Anda di halaman 1dari 8

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Modul
Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
Muhammad Yusri Zamhuri*
A. Pendahuluan
Sejak diimplementasikan UU No.34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah,
melalui PP No 65 tentang pajak daerah dan 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah,
pada kenyataannya belum membawa perubahan yang berarti pada optimalisasi dan
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Terdapat beberapa penyebab, antara lain,
rendahnya kemampuan daerah dalam membuat strategi pengumpulan dan pemetaan
potensi pajak dan retribusi, lemahnya aspek dukungan kelembagaan. Disamping itu,
teknik yang digunakan untuk melakukan pemetaan, manajemen, regulasi pajak dan
retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah belum menciptakan hasil yang
optimal.
Perhitungan dan pemetaan potensi pajak dan retribusi yang benar akan menghasilkan
data potensi kapasitas fiskal daerah yang akurat, dan ini merupakan syarat perlu
dalam melakukan perencanaan optimalisasi penerimaan daerah. Disamping itu,
estimasi potensi pajak dan retribusi yang tepat juga akan menghasilkan rekomendasi
kebijakan yang tepat pada upaya pajak (tax effort) berikutnya. Hasil penerimaan
daerah dikatakan optimal bilamana total penerimaan (total collection) sama dengan
kapasitas fiskal atau potensi pajak dan retribusi yang ada, tetapi bilamana ditemukan
atau terjadi bahwa realisasi penerimaan pajak dan retribusi (tax and surcharges
collection) pada tahun tertentu melebihi dari potensi kapasitas terhitung pada tahun
tersebut, maka estimasi potensi kapasitas adalah lebih rendah (under estimate)
terhadap potensi kapasitas sesungguhnya. Sebaliknya, bilamana realisasi penerimaan
pajak dan retribusi lebih kecil dari potensi kapasitasnya, maka yang perlu diperbaiki
adalah peningkatan manajemen pengumpulan.
Modul ini bertujuan untuk memberikan metode perhitungan potensi pajak dan
retribusi daerah. Pembahasan diawali dengan tax coverage bagi propinsi, kabupaten
dan kota sesuai dengan ketentuan pada UU nomor 34 tahun 2000 dan PP nomor 65
dan nomor 66 tahun 2001. Kemudian secara berturut-turut pembahasan mengenai
efektifitas penerimaan pajak dan retribusi dari sisi administrator; pendekatan
perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah; dasar perhitungan potensi pajak dan
retribusi daerah; dan contoh kasus perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah.
B. Pajak dan Retribusi Propinsi dan Kabupaten/Kota
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan sebelumnya, bahwa produk
hukum terkait dengan perpajakan daerah adalah UU No. 34 tahun 2000 dan PP
nomor 65 dan 66 tahun 2001. Merujuk pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut,
maka terdapat 11 pajak daerah yang terdiri atas 5 pajak propinsi dan 6
kabupaten/kota. Kelima pajak propinsi yang dimaksud adalah 1). pajak kenderaan

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

bermotor; 2). bea balik nama kenderaan bermotor; 3). pajak bahan bakar kenderaan
bermotor; 4). pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan; dan 5). pajak
baru lainnya. Sedangkan enam pajak kabupaten dan kota adalah 1). pajak hotel dan
restoran; 2). pajak hiburan; 3). pajak reklame; 4). pajak penerangan jalan; 5) pajak
penghasilan dan pengelolaan galian golongan C; 6). Pajak baru lainnya.
Selain itu, pemerintah daerah pada tingkat kabupaten dan kota, juga diperkenankan
memungut pajak tambahan selama masih memenuhi kriteria yang terdapat dalam UU
No.34 tahun 2000 tersebut. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah a). Bersifat pajak
dan bukan retribusi; b). Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah
serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan; c). Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum; d). Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau
objek pajak pusat; e). Potensinya memadai; f). Tidak memberikan dampak ekonomi
yang negatif; g). Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan h).
Menjaga kelestarian lingkungan.
C. Efektifitas Penerimaan dari Sisi Administrator
Pertanyaan mendasar dalam sisi efektifitas penerimaan pajak dan retribusi daerah
adalah mengapa penerimaan aktual selalu bervariasi dari tahun ke tahun. Salah satu
alasan atas jawaban pertanyaan tersebut adalah aspek kapasitas administratif.
Terdapat beberapa aspek penting dalam menilai kapasitas administratif yaitu aspek
kompotensi, kreatifitas dan persepsi. Aspek kompetensi mencerminkan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan oleh administrator atas aspek-aspek perpajakan.
Dengan kompotensi yang dimiliki, administrator pajak dan retribusi daerah dapat
melakukan kreasi dalam penciptaan dan pengelolaan pajak dan retribusi daerah.
Penguasaan teknologi bagi administrator perpajakan akan meningkatkan efektifitas
penerimaan pajak dan retribusi. Perkembangan teknologi komputer dan informatika
menjadi salah satu alasan urgensi reformasi sistem administrasi perpajakan. Dengan
demikian maka kebutuhan pemerintah daerah untuk menerapkan sistem administrasi
perpajakan yang berbasis teknologi terkini sudah menjadi kebutuhan. Aplikasi sistem
perpajakan berbasis teknologi ini akan mendorong terciptanya administrasi
perpajakan yang transparan, dan memperkecil peluang munculnya moral hazard
untuk melakukan penyimpangan pajak oleh administrator perpajakan. Pada sisi lain,
wajib pajak dapat melakukan pembayaran dan pelaporan kewajiban pajaknya dengan
menggunakan media komputer melalui sistem on-line.
Sistem administrasi perpajakan yang berbasis teknologi juga mengakomodasi
pengembangan dan pemanfaatan sistem spasial perpajakan. Dengan memetakan wajib
pajak dan obyek pajak dapat memudahkan sistem pengumpulan dan pemantauan
pembayaran pajak.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

D. Pendekatan Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi Daerah


Secara garis besar terdapat dua pendekatan perhitungan potensi pajak dan retribusi
daerah yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro dilakukan
untuk memproyeksi besarnya potensi penerimaan pemerintah propinsi, kabupaten dan
pemerintah kota dimasa yang akan datang. Proyeksi dilakukan dengan cara proxy
terhadap basis pajak (tax base) dari sejumlah jenis pajak daerah yang ada. Hasil
proyeksi ini mencerminkan kemampuan potensi fiskal (fiscal capacity) bagi pementah
propinsi, kabupaten dan kota yang bersangkutan. Terdapat empat jenis pengukuran
kapasitas fiskal, yaitu 1). Koleksi penerimaan (revenue collection); 2). Pendapatan
per kapita (per capita income); 3). Produk Regional Bruto (Gross Regional Product);
4). Sistem perpajakan representatif (Representative Tax System/RTS), Martinez dan
Boex (1997).
1. Pengumpulan Penerimaan (Revenue Collection)
Pengukuran kapasitas fiskal dengan revenue collection, menetapkan bahwa
penerimaan yang diterima pada tahun lalu dapat digunakan sebagai dasar dalam
menentukan potensi kapasitas pajak pada tahun berjalan. Terdapat beberapa
kelemahan yang timbul dari metode ini. Pertama, perbandingan revenue
collection dari tahun ke tahun tidak viable sebagai representasi dari kapasitas
fiskal tahun berjalan, tetapi lebih representatif sebagai elemen penting untuk dasar
pembagian grant. Kedua, penggunaan penerimaan sebagai proksi atas kapasitas
fiskal untuk alokasi pemerataan grant akan dapat menyebabkan tendensi yang
tidak baik terhadap pemerintah daerah agar menurunkan penerimaan selama tahun
berjalan dengan tujuan untuk mendapatkan bantuan pada tahun (periode) yang
akan datang.
2. Pendapatan Per Kapita (Per Capita Income)
Pengukuran pendapatan per kapita juga dapat digunakan sebagai salah satu
ukuran kapasitas perpajakan. Pengukuran dengan metode ini telah dipakai secara
luas karena cenderung sederhana dan mudah. Namun, pendekatan pendapatan per
kapita ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat mencakup seluruh basis pajak
yang ada pada tiap wilayah.
3. Produk Regional Bruto (Gross Regional Product/GRP)
Pengukuran GRP sebagai ukuran kapasitas perpajakan lebih komprehensif
dibandingkan dengan pengukuran pendapatan per kapita. Pada pendekatan ini
GRP didefinisikan sebagai nilai tambah atas barang dan jasa yang diproduksi oleh
suatu wilayah pada periode tertentu. Selama GRP didefinisikan juga sebagai
pendapatan total dari pembayar pajak, maka GRP merupakan subjek pajak dari
pemerintah daerah. Pendekatan ini dikritik karena masih terlalu umum.
Disamping itu GRP mencakup output yang tidak termasuk dalam basis pajak.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

4. Sistem Perpajakan Representatif (Representative Tax System/RTS)


Pendekatan ini menggunakan proksi yang lebih baik dengan menggunakan
variabel-variabel yang terdekat dengan basis pajaknya. Pendekatan ini dilakukan
dengan pengumpulan data penerimaan dan basis pajak atas tiap daerah. Setelah
kita mendapatkan penerimaan dan proksi atas basis pajak, kita dapat mengukur
upaya fiskal dengan membandingkan penerimaan pajak dengan estimasi kapasitas
pajak. Nilai ini kemudian yang dijadikan sebagai kemampuan fiskal propinsi,
kabupaten/kota. RTS dilakukan dengan cara meregresi dari fungsi yang
merupakan proksi dari masing-masing jenis pajak yang ada. RTS dengan regresi
lebih baik sebab tingkat pajak yang dihasilkan dari estimasi ini telah menangkap
varians distribusi data.
Jika pemerintah kabupaten memiliki kewenangan atas 5 kategori pajak termasuk
pajak galian tambang golongan C, pajak hotel, pajak hiburan, pajak penerangan
jalan, pajak air tanah. Dengan basis pajak masing-masing jenis pajak tersebut
akan menghasilkan 5 model regresi sebagai berikut:
TbgC = b0 + b1*Basispjk TbgC
. 1
HR = b0 + b1*Basispjk HR
..2
Hibur = b0 + b1*BasispjkHibur
..3
JLn = b0 + b1*Basispjk Industry Retail
..4
JLn-Air = b0 + b1*BasispjkPenduduk..5
dimana:
TbgC adalah potensi pajak tambang golongan C
Basispjk TbgC adalah proksi basis pajak untuk tambang golongan C
HR adalah potensi pajak hotel dan restoran
Basispjk HR adalah proksi basis pajak hotel dan restoran
Hibur adalah potensi pajak hibran
BasispjkHibur adalah proksi basis pajak hiburan
JLn adalah potensi pajak penerangan jalan
Basispjk Industry Retail adalah proksi basis pajak penerangan jalan
JLn-Air adalah potensi pajak penerangan jalan dan air tanah
BasispjkPenduduk adalah proksi basis pajak penerangan jalan dan air tanah
b0, b1 adalah parameter yang akan diestimasi yaitu 0, 1.
Kapasitas pajak (kapasitas fiskal) dapat diperoleh dengan menjumlahkan 5 model
persamaan sebelumnya sehingga,
Kapasitas Pajak/fiskal = 0 + 1*Basispjk TbgC + 0 + 1*Basispjk HR + 0 +
1*BasispjkHibur + 0 + 1*Basispjk Industry -Retail + 0 +
1*BasispjkPenduduk

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Tabel 1: Basis Pajak dengan Cara Proksi


Komponen Pajak
Proksi Basis Pajak
Pajak Hotel & Restoran
Jumlah kunjungan x service facility X tax rate
Pajak bahan bakar kendaraan Konsumsi bahan bakar per liter
Pajak lisensi kendaraan Jumlah registrasi lisensi mobil pribadi
Pribadi
Pajak lisensi kendaraan Jumlah registrasi lisensi mobil pribadi
Pribadi
Pajak properti tempat tinggal Nilai pasar property
Pajak Reklame
Letak, luas, lama,..
Pajak galian tambang

Upaya Pajak (Tax Effort)


Upaya pajak dapat didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan pajak/
retribusi dengan kapasitas fiskal suatu propinsi, kabupaten/kota.
Secara
sederhana dapat ditulis sebagai berikut:
Tax Effort (TE) = {Total tax collection (TC) / Fiscal capacity (FC)}
atau
TE = (TC/FC)
Terdapat tiga alternatif hasil TE yang bisa terjadi yaitu masing-masing TE = 1; TE
< 1; dan TE > 1. Pertama, bilamana hasil perhitungan menunjukkan bahwa TE =
1, ini berarti bahwa penerimaan sesuai dengan kapasitas/potensi pajak dan
retribusi yang ada. Bilamana perhitungan kapasitas adalah akurat maka, TE = 1
menunjukkan pengelolaan pengumpulan pajak dan retribusi adalah efektif. Kedua,
bilamana TE < 1, artinya penerimaan lebih kecil dari potensi kapasitas pajak
dan retribusi. Jika terjadi demikian maka terdapat masalah pada manajemen
pengumpulan pajak dan retribusi. Sejumlah kemungkinan penyebab antara lain
adanya penghindaran pajak (tax aversion) oleh wajib pajak; adanya moral hazar
yang dilakukan oleh pengumpul dan lain-lain. Dan ketiga, bilamana TE > 1,
artinya penerimaan lebih besar dari potensi pajak dan retribusi. Jika terjadi
demikian maka hasil estimasi atas kapasitas fiskal dibawah potensi yang
sesungguhnya (under estimate). Hal ini juga mengandung pengertian bahwa
masih ada potensi penerimaan dari sumber-sumber pajak dan retribusi yang belum
teridentifikasi pada proses estimasi potensi kapasitas fiskal yang dilakukan.
Pendekatan mikro perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah dilakukan
dengan cara melakukan assessment terhadap pembayar pajak, retribusi potensial.
Kegiatan-kegiatan Assessment tersebut antara lain: a). Mencermati dan
mempelajari undang-undang dan peraturan yang ada; b). Melakukan identifikasi
situasi; c). Menetapkan formulasi perhitungan potensi pajak dan retribusi.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

E. Dasar Perhitungan Potensi Pajak dan Retribsi Daerah


Dengan pendekatan mikro, potensi suatu penerimaan pajak dapat dihitung dengan
mengalikan tarif suatu pajak dengan basis pajak. Dengan demikian formulasi
perhitungan potensi pajak adalah sebagai berikut:
Potensi penerimaan = Tarif pajak X Basis pajak
Langkah-langkah penetapan basis pajak untuk setiap jenis pajak dan retribusi
berbeda untuk setiap jenis pajak dan retribusi yang berbeda. Berikut ini akan
diuraikan beberapa contoh perhitungan potensi pajak hotel dan restoran, retribusi
pasar, dan pajak reklame.
1. Contoh Perhitungan Potensi Pajak Hotel Sahid Maju
Perhitungan potensi pajak hotel diawali dengan melakukan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut : a). Identifikasi jumlah dan kategori hotel; b). Menetapkan
sampel (bila diperlukan): c). Melakukan observasi tentang kelas kamar/jenis
kamar, tarif, jumlah kamar, tingkat hunian kamar. Dengan data awal mengenai
kelas kamar, tarif kamar dan jumlah kamar seperti pada tabel 1 berikut:
Tabel 2. Kelas, Tarif dan Jumlah Kamar Hotel Sahid Maju
Kelas Kamar
Tarif Kamar
Jumlah Kamar
Superior
176.00
12
Deluxe
147.000
9
Standar
121.800
29
Catatan:
jumlah kamar 43 dengan tingkat hunian
rata-rata 37 persen (16 kamar)
Berdasarkan data tabel 1 tersebut, dapat dihitung rata-rata hunian hotel Sahid
Maju dengan metode Mean dan Weighted Mean (rata-rata tertimbang).
Tabel 3. Perhitungan Rata-rata Hunian dengan Metoda Mean
Situasi
Jumlah Kamar
Rumus
Terpakai (JKT)
Rata-rata =
Ramai (peak season)
28
JKT
Normal (normal season)
10
n
Sepi (low season)
7
= 45 / 3 = 15
Jumlah (n)
45
Tabel 4.1. Perhitungan Rata-rata Hunian dengan Metode Weighted Mean
Situasi
(JKT)
Frekuensi Jumlah JKT x w
Rumus
hari (w)

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Ramai
Normal
Sepi
Jumlah (n)

28
10
7

135
135
90
360

3780
1350
630
5760

Rata-rata
tertimbang =
JKT x w
w
= 5760 / 360 =
16

Tabel 4.2. Perhitungan Rata-rata Hunian dengan Metode Weighted Mean


Situasi
Ramai
Normal
Sepi
Jumlah

Jumlh Kmr Terpakai Frekwensi (%) Rata-rata


28
0.4
11.2
10
0.4
4
7
0.2
1.4
1
16.6

Rumus
Rata-rata tertimbang =
JKT x w
w
= 16,6 / 1 = 16,6

Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata hunian tersebut, maka langkah


selanjutnya untuk menghitung potensi pajak hotel Sahid Maju adalah
menghitung tarif rata-rata per kamar, dan hasilnya dikalikan dengan jumlah
kamar terpakai dengan tarif kamar rata-rata, jumlah hari dalam sebulan (30
hari) dan setahun 360 hari, tarif pajak hotel. Tarif pajak hotel ditentukan
melalui peraturan pemerintah daerah (misalnya 10 %). Dengan demikian
maka:
Tarif Rata-rata = {(12 x 176400) + (2 x 147000) + (29 x 121800)}/{43}
= 5.943.000/43 = Rp 138.200
Potensi Pajak = 16 kamar x Rp 138.200 x 360 hari x 10%
= Rp 79.603.200 per tahun
2. Contoh Perhitungan Potensi Pajak Reklame
A. Jenis-jenis objek pajak reklame adalah sebagai berikut :
a. Reklame papan/billboard
b. Reklame megtron/vidiotron/large electronic display
c. Reklame kain
d. Reklame melekat/stiker
e. Reklame selebaran
f. Reklame berjalan/kendaraan
g. Reklame udara (menggunakan gas, laser, pesawat dll)
h. Reklame suara
i. Reklame slide atau reklame film
j. Reklame peragaan
B. Dasar Pengenaan Pajak Reklame

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Basis pajak reklame dihitungan dengan dasar nilai sewa reklame.


Sedangkan nilai sewa reklame dihitung berdasarkan proksi nilai variabel
berikut:
a. Besarnya biaya pembuatan dan pemasangan reklame
b. Besarnya biaya pemeliharaan reklame
c. Lama pemasangan reklame
d. Jenis reklame
e. Nilai strategis lokasi (berdasarkan kawasan, ukuran reklame, fungsi
jalan, dan lain-lain)
C. Formula Perhitungan Potensi Pajak Reklame
Formula perhitungan potensi pajak reklame adalah:
Potensi Penerimaan = Tarif pajak reklame x nilai sewa reklame
3. Contoh Perhitungan Retribusi Pasar Umum
Perhitungan potensi restribusi pasar umum dapat digunakan formula sebagai
berikut :
[(LKS x TR) + (LLS x TR) + (RLA x JPA x TR)] x [ S Aktivitas Pasar Sebulan x 12]
LKS : Luas kios
LLS : Luas los
RLA : Rerata luas areal arahan per pedagang
JPA : Jumlah pedagang arahan
TR : Tarif Retribusi
Informasi yang dikumpulkan untuk menetapkan basis restribusi adalah
sebagai berikut :
a. Fasilitas pasar
b. Jenis dagangan
c. Jumlah petugas pemungut
d. Tarif retribusi
e. Jumlah kios dan los
f. Luas areal lahan
g. Jumlah pedagang arahan
h. Data penerimaan retribusi tahunan.
F. Workshop: Potensi Perhitungan Pajak dan Retribusi Daerah
Referensi
1.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Anda mungkin juga menyukai