kemampuan
menilai penyuluhan sebelumnya dan
perundang - undangan) dengan faktor loading
sekitar 0,764 sampai dengan 0,769.
Kemampuan individu yang dimiliki masyarakat
dalam menilai penyuluhan sebelumnya
merupakan faktor yang menjadi pertimbangan
57

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 51 - 59

dalam mempengaruhi perilaku hidup sehat


bagi individu itu sendiri/ keluarganya untuk
melaksanakan pemberantasan virus rabies.
Faktor 4 diberi nama faktor
pendidikan
Faktor pendidikan mempunyai nilai
eigenvalue 1,115 dan mampu menjelaskan
variansi total sebesar 9,292 persen. Faktor
ini dibentuk oleh dua variabel(pendidikan dan
anjuran/kunjungan kader) dengan faktor
loading sekitar 0,717 sampai dengan 0,808.
Pendidikan merupakan unsur penting dalam
modernisasi yang akan mengubah
pengetahuan dan sikap seseorang terhadap
norma dan nilai-nilai yang ada, oleh karena
melalui pendidikan tersebut pengetahuan dan
pemahaman masyarakat terhadap sesuatu
bisa berubah. Masyarakat di wilayah
Puskesmas I Kediri yang berjumlah 40.245
orang sebagian besar berpendidikan sudah
maju (tidak ada buta huruf), menjadi bahan
pertimbangan dan alat melaksanakan
perubahan untuk melaksanakan upaya
pemberantasan virus rabies. Pelibatan
masyarakat oleh pemerintah melalui
pembentukan kader, juga menjadi bahan
pertimbangan didalam upaya pemberantasan
virus rabies.
Ketepatan model
Ketepatan model merupakan tahap akhir dari
analisis faktor. Ketepatan model dapat dilihat
dari besarnya residual yaitu korelasi yang
diamati dengan korelasi berdasarkan estemit
matrik faktor. Dalam penelitian ini
menunjukkan nilai residual sebesar 21 dengan
nilai absolut > 0.05. Hal ini menunjukkan
model diterima dengan ketepatan 31 persen.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis statistik yang
dilakukan, maka dapat ditarik beberapa
simpulan sebagai berikut : Secara keseluruhan
terdapat empat faktor yang dipertimbangkan
Masyarakat di Wilayah Puskesmas Kediri I
kabupaten Tabanan dalam pemberantasan
58

virus rabies, dengan total variansi sebesar


75,856 persen. Faktor pertama yaitu penguat
yang dibentuk oleh tiga variabel (anjuran/
kunjungan tokoh formal, anjuran/kunjungan
tokoh informal dan anjuran/kunjungan teman
atau saudara) dengan persentase varians
41,482 persen. Faktor kedua yaitu
pengetahuan dibentuk oleh tiga
variabel(tingkat pengetahuan, fasilitas
kesehatan dan anjuran/kunjungan petugas
kesehatan) dengan persentase varians 15,158
persen). Faktor ketiga yaitu kemampuan
dibentuk oleh dua variabel ( kemampuan
menilai penyuluhan sebelumnya, dan
perundang undangan) dengan persentase
varians sebesar 9,925 persen dan faktor
keempat yaitu pendidikan dibentuk oleh dua
variabel (tingkat pendidikan dan anjuran /
kunjungan kader kesehatan) dengan
persentase varians sebesar 9,292 persen.
Faktor dominan yang dipertimbangkan
masyarakat di Wilayah Puskesmas Kediri I
Kabupaten Tabanan dalam berantasan virus
rabies dari keempat faktor terbentuk adalah
faktor penguat. Hal ini ditunjukkan dengan
eigenvalue sebesar 4,978 dengan nilai
Explained Variance sebesar 41,482 persen.
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan
tersebut, maka dapat diusulkan beberapa
saran yaitu untuk faktor penguat yang telah
memberikan kontribusi besar terhadap faktor
dipertimbangkan masyarakat diwilayah
Puskesmas Kediri I Kabupaten Tabanan
dalam pemberantasan virus rabies diharapkan
pihak Dinas Kesehatan untuk
memperhatikan/memberdayakan serta
melibatkan para tokoh formal, tokoh informal
dan masyarakat dengan mengadakan
pelatihan-pelatihan sehingga para tokoh baik
formal maupun informal dan masyarakat
mempunyai wawasan pengetahuan tentang
pemberantasan virus rabies. Meskipun faktor
penguat terbukti sebagai faktor yang
mempunyai kontribusi besar terhadap faktor
dipertimbangkan masyarakat di wilayah
Puskesmas Kediri I Kabupaten Tabanan

Aryana, Dewi Sarihati, Merta (Analisis faktor-faktor...)

dalam pemberantasan virus rabies tetapi


pihak-pihak yang terkait (Departemen
Kesehatan dan Peternakan) hendaknya tetap
memperhatikan faktor-faktor lain yang
dipertimbangkan masyarakat di dalam
pemberantasan virus rabies seperti faktor
pengetahuan, kemampuan dan pendidikan.
Daftar Pustaka
1.

2.
3.

Depkes RI (2007) Petunjuk


Perencanaan dan Penatalaksanaan
Kasus Gigitan Hewan Tersangka
Rabies, Jakarta ; Depkes
UPTD, Puskesmas Kediri I (2010),
Laporan Tahunan, Tabanan.
Supranto J. MA. (1997), Metode Riset
,Aplikasi Dalam Pemasaran, Jakarta;
Rineka Cipta

4.

5.

6.

7.

Sugiyono (2002), Metodelogi


Penelitian Bisnis, Cetakan Pertama,
Bandung; Alpha Beta
Arikunto,Suharsini. (2002) Prosedure
Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik,
edisi Revisi V, Cetakan Keduabelas,
Jakarta ; Rineka Cipta
Maholtra Naresh K. (1996), Marketing
Researrch An Applied Orientation,
Second Edition,New Yersey; Pretice
Hall International Inc.
Hair,. Jr, J. E., Anderson, R.E., Tatham
R.L., and Black W. C., (1998),
Multivariate data Analysis, fifth edition,
New Jersey : Pretice-Hall International
Inc

59

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UTILISASI PELAYANAN


KESEHATAN GIGI DI PUSKESMAS KABUPATEN TABANAN
I Gede Surya Kencana1, I Nyoman Gejir2, I Gusti Ayu Raiyanti3
Abstract. Behavior in seeking dental treatment by community members can be
influenced bay various factors such as ; proximity from homes, price, service
satisfaction, pain perception, age, gender, education, etc. The objective of this
research is to identify factors influencing the dental care utilization in dental care
Unit of Puskesmas in Tabanan Regency. This research is non experimental research
with cross sectional design being being conducted in districts in Tabanan Regency.
The size of the sample of this research is 100 persons from an accidental sampling.
The finding of this research shows that there is a significant influence between length
education and dental care service utilization in dental care Unit of Puskesmas in
Tabanan Regency with beta coefficient of -0.502 and statistic -4.322 within
significance level of 0.00. Age variable, gender, proximity from home, dental pain
perception and caries status do not have significant correlation with dental care
utilization at Dental Care Unit of Puskesmas in Tabanan Regency. Based of the
research, it can be conclused that the longer education length, the less the utilization
of the dental care utilization of the dental care service utilization in dental care Unit
of Puskesmas, and the higher the level satisfaction, the higher the utilization of the
Dental Care Unit of Puskesmas in Tabanan Regency.
Keywords : Utilization, Dental Care Unit, Community Health Care (Puskesmas).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor : 128/MENKES/
SK/II/2004, tentang Kebijakan Dasar Pusat
Kesehatan Masyarakar disebutkan bahwa
puskesmas bertanggung jawab atas
kesehatan perorangan dan kesehatan
masyarakat. Upaya kesehatan yang dapat
dilaksanakan oleh puskesmas adalah upaya
kesehatan wajib dan upaya kesehatan
pengembangan. Upaya kesehatan gigi dan
mulut di puskesmas merupakan salah satu dari
delapan upaya kesehatan pengembangan1.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS,
2007) yaitu tentang prevalensi penduduk
menunjukkan bahwa masalah pada gigi dan
mulut di provinsi Bali diperoleh data sebagai
berikut: bermasalah pada gigi dan mulut
sebanyak 22,5%, menerima perawatan dari
tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir
sebanyak 42,4% dan penduduk yang
kehilangan seluruh gigi aslinya sebanyak 1,7%.
1,2,3
60

Angka Decay, Missing, Filling (DMF-T) di


Provinsi Bali diperoleh data yaitu rata-rata
Decay Teeth 0,77, rata-rata Missing Teeth
3,66 dan rata-rata Filling Teeth 0,08,
sehingga angka DMF-T untuk provinsi Bali
adalah 4,73. %2.
Hasil Sensus Kesehatan Rumah Tangga (
SKRT) 1995 dilaporkan bahwa 63%
penduduk Indonesia menderita karies gigi aktif
atau kerusakan pada gigi yang belum
ditangani. Menurut Survey Kesehatan
Nasional (Susenas) 1998, keluhan sakit gigi
menduduki urutan ke 6 dari penyakit-penyakit
yang dikeluhkan masyarakat dalam satu bulan
terakhir, dimana 62,4% dari yang mengeluh
sakit gigi menyatakan terganggunya
pekerjaan, sekolah, kegiatan sehari-hari
selama 3-7 hari. Dalam hal ini juga dinyatakan
bahwa masyarakat yang mengeluh sakit gigi
datang berobat ke fasilitas pelayanan
kesehatan gigi sudah dalam keadaan

Dosen Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Denpasar

Surya Kencana, Gejir, Raiyanti (Faktor-faktor yang...)

terlambat, dan ini terlihat dari rata-rata 6,4


gigi yang rusak, 4,4 gigi sudah dicabut.
Keadaan ini didukung oleh susenas 1998,
yang menyatakan bahwa 87% masyarakat
yang mengeluh sakit gigi dan tidak mencari
pengobatan yang semestinya, sedangkan
yang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan
gigi hanya 12,3%, serta masyarakat yang
mencari pengobatan tradisional 0,7%3.
Perilaku pencarian pengobatan bagi
masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti ; faktor jarak antara fasilitas
pelayanan kesehatan dengan masyarakat
yang terlalu jauh, faktor tarif yang tinggi, faktor
kepuasan dalam pelayanan, persepsi atau
konsep masyarakat tentang sakit, umur, jenis
kelamin, pendidikan, dan sebagainya4.
Kabupaten Tabanan merupakan salah satu
kabupaten dengan jumlah perawat gigi
terbanyak di Provinsi Bali, dengan jumlah
puskesmas sebanyak 20 unit. Berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa perawat
gigi yang bertugas di puskesmas Kabupaten
Tabanan, diperoleh hasil bahwa kunjungan
pasien ke Balai Pengobatan Gigi (BPG)
Puskesmas tidak merata, bahkan ada yang
memiliki kunjungan relatif sedikit. Sehubungan
dengan keadaan tersebut, maka kami ingin
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
utilisasi pelayanan kesehatan gigi di BPG
Puskesmas Kabupaten Tabanan.

dan menulis, bersedia dijadikan responden.


Metode pengambilan sampel dalam penelitian
ini dengan dengan teknik Sampling
Insidental. Sampling insidental adalah
tehnik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti
dapat digunakan sebagai sampel, bila
dipandang orang yang ditemui tersebut cocok
sebagai sumber data5. Jumlah kecamatan di
Kabupaten Tabanan sebanyak sepuluh, maka
pada masing-masing kecamatan diambil
sepuluh sampel dari BPG masing-masing
puskesmas, maka besar sampel dalam
penelitian ini adalah 100 sampel.
Data yang telah terkumpul selanjutnya
dianalisis melalui tiga tahapan seperti berikut
: 1) Deskripsi hasil penelitian, yaitu
mendiskripsikan variabel yang telah ditabulasi
dan melihat distribusi frekuensi responden
serta memberikan penjelasan tentang
besarnya nilai yang muncul. Deskripsi hasil
penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan
disertai narasi. 2) Uji korelasi Pearsons
Product Moment, yaitu untuk mengetahui
ada tidaknya hubungan dan keeratan
hubungan masing-masing variabel bebas
dengan variable terikat. 3) Analisis Regresi
berganda (Multiple Regression), yaitu untuk
mengetahui hubungan antara variabel bebas
secara bersama-sama dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan gigi.

Metode

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini merupakan penelitian non


eksperimental yang observasinya dilakukan
terhadap sejumlah ciri subyek menurut
keadaan sebenarnya, tanpa ada manipulasi
dan intervensi dari peneliti. Rancangan
penelitian ini menggunakan cross sectional
study. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas
pada 10 kecamatan di Kabupaten Tabanan,
mulai Agustus sampai dengan Oktober 2011.
Populasi penelitian adalah pasien yang
memanfaatkan fasilitas Balai Pengobatan Gigi
di Puskesmas Kabupaten Tabanan, dengan
kriteria inklusi sampel adalah sebagai berikut:
umur pasien minimal 15 tahun, bisa membaca

Kondisi lokasi penelitian


Tabanan merupakan salah satu kabupaten
yang ada di Provinsi Bali dengan luas wilayah
Kabupaten Tabanan adalah 839,33 km2,
yang terdiri dari daerah pegununungan dan
pantai. Batas-batas wilayah Kabupaten
Tabanan adalah ; di sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Badung dengan batas
tukad Yeh Sungi, tukad Yeh Ukun, dan Tukad
Yeh Penet, di sebelah selatan dibatasi oleh
Samudera Hindia, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Jembrana
dengan batas tukad Yeh Let6.
61

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 60 - 66

Kabupaten Tabanan terdiri dari 10


kecamatan, yaitu ; Kecamatan Kediri,
Tabanan, Marga, Penebel, Selemadeg,
Selemadeg Barat, Selemadeg Tumur, Pupuan,
Baturiti, dan Kerambitan. Penelitian dilakukan
di 10 kecamatan yang ada di Kabupaten
Tabanan melalui puskesmas. Pada setiap
kecamatan diambil 10 responden, sehingga
diperoleh responden sebanyak 100 orang.
Karakteristik responden
Berdasarkan hasil pengumpulan data
terhadap 100 responden, maka dapat
diketahui karakteristik responden seperti
tersaji pada tabel 1.
Tabel 1
Sebaran karakteristik responden
Karakteristik
Kategori
Kelompok Umur 15 - 30
(thn)
31 - 54
> 54
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Lama Waktu
1-6
Pendidikan (thn) 7 - 12
> 12
Jumlah

f
25
62
13
35
65
12
12
76
100

%
25%
62%
13%
35%
65%
12%
12%
76%
100%

Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok umur


responden antara 31 sampai 54 tahun
jumlahnya paling banyak yaitu mencapai 62%,
sedangkan responden dengan umur di atas
54 tahun paling sedikit yaitu hanya 13%.
Responden dengan jenis kelamin perempuan
lebih banyak daripada laki-laki, yaitu sebesar
65% sedangkan laki-laki hanya 35%.
Sebagian besar responden menempuh
pendidikan lebih dari 12 tahun, yaitu mencapai
76%. Responden yang menempuh
pendidikan antara 1 sampai 6 tahun, dan 7
sampai 12 tahun masing-masing hanya 12%.
Hasil pengamatan terhadap obyek
penelitian
Hasil pengamatan terhadap obyek penelitian
yang akan disajikan pada bagian ini adalah :
jarak rumah dengan puskesmas, persepsi
sakit, tingkat kepuasan terhadap pelayanan
62

kesehatan gigi di puskesmas, status karies gigi,


dan pemanfaatan BPG puskesmas.
Tabel 2
Sebaran jarak rumah responden
dengan puskesmas
Jarak Rumah
Dekat
Sedang
Jauh
Jumlah

f
77
11
12
100

%
77%
11%
12%
100%

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar


jarak rumah responden dengan puskesmas
dalam kategori dekat mencapai 77%, dan
hanya 12% jarak rumah responden dengan
puskesmas dalam kategori jauh.
Tabel 3
Sebaran tingkat persepsi sakit
responden
Tingkat Persepsi
Tidak Baik
Kurang Baik
Cukup Baik
Baik
Jumlah

f
2
71
22
5
100

%
2%
71%
22%
5%
100%

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar


responden memiliki persepsi sakit dalam
kategori kurang baik yaitu mencapai 71%, dan
hanya 5 % responden yang memiliki persepsi
sakit dengan kategori baik.
Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak ada
responden yang merasa kurang puas maupun
tidak puas terhadap pelayanan kesehatan gigi
di BPG puskesmas se-kabupaten Tabanan.
Responden sebagian besar merasa sangat
puas dengan pelayanan kesehatan gigi pada
BPG puskesmas, yaitu mencapai 59%,
sedangkan 41% merasa puas.
Tabel 4
Sebaran tingkat kepuasan resonden
terhadap pelayanan BPG Puskesmas
Tingkat kepuasan
Puas
Sangat Puas
Jumlah

f
41
59
100

%
41%
59%
100%

Surya Kencana, Gejir, Raiyanti (Faktor-faktor yang...)


Tabel 5
Sebaran angka DMF-T Responden
Angka DMF-T
2
>2
Jumlah

f
30
70
100

%
30%
70%
100%

Tabel 5 menunjukkan bahwa responden


dengan angka DMF-T lebih besar dari 2
frekuensinya lebih banyak, yaitu mencapai 30
orang (30%), sedangkan yang lebih kecil atau
sama dengan 2 hanya 30%.
Tabel 6
Sebaran tingkat pemanfaatan
pelayanan kesehatan gigi oleh
responden
Tingkat
Pemanfaatan
Jarang
Sedang
Sering
Sangat Sering
Jumlah

2
4
49
45
100

2%
4%
49%
45%
100%

Tabel 6 menunjukkan bahwa pemanfaatan


pelayanan kesehatan gigi di BPG puskesmas
oleh responden mayoritas dalam kategori
sering yaitu mencapai 49%, dan hanya 2 %
responden yang jarang memanfaatkan
pelayanan kesehatan gigi di BPG puskesmas.
Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara variabel-variabel bebas, yaitu
dalam hal ini adalah ; umur (X1), jenis kelamin
(X2), lama waktu pendidikan (X3), persepsi
sakit gigi (X4), jarak rumah dengan puskesmas
(X5), tingkat kepuasan (X6), dan status karies
gigi (X7) terhadap variabel terikat, yaitu
utilisasi pelayanan kesehatan gigi (Y). Hasil
yang diperoleh dari uji korelasi dengan
pearson correlation disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 menunjukkan bahwa dari tujuh
variabel bebas yang diuji, ternyata hanya dua
pasang variabel yang memiliki nilai probabilitas
(p) lebih kecil dari 0,05, yaitu ; variabel ; lama
waktu pendidikan, dan tingkat kepuasan.

Tabel 7
Hasil analisis pearson correlation antara variabel bebas
(X) dan variabe terikat (Y)
Variabel Bebas (X)
Umur (X1)
Jenis Kelamin (X2)
Lama Waktu Pendidikan (X3)
Jarak Rumah (X4)
Persepsi Sakit Gigi (X5)
Tingkat Kepuasan (X6)
Status Karies (X7)

Variabel Terikat (Y)


r
p
-0.003
0.488
-0.013
0.447
-0.379
0.000
-0.088
0.191
-0.108
0.143
0.379
0.000
0.170
0.045

Sedangkan variabel umur, jenis kelamin, jarak


rumah, persepsi sakit gigi, dan status karies
gigi tidak berkorelasi secara signifikan, karena
mempunyai nilai signifikansi di atas 0.05.
Selanjutnya dilakukan uji regresi berganda
terhadap seluruh variabel bebas dengan
variabel terikat. Hasil uji regresi berganda
disajikan pada tabel 8.
Tabel 8
Hasil analisis regressi berganda
Variabel
Umur (X1)
Jenis Kelamin (X2)
Lama Waktu Pendidikan (X3)
Jarak Rumah (X4)
Persepsi Sakit Gigi (X5)
Tingkat Kepuasan (X6)
Status Karies (X7)
Konstanta

()

tstatistik

Sig

-0.008
-0.077
-0.562
0.081
0.249
0.246
0.113
19.458

-0.241
-0.085
-3.974
0.545
1.392
4.220
0.930

0.810
0.933
0.000
0.587
0.167
0.000
0.355

Tabel 8 menunjukkan bahwa koefisien


korelasi (R) sebesar 0.549 ; R2 sebesar 0.301
; Fstatistik sebesar 5.673, dengan nilai (p)
kurang dari 0.05. Hasil ini menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan
secara bersama-sama antara variabel bebas
dengan variabel terikat pada pemanfaatan
pelayanan kesehatan gigi di BPG puskesmas
se-Kabupaten Tabanan. Tabel 11 juga
menunjukkan bahwa variabel bebas yang
tidak berhubungan secara signifikan dengan
variabel terikat adalah ; umur (X1), jenis
kelamin (X2), jarak rumah (X4), persepsi
sakit gigi (X5), dan status karies (X7).
Variabel bebas yang berhubungan secara
signifikan hanya variabel lama waktu
pendidikan (X3) dan tingkat kepuasan (X6).
63

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 60 - 66

Analisis selanjutnya dilakukan metode


backward, yaitu tanpa mengikutkan variabel
bebas yang memiliki korelasi tidak signifikan
dengan variabel terikat (Y). Hasil regresi
dengan metode backward adalah sebagai
berikut
Tabel 9
Hasil analisis regressi berganda dengan metode
backward
Variabel
Lama Waktu Pendidikan (X3)
Tingkat Kepuasan (X6)
Konstanta

()

tstatistik

Sig

-0.502 -4.322 0.000


0.234 0.372 0.000
24.258

Hasil analisis regresi dengan metode


backward pada tabel 9 menunjukkan bahwa
koefisien korelasi (R) sebesar 0.531 ; R2
adalah 0.282 ; Fstatistik adalah 19.036, dengan
nilai (p) kurang dari 0.05. Hasil ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan secara bersama-sama antara
variabel bebas dengan variabel terikat pada
pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi di BPG
puskesmas se-Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh
perhitungan konstanta dan koefisien beta pada
masing-masing variabel, sehingga dapat
disusun persamaan regresi sebagai berikut :
Y = 24.258 - 0.502X3 + 0.234X6
Hasil estimasi persamaan regresi tersebut
diperoleh koefisien determinasi berganda
(Rsquare) sebesar 0.282. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor lama waktu pendidikan dan
tingkat kepuasan pasien secara bersamasama mampu menjelaskan bahwa
pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi BPG
puskesmas se-Kabupaten Tabanan sebesar
28.2% sedangkan sisanya sebesar 71.8%
dijelaskan oleh variabel lain.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data,
diperoleh bahwa karakteristik responden
dengan rentang usia antara 31 sampai 54
tahun paling banyak datang ke BPG
puskesmas yaitu mencapai 62%, terbanyak
64

diantara kelompok umur yang lain. Hal ini


mungkin disebabkan karena pada rentang usia
tersebut, penyakit-penyakit gigi dan mulut
semakin banyak terjadi, salah satu faktor
penyebab terjadinya karies gigi adalah faktor
usia, semakin bertambah usia seseorang
cenderung akan terjadi karies lebih banyak.
Responden perempuan lebih banyak
daripada laki-laki, yaitu mencapai 65%7.
Rata-rata karies gigi pada perempuan lebih
tinggi daripada laki-laki, sehingga dengan lebih
tingginya karies pada perempuan tersebut
kemungkinan lebih sering datang ke BPG
puskesmas8. Salah satu karakteristik pasien
yang juga mempengaruhi pemanfaatan
pelayanan kesehatan adalah jenis kelamin,
dalam penelitian tersebut diperoleh bahwa
wanita lebih sering memanfaatkan pelayanan
kesehatan daripada laki-laki. Lama masa
pendidikan responden sebagian besar (76%)
lebih dari 12 tahun9.
Jarak rumah dengan puskesmas sebagian
besar (77%) kategori dekat, hal ini mungkin
disebabkan karena jumlah puskesmas di
Kabupaten Tabanan relatif banyak yaitu
mencapai 20 unit. Keberadaan puskesmas
tersebut akan memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam memanfaatkan puskesmas,
karena jarak antara puskesmas dengan
rumah-rumah penduduk relatif dekat.
Hasil analisis Pearson Correlation antara
variabel bebas dengan variabel terikat
diperoleh bahwa terdapat lima variabel bebas
tidak berkorelasi secara signifikan, yaitu ;
umur, jenis kelamin, jarak rumah, persepsi
sakit gigi, dan status karies. Variabel yang
berkorelasi adalah lama pendidikan dan
tingkat kepuasan. Hasil analisis regresi dengan
metode backward menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan secara
bersama-sama antara variabel bebas, yaitu ;
lama waktu menempuh pendidikan dan
tingkat kepuasan pasien dengan variabel
terikat pada utilisasi pelayanan kesehatan gigi
di BPG puskesmas se-Kabupaten Tabanan.

Surya Kencana, Gejir, Raiyanti (Faktor-faktor yang...)

Lama waktu pendidikan dapat mempengaruhi


utilisasi pelayanan kesehatan gigi di
puskesmas Kabupaten Tabanan, dengan nilai
koefisien beta () ; - 0.502 dan tsatatistik adalah
4.322, pada tingkat signifikansi 0.000. Hal
ini berarti bahwa semakin lama menempuh
pendidikan, semakin jarang memanfaakan
pelayanan kesehatan gigi di puskesmas
Kabupaten Tabanan. Tingkat pendidikan
mempunyai korelasi yang sangat bermakna
terhadap pelayanan kesehatan10. Pendidikan
yang lebih tinggi akan memungkinkan
seseorang memahami tentang gangguangangguan kesehatan, sehingga dengan
pemahaman tersebut kemungkinan kejadian
penyakit gigi akan lebih rendah, dengan
demikian akan jarang berkunjung ke
puskesmas untuk berobat4.
Tingkat kepuasan pasien juga dapat
mempengaruhi utilisasi pelayanan kesehatan
gigi di puskesmas Kabupaten Tabanan,
dengan nilai koefisien beta () ; 0.234 dan
tsatatistik adalah 0.372, pada tingkat signifikansi
0.000. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi
tingkat kepuasan pasien, maka semakin tinggi
pula pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi
BPG puskesmas di Kabupaten Tabanan,
demikian juga sebaliknya. Kepuasan
merupakan perasaan senang atau kecewa
yang muncul setelah membandingkan antara
harapan dengan kenyataan yang diterima11.
Pelanggan akan merasa puas apabila
memperoleh hasil sesuai dengan harapan12.
Terdapat hubungan yang bermakna antara
kepuasan pasien dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan gigi. Dalam penelitian
tersebut juga dinyatakan bahwa persepsi
kepuasan pasien dapat mempengaruhi
pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi13.
Hasil wawancara dengan beberapa pasien
yang datang ke BPG puskesmas di
Kabupaten Tabanan, juga diperoleh informasi
bahwa tenaga kesehatan gigi yang bertugas
di BPG tersebut, baik dokter gigi maupun
perawat gigi ramah-ramah, serta memberikan
pelayanan relatif cepat.

Kesimpulan dan saran


Berdasarkan karakteristik, pasien yang paling
banyak berkunjung ke BPG puskesmas
Kabupaten Tabanan adalah dengan rentang
umur antara 31 sampai 54 tahun, pasien
perempuan lebih banyak daripada laki-laki,
dan sebagian besar pasien memiliki masa
pendidikan lebih dari 12 tahun. Jarak rumah
dengan puskesmas sebagian besar dalam
kategori dekat, persepsi sakit gigi sebagian
besar kurang baik, tidak ada pasien yang
merasa tidak puas ataupun kurang puas
terhadap pelayanan kesehatan gigi di
puskesmas, sebagian besar merasa sangat
puas, status karies gigi (Angka DMF-T)
sebagian besar lebih dari 2, serta mayoritas
responden menyatakan sering memanfaatkan
puskesmas untuk memperoleh pengobatan
gigi. Faktor-faktor yang berhubungan secara
signifikan dengan utilisasi pelayanan
kesehatan gigi di BPG puskesmas adalah
faktor lama waktu pendidikan dan tingkat
kepuasan. Semakin lama waktu pendidikan,
maka semakin jarang memanfaatkan
pelayanan kesehatan gigi di BPG puskesmas.
Semakin tinggi tingkat kepuasan, maka
semakin sering memanfaatkan pelayanan
kesehatan gigi di BPG puskesmas.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat
disarankan hal-hal sebagai berikut Kepada
petugas kesehatan puskesmas umumnya,
tenaga kesehatan gigi pada khususnya agar
mempertahankan tingkat kepuasan pasien
yang telah dirasakan selama ini, sehingga
puskesmas benar-benar menjadi pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang
diprimadonakan oleh masyarakat di wilayah
kerja puskesmas. Bagi peneliti lain,
disarankan agar untuk mengembangkan
penelitian ini baik dengan menganalisis faktorfaktor lain yang kemungkinan mempengaruhi
utilisasi pelayanan kesehatan gigi, maupun
memperdalam penelitian ini secara kualitatif.

65

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 60 - 66

Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.
5.

6.
7.

8.

9.

66

Depkes RI., 2006, Keputusan Menteri


Kesehatan RI, Nomor 128/MENKES/
SK/II/2004,Depkes RI, Jakarta
Depkes,RI, 2008, Riset Kesehatan
Dasar 2007, Badan penelitian dan
pengembangan Kesehatan, Jakarta
Depkes, RI., 2000, Pedoman upaya
pelayanan kesehatan gigi dan Mulut,
Direktorat Kesehatan Gigi, Jakarta
Notoatmojo,S., 1997, Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan, EGO, Jakarta
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, CV
Alfabeta, Bandung
www.tabanankab.go.id/ selayang
pandang, diunduh Oktober 2011
Kidd, E.A.M., dan Bechal., 1992,
Dasar Dasar Karies Penyakit dan
Penanggulangannya, EGC, Jakarta
Suwelo, I. S., 1992, Karies pada Gigi
Anak dengan Pelbagai Etiologi., EGC,
Jakarta.
Relliyani, 2000, Hubungan Persepsi
Mutu dan Pemanfaatan Rawat Inap
Bagi Pasien Peserta Askes di RSUD
Jend.A.Yani
Metro,
Tesis,
Pascasarjana, UGM, Yogyakarta.

10.

11.
12.

13.

Faida dan Suprihanto,J., 1999, Analisis


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Keputusan Konsumen dalam
Memanfaatkan Jasa Pelayanan
Kesehatan Poli Umum di Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta sebagai Dasar
Penyusunan Strategi Pemasaran, J.
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 02
(10): 19-23
Kotler,P., 2002, Manajemen
Pemasaran (terj.), Prehalindo, Jakarta.
Djuwitawati,A., Emilia, O.,
Kusnanto,H., 1998, Hubungan
Kualitas Pelayanan dan Promosi
terhadap Hasil Pelayanan Kesehatan
Gigi dan Mulut di BPG Puskesmas Dati
II Blora, J. Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 1 (1):9-17.
Yenti,A., 2003, Faktor-Faktor yang
mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Gigi di Klinik Gigi SPRG
Depkes Bukit Tinggi, Tesis,
Pascasarjana, UGM, Yogyakarta.

THE EFFECTIVITY OF KEGEL EXERCISE TO PREVENT THE OCCURRENCE


OF URINE RETENTION AND EDEMA ON THE SUTURES OF THE PERINEUM
NN Sumiasih1, NLP Sri Erawati2, NM Dwi Purnamayanthi3
Abstract. In order to reduce maternal mortality, prevention of postpartum hemorrhage
is done by preventing the occurrence of uterine atony. In addition, post-partum
mothers also feel uncomfortable when suffering edema on the perinealsuture. To
prevent this, Kegel exercises needs to be given.
This study aims to discover the efectivity Kegel excercises to prevent the occurrence
of urine retention and edema of the perineal suture. The type of study is experimental
using Post-test Control Group Design, with a total experiment sample of 32 people
and control group of 32 people. Data analysis of the efectivity Kegel exercise to
prevent the occurrence of urine retention and edema of the perineal suture uses the
fisher exact test. The analysis results show that the Kegel exercise variable does not
efective practically and statistically to the occurrence variable of urine retention,
with p = 0.31 and RR = 0.33 (95% CI: 0.04 3.04). So does the perineal edema
variable with p=0.21 and RR= 0.04 (95% CI: 0.08 1.91).
Thus on post-partum mothers, given kegel exercises or not, the result is almost the
same, that urine retention or edema on perineal suture does not occur. This is because
that the handling of labor now is active and aggressive so as not to cause many
complications. Researches suggestion is that Kegel exercise is still given to the mother,
not only to prevent post-partum urine retention and edema on the perineal suture
but also to make post-partum mothers more fit and her body condition and posture
recovers more quickly to the state as before pregnancy.
Keywords: kegel exercise, urine retention, edema on perineal sutures.
Masanifas (puerperium) dimulai setelah
kelahiran plasenta dan berakhir ketika alatalat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil, yang berlangsung selama
enam minggu.Asuhan masa nifas diperlukan
dalam periode ini karena merupakan
masakritis baik ibu maupun bayinya.
Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu
akibat kehamilan terjadi setelah persalinan,
dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam
24 jam pertama.1
Kematian 24 jam pertama sebagian besar
disebabkan oleh perdarahan yang
disebabkan oleh atonia uteri (kontraksi
uterus tidak baik setelah bayi lahir). Untuk
mencegah kejadian tersebut diperlukan
asuhan dan pemantauan yang ketat pada
masa 24 jam pertama.
1,2,3

Disamping ancaman atonia uteri pada 24


jam ibu nifas sering diganggu oleh adanya
retensio urine dan nyeri jahitan perineum.
Ibu nifas biasanya merasakan nyeri apabila
pada daerah jahitan perineum mengalami
edema. Untuk mencegah terjadinya
retensio urine dan edema pada jahitan
perineum tersebut ibu nifas perlu diberikan
latihan senam Kegel setelah enam jam post
partum.5
Senam nifas memberikan latihan gerak
secepat mungkin agar otot-otot yang
mengalami peregangan selama kehamilan
dan persalinan kembali normal1. Senam
nifas merupakan bentuk ambulasi dini pada
ibu-ibu nifas yang salah satu tujuannya untuk
memperlancar proses involusi. Farrer2
menyatakan, bahwa kebanyakan ibu-ibu

Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar


67

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 67 - 72

nifas enggan untuk melakukan pergerakan,


mereka khawatir gerakan yang dilakukan
justru menimbulkan dampak seperti nyeri
dan perdarahan. Keadaan inilah yang sering
menimbulkan dampak antara lain, edema
pada jahitan perineum yang menimbulkan
rasa nyeri, retensio urine yang bisa
melemahkan kontraksi uterus yang disebut
atonia uteri. Atonia uteri ini yang
menyebabkan perdarahan sebagai
penyebab utama kematian ibu post partum/
nifas awal. Senam nifas merupakan solusi
dari masalah tersebut, yang dapat dimulai
6 jam setelah melahirkan dan dalam
pelaksanaannya harus dilakukan bertahap,
sistematis dan kontinyu1.
Varney dkk. (2004) melaporkan bahwa ibu
postpartum yang melakukan mobilisasi dini
dalam waktu 24 jam setelah kelahiran,
menyatakan bahwa mereka merasa lebih baik
serta lebih kuat. Otot Kegel atau otot
pubococcygeal (PC) dinamakan menurut nama
dokter Arnold Kegel yang mengidentifikasi
bahwa dengan melatih kelompok otot ini
merupakan hal yang penting. Sebelum
dokter Kegel menemukannya, otot-otot
tersebut tidak pernah di ketahui oleh
kebanyakan wanita. Kelompok otot ini
membantu menahan organ-organ yang ada
di daerah panggul tetap berada di
tempatnya. Pada wanita, otot ini mempunyai
tiga saluran yaitu saluran kemih, saluran
vagina dan anus. Latihan senam Kegel
dapat membantu memperbaiki otot-otot
dasar panggul, juga otot-otot dinding
abdomen dan akan melancarkan aliran
darah serta mempercepat penyembuhan
laserasi jalan lahir. Senam Kegel ini dapat
dilakukan di atas tempat tidur atau diatas
matras. Tubuh berbaring dengan kedua kaki
ditekuk.
Senam Kegel dilakukan pada hari pertama
postpartum bila kondisi ibu nifas memungkinkan,
meskipun kadang-kadang sulit untuk
mengaktifkan otot-otot dasar panggul selama
hari pertama atau kedua, dianjurkan agar
tetap mencobanya.
68

Senam Kegel akan membantu penyembuhan


postpartum dengan jalan membuat
kontraksi dan relaksasi secara bergantian
pada otot-otot dasar panggul, melancarkan
sirkulasi darah ke jalan lahir, mempercepat
penyembuhan setiap luka yang ada disana. Selain
itu meredakan hemoroid, meningkatkan
pengendalian urine, meringankan perasaan,
membangkitkan kembali pengendalian otototot spingter ani dan memperbaiki respon
seksual.Buang air kecil kadang memang
dapat dilakukan sendiri secepatnya, tetapi
sering ibu postpartum mengalami sulit buang
air kecil karena spingter uretra ditekan oleh
kepala janin dan spasme oleh iritasi muskulus
spingter ani selama persalinan, juga karena
ada edema kandung kemih yang terjadi
selama persalinan sehingga menimbulkan
retentio urine.Bila kandung kemih penuh,
akan mengganggu kontraksi uterus maka akan
bisa terjadi atonia uteri yang mengakibatkan
perdarahan post partum, dan mengganggu
proses involusi.(1).
Ada beberapa faktor lain yang dapat
mempengaruhi proses involusio uteri
berjalan normal atau tidak, antara lain
adalah: 1). Faktor internal, yaitu umur, paritas,
interval kehamilan, ASI dini dan personal higiene.
2). Faktor eksternal, yaitu gizi ibu, mobilisasi
dini dan senam nifas.
Sampai saat ini tidak ada data yang secara
langsung dapat menggambarkan pengaruh
antara pelatihan senam nifas Kegel dengan
kejadian retentio urine, edema jahitan
perineum, involusio uteri pada ibu postpartum.
Dari beberapa faktor yang sudah
disebutkan, dilakukan penelitian terhadap
dua faktor yaitu Efektifitas Senam Nifas Kegel
dalam Mencegah Terjadinya Retentio Urine
dan Edema Pada Jahitan Perineum.
Metode
Kerangka konsep penelitian ini didasarkan
pada teori, bahwa ibu post partum pada
24 jam pertama sering mengalami beberapa
masalah yang perlu ditangani dengan cermat
sehingga tidak terjadi masalah yang fatal

Sumiasih, Sri Erawati, Dwi Purnamayanthi (The effectivity of kegel...)

yaitu maternal mortality. Penyebab utama


terbesar dari kematian ibu adalah pada 24
jam pertama yang disebabkan oleh atonia
uteri yang menimbulkan perdarahan. Salah
satu penyebab atonia uteri adalah retensio
urine (kandung kencing penuh) yeng
mengganggu kontraksi uterus.
Variabel dalam penelitian ini adalah:Variabel
bebas (independent variable) yaitu pelatihan
senam Kegel, dan variabel terikat (dependent
variable) yaitu retensio urine dan edema pada
jahitan perineum. Hipotesis dalam penelitian
ini adalah:Senam nifas Kegel efektif
mencegah terjadinya retensio urine,dan
edema pada jahitan perineum. Penelitan ini
adalah penelitian Eksperimental dengan
rancangan Postest Control Group Design
(Sugiono, 2008).
Penelitian ini dilakukan Bulan Agustus sampai
dengan Oktober 2011 dengan populasi adalah
semua ibu postpartum yang ada di
Puskesmas Pembantu Dauh Puri Denpasar
dan Ruang Dara BP RSUD Wangaya. Sampel
dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas
yang dirawat di Puskesmas Pembantu Dauh
Puri Denpasar dan Ruang Dara BP RSUD
Wangaya, yang memenuhi kriteria inklusi
sebagai berikut, 1) Subjek bersedia
menjadi responden, 2) Ibu nifas normal,
3)Ibu yang mengalami jahitan perineum.
Besar sampel yang diperlukan dalam
penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus Roscoe (4), bahwa sampel minimal 10
kali dari jumlah variabel yang diteliti. Maka
dari itu pada penelitian ini jumlah variabel dua
(dependen dua dan indepanden satu) jadi
anggota sampel = 3x10 = 30, anggota sampel
yang diberi perlakuan senam Kegel sebesar
30 orang yang diambil di Puskesmas
Pembantu Dauh Puri Denpasar,dan
kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan
senam Kegel 30 orang yang di amati di Ruang
Dara BP RSUD Wangaya.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil
observasi pelaksanaan senam Kegel, kejadian
retensio urine pada hari pertama setelah

diberi perlakuan dan edema pada jahitan


perineum hari kedua setelah diberi perlakuan.
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik subjek penelitian
Diskripsi data awal subjek penelitian disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1
Karakteristik subyek penelitian

Karakteristik Kategori
Usia ibu (thn)
Paritas
Pekerjaan
Pendidikan

Edema
perineum
Retensio
Urine

MeanSd Median IQR


(min-max) (min-max)

n (%)

27 5,3
(17-39)
21 (1-6)
Bekerja
Tidak
SD
SLTP
SLTA
PT
Ya
Tidak
Ya
Tidak

54 (84,4)
10 (15,6)
9 (14,06)
16 (25)
36 (56,25)
3 (4,69)
7 (10,94)
57 (89,06)
4 (6,25)
60 (93,75)

Hasil analisis normalitas data menunjukkan


bahwa umur subjek penelitian berdistribusi
normal yang disajikan dalam bentuk nilai
mean dan standardeviasi. Data paritas tidak
berdistribusi normal, disajikan dalam bentuk
nilai median dan IQR. Data pendidikan,
pekerjaan, jahitan robekan perineum, edema
pada jahitan perineum dan kejadian retensio
urine berbentuk kategori disajikan dalam
distribusi frekuensi.
Subjek penelitian ini berusia antara 17 34
tahun.Sebagian besar dari subjek penelitian
mempunyai tingkat pendidikan SLTA.
Sebagaian besar paritas kedua dan tidak
bekerja. Dari seluruh subjek penelitian, sebagian
besar 93,75% tidak mengalami retensio urine,
dan (89,06%) tidak mengalami edema perineum.
Efektifitas senam kegel dalam
mencegah terjadinya retensio urine
Hubungan antara senam kegel dan kejadian
retensio urine dianalisis menggunakan uji
fisher exact karena salah satu selnya memiliki
nilai expected kurang dari lima.
69

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 67 - 72

Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel


senam kegel tidak efektif secara praktis dan
statistik mencegah variabel kejadian retensio
urine dengan nilai p=0,31 dan nilai RR =0,33
(95% CI: 0,043,04). Hasil analisis
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Sebaran kejadian retensio urine
berdasarkan kegiatan senam kegel
Senam
Kegel
Ya
Tidak

Retensio Urine
Ya
Tidak
n
%
n
%
1 3,12
31 96,88
3 9,38
29 90,62

Efektifitas senam Kegel dalam mencegah


kejadian edema perineum dianalisis
menggunakan uji fisher exact karena salah satu
selnya memiliki nilai expected kurang dari
lima. Hasil analisis menunjukkan bahwa
variabel senam kegel tidak efektif secara
praktis dan statistik mencegah variabel edema
perineum dengan nilai p= 0,21 dan nilai
RR=0,04 (95% CI: 0,081,91). Hasil analisis
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Sebaran kejadian edema perineum
berdasarkan kegiatan senam kegel
edema
perineum
Ya
Tidak

Retensio Urine
Ya
Tidak
n
%
n
%
2 6,25
30 93,75
5 15,62
27 84,38

Pembahasan Hasil Penelitian


Retensio urine adalah kandung kemih
penuh karena tidak bisa kencing sepontan
akibat dari menurunnya sensitifitas kandung
kencing itu sendiri. Farrer (2001)
menyatakan, bahwa kebanyakan ibu-ibu
nifas enggan untuk melakukan pergerakan,
mereka khawatir gerakan yang dilakukan
justru menimbulkan dampak seperti nyeri
dan perdarahan. Keadaan inilah yang sering
menimbulkan dampak antara lain, odem
pada jahitan perineum yang menimbulkan
70

rasa nyeri, retensio urine yang bisa


melemahkan kontraksi uterus yang disebut
atonia uteri.
Atonia uteri ini yang menyebabkan
perdarahan sebagai penyebab utama
kematian ibu post partum/ nifas awal.
Senam nifas merupakan solusi dari masalah
tersebut, yang dapat dimulai 6 jam setelah
melahirkan dan dalam pelaksanaannya
harus dilakukan bertahap, sistematis dan
kontinyu (1).Hal ini disebabkan pada masa
postpartum mengalami sulit buang air kecil
karena spingter uretra ditekan oleh kepala
janin dan spasme oleh iritasi muskulus spingter
ani selama persalinan, juga karena ada edema
kandung kemih yang terjadi selama
persalinan. Bila kandung kemih penuh, akan
mengganggu kontraksi uterus terjadi atonia uteri
yang mengakibatkan perdarahan postpartum
primer yang bisa berakibat fatal berakhir pada
kematian ibu. Di samping itu akan bisa terjadi
edema pada daerah perineum apalagi ada jahitan
akan menimbulkan rasa nyeri. Edema perineum
adalah adanya pembengkakan pada daerah
jahitan perineum karena adanya penimbunan
cairan akibat tekanan otot dasar panggul pada
saat persalinan dan pada masa nifas
awal.Pada masa nifas awal kalau kurang
mobilisasi sirkulasi darah di otot-otot dasar
panggul tidak lancar, maka akan terjadi
penimbunan cairan sehingga terjadi edema
pada daerah perineum, dan menimbulkan rasa
nyeri bila ada jahitan perineum dan bisa
menimbulkan jahitan perineum terlepas. Untuk
mencegah hal ini bisa diberikan latihan senam
Kegel pada hari pertama sesuai dengan
anjuran Pusdiknakes, 2003.
Pada hari pertama postpartum bila
memungkinkan, segera melakukan senam
Kegel meskipun kadang-kadang sulit untuk
mengaktifkan otot-otot dasar panggul selama
hari pertama atau kedua, di anjurkan agar
tetap mencobanya.Senam Kegel akan
membantu penyembuhan postpartum
dengan jalan membuat kontraksi dan
relaksasi secara bergantian pada otot-otot
dasar panggul, melancarkan sirkulasi darah

Sumiasih, Sri Erawati, Dwi Purnamayanthi (The effectivity of kegel...)

ke jalan lahir, mempercepat penyembuhan setiap


luka yang ada disana. Selain itu meredakan
hemoroid, meningkatkan pengendalian
urine, meringankan perasaan, membangkitkan
kembali pengendalian otot-otot spingter ani
dan memperbaiki respon seksual.
Dari hasil analisis penelitian menunjukkan
bahwa variabel senam kegel tidak efektif
secara praktis dan statistik dalam mencegah
terjadinya retensio urine dengan nilai p =0,31
dan nilai RR sebesar 0,33 (95% CI: 0,04
3,04). Bigitu pula hasil analisis efektifitas senam
Kegel dalam mencegah terjadinya edema
jahitan perineum menunjukkan bahwa
variabel senam kegel tidak efektif secara
praktis dan statistik dalam mencegah
terjadinya variabel edema perineum dengan
nilai p= 0,21 dan nilai RR sebesar 0,04 (95%
CI: 0,08 1,91).
Hasil analisa ini berkaitan erat dengan sistem
pelayanan persalinan yang dilakukan di
BLRSU Wangaya sangat aktif dan progresif
dalam rangka mengantisipasi terjadinya
komplikasi dan menurunkan kematian ibu dan
bayi serta mendapatkan bayi lahir sehat (well
born baby). Disamping itu pula pemantauan
persalinan dilakukan dengan cermat sesuai
standar asuhan ibu bersalin dengan
mempergunakan partograf yang
direkomendsikan oleh Worl Health
Organitation (WHO). Instrument partograf ini
mencakup pemantauan kemajuan persalinan,
kesejahtraan ibu dan janin berupa grafik yang
dilengkapi dengan garis waspada dan garis
tindakan. Apabila pemantauan menunjukkan
ada kegawatan pada ibu atau pada janin, atau
kemajuan persalinan menyentuh garis tindakan
maka dokter tidak ragu lagi untuk mengambil
tindakan aktif demi penyalamatan ibu atau
bayinya. Melalui tindakan tersebut tidak ada
lagi proses persalinan mengalami
perpanjangan atau distosia yang bisa
mengakibatkan kepala bayi tertahan lama di
dasar panggul ibu yang mengakibatkan
kegawatan bayi yang berakhir dengan
aspiksia. Di samping itu dengan tertambatnya
kepala bayi lama di dasar panggul bisa

menyebabkan edema pada kandung kencing


atau ureter tempat saluran kencing yang bisa
mengakibatkan retensio urine dan edema
pada otot perineum. Tertahannya lama kepala
bayi di dasar panggul bahkan bisa
menimbulkan gangrain pada otot-otot vagina
dan rectum yang akhirnya akan mengakibat
fistula rectovaginalis (antara saluran vagina
dan rektum menjadi satu sehingga terjadi
gangguan buang air besar). Manfaat dan
keuntungan dari tindakan aktif yang dilakukan
di ruang bersalin di BLRSU Wangaya adalah
tidak sampai mengakibatkan komplikasi
seperti retensio urine, edema perineum,
gawat janin, bayi aspiksia dan fistula
rectovaginalis, terbukti dari kejadian
persalinan dengan secsio sesaria tahun 2010
(41,68%), dan tahun 2011 bulan Januari
sampai dengan Agustus (45,10%)
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ditemukan, bahwa senam
Kegel tidak efektif secara praktis dan statistik
mencegah terjadinya retensio urine dan
edema perineum pada ibu nifas satu sampai
dua hari postpartum. Ibu nifas yang diberikan
senam Kegel satu orang (3,12%) yang
mengalami retensio urine, sedangkan
kelompok kontrol yang tidak diberikan senam
Kegel hanya tiga orang (9,38%) yang
mengalami retensio urine. Ibu nifas yang
diberikan senam Kegel dua orang (6,25%)
yang mengalami edema pada jahitan
perineum dan kelompok control hanya lima
orang (15,62%) yang mengalami edema
jahitan perineum. Dari hasil analisis
didapatkan senam Kegel tidak efektif dalam
mencegaht erjadinya retensio urine. Begitu
pula senam Kegel tidak efektif dalam
mencegah terjadinya edema jahitan perineum.
Walaupaun dari hasil penelitian ini senam nifas
Kegel tidak efektif dalam mencegah terjadinya
retensio urine dan edema jahitan perineum,
hendaknya senam nifas Kegel tetap dilakukan
pada ibu nifas walupun kejadiannya kecil tetap
menyebabkan ibu nifas tidak nyaman
disamping untuk kebugaran, mengencangkan
71

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 67 - 72

otot dasar panggul. Senam nifas juga sangat


berguna untuk mencegah terjadinya
subinvolusi dan mengembalikan postur tubuh
ibu seperti pada waktu sebelum hamil.

3.

Daftar Pustaka

5.

1.

2.

72

Alisjahbana, M., Senam Nifas, Senam


Setelah Melahirkan, tersedia. 2008
http:/www.berbagi sehat.com.diakses
tanggal 12 OKTOBER 2010
Farrer, H., Perawatan Maternitas.
Alihbahasa Andryhartono, 2nd ed.
Jakarta: EGC. 2001

4.

6.

7.
8.

JHPIEGO, Buku Panduan Praktis


Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: JHPIEGO. 2002
Sugiono, Statistik Untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta. 2008
Suherni, Perawatan Masa Nifas.
Yogyakarta: Fitrania. 2008
Sylvia, Kehidupan Seks Selama
Kehamilan dan Setelah Melahirkan.
Jakarta: Arcan.1998
Pusdiknakes, Asuhan Kebidanan Post
Partum. Jakarta: Pusdiknakes. 2003
Varney, H., Kriebs, J.M., Gegor, C. L.,
Varney Midwifery, Fort edition, London:
Jones and Barlett Publishrs. 2004

MOTIVASI PRIA PEDESAAN DAN PERKOTAAN MENJADI AKSEPTOR


METODE OPERASI PRIA (MOP) DI BALI
Ni Wayan Armini1
Abstract. The participation of men as vasectomy acceptors becomes important
considering the reproductive process in family becomes a shared responsibility between
husband and wife. Motivational, knowledge, and socio-demographic are factors that
be considered to influence the participation of urban and rural men to become
members of the vasectomy acceptors. The purpose of this research was to analyze
the differences in intrinsic motivation, and extrinsic motivation between vasectomy
acceptors in rural and urban areas. Comparative analytical research with a cross
sectional approach and using purposive sampling technique was conducted on 156
vasectomy acceptors residing in urban and rural areas of Bali Province. Statistical
test used a comparative test of Mann-Whitney.
The result of this study showed that the intrinsic motivation of rural versus urban
vasectomy acceptors was 77,1 vs 72,9 (p value d 0,001),and extrinsic motivation
of rural versus urban vasectomy acceptors was 75 vs 68,8 (p value d 0,001).
This study concluded that intrinsic motivation, and extrinsic motivation were higher
on sterilized rural men than in urban one. Study on the influence of other variables
on men participation in vasectomy is needed.
Keywords: Motivation, acceptors, Vasectomy
Keikutsertaan pria sebagai peserta KB
khususnya sebagai akseptor metode operasi
pria (MOP) diharapkan meningkat karena
masih tingginya angka kematian ibu dalam
masa kehamilan, persalinan dan nifas oleh
faktor 4 terlalu yaitu terlalu muda dan terlalu
tua untuk kehamilan, terlalu sering hamil dan
terlalu banyak anak. Kondisi ini bisa dicegah
dengan penggunaan alat kontrasepsi, baik
oleh isteri maupun suami. Namun, pada
kenyataannya hanya perempuan yang memikul
beban ganda ini.
Partisipasi pria menjadi akseptor MOP baik
di daerah pedesaan maupun perkotaan
dipengaruhi oleh faktor motivasi dan
pengetahuan.(1) Motivasi sebagai kekuatan,
baik dari dalam (intrinsik) maupun dari luar
(ekstrinsik) yang mendorong seseorang untuk
mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan
sebelumnya.(2)
Bali sebagai salah satu provinsi yang menganut
sistem paternalistik, yang mempengaruhi
rendahnya partisipasi pria karena mereka
1

berpendapat cukup dengan memberikan


dukungan pada istri. Pria yang menjalani MOP
atau memakai kondom dalam mengatur angka
kelahiran dalam satu keluarga di Bali, hampir
sama dengan kondisi daerah lainnya di
Indonesia yang umumnya masih langka.(3)
Dalam mengatasi permasalahan tersebut,
dewasa ini BKKBN Bali melancarkan
program baru dengan memfokuskan
perhatian pada pria untuk mensukseskan
program KB, tanpa mengenyampingkan
perempuan yang selama ini memberikan andil
besar. (3) Pemantapan program ini
dilaksanakan melalui kondomnisasi dan
vasektomi, dengan pendekatan KB sistem
banjar. Program KB era baru juga
menggarap para remaja atau anggota yang
terhimpun dalam wadah teruna-teruni dengan
memberikan bekal agar si pria, calon suami
nantinya setelah membentuk rumah tangga
menjadi akseptor KB.(3)
Pencapaian peserta KB baru pria di Bali yang
menjalani MOP maupun menggunakan

Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar


73

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 73 - 78

kondom selama 2009 tercatat 5.544 orang


atau 8,7 persen dari pencapaian akseptor baru
sebanyak 63.713 peserta. Keadaan ini sudah
menunjukkan peningkatan dibanding tahun
sebelumnya yang hanya 7.848 orang atau
dalam setahun bertambah 246 orang.(4)
Nampaknya MOP merupakan program yang
semakin diterima oleh masyarakat Bali
dengan kecenderungan akseptor baru MOP
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tahun 2004 sebanyak 0,12 persen di
pedesaan dan 0,04 persen di perkotaan.
Sementara tahun 2009 naik menjadi 0,58
persen di pedesaan dan 0,12 persen di
perkotaan.(5) Berdasarkan data tersebut
dapat dilihat bahwa partisipasi pria menjadi
akseptor MOP di pedesaan lebih tinggi
daripada pria di perkotaan. Berdasarkan
uraian di atas maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut: a) Bagaimana
perbedaan motivasi intrinsik antara akseptor
MOP di pedesaan dan perkotaan. b)
Bagaimana perbedaan motivasi ekstrinsik
antara akseptor MOP di pedesaan dan
perkotaan. Adapun tujuan penelitian ini adalah
a) Menganalisis perbedaan motivasi intrinsik
antara akseptor MOP di pedesaan dan
perkotaan. b) Menganalisis perbedaan
motivasi ekstrinsik antara akseptor MOP di
pedesaan dan perkotaan. Manfaat dilakukan
penelitian ini adalah upaya meningkatkan
kualitas pelayanan keluarga berencana,
khususnya upaya untuk meningkatkan
partisipasi pria dalam program KB dengan
melihat motivasi pria tersebut.
Metode
Subjek penelitian ini adalah seluruh akseptor
MOP di pedesaan dan perkotaan Provinsi Bali
dengan jumlah sampel yang diteliti adalah 78
orang akseptor MOP di pedesaan dan 78
orang akseptor MOP di perkotaan. Subjek
penelitian diambil secara purposive di setiap
kecamatan, dilanjutkan dengan proportional
random sampling. Rancangan penelitian ini
adalah analitik komparatif studi dengan
pendekatan cross sectional.
74

Instrumen pengumpulan data menggunakan


kuesioner. Statistik yang digunakan adalah uji
Mann-Whitney, dan untuk menguji
signifikansi variabel perancu digunakan
analisis korelasi Rank Spearman.(6,7)
Hasil
Pada tabel 1 tampak bahwa pendidikan,
pendapatan, dan jumlah anak berbeda secara
bermakna dengan p value0,05.
Tabel 1
Sebaran karakteristik responden
Akseptor MOP
Desa (n=78) Kota (n=78)
f %
f %
Umur (thn)
30-40
35 44,9 32
41
> 40
43 55,1 46
59
Pendidikan
0-6
38 48,7
9
11,5
(thn)
7-12
36 46,2 56 71,8
>12
4
5,1
13 16,7
Pekerjaan
Bekerja
71
91
70 89,7
Tidak
7
9
8
10,3
Jumlah anak
1-2
18 23,1 24 30,8
(org)
3-4
38 48,7 50 64,1
?5
22 28,2
4
5,1
Pendapatan
<500
4
5,1
1
1,3
(x 1000 Rp/bl) 501-700
3
3,8
2
2,6
701-1.000
16 20,5
1
1,3
1.001-1.500 26 33,3
7
9
1.501-2.000 11 14,1
7
9
2.001-3.000 10 12,8 19 24,4
>3.000
8
10,3 41 52,6
Karakteristik

Kategori

Nilai p

0,24 0,628
27,01 <0,001

0,07 0,786
14,96 0,01

52,01 <0,001

Pada tabel 2 tampak skor motivasi intrinsik


(tanggung jawab, harapan masa depan dan
pengakuan dari orang lain) yang diperoleh
responden pedesaan dan responden
perkotaan adalah 50,41 (84,02%) median
77,1 versus 47,14 (78,57%) median 72,9
dan motivasi ekstrinsik (kebijakan/program,
fasilitas, anjuran/dukungan, dan tenaga
kesehatan yang ahli dan ramah) yang diperoleh
responden pedesaan dan responden
perkotaan adalah 49,54 (82,57%) median 75
versus 45,21 (75,35%) median 68,8.
Motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik
responden pedesaan berbeda dengan
responden perkotaan dengan p value
0,001.
Pengaruh variabel perancu berupa
pendidikan, jumlah anak dan pendapatan
dilakukan analisis korelasi Rank Spearman.
Hasilnya menunjukkan pendapatan
berpengaruh terhadap motivasi intrinsik

Armini (Motivasi pria pedesaan...)


Tabel 2
Perbedaan motivasi intrinsik dan ekstrinsik antara akseptor MOP di desa
dan kota

Indikator Motivasi dan


pengetahuan
Skor yang diperoleh
Skor ideal
Persentase (%)
Mean (SD)
Median
Rentang
Motivasi Skor yang diperoleh
ekstrinsik Skor ideal
Persentase (%)
Mean (SD)
Median
Rentang
Motivasi
intrinsik

Akseptor MOP
Desa
(n=78)
50,41
60
84,02
80 (12,1)
77,1
41,7-100
49,54
60
82,57
78,2(13,1)
75
43,8-100

ZM-W Nilai p
Kota
(n=78)
47,14
60
78,57
73,2(11,5) 3,996 <0,001
72,9
37,5-100
45,21
60
75,35
69,2(11,5) 4,865 <0,001
68,8
41,7-100

dengan p value0,05. Pendidikan akseptor


di perkotaan berpengaruh negatif terhadap
motivasi ekstrinsik dengan p value0,05.
Pembahasan
Skor total variabel motivasi intrinsik responden
di pedesaan lebih tinggi daripada responden
di perkotaan yaitu 84,02% dengan median
77,1, sedangkan responden di perkotaan
adalah 72,9. Hasil uji beda, menunjukkan
adanya perbedaan motivasi intrinsik antara
responden di pedesaan dan perkotaan (p
value0,001).
Orang Bali berpegang kepada prinsip
patrilineal (purusa), pria diharapkan kelak
akan menggantikan peran orang tuanya dalam
melaksanakan kewajiban adat (ayahan) di
lingkungan kerabat maupun di masyarakat
adat. Dalam keluarga, mereka berkewajiban
membina keluarganya serta memperhatikan
kesehatan dan kesejahteraan istrinya dan
bersama-sama istri bertanggung jawab dalam
mewujudkan anak yang suputra (anak yang
utama).(8) Keadaan ini masih kental terjadi di
pedesaan Bali, sehingga sebagai rasa tanggung
jawab terhadap kewajibannya tersebut, pria
mau menjadi akseptor MOP.
Penelitian kualitatif di kecamatan Alok, NTT,
penelitian Bunce dkk. di Tanzania, dan Amor
dkk. di Inggris menemukan alasan pria
menjadi akseptor MOP karena simpati
melihat kondisi kesehatan istrinya yang
menurun akibat sering melahirkan, apalagi

dibebankan kembali memakai kontrasepsi


dengan berbagai efek sampingnya.(9-11)
Tindakan pria ini bisa memberikan rasa aman
pada para istri. Berbeda dengan penemuan
Char di pedesaan Madhya Pradesh,
menyatakan wanita yang sebaiknya menjalani
MOW karena laki-laki bekerja berat mencari
nafkah keluarga sedangkan wanita hanya
mengurus rumah tangga dan anak-anak.(12)
Pendapatan pada responden di pedesaan
berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik
akseptor di pedesaan dengan p value d
0,05, artinya semakin tinggi pendapatan maka
motivasi intrinsik responden menjadi lebih
tinggi. Hal ini sesuai dengan studi yang
dilakukan di DIY menemukan bahwa
semakin tinggi pendapatan maka semakin
tinggi pula kesertaan pria dalam MOP.(13)
Adanya tuntutan pekerjaan menumbuhkan
motivasi untuk mengatur kelahiran dengan
mempertimbangkan beban ketergantungan
(dependency ratio) seorang anak.(1)
Sementara responden di perkotaan
menyatakan menjadi akseptor MOP, sematamata membentuk keluarga kecil dan bahagia
karena karakteristik masyarakat perkotaan
cenderung realistis dan rasional memandang
sesuatu.(14-16) Penelitian oleh Barone dkk. di
AS, Holden dkk. di kota- kota Australia, dan
Frachele di Oregon menemukan pria menjadi
akseptor MOP karena tanggung jawab pria
terhadap keluarga serta membentuk keluarga
kecil yang sejahtera.(17-19)
Skor total variabel motivasi ekstrinsik
responden di pedesaan lebih tinggi daripada
responden di perkotaan yaitu 82,57% dengan
median 75, sedangkan median yang diperoleh
responden di perkotaan adalah 68,8. Hasil
uji beda menunjukkan adanya perbedaan
motivasi ekstrinsik antara responden di
pedesaan dan perkotaan (p value d 0,001).
Responden di pedesaan sangat responsif
dengan fasilitas pelayanan yang langsung
menjangkau masyarakat seperti mobil
pelayanan MOP keliling, adanya program KB
gratis dari pemerintah serta diberikan
santunan/insentif dari pemerintah saat
75

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 73 - 78

menjalani MOP menjadi faktor pendorong


responden menjadi akseptor MOP. Terlebih
lagi, dengan adanya dukungan yang diberikan
isteri, tokoh masyarakat dan pejabat
pemerintah, sehingga responden lebih percaya
diri menjadi akseptor.
Penelitian Manhoso dkk. di Brazil dan Bunce
dkk di Tanzania menemukan bahwa
responden bersedia menjadi akseptor MOP
karena tersedianya fasilitas pelayanan yang
terjangkau oleh masyarakat serta mempunyai
jadwal pelayanan yang teratur mendorong pria
menjadi akseptor MOP. Alasan ekonomi juga
menjadi salah satu alasan pria menjadi
akseptor MOP yaitu semakin rendah tingkat
ekonomi pria maka pria akan semakin
sukarela menjadi akseptor MOP.(10,20)
Perempuan Bali saat ini mulai diberikan
kesempatan untuk berdiskusi bersama
pasangan dalam mengambil keputusan
walaupun Bali masih menganut adat budaya
patriarkat. Penemuan Guttman di Mexico,
bahwa budaya patriarkat memang bisa
menghambat perempuan untuk meminta suami
menjadi akseptor MOP, namun saat ini para
suamilah yang mengambil keputusan untuk
menjadi akseptor MOP.(21) Masyarakat
pedesaan juga masih sangat loyal kepada
pemimpinnya. Beberapa Bupati serta pejabat
BKKBN di wilayah kabupaten di Provinsi Bali
telah menjadi role model dalam menjadi
akseptor MOP. Dengan demikian, adanya
dukungan dan persetujuan dari isteri serta
teladan yang diberikan oleh tokoh
masyarakat maka pria akan percaya diri
menjadi akseptor MOP. Kepercayaan diri ini
penting mengingat sebagian besar masyarakat
masih menganggap partisipasi pria menjadi
akseptor MOP tidak perlu.
Responden di perkotaan memilih bahwa
pelayanan MOP ditangani oleh tenaga
kesehatan yang ahli dan ramah. Tenaga
kesehatan ini diharapkan dapat memberikan
penjelasan yang mendetail mengenai MOP
serta dapat memberikan pelayanan yang
prima saat menjalani MOP. Penelitian Arsyad
dan Wahyuni di Jawa Timur dan Jawa Tengah,
76

Frachele di Oregon (negara bagian AS)


menemukan pria mau menjadi akseptor MOP,
apabila mendapat penjelasan yang lengkap
dari motivator atau petugas kesehatan, serta
mendapat dukungan dari keluarga atau
teman.(19,22) Namun, responden di perkotaan
menyatakan tidak setuju dengan adanya
program KB gratis dari pemerintah serta
diberikan insentif setelah menjalani MOP
karena tingkat ekonomi masyarakat
perkotaan yang sebagian besar mata
pencahariannya di bidang jasa dan industri
cenderung menengah ke atas.
Anjuran dan dukungan dari istri, tokoh
masyarakat, serta pejabat pemerintah di
perkotaan dinilai kurang dalam mendorong
responden perkotaan menjadi akseptor
MOP. Ketakutan para istri di perkotaan
karena suami yang MOP akan lebih mudah
selingkuh. Selanjutnya, pola kepemimpinan di
perkotaan hanya bersifat formal dan didasari
hubungan yang bersifat kepentingan serta
belum dilibatkan secara aktif dan belum
menjadi role model dalam menjadi akseptor
MOP.(13)
Pendidikan pada responden di perkotaan
berpengaruh negatif terhadap motivasi
ekstrinsik akseptor dengan p value d 0,05
artinya semakin tinggi tingkat pendidikan
maka akan semakin rendah motivasi ekstrinsik
responden. Temuan dalam penelitian ini
disinyalir terjadi karena responden di
perkotaan dengan pendidikan tinggi, sudah
merasa amat paham mengenai MOP tersebut
dan tidak antusias mengikuti penyuluhan,
sehingga informasi yang diberikan tidak sampai
pada tujuan. Meta-Analysis di 14 negara
Asia dan Afrika termasuk Indonesia
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya
pendidikan seorang individu secara ekonomi
berkorelasi positif dengan selera (taste).(23)
Mereka dengan pendidikan yang tinggi lebih
mengutamakan pertimbangan pribadi dalam
mengambil suatu keputusan, bukan
berdasarkan iming-iming ataupun dukungan
dari luar.

Armini (Motivasi pria pedesaan...)

Kesimpulan dan Saran


Motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik pada
akseptor di pedesaan lebih tinggi untuk
menggunakan MOP sebagai cara kontrasepsi
daripada akseptor di perkotaan. Indikator
yang berbeda adalah tanggung jawab dan
pengakuan dari orang lain, kebijakan atau
program KB gratis, adanya fasilitas yang
menunjang serta memadai dan adanya anjuran
atau dukungan baik dari istri, tokoh
masyarakat dan pejabat pemerintah.
Pendapatan berpengaruh positif terhadap
motivasi intrinsik akseptor di pedesaan.
Pendidikan berpengaruh negatif terhadap
motivasi ekstrinsik akseptor di perkotaan.
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk
meneliti faktor-faktor lain yang mendorong
pria menjadi akseptor MOP, seperti
bagaimana perilaku termasuk pengetahuan
dan sikap istri dan tokoh masyarakat
mengenai MOP, serta dibuat dengan desain
penelitian kualitatif.

7.

8.

9.

10.

11.

Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

5.
6.

Suprihastuti. Pengambilan keputusan


penggunaan alat kontrasepsi pria di
Indonesia. Analisa hasil SDKI 1997.
Yogyakarta: UGM; 2000.
Winardi J. Motivasi dan pemotivasian
dalam manajemen. Jakarta: Raja
Grafindo Persada; 2008.
Sutika IK. Peran pria di Bali masih minim
dalam menyukseskan KB. 2008
[diunduh tanggal 28 Juli 2010]. Tersedia
dari: http://www.bkkbn.go.id/popups/
DetailHasilPenelitian.php?objID=5.
Akseptor KB pria di Bali meningkat.
ANTARA [surat kabar di internet]. 2009
[dinduh tanggal 20 Juli 2010]. Tersedia
dari: http://www.bkkbn.go.id/popups/
DetailHasilPenelitian.php?objID=5.
BPS. Laporan KB di Bali. 2010.
Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran
dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta.
Salemba Medika; 2008.

12.

13.

14.

15.

Dawson B, Trapp RG. Basic & clinical


biostatistics. New York. Lange Medical
Books/McGraw-Hill; 2001.
Astiti TIP. Nilai anak dalam kehidupan
keluarga Bali. Dalam: Ihromi TO, editor.
Bunga rampai sosiologi keluarga.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; 2004.
h. 277-93.
Refanita AF. Pengambilan keputusan
terhadap kontrasepsi mantap (vasektomi
dalam keluarga): sebuah penelitian
kualitatif di kecamatan Alok, kabupaten
Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur).
Jakarta: BKKBN; 2002
Bunce A, Guest G, Searing H, Frajzynger
V, Riwa P, Kanama J, et al. Factors
affecting vasectomy acceptability in
Tanzania. International Family Planning
Perspectives. 2007;33(1):13-21.
Amor C, Rogstad KE, Tindall C, Moore
KTH, Giles D, Harvey P. Mens
experiences of vasectomy: a gruonded
theory study. Sexual and Relationship
Therapy [serial online] 2008 August
[diunduh 30 Januari 2011]; 23(3):[12
halaman]. Tersedia dari: http://
www.informaworld.com.
Char A, Saavala M, Kulmala T. Male
perceptions on female sterilization: a
community-based study in rural central
India. International Perspectives on
Sexual and Reproductive Health.
2009;35(3):131-8.
Iswarati, Rahmadewi, editor. Buku
sumber untuk advokasi: keluarga
berencana, kesehatan reproduksi,
gender,
dan
pembangunan
kependudukan. Jakarta: BKKBN,
UNFPA; 2003.BKKBN. Partisipasi
pria dalam KB dan kesehatan
reproduksi. Jakarta: BKKBN; 2006.
Soelaeman MM. Ilmu sosial dasar: teori
dan konsep ilmu sosial. Bandung: Refika
Aditama; 2009.
Syarbaini S, Rusdiyanta. Dasar-dasar
Sosiologi. Yogyakarta: Graha Ilmu;
2009.
77

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 73 - 78

16. Adioetomo SM, Samosir OB. Dasardasar demografi. Edisi ke-2. Jakarta:
Salemba Empat; 2010.
17. Barone MA, Johnson CH, Luick MA,
Teutonico DL, Magnani RJ.
Characteristics of men receiving
vasectomies in the United States, 1998
1999. Perspectives on Sexual and
Reproductive Health [serial online] 2004
January-February [diunduh 30 Januari
2011]; 36(1):27-33:[8 halaman].
Tersedia dari: http://web.ebscohost.com/
ehost/
18. Holden CA, McLachlan RI, Cumming
R, Wittert G, Handelsman DJ, de Kretser
DM, et al. Sexual activity, fertility and
contraceptive use in middle-aged and
older men: Men in Australia, Telephone
Survey (MATeS). Humrep [serial
online]. 2005 [diunduh tanggal 9 Agustus
2010]; 20(12)[6 halaman]. Tersedia
dari: http://humrep.oxfordjournals.org.
19. Frachele R. Adding vasectomies: one
agencys story. Contraceptive
Technology Update [serial online] 2007
May [diunduh 30 Januari 2011]; [3
halaman]. Tersedia dari: http://
web.ebscohost.com/ehost/

78

20. Manhoso FR, Hoga LAK. Mens


experiences of vasectomy in the Brazilian
Public Health Service. International
Nursing Review [serial online] 2005
[diunduh 30 Januari 2011]; 52:101108:[9 halaman]. Tersedia dari: http://
web.ebscohost.com/ehost
21. Guttmann MC. Scoring men:
vasectomies and the totemic illusion of
male sexuality in Oaxaca. Culture,
Medicine and Psychiatry [serial online]
2005 [diunduh 30 Januari 2011];
29(1):79-101:[23 halaman]. Tersedia
dari: http://www.springerlink.com/
content/v83828034377t188/fulltext.pdf
22. Arsyad SS, Wahyuni D. Hubungan
beberapa faktor dengan partisipasi pria
dalam ber-KB dan kesehatan
reproduksi di Propinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Jakarta: BKKBN; 2004.
23. Angeles BK, Glanvile JL, Stecklov G.
Socioeconomic status, permanent
income, and fertility: A Latent Variable
Approach. Carolina Population Center.
University of North Carolina; 2002.

APLIKASI SISTEM HACCP PADA RUMAH MAKAN/RESTORAN


DI KECAMATAN DENPASAR SELATAN TAHUN 2011
I Nyoman Sujaya1, I Wayan Suarta Asmara2, I Nyoman Purna3
Abstract. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) is an approach to identify
and quantify specific hazards for prevention and control of food processing to ensure
food safety. HACCP can be applied to the food chain ranging from primary producers
to manufacturers end. For that understanding needs to start with the HACCP training
for food businesses and food industry and restaurants that share responsibility in
food safety. The research objective to determine the effect of training on the
application of HACCP in food stalls and restaurants in the District of South Denpasar.
Particular goal was to determine sanitary food stalls and restaurant, impart
knowledge and skills in the application of HACCP for food stalls and restaurant,
evaluate the effect of training on the application of HACCP in food stalls and
restaurant. The study used a research design with Action Research approach, whereby
the chosen method directly applied to the reality on the ground. Data was collected
through observation, interviews, evaluation of interventions / training and evaluation
of the implementation of HACCP before and after the intervention. Conducted a
descriptive analysis and statistical tests with paired t-test. The results showed that
the average after a given intervention participants increased by 44,42%. The results
were analyzed statistically by paired t-test, showed significant difference knowledge
of the food stalls / restaurant manager on the HACCP before and after the intervention
/ training ; p = 0.000 (p <0.05). Application of the HACCP at the food stalls /
restaurant before and after the intervention has increased by 55,45 %. Conclusion
The study was managing a food stalls / restaurant has not been fully implemented
HACCP to protect sanitation and food safety into their products. To optimize the
application of HACCP for HACCP team was formed involving relevant agencies
and the competent authorities in the field of HACCP.
Keywords: HACCP, training, restaurant
Makanan merupakan unsur vital bagi
kehidupan. Bila seseorang mengkonsumsi
makanan dengan baik dan teratur tentu
tubuhnya akan sehat, berkembang secara
optimal dan terhindar dari berbagai penyakit.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini justru
yang terjadi adalah sebaliknya, dimana
banyak terjadi penyakit atau keracunan
makanan akibat mengkonsumsi makanan
yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan1.
Terjadinya kasus keracuan makanan di negara
berkembang secara umum tidak terdata
dengan jelas dan rinci. Gejala ini dikenal
sebagai iceberg phenomena, kasus yang
1,2,3

tercatat sedikit namun realita kasusnya


banyak. Perkiraan WHO selama tahun 2004,
di seluruh dunia terjadi 81 juta kasus
keracunan makanan dan sekitar 9.000 orang
mengalami kematian2. Dalam kurun waktu
yang sama, di Indonesia terjadi 50 kejadian
keracunan makanan dengan 15 orang
meninggal. Sedangkan di Provinsi Bali,
berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan
selama tahun 2008 tercatat ada 6 kajadian
keracunan makanan dengan jumlah penderita
sebanyak 191 dan 1 orang meninggal.
Rendahnya angka keracunan makanan di
Indonesia termasuk di Provinsi Bali, salah

Dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Denpasar


79

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 79 - 83

satunya disebabkan oleh sistem pencatatan


dan pelaporan kasus keracunan yang belum
memadai. Disamping itu, ada keengganan dari
penderita keracunan makanan untuk
melaporkan dirinya ke instansi terkait. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, sekitar 80%
dari total kasus keracunan makanan
disebabkan oleh kurangnya penerapan
sanitasi makanan3.
Dengan demikian untuk mencegah kejadian
keracunan makanan peningkatan upaya
sanitasi makanan mutlak diperlukan, baik oleh
pengelola makanan maupun pengawas
pengelolaan makanan. Lebih-lebih Pemda
Provinsi Bali, yang telah menetapkan Bali
sebagai pusat pengembangan dan tujuan
wisata utama di Indonesia, tentu sangat rentan
dengan issue keracunan makanan. Beberapa
kasus keracunan makanan yang cukup
mengejutkan di Bali antara lain kasus Cholera
wisatawan Jepang dan kasus Desentri
wisatawan Taiwan. Kedua contoh kasus ini
berdampak langsung terhadap penurunan
jumlah wisatawan dari negara yang
bersangkutan, yang pada akhirnya dapat
menurunkan citra pariwisata Bali4. Disamping
menimpa wisatawan, kasus karacunan
makanan pada penduduk lokal juga sering
menjadi pemberitaan media massa pada
akhir-akhir ini. Korbannya baik siswa
sekolah maupun kelompok masyarakat pada
suatu wilayah. Keadaan seperti ini merupakan
tantangan bagi pemerintah daerah dan instansi
terkait untuk mengantisipasinya.
Denpasar sebagai ibu kota provinsi, sekaligus
sebagai pusat pengembangan pariwisata Bali,
sudah tentu menyiapkan beberapa paket
pariwisata mulai dari atraksi budaya dan
akomodasinya termasuk hotel dan rumah
makan/restoran. Sampai saat ini sudah
terdaftar sebanyak 390 rumah makan/restoran
yang tersebar pada 4 kecamatan di wilayah
Kota Denpasar. Pembinaan terhadap rumah
makan dan restoran yang rutin berjalan selama
ini berupa uji laik sehat dan penetapan grading.
Bila rumah makan/restoran telah mendapat
80

pengawasan dari pihak terkait sehingga


keamanan makanan yang dihidangkan dapat
dijamin, sudah tentu kejadian keracunan
makanan dapat dihindarkan.
Hazard Analysis Critical Control Point
yang disingkat HACCP adalah suatu
pendekatan untuk mengenal dan mengukur
bahaya yang spesifik sebagai upaya
pencegahan dan pengawasan pengolahan
makanan untuk menjamin keamanan
makanan5. Ada 7 prinsip pokok HACCP
yaitu : 1). Melakukan analisis bahaya,
menetapkan bahaya dan ukuran pengendalian
bahaya yang spesifik, 2). Mengidentifikasi titik
kendali kritis atau Critical Control Point
(CCP), 3). Menentukan batas kritis pada
setiap titik kendali iritis, 4). Melakukan
pemantauannya dan pelaksanaan
pemantauan, 5). Melakukan tindakan
perbaikan (koreksi), 6). Melakukan verifikasi
(membandingkan dengan yang seharusnya),
7). Menyimpan data dan dokumentasi yang
memadai. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh pelatihan HACCP
terhadap penerapan sistem HACCP pada
rumah makan dan restoran di Kecamatan
Denpasar Selatan.
Metode
Penelitian ini mempergunakan desain
penelitian dengan pendekatan Action
Research, dimana metode yang dipilih
langsung diaplikasikan pada kenyataan di
lapangan6. Rancangan penelitian yang dipakai
untuk menilai atau mengevaluasi efektifitas dari
suatu intervensi yaitu dengan Pre and Post
test Control Group Design 7. Metode
intervensi yang dipergunakan dalam
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
pengelola rumah makan/restoran adalah
metode pelatihan singkat ( on the job
training ) tentang sistem HACCP dengan
penekanan pada prinsip pokok sebagai dasar
dalam penerapan HACCP.
Populasi penelitian adalah seluruh rumah
makan/restoran yang berada di wilayah
Kecamatan Denpasar Selatan.

Sujaya, Suarta A., Purna (Aplikasi sistem HACCP...)

Kriteria inklusi yaitu bersedia berpartisipasi


dalam penelitian ini, telah mendapat
pembinaan dan grading dari instansi terkait
(Dinas Kesehatan Kota Denpasar). Sampel
penelitian adalah rumah makan/restoran yang
berada di wilayah Kecamatan Denpasar
Selatan yang memenuhi kriteria inklusi.
Rumah makan/restoran yang ada di wilayah
Kecamatan Denpasar Selatan berjumlah 108
rumah makan/restoran hanya 56 rumah
makan/restoran yang memenuhi kriteria
inklusi, kemudian dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Analisis univariat
digunakan untuk menganalisis data penelitian
dalam bentuk distribusi frekuensi dari masingmasing variabel penelitian. Analisis bivariat
dengan uji statistik paired t-test. digunakan
untuk mengetahui efektivitas dari intervensi
yang diberikan.
Hasil dan Pembahasan
Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan
termasuk kawasan pusat kota dan pusat
pemerintahan, juga memiliki kawasan wisata
yang cukup ramai dan strategis yaitu kawasan
wisata Sanur dan Pulau Serangan yang
dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun
wisatawan mancanegara. Oleh karena itu di
wilayah Kecamatan Denpasar Selatan
berkembang cukup pesat sektor-sektor
penunjang bagi perkembangan kawasan
wisata dan pusat keramaian di Kota Denpasar
seperti hotel/ penginapan, rumah makan/
restoran, pasar swalayan/ mall. Rumah
makan/ restoran yang ada di wilayah
Kecamatan Denpasar Selatan sebanyak 108
rumah makan/ restoran dan sebagian besar
(79,36%) berada di wilayah kerja Puskesmas
II Denpasar Selatan. Adapun distribusi rumah
makan/ restoran berdasarkan tingkat mutu
(grading) dan wilayah kerja puskesmas
seperti pada tabel 1.

Tabel 1
Sebaran rumah makan/restoran di wilayah Denpasar
Selatan
Wilayah Kerja
Puskesmas/
Denpasar Selatan I
Denpasar Selatan II
Denpasar Selatan III
Denpasar Selatan IV
Jumlah

Rumah Makan/Restoran Total


Grade Grade Grade
A
B
C
1
8
9

1
48
2
51

16
30
2
48

18
86
4
108

Subyek penelitian dipilih dari rumah makan/


restoran yang berada di wilayah Kecamatan
Denpasar Selatan yang berjumlah 108 rumah
makan/ restoran dengan kategori tingkat mutu
(grading) terdiri dari grade A sebanyak 9
(8,33 %), grade B sebanyak 51 ( 47,22 %)
dan grade C sebanyak 48 (44,44 %), yang
memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini
adalah sebanyak 56 rumah makan/ restoran,
selanjutnya rumah makan/ restoran yang dipilih
sebagai subyek penelitian dibagi menjadi dua
kelompok sampel penelitian yaitu kelompok
perlakuan ( pengelola rumah makan/ restoran
yang diberikan pelatihan HACCP) dan
kelompok kedua sebagai kontrol (rumah
makan/ restoran yang tidak diberikan
pelatihan HACCP).
Penerapan sistem HACCP pada rumah
makan/ restoran yang dipilih sebagai subyek
dalam penelitian ini hanya ditekankan pada
penerapan tujuh prinsip pokok dari sistem
HACCP yang dilaksanakan pada rumah
makan/ restoran tersebut. Berdasarkan hasil
observasi pada rumah makan/ restoran yang
menjadi subyek penelitian menunjukkan
bahwa penerapan prinsip pokok dari sistem
HACCP pada rumah makan/restoran
sebelum dilaksanakan intervensi sebagai
berikut : Nilai rerata (mean) pengetahuan
tentang HACCP pengelola rumah makan/
restoran sebelum diberikan intervensi adalah
55,18 (gambar 1). Setelah diberikan
intervensi kepada pengelola rumah makan/
restoran yaitu berupa pelatihan/pembinaan
tentang sistem HACCP nilai rerata
pengetahuan meningkat menjadi 79,69.
81

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 79 - 83


Tabel 2
Penerapan komponen sistem HACCP pada Rumah
Makan/Restoran di wilayah Denpasar Selatan

Komponen / Prinsip Pokok


sistem HACCP

Gambar 1.
Penerapan HACCP Sebelum Intervensi

Berdasarkan hasil evaluasi pre-test dan posttest menunjukkan ada peningkatan perolehan
nilai evaluasi dimana nilai rerata (mean)
peserta pelatihan mengalami peningkatan
44,42 % yaitu dari 55,18 menjadi 79,69. Hal
ini dapat diasumsikan bahwa terjadi
peningkatan pengetahuan peserta pelatihan
setelah diberikan materi pelatihan/pembinaan,
dan secara statistik menunjukkan ada
perbedaan yang bermakna antara rerata nilai
pre-test dan rerata nilai post-test peserta
pelatihan dimana p = 0,000. Dengan demikian
intervensi yang diberikan berupa pelatihan/
pembinaan ini dapat meningkatkan
pengetahuan pengelola rumah makan/
restoran. Oleh karena itu setelah pelatihan/
pembinaan ini diharapkan akan dapat
ditindaklanjuti oleh petugas Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar melalui
supervisi dan bimbingan secara rutin dan
berkala sehingga dapat meningkatkan
penerapan sistem HACCP pada rumah
makan/restoran, serta dapat menjamin sanitasi
makanan dan keamanan makanan pada rumah
makan/restoran tersebut.
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa
rerata penerapan sistem HACCP pada rumah
makan/restoran sebelum intervensi sebesar
28,06 % dan rerata penerapan sistem
HACCP pada rumah makan/restoran sesudah
intervensi sebesar 43,62 %. Hal ini
menunjukkan dengan intervensi yang
diberikan penerapan sistem HACCP pada
rumah makan/restoran mengalami
peningkatan sebesar 55,45 % . Hasil uji
statistik dengan mempergunakan uji paired t
test diperoleh p = 0,000 yang berarti ada
82

Melakukan analisis bahaya


Mengidentifikasi titik kendali
kritis atau Critical Control Point
(CCP)
Menentukan batas iritis pada
setiap titik kendali iritis
Melakukan pemantauannya
dan pelaksanaan pemantauan
Melakukan tindakan perbaikan
(koreksi)
Melakukan verifikasi
(membandingkan dengan yang
seharusnya)
Menyimpan data dan
dokumentasi yang memadai

Prosentase
Sebelum Sesudah
Intervensi Intervensi
33,93
55,36
73,21
85,71

5,36

21,43

41,07

51,79

17,86

30,36

3,57

28,57

21,43

32,14

28,06

43,62

pengaruh pelatihan HACCP terhadap


penerapan sistem HACCP pada rumah
makan/restoran di Kecamatan Denpasar
Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
memberikan pelatihan/pembinaan tentang
sistem HACCP kepada pengelola rumah
makan/restoran cukup efektif untuk
meningkatkan penerapan sistem HACCP
pada rumah makan/restoran, oleh karena itu
sangat baik untuk ditindaklanjuti dengan
bimbingan, pembinaan maupun pengawasan
secara rutin dan berkala sehingga penerapan
sistem HACCP pada rumah makan/restoran
dapat berjalan lebih efektif dan lebih dapat
dioptimalkan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan sanitasi rumah makan/ restortan
di Kecamatan Denpasar Selatan telah
mendapat pengawasan dan pembinaan dari
Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan jajaran
melalui penetapan grading rumah makan/
restoran. Pengelola rumah makan/restoran
belum sepenuhnya menerapkan sistem
HACCP untuk meningkatkan sanitasi dan
keamanan makanan yang menjadi produknya.

Sujaya, Suarta A., Purna (Aplikasi sistem HACCP...)

Pengetahuan tentang HACCP dari pengelola


rumah makan/restoran yang dipilih sebagai
peserta pelatihan setelah diberikan intervensi
mengalami peningkatan sebesar 44,42 %, dan
peningkatan pengetahuan HACCP peserta
bermakna secara statistik ( p = 0,000 ).
Penerapan sistem HACCP pada rumah
makan/restoran di wilayah Kecamatan
Denpasar Selatan sesudah intervensi
mengalami peningkatan sebesar 55,45 %
dibandingkan sebelum diberikan intervensi.
Untuk mengoptimalkan penerapan sistem
HACCP agar dibentuk tim HACCP yang
melibatkan instansi terkait dan pihak yang
berkompeten dibidang HACCP sehingga
sanitasi dan keamanan makanan dapat
ditingkatkan.

3.

4.

5.

6.

Daftar Pustaka
1.

2.

Anwar H,dkk, 2005, Pedoman Bidang


Studi Sanitasi Makanan dan Minuman
Pada Institusi Tenaga Kesehatan,
Jakarta.
US.CDC, 2008, Little Pogress Against
Food Poisoning in 2008, http: //
www.msnbc.msn.com/id/30138087/,
(Diakses : 23 Sepetember 2008).

7.

Muniroh, L., 2005, Keracunan


Makanan Upaya Pencegahan dan
Penanganannya, Jurnal Unair, Vol. I No.
2 Januari 2005, http://journal.
unair.ac.id /detail_jurnal. php?id
=2257&med=22&bid=3, (Diakses 1
Oktober 2009).
Bali Post, 2004, Melongok Kasus
Keracunan di Bali : Akibat Pengelolaan
Makanan Kurang Higienis,(online),
h t t p : / / w w w. b a l i p o s t . c o . i d /
BaliPostcetak/2004/11/17/ b11. htm
(Diakses : 3 Mei 2011).
Muryoto, 2002, Higiene Sanitasi
Makanan, Politeknik Kesehatan
Yogyakarta, Yogyakarta.
Davison, R. M., Martinsons, M. G.,
Kock N., 2004, Journal : Information
Systems Journal : Principles of
Canonical Action Research 14, 6586
Baskerville,L.R., 1999, Journal :
Investigating Information System with
Action Research, Association for
Information Systems: Atlanta .

83

EFEKTIVITAS BUNGA PIRETRUM


SEBAGAI INSEKTISIDA NYAMUK AEDES AEGYPTI
Nengah Notes1 dan Cokorda Dewi Widhya Hana Sundari2
Abstract. Dengue disease is a health problem because the cases increased every
year. In 2004 the number of cases are 1023 cases and in 2005 increased to 1853
cases. In 2006 after numerous efforts to eradicate dengue disease with high cost
such as fumigation (fogging), conselling and to eradicate mosquito breeding, the
number of cases is still an increase reached 3033 cases. Even in early 2008 an official
interpreter monitors larvae (jumantik) became the first person who died from dengue
fever. One of the prevention efforts that can be done to avoid the disease is kill the
dengue Aedes aegypti mosquito. Mosquito control can be done by using insect
repellent spray. The dose should be appropriate and in accordance with WHO
recommendations, because the mosquitoes resistant to insecticides. Piretrum is one
alternative that can be used as a mosquito killer drug. This study aims to find out
whether piretrum flower can be used to kill the Aedes aegypti mosquito. Research
methods using the experimental study with The Postest - Only Control Group Design.
The results showed that piretrum flower significantly affected to kill mosquitoes.
The most effective level to kill mosquitoes are 10cc/liter of water. Considering of the
benefit of piretrum flower, its recomended to the public to use piretrum flower as a
mosquito killer that is save and effective.
Keywords: Piretrum, A natural insecticide
Penyakit Demam Berdarah Dengue ( DBD)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang transmisi penularannya melalui
nyamuk Aedes aegypti. Penyebarannya
sangat cepat dan tidak jarang menyebabkan
kematian. Kota Denpasar sebagai barometer
keberhasilan program kesehatan Propinsi Bali
menunjukkan adanya peningkatan jumlah
kasus setiap tahunnya. Pada tahun 2004
jumlah kasus 1023 kasus, 2005 sebesar
1853 kasus dan 2006 sebesar 3033 kasus.
Upaya pemberantasan telah dilakukan antara
lain melalui pengasapan/foging untuk
membunuh nyamuk dewasa dan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan
biaya yang cukup besar namun belum
menunjukkan hasil baik1. Bahkan seorang
petugas juru pemantau jentik (jumantik) di
wilayah Panjer Kecamatan Denpasar Selatan
menjadi korban pertama di Januari 2008 yang
meninggal dunia2.
1,2
84

Salah satu usaha pencegahan yang dapat


dilakukan agar terhindar dari penyakit demam
berdarah adalah dengan membunuh nyamuk
Aedes aegypti menggunakan obat anti
nyamuk. Pengendalian dengan bahan kimia
selain meracuni nyamuk juga dapat meracuni
hewan bahkan manusia. Dosis yang
dipergunakan harus tepat dan sesuai dengan
rekomendasi WHO, karena nyamuk sangat
mudah kebal terhadap insektisida. Harga
insektisida yang sangat mahal mengakibatkan
usaha ini tidak efisien bila digunakan di seluruh
wilayah3.
Membunuh nyamuk di dalam rumah
diperlukan bahan yang bersifat hit and run,
artinya bahan tersebut dengan cepat dapat
membunuh nyamuk, tetapi residunya (sisa
sisa racun) dapat cepat menghilang sehingga
resiko pencemaran dalam ruangan dapat
dihindari. Tanaman piretrum (gambar 1) yang
sudah diketahui memiliki sifat hit and run dan

Dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Denpasar

Notes dan Dewi Widhya HS (Efektifitas bunga piretrum...)

cepat bereaksi terhadap serangga. Bunga


piretrum menghasilkan bahan anti nyamuk
yang disebut piretrin. Bahan aktif ini
digunakan sebagai anti nyamuk dalam
berbagai bentuk, antara lain aerosol untuk
anti nyamuk semprot, insektisida untuk
dicampur air dan anti nyamuk bakar4.

Gambar 1.
Perkembangan Bunga Piretrum
Sumber : John, E Casida, 1973

Piretrum atau Chrysanthenum cinerariae


folium Trev, merupakan tanaman perdu
tahunan dengan tinggi 20 70 cm. Bunganya
yang berwarna putih termasuk hermaprodit
alias memiliki kelamin jantan dan betina,
sehingga mereka bisa melakukan perkawinan
sendiri. Penyerbukan terjadi dengan bantuan
lebah dan lalat.
Bunga piretrum berperan penting karena
terdapat bahan aktif insektisida. Disitu
terdapat campuran senyawa ester dari ketoalkohol yang disebut piretrolon dan sinerolon
yang ampuh mengusir serangga. Gugus
molekulnya C12H28O3 dan C22H28O5 dan
termasuk racun kontak dan diduga bisa
mempengaruhi ganglia ( badan sel saraf ) dari
sistem saraf pusat serangga.
Gejala keracunan nyamk yang ditimbulkan
diawali dengan gerakan abnormal nyamuk.
Lalu diiringi kelumpuhan yang berujung
kematian. Daya racun piretrin semakin
meningkat bila temperatur semakin rendah.
Piretrin bersifat reversible,artinya jika
serangga mendapatkan dosis tidak mematikan
akan sehat kembali dalam 24 jam tetapi tidak
menimbulkan kekebalan. Cara kerja dari
piretrum adalah knock down. Sifatnya sebagai
insektisida kontak, nyaris tidak meninggalkan
bekas bila permukaan yang diolesi terpapar
cahaya, bila permukaan di tempat gelap, zat
ini akan bertahan maksimal 2 minggu.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk


mengetahui apakah bunga piretrum dapat
dimanfaatkan sebagai sebagai bahan
pembunuh nyamuk Aedes aegypti. Adapun
tujuan khusus penelitian adalah untuk
mengetahui manfaat bunga piretrum sebagai
bahan pembunuh nyamuk Aedes aegypti,
untuk mengetahui jumlah nyamuk yang dapat
dibunuh pada beberapa kadar bahan
pembunuh nyamuk dari bunga piretrum, dan
untuk mengetahui kadar bunga piretrum yang
efektif sebagai bahan pembunuh nyamuk
Aedes aegypti.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian eksperimental dengan rancangan
The Postest Only Control Group Design.
Rancangan hanya mengukur hasil akhir
(postest) tanpa mengukur sebelum diberi
perlakuan (pretest) karena diasumsikan
bahwa karakteristik antar unit analisis adalah
sama5. Penelitian akan mengukur nyamuk
yang mati pada 3 perlakuan yaitu kadar
piretrum 5 cc (P1), 10 cc (P2) dan 15 cc (P3)
dalam 1 iter air dan kontrol (K).
Pada penelitian dibutuhkan bahan berupa
bahan pembunuh nyamuk dan nyamuk aedes
aegypti. Bahan pembunuh nyamuk dibuat
dengan cara : 1) Bunga piretrum dikeringkan
dengan menganginanginkan selama 2 3 hari.
Bunga yang dipergunakan sebanyak 100
gram. Bunga dijadikan serbuk dengan alat
grinder atau ditumbuk dengan alat
penghancur; 2) Serbuk diekstrak atau diaduk
dengan alkohol ( etanol atau metanol ) yang
ditambahkan perlu dikira-kira agar dalam 2
4 jam semua bahan ( tepung yang terendam
) dapat bercampur merata. Alkohol yang
dipergunakan sebanyak 100 ml; 3) Larutan
diendapkan atau dibiarkan selama 24 jam
agar bahan aktifnya ( piretrum ) terlarut.
Selanjutnya larutan diuapkan bahan pelarutnya
dengan evaporator sehingga yang tersisa
hanya ekstrak atau larutan kental yang
mengandung bahan aktif piretrin. Larutan
yang dihasilkan tiga bagian yaitu 5, 10 dan
85

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 84 - 89

15cc dalam 1 liter air; 4) Untuk menambah


daya larut bahan dengan air, ditambahkan
air sabun, sebanyak 0,1% (1 cc per liter air).
Nyamuk yang dipergunakan merupakan
nyamuk hasil penetasan, selanjutnya nyamuk
dewasa dilakukan pemilihan yaitu nyamuk
yang betina. Nyamuk betina yang perlu darah
manusia untuk kelangsungan hidupnya yaitu
proses pematangan telur.
Proses penelitian dilakukan dengan
meletakkan perangkap nyamuk di ruangan
pada lokasi yang sama. Perangkap nyamuk
diletakkan di tempat yang tidak terkena sinar
matahari. Nyamuk dewasa berumur 15 -20
hari dipersiapkan dalam kurungan. Dilakukan
pengukuran suhu dan kelembaban.
Penyemprotan dengan larutan pyretrum
dilakukan pada setiap kurungan nyamuk
sebanyak 10 15 kali . Dilakukan
pengamatan jumlah nyamuk yang mati setelah
24 jam. Penelitian dilakukan pengulangan
sebanyak 5 kali.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan terhadap jumlah
nyamuk yang mati pada masing-masing
kelompok perlakuan setelah dilakukan
penyemprotan dengan bahan pembunuh
nyamuk dari bunga piretrum. Instrumen
pengambilan data termometer, higrometer dan
formulir pencatat data hasil penelitian. Data
yang telah disajikan dalam bentuk tabel
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
bantuan software komputer dengan uji
statistik komparasi.
Hasil dan Pembahasan
Kamar yang dipergunakan sebagai lokasi
penelitian mempunyai suhu 29C - 30C,
tingkat kelembaban 72 77%. Penelitian
dilaksanakan pada pagi hari pukul 08.00
12.00 wita hal ini didasarkan pada kebiasaan
nyamuk untuk menggigit.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui jumlah
nyamuk yang mati setelah disemprot bahan
pembunuh nyamuk dari bunga peritrum.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan
menghitung jumlah nyamuk yang mati.
86

Hasil pengamatan suhu, kelembaban dan


jumlah nyamuk mati pada percobaan pertama
sampai kelima sebagai berikut :
Tabel 1
Rekapitulasi jumlah nyamuk yang mati berdasarkan bahan pembunuh nyamuk
Dosis
Pengamatan
I
II
III
IV
V
Jumlah
Rata-rata

Kontrol
Mati
5
2
0
1
0
8
1,6

Hidup
20
23
25
24
25
117
23,4

Kadar Bahan Pembunuh dari Bunga Piretrum


5 cc/liter
10 cc/liter
15 cc/liter
Mati Hidup Mati Hidup Mati Hidup
10
15
21
4
25
0
16
9
23
2
23
2
12
13
19
6
20
5
9
16
18
7
19
7
11
14
20
5
23
2
58
67
101
24
110
15
11,6 13,4 20,2
4,8
22
3

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis.


Analisis tahap pertama adalah untuk menguji
distribusi data dengan uji Kolmogorv Smirnov
Test dengan tingkat signifikansi pengujian 5
%. Daerah kritis untuk menolak Ho jika >
Asymp sig ( 2 tailed). Hasil pengujian
Kolmogorov Smirnov didapatkan bahwa nilai
< Asymp sig (2 tailed) yaitu 0,494 yang
artinya bahwa Ho tidak ditolak sehingga
dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi
normal. Selanjutnya pengujian dilanjutkan
dengan uji One Way Anova dengan tingkat
signifikansi 5 %. Daerah kritis menolak Ho
jika > Sig. Adapun hasil pengujian OneWay Anova adalah nilai F 81,962 dengan nilai
Sig 0,000. Nilai (0,05) > 0,000 sehingga
Ho ditolak artinya bahwa pada tingkat
signifikansi 5 % rata-rata keempat populasi
tidak sama. Dapat pula dikatakan ada
pengaruh yang signifikan kadar bahan
pembunuh nyamuk yang berbeda terhadap
jumlah nyamuk yang mati. Melihat perbedaan
terletak pada kelompok berapa dilakukan uji
LSD. Daerah kritis penolakan Ho adalah >
sig. Pada hasil uji LSD terlihat bahwa : pada
kelompok kontrol ada perbedaan yang
signifikat jumlah nyamuk yang mati dengan
kelompok kadar 5 cc/liter, kadar 10 cc/liter
dan kadar 15 cc/liter, akan tetapi jumlah
nyamuk yang mati antara kelompok 10 cc/
liter dengan kelompok kadar 15 cc/liter tidak
berbeda secara bermakna.
Upaya pengendalian nyamuk Aedes aegypti
dapat dilakukan dengan berbagai metode
seperti perlindungan diri, pengendalian
biologis dan pengendalian kimiawi.

Notes dan Dewi Widhya HS (Efektifitas bunga piretrum...)

Perlindungan diri dari nyamuk adalah suatu


upaya agar kita dapat terhindar dari gigitan
nyamuk dapat dilakukan dengan
mempergunakan pakaian pelindung, obat
nyamuk bakar dan aerosol maupun
penggunaan penolak nyamuk. Pemberantasan
nyamuk dengan menggunakan bahan kimia
dapat dikategorikan sebagai upaya terakhir.
Penggunaan insektisida kimia menimbulkan
dampak bagi manusia karena bersifat
racun.Hasil penelitian YLKI tahun 1995 yang
menemukan tiga bahan aktif di dalam obat
anti nyamuk yaitu jenis dichlorvos, propoxur,
pyretheroid dan bahan kombinasi dari
ketiganya. Dichlorvos termasuk berdaya
racun tinggi. Jenis bahan aktif ini dapat
merusak sistem saraf, menganggu sistem
pernapasan dan jantung. Dichlorvos sangat
berpotensi menyebabkan kanker,
menghambat pertumbuhan organ serta
kematian prenatal dan merusak kemampuan
reproduksi. Bagi lingkungan bahan aktif jenis
ini menimbulkan gangguan cukup serius bagi
hewan dan tumbuhan, sebab bahan ini
memerlukan waktu yang lumayan untuk dapat
terurai baik di udara, air dan tanah6.
Propoxur termasuk racun kelas menengah.
Jika terhirup maupun terserang tubuh manusia
dapat mengaburkan penglihatan, keringat
berlebih, pusing, sakit kepala dan badan
lemah. Propoxur juga dapat menurunkan
aktivitas enzim yang berperan pada saraf
transmisi dan berpengaruh buruk pada hati
dan produksi6.
Pyrethroid oleh WHO juga dikelompokkan
dalam racun kelas menengah. Efeknya
mengiritasi mata maupun kulit sensitif dan
menyebabkan asma6. Sebagai bahan alternatif
pengganti dapat dipergunakan bunga piretrum.
Bunga piretrum dapat membunuh nyamuk di
dalam rumah karena bersifat hit and run.
Bunga piretrum menghasilkan bahan anti
nyamuk yang disebut piretrin. Bahan aktif ini
digunakan sebagai anti nyamuk dalam
berbagai bentuk, antara lain aerosol untuk
anti nyamuk semprot, insektisida untuk
dicampur air dan anti nyamuk bakar4.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada


perbedaan rata-rata jumlah nyamuk yang mati
pada keempat kelompok. Ekstrak bunga
piretrum kadar 15 cc/liter rata-rata mampu
membunuh nyamuk sebesar 22,0, kadar 10
cc/liter rata-rata mampu membunh nyamuk
sebesar 20,20 dan kadar 5 cc/liter air mampu
membunuh nyamuk sebesar 11,60. Pada
kelompok kontrol dimana disemprotkan
hanya dengan air bersih dan air sabun dengan
kadar 1 cc/liter air rata-rata terjadi kematian
nyamuk sebesar 1,60. Hal ini mungkin
diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang
tidak sesuai dengan nyamuk sehingga nyamuk
tidak dapat bertahan hidup, atau disebabkan
oleh proses pemasukan nyamuk ke dalam
kurungan dengan mempergunakan alat
aspirator. Nyamuk sangat sensitif terhadap
gangguan, sehingga menimbulkan nyamuk
lemah dan akhirnya menimbulkan kematian.
Kadar bahan pembunuh nyamuk yang
berbeda berpengaruh secara signifikansi
terhadap jumlah nyamuk yang mati. Terdapat
perbedaan yang signifikan jumlah nyamuk
yang mati pada masing- masing kadar artinya
bahwa semakin tinggi kadar maka semakin
banyak nyamuk yang dapat dibunuh. Pada
kadar 10 cc/liter dan kadar 15 cc/liter
didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan jumlah nyamuk yang mati pada
kedua kadar. Hal ini berarti bahwa rata-rata
jumlah nyamuk yang mati pada kedua kadar
ini adalah sama. Meskipun secara deskriptif
jumlah nyamuk yang mati pada kadar 15 cc/
liter air lebih besar yaitu 22,00 > 20,20 akan
tetapi perbedaannya tidak bermakna secara
statistik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
bahan pembunuh nyamuk dari bahan bunga
piretrum yang paling efektif membunuh
nyamuk adalah kadar 10 cc/liter air.
Toksisitas dari bahan kimia diukur dengan
indeks Lethal Dosage 50 ( LD 50 ). LD 50
adalah dosis tunggal dari suatu zat yang secara
statistik dapat diharapkan untuk
menyebabkan kematian sebanyak 50 persen
dari binatang7.
87

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 84 - 89

Berdasarkan kriteria LD 50 maka kadar 10


cc/liter air dengan rata rata kematian
nyamuk sebesar 20,20 menunjukkan bahwa
kadar tersebut memiliki kemampuan > 50
% untuk membunuh nyamuk. Pemanfaatan
sabun cair dalam penelitian ini bertujuan untuk
memperluas jangkauan dari larutan anti
nyamuk. Akan tetapi perlu dilakukan
penelitian lanjutan dimana diadakan pengujian
apakah ada pengaruh penggunaan sabun cair
terhadap jumlah nyamuk yang dapat dibunuh.
Untuk mendapatkan gambaran analisis biaya
antara pembunuh nyamuk dari bahan
pyretrum dan bahan kimia dalam kemasan
maka dilakukan analisis biaya. Hasil analisis
biaya pemanfaatan pyretrum sebagai racun
pembunuh nyamuk sebagai berikut : Bunga
pyretrum 100 gram : Rp. 100.000,00,
Alkohol 100 ml : Rp. 10.000,00, Biaya
evaporator : Rp. 150.000,00. Dengan biaya
Rp. 260.000,00 didapatkan larutan bunga
pyretrum sebanyak 100 ml. Larutan pyretrum
100 ml dapat dicampur dengan 10 liter air.
Apabila dibandingkan dengan harga Baygon
kemasan 330 ml seharga Rp. 17.500,00,
maka harga racun nyamuk dari bunga
pyretrum masih jauh lebih mahal dari racun
kimia. Meskipun hasil analisis biaya racun
kimia lebih murah akan tetapi masyarakat
harus melihat dampak negatif yang ditimbulkan
apabila mempergunakan racun dari bahan
kimia. Dampak negatif yang ditimbulkan
apabila dihitung dengan nilai mata uang maka
akan didapatkan biaya kerugian sangat besar.
Hanya saja sayangnya dampak yang
ditimbulkan dari obat anti nyamuk kimia tidak
bisa langsung dirasakan dampaknya. Hal inilah
yang belum disadari oleh masyarakat.
Kembali mempergunakan bahan organik
sepertinya akan memerlukan biaya yang lebih
besar, akan tetapi apabila kerugian yang
ditimbulkan bila mempergunakan bahan kimia
diperhitungkan maka penggunaan bahan
organik jauh lebih menguntungkan.

88

Kesimpulan dan Saran


Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa terdapat perbedaan jumlah nyamuk
yang mati karena bahan pembunuh anti
nyamuk dari bunga piretrum pada kadar yang
berbeda dari kelompok perlakuan. Pada
kadar 5 cc/liter rata rata jumlah nyamuk
yang mati adalah sebesar 11,60 ekor, kadar
10 cc/liter air rata-rata jumlah nyamuk yang
mati adalah sebesar 20,20 ekor dan kadar
15 cc/liter air rata-rata jumlah nyamuk yang
mati adalah sebesar 22,0 ekor. Kadar bahan
pembunuh nyamuk 10 cc/liter bersifat lebih
efektif untuk membunuh nyamuk
dibandingkan kadar 5 cc/liter dan 15 cc/liter.
Disarankan kepada anggota masyarakat agar
memanfaatkan bahan pembunuh nyamuk dari
bunga piretrum dengan kadar 10 cc/liter air
untuk mengendalikan nyamuk Aedes aegypti.
Pada penelitian selanjutnya agar
memperhatikan kondisi lingkungan tempat
penelitian sehingga tidak terjadi kematian
nyamuk pada kelompok kontrol. Sebagai
dasar dalam pelaksanaan penelitian
selanjutnya, untuk meningkatkan kemampuan
piretrum sebagai bahan pembunuh nyamuk
agar ditambahkan dengan minyak lada. Pada
penelitian lanjutan agar dilihat apakah ada
pengaruh penggunaan sabun cair terhadap
kemampuan racun anti nyamuk untuk
membunuh nyamuk.

Notes dan Dewi Widhya HS (Efektifitas bunga piretrum...)

Daftar Pustaka
1.

2.

3.

Dinas Kesehatan Kota Denpasar,


(2006), Laporan Tahunan Dinas
Kesehatan Kota Denpasar, Denpasar
Bali Post, Sabtu Umanis, 19 Januari
2008, Jumantik Mati Karena Demam
Berdarah.
Nindito, W, Soeko, tt, Pengamatan
Vektor Penyakit Demam Berdarah Di
Indonesia, Subdit BPP, Dit. PPBB,
Ditjen PPm & PL, Jakarta

4.

5.
6.

7.

Kardinan, Agus, 2006, Tanaman


pengusir dan Pembasmi Nyamuk,
Jakarta, Agromedia Pustaka
Zainuddin. M, 1999, Metodelogi
Penelitian, Surabaya
Chemcare Asia, 2008 : Jangan
AsalSemprot, Bahaya, (online) available
: http : //www.indomedia.com/intisari/
2001 (11 Nopember 2008)
Kusnoputranto Haryoto, 1995,
Pengantar Toksikologi Lingkungan,
Jakarta, Ditjen Dikti

89

DETERMINAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT


GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA
Edi Nur1 dan Lely Cintari2
Abstract. Low nutrient intake and nutrient status are common among patients of
chronic renal disease with long term hemodialysis therapy so that low quality of life
finally becomes an important predictor for morbidity and mortality.The study to
identify the association between nutrient intake and nutrition status and quality of
life of chronic renal disease patients with hemodialysis at hospital.The study was
observational with cross sectional design. There were as many as 55 samples
purposively chosen. The Data of nutrition status were obtained through
anthropometric measurement and blood examination at the laboratory. The Data of
quality of life of the subject were assessed based on questions in questionnaire
KDQOL-SF 36 version 1.3. The result of the study showed that there was significant
relationship between nutrition status based on arm circumference and quality of life
of chronic renal patients with routine hemodialysis (p<0.05). There was no significant
relationship between nutrition status based on body mass index, albumin serum,
cholesterol and subjective global assessment and quality of life of chronic renal
patients with routine hemodialysis (p>0.05). The result of stratification analysis showed
that arm circumference was a modifier effect of protein intake to quality of life of
chronic renal patients with routine hemodialysis. The result of multivariable analysis
showed that intake of protein and arm circumference were 2 independent variables
as dominant factors that were statistically and clinically related to quality of life of
chronic renal patients with routine hemodialysis. Interaction between arm
circumference and nutrient intake of energy and protein was risk factor of quality of
life of chronic renal patients with routine hemodialysis at Hospital.
Keywords : nutrition status, quality of life, chronic renal disease
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu
proses patofisiologis dengan berbagai macam
penyebab, akibat dari perubahan fungsi nefron
yang mengalami kerusakan secara terus
menerus dalam waktu yang lama hingga
menjadi stadium akhir 1). Jumlah penderita
penyakit ginjal diperkirakan terus mengalami
peningkatan. Berdasarkan data di Amerika,
Jepang dan Taiwan jumlahnya 1500
penderita per satu juta penduduk dan di
Indonesia jumlahnya 600 penderita per satu
juta penduduk 2). Berdasarkan catatan rekam
medik bulan Mei 2004 di RSUP Dr. Sardjito
terdapat 145 penderita PGK yang menjalani
hemodialisis rutin 3).
1
2
90

Data jumlah penderita PGK dengan HD rutin


di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu semakin
meningkat, yakni 76 (2004), 107 (2005) dan
144 penderita (2006) 4).
Kurang Energi Protein merupakan hal yang
umum terjadi di antara pasien-pasien dengan
penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
perawatan hemodialisis jangka panjang. Pada
laporan yang berbeda, prevalensi PGK
bervariasi dari 18-70% dari pasien dewasa
yang menjalani hemodialisis. Pada pasien
dewasa keadaan kurang energi protein adalah
salah satu prediktor kuat untuk meningkatnya
angka kesakitan dan kematian 5) .

RSUD Dr M. Yunus Bengkulu


Dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Denpasar

Edy Nur dan Lely C. (Determinan kualitas hidup...)

Pasien dengan penyakit ginjal kronik tahap


akhir sering disertai status malnutrisi yang
berhubungan dengan retensi toksin azotemia,
asidosis dan overhidrasi. Diet rendah protein
(DRP) yang dianjurkan para klinisi dapat
memperberat keseimbangan negatif protein.
Program dialisis adekuat diikuti kenaikan
berat badan kering (BBK) selama bulan
pertama akan memperlihatkan kualitas hidup
optimal. Selama tahun pertama program
dialisis, para klinisi selalu menganjurkan
pembatasan asupan protein hewani yang
mempunyai nilai biologis tinggi. Bila pasien
menjalani program hemodialisis (HD) tiga kali
per minggu (15 jam per minggu) dengan
menggunakan artificial kidney (high
permeable), harus diperhatikan masalah
metabolisme protein. Pada umumnya, para
klinisi memberikan rekomendasi 1,5 gram per
kg BB per hari untuk mendukung nutrisi
optimal 6) .
Masukan protein berpengaruh pada
ketahanan hidup penderita ginjal kronik
dengan hemodialisis rutin. Dengan kata lain
penderita yang mendapat protein cukup
memiliki ketahanan hidup lebih baik daripada
mereka yang mendapat masukan protein
kurang, dengan risiko relative = 2,59 7).
Sebaiknya pasien dengan insufisiensi ginjal
kronik progresif dirujuk pada multidisiplin tim
pre-dialisis untuk meminimalisir morbiditas
pasien dan memastikan secara perlahan
peralihan terapi pasien menuju terapi dialysis.
Meskipun studi sebelumnya menunjukkan
bahwa rujukan ke klinik pre-dialisis
dihubungkan dengan hasil-hasil objektif yang
menguntungkan, keuntungan klinik pre-dialisis
dari sudut pandang pasien secara subjektif
masihlah belum jelas. White dan kawankawan melakukan studi yang memberi
hipotesis bahwa kehadiran dalam klinik predialisis merupakan prediktor independen
meningkatnya ukuran nilai kualitas hidup
dalam 6 bulan pertama pada insidensi kohor
pasien hemodialisis kronik 8) .
Skor rata-rata penilaian kualitas hidup adalah
lebih buruk pada penderita yang terlambat

didiagnosa PGK (diagnosis telat) daripada


grup yang diagnosisnya awal. Status
fungsional menurun bila dibandingkan dengan
1 tahun sebelum dialisis, terutama pada grup
yang telat diagnosis. Di antara pasien manula,
besarnya perbedaan lebih nyata, (termasuk
dalam item gejala fisik pada KDQ) 9) .
Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.
Sardjito (2002) dengan parameter IMT
didapat 43% penderita penyakit ginjal kronik
dengan hemodialisis mempunyai status gizi
kurang dan buruk. Pada penelitian ini juga
diketahui bahwa 84,3% penderita mempunyai
asupan energi kurang dan 81,4% asupan
proteinnya kurang.
Di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu jumlah
pasien yang menjalani terapi hemodialisis
hampir tiap tahunnya meningkat dari 13 orang
pada 2004 menjadi 29 orang pada 2005 dan
35 orang pada 2006 sehingga dalam 5 tahun
terakhir dari 174 pasien HD yang meninggal
sebanyak 108 orang (62%). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan
zat gizi dan status gizi dengan kualitas hidup
penderita penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis di RSUD Dr. M. Yunus
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan rancangan cross
sectional. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 55 orang. Pemilihan sampel secara
purposive sampling. Data asupan zat gizi
dikumpulkan dengan metode wawancara dan
food record. Data status gizi diperoleh dengan
pengukuran antropometri dan pemeriksaan
darah di laboratorium. Data kualitas hidup
subjek dinilai berdasarkan pertanyaanpertanyaan dalam kuesioner Kidney Disease
Quality Of Life-SF 36 Versi 1.3. Analisis
data dilakukan dengan cara analisis secara
univariat, bivariat, stratifikasi dan multivariat.
Hasil
Lokasi penelitian dilakukan di Instalasi
Hemodialisis RSUD Dr. M. Yunus, pada saat
penelitian dimulai pada Desember 2007
91

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 90 - 96

didapatkan 63 penderita PGK HD rutin.


Setelah dilakukan pemilihan sampel sesuai
kriteria inklusi didapat sebanyak 55 subjek.
Kualitas Hidup
Rata-rata skor kualitas hidup subjek adalah
52,77 Dengan nilai median 48,60 dan nilai
median inilah yang dijadikan cut off point
menentukan kualitas hidup subjek apakah
baik atau buruk. Di mana subjek yang
mempunyai nilai kualitas hidup baik sebanyak
27 orang (49,1%). dan yang mempunyai nilai
kualitas hidup buruk sebanyak 28 orang
(50,9%).
Hubungan Status Gizi dengan Kualitas
Hidup
Status gizi yang diamati meliputi status gizi
berdasarkan IMT, LLA, SGA, kadar albumin
serum dan kolesterol. Hubungan status gizi
dengan Kualitas hidup subjek dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1
Sebaran kualitas hidup berdasarkan status gizi

Status Gizi
IMT
Normal
Kurang
LLA
Normal
Kurang
SGA
Normal
Kurang
Albumin
Normal
Kurang
Kolesterol
Normal
Kurang

Kualitas Hidup
Baik
Buruk
n
%
n
%

OR

Pvalue

26
1

50
33,3

26
2

50
0,3 0,574
66,7

12
15

75
38,5

4
24

25
6,1 0,014
61,5

26
1

52
20

24
4

24
3

53,3
30

21
7

46,7 1,8 0,182


70

21
6

52,5
40

19
9

47,5 0,7 0,409


60

48
80

1,9 0,172

Nilai IMT diperoleh dari hasil penimbangan


berat badan dan pengukuran tinggi badan
setelah HD. Adapun rata-rata nilai IMT subjek
yaitu 21.7 dengan nilai terendah 16.4 dan
tertinggi 33.3. Kategori status gizi baik
menurut IMT sebanyak 52 orang (94,5%)
92

dan status gizi kurang sebanyak 3 orang


(5,4%). Dari analisis menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara status gizi
berdasarkan IMT dengan kualitas hidup
(p>0,005).
LLA diperoleh saat pasien sedang menjalani
hemodialisis dengan menggunakan pita LLA.
Nilai rata-rata LLA subjek, yaitu 24.5 cm
dengan nilai terendah 19.0 cm dan tertinggi
33.0 cm. Kategori status gizi baik menurut
LLA sebanyak 16 orang (29,1%) dan status
gizi kurang sebanyak 39 orang (70,9%).
Dari analisis hubungan antara status gizi
berdasarkan LLA dengan kualitas hidup
diperoleh bahwa ada sebanyak 12 (75,0%)
yang status gizinya berdasarkan LLA normal
mempunyai kualitas hidup baik. Sedangkan
diantara LLA yang kurang hanya 15 (38,5%)
yang mempunyai kualitas hidup baik. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,014, maka dapat
disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian
kualitas hidup baik, antara subjek yang
memiliki LLA normal dengan yang memiliki
LLA kurang (ada hubungan yang antara status
gizi berdasarkan LLA dengan kualitas hidup).
Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=6,1,
artinya subjek yang mempunyai LLA normal
mempunyai peluang 6,1 kali untuk
mempunyai kualitas hidup baik di banding
yang memiliki LLA kurang.
Pengukuran serum albumin dengan metode
bromscerol green, dengan mengambil darah
2 cc sebelum HD dan dianalisa di
laboratorium RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Rata-rata kadar serum albumin subjek, yaitu
4.1 dengan nilai terendah 2,2 gr/dl dan tertinggi
5,7 gr/dl. Kategori status gizi baik menurut
albumin sebanyak 45 orang (81,8%) dan
status gizi kurang sebanyak 10 orang
(18,2%). Dari analisis menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara status gizi
berdasarkan kadar serum albumin dengan
kualitas hidup (p>0,005).
Kadar kolesterol subjek rata-rata 179,9 mg/
dl dengan kadar terendah 123,0 mg/dl dan
tertinggi 467.0. Dari 55 subjek yang berstatus
gizi baik berdasarkan kolesterol 40 orang

Edy Nur dan Lely C. (Determinan kualitas hidup...)

(72,7%) dan yang berstatus gizi kurang 15


orang (27,3%). Dari analisis menunjukkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara
status gizi berdasarkan kadar serum albumin
dengan kualitas hidup (p>0,005).
Subjective Global Assesment (SGA)
merupakan salah satu instrumen untuk melihat
status gizi dengan menggunakan form SGA
yang dasar penilaiannya dibagi menjadi 2
bagian besar, yaitu riwayat medis dan
pemeriksaan fisik 50 (90.9%) subjek
berdasarkan SGA berada dalam status gizi
baik dan 5 (9.1%) status gizinya buruk. Dari
analisis menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara status gizi berdasarkan
kadar serum albumin dengan kualitas hidup
(p>0,005).
Analisis Stratifikasi
Analisis stratifikasi dilakukan untuk
mengetahui adanya faktor independent yang
diperkirakan memberikan efek modifikasi
atau sebagai perancu pada hubungan bivariat.
Setelah dilakukan analisis stratifikasi,
ditemukan bahwa beberapa faktor
independen saling berinteraksi atau
merupakan efek modifier pada variabel
independen lainnya terhadap hubungannya
dengan kualitas hidup. Seperti LLA
memberikan efek modifikasi pada hubungan
antara asupan protein dengan kualitas hidup.
Pengukuran lipatan triseps dimaksudkan untuk
menentukan status lemak tubuh, sementara
LLA untuk mengetahui status protein otot.
Ukuran lengan atas (LLA) menentukan massa
otot dan jaringan subkutan. Pada penelitian
ini menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan
LLA merupakan efek modifier pada asupan
protein terhadap kualitas hidup penderita
PGK dengan HD rutin. Hal ini terdapat pada
tabel 2.
Status gizi berdasarkan lingkar lengan atas
memberikan efek modifikasi pada asupan
protein terhadap kualitas hidup. Penderita
PGK HD rutin yang memiliki LLA kurang
disertai asupan protein inadekuat memiliki
resiko 4,4 kali lebih besar terhadap kejadian

Tabel 2
Sebaran kualitas hidup berdasarkan asupan protein
menurut kategori LLA
Faktor resiko
Asupan
LLA
Protein
Normal Adekuat
Inadekuat
Kurang Adekuat
Inadekuat

Kualitas Hidup
OR
p
Baik
Buruk
n
%
N
% value
10 76,9
3
23,1 0,1
2
66,7
1
33,3 0,712
8
61,5
5
38,5 4,4
7
26,9 19 73,1 0,036

kualitas hidup buruk dibandingkan dengan


yang LLA Normal. Sebaliknya Penderita
PGK HD rutin yang memiliki LLA normal
dengan asupan protein cukup tidak beresiko
terhadap terjadinya kualitas hidup buruk
(p>0,05).
Determinan Kualitas Hidup
Analisis multivariat dilakukan untuk
menganalisis hubungan antara variabel terikat
dengan variabel bebas, serta mengetahui
variabel yang paling dominan. Semua variabel
bebas dianalisis secara multivariat, yaitu :
asupan energi, asupan protein, IMT, LLA,
SGA, albumin, kolesterol, jenis kelamin, umur
dan tingkat pendidikan.
Dilakukan analisis terhadap 10 variabel bebas
dengan menggunakan uji regresi logistik ganda
dengan melakukan beberapa kali pengeluaran
variabel secara satu persatu dimulai dari yang
nilai p tertinggi sampai akhirnya diperoleh
variabel yang benar-benar bermakna baik
secara statistik maupun secara klinis atau
biologis. Hal tersebut terdapat pada tabel 3.
Tabel 3
Hasil akhir analisis multivariat
Variabel
Asupan
protein
LLA

P
CI 95%
OR
Value
Low Up

2,005 0,045 3,5 1,02 12,11


1,448 0,148 2,8 0,69 11,79

Dengan melakukan analisis multivariat dengan


mengeluarkan variabel yang nilai p tertinggi
satu persatu dan melakukan penilaian
variabel pendukung agar perubahan OR tidak
melebihi 10%, didapatkan variabel bebas yang
paling berhubungan dengan kualitas hidup
93

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 90 - 96

penderita PGK dengan HD rutin baik secara


statistik maupun secara klinis, yaitu variabel
asupan protein dan LLA.
Pembahasan
Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian analitik observasional dengan
menggunakan rancangan cross sectional yang
bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai
faktor risiko yang berperan terhadap kualitas
hidup penderita PGK HD rutin. Subjek
penelitian pada penelitian ini berjumlah 55
orang. Variabel independen yang menjadi
fokus penelitian ini adalah status gizi, yaitu
IMT, LLA, SGA, albumin dan kolesterol
sedangkan variabel dependen adalah kualitas
hidup penderita PGK HD rutin.
Hubungan IMT dengan kualitas hidup
penderita PGK HD rutin, didapatkan tidak
ada hubungan, dimana sebagai cut of point
nilai IMT 18,5. namun dilihat dari rasio
persentase menunjukkan bahwa
kecenderungan ada hubungan antara IMT
dengan kualitas hidup, yaitu ada sebanyak 26
(50%) penderita PGK HD rutin yang memiliki
status gizi berdasarkan IMT normal
mempunyai kualitas hidup baik, dan ada 2
(66,7%) mempunyai kualitas hidup buruk.
Hubungan LLA dengan kualitas hidup
penderita PGK HD rutin dilihat dari analisis
bivariat menunjukkan ada hubungan (nilai p
= 0,014 dan OR=6,1), dimana cut of point
LLA dalam penelitian ini adalah 26,3 cm untuk
laki-laki dan 25,7 cm untuk perempuan
dewasa, artinya penderita PGK HD rutin yang
memiliki LLA normal mempunyai peluang 6,1
kali untuk kualitas baik dibanding penderita
PGK HD rutin yang memiliki LLA kurang.
Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA) cara
ini untuk menentukan cadangan protein tubuh
karena 60% total protein terdapat dalam
otot.17 LLA yang rendah menunjukkan
cadangan protein di otot defisit hal ini
mengakibatkan menurunnya kekuatan fisik
penderita PGK HD rutin dan salah satu
indikator buruknya kualitas hidup.
Hubungan kadar serum Albumin (cut of point
94

3,5 gr/dl) dengan kualitas hidup pasien PGK


HD rutin tidak ada hubungan dalam penelitian
ini dilihat dari uji statistik, namun dilihat dari
rasio persentase menunjukkan bahwa ada
kecenderungan hubungan kadar albumin
serum dengan kualitas hidup dibuktikan
dengan penderita PGK HD rutin yang memiliki
kadar albumin serum normal sebanyak 24
orang (53,3%) kualitas hidupnya baik,
sedangkan penderita PGK HD rutin yang
memiliki kadar albumin serum rendah atau
kurang sebanyak 7 orang (70%) kualitas
hidupnya buruk. Penurunan sel imun juga
biasanya berhubungan erat dengan penurunan
kadar albumin pada lansia yang mengalami
KEP, sehingga kerentanan terhadap infeksi
meningkat. Albumin dibutuhkan sebagai alat
angkut Zn dan zat gizi (nutrien) lainnya dalam
tubuh. Defisiensi seng pada lansia ini sering
kali berhubungan dengan keadaan patologis
seperti intake yang kurang memadai,
menurunnya kemampuan absorbsi usus atau
meningkatnya ekskresi renal karena PGK
ataupun penggunaan obat diuretik yang
berlebihan. Defisiensi seng akan menginduce
cell mediated immunity (CMI) yang
menyebabkan defek pada timus yang
berhubungan dengan munculnya sel T
immature darah tepi atau menurunkan
proliferasi limfosit, sintesis IL-2, pembentukan
sel T sitotoksik dan respons delayed type
hypersensitivity (DTH) 10) .
Tidak ada hubungan kadar kolesterol dengan
kualitas hidup pasien PGK dengan HD,
artinya penderita PGK HD rutin yang kualitas
hidupnya rendah banyak yang memiliki kadar
kolesterol normal begitu juga sebaliknya. Ini
terjadi karena faktor albumin memberi efek
modifikasi pada kadar kolesterol terhadap
kualitas hidup penderita PGK rutin. Hal ini
seiring dengan pendapat Sukandar yang
menyatakan bahwa kadar kolesterol di bawah
150 mg/dl dan kadar albumin serum kurang
dari 4,5 gr/dl merupakan faktor resiko penting
untuk morbiditas dan mortalitas 6).

Edy Nur dan Lely C. (Determinan kualitas hidup...)

Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada


hubungan yang signifikan (p>0,05) status gizi
berdasarkan SGA dengan kualitas hidup
penderita PGK dengan HD rutin. Rendahnya
kualitas hidup penderita PGK dengan HD rutin
tidak selalu diikuti rendahnya status gizi
berdasarkan SGA ini dapat disebabkan faktor
yang mempengaruhinya. Salah satu temuan
menunjukkan bahwa diagnosis gagal ginjal
kronis yang terlambat ditegakkan dan
kurangnya perawatan predialisis
mempengaruhi kualitas hidup pasien
hemodialisis. Peranan berbagai profesi
kesehatan predialisis regular harus didorong
untuk meningkatkan kualitas hidup selama
pengobatan dialysis 9).
Analisis stratifikasi dilakukan untuk
mengetahui adanya faktor independen yang
diperkirakan berinteraksi serta memberikan
efek modifikasi atau sebagai perancu pada
hubungan bivariat. Pada penelitian ini ditemui
bahwa LLA merupakan efek modifikasi pada
asupan energi dan protein terhadap kualitas
hidup penderita PGK HD rutin. Asupan energi
dan protein sangat dibutuhkan oleh penderita
PGK HD rutin terutama yang memiliki status
gizi berdasarkan LLA kurang. Analisis
stratifikasi menunjukkan bahwa penderita
PGK HD rutin terutama yang memiliki status
gizi berdasarkan LLA kurang disertai asupan
protein inadekuat beresiko 4,4 kali untuk
kualitas hidup buruk. Dengan kata lain asupan
protein yang adekuat sangat dibutuhkan oleh
penderita PGK HD rutin terutama yang
memiliki status gizi berdasarkan LLA kurang.
Hasil analisis multivariat pada tabel 5
menunjukkan terdapat 2 faktor dominan yang
mempengaruhi kualitas hidup, yaitu asupan
protein dan LLA. Asupan protein merupakan
faktor yang paling dominan dengan nilai
p=0,045 OR = 3,5 dengan kata lain kualitas
hidup penderita PGK dengan HD rutin sangat
dipengaruhi oleh asupan protein. Pada analisis
stratifikasi interaksi LLA dengan asupan
protein merupakan faktor risiko yang paling
dominan berpengaruh terhadap kualitas
hidup, dimana penderita PGK dengan HD

rutin yang memiliki status gizi berdasarkan


LLA kurang disertai asupan protein inadekuat
4,4 kali lebih berisiko terhadap kualitas hidup
buruk dibandingkan dengan yang memiliki
status gizi berdasarkan LLA normal dan
asupan protein adekuat, seperti data dalam
tabel 4. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian
Suhardi, yaitu terdapat hubungan yang kuat
antara asupan protein dengan ketahanan hidup
penderita PGK HD rutin 7).
Dengan kata lain berdasarkan hasil penelitian
ini, dengan memperhatikan asupan protein
dan LLA penderita PGK HD rutin, dapat
diprediksi kualitas hidup penderita walaupun
tidak seratus persen karena ada faktor lain
yang mempengaruhi dan untuk mengatasi
masalah penderita PGK HD rutin melalui
peningkatan kualitas pelayanan tim predialisis
berbagai multidisiplin yang terkait.
Kesimpulan dan Saran
Ada hubungan yang bermakna antara status
gizi berdasarkan LLA dengan kualitas hidup
penderita PGK HD rutin. LLA memberikan
efek modifikasi pada asupan energi terhadap
kualitas hidup penderita PGK HD rutin. Pada
analisis multivariat, interaksi antara asupan
protein dan LLA merupakan faktor yang
dominan berpengaruh terhadap kualitas hidup
penderita PGK HD rutin.
Sebaiknya pihak manajemen Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. M. Yunus dan Instalasi Gizi
mempertimbangkan penambahan tenaga Ahli
Gizi untuk melakukan Nutrition Care Process
(NCP) untuk memantau status gizi secara
rutin dengan cara yang mudah dan murah,
seperti melakukan evaluasi parameter
penilaian status gizi lainnya, yaitu LLA minimal
23 cm, IMT minimal 18,5, kadar Albumin
serum minimal 3,5 gr/dldan kolesterol minimal
150 mg/dl.
Diperlukan penelitian lanjutan dengan topik :
berbagai upaya meningkatkan status gizi
penderita PGK dengan HD rutin, karena
banyaknya kendala untuk meningkatkan
status gizi penderita PGK HD rutin, karena
sindrom uresemik dan lainnya berhubungan
95

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 90 - 96

dengan penurunan intake sehingga


berimplikasi pada penurunan status gizi.
Daftar Pustaka
1. Suharjono, (2001) Gagal Ginjal Kronik
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 2 Edisi 3. Balai Penerbit FKUI:
Jakarta.
2. Prodjosudjadi, W, (2005). Gagal Ginjal
di Indonesia Lebih Kecil Dibanding
Negara Maju. (http//www:kapanlagi.
com/30/4/2008).
3. Susetyowati, (2005) Hubungan Adekuasi
Hemodialisis dengan Gangguan
Gastrointestinal dan Asupan Makan
Penderita Gagal Ginjal Kronis di RS dr
Sardjito Yogyakarta.
4. Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu, (2006) Data Terolah,
Bengkulu
5. National Kidney Foundation, USA.
Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI). (2001) Executive
Summaries Clinical Practice Guidelines
2000 Update, National Kidney
Foundation, Inc, New York.

96

6. Sukandar, (2006), Gagal Ginjal dan


Panduan Terapi Dialisis, Pusat Informasi
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD / RSHS Bandung.
7. Suhardi, DA, (1995) Faktor-Faktor Yang
Berpengaruh Pada Ketahanan Hidup
Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang
Mendapat Terapi Hemodialisisi Kronis
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 27,
No. 4 hal : 206-211.
8. White CA, Pilkey RM, Lam M, Holland
DC, (2002) Pre-Dialysis Clinic
Attendance Improves Quality of Life
among Hemodialysis Patients. BMC
Nephrology, 3 : 3. hal : 1-8
9. Sesso R, Yoshihiro MM, (1997) Time of
Diagnosis of Chronic Renal Failure and
Assessment of Quality of Life in
Haemodialysis Patients. Nephrol Dial
Transplant 12 : 2111-2116. Brazil.
10. Ambarwati, FA. (2003) Seng dan
Imunitas. Majalah GizMindo Vol.2 No.
6 oktober, hal. 19-20.

HUBUNGAN KEBERSIHAN MULUT DENGAN PENYAKIT SISTEMIK


DAN USIA HARAPAN HIDUP
Ratih Larasati1
Abstract. Oral health and overall health should not be construed as a separate entity
because oral health is an integral part of overall health. People who live healthy,
then his life will be better quality. Several factors related to health and longevity is a
healthy diet, propernutrition, healthy lifestyle, avoiding harmful substances ( tobacco,
alcohol, and drugs ) reducing stress, execise, and emotional life and mental health.
Everyone who cares about the health of course understand the relationship between
the factors that effect health and longevity. However, there are other factors that
neglected its role in overall health. These factor are dental disease and its effect on
health. Dental problems can effect many serious diseases, ranging from heart attack,
stroke, and idiopathic diseases, such as Menieres and chronic fatigue syndrome.
Keywords : oral hygiene; systemic disease; longevity
Terdapat sejumlah isu bahwa kesehatan mulut
dapat berpengaruh negatif pada kesehatan
umum. Isu-isu tersebut dibagi menjadi dua
kategori yaitu penyakit gigi/mulut yang
berdampak serius pada kesehatan secara
umum (penyakit periodontal, saluran akar
yang terinfeksi, kavitasi, dan penyakit lain
pada rongga mulut) dan tambalan amalgam
serta bahan-bahan kedokteran gigi lainnya.
Semua masalah kesehatan gigi/mulut dapat
mempengaruhi kesehatan umum tergantung
pada tingkat keseriusan masalahnya, durasi,
dan banyaknya gigi yang bermasalah.
Kesehatan rongga mulut memegang peranan
yang penting dalam menciptakan pola hidup
sehat, jika kebersihan mulut tidak dipelihara
dengan baik, maka akan menimbulkan
berbagai penyakit di rongga mulut. Penyakit
periodontal (gingivitis dan periodontitis) dan
karies gigi merupakan akibat kebersihan mulut
yang buruk. Kedua penyakit tersebut
dipengaruhi oleh tindakan kontrol plak oleh
pasien dan perawatan dari dokter gigi, jika
gigi bersih maka karies tidak akan terjadi. Hal
ini sesuai dengan pernyataan J. Leon Williams
(1852-1931), presiden pertama American
Dental Association (ADA) bahwa
1

kebersihan mulut yang baik akan mencegah


timbulnya karies1.
Pembahasan
Penyakit Gigi
Penyakit gigi dapat berupa kerusakan gigi
(karies) dan penyakit gusi. Secara teknis,
penyakit gusi dibagi menjadi dua kategori yaitu
radang gusi (bentuk awal dan ringan dari
penyakit gusi), dan periodontitis (infeksi pada
jaringan lunak dan tulang di sekitarnya).
Sedangkan penyebab dasar dari kerusakan
gigi dan penyakit gusi adalah kebersihan mulut
yang buruk dan faktor-faktor lain misalnya
diet, merokok, kekurangan vitamin, dan zat
beracun seperti merkuri. Diantara dua
penyakit tersebut, penyakit gusi merupakan
penyakit gigi yang paling berbahaya bagi
kesehatan umum2.
Hasil studi morbiditas Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) - Survei Kesehatan
Nasional (Surkenas) tahun 2001
menunjukkan, dari 10 kelompok penyakit
terbanyak yang dikeluhkan masyarakat,
penyakit gigi dan mulut menduduki urutan
pertama (60 persen).

Dosen Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Denpasar


97

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 97 - 104

Hasil Surkenas tahun 1998 menunjukan


bahwa 62,4 persen penduduk merasa
terganggu produktivitas kerja / sekolah karena
sakit gigi, selama rata-rata 3,86 hari3. Secara
umum penyakit gigi yang dikeluhkan
masyarakat adalah karies gigi dan penyakit
gusi. Hasil studi SKRT tahun 2001
menyatakan bahwa 52,3 persen penduduk
usia 10 tahun ke atas mengalami karies gigi
yang belum ditangani. Prevalensi karies umur
10 tahun ke atas adalah 71,2 persen, dengan
catatan bahwa prevalensi karies lebih tinggi
pada umur lebih tinggi, pada pendidikan lebih
rendah, serta pada status ekonomi lebih
rendah. Penduduk usia 10 tahun ke atas, 46%
mengalami penyakit gusi, prevalensi semakin
tinggi pada umur yang lebih tinggi3.
Selanjutnya, hasil SKRT tahun 2011
Departemen Kesehatan RI menunjukkan
bahwa penyakit gigi dan mulut termasuk karies
dan penyakit periodontal merupakan masalah
yang cukup tinggi (60%) yang dikeluhkan oleh
masyarakat4.
Penyakit gigi dapat menyebabkan penyakit
gusi, perdarahan, abses, kerusakan gigi,
kehilangan gigi, dan bau nafas. Penyakit gigi
mengakibatkan stres sehingga dapat
menciptakan ketakutan, kecemasan, nyeri,
dan ketidaknyamanan. Hal ini bisa menjadi
sangat mahal, terutama ketika biaya
pengobatannya seumur hidup. Banyak yang
beranggapan, termasuk di kalangan
profesional kesehatan, efek merusak dari
penyakit gigi hanya terbatas pada gigi dan
gusi. Pemahaman ini terbentuk karena
kebanyakan orang cenderung berpikir bahwa
mulut tidak benar-benar bagian dari tubuh.
Namun, setiap profesional kesehatan
sependapat bahwa infeksi kronis dalam setiap
bagian tubuh akan selalu berpengaruh negatif
pada seluruh tubuh5.
Penyakit Gigi dan Efeknya Terhadap
Kesehatan Keseluruhan
Penyakit gigi tidak dapat diremehkan karena
mempengaruhi seluruh tubuh. Penyakit gigi
bukan penyakit ringan pada gusi dan gigi,
98

melainkan penyakit dari tubuh yang terjadinya


di mulut. Jika dibiarkan, dapat berkontribusi
terhadap penyakit lain yang lebih berbahaya
sehingga mempengaruhi kualitas hidup dan
memperpendek usia harapan hidup. Ini
berarti bahwa tenaga kesehatan harus
berperan lebih aktif dalam mendidik
masyarakat agar dapat mengembalikan ke
keadaan sehat dan fungsional. Penyakit gusi/
periodontal dapat mengancam nyawa, berikut
ini efek yang ditimbulkan penyakit gusi : a)
Meningkatkan resiko serangan jantung
sebanyak 25%; b) Meningkatkan risiko
stroke; c. Meningkatkan keparahan diabetes;
d) Berkontribusi terhadap kelahiran prematur
dan berat bayi lahir rendah (BBLR); e)
Berkontribusi terhadap penyakit pernapasan;
f) Mengganggu pencernaan; g) Berperan
dalam osteoporosis; h) Stres; i) Menurunkan
ketahanan tubuh terhadap infeksi lainnya; j)
Mengurangi usia harapan hidup5.
Efek penyakit gusi pada sistem kekebalan
tubuh akan memperburuk atau memicu
munculnya penyakit dan masalah kesehatan
yang lain, termasuk idiopatik (istilah medis
untuk penyakit yang tidak diketahui
penyebabnya) misalnya Meniere, sindrom
kelelahan kronis (CFIDS) dan fibromyalgia.
Infeksi tertentu yang berhubungan langsung
dengan penyakit gigi adalah abses periapikal
(infeksi pada syaraf gigi dan tulang di
sekitarnya) dan kavitasi dari rahang (infeksi
tersisa ketika gigi diekstraksi).
Kerusakan paling serius disebabkan oleh
penyakit gusi yang lanjut. Penting untuk
dipahami bahwa penyakit periodontal tidak
hanya melibatkan jaringan lunak mulut. Jika
dibiarkan, penyakit gusi akan merusak
struktur tulang rahang, sehingga saku
periodontal semakin dalam, dan menjadi surga
bagi berbagai jenis bakteri berbahaya. Seiring
waktu, infeksi bakteri terus berkembang,
mengekspos sistem peredaran darah,
sehingga dapat membawa bakteri dan racun
ke bagian lain dari tubuh, termasuk jantung,
paru-paru, ginjal dan hati1.

Ratih Larasati (Hubungan kebersihan mulut...)

Untuk lebih memahami tingkat keseriusan dari


infeksi mulut, maka bentuk ringan dari
penyakit gusi, jika ditata datar atau
dibentangkan, daerah yang terinfeksi akan
seukuran kartu pos5. Dalam kasus penyakit
gusi sedang sampai berat, daerah yang
terinfeksi bisa mencakup area sebesar kertas
ukuran A4, maka dapat dibayangkan jika
daerah yang terinfeksi kemudian ditransfer
dari mulut ke leher atau bagian lain dari tubuh.
Fakta lain yang penting untuk dipertimbangkan
bahwa infeksi gigi mungkin tidak mudah
diidentifikasi. Perlu diwaspadai jika tidak ada
rasa sakit atau gejala, bisa jadi merupakan
penyakit berbahaya, jika tidak diobati akan
menghancurkan jaringan gusi dan tulang
penyangganya.
Penyakit Gigi dan Hubungannya dengan
Penyakit Lain
Sejumlah penelitian menunjukkan hubungan
antara penyakit gigi dan penyakit tubuh
lainnya. Berikut adalah penyakit sistemik
yang berkaitan dengan penyakit gigi :
Jantung
Dalam sebuah penelitian ditemukan hubungan
antara penyakit gigi dan risiko kematian.
Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat
dengan responden sebanyak 9.760 orang.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
seseorang dengan periodontitis (peradangan
pada jaringan penyangga gigi) memiliki risiko
menderita penyakit jantung koroner sebesar
25% dibandingkan dengan responden dengan
penyakit periodontal yang ringan (penyakit
gusi). Pada pria di bawah usia 50 tahun,
penyakit periodontal merupakan faktor risiko
penyakit jantung koroner. Dalam kelompok
ini, pria dengan periodontitis hampir dua kali
berisiko menderita penyakit jantung koroner
dibanding pria yang memiliki penyakit
periodontal ringan atau yang tidak menderita
penyakit tersebut. Dalam total populasi (pria
dan wanita dari segala usia) plak gigi dan
kalkulus (karang gigi) merupakan faktor risiko
kuat terjadinya penyakit jantung koroner5.

Dalam kaitannya dengan umur panjang (usia


harapan hidup), penemuan paling penting
menunjukkan bahwa indikator kuat kematian
dini selain penyakit jantung koroner adalah
penyakit periodontal dan kebersihan mulut
yang buruk. Pria muda yang memiliki indeks
kebersihan mulut maksimum 6 memiliki risiko
kematian 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan
yang memiliki indeks kebersihan 0. Selain itu,
pria muda dengan periodontitis memiliki risiko
kematian hampir tiga kali lipat akibat penyakit
jantung koroner, dan sekitar 50% risiko
masuk ke rumah sakit. Bila dibandingkan
dengan subjek yang menderita penyakit
periodontal ringan atau tidak ada, individu
dengan gingivitis (penyakit periodontal ringan)
memiliki risiko kematian sekitar 23% lebih
tinggi. Orang dengan periodontitis, atau tidak
ada gigi, memiliki risiko meninggal sekitar 50%
lebih tinggi. Dari sudut pandang kesehatan,
temuan ini bermakna karena risiko kematian
penderita jantung dengan gingivitis lebih
rendah daripada periodontitis. Tetapi, radang
gusi akan cepat mengarah ke bentuk yang
lebih parah jika tidak diobati. Matilla
mengemukakan bahwa hubungan antara
kesehatan gigi dan serangan jantung tetap
bermakna, walaupun telah dilakukan
pengontrolan usia, kelas sosial, hipertensi,
lipid serum dan konsentrasi lipoprotein,
merokok, adanya diabetes, dan serum C
konsentrasi peptida (yang mencerminkan
resistensi terhadap insulin). Endotoksin bakteri
atau faktor serupa dapat berhubungan dengan
infark miocard, dan kesehatan gigi yang
buruk tidak bisa dikesampingkan sebagai
faktor penyebab5.
Stroke
Terdapat hubungan antara infeksi gigi dengan
infark cerebral (stroke) pada laki-laki6.
Semua infeksi gigi dan periodontal berasal dari
bakteri. Perawatan gigi dapat menyebabkan
bakteremia transien (adanya bakteri dalam
darah), bahkan mengunyah dapat
menginduksi peningkatan bakteri dalam darah
seseorang dengan kesehatan mulut buruk.
99

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 97 - 104

Peneliti juga menemukan bahwa faktor yang


terkait dengan penyakit gusi dapat
berkontribusi pada penyebab aterosklerosis.
Diketahui infeksi bronkus kronis dan
kesehatan gigi yang buruk (terutama dari
infeksi gusi kronis) dapat meningkatkan risiko
stroke (iskemia serebrovaskular)7. Penyakit
gusi dan infeksi saluran akar merupakan
kontributor utama dalam penyakit gigi
kronis. Infeksi pada tulang rahang sebagai
akibat infeksi saluran akar juga merupakan
faktor risiko stroke. Saluran akar dapat
menyebabkan masalah kesehatan bukanlah
hal baru. Konsep ini disebut teori fokal infeksi.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
perawatan saluran akar secara tradisional
tidak dapat mensterilkan saluran akar dan
ribuan tubulus secara efektif. Teori ini
menjelaskan bahwa infeksi yang ada di
saluran akar dapat ditransfer melalui sistem
peredaran darah ke bagian lain dari tubuh8.
Diabetes
Diabetes dapat mempengaruhi penyakit
periodontal, bahkan penelitian baru
menunjukkan bahwa penyakit periodontal
dapat mempengaruhi diabetes juga. Tingkat
keparahan penyakit gusi dapat meningkatkan
resiko kontrol glikemik yang buruk. Bila
dibandingkan pasien diabetes dengan
penyakit gusi yang ringan, maka orang-orang
dengan penyakit gusi parah memiliki
prevalensi protein dalam urin (proteinuria)
yang signifikan dan sejumlah komplikasi
kardiovaskular. Oleh karena itu, dibutuhkan
perhatian dan kerjasama yang erat antara
dokter dan dokter gigi. Mengobati
komplikasi periodontal dapat meningkatkan
kontrol metabolik dari penyakit diabetes9.
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
BBLR masih merupakan penyebab kematian
bayi nomor satu. Hal ini menyebabkan
masalah kesehatan jangka panjang, misalnya
peningkatan risiko cerebral palsy, epilepsi,
penyakit paru kronis, ketidakmampuan
belajar dan gangguan perhatian.
100

Terdapat bukti baru bahwa ibu hamil yang


menderita penyakit periodontal beresiko tinggi
melahirkan bayi prematur dengan berat
badan lahir rendah. Hasil penelitian tersebut
memperoleh 18% dari semua kasus
prematur berat lahir rendah berkaitan
dengan penyakit periodontal. Hal ini juga
menunjukan bahwa penyakit gusi
merupakan faktor risiko yang sebelumnya
tidak dikenal dan secara klinis penting
bagi bayi prematur BBLR10.
Infeksi Pernapasan
Ada dugaan bahwa rongga mulut bertindak
sebagai reservoir bagi bakteri bergerak
menuju ke paru-paru11. Lebih lanjut, terbukti
bahwa ada peningkatan skor plak dan gingiva
pada penderita asma dibandingkan kelompok
kontrol12.
Osteoporosis
Para peneliti di University of Buffalo, yang
dipimpin oleh Jean Wactawski-Wende,
melaporkan bahwa sebagian besar penderita
penyakit periodontal mungkin berisiko terkena
osteoporosis. Penelitian ini merupakan
penelitian pertama tentang hubungan antara
metabolisme tulang dan kesehatan mulut. Para
penulis melaporkan bahwa jika hubungan
tetap kuat pada penelitian lebih berikutnya,
maka dimungkinkan sinar-X yang digunakan
dapat mengeroposkan tulang5.
Gangguan Gastrointestinal
Hubungan yang paling bermakna antara
penyakit gigi dan gangguan pencernaan adalah
kehilangan gigi. Pasien edentulous (tanpa gigi)
paling rentan terhadap masalah gastro
intestinal dan lainnya. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa pasien dengan gigi palsu
mengalami kesulitan / ketidakmampuan
mengunyah makanan dengan benar.
Ketidakmampuan mengunyah dapat
menurunkan asupan vitamin A dan serat,
terutama dari buah-buahan dan sayuran,
sehingga dapat memancing gangguan
pencernaan dan mempengaruhi kesehatan
secara keseluruhan.

Ratih Larasati (Hubungan kebersihan mulut...)

Penelitian yang lain menunjukkan bahwa


efisiensi mengunyah seseorang yang memakai
gigi palsu adalah sekitar seperenamnya yang
mengunyah dengan gigi asli. Dengan kata lain,
orang dengan gigi palsu memerlukan waktu 6
kali lebih lama untuk mengunyah makanannya
dibanding yang mengunyah dengan gigi asli13.
Dalam penelitian lain, para peneliti
mengumpulkan data tentang asupan makanan
dan asupan gizi 49.501 pria ahli
kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peserta ompong mengkonsumsi
sayuran lebih sedikit, kurang serat dan
karoten, memiliki kolesterol tinggi, dan lemak
jenuh dibandingkan peserta dengan 25 atau
lebih gigi. Peneliti menyimpulkan bahwa
faktor-faktor ini dapat meningkatkan risiko
kanker dan penyakit kardiovaskular.
Penelitian ini menggambarkan bahwa masalah
yang dihadapi individu edentulous tidak
berakhir dengan menghilangkan infeksi
periodontal saja, tetapi harus menghadapi
masalah kesehatan yang baru14.
Sistem Kekebalan Tubuh
Ketika sistem kekebalan tubuh terganggu
maka akan terkena dampak negatif pada
masalah kesehatan baik langsung ataupun
tidak langsung. Infeksi gigi, terutama penyakit
periodontal, abses periapikal dan kavitasi,
memiliki pengaruh yang merusak sistem
kekebalan tubuh dan dapat membahayakan
keberhasilan pengobatan medis untuk setiap
penyakit yang berhubungan dengan kekebalan
tubuh8.
Isu Lain yang Mempengaruhi
Kesehatan Gigi dan Harapan Hidup
Ada beberapa masalah lain yang dapat
meningkatkan resiko dan keparahan
penyakit2, antara lain :
Tambalan yang Mengandung Merkuri
(Amalgam / Perak Amalgam)
Merkuri adalah logam, lebih beracun dari
arsenik, memiliki konsekuensi kesehatan
negatif yang dapat bervariasi pada setiap
orang. Gejala keracunan merkuri bersifat

ringan sampai parah, dan dapat berakibat fatal


dalam dosis akut.
Ada sejumlah cara terkena merkuri,
diantaranya melalui tambalan amalgam. Setiap
tambalan amalgam ukuran sedang
mengandung sekitar 50% unsur merkuri, atau
sekitar 1.000 miligram merkuri. Sejumlah
penelitian telah membuktikan bahwa uap
merkuri dilepaskan dari tambalan amalgam,
dapat diserap oleh paru-paru sampai dengan
80% dan masuk ke darah, lalu diangkut
seluruh tubuh, termasuk otak dan sistem saraf
pusat. Dalam tambalan amalgam, merkuri
dalam keadaan unsurnya. Ketika unsur
merkuri lepas dari amalgam, maka bakteri
dapat mengubahnya dalam mulut dan usus ke
bentuk yang lebih toksik (100 kali lebih
beracun, disebut metil merkuri). Tingkat racun
dari merkuri diukur dalam satuan mikrogram,
uap merkuri dalam mulut dapat berkisar 20
dan 400mcg/m3 (mikrogram merkuri per
meter kubik udara) atau lebih. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ratarata waktu tertimbang (TWA) untuk pajanan
uap merkuri sebesar 25 mcg/m3. Lebih lanjut,
Badan Zat Beracun dan Penyakit Registry
(ATSDR) mengemukakan bahwa tingkat
risiko minimal (BMR) sebesar 0,2 mcg/m3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa merkuri
dapat mengganggu leukosit dan
menonaktifkan neutrofil.
Tidak semua orang dengan tambalan amalgam
menunjukkan gejala keracunan merkuri, hal
ini berkaitan dengan jumlah dan lama waktu
tambalan antara penyakit periodontal dengan
kelahiran prematur. Selama kehamilan
terdapat perubahan psikologi dan perilaku
dengan kecenderungan kurangnya perawatan
diri termasuk kesehatan mulut, amalgam di
mulut, kesehatan individu, dan kemampuan
alami tubuh untuk membersihkan merkuri.
Terlepas dari fakta tersebut, ADA mengatakan
bahwa tidak seorangpun dengan tambalan
amalgam perlu khawatir karena uap merkuri
yang dilepaskan tidak cukup untuk
menimbulkan masalah kesehatan, kecuali bagi
yang alergi terhadap merkuri.
101

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 97 - 104

Kavitasi
Kavitasi adalah kerusakan tulang di daerah
gigi yang telah diekstraksi / dicabut. Salah satu
dampak kavitasi adalah menginduksi
neuralgia cavitational osteonekrosis
(NICO). Menurut para ahli, jika gigi tidak
dicabut dengan benar, maka penyembuhannya tidak sempurna sehingga meninggalkan
lubang pada tulang rahang. Kavitasi juga
diyakini memberikan kontribusi terhadap fokal
infeksi, sehingga dapat berdampak pada
kesehatan sistemik dan menyebabkan stres.
Tanda dan Gejala Penyakit Lainnya
Ada 25 penyakit dari tubuh yang tanda-tanda
dan gejala awalnya dapat dilihat dalam rongga
mulut. Deteksi dini dari setiap penyakit ini
dapat meningkatkan keberhasilan
pengobatan, dan dapat memperpanjang usia
harapan hidup. Beberapa penyakit yang lebih
serius yang menunjukkan tanda-tanda
pertama dalam rongga mulut, bibir, atau lidah,
adalah leukemia, hemofilia, sarkoma Kaposi,
melanoma maligna, sifilis, diabetes, karsinoma
sel skuamosa, myoblastoma, TBC, epilepsi,
dan hemangioma.
Sensitivitas Terhadap Bahan Gigi
Sensitivitas terhadap bahan gigi mungkin tidak
menjadi masalah serius bagi banyak
orang, tetapi bagi yang alergi dapat
menimbulkan bahaya kesehatan yang
berpotensi serius. Jika memiliki alergi tetapi
tidak mengetahui alergennya, hendaknya
segera dilakukan tes alergi.
Kesimpulan dan Saran
Banyak yang beranggapan, termasuk di
kalangan kesehatan, efek merusak dari
penyakit gigi hanya terbatas pada gigi dan gusi.
Bahkan, ada sebagian masyarakat
memandang remeh karena penyakit gigi tidak
mengganggu pekerjaan sehari-hari.
Pemahaman tersebut terbentuk karena
kebanyakan orang cenderung berpikir bahwa
mulut bukan bagian dari tubuh.

102

Mengingat pentingnya gigi dan mulut dalam


komunikasi verbal dan non verbal, maka
penyakit gigi cenderung merusak citra diri dan
mengubah kemampuan untuk mempertahankan dan membangun hubungan sosial dan
kepuasan diri. Kesehatan mulut yang buruk
dapat mempengaruhi nafsu makan dan
kemampuan makan sehingga mengakibatkan
kekurangan gizi. Makanan atau asupan gizi
yang tidak memadai bisa terjadi karena
berkurang atau hilangnya fungsi kunyah
disebabkan oleh karies, penyakit periodontal,
sakit gigi, kehilangan gigi, mulut kering, gigi
palsu, bibir sakit. Kesehatan mulut yang buruk
menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan yang
dapat mempengaruhi belajar dan tumbuh
kembang anak, serta konsentrasi bekerja.
Periodontitis merupakan salah satu infeksi
mulut yang berkontribusi terhadap terjadinya
penyakit sistemik. Periodontitis menyebabkan
kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang.
Penderita osteoporosis dengan kepadatan
tulang yang rendah maka kemungkinannya
tulang alveolarnya rentan terhadap
periodontitis. Dampak penyakit gigi pada
penyakit sistemik antara lain jantung, diabetes,
stroke, BBLR, infeksi pernafasan,
osteoporosis, gangguan intestinal, dan sistem
kekebalan tubuh. Penelitian epidemiologi (
cross sectional dan longitudinal) dapat
mengidentifikasi hubungan kebersihan mulut
dengan penyakit sistemik tetapi belum
diketahui penyebabnya, kecuali jantung dan
diabetes. Infeksi dapat menjadi faktor utama
pada kelahiran prematur. Beberapa penelitian
menunjukkan hubungan potensial yang kuat
Ibu hamil juga mengalami perubahan
metabolik dan hormonal yang dapat
menyebabkan pregnancy gingivitis dan
pyogenic granuloma. Racun atau produk
lain yang dihasilkan bakteri mulut pada ibu
hamil dapat masuk peredaran darah, melewati
plasenta dan membahayakan janin.
Meningkatnya perhatian terhadap kesehatan
gigi dapat meminimalkan dampak dari
perubahan metabolik.

Ratih Larasati (Hubungan kebersihan mulut...)

Pada prinsipnya, jika keadaan umum lemah


biasanya bakteri mulut yang tidak berbahaya
dapat menjadi merugikan dan mulai
mempengaruhi bagian lain dari tubuh. Dengan
kata lain, rongga mulut merupakan tempat
berkumpulnya bakteri dan memberi
kontribusi yang cukup berarti dalam
menimbulkan bakteremia. Pada keadaan
penurunan imunitas, bakteri rongga mulut yang
semula komensal dapat berubah menjadi
patogen sehingga menyebabkan bakteremia
dan infeksi sistemik.
Berdasarkan pembahasan di atas nampak
jelas bahwa penyakit gigi dapat mengganggu
kualitas hidup dan memperpendek harapan
hidup. Hal ini diperkuat dengan hasil Surkenas
tahun 1998 bahwa 62,4 persen penduduk
merasa terganggu produktivitas kerja sekolah
karena sakit gigi, selama rata-rata 3,86 hari.
Pendapat lama bahwa penyakit gigi adalah
penyakit yang terlokalisir hanya
mempengaruhi gigi dan gusi, telah
terbantahkan. Banyak penelitian telah
membuktikan bahwa penyakit gigi dan isuisu lain yang berkaitan dengan mulut ikut
berkontribusi pada masalah kesehatan yang
serius. Mengabaikan penyakit gigi dapat
mengganggu keberhasilan pengobatan dan
mempersingkat usia harapan hidup.
Pencegahan adalah tindakan yang terbaik dan
menghemat biaya. Pencegahan yang
disarankan adalah fluoridasi air dan fissure
sealant, fluoridasi air efektif untuk mencegah
karies pada masyarakat. Hasil penelitian di
Amerika Serikat setiap $ 1 yang
diinvestasikan pada fluoridasi masyarakat
akan menghemat $ 38. Meningkatkan
perhatian pada kebersihan gigi dan mulut
dapat meminimalkan dampaknya pada
kesehatan umum.

Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Laskaris, G., Scully, C., and Tatakis,


D.N.,
2003,
Periodontal
Manifestations of Local and Systemic
Diseases,
McGuire, T., 1994, Tooth Fitness: Your
Guide to Healthy Teeth, St. Michaels
Press
Moeis, E.F., 2011, Meneropong
Penyakit Melalui Gigi, http://
www.pdgi-online.com
Soeroso, Y., 2011, Efek Paparan
Kitosan dari Kulit Udang Terhadap
Osteogenesis Sel Punca yang Diisolasi
dari Ligamentum Periodontal, Disertasi,
http://www.ui.ac.id
McGuire, T., 2000, The Relationship
of Oral Health to Overall Health and
Longevity, http : // www.menieresdisease.ca/menieres-and-mercury
Syrjnen, J., Peltola, J., Valtonen, V.,
Iivanainen, M., Kaste, M., and
Huttunen, J.K.,
1989, Dental
infections in association with cerebral
infarction in young and middle-aged
men, Journal of Internal Medicine, 225:
179-184
Mattila, K.J., Nieminen, M.S.,
Valtonen, V.V., Rasi, V.P., Kasaniemi,
Y.A., Syrjala,
S.L., Jungell,
P.S., Isoluoma, M., Hietaniemi, K., and
Jokinen, M.J., 1989, Association
between dental health and acute
myocardial infarction, British Medical
Journal 298: 779-82
Stavkin, C.H., and Baum, B.J., 2000,
Relationship of dental and Oral
Pathology to Systemic Illness,
JAMA,284 (10) : 1215-1217

103

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 97 - 104

9.

10.

11.

104

Southerland, J.H., Taylor, W.G., and


Offenbacher, S., 2005, Diabetes and
Periodontal Disease : Making The
Connection, Clinical Diabetes Journal,
Vol. 23, No. 4: 171-178
Offenbacher, S., Katz, V., Fertik, G.,
Collins, J., Boyd, D., Maynor, G.,
McKaiq, R., and Beck, J., 1996,
Periodontal infection as a possible risk
factor for preterm low birth weight,
Journal of Periodontology 67:1103-13
Ramos, V.P., Hernandez, C.H., Rojas,
A.E.S., Aguilar, E.C., and Guerrero,
J.S., 2006, Association between Dental
Caries and Pneumonia in Patients with
SystemicLupus Erythematosus, The
Journal of Rheumatology, 33 : 19962002

12.

13.

14.

Judarwanto, W., 2010, Dental Caries,


Allergy Diseases and Asthma, http://
childrenallergyclinic.wordpress.com
Kaumudi, J., et al, 1996, The Impact
of Edentulousness on Food and
Nutrient Intake, JADA Vol. 127: 45967
Brodeur, J.M., Laurin, D., Vallee, R.,
and Lachapelle, D., 1993, Nutrient
Intake and Gastrointestinal Disorders
Related to Masticatory Performance in
The Edentulous Elderly, J Prosthet Dent
70: 468-73

TINGKAT KEPUASAN PENGGUNA LULUSAN JURUSAN KESEHATAN GIGI


(JKG) POLTEKKES DENPASAR DI BALI TAHUN 2008
Ni Ketut Ratmini1, I Gede Surya Kencana2, Ni Wayan Arini3
Abstract. The education on dental health is one field of study as part of health
education in Indonesia, which has existed since 1950 and was initially intended to
overcome the limited number of doctors in delivering communitys dental and oral
health, especially in the remote areas. The department of Dental Health of Denpasars
Health Polytechnique has had 201 graduates in six batches and so far there has no
research which has been conducted with regard to the graduates performances being
employed by medical facilities. The objective of this research is to identify the users
satisfaction level of the graduates of Denpasars Health Polytechnique. This research
is of descriptive type with Cross Sectional Study design, being conducted in all
Puskesmas (Community Health Centers) and Regencys hospitals in Bali during the
month of March 2008, with the total population of 23 dentists as the direct supervisors
of the dental nurses graduated from Denpasars Health Polytechnique. The finding
of the research shows that the satidfaction level of the users of the graduates of
Dental Health department of Denpasars Health Polytechnique in Bali in the year of
2008 is in the category of satisfactory.
Keywords: The Satisfaction Level, Users Of The Graduates Dental Health
Bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan
pada masalah kesehatan, yang salah satunya
adalah masalah tenaga kesehatan. Kelemahan
pembangunan kesehatan dari sudut tenaga
kesehatan adalah yang menyangkut
penyebaran belum merata, mutu pendidikan
yang belum memadai, komposisi tenaga
kesehatan yang timpang, karena masih sangat
didominasi oleh tenaga medis serta kinerja
dan produktivitas yang rendah1. Berdasarkan
Kep.Menkes RI, Nomor 284/Menkes/SK/
IV/2006, tenaga kesehatan adalah seseorang
yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta kewenangan dalam
melakukan upaya kesehatan yang didapat
melalui pendidikan di bidang kesehatan.
Tenaga kesehatan juga merupakan salah satu
unsur penting dalam pelaksanaan upaya
kesehatan untuk dapat menyelenggarakan
pelayanan yang professional dan perawat gigi
termasuk dalam rumpun tenaga keperawatan.
Agar tenaga tersebut dapat melaksanakan
1,2,3

tugasnya secara profesional, maka peranan


lembaga pendidikan tenaga kesehatan yang
ada sangat dibutuhkan sekali.
Pendidikan perawat gigi merupakan salah satu
pendidikan di bidang kesehatan di Indonesia,
yang akan menghasilkan tenaga kesehatan.
Pendidikan perawat gigi telah ada sejak tahun
1950 dan semula ditujukan untuk mengatasi
keterbatasan tenaga dokter gigi dalam
memberikan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut di masyarakat, utamanya di daerah
terpencil atau daerah pelosok. Kurikulum
pendidikan perawat gigi mengalami beberapa
kali perubahan yang disesuaikan dengan
kondisi yang ada. Tahun 1996 perawat gigi
mengalami perubahan ke arah pendidikan
professional dan diharapkan lulusan perawat
gigi akan dapat melaksanakan kegiatan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut di
masyarakat, utamanya dalam kegiatan asuhan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut beserta
tugas limpahnya dengan optimal.

Dosen Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Denpasar


105

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 105 - 109

Sejak tahun 2001 Departemen Kesehatan


Republik Indonesia mengisyaratkan bahwa
latar belakang pendidikan seorang tenaga
kesehatan sebaiknya minimal pendidikan
setara Diploma III yang dinamakan Akademi
Kesehatan Gigi1.
Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
RI memutuskan berdirinya institusi baru
Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Denpasar,
sebagai wadah bergabungnya lima Akademi
di lingkungan Departemen Kesehatan yang
ada di Propinsi Bali, yakni: Akademi
Kesehatan Gigi, Akademi Keperawatan,
Akademi Kebidanan, Akademi Kesehatan
lingkungan. Akademi-akademi tersebut
sekarang berubah menjadi jurusan-jurusan,
sehingga Akademi Kesehatan Gigi menjadi
Jurusan Kesehatan Gigi (JKG) Poltekkes
Depkes Denpasar2.
Pelaksanaan kurikulum pendidikan JKG
Poltekkes Depkes Denpasar menggunakan
standar pelayanan asuhan kesehatan gigi dan
mulut yang merupakan acuan bagi perawat
gigi dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Jurusan
Kesehatan Gigi Poltekkes Depkes Denpasar
sampai saat telah meluluskan 201 orang dalam
enam angkatan, yaitu tahun 2002 berjumlah
32 orang, tahun 2003 berjumlah 47 orang,
tahun 2004 berjumlah 27 orang, tahun 2005
berjumlah 31 orang, tahun 2006 berjumlah
33 orang, dan tahun 2007 berjumlah 31
orang, sehingga jumlah keseluruhan 201
orang3
Setelah JKG Poltekkes Depkes Denpasar
meluluskan mahasiswa sebanyak 201 orang
dalam enam angkatan, sampai saat ini belum
pernah dilakukan penelitian tentang kinerja
perawat gigi yang sudah terserap sebagai
tenaga kerja di beberapa sarana kesehatan.
Hampir 25 % lulusan JKG Poltekkes Depkes
Denpasar sampai saat ini bekerja di sarana
kesehatan yang berada di wilayah kota
Denpasar, dan sisanya tersebar di sarana
kesehatan yang ada di seluruh kabupaten di
wilayah Provinsi Bali dan Nusa Tenggara.
106

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan


RI Nomor: 284/Menkes/SK/IV/2006
Tentang Standar Pelayanan Asuhan
Kesehatan Gigi dan Mulut, maka disusun
standar pelayanan asuhan kesehatan gigi dan
mulut yang merupakan acuan bagi perawat
gigi dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan gigi dan mulut, serta
untuk meningkatkan profesionalisme perawat
gigi dalam pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Berdasarkan latar belakang, maka disusun
rumusan masalah, bagaimanakah tingkat
kepuasan pengguna lulusan JKG Poltekkes
Denpasar di Bali Tahun 20084. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui tingkat
kepuasan pengguna lulusan JKG Poltekkes
Depkes Denpasar di Bali Tahun 2008. Secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kinerja perawat gigi lulusan JKG
Poltekkes Depkes Denpasar di Bali Tahun
2008 dilihat dari aspek psikomotor.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan rancangan Cross Sectional Study.
Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Gigi
Puskesmas dan Klinik Gigi Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) yang ada di Bali yang
menggunakan lulusan JKG Potekkes Depkes
Denpasar. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret Tahun 2008. Penelitian ini
menggunakan total populasi, dengan populasi
penelitian adalah dokter gigi sebagai atasan
langsung perawat gigi lulusan JKG Poltekkes
Depkes Denpasar yang bekerja di Klinik Gigi
Puskesmas dan Klinik Gigi RSUD yang ada
di Bali Tahun 2008 sebanyak 23 orang.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah data primer dan pengumpulan data
dilakukan dengan menyebarkan angket
kepada setiap responden. Alat pengumpulan
data adalah angket yang berisi pertanyaanpertanyaan tentang kompetensi dan kinerja
lulusan JKG Poltekkes Depkes Denpasar.
Untuk menghindari kecendrungan jawaban
sentral, kuesioner dibuat berdasarkan Skala

Ratmini, Surya Kencana, Arini (Tingkat kepuasan pengguna...)

Likert dengan empat pilihan jawaban : 1) Skor


4 untuk jawaban Sangat Memuaskan (SM);
2) Skor 3 untuk pilihan jawaban Memuaskan
(M); 3) Skor 2 untuk jawaban Tidak
Memuaskan (TM); 4) Skor 1 untuk pilihan
jawaban Sangat Tidak Memuaskan (STM).
Pengolahan data dilakukan mulai dari editing,
coding dan tabulating. Data yang
dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan
Penilaian Acuan Patokan (PAP)5. Rentangan
nilai yang digunakan untuk mengetahui tingkat
kepuasan responden terhadap lulusan, dibuat
empat kategori berdasarkan skor maksimum
dan minimum ideal.
Keempat kategori tersebut adalah: 1)
Katagori Sangat Tidak Puas/ Sangat Tidak
Memuaskan skor: 11,00 19,25; 2) Kategori
Tidak Puas /Tidak Memuaskan skor: 19,26
27,50; 3) Kategori Puas/ Memuaskan skor:
27,51 35,76; 4) Kategori Sangat Puas /
Sangat Memuaskan skor: 35, 77 44,00.
Hasil Penelitian
Penelitian tentang tingkat kepuasan pengguna
lulusan JKG Poltekkes Depkes Denpasar di
Bali tahun 2008 dilakukan di seluruh
Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah yang
ada di Bali yang menggunakan tenaga perawat
gigi lulusan JKG Poltekkes Depkes Denpasar.
Subjek penelitian adalah dokter gigi atasan
langsung / mitra kerja perawat gigi di Klinik
Gigi Puskesmas dan Klinik Gigi RSUD yang
ada di Bali sebanyak 23 orang dokter gigi.
Karakteristik responden berdasarkan masa
kerja dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Karakteristik masa kerja responden
Masa Kerja (th)
1-5
6 - 10
11 - 15
16 - 20
21 - 25
26 - 30
Jumlah

f
8
4
3
6
1
1
23

%
34,8
17,4
13,0
26,1
4,4
4,4
100,0

Tabel 1. menunjukkan masa kerja responden


yang terbanyak adalah masa kerja 1-5
tahun. Tingkat kepuasan pengguna lulusan
JKG Poltekkes Depkes Denpasar
berdasarkan kinerja perawat gigi di Bali
Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Kinerja perawat gigi lulusan JKG Poltekkes
Denpasar tahun 2008
Kategori
Sangat Tidak Memuaskan
Tidak Memuaskan
Memuaskan
Sangat Memuaskan
Jumlah

f
0
2
24
4
30

%
0,0
6,6
80,0
13,4
100,0

Tabel 2. menunjukkan persentase tertinggi


dari hasil angket terhadap kinerja perawat gigi
adalah pada kategori memuaskan.Hasil
analisis tentang kinerja perawat gigi dan
tingkat kepuasan pengguna lulusan, diperoleh
dari penjumlahan hasil jawaban responden.
Penilaian hasil jawaban responden sudah
dikelompokkan ke dalam empat tingkatan
kategori yang ditetapkan. Hasil yang
diperoleh dari analisis data penelitian, nilai
terendah berada pada angka 24 dan nilai
tertinggi berada pada angka 40. Nilai
terbanyak yang diperoleh dari jawaban
responden terhadap kinerja perawat gigi
adalah nilai 27,5135,76 sebanyak 24 orang
(80%) kategori memuaskan, terhadap tingkat
kepuasan pengguna lulusan JKG Poltekkes
Depkes Denpasar. Penilaian pada rentangan
27,5135,76 didapatkan dari keseluruhan
item pertanyaan dalam kuesioner. Selanjutnya
disusul dengan rentangan nilai: 35,7744,00,
kategori sangat memuaskan sebanyak empat
orang (13,4%) terhadap kinerja perawat gigi
lulusan JKG Poltekkes Depkes Denpasar,
yang mana penilaian pada rentangan: 35,77
44,00 ditemukan pada item pertanyaan
kuesioner nomor sepuluh. Rentangan nilai:
19,2627,50 kategori tidak memuaskan
sebanyak dua orang (6,6%) terhadap kinerja
perawat gigi yang mana penilaian tersebut
ditemukan pada item pertanyaan kuesioner
107

Jurnal Skala Husada Volume 9 Nomor 1 April 2012 : 105 - 109

nomor tiga. Hasil analisis penelitian, tidak


ditemukan nilai dengan rentangan: 11,00
19,25 kategori sangat tidak memuaskan
terhadap kinerja perawat gigi lulusan JKG
Poltekkes Depkes Denpasar.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data pada tabel 2,
tidak ditemukan pernyataan kinerja perawat
gigi pada kategori sangat tidak memuaskan
terhadap tingkat kepuasan pengguna lulusan
JKG Poltekkes Depkes Denpasar di Bali
Tahun 2008. Hal tersebut menunjukkan
bahwa, Lulusan JKG Poltekkes Depkes
Denpasar tidak ada yang memiliki kinerja
melebihi standar yang telah ditetapkan dalam
kurikulum pendidikan JKG Poltekkes
Depkes Denpasar. Sebanyak 6,6 %
responden menyatakan, kinerja perawat gigi
berada pada kategori tidak memuaskan.
Pernyataan tidak memuaskan responden
ditemukan pada item pertanyaan kuesioner
tentang kebersihan ruangan yang dilakukan
oleh perawat gigi di tempat bekerja. Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik tentang Standar Pelayanan Asuhan
Kesehatan Gigi dan Mulut, standar hygiene
lingkungan kerja yaitu menata, membersihkan,
dan merawat peralatan, dental unit, dental
chair serta ruangan, merupakan salah satu
standar yang dipakai acuan dalam
meningkatkan profesionalisme Perawat Gigi4.
Secara rasional yang dapat dikatakan
hygiene lingkungan kerja adalah, ruangan
rapi, bersih, terang dan nyaman, serta
peralatan dental unit, dental chair rapi dan
bersih untuk digunakan. Kriteria Output dari
standar hygiene lingkungan kerja adalah:1).
Ruangan rapi, bersih, terang dan nyaman, 2).
Peralatan di ruangan bersih dan rapi, 3).
Dental unit bersih dan siap untuk
dipergunakan. Berdasarkan hasil penelitian,
maka dapat dikatakan perawat gigi lulusan
JKG Poltekkes Depkes Denpasar dalam
melakukan pekerjaan sehari-hari di
Puskesmas dan di Rumah Sakit masih perlu
108

memperhatikan tentang hygiene lingkungan


kerja, karena dalam penelitian ini masih ada
pernyataan tidak memuaskan dari responden
tentang kinerja perawat gigi dalam perannya
menjaga kebersihan ruangan kerja dan masih
ada pernyataan tidak puas responden
terhadap tingkat kepuasan pengguna lulusan
JKG Poltekkes Depkes Denpasar dalam
perannya menjaga kebersihan ruangan kerja.
Sebanyak 80 % dari responden menyatakan
kinerja perawat gigi berada pada kategori
memuaskan terhadap sebagian besar item
pertanyaan dalam kuesioner. Hal tersebut
menunjukkan bahwa, perawat gigi lulusan
JKG Poltekkes Depkes Denpasar yang
bekerja di Klinik Gigi Puskesmas dan Klinik
Gigi RSUD di Bali, sudah melakukan
pekerjaannya sehari-hari sesuai dengan
kompetensinya mengacu pada standar
pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut
yang telah ditetapkan dalam kurikulum,
sehingga sebagian besar pernyataan
responden memuaskan terhadap kinerja
perawat gigi lulusan JKG Poltekkes Depkes
Denpasar di Bali Tahun 2008.
Hasil penelitian yang menyatakan kinerja
perawat gigi berada pada kategori sangat
memuaskan adalah sebanyak 13,4 % dan
yang menyatakan sangat memuaskan
ditemukan pada item pertanyaan tentang
mencabut gigi sulung derajat dua yang
dilakukan perawat gigi. Hal tersebut
menunjukkan, bahwa perawat gigi dalam
melakukan pencabutan gigi sulung sudah
memiliki keterampilan yang lebih dari standar,
sehingga responden menyatakan kinerja
perawat gigi lulusan JKG Depkes Denpasar
dalam mencabut gigi sulung derajat dua,
sangat memuaskan.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian
ini adalah, tingkat kepuasan pengguna lulusan
JKG Poltekkes Depkes Denpasar di Bali
Tahun 2008 adalah, berada pada kategori
memuaskan. Saran yang dapat diberikan
adalah, kinerja perawat gigi lebih ditingkatkan

Ratmini, Surya Kencana, Arini (Tingkat kepuasan pengguna...)

agar tingkat kepuasan pengguna berada pada


kategori sangat memuaskan serta disarankan
agar penelitian juga dilakukan terhadap
pengguna lulusan JKG di praktek dokter gigi
swasta.

4.

Daftar Pustaka

5.

1.

2.

3.

Departemen Kesehatan RI, 2007,


Majalah, Pengembangan dan
Pemberdayaan Kesehatan Vol 3, No
2, Badan PPSDM Kesehatan, Jakarta.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial RI Nomor:
298/Men.Kes-Kesos/SK/IV/2001.
Laporan UAP JKG Poltekkes
Denpasar tahun 2002 s/d 2007,
Denpasar.

Departemen Kesehatan RI, 2006,


Surat Keputusan Menteri Kesehatan
nomor
284/SK/Menkes/2006
Tentang Stndar Pelayanan Asuhan
Kesehatan Gigi dan Mulut, Menkes,
Yakarta.
Subekti, R. dan Firman, H., 1986,
Buku Materi Pokok Evalusi Hasil
Relajar dan Pengajaran Remidial,
Universitas Terbuka, Jakarta.

109

Anda mungkin juga menyukai